Professional Documents
Culture Documents
z W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
P e n g a n t a r R e d a k s i
PengunLur ReduksI
Pembaca yang budiman,
Selamat bertemu kembali dengan Warta Geologi
(WG) dalam penerbitan Volume 3 Nomor 4, edisi
Desember 2008. Seperti edisi-edisi sebelumnya dalam
edisi ini kami menyajikan rubrik-rubrik Editorial,
Geologi Populer, Lintasan Geologi, Geo Fakta,
Profil, Seputar Geologi, dan Layanan Geologi.
Editorial WG kali ini mengupas mengenai dua
mata sisi uang penebangan hutan, yaitu sisi
pertama kekeringan yang melanda pada musim
kemarau, dan sisi kedua longsor serta banjir pada
musim penghujan. Selanjutnya dalam rubrik
Geologi Populer kami menyajikan tulisan-tulisan
Fenomena Semburan Lumpur di Indonesia: Edukasi
bagi masyarakat sekitar Sumur Migas di Kecamatan
Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir (Ol), CBM
Gas Methan dalam Batubara Calon Bahan Bakar
Masa Depan, dan Kaldera Supervolcano Toba.
Selanjutnya dalam rubrik Lintasan Geologi para
pembaca dapat menyimak tulisan yang berjudul
Kawah Ijen Penghasil Belerang Terbesar. Geo
Fakta menyajikan bagian pertama dari dua artikel
berjudul Geomedika Pengaruh debu mineral pada
kesehatan dan sosok geologis dunia bernama
Alfred Russel Wallace. Adapun dalam profil kita kali
ini WG menurunkan tulisan tentang sosok geologis
wanita asal Yogyakarta, ibu Sri Sumarti.
Pembaca yang budiman,
Artikel Fenomena Semburan Lumpur di Indonesia
merupakan tulisan Edy Sutriyono dkk. yang
melaporkan upaya edukasi melalui penyuluhan
kepada masyarakat di Kecamatan Rambang Kuang,
Kabupaten Ogan Ilir. Kegiatan edukasi ini dilakukan
berkaitan dengan usaha pengaktifan kembali
sumur-sumur minyak di daerah tersebut dan adanya
kekhawatiran yang muncul di kalangan masyarakat
dengan semburan lumpur yang terjadi di daerah
lain di Indonesia. Kegiatan ini patut diteladani
oleh daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki
potensi sumur minyak dan semburan lumpur.
Artikel CBM Gas Methan dalam Batubara
merupakan karya tulis Siti Sumilah Rita Susilawati.
Penulis secara persuasif menguraikan apa itu Coal Bed
Methane (CBM), bagaimana proses terbentuknya,
bagaimana cara eksploitasinya, dan apa manfaatnya.
Di akhir tulisan, penulis menyinggung penyelidikan
CBM di Indonesia, potensinya, dan peranan Badan
Geologi dalam kaitan pengkajian potensi CBM ini.
Igan S. Sutawidjaja kembali hadir dalam WG
kali ini dengan tulisannya yang berjudul Kaldera
Suvervolcano Toba. Penulis mencoba menguraikan
secara singkat karakteristik dan teori pembentukan
kandera Toba.
Artikel Kawah Ijen Penghasil Belerang Terbesar
karya SR Wittiri dan Sri Sumarti menyajikan
kawah di Gunung Ijen yang menjadi penghasil
belerang terbesar di Indonesia. Pada akhir tulisan
mencuat permasalahan menarik, yaitu bagaimana
menormalkan air kawah dengan pH 2,5-3? Ternyata
serangkaian percobaan yang dilakukan oleh tim
geokimia BPPTK cukup berhasil menormalkan air.
Artikel berjudul Geomedika, pengaruh debu
mineral pada kesehatan merupakan terjemahan
Joko Parwata dari beberapa sumber di Internet.
Tulisan ini mengetengahkan munculnya disiplin ilmu
baru bernama Geomedika yang mengkaji efek-efek
proses geologis pada kesehatan makhluk hidup
dengan mengupas salah satu kasus debu mineral.
Profil WG edisi ini menampilkan kisah wanita
Indonesia yang menjadi geologis karena Gunung
Merapi. Sri Sumarti, saat ini menjabat sebagai
Kepala Seksi Gunung Merapi pada Balai Penyelidikan
dan Pengembangan Kegunungapian Yogyakarta,
PVMBG, Badan Geologi. Semangat hidupnya untuk
menyelesaikan segala macam rintangan yang
menghalangi jalan hidupnya dapat pembaca simak
dalam profil ini. Adapun rubrik Layanan Geologi
kali ini diisi dengan informasi Laboratorium Kimia
BPPTK, PVMBG. Terakhir dalam rubrik Seputar
Geologi kita akan menyimak beberapa kegiatan
Badan Geologi antara bulan November hingga
Desember 2008. Berturut-turut dilaporkan acara
Penyuluhan Geologi untuk Guru-Guru Geografi se-
Kabupaten Pacitan jawa Timur dan Launching Peta
dan Seminar Gaya Berat Indonesia.
Pembaca yang budiman,
Dengan terbitnya WG edisi ini maka berakhir pula
terbitnya WG untuk tahun 2008 ini. Kami harap
di tahun depan WG kita ini semakin kaya akan isi
dan berbobot maknanya. Kami mengucapkan
terima kasih kepada para penulis yang telah
menyumbangkan tulisannya di WG kali ini, terutama
kepada Edy Sutriyono dkk dari Universitas Sriwijaya.
Akhir kata, selamat menikmati Warta Geologi dan
sampai jumpa tahun depan. n Redaksi
q W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
E d i t o r i a l
Kesalahan besar yang sering menerpa suatu kaum
adalah tidak pernah belajar dari suatu kejadian, tidak
pernah belajar dari pengalaman. Kesalahan tersebut
menghasilkan tragedi yang berkali-kali terjadi.
Contoh kecil yang sebenarnya sangat disadari
oleh semua pihak, bahwa menebang hutan secara
semena-mena akan menghasilkan dua sisi mata
uang. Sisi pertama adalah musim kemarau yang
akan menghasilkan kekeringan yang kerontang
karena tidak ada cadangan air tanah, sedangkan sisi
lainnya akan menghasilkan longsor dan banjir yang
membawa lumpur beserta pepohonan.
Apabila menyimak Peta Kerentanan Gerakan Tanah,
kita akan terkesima setelah menyadarinya bahwa
hampir 75 % bumi Indonesia rentan akan gerakan
tanah (longsor). Posisi geografis Indonesia yang
diapit oleh tiga mega lempeng dunia yang sering
dituding sebagai salah satu pemicunya. Posisi
tersebut menghasilkan banyak gunungapi, morfologi
yang berbukit dan tentu saja, kondisi batuan yang
tidak kompak.
Lelah mata kita menyimak berbagai informasi dari
beragam media massa yang menayangkan berita
kekeringan, banjir, longsor. Ada kalanya lokasi
kejadiannya di tempat yang sama terjadi setiap
tahun.
Belum lama ini kita menyaksikan longsor yang disusul
dengan banjir yang merendam suatu perkampungan
di Provinsi Sulawesi Barat. Ada pemandangan yang
tidak lazim di sana, pada salah satu sekolah yang
terlanda bukan saja terendam oleh lumpur yang
tebal, tetapi juga pepohonan mulai ranting hingga
batang. Hanya ada satu penjelasan yang logis,
longsor yang disusul banjir tersebut karena ulah
penebangan hutan yang semena-mena.
Dua Sisi Mata Uang Penebangan Hutan antara
Kering-kerontang dan Banjir
Hutan tidak saja berfungsi sebagai paru-paru dunia,
tetapi sekaligus sebagai pengikat tanah dan pada
gilirannya akan menangkap aliran air di permukaan
untuk disimpan di dalam akuifer yang akan mengalir
keluar ketika kemarau datang.
Hidup dengan mengacu pada hasil kerja keras para
geolog dan pecinta lingkungan adalah langkah awal
yang patut. Adalah hal yang tidak bijaksana apabila
berdiri menuding bahwa posisi geografis adalah
penyebab sumua bencana yang terjadi. Kondisi
tersebut adalah given yang sudah tentu tidak
bisa direkayasa, apalagi merubahnya. Yang dapat
dilakukan adalah berlaku bijak dalam menata dan
mempergunakannya.
Peta Kerentanan Gerakan Tanah telah tersedia,
Daerah Rawan Banjir sudah pasti, tetapi tidak sedikit
orang yang menjadikannya sebagai lokasi favorit
sebagai tempat tinggal.
Alangkah sulitnya berfikir dan bertindak menghindar
dari tragedi yang sudah berkali-kali menerpa. Alhasil,
setiap kemarau datang tanah menjadi retak karena
ketiadaan air tanah dan memasuki musim hujan
retakan tanah terisi air dan memicu tanah bergerak
yang menghasilkan longsor. Mengapa kita tidak mau
belajar dari kesalahan dan pengalaman? nSR Wittiri
EdILorIuI
6 W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
B
encana semburan lumpur belakangan
ini telah menjadi perhatian masyarakat
Indonesia, khususnya masyarakat yang
tinggal di sekitar lapangan migas di Sumatera
Selatan. Dalam upaya mengantisipasi kejadian
alam seperti itu diperlukan edukasi melalui
penyuluhan mengenai semburan lumpur agar
masyarakat mendapat wawasan yang lebih
luas, sehingga kepanikan yang berlebihan dapat
dihindari. Penyuluhan dilakukan di Kecamatan
Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir, di daerah
tersebut sedang dilakukan pengaktifan kembali
sumur-sumur minyak. Untuk mengetahui
keberhasilan kegiatan ini, yang berupa
meningkatnya pemahaman masyarakat mengenai
fenomena semburan lumpur, dilakukan melalui
kuesioner yang diberikan sebelum dan sesudah
penyuluhan. Berdasarkan hasil evaluasi diketahui
adanya peningkatan pemahaman masyarakat
mengenai fenomena semburan lumpur yang
terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Fenomena Semburan
Lumpur di Indonesia:
Edukasi bagi Masyarakat di sekitar Sumur Migas
di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir (OI)
Oleh: Edy Sutriyono
1
, Budhi Setiawan
2
, Budhi K.
Susilo
1
, Ika Juliantina
2
, Endang Wiwik D.H.
1
G e o l o g i P o p u l e r
6 W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
1. Jurusan Teknik Pertambangan, Universitas Sriwijaya E-mail: edy_
sutriyono@yahoo.com
2. Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sriwijaya
Jl. Raya Prabumulih KM 32 Indralaya, Sumatera Selatan E-mail:
budhi@wgtt.org
;
GeoIogI PopuIer
Pendahuluan
Keberadaan lapangan migas di suatu daerah
diharapkan dapat berkontribusi bagi pendapatan
asli daerah (PAD). Daerah Tanjung Tiga Timur di
Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan Ilir
memiliki sumur-sumur migas yang ditinggalkan
sementara kegiatan operasinya (temporary
abandonment). PT Pertamina EP Region Sumatera
berkerjasama dengan PT Formasi Sumatera Energi
berupaya untuk mengaktifkan kembali sumur-
sumur migas yang ditinggalkan tersebut. Upaya
pengaktifan kembali sumur migas perlu dibarengi
dengan pengelolaan lingkungan yang baik,
termasuk sosialisasi kepada masyarakat setempat
sehubungan dengan pengaktifan kembali
program tersebut.
Perlu disadari bahwa eksploitasi migas seringkali
menimbulkan dampak lingkungan yang secara
langsung ataupun tidak langsung dirasakan
oleh masyarakat sekitar. Pencemaran lingkungan
akibat zat-zat kimia dari tumpahan minyak,
semburan liar (blowout) berupa lumpur atau gas
methana (CH
4
), dan kebocoran pipa minyak/gas
adalah contoh-contoh permasalahan lingkungan
secara fisik. Dampaknya secara non-fisik yang
terkait dengan aspek sosial-ekonomi dan
psikologi masyarakat sering kali lebih serius dan
bersifat lebih kompleks atau rumit, terutama
dalam upaya pemulihan atau recovery. Kasus
semburan lumpur Sidoarjo di Jawa Timur atau
yang dikenal sebagai LUSI yang terjadi sejak tahun
2006 diduga terkait dengan kegiatan pemboran
ekplorasi migas yang dilakukan oleh PT Lapindo
Brantas (Perusahaan Swasta Nasional).
Semburan lumpur di Desa Lubai Persada,
Kecamatan Lubai, Kabupaten Muara Enim
(Sumatera Selatan) yang terjadi pada bulan April
2008 di stasiun kompresor gas Merbau (Mbu) 01
milik PT Pertamina EP Region Sumatera merupakan
contoh lain bencana yang terkait dengan aktifitas
eksploitasi migas. Kedua fenomena itu telah
menimbulkan dampak negatif yang dirasakan
oleh masyarakat setempat. Fenomena serupa
bukannya tidak mungkin akan didapatkan juga
di Kabupaten Ogan Ilir, terutama jika dilihat
dari tatanan tektoniknya, yaitu lapangan migas
di Muara Enim dan Ogan Ilir secara regional
keduanya berada pada South Sumatera back-arc
basin.
Publikasi secara luas bencana semburan lumpur
di beberapa daerah di Indonesia, khususnya
yang terjadi di Kabupaten Muara Enim, tentunya
telah menarik perhatian dan memberikan
dampak psikologis sebagian masyarakat yang
wilayahnya terdapat sumur migas. Dalam
rangka mengantisipasi kejadian alam seperti di
Kabupaten Muara Enim, masyarakat di Kecamatan
Fenomena LUSI
Model mud volcano (dari Prasetyo, 2007).
Peta tektonik Sumatera. Kabupaten OI dan Kabupaten Muara Enim terletak di
South Sumatera Basin (modifkasi dari Sutriyono, 1998).
8 W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Rambang Kuang, maka Kabupaten Ogan Ilir
perlu mendapatkan edukasi melalui penyuluhan
mengenai fenomena semburan lumpur di
beberapa daerah di Indonesia agar mereka
mendapatkan wawasan yang lebih luas tentang
hal itu, sehingga kepanikan yang berlebihan dapat
dihindari jika di daerahnya terjadi hal yang serupa.
Lebih jauh lagi, pemahaman yang cukup tentang
kejadian alam tersebut diharapkan masyarakat
dapat turut berperan aktif dalam menangani
permasalahan yang ada, termasuk penanganan
pengungsi, penyelamatan harta miliknya, dan
dampak kemasyarakatan lainnya.
Tinjauan Pustaka
Indonesia dikenal sebagai daerah ring of fire
di kawasan Asia-Pasifik merupakan wilayah yang
rentan terhadap bencana alam. Fenomena alam
yang hingga kini menjadi kontroversi adalah
LUSI. Kemunculan LUSI menjadi kontroversi
diduga karena adanya muatan politis yang
menyertainya, sehingga sulit bagi pemerintah
untuk menyatakan apakah LUSI itu sebagai
bencana alam (natural disaster) ataukah bencana
yang diakibatkan oleh aktifitas pemboran
sumur eksplorasi migas yang dilakukan oleh PT
Lapindo Brantas. Terlepas dari kontroversi yang
terkait dengan kepentingan politik, LUSI, oleh
para ahli geologi dipandang sebagai fenomena
mud volcano atau gunung api lumpur, yang
mengalami erupsi akibat aktivitas tektonik yang
terkait dengan penyusupan lempeng Indo-
Australia di bawah pulau Jawa.
Seperti telah disebutkan bahwa semburan
lumpur ternyata terjadi juga di beberapa
daerah di Indonesia, termasuk di Kabupaten
Indramayu (Jawa Barat) dan Kabupaten Muara
Enim (Sumatera Selatan). Kemunculan lumpur
di Indramayu dikaitkan dengan kegiatan seismik
yang dilakukan oleh PT Pertamina, sedang di
Muara Enim semburan lumpur merupakan gejala
blowout di sumur migas milik PT Pertamina
EP Region Sumatera yang telah dimatikan sejak
tahun 2002 (dalam sejarahnya, sumur itu pernah
mengalami blowout di tahun 2002).
Dalam kasus Muara Enim, PT Pertamina EP
Region Sumatera memberikan argumentasi
bahwa blowout dipicu oleh gerakan lempeng
Indo-Australia yang menyusup di bawah pulau
Sumatera ketika terjadi gempa tektonik di
Bengkulu, sehingga semen penyumbat sumur
retak dan mengakibatkan terjadinya semburan
lumpur. Berdasarkan Ali Syahbana (Asisten
Manager) PT Pertamina EP Region Sumatera,
kedalaman sumber semburan lumpur di daerah
ini adalah 27 meter (Sumatera Ekspres, 7 Mei
2008), oleh karena itu kasus ini dianggap
berbeda dengan LUSI yang memiliki kedalaman
cukup besar. Apapun faktor penyebab dari erupsi
lumpur di wilayah itu, namun satu faktor yang
dapat dipastikan yaitu adanya formasi lumpur
dengan kandungan gas cukup tinggi.
Secara tektonik, wilayah Kabupaten Ogan Ilir
dan Kabupaten Muara Enim keduanya berada
pada sistem South Sumatera back-arc basin, dan
daerah cekungan sedimen itu dikenal sebagai
penghasil minyak dan gas bumi. Berdasarkan
kesamaan lingkungan tektoniknya, kedua wilayah
kabupaten tersebut kemungkinan memiliki
kemiripan kondisi geologi.
Dalam konteks semburan lumpur, formasi
lumpur yang dijumpai di Kabupaten Muara Enim
kemungkinan didapatkan juga di Kabupaten
Ogan Ilir, hal ini dimungkinkan karena kedua
wilayah itu di masa lampau berada pada satu
sistem cekungan pengendapan, sehingga memiliki
kemiripan sejarah geologi. Tentu saja, skenario
ini memerlukan penelitian lebih lanjut lagi untuk
membuktikan bahwa formasi lumpur bertekanan
tinggi dijumpai juga di wilayah Kabupaten Ogan
Ilir.
Materi dan Metode Pelaksanaan
Kegiatan pengabdian masyarakat berupa edukasi
tentang fenomena semburan lumpur di Indonesia,
telah dilaksanakan di Kecamatan Rambang Kuang,
Kabupaten Ogan Ilir. Pemilihan lokasi didasarkan
atas pertimbangan banyaknya sumur migas
disekitar pemukiman penduduk didalam wilayah
ini. Untuk itu, dalam melaksanakan kegiatan ini
telah disusun:
a.Kerangka pemecahan masalah yaitu pemfokusan
kegiatan pada dampak sosial akibat fenomena
semburan lumpur di suatu daerah, sehingga
masyarakat disekitar sumur-sumur migas
memiliki kewaspadaan bencana terkait dengan
kemungkinan terjadi semburan lumpur.
b.Realisasi kegiatan pengabdian masyarakat
mengenai dampak sosial akibat fenomena
semburan lumpur diwujudkan dalam bentuk
edukasi dimaksudkan memberikan pengetahuan
tentang kondisi geologi daerahnya dan
pemahaman tentang fenomena semburan
lumpur bagi masyarakat yang tinggal disekitar
sumur-sumur migas di Kecamatan Rambang
Kuang, Kabupaten Ogan Ilir.
c.Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran
kegiatan hanya ditujukan bagi perwakilan dari
5 (lima) desa, mengingat keterbatasan tempat
di kantor kecamatan Rambang Kuang. Kelima
desa tersebut adalah Desa Tambang Rambang,
Sukananti, Tanjung Bulan, Kayu Ara dan Tanjung
Miring.
G e o l o g i P o p u l e r
q
GeoIogI PopuIer
d.Metode pelaksanaan kegiatan ini dilakukan
melalui ceramah dan tanya jawab. Untuk
mengetahui pemahaman masyarakat mengenai
materi edukasi maka dilakukan kuesioner sebelum
dan sesudah pelaksanaan.
Hasil dan Pembahasan
Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat
ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu
persiapan, pelaksanaan dan evaluasi yang
dilaksanakan melalui kuesioner kepada peserta
sebelum dan sesudah ceramah mengenai
semburan lumpur.
Persiapan Kegiatan
Pada tahap persiapan pelaksanaan kegiatan,
tim pelaksana melakukan kunjungan lapangan
sebanyak 2 kali. Pada kunjungan pertama, tim
pelaksana melakukan orientasi lapangan dengan
melihat secara langsung situasi kehidupan
masyarakat, sekaligus memperkenalkan diri,
melakukan sosialisasi rencana kegiatan dan
memohon perizinan dan bantuan fasilitas bagi
pelaksanaan kegiatan. Pada kunjungan kedua,
tercapai kesepakatan antara Tim Pelaksana dan
Bapak Camat terkait dengan waktu dan tempat
kegiatan.
Pelaksanaan Kegiatan
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat
dari LPM Universitas Sriwijaya dengan judul
Fenomena Semburan Lumpur di Indonesia:
Edukasi bagi Masyarakat di sekitar Sumur Migas
di Kecamatan Rambang Kuang, Kabupaten Ogan
Ilir dilaksanakan pada hari Kamis, 30 Oktober
2008 di Ruang Pertemuan, Kantor Kecamatan
Rambang Kuang. Kegiatan ini dihadiri oleh
peserta yang berasal dari 5 (lima) desa dimana
di wilayahnya terdapat sumur-sumur minyak
yang masih produksi, maupun sumur-sumur
yang sudah ditinggalkan (lebih dikenal sebagai
sumur tua). Peserta yang hadir dalam kegiatan ini
tercatat di daftar hadir sebanyak 37 (tiga puluh
tujuh) orang.
Adapun inti dari kegiatan ini adalah edukasi bagi
peserta melalui ceramah. Pelaksanaan kegiatan
pengabdian kepada masyarakat ini dipandu
langsung oleh Camat Rambang Kuang. Ceramah
ini menjelaskan tentang kondisi tatanan tektonik
di Indonesia dan keterkaitannya dengan fenomena
terbentuknya gunung lumpur. Hal yang menarik
adalah penjelasan tentang fenomena LUSI dan
kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama
di Sumatera Selatan, khususnya di Kecamatan
Rambang Kuang.
Evaluasi Kegiatan
Pada pelaksanaan kegiatan ini, peserta telah
diminta untuk mengisi kuisioner sebanyak dua kali,
yakni sebelum dan sesudah ceramah. Kuisioner
tersebut memuat sejumlah pertanyaan yang
dapat dikelompokkan dalam tiga bagian. Pertama,
pertanyaan yang mengukur tingkat pengetahuan
dan persepsi peserta tentang semburan lumpur
Pengamatan lapangan : nyala gas bumi melalui pipa dekat pemukiman penduduk.
1o W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
di Indonesia; kedua, pertanyaan yang mengukur
tingkat pengetahuan peserta tentang dampak
sosial dan upaya penanggulangan semburan
lumpur di Indonesia; dan ketiga, pertanyaan
untuk lebih memahami persepsi peserta terhadap
upaya mengaktifkan sumur minyak di daerah ini.
Pada umumnya peserta telah mengetahui adanya
kejadian semburan lumpur di Sidoarjo.
Informasi penyebab kejadian lumpur oleh sebagin
besar peserta juga telah diketahui. Sebelum
penyuluhan, umumnya peserta berpendapat
bahwa kejadian semburan lumpur ini diakibatkan
oleh kegiatan yang dilakukan oleh PT Lapindo
Brantas.
Setelah penyuluhan, hampir setengah dari peserta
berpandangan bahwa kejadian tersebut bukan
sepenuhnya kesalahan PT Lapindo Brantas.
Setelah penyuluhan peserta mempunyai
pandangan mengenai adanya pengaruh gempa
pada kejadian semburan lumpur tersebut. Peserta
juga memperoleh pengetahuan yang cukup
mengenai gunung lumpur di Sidoarjo. Peserta
telah mengetahui adanya semburan lumpur di
Muara Enim dan memahami penyebab terjadinya.
Selain itu, pendapat peserta juga berubah tentang
adanya pengaruh gempa Bengkulu terhadap
semburan lumpur di Muara Enim.
Setelah penyuluhan, peserta berpendapat bahwa
kejadian semburan lumpur di Muara Enim
berbeda dengan di Sidoarjo. Meski demikian,
peserta belum dapat menjelaskan perbedaan dan
persamaannya.
Umumnya peserta berpendapat bahwa semburan
lumpur bukan merupakan kejadian alam
biasa. Untuk itu diperlukan adanya peran serta
masyarakat dalam penanggulangan semburan
lumpur. Peserta juga berkeyakinan bahwa kejadian
tersebut merupakan peringatan dari Allah SWT
agar pemerintah lebih bijak dalam mengelola
kekayaan alam.
Peserta umumnya berpendapat bahwa kejadian
ini merupakan bukti bahwa masyarakat belum
dilibatkan dalam upaya pengelolaan lingkungan.
Sebagain besar peserta juga sependapat
perlunya peningkatan wawasan masyarakat
melalui kegiatan penyuluhan seperti yang telah
dilakukan.
Pada umumnya peserta telah mengetahui dampak
sosial akibat semburan lumpur dan memiliki
dampak yang sangat besar. Penyelesaian dampak
sosial ini merupakan hal yang sangat rumit dan
tidak mudah.
Setelah penyuluhan, peserta mengetahui upaya-
upaya yang dilakukan oleh perusahaan dan
pemerintah. Peserta juga berpandangan bahwa
sudah cukup serius dan tanggap menanggulangi
semburan lumpur Sidoarjo. Pembuatan tanggul-
tanggul aliran penahan lumpur dipandang efektif
untuk mencegah luapan lumpur oleh para peserta
setelah penyuluhan dilakukan.
Pasca penyuluhan sebagain besar peserta
berpendapat bahwa masyarakat telah mendapat
perlakuan yang memadai dari perusahaan dan
pemerintah. Pandangan peserta mengenai
peran serta masyarakat Sidoarjo dalam upaya
penanggulangan semburan lumpur terbagi
dua kelompok. Setengah dari peserta berubah
pandangan mengenai tuntutan masyarakat
kepada perusahaan dan pemerintah.
Peserta memandang berbeda dampak sosial akibat
semburan lumpur di Sidoarjo dan Muara Enim.
Peserta juga berpendapat bahwa dampak sosial
di Muara Enim tidak separah jika dibandingkan
dengan di Sidoarjo serta penanggulanganya jauh
lebih mudah. Peserta berpendapat Pertamina dan
pemerintah sudah serius menangani semburan
lumpur di Muara Enim dan masyarakat telah
berperan dalam upaya penanggulangannya.
Pandangan ini agak berbeda dengan kurang
dilibatkannya masyarakat dalam menangani
semburan lumpur di Muara Enim.
Sebagian besar peserta sependapat bahwa
pengaktifan sumur minyak akan meningkatkan
PAD dan diperlukan sosialisasi ke masyarakat
sekitar lokasi. Sebagian besar peserta juga
sependapat bahwa masyarakat tidak perlu
khawatir berlebihan tentang kemungkinan
terjadinya semburan lumpur tetapi masyarakat
perlu disiapkan untuk menghadapi kemungkinan
terjadinya semburan lumpur. Peserta sependapat
bahwa masyarakat perlu dibekali pengetahuan
G e o l o g i P o p u l e r
Kesepakatan bersama dengan Bapak Camat terkait dengan waktu dan tempat kegiatan.
11
Camat dan Sekcam mengapit Dr. Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. dan Ir. Ika Juliantina, M.S.
Camat, Aprizal Hasyim, S.Sos., M.M. membuka dan sekaligus memandu
pelaksanaan kegiatan.
Dr.Ir. Edy Sutriyono, M.Sc. sedang memberikan ceramah yang mengedukasi
masyarakat tentang tatanan tektonik dan fenomena gunung lumpur di Indonesia.
Tampak peserta sedang memperhatikan slide yang menggambarkan sebaran
genangan semburan lumpur di Sidoarjo.
yang memadai tentang penanggulangan
semburan lumpur dan pengaktifan sumur harus
dilakukan secara terbuka dan bertanggung
jawab.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat di
Kecamatan Rambang Kuang berupa edukasi
tentang fenomena semburan lumpur di Indonesia
berdasarkan pelaksanaan dan hasil analisis
statistik dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Masyarakat di wilayah Kecamatan Rambang
Kuang, yang diwakili oleh perangkat desa dan
beberapa tokoh masyarakat dari Desa Tambang
Rambang, Sukananti, Tanjung Bulan, Kayu Ara
dan Tanjung Miring sangat antusias terhadap
pelaksanaan kegiatan edukasi ini.
2. Hasil kuesioner menunjukkan ada peningkatan
kemampuan peserta dalam memahami fenomena
semburan lumpur di Indonesia, dampak sosial
dan upaya penanggulangan semburan lumpur
serta persepsi tentang upaya mengaktifkan
kembali sumur minya di Kecamatan Rambang
Kuang Kabupaten Ogan Ilir.
Saran
Berdasarkan pengalaman dalam pelaksanaan
kegiatan pengabdian kepada masyarakat di
Kecamatan Rambang Kuang, maka dapat
disampaikan beberapa saran sebagai berikut:
1. Edukasi yang langsung menyentuh langsung
dengan kehidupan masyarakat sehari-hari perlu
dilakukan sampai ke semua lapisan masyarakat
yang lebih luas,
2. Tema tentang semburan lumpur, sangat
menarik perhatian masyarakat, untuk itu perlu
bagi LPM Universitas Sriwijaya untuk menjalin
kerjasama dengan PT Pertamina Region Sumatera
untuk melaksanakan kegiatan edukasi sebagai
bagian dari program CSR (Corporate Social
Responsibility).n
GeoIogI PopuIer
1z W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
T
entu para pembaca sependapat
dengan saya bahwa kita ingin suatu
waktu Indonesia tidak mengalami
krisis energi, khususnya bahan bakar
minyak seperti yang selama ini kita alami.
Krisis energi mengakibatkan pemadaman
listrik, antrian gas dan minyak tanah dan
banyak lagi efek negatif sebagai akibatnya.
Penyebabnya karena harga bahan bakar
minyak (BBM) melonjak tajam. Pertanyaannya,
bisakah keinginan tersebut terwujud?
Jawabannya bisa, dengan mengurangi
ketergantungan kepada BBM.
Oleh: SS Rita Susilawati
CBM Gas Methan dalam
Batubara
Calon Bahan Bakar Masa Depan
G e o l o g i P o p u l e r
1z W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
1
Perbedaan Sumur Gas Konvensional dan Sumur CBM.
Ada beberapa pilihan pengganti sebagai alternatif,
salah satunya adalah beralih kepada batubara
dan bahan ini tersedia di bumi pertiwi Indonesia.
Batubara mengandung gas methan yang dikenal
dengan Coal Bed Methane (CBM). Pendatang
baru ini sering diartikan sebagai Calon Bahan
bakar Masa depan dan keberadaannya sangat
menjanjikan.
Mengenal Coal Bed Methane (CBM)
Coal bed methan adalah gas methan yang
terperangkap di dalam lapisan batubara. Gas
ini terbentuk secara alamiah dalam proses
pembentukan batubara (coalification). CBM
pertamakali dikenal karena keberadaannya
yang sering menimbulkan masalah dalam
penambangan batubara bawah tanah. Dalam
sejarah pertambangan batubara, kecelakaan
akibat ledakan gas tercatat telah banyak
memakan korban jiwa. Apabila gas methan
yang terakumulasi di bawah tanah terganggu
keberadaannya, misalnya terkena oksigen karena
proses penambangan, maka akan meledak. Selain
itu, gas ini juga beracun jika terhirup dalam
jangka waktu yang cukup lama. Tetapi bila dikelola
dan dikemas dengan baik, maka gas methan ini
akan bermanfaat dan dapat diandalkan sebagai
alternatif pengganti BBM. CBM mulai dilirik dan
diproduksi secara komersial untuk kepentingan
sumber energi sekitar 15 hingga 20 tahun lalu,
terutama di negara-negara Amerika, Canada,
China dan Australia.
Secara prinsip antara CBM dan gas konvensional,
misalnya LPG tidak ada perbedaan karena
sama-sama berasal dari dalam bumi. Yang
membedakannya adalah batuan yang
melahirkannya atau source rock-nya. Yang
bertindak sebagai reservoir maupun source rock
dari CBM adalah lapisan batubara, sedangkan
pada gas bumi konvensional adalah batuan
yang berbeda atau bukan batubara. Walaupun
source rock gas bumi itu serpih bitumen ataupun
batubara misalnya, tetapi gas tersebut bermigrasi
keatas melalui lapisan batuan yang porous dan
terkumpul/terperangkap di dalam berbagai
tipe reservoir pada batuan lain, bisa batupasir,
batugamping ataupun batuan beku.
Hal lain yang membedakan antara keduanya
adalah dalam hal cara penambangannya. Jika
gas bumi bisa langsung dieksploitasi, tetapi pada
CBM tidak demikian. Sebelum gas ini mengalir
keluar, reservoir batubaranya harus direkayasa
terlebih dahulu.
Bagaimana CBM terbentuk?
Seperti telah dikemukan diatas, gas methan
dalam batubara terbentuk sebagai akibat proses
pembatubaraan. Proses pembentukan batubara
diawali oleh pertumbuhan tanaman pembentuk
batubara di lingkungan rawa-rawa. Tumbuhan
tersebut kemudian mati dan terbenam. Pada
akhirnya sisa-sisa tumbuhan yang mati tersebut
membentuk suatu lapisan dan terawetkan melalui
proses biokimia.
Dalam proses biokimia, aktivitas bakteri mengubah
sisa tumbuhan menjadi gambut (peat), lambat-
laun tertimbun oleh endapan-endapan lainnya
seperti batulempung, batulanau dan batupasir.
Dalam perjalanan waktu yang sangat lama,
puluhan juta tahun misalnya, gambut ini akan
mengalami perubahan sifat fisik dan kimia
GeoIogI PopuIer
Penambangan
Gas Konvensional
Penambangan CBM
Oil&
Gas Sales
No
Gas Sales
Produces
Lets of Water
1q W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Proses pembatubaraan dimulai dari penumpukan sisa-sisa tumbuhan yang telah mati di rawa-rawa. Sisa-sisa tumbuhan tersebut kemudian mengalami proses biokimia
sehingga membentuk gambut (peat). Seiring dengan berjalannya waktu dan dengan pengaruh panas dan tekanan dari lapisan-lapisan diatasnya, gambut kemudian berubah
menjadi lignit dan batubara (sumber http://waterquality.montana.edu/)
matter seperti methan, CO
2
dan air.
Gas methan di dalam batubara terdapat dalam
dua bentuk, terserap (adsorbed) dan bebas.
Methane yang terserap terdapat pada rangkaian
monomolecular di dalam batubara, sedangkan
methane dalam bentuk bebas terdapat di
dalam pori-pori dan rekahan-rekahan di dalam
batubara. Walaupun methan bukan satu-satunya
gas yang terdapat di dalam batubara, namun
keterdapatannya mencapai 80 95% dari total
gas yang ada. Gas lain yang umum terdapat di
dalam batubara adalah Ethane, Propane, Carbon
Dioxide (Co
2
), Alkanes, Nitrogen (N
2
), Argon
(Ar), Hydrogen (H
2
), Helium (He) dan Hydrogen
Sulphide (H
2
S).
Dalam lapisan batubara, methan terperangkap
dalam salah satu dari 3 bentuk ini ; 1) sebagai free
gas dalam rekahan-rekahan, 2). sebagai molekul
gas yang terserap (adsorbed) dalam mikropore
dan rekahan, dan 3) sebagai molekul yang larut
(dissolved) dalam air yang terdapat dalam lapisan
batubara.
Berbagai tipe batubara memiliki tingkat
penyerapan gas yang berbeda sehingga peringkat
batubara berperan penting dalam menentukan
kandungan gas dalam suatu lapisan. Kapasitas
penyerapan batubara meningkat seiring dengan
meningkatnya peringkat mulai dari lignit hingga
batubara bituminus, kemudian mengalami
penurunan pada batubara bituminus peringkat
tinggi hingga antrasit. Hal ini disebabkan pada
batubara peringkat tinggi, tekanan, suhu dan
akibat pengaruh tekanan (P) dan temperatur
(T), sehingga berubah menjadi batubara. Pada
tahap ini proses pembentukan batubara lebih
didominasi oleh proses fisika dan geokimia.
Sebagai gambaran untuk batubara dengan tebal
+2 m, dibutuhkan lapisan sisa-sisa tumbuhan
dengan ketebalan + 60m.
Selama proses pembentukan batubara, sejumlah
besar air dihasilkan bersama-sama dengan gas.
Pada proses pembatubaraan, gambut berubah
menjadi batubara lignit, bituminous sampai
batubara antrasit. Proses perubahan dari gambut
menjadi batubara dikenal dengan nama proses
pembatubaraan (coalification). Peringkat atau
tingkat kematangan batubara ini berhubungan
langsung dengan temperature, tekanan,
kedalaman burial, geothermal gradien dan juga
lamanya waktu pembebanan.
Gas dalam batubara dapat terbentuk secara
biogenik maupun thermogenik. Secara biogenic
gas yang terbentuk ketika material organik
mengalami dekomposisi oleh mikroorganisma,
menghasilkan gas methan dan CO
2
. Gas biogenik
ini dapat terbentuk pada tahap awal dari proses
pembatubaraan (Lignit-sub bituminus) dan
pada tahap akhir dari proses pembatubaraan.
Sedangkan, secara thermogenic gas yang
terbentuk pada tahapan yang lebih tinggi
dari proses pembatubaraan. Biasanya pada
saat batubara mencapai kualitas high volatile
bituminous atau lebih. Proses bituminisasi akan
memproduksi batubara yang kaya akan karbon
dengan melepaskan kandungan utama volatile
G e o l o g i P o p u l e r
1
Diagram kiri: cara keluarnya gas dari dalam batubara; kanan: gambaran ideal face dan
butt cleats dalam batubara (Sumber USGS)
juga kedalaman burial menyebabkan gas dipaksa
keluar karena tekanan geologi dan juga tekanan
hidrostatik. Tingkat kematangan batubara akan
mengontrol volume gas methan yang dihasilkan
dan disimpan. Oleh karena itu peringkat atau
kematangan batubara sangat menentukan
potensi batubara tersebut dalam menghasilkan
gas.
Kontrol kandungan gas dalam batubara
Produksibilitas CBM sangat dipengaruhi oleh
faktor geologi seperti, sistem lingkungan
pengendapan, geometri/distribusi batubara,
peringkat batubara, besarnya kandungan gas,
permeabilitas serta tektonik/struktur geologi dan
juga oleh kondisi hidrogeologi.
Karena lapisan batubara bertindak sebagai batuan
sumber (source bed) dari gas methane dan juga
sebagai reservoir untuk gas tersebut, penyebaran/
distribusi batubara yang luas di suatu cekungan
akan sangat berpengaruh terhadap besarnya
sumberdaya gas methane. Penyebaran vertikal
dan lateral batubara sangat dipengaruhi oleh
kondisi tektonik, struktur geologi, dan kerangka
sedimentasinya. Hal ini disebabkan karena
perkembangan/pertumbuhan batubara dikontrol
oleh keseimbangan antara penurunan cekungan
sedimen dan pertumbuhan tumbuh-tumbuhan
pada saat batubara terbentuk. Dalam hal ini,
pemahaman terhadap lingkungan pengendapan
batubara akan sangat membantu dalam proses
eksplorasi CBM.
Kandungan gas dalam batubara dapat berubah
apabila kondisi batuan reservoir terganggu.
Kandungan gas di dalam batubara dapat
bertambah, baik secara lokal maupun regional,
oleh pembentukan gas biogenik sekunder atau
oleh aliran gas dari tempat lain yang terserap
oleh lapisan batubara ditempat itu. Air meteorik
di dalam recharge yang aktif atau aliran yang
konvergen dapat mengurangi kandungan gas,
seperti pada batubara yang terangkat dan tererosi
menyebabkan tekanan reservoir lebih rendah
sehingga gas methane akan lepas dari lapisan
batubara tersebut.
Permeabilitas batubara dan aliran air bawah
tanah juga merupakan faktor yang mengontrol
produksibilitas methane. Kedua variabel ini
berhubungan erat dengan distribusi batubara
dan kerangka tektonik pengendapannya. Hal ini
disebabkan aliran air tanah yang melalui lapisan
batubara membutuhkan lapisan batubara yang
secara lateral bersifat permeabel. Batubara
merupakan reservoir yang memiliki permeabilitas
yang rendah. Permeabilitas batubara dipengaruhi
oleh sistim dari rekahannya (cleat system). Gas
dan airtanah akan bermigrasi melalui rekahan
GeoIogI PopuIer
(fracture/cleat) tersebut. Sedangkan keberadaan
rekahan/cleats tersebut secara langsung dikontrol
oleh aktivitas tektonik/sruktur geologi.
Rekahan/cleat dalam batubara terdapat dalam
dua tipe, dikenal dengan nama butt cleats dan
face cleats. Keduanya terbentuk hampir tegak
lurus satu sama lainnya. Face cleat biasanya
menerus sehingga menyediakan jalan untuk
permeabilitas yang tinggi sedangkan butt cleats
tidak menerus dan biasanya berakhir pada face
cleats. Permeabilitas rekahan dalam batubara
merupakan jalan utama mengalirnya gas, semakin
besar permeabilitas semakin besar produksi gas.
Kapasiatas penyerapan batubara (adsorption
capacity) terhadap gas didefinisikan sebagai
volume gas yang bisa terserap per unit masa
batubara yang biasanya disebutkan dalam
satuan SCF (standar cubic feet), yaitu volume
pada kondisi tekanan dan temperatur standar.
Kapasitas penyerapan batubara tergantung pada
peringkat dan kualitasnya.
Secara normal semakin tebal lapisan batubara
biasanya semakin tinggi pula kandungan
gasnya, tetapi apabila kondisi geologinya
tidak mendukung, misalnya bentuk struktur
(fracture/cleat), keberadaan air (hidrogeologi),
maka volume gas akan kecil. Sebagai contoh, di
Cekungan Cherokee Kansas, sumur CBM pada
lapisan batubara berketebalan 1-2 ft dapat
memproduksi gas dengan jumlah yang cukup
besar sementara di daerah lain, lapisan batubara
yang memiliki ketebalan dua kali lipat dari lapisan
tersebut sama sekali tidak menghasilkan gas
karena kondisi geologinya tidak mendukung.
Faktor-faktor tersebut diatas merupakan hal yang
saling berhubungan satu sama lain dan secara
sinergi akan berpengaruh pada produksibilitas
CBM.
16 W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Eksploitasi CBM
Berbeda dengan gas konvensional, reservoir
batubara harus mengalami rekayasa terlebih
dahulu sebelum akhirnya bisa mengeluarkan
gas. Rekahan-rekahan atau cleat dalam batubara
biasanya dipenuhi oleh air. Semakin dalam lapisan
batubara semakin berkurang kandungan air di
dalamnya. Untuk mengeluarkan gas dari dalam
batubara, tekanan dalam reservoir tersebut harus
dikurangi dengan cara memompa air keluar dari
lapisan batubara.
Proses ekstraksi methan dari dalam lapisan
batubara dilakukan dengan melakukan
pengeboran pada kedalaman 300 hingga 1500
m kemudian air dipompa keluar. Aliran air pada
lubang bor bisa menurunkan tekanan dalam
lapisan batubara. Karena CBM memiliki tingkat
pelarutan yang sangat rendah dalam air, maka
CBM bisa dengan mudah terpisah dari air ketika
tekanan reservoir menurun. Pengeboran dan
pemompaan air mendorong keluarnya gas dari
lapisan batubara ke dalam lubang bor. Gas methan
ini selanjutnya dikirim ke stasiun kompresor
untuk selanjutnya dialirkan pada pipa-pipa gas.
Sementara itu air hasil dewatering dapat dibuang
ke dalam sistem air setempat, untuk pengairan
irigasi misalnya.
Pada tahap awal produksi sumur CBM belum
menghasilkan gas dalam jumlah yang ekonomis
karena memproduksi sejumlah besar air. Tidak
seperti pada gas konvensional, yang puncak
produksinya bisa dicapai dalam kurun waktu
hanya satu tahun dari masa operasional. Puncak
produksi CBM berkaitan dengan dewatering
yang diperoleh dalam jangka waktu yang lebih
lama, biasanya 5 hingga 7 tahun dari masa awal
produksi.
Pada awal produksi, industri CBM memang
membutuhkan biaya yang relatif lebih besar
dibandingkan dengan konvensional gas. Tetapi
pada tahap operasional selanjutnya, menurut
pengalaman, biaya produksi CBM bisa lebih
murah dibandingkan dengan biaya produksi gas
alam konvensional.
Manfaat CBM
CBM dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, misalnya sebagai sumber energi
pembangkit tenaga listrik, untuk keperluan rumah
tangga, maupun digunakan dalam berbagai
macam indusri. Melalui proses pemurnian sampai
95%, CBM dapat digunakan sebagai pengganti
BBM.
Ada dua manfaat menggunakan CBM untuk
sumber energi listrik. Pertama ramah lingkungan,
yang kedua menghasilkan panas yang lebih tinggi
dibanding dengan batubara. Jika pemakaian
batubara sebagai energi pengganti minyak dan
gas bumi banyak mendapat kecaman karena
dianggap mencemari lingkungan dan dianggap
memicu terjadinya pemanasan global, CBM
dianggap sebagai sumber energi yang lebih
ramah terhadap lingkungan. Pembakaran CBM
menghasilkan emisi CO
2
yang jauh lebih sedikit
daripada pembakaran batubara.
Sebagai contoh, emisi CO
2
per unit listrik yang
dihasilkan dari pembakaran batubara sub
bituminus adalah 1180 ton per GWH (Gega Watt
Hour), batubara bituminus menghasilkan 600
ton CO
2
per GWH, sedangkan hasil pembakaran
CBM hanya menghasilkan 25 ton per GWH.
Pembakaran CBM juga bebas sulfur sehingga
tidak menghailkan sulfur oxides yang dikenal bisa
mengakibatkan polusi dan hujan asam.
Saat ini para pemerhati lingkungan di dunia
sangat peduli terhadap emisi gas CO
2
yang
dianggap memicu terjadinya pemanasan global.
Untuk mengurangi emisi gas ini, para ahli berhasil
mengembangkan apa yang dinamakan CO
2
sequestration atau penyimpanan CO
2
secara
permanen dengan jalan menginjeksikan gas ini
ke dalam lapisan batuan jauh didalam bumi.
Bagan perbedaan antara kurva produksi CBM dan konvensional gas (Sumber USGS)
Konsep penambangan CBM (Sumber : British Geological Survey, 2005)
G e o l o g i P o p u l e r
1;
Diagram pemanfaatan CBM
Batubara, dikenal sebagai salah satu batuan yang
bisa digunakan untuk menyimpan CO
2
. Secara
alamiah molekul CO
2
lebih mudah terserap oleh
lapisan batubara daripada molekul methan.
Sehingga secara sederhana jika 1 molekul
CO
2
mengisi komponen batubara akan ada 1
molekul gas methan yang dibebaskan dalam
rangka menjaga kestabilan kimiawinya. Sehingga
penyimpanan CO
2
pada lapisan batubara yang
akan meningkatkan produksi CBMnya, inilah yang
dikenal dalam istilah asing, sebagai enchance
CBM recovery.
CBM di Indonesia
Penyelidikan CBM sebagai sumber energi alternatif
di Indonesia mulai intensif dilakukan sekitar
tahun 1990an, mengikuti sukses pengembangan
CBM di beberapa negara yang sudah berhasil
sebelumnya. Pada tahun 1998, perusahaan
minyak Caltex memprakarsai penyelidikan
potensi gas methan dalam batubara di Cekungan
Sumatera bagian tengah. Departemen Energi
dan Sumber Daya Mineral sendiri yang saat itu
masih bernama Departemen Pertambangan dan
Energi memprakarsai pembentukan kelompok
kerja CBM yang bertugas mengkaji kemungkinan
pemanfaatan CBM di Indonesia.
Ada beberapa hal yang mendukung
pengembangan CBM di Indonesia, diantaranya
adalah; kekayaan sumber daya batubara yang
berlimpah, krisis energi, serta kesadaran global
penggunaan sumber energi yang lebih ramah
lingkungan. Kekayaan sumberdaya batubara
di Indonesia memungkinkan kehadiran
sumberdaya CBM yang potensial. Krisis energi
yang diakibatkan menurunnya pasokan bahan
bakar minyak (BBM), sementara kebutuhan terus
Road map pengembangan industri CBM di Indonesia (Sumber Dirjen Migas).
GeoIogI PopuIer
meningkat, memicu pencarian energi alternatif
sebagai pengganti BBM merupakan keharusan
yang tidak bisa ditunda lagi. Pemanasan global
yang menjadi issue hangat lingkungan dewasa
ini, dianggap dipicu oleh emisi green house gas
yang diakibatkan pembakaran energi fosil seperti
misalnya batubara. Sehingga pemakaian sumber
energi yang jauh lebih ramah lingkungan semakin
banyak dituntut.
Data terbaru mencatat jumlah sumber daya
batubara Indonesia sebesar total 90.451,87
juta ton, yang sebagian besar berupa batubara
peringkat rendah dan menengah. Dengan
kandungan batubara sebesar itu, diyakini bahwa
Indonesia juga memiliki kandungan CBM yang
besar. Survei terbaru mengenai CBM di Indonesia
yang menghasilkan prediksi potensi CBM di
beberapa cekungan batubara Indonesia dilakukan
oleh Advances Resources International (ARI) pada
tahun 2002. Survei ini dilakukan atas pemintaan
Dirjen Migas dan atas biaya Asian Development
Bank (ADB). Hasil survei tersebut diketahui bahwa
potensi CBM Indonesia sebesar 453 Triliun Cubic
Feef (Tcf) potensial gas in place yang terdapat
pada lapisan batubara pada kedalaman 500-
4500 m.
Selain yang dilakukan oleh ARI, hingga saat ini
belum ada survei terpadu komprehensif lainnya
yang dilakukan untuk menghitung potensi
CBM di seluruh cekungan batubara Indonesia
secara lebih akurat. Survei yang dilakukan ARI
barulah merupakan survei pendahuluan dengan
menggunakan data-data sekunder, sehingga
pembuktian potensi CBM Indonesia dengan
menggunakan data-data primer masih harus
terus dilakukan.
Lemigas bekerjasama dengan CSIRO Australia
telah mulai membuat pilot project sumur
CBM di cekungan Sumatra Selatan. Hasil yang
didapat sejauh ini cukup menggembirakan,
18 W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Road map pengembangan industri CBM di Indonesia (Sumber Dirjen Migas).
mengindikasikan kehadiran gas methan dalam
lapisan batubara di cekungan Sumatra Selatan
yang cukup potensial.
Pemerintah Indonesia mempunyai perhatian
yang besar dalam pengembangan energi
alternatif termasuk pengembangan CBM. Saat
ini, pemerintah telah menyediakan Peraturan
Pengusahaan Gas Methan dalam batubara.
Bahkan melalui Dirjen Migas, pemerintah telah
mulai melakukan penawaran wilayah kerja gas
methan batubara. Banyaknya aplikasi penawaran
menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang
tertarik melakukan investasi dalam pengusahaan
CBM di Indonesia, karena percaya pada
keberadaan CBM potensial di Indonesia, termasuk
diantaranya beberapa perusahaan asing.
Mengacu pada data Dirjen Migas, hingga tahun
ini tercatat 3 perusahaan telah mengantongi ijin
pengusahaan CBM di Indonesia.
Potensi CBM Indonesia
Secara umum, di Indonesia terdapat dua endapan
batubara yang dianggap prospek mengandung
CBM. Endapan batubara berumur Miosen
dianggap sebagai endapan yang paling prospektif.
Walaupun memiliki kualitas yang rendah, tetapi
endapannya sangat tebal berada pada kedalaman
target CBM serta memiliki kandungan abu yang
sangat rendah. Kekurangannya, karena batubara
Miosen masih muda, maka memiliki kandungan
moisture yang tinggi, sehingga kemungkinan
membutuhkan penanganan khusus dalam proses
dewatering ketika ekploitasi CBM nantinya.
Sebaliknya batubara yang berumur Eosen yang
memiliki kualitas yang lebih tinggi dianggap
kurang prospektif untuk pengembangan CBM
karena ketebalan endapannya tipis dan terdapat
pada kedalaman yang sangat dalam. Walaupun
demikian pada beberapa area, batubara jenis ini
kemungkinan juga cukup prospektif mengandung
CBM.
Secara umum, terdapat anggapan bahwa
batubara Indonesia terlalu rendah dan terlalu
dangkal untuk bisa mengandung prospektif
CBM. Tetapi, dengan keberhasilan eksploitasi
CBM batubara peringkat rendah di Powder
River Basin, Amerika Serikat, maka anggapan ini
berhasil dipatahkan. Fakta bahwa batubara pada
kedalaman dangkal yang ditambang secara open
pit di Indonesia memiliki arah jurus yang searah
dengan kedalaman cekungan sehingga menjadi
gas charged pada kedalaman target CBM pada
areal yang luas. Selain itu, juga adanya gas kick
pada beberapa sumur minyak yang menembus
lapisan batubara, membuat para ahli geologi
optimis bahwa CBM yang potensial juga mungkin
terdapat pada batubara peringkat rendah yang
dimiliki Indonesia.
Peranan Badan Geologi
Sesuai dengan tugas dan fungsinya, Badan Geologi
melalui Pusat Sumber Daya Geologi hingga
saat ini banyak melakukan kegiatan eksplorasi
CBM dengan fokus pada pengumpulan data
dasar secara primer serta membangun database
batubara Indonesia yang cukup komprehensif.
Data dasar yang diambil secara langsung ini
sangat diperlukan dalam pengkajian potensi CBM
di suatu daerah secara lebih akurat.
Penghitungan kandungan gas secara langsung
(gas desorption) pada lapisan batubara di
beberapa cekungan pembawa batubara telah
mulai dilakukan semenjak tahun 2002, demikian
juga dengan pengukuran permeabilitas batubara.
Kandungan gas dan permeabilitas adalah data
yang sangat penting untuk diketahui guna
melakukan kajian potensi CBM di suatu area.
Berbagai bentuk workshop dan pelatihan baik
di dalam maupun di luar negeri juga dilakukan
dalam rangka mempersiapkan tenaga ahli
yang kompeten menangani CBM. Hingga saat
ini Indonesia belum memiliki tenaga ahli yang
berpengalaman dalam mengeksplorasi maupun
mengeksploitasi CBM.
Badan Geologi juga mempersiapkan diri dengan
kelengkapan peralatan eksplorasi CBM yang
cukup lengkap. Saat ini Badan Geologi memiliki
satu unit Mobile CBM yang bisa digunakan
untuk melakukan pengukuran kandungan gas
secara langsung di lapangan, disamping alat gas
kromatograf untuk menentukan kandungan gas
dalam batubara.
Penutup
Suatu keinginan jika dipendam bak mimpi di siang
bolong. Untuk mewujudkannya diperlukan kerja
keras. Bumi Pertiwi telah menyediakan sesuatu
yang sangat berharga untuk dipergunakan. Tugas
kita adalah mengeluarkan gas dari kungkungan
G e o l o g i P o p u l e r
1q
Sumber daya CBM di Indonesia berdasarkan hasil survey ARI, 2002, berurutan mulai dari cekungan dengan sumberdaya terbesar
pertama hingga terbesar keempat.
Rank (4 tertinggi) Cekungan Daerah Prospeksi
(km2)
Sumber daya CBM
(Tcf-Triliun Cubic feet)
3.7 Sumatra Selatan 7,350 183
3.1 Barito 6,330 102
3.1 Kutai 6,100 80
3.0 Sumatra Tengah 5,150 53
Semua Cekungan 30,248 453
Sumber daya Batubara Indonesia 2007 (Pusat Sumber Daya Geologi, 2007)
No. PULAU KUALITAS SUMBER DAYA
(Juta Ton)
CADANGAN
(Juta Ton)
KALORI KRITERIA
1. JAWA Rendah sedang < 5100 - 6100 11,24 0,00
Tinggi sangat tinggi 6100 - >7100 2,97 0,00
2. SUMATERA Rendah sedang < 5100 - 6100 51.092,29 11.296,52
Tinggi sangat tinggi 6100 - 7100 1.432,29 525,05
3. KALIMANTAN Rendah sedang < 5100 - 6100 28.530,11 5.285,91
Tinggi sangat tinggi 6100 - 7100 11.937,95 1877,07
4 SULAWESI Rendah sedang < 5100 - 6100 218,42 0,00
Tinggi sangat tinggi 6100 - 7100 14,68 0,00
5 MALUKU Rendah < 5100 2,13 0,00
6 PAPUA Rendah sedang < 5100 - 6100 122,51 0,00
Tinggi sangat tinggi 6100 - 7100 30,91 18.711,55
TOTAL 93.402,51 18.711,55
Peta Lokasi Daerah Pengukuran kandungan gas dalam batubara di Kalimantan
(Sumber: KPP Energi Fosil, Pusat Sumber Daya Geologi, 2007)
GeoIogI PopuIer GeoIogI PopuIer
negeri hitam itu agar kita bangun dari mimpi.
Begitu dia burst out, Insya Allah akan memberikan
pasokan listrik yang berlimpah sehingga kita
tidak akan lagi mendapat giliran pemadaman,
memberikan langit yang lebih biru, jauh dari
polusi, sehingga kita menyediakan lingkungan
yang lebih aman bagi generasi kemudian.n
Penulis adalah Pemerhati dan Pencinta CBM
zo W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Kaldera
Supervolcano Toba
Oleh: Igan S. Sutawidjaja
G e o l o g i P o p u l e r
K
aldera Toba atau dikenal sebagai Da-
nau Toba di Sumatera Utara, meru-
pakan kaldera terbesar di muka bumi,
berukuran 100 x 30 km
2
. Pembentukan kaldera
tersebut merupakan kejadian terbesar dalam
catatan sejarah geologi. Luas kaldera menempati
area 2.270 km
2
, memanjang arah barat laut-teng-
gara searah jalur gunung api Sumatera. Danau
Toba yang merupakan danau terbesar di Suma-
tera, menempati bagian dalam kaldera dengan
elevasi permukaan air 906 m dan bagian ter-
dalam 530 m. Dinding kaldera umumnya curam
dengan ketinggian antara 400 sampai 1200 m,
puncak topografi tertinggi mencapai 1700 m dari
dasar danau.
zo W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
z1
diikuti runtuhnya dua blok besar, yakni Blok Pulau
Samosir dan Blok Uluan. Beberapa ahli seperti
Westerveld (1947), Verstapen (1961), Aldiss
dan Ghazali (1984), Nishimura (1984), Tjia dan
Kusnaeny (1976) berpendapat bahwa Kaldera
Toba terbentuk oleh satu kali letusan besar, yang
menurut Chesner (1988) terjadi pada 75.000
tahun yang lalu, seiring dengan pembentukan
Gunung Pusuk Bukit (gunung api tipe B) pada
tepi barat kaldera, dan Gunung Tanduk Benua di
ujung utara kaldera.
Volume material yang dilontarkan antara 2500
- 3000 km
3
, 1000 km
3
diantaranya mengisi
bagian dalam kaldera (Rose dan Chesner, 1987).
Material tersebut terdiri atas endapan batuapung,
bongkahannya mencapai diameter 80 cm,
sedangkan bongkahan litik mencapai diameter
50 cm, menempati areal seluas 20.000 km
2
,
sebagian terlaskan menjadi ignimbrit, dengan
ketebalan mencapai 400 m pada dinding kaldera.
Endapan batuapung ini dikenal sebagai Tuf Toba,
tersingkap pada dinding graben Prapat sekitar
Siguragura.
Apabila dibandingkan dengan Tuf Fish Canyon,
San Juan, 3000 km
3
(Steven dan Lipman, 1976)
dan Tuf Huckkleberry Ridge, Yellowstone, 2450
km
3
(Christiansen, 1979), maka volume material
Di dalam kaldera terdapat sebuah pulau yang
dikenal sebagai Pulau Samosir.
Pulau ini mempunyai dimensi 45 km panjang dan
lebar 20 km, memanjang searah dengan bentuk
kaldera. Menurut van Bemmelen (1939), Pulau
Samosir terbentuk bersamaan dengan blok Uluan
yang berada di bagian tenggaranya. Kedua blok
tersebut merupakan dua blok tubuh gunung
api Toba purba yang runtuh setelah terjadi
letusan yang sangat dahsyat. Blok Uluan bukan
merupakan sebuah pulau, karena blok ini menyatu
dengan dinding kaldera di bagian tenggara. Pulau
Samosir pun saat ini hampir menyatu dengan
daratan Sumatera karena surutnya air danau,
hanya dipisahkan oleh sebuah selat selebar 10 m
yang dihubungkan dengan sebuah jembatan di
bagian barat pulau.
Kaldera Toba
Sampai saat ini pembentukan Kaldera Toba masih
dalam perdebatan para ahli geologi, apakah
terbentuk oleh satu kali letusan besar Gunung
Toba atau terjadi beberapa kali letusan yang
diikuti kegiatan tektonik. Van Bemmelen (1939)
menyatakan bahwa kaldera Toba terbentuk
akibat proses vulkanik yang menghasilkan sebuah
kaldera besar yang
GeoIogI PopuIer
Dinding barat Danau Toba dengan P. Pardepur
zz W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Mata air panas bersuhu 56
o
C mengendapkan silika pada dasar sungai.
Foto: Igan S. Sutawidjaja
letusan Gunung Toba tergolong dalam jumlah
terbesar dari suatu erupsi gunung api dalam
catatan sejarah geologi.
Gunung Pusuk Bukit
Kegiatan pasca-kaldera Toba adalah pembentukan
gunung api Pusuk Bukit, gunung api tipe B,
yang terbentuk pada dinding barat kaldera,
dan menghubungkan antara daratan Sumatera
dengan Pulau Samosir. Leleran lava termuda dari
gunung api ini berkomposisi dasit, warna abu-
abu serta kaya dengan gelas dan kristal.
Kegiatan hidrotermal terdapat pada lereng utara
berupa alterasi batuan dan kegiatan fumarola,
solfatara serta mata air panas. Bagian barat laut
gunung api ini bersentuhan dengan dinding
kaldera yang tersusun dari batuan metasedimen
berkekar radial dan teralterasi hidrotermal yang
mengandung realgar dan sinabar.
Di dalam kaldera, sebelah selatan Samosir dan
Uluan, terdapat singkapan endapan batuapung
berkomposisi dasit, bongkahnya mencapai
diameter 1 meter. Sedangkan di ujung utara
kaldera terbentuk Gunung Tanduk Benua yang
berkomposisi andesit. Endapan vulkanik ini
menutupi endapan Tuf Toba.
Danau Toba kini menjadi primadona para
wisatawan di wilayah Sumatera Utara, baik dari
dalam maupun luar negeri. Bentuk bentang
alam yang menyuguhkan panorama alam dan
keindahan magis bagi para pengunjung, sehingga
apabila memandang keindahan bentang alam ini
tidak menjemukan. Di samping itu, di kawasan
ini sudah dikembangkan semua fasilitas untuk
kesenangan berwisata, seperti pembangunan
hotel-hotel, pengadaan kapal-kapal untuk
menikmati keindahan alam dari atas danau,
dilengkapi suguhan cerita pembentukan danau
menurut versi kebudayaan masyarakat sekitar
Danau Toba.
Balok diagram Kaldera Toba, Pulau Samosir dan kerucut gunung api pasca pembentukan kaldera.
G e o l o g i P o p u l e r
Gunung Pusuk Bukit yang terbentuk di sebelah barat kaldera sebagai pasca
pembentukan kaldera. Foto: Igan S. Sutawidjaja
z
Mata air panas bersuhu 56
o
C mengendapkan silika pada dasar sungai.
Foto: Igan S. Sutawidjaja
GeoIogI PopuIer
Alterasi batuan pada lereng timur laut G. Pusuk Bukit searah dengan dinding kaldera.
Foto: Igan S. Sutawidjaja
Kegiatan hidrotermal pada lereng utara G. Pusuk Bukit diikuti kegiatan fumarola, solfatara dan mata air panas.
Foto: Igan S. Sutawidjaja
zq W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Keindahan panorama alam Danau Toba yang tidak menjemukan.
Foto: Igan S. Sutawidjaja
G e o l o g i P o p u l e r
Keindahan panorama alam Danau Toba yang tidak menjemukan.
Foto: Igan S. Sutawidjaja
z
Kegiatan fumarola pada dinding dan dasar sungai lereng utara G. Pusukbuhit.
Foto: Igan S. Sutawidjaja
Mata air panas yang muncul pada lereng Gunung
Pusuk Bukit, menambah daya tarik pengunjung
untuk datang dan menikmatinya. Tetapi area ini
belum dikembangkan lebih baik lagi. Beberapa
kolam rendam tampaknya kurang terpelihara,
sehingga para pengunjung pada umumnya hanya
bisa menikmati keindahan pemunculan mata air
panas tersebut.n
Penulis adalah Penyelidik Bumi Madya
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
BADAN GEOLOGI
GeoIogI PopuIer
z6 W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
D
ahulu kala gunung api ini sangat besar
bentuk fisiknya kemudian tercabik-
cabik oleh letusan besar (violent
eruption) dalam tiga periode yang diperkirakan
mulai berlangsung pada 3500 tahun yang lampau.
Letusan tersebut menghasilkan lobang yang sangat
besar dengan ukuran 19 x 21 km
2
di bagian lantai
dan 22 x 25 km
2
di bagian atas yang kemudian
dikenal dengan Kaldera Ijen (H. Sundoro, 1990).
Di tengah kaldera tersebut terbentuk sebuah danau
kawah yang menjadi pusat kegiatan vulkanik
Gunung Ijen saat ini. Danau kawah tersebut
berukuran 160 x 1160 m
2
di bagian atas (crater
rim) dan 960 x 600 m
2
bagian bawah (danau).
Oleh: SR. Wittiri
1
dan Sri Sumarti
2
Kawah Ijen
Penghasil Belerang Terbesar
L i n t a s a n G e o l o g i
z6 W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
1. Pemerhati Gunung api.
2. Peneliti Geokimia pada BPPTK, pusat Vulkanologi dan mitigasi
Bencana Geologi.
z;
Bernafas dalam lumpur belerang, Sublimasi belerang yang keluar dari ujung pawon
Foto: Sri Sumarti, 2001
Ditengarai air danau ini adalah salah satu yang
paling asam di dunia karena pH (keasaman)-
nya antara nilai nol (tidak terukur) hingga 0,8.
Nilai tersebut bervariasi tergantung pada kondisi
musim hujan atau kemarau. Oleh karena itu
gunung api yang memaku Tanjung Blambangan
di ujung timur Pulau Jawa ini lebih dikenal sebagai
Kawah Ijen.
Kawah Ijen berdiri tidak utuh pada posisi geografi
8
o
03,5 Lintang Selatan dan 114
o
14,5 Bujur
Timur dalam wilayah Kabupaten Banyuwangi dan
Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur.
Masa kini permasalahan yang mencuat dan
menjadi biang keladi di Gunung Ijen bukan
aktivitas letusannya, tetapi air danau yang sangat
asam yang secara diam-diam menyusup diantara
celah bebatuan dan mengalir jauh hingga ke laut.
Dalam perjalannya menuju ke laut, air abnormal
tersebut melintasi pemukiman penduduk,
persawahan, perkebunan, bahkan pabrik (gula).
Akibatnya yang nyata adalah terjadi pencemaran
InLusun GeoIogI
z8 W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
L i n t a s a n G e o l o g i
Beratnya 90 kg
Memikul belerang dari lantai kawah mendaki tebing dengan kecuraman 60
o
Foto: SR. Wittiri, 2001
lingkungan yang menyebabkan kulit gatal, korosif
pada gigi, tanaman tumbuh tidak sempurna, dan
korosif pada komponen pabrik.
Sudah tentu tidak semata hal yang negatif yang
dijumpai disana. Selain itu ada sisi positif yang
dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan hidup
ummat manusia, belerang misalnya. Bahan
galian ini jumlahnya sangat melimpah dan baru
bisa ditambang sekitar 20%, atau sekitar 14
ton perhari, dari total jumlah yang disediakan
oleh alam. Selain itu, batu gamping (lime stone)
yang menjadi penyanggah dari formasi selang-
seling endapan vulkanik jatuhan dan lava yang
menyusun bebatuan di Ijen menyediakan unsur
kalsium (Ca) yang memungkinkan terbentuknya
gipsum alam akibat bereaksi dengan air kawah
yang mengandung unsur sulfur yang tidak terkira
banyaknya.
Bernafas dalam Lumpur Belerang
Salah satu produk gunung api yang dapat
dimanfaatkan adalah belerang (sulfur). Bahan
galian ini berguna untuk campuran kosmetik,
obat-obatan, pemutih dan sebagainya. Kawah Ijen
adalah gunungapi yang menghasilkan belerang
yang tiada taranya di Indonesia. Informasi dari
pengelola Taman Nasional Alas Purwo, yang
membawahi antara lain kawasan Kawah Ijen,
bahwa sedikitnya 14 ton belerang setiap hari
berhasil ditambang. Sedangkan analisa BPPTK,
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
menyebutkan bahwa nilai tersebut hanya sekitar
20% dari potensi yang sesungguhnya yang
disediakan oleh alam.
Kendala utama penyebab minimnya hasil yang
diperoleh adalah medan yang sulit dan teknologi.
Penambang menggunakan cara yang sangat
sederhana untuk menangkap belerang. Mereka
Komposisi Kimia Kondensat
Solfatara Kawah Ijen (Mei 2000)
Unsur. ppm
SiO
2
Al
Fe
Ca
Mg
Na
K
Mn
NH
3
SO
4
Cl
22,65
36,24
33,68
44,30
9,20
4,08
6,19
0,56
2.789,19
24.259,86
33.389.26
zq
Kali Banyu Gipsum Pahit
Sepanjang mata memandang yang terlihat hanya gipsum di lantai sungai
Insert, jarum dan stalagtit gypsum
Foto: Sri Sumarti, 2001
InLusun GeoIogI
memasang pipa yang terbuat dari besi (pawon)
berdiameter 16 20 cm. Setiap pipa panjangnya
1 m. agar mudah memasang dan menggantinya
jika rusak. Pipa tersebut dipasang sambung-
menyambung mulai dari tebing atas dimana
titik solfatara yang suhunya mencapai 200
o
C
sekaligus sebagai sumber belerang hingga dasar
tebing yang jauhnya antara 50 - 150 m. Melalui
pipa tersebut gas belerang dialirkan kemudian
tersublimasi di ujung pipa bagian bawah dan
siap ditambang. Apabila salah satu pipa rusak
karena korosif, maka uap belerang tidak mengalir
sempurna dan terlepas ke udara bebas dan tidak
sempat tersublimasi. Kendala lainnya adalah
ketika suhu solfatara naik melampaui 200
o
C,
maka uap belerang tidak sempat tersublimasi
karena terbakar.
Menambang belerang bukanlah pekerjaan yang
mudah. Selain menghadapi medan yang sulit,
juga tidak ada jaminan keselamatan. Bagi orang
Jauh
Sudah jauh perjalanan yang ditempuh, tetapi masih jauh tujuan hari esok.
Pemikul belerang ke tempat penampungan di Lembah Paltuding
Foto: SR. Wittiri, 2001
o W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Peta Jalur Menyusuri Kali Banyu Gipsum Pahit
Route perjalanan menyusuri Kali Banyu Pahit dari
Dam Kawah Ijen sejauh 3 km. Insert, Danau Kawah Ijen
Sketsa dan foto: SR. Wittiri, 2001
awam berdiri beberapa menit di lokasi sublimasi
belerang akan merasakan pusing dan mual. Para
penambang yang harus bekerja beberapa jam
lamanya setiap hari tanpa masker pelindung
atau semacamnya adalah suatu pilihan yang
dilematis.
Bergelut di lantai Kawah Ijen mengharap beberapa
ribu rupiah sesungguhnya merupakan pilihan
yang terakhir dari semua pekerja tambang. Betapa
tidak, setelah menggelepar bernafas di dalam
lumpur belerang yang amat pekat, bongkah-
bongkah belerang tersebut harus diangkut ke
puncak (rim crater).
Jarak antara dasar dengan bibir kawah 300 m
dengan kemiringan antara 45
o
60
o
kemudian
berlanjut ke tempat penampungan di Lembah
Paltuding yang jaraknya 3 km. Setiap penambang
(pemikul) pada umumnya mengangkut 75 90 kg
belerang dan setiap kilogramnya mereka dibayar
beberapa ratus rupiah. Apabila dikalkulasi, maka
setiap penambang memperoleh bayaran antara
Rp 50.000 75.000 (dua rute) setiap hari setelah
bernafas dalam lumpur belerang tanpa alat
pengaman.
Apabila musim panen menjelang, mereka lebih
memilih ke sawah/kebun meskipun hasilnya lebih
sedikit, tetapi mereka menghirup udara yang
bersih.
Kali Gipsum
Danau Kawah Ijen berukuran 960 x 600 m
2
dengan kedalaman 250 m (1938), sedangkan
hasil pengukuran tahun 1996 adalah 182 m
(Takano, Sumarti,S dkk). Menurut Stehn, 1930,
volume air kawah sebanyak 36 juta m
3
.
Dalam tahun 1995, Delmelle memperkirakan 32
juta m
3
, sedangkan hasil pengukuran Takano dan
Sumarti, S dalam tahun 1996 volumenya lebih
menyusut menjadi 30 juta m
3
.
Ketika volume air masih normal, aliran air kawah
dikontrol oleh dam. Apabila musim hujan
permukaan air akan naik, sehingga dikeluarkan
melalui dam. Sejak volumenya menyusut air
kawah semakin jauh dari dasar dam sehingga
air keluar melalui celah bebatuan. Terakhir kali
air kawah mengalir melalui dam dalam tahun
1976. Dalam tahun 2001 diketahui bahwa tepi
air danau sudah menjauh 8 m dari dasar dam.
Seperti disebut di atas bahwa batuan dasar
Gunung Ijen antara lain adalah batu gamping
(lime stone). Air asam yang mengandung banyak
sulfat kemudian menyusup keluar danau bertemu
L i n t a s a n G e o l o g i
1
dengan gamping dan menghasilkan antara lain
gipsum. Orang kimia menulis gipsum dengan
CaSO
4
, artinya benda tersebut perpaduan
antara unsur karbonar (Ca) dengan sulfat( SO
4
).
Sesungguhnya gipsum kadangkala terbentuk
sebagai anhidrit dan sering keduanya terbentuk
bersama-sama. Dapat diartikan bahwa anhidrit
adalah mineral sekunder yang dihasilkan dari
dehidrasi gipsum.
Bukaan Kawah Ijen condong ke arah barat dan
merupakan hulu Kali Banyu Pahit (sungai yang
airnya pahit). Demikian kental kadar keasamannya
sehingga yang terasa di lidah adalah rasa pahit.
Ketika menyusuri sungai tersebut yang pertama
kali disaksikan adalah hamparan putih memenuhi
permukaan sungai karena airnya hanya sedikit.
Hamparan tersebut adalah endapan gipsum yang
terbentuk secara alamiah selama bertahun-tahun.
Gipsum ada dimana-mana, di lantai sungai,
dinding tebing, atau celah bebatuan. Bentuknya
beraneka, ada yang menyerupai jarum, ada juga
yang bagaikan onggokan bolu kukus merekah.
Terkadang dijumpai menjuntai di dinding tebing
bagaikan stalagtit di goa kapur. Endapan gipsum
terhampar sepanjang 1 km jauhnya sehingga
timbul ide menamainya Kali Gipsum.
Air Asam Terjun
Menyusuri Kali Gipsum Pahit mulai dari mulut
Dam Ijen hingga persimpangan Lembah Paltuding
(Kabupaten Banyuwangi) dengan Bondowoso
hanya berjarak 3 km, tetapi harus ditempuh
selama 5 jam. Petualangan ini mengasyikkan
karena selama perjalanan selain menemukan
jejak si raja rimba di lokasi yang dikenal dengan
Kandang Macan, juga harus berhadapan dengan
sedikitnya 15 air terjun. Ukuran air terjun (beda
tinggi antar tebing) bervariasi antara < 5 m - >
5 m.
Tantangan menjadi ganda karena ketika melewati
setiap air terjun harus menjaga keseimbangan
agar tidak jatuh dan harus menghindarkan diri
agar tidak basah. Masalah basah saja adalah hal
yang lumrah, tetapi basah dengan air asam (acid
water) yang pH-nya antara 0,6 0,8, maka basah
menjadi suatu masalah karena akan menimbulkan
rasa gatal sekujur tubuh.
Bandingkan dengan air yang layak sentuh, pH-
nya minimal 5 dan air layak minum pH antara
6 7. Untuk menaikkan satu satuan pH air
diperlukan perbandingan 1 : 10. Artinya bila satu
liter dengan pH 1 untuk dinaikkan menjadi pH 2,
harus ditambahkan dengan 10 liter air normal (pH
7). Oleh karena itu layak bila air terjun tersebut
diberi nama Air Asam Terjun.
Seperti dikemukakan di atas bahwa biang
masalah di Gunung Ijen bukan karena letusannya
sebagai gunung api, tetapi air danaunya yang
asam yang kemudian mengalir jauh ke bawah
dan mencemari lingkungan.
Apabila dirunut lebih jauh, sepanjang 45 km
air mengalir hingga akhirnya ke laut, pH-nya
tidak pernah normal. Padahal sudah mengalami
pengenceran oleh dua sungai dengan nilai air
normal, masing-masing Sungai Sengon dan
Sungai Sat, serta mata air panas di Blawan
sebelum masuk ke Asembagus di Kabupaten
Bondowoso. Tiba di Asembagus Sungai Banyu
Pahit berubah nama menjadi Sungai Banyu Putih
karena warna airnya keputih-putihan dan keruh
dengan nilai pH 2,5 3.
Apa daya, tidak ada pilihan lain kecuali
memanfaatkan air tersebut untuk mandi, sikat
gigi,cuci, bahkan minum untuk ternak. Akibatnya
gigi mudah keropos, pakaian tidak cemerlang
meskipun dicuci dengan detergen cemerlang.
Tim geokimia dari BPPTK, telah berupaya mencari
jalan keluar atas pertanyaan; dengan cara
bagaimana agar air tersebut menjadi normal?.
Salah satu jawaban yang diperoleh setelah
dilakukan serangkaian percobaan (mulai tahun
2000) di laboratorium BPPTK dan dilapangan
dalam skala kecil. Caranya adalah seonggok
kapur tohor, jumlah dan beratnya diketahui,
dicampur dengan sejumlah air kawah kemudian
diberi perlakuan khusus untuk mempercepat
reaksi. Percobaan tersebut berhasil menghasilkan
air normal dan meninggalkan endapan gypsum.
Sekali mendayung dua pulau diraih, menghasilkan
lingkungan yang bersih dan gipsum. Sangat
disayangkan, percobaan lebih lanjut dalam skala
besar terhenti karena tidak tersedianya dana.
Apapun adanya, BPPTK, Pusat Vulkanologi dan
Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi telah
berupaya dan berhasil, meskipun masih dalam
skala laboratorium.n
InLusun GeoIogI
z W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
S
Setiap hari kita makan, minum,
dan bernafas menghirup udara
yang mengandung mineral untuk
mendapatkan unsur-unsur yang penting bagi
kita, tanpa pernah memikirkan benda apa saja
dari sekeliling kita yang masuk ke dalam tubuh
ini. Bagi sebagian besar masyarakat tentu tidaklah
berbahaya jika berinteraksi dengan bahan-bahan
alami. Bahkan hal demikian bermanfaat untuk
penyediaan nutrisi penting. Namun, untuk
beberapa hal, interaksi kita dengan mineral
dan elemen-elemen tertentu dapat merugikan,
bahkan berefek fatal.
GEOMEDIKA
G e o F a k t a
Oleh: Joko Parwata
Pengaruh Debu Mineral pada Kesehatan
(Bagian 1)
z W u r L u G e o I o g I . D e s e m b e r z o o 8
Geomedika: Ilmu Geologi dan
Kesehatan