You are on page 1of 7

Uji Performance Mesin Diesel Menggunakan Biodiesel Dari Minyak Goreng Bekas

Isalmi Aziz
Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta emi_uin@yahoo.co.id

Abstrak
Biodiesel dari minyak goreng bekas merupakan bahan yang sangat potensial untuk menggantikan bahan bakar solar. Selain harganya murah juga dapat mereduksi limbah. Biodiesel dicampur dengan solar dalam perbandingan 0 sampai 100 % dan selanjutnya di uji sifat fisiknya menggunakan metode ASTM. Dari hasil pengujian didapatkan biodiesel 20 % (B20) dan 40 % (B40) memenuhi standar bahan bakar solar dan selanjutnya diujikan pada mesin diesel dengan menggunakan solar sebagai pembanding. Biodiesel B20 dan B40 mampu memberikan kinerja yang baik untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel. Emisi gas yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan emisi solar. Hal ini membuktikan bahwa biodiesel adalah bahan bakar ramah lingkungan. Kata kunci : biodiesel, minyak goreng bekas, solar, emisi gas, mesin diesel

Abstract
Biodiesel from waste cooking oil is very potential to replace solar fuel. Biodiesel is mixed with solar of 0-100% comparison and tested its physical properties of biodiesel using ASTM method. Biodiesel 20% (B20) and 40% (B40) are tested in diesel engine while using solar as comparison. Biodiesel B20 and B40 are able to provide good performance to be used as diesel engines fuel. The emission generated is lower than solar. It proves that biodiesel is an environmentally friendly fuel.

Keywords: biodiesel, waste cooking oil, solar, gas emission, diesel engine

1. PENDAHULUAN
Menipisnya cadangan minyak bumi membuat munculnya berbagai macam energi alternatif, salah satunya adalah biodiesel. Biodiesel adalah ester asam lemak yang berasal dari minyak nabati atau hewani melalui reaksi transesterifikasi atau esterifikasi dan digunakan sebagai bahan bakar diesel (Darnoko dan Cheryan, 2000). Biodiesel merupakan bahan yang sangat potensial digunakan sebagai pengganti bahan bakar diesel. Hal ini disebabkan karena bahan bakunya yang berasal dari minyak nabati, dapat diperbaharui, dapat dihasilkan secara periodik dan mudah diperoleh. Selain itu harganya relatif stabil dan produksinya mudah disesuaikan

dengan kebutuhan. Biodiesel juga merupakan bahan bakar yang ramah lingkungan, tidak mengandung belerang sehingga dapat mengurangi kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh hujan asam (rain acid) (Suwarso, WP dkk, 2008). Penggunaan minyak goreng bekas sebagai bahan baku memberikan beberapa keuntungan, diantaranya : harga murah, mudah didapat dan dapat menanggulangi pencemaran yang disebabkan oleh limbah minyak goreng bekas. Biodiesel yang dihasilkan perlu dilakukan pengujian pada mesin diesel. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana performance mesin diesel jika menggunakan biodiesel sebagai bahan bakarnya. Sebelum diujikan langsung pada mesin diesel, harus

291

diketahui dulu apakah biodiesel yang dihasilkan memenuhi standar bahan bakar diesel. Berbagai penelitian tentang pengujian langsung biodiesel sebagai bahan bakar mesin diesel sudah dilakukan. Rahardjo (2007) menggunakan biodiesel yang berasal dari minyak jarak pagar. Minyak kelapa sebagai bahan baku biodiesel juga sudah diujikan pada mesin diesel oleh Yuniarsi (2007). Pemerintah melalui pertamina juga sudah mengkomersilkan biodiesel, tetapi belum dalam bentuk biodiesel murni. Biodiesel yang dikomersilkan berupa campuran biodiesel dengan solar yang dikenal dengan istilah biosolar. Kandungan biodiesel yang terdapat dalam biosolar masih 5 % volum (B5). Bahan bakar diesel adalah hasil fraksi minyak bumi yang mendidih antara 175 sampai 370 oC dan digunakan sebagai bahan bakar dalam mesin diesel. Mesin diesel ditemukan dan dipatenkan oleh Rudoph Diesel pada tahun 1892. Mesin diesel bekerja dengan kecepatan maksimum yang lebih rendah dibandingkan dengan mesin bensin yang seringkali mempunyai kecepatan di atas 4000 putaran per menit. Kebanyakan mesin diesel bekerja dengan kecepatan antara 50 sampai 2.500 putaran permenit. Mesin diesel yang bekerja dengan kecepatan putaran kurang dari 500 putaran permenit disebut mesin diesel dengan kecepatan putaran lambat, diatas 1200 putaran permenit disebut mesin diesel kecepatan tinggi, sedangkan diantara keduanya disebut mesin diesel kecepatan sedang. Mesin diesel dengan kecepatan rendah digunakan sebagai mesin stationer dan digunakan di kapal-kapal besar. Kecepatan sedang digunakan pada kapal-kapal kecil dan lokomotif sedangkan kecepatan tinggi digunakan untuk traktor, bus, truk dan mobil. Indonesia saat ini mempunyai dua macam bahan bakar diesel, yaitu bahan bakar solar yang digunakan sebagai bahan bakar motor diesel dengan kecepatan putaran tinggi dan minyak diesel untuk kecepatan putaran rendah (Hardjono, 2001) Mesin diesel tidak mempunyai karburator seperti mesin bensin, sebagai gantinya dipakai sistem injeksi bahan bakar. Disamping itu mesin diesel tidak mempunyai busi dan penyalaan terjadi karena suhu tinggi

yang diperoleh pada pemampatan udara di dalam selinder mesin. Untuk memperoleh panas yang tinggi untuk menyalakan bahan bakar, mesin diesel harus mempunyai perbandingan kompresi yang lebih tinggi dari pada perbandingan kompresi mesin bensin. Mesin diesel mempunyai perbandingan kompresi berkisar antara 12:1 sampai 18:1. Tekanan kompresi dapat mencapai 400 sampai 700 psi dan suhu udara yang dimampatkan dapat mencapai 1000 oF. Mesin diesel dapat bekerja dengan siklus dua atau empat langkah. Tepat sebelum langkah kompresi berakhir dan pada saat udara mencapai suhu yang tinggi, bahan bakar mulai diinjeksikan. Setelah injeksi bahan bakar ini, tetes bahan bakar yang sangat kecil akan menyala dan nyala akan melebar secara spontan dalam ruang selinder dan menyebabkan tekanannya naik menjadi 600 sampai 1.000 psi. Ketika bahan bakar disemprotkan ke dalam selinder mesin diesel, bahan bakar tidak segera menyala. Tetes-tetes bahan bakar harus lebih dahulu berubah menjadi uap sebelum penyalaan terjadi. Kelambatan waktu yang sangat pendek akan terjadi, kira-kira satu per seribu detik, antara permulaan injeksi dan pembentukan nyala, yang disebut kelambatan penyalaan (ignition delay). Apabila kelambatan penyalaan ini berlebihan, kenaikan tekanan yang tajam akan terjadi pada saat penyalaan terjadi. Hal ini mengakibatkan operasi mesin menjadi kasar dan terjadi kehilangan daya, terdengar suara ketukan yang disebut ketukan diesel. Kelambatan penyalaan tergantung pada mesin dan komposisi bahan bakar. Di antara sifat-sifat bahan bakar diesel yang terpenting ialah kualitas penyalaan, viskositas, titik tuang (pour point) dan titik nyala kabut (Hardjono, 2001). Kualitas penyalaan Kualitas penyalaan bahan bakar diesel berhubungan dengan kelambatan penyalaan. Kualitas bahan bakar diesel dinyatakan dalam angka cetan dan dapat diperoleh dengan jalan membandingkan kelambatan menyala bahan bakar diesel dengan kelambatan menyala bahan bakar pembanding dalam uji baku CFR.

292

Angka cetan bahan bakar diesel untuk mesin diesel dengan kecepatan perputaran tinggi mempunyai harga antara 40 sampai 60, sedangkan untuk mesin disel dengan kecepatan rendah antara 25 sampai 40. Viskositas Viskositas bahan bakar diesel perlu dibatasi. Viskositas yang terlalu rendah dapat mengakibatkan kebocoran pada pompa injeksi bahan bakar, sedangkan viskositas yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kerja cepat alat injeksi bahan bakar dan mempersulit pengabutan bahan bakar minyak. Titk tuang dan titik kabut Bahan bakar diesel harus dapat mengalir dengan bebas pada suhu atmosfer terendah dimana bahan bakar ini digunakan. Suhu terendah dimana bahan bakar diesel masih dapat mengalir disebut titik tuang (pour point). Pada suhu sekitar 10 F di atas titik tuang bahan bakar diesel dapat berkabut. Suhu ini dikenal dengan titik kabut.

terbesar yang mampu memenuhi standar sifat fisik bahan bakar solar. a. Uji Spesifik Grafiti (ASTM D 1298-85) Sampel dimasukkan ke dalam silinder hidrometer. Termometer dicelupkan ke dalam sampel dan dibaca suhunya. Hidrometer dicelupkan ke dalam sampel dan di baca skala hidrometer yang di potong oleh permukaan sampel. b. Uji Viskositas (ASTM D 88) Sampel yang terdapat dalam pipa U (pipa kapiler viskosimeter) dimasukkan kedalam waterbatch yang sudah di atur suhunya. Waktu alir sampel dengan volume tertentu dalam pipa kapiler di ukur. c. Titik Nyala (ASTM D 93-80) Sampel dimasukkan ke dalam cawan dan dipanaskan dengan kecepatan pemanasan tetap. Selanjutnya setelah mencapai suhu tertentu 17 180C dibawah titik nyala yang diperkirakan, nyala uji di arahkan pada permukaan sampel untuk setiap kenaikan suhu 50C. Suhu paling rendah dimana uap minyak dalam campurannya dengan udara menyala, dicatat sebagai titik nyala. d. Titik Tuang (ASTM D 97-87)

2. METODE PENELITIAN
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : hidrometer (uji spesific gravity), viskosimeter saybolt (uji viskositas kinematis), uji sisa karbon conradson, cawan tertutup Pensky-Martens (uji nyala), kolorimeter ASTM (uji warna), alat uji titik tuang (pour point), mesin diesel Engine Research and Test Bed DWE-47/50-HS-N dan uji emisi gas. Bahan yang digunakan adalah biodiesel dari minyak goreng bekas dan solar. Uji Sifat Fisik Biodiesel Biodiesel yang berasal dari minyak goreng bekas di campur dengan solar dengan komposisi 0 sampai 100 % volum. Campuran ini selanjutnya dianalisa sifat fisiknya meliputi : spesifik graviti, viskositas, titik nyala, titik tuang, sisa karbon, warna dan kadar air. Komposisi optimal yang akan diperoleh adalah komposisi yang mengandung fraksi biodiesel 293

Sampel dimasukkan ke dalam tabung dan didinginkan. Setiap penurunan suhu 3oC dilakukan uji sifat alir sampel. Suhu tertinggi dimana sampel tidak dapat mengalir dicatat sebagai sebagai titik padat. Titik tuang didapatkan dengan menambahkan 30C kepada titik padat. e. Uji Warna (ASTM D 1500-87)

Sampel dimasukkan ke dalam cuvet. Selanjutnya dimasukkan ke dalam kolorimeter ASTM dan dibaca penunjukan skala ketika bidang batas terlihat jelas. f. Uji Sisa Karbon Conradson (ASTM D 18988)

Sampel dipanaskan dalam krus tanpa kontak dengan udara. Pada akhir pemanasan

sampel didinginkan ditimbang. g. Uji Kadar Air

dalam

desikator

dan

Uji Performance Mesin Diesel Komposisi biodiesel solar yang memenuhi standar bahan bakar solar dimasukkan ke dalam tangki bahan bakar. Mesin diesel dijalankan dengan putaran 1650 sampai 3000 rpm. Setiap putaran data-data yang diambil meliputi besarnya beban, waktu pengosongan buret bahan bakar, suhu gas buang dan air pendingin serta emisi gas buang berupa CO, CO2 dan HC.

Sampel sebanyak 50 ml ditambah 40 ml xylen dan 10 ml benzene. Campuran dididihkan dalam labu distilasi yang dilengkapi pendingin balik selama 3 jam. Setelah itu dicatat berapa volume air yang terpisahkan dari campuran.

1 2

Keterangan :
1. Panel control 2. Tangki bahan bakar 3. Pengukur beban 4. Pengukur putaran mesin 5. Throtle 6. Buret fuel meter 7. Mesin diesel 8. Saluran gas buang 9. Pengukuran emisi gas

6 4 5 7 9

Gambar 1. Rangkaian alat uji mesin diesel

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Sifat Fisik Campuran Biodiesel dengan Solar Biodiesel yang berasal dari minyak goreng bekas ternyata mempunyai spesifik graviti yang lebih besar dari standar yang telah ditetapkan untuk minyak solar seperti yang terlihat dalam Tabel 1. Hal ini disebabkan karena senyawa penyusun biodiesel mempunyai jumlah karbon yang lebih besar dibandingkan dengan solar sehingga spesifik gravitinya lebih tinggi. Berdasarkan uji GCMS yang dilakukan, senyawa penyusun biodiesel ini mempunyai jumlah rantai

karbon tertinggi 21 (Aziz, 2008) . Hal inilah yang menyebabkan viskositasnya lebih besar. Yuniarsi (2007) mendapatkan nilai viskositas biodiesel yang berasal dari minyak kelapa pada suhu 400C sebesar 2,858. Nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan biodiesel dari minyak goreng bekas yaitu sebesar 5,6263 CSt. Setelah dilakukan pencampuran dengan solar, didapatkan biodiesel 20 % (B20) masuk dalam standar bahan solar. Biodiesel 40 % (B40) spesifik gravitinya lebih besar sekitar 0,3 % dari minyak solar. Untuk itu biodiesel 20 % dan 40 % selanjutnya di uji performancenya pada mesin diesel. 294

Tabel 1. Sifat fisik campuran biodiesel dan solar Standar Solar Spesific gravity, 60/60 0,820 0,870 o F Viscosity, CSt Maks. 5,8 Pour point, oF Maks. 65 Flash point, oF Min. 150 CCR, % Wt Min. 0,1 Warna Maks. 3 Water content, % vol. Maks. 0,05 Nilai kalor, kal/g Keterangan : B20 : Biodiesel 20 % B40 : Biodiesel 40 % B60 : Biodiesel 60 % Solar 0,8599 4,1796 44,8 156 B20 0,8663 B40 0,8725 B60 0,8774 5,0151 37 196 1,4020 2,5 0,04 9.473,0 B80 0,8883 5,2919 30,6 226,4 1,6058 2 0.08 9.452,3 B100 0,8898 5,6263 33,4 253,4 2,0827 1,5 0,16 9.427,0

4,4158 4,6581 40,6 38,4 174 182 1,2004 1,2196 2 2,5 2,5 0 0 0.03 9.536,8 9.513,6 9.491,0 B80 : Biodiesel 80 % B100 : Biodiesel 100 %

Daya Bahan Bakar Biodiesel Dari Tabel 2 dapat dilihat semakin besar putaran mesin maka semakin besar daya yang dihasilkan karena beban yang diberikan juga besar. Biodiesel B40 menghasilkan daya yang lebih rendah dibandingkan dengan solar dan biodiesel B20. Daya yang dihasilkan berkurang sekitar 2,3 % terhadap daya yang dihasilkan solar. Hal ini disebabkan karena terjadinya kelambatan penyalaan pada mesin diesel sehingga operasi mesin mejadi kasar dan terjadinya kehilangan daya. Hasil ini sama dengan yang didapatkan Amin (2003). Daya yang dihasilkan dari blending 30% biodiesel yang berasal dari minyak sawit berkurang sekitar 2%.
Tabel 2. Daya yang dihasilkan bahan bakar Putaran mesin Rpm 1650 1750 2000 2250 2500 2750 3000 Daya (kW) B20 20,3184 21,8714 25,3635 28,534 31,7044 34,3694 36,3911

menyebabkan bahan bakar lama terbakar. Biodiesel B40 memiliki flash point yang lebih tinggi dari solar dan biodiesel B20. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Yuniasri (2007). Daya yang dihasilkan biodiesel murni dan B30 lebih rendah dibandingkan minyak solar. Menurut Amin (2003) energi yang dihasilkan biodiesel lebih rendah, rata-rata 118.000 BTU dan solar rata-rata 130.500 BTU. Konsumsi bahan bakar (SFC) Secara umum meningkatnya putaran mesin menyebabkan naiknya kebutuhan bahan bakar seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3. Hal ini disebabkan karena pada putaran tinggi proses pembakaran yang terjadi sangat cepat sehingga campuran udara dengan bahan bakar tidak dapat terbakar dengan sempurna karena campuran baru terlalu cepat menggantikan campuran lama yang belum seluruhnya terbakar (Kusuma, 2003). Spesific Fuel Consumtion (SFC) biodiesel B40 rata-rata lebih besar 2,75 % dibandingkan yang lainnya, hal ini disebabkan karena nilai kalor biodiesel B40 lebih kecil, sehingga konsumsi bahan bakarnya menjadi besar. Hasil ini berbeda dengan yang didapatkan oleh Kusuma (2003). Konsumsi bahan bakar biodiesel lebih kecil sekitar 5 % dibandingkan solar untuk putaran mesin yang sama. Rahardjo (2007) juga menganalisa konsumsi bahan bakar biodiesel yang berasal dari minyak jarak pagar. Hasil yang didapatkan sama dengan penelitian ini. Konsumsi bahan biodiesel bakar biodiesel lebih besar dibanding solar. Amin (2003) juga melakukan uji biodiesel yang berasal dari minyak sawit pada mesin

Solar 20,6264 22,1931 25,7311 28,9475 32,1639 348748 35,8398

B40 20,3184 21,7428 24,996 28,2858 31,2249 33,864 35,2884

Kelambatan penyalaan dipengaruhi oleh komposisi bahan bakar. Biodiesel B40 memiliki kandungan biodiesel 40 % dan sisanya solar. Flash point yang terlalu tinggi juga berpengaruh pada kelambatan penyalaan (Hardjono, 2001). Tingginya flash point

295

diesel dengan komposisi biodiesel 30%. Konsumsi bahan bakar biodiesel hanya 2% lebih tinggi dibandingkan solar.
Tabel 3. Konsumsi Bahan Bakar (SFC) Putaran mesin rpm 1650 1750 2000 2250 2500 2750 3000 SFC (kg/kW/jam) Solar 0,2911 0,2974 0,3006 0,2985 0,303 0,3007 0,3166 B20 0,3026 0,3057 0,3059 0,3033 0,3061 0,3105 0,3144 B40 0,3075 0,3055 0,3113 0,3123 0,3206 0,3196 0,3306

Tabel 5. Emisi gas CO2 Putaran mesin Rpm 1650 1750 2000 2250 2500 2750 3000 CO2 (% volum) Solar 6,8 7,4 7,7 8,1 8,3 8,3 2,5 B20 6,4 6,7 6,8 6,8 6,7 6,4 2,9 B40 5 5 5,3 5,3 5,3 5,3 2,3

Emisi Gas Emisi gas buang B40 lebih kecil dari emisi solar dan B20 seperti yang terlihat pada Tabel 4. Khusus untuk emisi CO biodiesel B40 tidak menghasilkannya. Hal ini disebabkan terjadi pembakaran yang sempurna pada biodiesel B40 sehingga tidak menghasilkan gas karbon monoksida. Adanya oksigen dalam biodiesel (biodiesel bersifat oksigenat) juga menyebabkan proses pembakaran menjadi sempurna. Emisi gas CO yang dihasilkan B20 dalam penelitian ini sama dengan yang didapatkan oleh Kusuma (2003). Emisi gas CO yang dihasilkan rata-rata 0,02% volum.
Tabel 4. Emisi gas CO Putaran mesin Rpm 1650 1750 2000 2250 2500 2750 3000 Solar 0,02 0,03 0,06 0,05 0,05 0,03 0,02 CO (% volum) B20 0 0,02 0,02 0,02 0,02 0,02 0 B40 0 0 0 0 0 0 0

Jika dilihat dari jumlah hidrokarbon sisa (HC) yang dihasilkan, biodiesel B40 juga lebih rendah dari solar. Hal ini juga memperkuat bahwa proses pembakaran yang terjadi pada bahan bakar yang mengandung biodiesel lebih sempurna dibandingkan bahan bakar solar.
Tabel 6. Emisi Hidrokarbon Sisa Putaran mesin Rpm 1650 1750 2000 2250 2500 2750 3000 Hidrocarbon (ppm) Solar 72 81 94 79 79 71 60 B20 54 61 56 55 48 49 61 B40 26 28 31 37 26 28 60

Kenyataan ini membuktikan bahwa biodiesel adalah bahan bakar yang ramah lingkungan. Ini menjadi hal yang sangat penting, dimana pada saat ini pencemaran atau polusi yang disebabkan oleh bahan bakar minyak bumi cukup memprihatinkan. Dengan digunakan biodiesel sebagai bahan bakar akan dapat meminimalisir pencemaran lingkungan.

4. KESIMPULAN 1. Biodiesel B20 volum memenuhi standar


bahan bakar solar. 2. Biodiesel B20 dan B40 mampu memberikan kinerja yang baik untuk digunakan sebagai bahan bakar mesin diesel dan emisi gas yang

Emisi gas CO2 yang dihasilkan biodiesel B40 dan B20 lebih kecil dibandingkan solar, seperti yang terlihat pada Tabel 5.

296

dihasilkan lebih kecil dibandingkan emisi solar.

UCAPAN TERIMA KASIH


Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada DR. Bardi Murachman, SU, DEA dan Ir. Supranto, MSc, PhD atas segala masukan dan sarannya serta pimpinan dan staff Laboratorium Teknologi Minyak Bumi UGM atas semua sarana dan prasarananya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Amin, S., Wahyudi, M.Y., dan Nuramin, M., 2003, Membandingkan Emisi Gas Buang Bahan Bakar Solar dan Biodiesel, Jurnal Sains dan Teknologi, Vol.5, No.5, 196-172. Aziz, I., 2008, Pembuatan Biodiesel dari Minyak Goreng Bekas dalam Reaktor Alir Tangki Berpengaduk, Valensi, vol.1, no.2, 99103. Darnoko, D and Cheryan, M, 2000, Kinetics of Palm Oil Transeterification in a Batch Reactor, J. Am.Oil Chem.Soc., 77, 1263-1267. Hardjono, A., 2001, Teknologi minyak Bumi , Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Kusuma, I, 2003, Pembuatan Biodiesel dari Minyak Jelantah dan Pengujian terhadap Prestasi Kerja Mesin Diesel, Poros, vol.6, no.4, 227-234. Raharjo,S., 2007, Analisa Performa Mesin Disel dengan Bahan Bakar Biodiesel dari Minyak Jarak Pagar , Prosiding Seminar Nasional Teknologi, B1-B6, Yogyakarta Suwarsono, WP., Gani, I.Y, dan Kusyanto, 2008, Sintesis Biodiesel dari Minyak Biji Ketapang yang Berasal dari Pohon Ketapang Yang Tumbuh di Kapus UI Depok , Valensi, vol.1, no.2, 44-52. Yuniarsi, K., 2007, Coco Metyl Ester (Cocodiesel) Sebagai Bahan Bakar Pengganti Solar , Jurnal Akta Kimindo, vol 3, no.1, 17-20.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

297

You might also like