You are on page 1of 17

Agraria dan Feodalisme

DISKUSI
Apa perbedaan yang mendasar antara SISTEM KOMUNAL yang kita bahas dalam kuliah minggu lalu dengan SISTEM AGRARIA FEODAL?

Munculnya Tuan Tanah


Dalam pertemuan ini, kita akan membicarakan relasi subyek atas sumber agraria yang berbeda. Dalam kuliah sebelumnya, kita bicara relasi komunitas yang lebih kolektif dengan sumber agraria. Dalam sessi ini, membicarakan kepemilikan dan penguasaan sumberdaya dalam sistem Feodalisme

Feodalisme
Feodalisme adalah konsep kekuasaan yang ditandai dengan struktur penyebaran kekuasaan sosiopolitik yang dijalankan kalangan bangsawan/monarki untuk mengendalikan berbagai wilayah yang diklaimnya, melalui kerja sama dengan pemimpinpemimpin lokal sebagai mitra. Dalam pengertian yang asli, struktur ini digunakan oleh sejarawan untuk menggambarkan sistem politik di Eropa pada Abad Pertengahan, yang menempatkan kalangan kesatria dan kelas bangsawan lainnya (vassal) sebagai penguasa kawasan atau hak tertentu (disebut fief atau, dalam bahasa Latin, feodum) yang ditunjuk oleh monarki (biasanya raja atau lord). Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal".

Sistem Monarki
Konsep politik Monarki: Monarki, berasal dari bahasa Yunani monos () yang berarti satu, dan archein () yang berarti pemerintah. Monarki merupakan sejenis pemerintahan yang dipimpin oleh seorang penguasa monarki. Monarki atau sistem pemerintahan kerajaan adalah sistem tertua di dunia. Pada awal kurun ke-19, terdapat lebih 900 tahta kerajaan di dunia, tetapi menurun menjadi 240 dalam abad ke-20. Sedangkan pada dekade kedelapan abad ke-20, hanya 40 takhta saja yang masih ada. Dari jumlah tersebut, hanya empat negara mempunyai penguasa monarki yang mutlak dan selebihnya terbatas kepada sistem konstitusi. Dalam sistem Monarki; Raja (Sultan) sebagai pusat kekuasaan.Tidak ada pemisahan antara Raja dan Umum. Semua sumber-sumber agraria milik Raja (Sultan). Disebut tanah negara, tanah sultan atau sebutan lain. Raja membagikan-bagikan sumber-sumber agraria kepada keluarga raja, kalangan bangsawan, birokrat kerajaan yang merupakan hak turun temurun, meskipun masih kepemilikan tidak berganti

Pajak dan Tenaga Kerja


Dari distribusi tanah itu lahir konsep pemungutan pajak dan layanan tenaga kerja Wilayah pemungutan pajak ini semakin meluas ketika Raja membangun sistem hidraulik (irigasi) untuk membuka lahan-lahan baru. Untuk mengontrol saluran irigasi maka raja mengangkat raja-raja vasal; yang melakukan pemungutan pajak dan tenaga kerja. Seringkali melahirkan konflik-aliansi antara Raja (pusat) dan Raja-raja vasal (pinggiran).

Ikatan politis
Struktur feodalisme melahirkan bentuk pola produksi (sistem bagi hasil dan layanan tenaga kerja) serta hubungan patron-klien, antara penguasa tanah dengan penggarap tanah. Struktur patron-klien itu selanjutnya dikukuhkan dalam sistem budaya feodalisme (Priyayi)

Konteks Feodalisme di Indonesia Sistem Apanage


Sistem Apanage dikenal dalam sistem kerajaan di Jawa (Mataram), terutama dimulai dari jaman Palihan Negarai 1757 Berdasarkan teori milik Raja-Sultan (vorstendomain). Sultan adalah pemilik tanah seluruh kerajaan. Dalam pemerintahannya, Sultan dibantu oleh para birokrat, yang terdiri dari sentana dan Narapraja. Mereka diberi tanah apanage atau tanah lungguh sebagai imbalan jasanya. Tanah-tanah apanage diberikan pada para Patuh sifatnya semenetara dengan hak nggadhuh.

Tanah Narawita
Jenis tanah di Kasuanan dan Mangkunegaran: 1. Bumi Narawita, tanah yang menghasilkan sesuatu yang ditentukan dan diperlukan oleh Sultan. Terdiri dari : Bumi Pamajegan yang hasilkan pajak uang. Bumi Pangrembe yang khusus ditanami padi untuk keperluan istana. Bumi gladhag, tanah yang penduduknya diberi tugas transportasi.

Tanah Lungguh
2. Bumi Lungguh atau tanah Apanage yaitu tanah gadhuhan yang diberikan pada kerabat (sentana) dan narapraja berupa gaji berupa bumi palungguhan. Para patuh diberikan hak untuk memungut sebagaian hasil tanah apanagenya. Satuan ukuran tanah disebut Jung (28.386 m persegi) yang terdiri dari empat cacah (unit kerja dalam menggarap tanah). Cacah berarti jumlah orang atau jumlah sikep Para Patuh tinggal di Kutanegara, untuk mewakilinya di wilayah tanah apanagenya diangkat Bekel yang juga dipercaya memungut hasil bumi dari petani. Bekel bertugas memungut pajak(sempit) dan menyediakan tanah dan tenaga kerja (luas) dalam Kebekelannya

SRTUKTUR APANAGE
1. 2. 3. 4. Sultan, pemilik tanah di kerajaan Patuh, mendapatkan hak nggaduh Bekel, mewakili Para Patuh untuk menarik pajak dan tenaga kerja Sikep atau Kuli Kenceng, petani yang menguasai dan menggarap tanah lungguh (membayar pajak dan tenaga kerja pada Patuh) 5. Kuli Kendho (kuli setengah kenceng), sedang menunggu giliran tanah garapan 6. Kuli Indhung atau tlosor, tenaga kerja yang dimanfaatkan Kuli kenceng dengan menanggung makan dan tempat tinggal 7. Wong anginan, yang tidah memiliki tanah dan tidak ngindung

Pajak dan Tenaga Kerja


Sikep membayar pajeg, dengan perhitungan uang di setiap Jung. Pundhutan, pajak atas permintaan Patuh pada upacara perkawinan, kelahiran, khitanan, dan kematian. Dikenal dengan Bhekti untuk memperkuat loyalitas Sikepa yang tidak bayar pajak harus menyatakajn seleh (menyerah), kadhedehel (dicabut garapannya) atau kathundhung (dikeluarkan dari Desa) Selain membayar pajak, Sikep juga melakukan Gawe atau kerja wajib : Karigan (perbaikan sarana produksi); Gugur Gnung (perbaikan infrstruktur desa0, kerigaji (kerja wajib untuk Sultan atau Patuh); Intiran (kerja wajib untuk perkebunan)

Tanah Apanage dan Perubahan Sosial


Kolonial melakukan reorganisasi kekuasaan Agraria pada tahun 1912. Kekuasaan tanah oleh Patuh dengan hak anggaduh telah dihapuskan dan hak tanah diberikan pada petani dengan hak adarbe (hak milik) secara individual. Petani memiliki Sanggan yang dilindungi tata cara desa (dilarang menjual), Namun dalam perkembangan selanjutnya memunculkan privatisasi (individualisasi) tanah, selanjutnya komersialisasi tanah. Kosekuensinya muncul kosentrasi kepemilikan tanah, dimana tanah-tanah petani dijual dan dibeli oleh Bekel dan orang-orang kaya di desa. Kerja wajib juga berubah menjadi komersialisasi tenaga kerja dengan dikenalkannya sistem upah.

Kosentrasi Tanah dan Munculnya Feodalisme Baru


Struktur politik Monarki tidak eksis lagi digantikan bentuk pemerintahan lain (Republik). Dalam konteks baru, digunakan istilah NeoFeudalism (feodalisme baru) yang mengacu pada masih bertahannya sifat-sifat feodal dalam masyarakat. Misalnya: sistem hubungan penguasa/ pemilik tanah dengan petani penggarap, pola hubungan sosio-politik.

Kosentrasi Tanah dan Ketimpangan Distribusi Tanah


Pola distribusi sumber-sumber agraria, tanah dalam masyarakat - siapa yang memiliki/ menguasai apa? Seberapa besar?Kosentrasi kepemilikan Tanahlahir istilah Landlordpenguasa tanah yang luas (Hacienda, Latifunda). Dalam area itu bekerja para petani penggarap (tuna Kisma) ketimpangan distribusi. Contoh: Tingkat Ketunakismaan dan penyakapanpenyewaan (tenancy Rates) di desa di Jawa. Ketunakismaan berjalan sejajar dengan tingkat penyakapan.

Struktur Hubungan Agraria


Bukan semta-mata statistik kepemilikan tanah. Lacak struktur hubungan antar subyek dalam kaitan dengan sumber agraria hubungan antara pemilik tanah dengan petani penggarap sistem bagi hasil maupun kewajiban petani penggarap Perlu dilacak kelembagaannya: Sistem pengupahan: sistem upah borongan, sistem upah harian Sambatan, Tukar tenaga, gotong royong, Lihat tulisan: Penguasaan Tanah dan Kelembagaan; Gunawan Waradi dan Makali.

Struktur Politik dan Pola Agraria


Struktur politik yang terbangun dari pola hubungan itu gunakan analisis elite: Posisi, Reputasi dan dalam proses pengambilan keputusan di sbeuah wilayah tertentu, seperti desa.

You might also like