You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Manifestasi klinis berupa demam, nyerio otot, dan/ atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemorragik. Pada demam berdarah (DBD) terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock sindrom) adalah demam berdarah yang ditandai oleh renjatan/shock.1,2 Epidemi dengue dilaporkan sepanjang abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh di Amerika, Eropa Selatan, Afrika Utara, Mediterania Timur, Asia dan Australia dan pada beberapa pulau di Samudra India, pasifik selatan dan tengah serta Karibia. Dengue Fever telah meningkat sepanjang 40 tahun, dan pada tahun 1996, 2500-3000 juta orang tinggal di area yang secara potensialberesiko terhadap penularan virus dengue. Setiap tahun, diperkirakan terdapat 20 juta kasus infeksi dengue, mengakibatkankira-kira 24 juta kematian.3 Indonesia dimasukkan dalam kategori A dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization (WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat DBD, khususnya pada anak.1-3 Data Departemen Kesehatan RI menunjukkan pada tahun 2006 (dibandingkan tahun 2005) terdapat peningkatan jumlah penduduk, provinsi dan kecamatan yang terjangkit penyakit ini, dengan case fatality rate sebesar 1,01% (2007).4

BAB II ETIOLOGI

Penyakit DBD disebabkan oleh Virus Dengue, yang termasuk dalam genus Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4x106.1 Terdapat 4 serotipe virus yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow Fever, Japanese Encephalitis, dan West Nile virus. 1

BAB III EPIDEMIOLOGI

Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995( dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2 % pada tahun 1999.1 Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu : 1 1. Vektor : perkembang biakan vector, kebiasaan mengigit, kepadatan vector di lingkungan, transportasi vector dari satu tempat ke tempat lain. 2. Pejamu : terdapat penderita di lingkungan/ keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia, jenis kelamin. 3. Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.

BAB IV PATOGENESIS

Walaupun demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue( DBD) disebabkan oleh virus yang sama, tapi mekanisme patofisiologisnya yang berbeda yang menyebabkan perbedaan klinis. Perbedaan yang utama adalah pada peristiwa renjatan yang khas pada DBD. Renjatan itu disebabkan karenakebocoran plasma yang diduga karena proses imunologi. Pada demam dengue hal ini tidak terjadi.3 Manifestasi klinis demam dengue timbul akibat reaksi tubuh terhadap masuknya virus. Virus akan berkembang di dalam peredaran darah dan akan ditangkap oleh makrofag. Segera terjadi viremia selama 2hari sebelum timbul gejala dan berakhir setelah lima hari gejala panas mulai. Makrofag akan segerabereaksi dengan menangkap virus dan memprosesnya sehingga makrofag menjadi APC(AntigenPresenting Cell). Antigen yang menempel di makrofag ini akan mengaktifasi sel T-Helper dan menarikmakrofag lain untuk memfagosit lebih banyak virus. Thelper akan mengaktifasi sel T-sitotoksik yangakan melisis makrofag yang sudah memfagosit virus. Juga mengaktifkan sel B yang akan melepasantibodi. Ada 3 jenis antibodi yang telah dikenali yaitu antibodi netralisasi, antibodi hemagglutinasi,antibodi fiksasi komplemen.3 Proses diatas menyebabkan terlepasnya mediator-mediator yang merangsang terjadinya gejala sistemik seperti demam, nyeri sendi, otot, malaise dan gejala lainnya. Dapat terjadi manifetasi perdarahankarena terjadi aggregasi trombosit yang menyebabkan trombositopenia, tetapi trombositopenia ini bersifat ringan.3 Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis infeksi dengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous infectio theory) dan hipotesis immune

enhancementMenurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh Suvatte,1997, sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit, proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue. Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi yang selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini

terbukti dengan peningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga serosa. 4 Hipotesis immune enhancement menjelaskan menyatakan secara tidak langsung bahwa mereka yang terkena infeksi kedua oleh virus heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada akan mengenali virus lain kemudian membentuk kompleks antigen-antibodi yang berikatan dengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama makrofag. Sebagai tanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.4

Gambar 1 : secondary heterologous dengue infection

BAB V PATOLOGI

Pada autopsi, semua pasien yang telah mati karena DBD menunjukkan suatu tingkatan hemoragi, berdasarkan frekuensi hemoragi ditemukan pada kulit dan jaringan subkutan, pada mukosa saluran gastrointestinal, dan pada jantung serta hati. Hemoragi gastrointestinal mungkin hebat, tetapi hemoragi subarachnoid atau serebral jarang terjadi. Efusi serosa dengan kandungan protein tinggi (kebanyakan albumin) umumnya terdapat pada rongga pleural dan abdomen, tetapi jarang terjadi pada rongga perikardial. Pada kebanyakan kasus fatal, jaringan limfosit menunjukkan peningkatan aktifitas system limfosit B, dengan priliferasi aktif sel-sel plasma dan sel-sel limfablastoid, dan pusat germinal aktif. Pada hati, terdapat nekrosis fokal dari sel-sel hepar, pembengkakan, adanya Councilman dan nekrosis hialin dari sel-sel Kupfer. Pemeriksaan patologis terhadap sumsum tulang, ginjal, dan kulit telah dilakukan pada pasien yang mengalami DBD non-fatal. Pada sumsum tulang, tampak depresi semua sel-sel hematopoetik, yang secara cepat membaik dengan penurunan demam. Studi pada ginjal telah menunjukkan tipe glomerulus kompleks imun yang ringan, yang akan membaik setelah kira-kira 3 minggu dengan tidak ada perubahan residual. Biopsi terhadap ruam kulit telah menunjukkan edema perivaskular dan mikrovaskular terminal papilla dermal dan infiltrasi limfosit dan monosit. Fagosit mononuclear pembawa antigen telah ditemukan pada sekitar edema ini. Deposisi komplemen serum, immunoglobulin, dan fibrinogen pada dinding pembuluh darah juga telah ditemukan. 3

BAB VI MANIFESTASI KLINIS

Demam berdarah umumnya ditandai oleh demam tinggi mendadak selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Pasien juga mengeluh sakit kepala hebat, rasa sakit di belakang mata, otot dan sendi, hilangnya napsu makan, mual-mual dan ruam. Demam berdarah yang lebih parah ditandai dengan demam tinggi yang bisa mencapai suhu 40-41C selama dua sampai tujuh hari, wajah kemerahan, dan gelaja lainnya yang menyertai demam berdarah ringan. Berikutnya dapat muncul kecenderungan pendarahan, seperti memar, hidung dan gusi berdarah, dan juga pendarahan dalam tubuh. Pada kasus yang sangat parah, mungkin berlanjut pada kegagalan saluran pernapasan, shock dan kematian.1,2,3,4,5

BAB VII DIAGNOSA

Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan lelah.1 Demam dengue merupakan demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut :1,2,6 1. Nyeri kepala 2. Nyeri retro orbital 3. Mialgia/ artralgia 4. Manifestasi perdarahan (ptekie atau uji bending positif) 5. Leukopenia dan pemeriksaan serologi dengue positif atau ditemukan pasien DD/DBD yang sudah dikonfirmasi pada lokasi dan waktu yang sama. Demam Berdarah Dengue (DBD) berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal dibawah ini dipenuhi : 1,2,6 1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik 2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut : Uji bending positif Ptekie, ekimosis, atau purpura Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain. Hematemesis atau melena.

1. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ul) 2. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut : Peningkatan hematokrit > 20 % setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau hipoproteinemia. Dari keterangan diatas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD dan DBD adalah pada DBD ditemukan kebocoran plasma. Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu :2,4-7

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet. Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain. Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah,tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab, tampak gelisah. Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

BAB VIII DIAGNOSA BANDING

Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bila terdapat kesamaan klinis dengan demam tifoid, campak, influenza, chikungunya, dan leprasitosis.1

BAB IX PEMERIKSAAN PENUNJANG

Parameter laboratoris yang dapat diperiksa antara lain : 1. Leukosit : dapat normal atau menurun. Mulai hari ke 3 dapat ditemui limfasitosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit plasma biru (LPB) > 15 % dari jumlah total leukosit yang pada fase syok meningkat. 2. Trombosit : umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8. 3. Hematokrit : Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya peningkatan hematokrit 20 % dari hematokrit awal, umumnya dimulai pada hari ke 3 demam. 4. Hemostasis : Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau kelainan pembekuan darah. 5. Protein/albumin : Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran plasma. 6. SGOT/SGPT : dapat meningkat 7. Ureum, Kreatinin : bila didapatkan gangguan fungsi ginjal 8. Elektrolit : Sebagai parameter pemantauan pemberian cairan 9. Golongan darah : bila akan dilakukan transfuse 10. Imunoserologi dilakukan untuk pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.

BAB X PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga 6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dispepsia. Pemberian aspirin ataupun obat antiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari karena berisiko terjadinya perdarahan pada saluran cerna bagian atas (lambung/duodenum). Protokol pemberian cairan sebagai komponen utama penatalaksanaan DBD dewasa mengikuti 5 protokol, mengacu pada protokol WHO. Protokol ini terbagi dalam 5 kategori, sebagai berikut:1-7 1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok 2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat 3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20% 4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBD dewasa 5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa

Penanganan tersangka DBD tanpa syok4

Penanganan tersangka DBD tanpa syok4

Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat4

Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit > 20% 4

Penatalaksanaan sindrom syok dengue pada dewasa4

BAB XI PROGNOSIS

Kematian akibat demam dengue hamper tidak ada. Pada DBD/DSS mortalitas cukup tinggi. Penelitian pada orang dewasa di Surabaya, Semarang, dan Jakarta menunjukkan bahwa prognosis dan perjalanan penyakit umumnya lebih ringan dari pada anak-anak.2

BAB XII KESIMPULAN

Demam berdarah adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue, yang ditularkan oleh nyamuk. Manifestasi klinis berupa demam, nyerio otot, dan/ atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemorragik. Pada demam berdarah (DBD) terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock sindrom) adalah demam berdarah yang ditandai oleh renjatan/shock. Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat, dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Demam berdarah umumnya ditandai oleh demam tinggi mendadak selama 2-7 hari, yang diikuti oleh fase kritis selama 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi mempunyai resiko untuk terjadi renjatan jika tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Pasien juga mengeluh sakit kepala hebat, rasa sakit di belakang mata, otot dan sendi, hilangnya napsu makan, mual-mual dan ruam.

DAFTAR PUSTAKA 1. Suhendro dkk. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI : 2006 : 1709-1713 2. Mansjoer Arif dkk. Demam Dengue. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta : Media Aesculapius FKUI : 2004 : 428-433 3. WHO. Demam Berdarah Dengue : Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian. Jakarta : EGC : 1999 4. Chen Khie dkk. Diagnosis dan Terapi cairan pada Demam Berdarah Dengue. Dalam : Medicinus. Edisi Maret-Mei. Jakarta : 2009 5. Isselbacher J Kurt dkk. Hemorrhagic Fever. Dalam : Harrisons Principles of Internal Medicine. 14th edition. United State of America : McGraw-Hill: 1998 : 1141-1143. 6. Mubin A Halim. Demam Berdarah Dengue. Dalam : Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam Diagnosis dan Terapi. Jakarta : EGC. 2001. 5-8 7. Murwani Arita. Perawatan Pasien Dengue Hemorrhagic Fever (Demam Berdarah). Dalam : Perawatan Pasien Penyakit Dalam. Yogyakarta : Mitra Cendikia Press. 2009. 125-132

You might also like