You are on page 1of 4

KESEPAKATAN antara GAM dan PEMERINTAH RI

Isi ringkas dari MoU (Memorandum of Understnding) adalah sebagai berikut: MoU meliputi penyelenggaraan pemerintahan di Aceh, partisipasi politik, ekonomi, pengaturan perundang-undangan, HAM, amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat, pengaturan keamanan, pembentukan misi monitoring Aceh (AMM), dan penyelesaian perselisihan. Dalam bidang penyelengaraan pemerintahan di Aceh, Undang-undang baru mengenai Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh akan diundangkan dan akan mulai berlaku sesegera mungkin dan selambat-lambatnya tanggal 31 Maret 2006. Undang-undang tersebut didasarkan pada prinsip Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, perundang-undangan; termasuk memutuskan kasus-kasus amnesti yang disengketakan; menyelidiki dan memutuskan pengaduan dan tuduhan pelanggaran terhadap Nota Kesepahaman ini; membentuk dan memelihara hubungan dan kerjasama yang baik dengan para pihak. Butir yang terakhir mengatur mengenai penyelesaian perselisikan. Di dalam MoU diatur bahwa perselisihan yang terjadi atas pelaksanaan Nota Kesepahaman ini akan diselesaikan oleh Kepala Misi Monitoring, melalui musyawarah

Hadi, Syamsul, dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru : Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

dengan para pihak dan semua pihak memberikan informasi yang dibutuhkan secepatnya. Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak. Apabila Kepala Misi Monitoring menympulkan bahwa perselisihan tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut, maka perselisihan akan dibahas bersama oleh Kepala Misi Monitoring dengan wakil senior dan setiap pihak. Selanjutnya, Kepala Misi Monitoring akan mengambil keputusan yang akan mengikat para pihak. MoU ini kemudian ditandatangani oleh kedua pihak pada tanggal 15 Agustus 2005. Kesepakatan ini oleh banyak orang dianggap sebagai harapan terbaik bagi Aceh untuk mengakhiri konflik bersenjata selama Tiga puluh tahun yang telah menewaskan hampir 15.000jiwa. Dengan mengambil pengalaman kegagalan Perjanjian Penghentian Permusuhan (CoHA) sebagai suatu pelajaran, kesepakatan terakhir tersebut terlihat mencerminkan strategi yang lebih komprehensif dengan mengakomodir faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik yang lama tersimpan akibat perang yang berkelanjutan sejak kegagalan perjanjian CoHA. Perjanjian damai ini disambut gembira oleh masyarakat internasional. Sekjen PBB Kofi Annan, misalnya, menyambut baik perundingan untuk menghentikan konflik yang berlangsung 30 tahun di Aceh. Ia menantikan penandatanganan nota kesepahaman antar kedua pihak pada 15 Agustus. Juru bicara Sekjen PBB, Marie Okabe, di Markas PBB New York, mengatakan hasil perundingan tersebut diharapkan dapat memberi masa depan yang lebih cerah bagi rakyat Aceh. Ia mengatakan bahwa Sekjen PBB memuji tekad Indonesia dan pihak Aceh untuk meraih perdamaian abadi di Aceh serta meminta komitmen kedua belah pihak untuk mengimplementasikan butir-butir kesepakatan. Kesediaan Uni Eropa, dan kemungkinan Negara-negara ASEAN untuk masuk dalam tim monitor setelah MoU nantinya ditandatangani, juga mendapat dukungan dan Sekjen PBB. Di Jakarta, Menlu Hassan Wirajuda menjelaskan pemerintah pada 28 Juli menggelar pertemuan di Jakarta antara Indonesia, Uni Eropa, dan ASEAN untuk membicarakan lebih rinci tentang pengaturan tim monitoring asing ke Aceh. Sementara ini dalam pernyataan resminya Presiden George Bush mengemukakan dukungannya dengan mengatakan bahwa Amerika Serikat mendukung penuh mekanisme monitoring yang ditetapkan oleh perjanjian ini yang menjamin kedua belah pihak mentaati dan menindaklanjuti komitmen yang telah diberikan. la juga menjanjikan untuk membantu terciptanya perdamaian. Untuk itu, Amerika Serikat akan bekerjasama

erat dengan Jepang, Australia, dan mitra Indonesia lainnya dalam beberapa bulan ke depan guna memberikan bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi di Aceh.

Hadi, Syamsul, dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru : Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Dan dalam negeri sendiri penadatanganan MoU menghasilkan reaksi yang beragam dari beberapa pihak. Kapolda Nanggroe Aceh Darus salam (NAD), Irjen Polisi Bachrumsyah Kasman, menyatakan optimis perdamaian akan tercapai di Aceh. Menurut Kapolda, polisi non-organik yang selama ini di bawah kendali operasi (BKO) Polda NAD, sebanyak 2.000 personel akan dipulangkan ke daerah asal kesatuannya pada tanggal 15-25 Agustus 2005. Jajaran kepolisian, tambah Kapolda, juga telah menyiapkan Iebih 300 personel polisi untuk mengamankan anggota tim monitoring Aceh atau Aceh Monitoring Mission (AMM) dan negara Uni Eropa dan ASEAN. Nada optimis juga dikemukakan oleh Dr. Musfiari Haridi, ekonom dan Universitas Syiah Kuala Darussalam Aceh, yang menyatakan bahwa poin-poin dalam kesepakatan damai ini tidak perlu menimbulkan kekhawatiran berlebihan. Karena GAM sendiri telah bersedia untuk tetap berada dalam skema negara kesatuan Indonesia. Sedangkan sebagian besar warga Aceh menyambut positif adanya perjanjian damai tersebut, namun mereka tidak mau perjanjian ini bernasib sama seperti perjanjian-perjanjian sebelumnya yang hanya di atas kertas sementara pelaksanaan di lapangan menemui kegagalan.

PRO dan KONTRA


Sementara itu, Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengatakan, prokontra terhadap hasil-hasil nota kesepakatan damai (MoU) RI-GAM dsebabkan tidak adanya penjelasan yang terbuka dan rinci dari pemerintah. Untuk itu, pemerintah diminta segera menjelaskan secara efektif agar MoU yang sudah ditandatangani tidak dimentahkan lagi. Menurutnya meskipun la menilai positif adanya perjanjian damai ini, masih banyak pasal dalam MoU yang menimbulkan prokontra, di antaranya tentang masalah bendera dan himne lagu untuk Aceh, pemilihan pemerintah di Aceh, partai lokal, pemberian amnesti kepada GAM, sementara terhadap TNI/Polri justru dikenakan pengadilan ad hoc. Demikian juga kewenangan Aceh Monitoring Mission (AMM) yang mengangkangi kewenangan yang dimiliki pemerintah, pasal tentang kebijakan pemerintah pusat maupun DPR soal Aceh yang harus mengkonsultasikan dan mendapat persetujuan dulu legislatif di Aceh. Sebelum MoU ditandatangani sempat terjadi perdebatan dalam parlemen ketika hendak memberikan persetujuan. Perdebatan berpusat pada isi perjanjian yang memang banyak menuai kritikan. Hal ini karena pendekatannya dinilai Iebih ke pendekatan ekonomi,

Hadi, Syamsul, dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru : Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

bisnis, yang mengabaikan banyak pertimbangan politik. Menurut Fraksi PDIP, kerugian dalam isi perjanjian bagi pihak Indonesia adalah: pertama, MoU tidak mencantumkan klausul pembubaran GAM dan pencabutan tuntutan merdeka;kedua, penyelenggaraan pemerintah di Aceh seperti negara dalam negara. Aceh hampir mengatur semuanya, termasuk fiskal dimana Aceh dapat melakukan pinjam utang ke luar negeri sendiri dan menarik investor sendiri dan kebijakan moneter, sehingga dapat menerapkan suku bunga sendiri di luar otoritas BI; membuat legislasi sendiri tanpa terikat dengan DPR, penggunaan simbol bendera sendiri, lagu kehangsaan sendiri, dan banyak lagi. Inti protes PDI-P adalah nota kesepahaman itu nyata-nyata mengandung substansi pemberian kemerdekaan bagi pemerintah Aceh dengan pemberian kedaulatan politik, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, untuk mencapal syarat Aceh merdeka, tinggal prokiamasi dan pengakuan inter-nasional. Lebih jauh PDI-P menilai banyak UU ditabrak pemerintah, seperti UU Perpajakan, UU Partai Politik, UU Qanun (NAD/Otsus), UU BI, UU TNI, UU Polri, UU Pelabuhan, UU Kejaksaan, dan masih banyak lagi. Pandangan di atas dibantah Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla yang juga salah satu inisiator perjanjian ini. Ia mengemukakan bahwa tidak ada UU yang ditabrak pemerintah. Menurutnya, masyarakat memandang perjanjian itu dengan pikiran negatif. Akibatnya, timbul pikiran pesimis dan menganggap isi MoU sebagai kekalahan. Semua ketentuan MoU terdapat dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah. Kewenangan pemerintah daerah dan pusat diatur tegas. Ia juga menegaskan bahwa pemerintahan dilaksanakan seluruhnya oleh Pemda Aceh, kecuali enam hal, yaitu: keamanan nasional, luar negeri, fiskal, moneter, agama dan peradilan. Kewenangan atas enam hal ini, lanjut Kalla, merupakan kewenangan penuh pemerintah pusat. Sedangkan masalah bendera dan hymne menurutnya telah diatur dalam UU Otsus di NAD dan Papua. Dimana setiap daerah memiliki lambang dan lagunya sendiri.

Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka ( terlampir)

Hadi, Syamsul, dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru : Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

You might also like