You are on page 1of 23

Clinical Science Session ASMA

Preseptor Dr. Heda Melinda, dr.,SpA-K.,M.Kes


Disusun oleh: Adhitya Purnama Putra Floriyani Indra Putri

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran RS Dr. Hasan Sadikin Bandung 2012

ASMA
1. Definisi Definisi asma bermacam-macam tergantung kriteria mana yang dianut. Global Initiative for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan. Inflamasi kronik berhubungan dengan hiperresponsif jalur nafas yang menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.1 Konsensus Internasional menggunakan definisi operasional sebagai mengi berulang dan/atau batuk persisten dalam keadaan asma adalah yang paling mungkin, sedangkan sebab lain yang lebih jarang telah disingkirkan.2 Menurut Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) di dalam batasan operasionalnya menyepakatinya kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi yang timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada penderita atau keluarganya.3 Menurut The International Paediatric Asthma Consensus Group (IPACG) tahun 1991, Asma ialah penyakit saluran nafas yang secara klinis ditandai serangan akut mengi dan atau batuk episodik, berulang dan telah dapat dibuktikan bukan disebabkan oleh penyakit lain. Sedangkan menurut The National Heart Lung and Blood Institute International Asthma Consensus (NHLBI) tahun 1992, Asma ialah inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel termasuk sel mast dan eosinofil. Pada individu yang rentan, inflamasi ini menyebabkan obstruksi yang tersebar luas dengan derajat yang bervariasi, biasanya reversibel, dapat membaik secara spontan maupun akibat terapi dan meningkatkan reaktivitas saluran nafas terhadap berbagai stimulus.4

2. Klasifikasi

2.1. Klasifikasi derajat berat ringan penyakit asma Klasifikasi asma sangat diperlukan untuk tatalaksana jangka panjang. Berbeda dengan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik ringan, asma episodik sedang, dan asma persisten.5 Dasar pembagian ini karena pada asma anak kejadian episodik lebih sering dibanding persisten (kronisitias). Dasar klasifikasi asma anak adalah frekuensi serangan, lamanya serangan, aktivitas di luar serangan, dan beberapa pemeriksaan penunjang. Tabel 2.1 Klasifikasi Derajat Asma Menurut PNAA3

Tabel 2.2 Klasifikasi Derajat Asma Menurut GINA1

2.2 Klasifikasi Derajat Berat Ringan Serangan Akut Asma Serangan akut asma atau eksaserbasi adalah episode peningkatan yang progresif dari gejala batuk, sesak nafas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala tersebut.5 Serangan akut terbagi menjadi ringan, sedang, dan berat.

Tabel 2.3. Klasifikasi Derajat Serangan Asma

3. Etiologi Belum diketahui pasti. Diperkirakan disebabkan oleh interaksi antara faktor genetik dan faktor yang didapat (inducer atau inciter berupa infeksi, polusi, dan alergi). Seperti tertulis pada definisi dari The National Heart Lung and Blood Institute International Asthma Consensus (NHLBI) dan The International Paediatric Asthma Consensus Group (IPACG) di atas, hipersensitivitas, inflamasi dan gejala klinis akan tercetus apabila individu yang rentan terpajan oleh > 1 stimulus. Apabila tidak pernah kontak dengan > 1 stimulus, penderita tidak akan mengalami serangan akut asma. Oleh karena itu ada ahli yang menyatakan bahwa stimulus sebagai etiologi. Terdapat banyak etiologi (stimulus, triggers, pencetus yang dapat mencetuskan serangan akut asma, antara lain exercise, infeksi virus, asap rokok, debu rumah/tungau, tepung sari, bulu binatang, makanan/minuman, cuaca, emosi, obat-obatan dll). Kebanyakan penderita mengalami serangan akut asma karena terpajan oleh banyak etiologi, jarang yang hanya mengalami episode karena 1 macam stimulus. Hal ini sering menyulitkan untuk menetapkan etiologi serangan akut. Kesulitan ini ditambah lagi karena serangan tidak selalu segera terjadi setelah kontak, kadang-kadang 6-9 jam setelah kontak (reaksi asmatik lambat)5

4. Epidemiologi Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia.6 Hasil survei asma pada anak sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,7%-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8% tahun 1995 dan tahun 2001 di Jakarta Timur sebesar 8,6%. Berdasarkan gambaran tersebut di atas, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian secara serius.

5. Faktor Risiko Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor lingkungan. a. Faktor pejamu Faktor pejamu adalah predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Berdasarkan GINA, terdapat 4 major area penelitian genetik yang berhubungan dengan asma : produksi alergen-spesifik antibodi IgE (atopi), ekspresi hiperreaktifitas jalur nafas, pembentukan inflamasi mediator seperti sitokin, kemokin, dan growth factor, serta penentuan rasio imun respon th1 dan th2.1 Pada anak-anak jenis kelamin laki-laki merupakan faktor risiko asma. Sebelum umur 14 tahun, prevalensi anak laki-laki asma dua kali lipat dibanding perempuan. Semakin dewasa, perbandingan jumlah perempuan jadi melebihi laki-laki. Alasan faktor jenis kelamin mempengaruhi asma ini masih belum jelas.1

b.

Faktor lingkungan Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan/predisposisi asma

untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Contoh faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan jumlah keluarga. Interaksi faktor genetik/pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan. 6 pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma, Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma.

Faktor Pejamu

Faktor Lingkungan Mempengaruhi berkembangnya asma pada individu dengan predisposisi asma

Faktor Lingkungan Mencetuskan eksaserbasi dan

atau`menyebabkan gejala-gejala asma menetap

Prediposisi genetik Atopi Hiperesponsif jalan napas Jenis kelamin Ras/ etnik

Alergen di dalam ruangan Mite domestik Alergen binatang Alergen kecoa Jamur (fungi, molds, yeasts) Alergen di luar ruangan Tepung sari bunga Jamur (fungi, molds, yeasts) Bahan di lingkungan kerja Asap rokok Perokok aktif Perokok pasif Polusi udara Polusi udara di luar ruangan Polusi udara di dalam ruangan Infeksi pernapasan Hipotesis higiene Infeksi parasit Status sosioekonomi Besar keluarga Diet dan obat Obesiti

Alergen di dalam dan di luar ruangan Polusi udara di dalam dan di luar ruangan Infeksi pernapasan Exercise dan hiperventilasi Perubahan cuaca Sulfur dioksida Makanan, aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan), obat-obatan Ekspresi emosi yang berlebihan Asap rokok Iritan (a.l. parfum, bau-bauan

merangsang, household spray)

Dikutip dari : Pedoman Diagnosis & Penatalaksaan di Indonesia 6 6. Patogenesis Asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel

mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala. Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa. Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk Ig E spesifik oleh sel plasma. Ig E melekat pada Fc reseptor pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat ( immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast, dilepaskan mediator-mediator : histamin, leukotrien C4(LTC4), prostaglandin D2(PGD2), tromboksan A2, tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, oedema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali( serangan asma hilang) dengan pengobatan. Setelah 6- 8 jam maka terjadi proses selanjutnya , disebut reaksi asma lambat (late asthma reaction). Akibat pengaruh sitokin IL3, IL4, GM-CSF yang diproduksi oleh sel mast dan sel limfosit T yang teraktivasi, akan mengaktifkan sel-sel radang : eosinofil, basofil, monosit dan limfosit. Sedikitnya ada dua jenis T-helper (Th), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi IL3 dan granulocyte; macrophage colonystimulating factor, Thl terutama memproduksi IL2, IF gamma dan TNF beta sedangkan Th2 terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL4, IL5, IL 9, IL13, dan IL16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th1 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat . Masing masing sel radang berkemampuan mengeluarkan mediator inflamasi. Eosinofil memproduksi LTC4, Eosinophil Peroxidase (EPX), Eosinophil Cathion Protein (ECP) dan Major Basic Protein (MBP).

Mediator-mediator tersebut merupakan mediator inflamasi yang menimbulkan kerusakan jaringan. Sel basofil mensekresi histamin, LTC4, PGD2. Mediator tersebut dapat menimbulkan bronkospasme. Sel makrofag mensekresi IL8, platelet activating factor (PAF), regulated upon activation novel T cellexpression and presumably secreted (RANTES) . Semua mediator diatas merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses peradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inlamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan jaringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat. Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Kerusakan epitel bronkus adalah akibat dilepaskannya sitokin dari sel inflamasi seperti eosinofil. Kini dibuktikan bahwa otot polos saluran napas juga memproduksi sitokin dan kemokin seperti eotaxin, RANTES, GM-CSF dan IL-5, juga faktor pertumbuhan dan mediator lipid, sehingga mengakibatkan penumpukan kolagen di lamina propia. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal (pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis. Menurut paradigma yang lampau,

proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi

irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling. 7. Patofisiologi Penyempitan jalur nafas merupakan penyebab timbulnya gejala pada asma. Penyempitan ini dikarenakan: a. Kontraksi otot polos pernafasan karena rangsang mediator bronkokonstriktor dan neurotransmiter b. Edema jalur nafas karena adanya peningkatan kebocoran mikrovaskular saat proses inflamasi c. Penebalan jalur nafas (remodelling) d. Hipersekresi mukus yang membuat oklusi luminal e. Hiperresponsif jalur nafas, karakteristik abnormalitas fungsional asma. 8. Diagnosis Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan semestinya, mengi (wheezing) dan batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakan diagnosis.7-8 Secara umum untuk menegakan diagnosis sama diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.6-8

8.1. Anamnesis Ada beberapa hal yang harus ditanyakan dari pasien asma antara lain : a. b. Apakah ada batuk yang berulang terutama pada malam menjelang dini hari? Apakah pasien mengalami mengi atau dada terasa berat atau batuk setelah terpajan alergen atau polutan (pencetus)? c. Apakah pada waktu pasien mengalami selesma (common cold) merasakan sesak di dada dan selesmanya menjadi berkepanjangan (10 hari atau lebih) ? d. Apakah ada mengi atau rasa berat di dada atau batuk setelah melakukan aktifitas atau olahraga? e. Apakah gejala-gejala tersebut di atas berkurang/hilang setelah pemberian obat pelega (bronkodilator)? f. Apakah ada batuk, mengi, sesak di dada jika terjadi perubahan musim/cuaca atau suhu yang ekstrim (perubahan yang tiba-tiba) ? g. h. Apakah ada penyakit alergi lainnya (rinitis, dermatitis atopi, konjunktivitis alergi)? Apakah dalam keluarga ada yang menderita asma / alergi ?

8.2 Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan : a. Inspeksi : pasien terlihat gelisah, sesak (napas cuping hidung, napas cepat, retraksi sela iga, retraksi epigastrum, retraksi suprasternal), sianosis. b. Palpasi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus) c. d. Perkusi : biasanya tidak ada kelainan yang nyata Auskultasi : ekspirasi memanjang, wheezing, suara lendir.

8.3 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan fungsi pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk diagnosis asma faal paru dengan alat spirometer. Spirometer dapat menunjukkan limitasi jalur nafas dengan rasio FEV1 dan FVC (forced vital capacity) yang normalnya lebih dari 0,75-0,80 dan anak-anak dapat lebih dari 0,90. b. c. Pemeriksaan arus puncak ekspirasi dengan alat peak flow rate meter Uji reversibilitas (dengan bronkodilator), reversibilitas yang mengindikasikan asma adalah FEV1 (forced expiratory volume 1 detik) 12% dan 200 ml dari nilai prebronkodilator. d. e. f. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada/tidaknya hipereaktivitas bronkus Uji alergi Foto thoraks

9. Diagnosis Banding Kategori mengi untuk anak 5 tahun dan lebih muda: a. Transient early wheezing : sering pada umur kurang dari 3 tahun, penyebabnya prematur dan orangtua yang merokok. b. Persistent early onset wheezing (sebelum umur 3 tahun) : mengi berulang yang berhubungan dengan infeksi pernafasan akut karena virus, tidak ada tanda atopi (positif skin prick tes atau respon klinis terhadap common environmental alergen), tidak ada keluarga yang atopi. Penyebab paling sering pada anak umur kurang dari 2 tahun adalah RSV (respiratory synctial virus)

c. Late onset wheezing (asma) : anak-anak ini memiliki asma yang bertahan dari kecil hingga dewasa, ada riwayat atopi seperti eczema, dan patologi jalur nafas yang merupakan asma. Penyebab mengi yang perlu di eksklusi juga: Benda asing di saluran napas Laringotrakeomalasia Pembesaran kelenjar limfe Tumor Stenosis trakea Penyakit jantung bawaan Tuberkulosis Bronkiolitis Metode untuk konfirmasi diagnosis di anak kurang dari sama dengan 5 tahun adalah dengan pemberian bronkodilator kerja pendek dan inhalasi glukokortikoid. Yang mendukung diagnosis asma adalah saat terjadi perbaikan saat penggunaan obat dan perburukan saat berhenti obat.

10. Tatalaksana Secara garis besar KNAA (Konsensus Nasional Asma Anak) terdiri atas 2 bagian, yaitu tata laksana jangka panjang dan penanganan serangan asma. Dari fungsinya, obat asma ada 2 kelompok, yaitu obat pereda (reliever) yang digunakan untuk meredakan gejala/serangan asma bila timbul, misalnya salbutamol dan teofilin. Obat pengendali (controller) atau obat profilaksis adalah obat untuk mengendalikan/mencegah agar gejala/serangan asma tidak mudah timbul, misalnya kromolin dan budesonid. Obat pengendali diberikan pada asma episodik sering, dan terutama asma persisten. Perlu ditekankan bahwa penanggulangan asma

tidak bisa semata mengandalkan obat, tapi yang tidak kalah penting adalah penghindaran faktor pencetus. Serangan asma mencerminkan gagalnya tata laksana jangka panjang, atau adanya pajanan dengan faktor pencetus.5 Selain medikamentosa, tatalaksana berupa komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) pada penderita dan keluarga serta penghindaran faktor pencetus merupakan faktor penting. Pada KIE perlu ditekankan bahwa keberhasilan terapi sangat bergantung pada kerjasama yang baik antara keluarga dengan dokter yang menanganinya. Keluarga penderita asma perlu dijelaskan mengenai asma secara detail dengan bahasa awam agar keluarga mengetahui apa yang terjadi pada asma, kapan harus pergi ke dokter, penanganan pertama apabila terjadi serangan, dan sebagainya.5, 9

10.1 Tatalaksana Jangka Panjang Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah: Pasien dapat menjalani aktivitas normal seorang anak, termasuk bermain dan berolahraga. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari. Uji fungsi paru normal, tidak ada variasi diurnal yang mencolok pada PEF. Kebutuhan obat seminimal mungkin, kurang dari sekali dalam dua tiga hari, dan tidak ada serangan. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.

a.

Asma Episodik Jarang (Asma Ringan) Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis hirupan kerja

pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan. Obat hirupan digunakan dengan metered dose inhaler. Bila tidak bisa obat hirupan dapat digunakan beta-agonis peroral. Jika beta-agonis peroral tidak ada, dapat digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. b. Asma Episodik Sering (asma sedang)

Indikasi antiinflamasi sebagai pengendali: -

Penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu Serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan Antiinflamasi lapis pertama : kromoglikat dengan dosis minimal 10 mg 3-4 kali perhari

yang digunakan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah terkendali, pemberian dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Sampai sekarang, obat ini tetap paling aman untuk pengendalian asma anak, dan efek sampingnya ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk. Untuk anak lebih dari 12 tahun, terdapat obat nedokromil yang satu golongan dengan kromoglikat namun lebih poten dan tidak menyebabkan batuk. Jika obat pengendali kromoglikat tidak berhasil, baru diganti dengan steroid hirupan. Obat antihistamin baru non-sedatif (ketotifen), penggunaannya dipertimbangkan pada anak balita dan/atau asma tipe rinitis. c. Asma persisten (asma berat) Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan beta-agonis hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk berat. Sebagai obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan. Dalam tahap pertama tatalaksana asma persisten terdapat 2 alternatif yang dilakukan, yaitu:

1.

Steroid hirupan tetap dalam dosis rendah dan dikombinasikan dengan salah satu obat

yaitu LABA (long acting b2 agonis) atau teofilin lepas lambat (TSR: Teophylline slow release), atau anti-leucotriene receptor (ALTR) Dosis rendah : Usia <12 tahun :100-200 mcg/hr budesonid (100-200 mcg/hr flutikason) Usia >= 12 tahun : 200-400 (100-200) Golongan LABA : prokaterol, bambuterol, salmeterol, klenbuterol Golongan ALTR : zafirlukas dan muntelukas 2. Meningkatkan dosis steroid hirupan menjadi dosis medium, yaitu:

Usia <12 tahun :200-400 mcg/hr budesonid (50-100 mcg/hr flutikason) Usia >= 12 tahun : 400-600 (200-300) Bila gejala asma sudah stabil dosis dapat diturunkan secara perlahan sampai akhirnya tidak menggunakan obat lagi. Dikatakan asma stabil apabila tidak ditemukan/minimal gejala asmanya. Penderita dapat tidur dengan baik, aktivitas tidak terganggu, dan kualitas hidup cukup baik. d. Asma sangat berat Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum terkendali maka pasien dianggap menderita asma sangat berat (bagian dari asma persisten). Alternatif terapi: 1. 2. Steroid hirupan dosis medium ditambah salah satu obat LABA, TSR, atau ALTR Meningkatkan dosis hirupan jadi dosis tinggi

Usia <12 tahun : >400 mcg/hr budesonid (>200 mcg/hr flutikason) Usia >= 12 tahun : >600 (>30000)

Alur Tatalaksana Asma Anak jangka Panjang


Obat pereda: -agonis atau teofilin

Asma episodik jarang


3-4 minggu, obat dosis / minggu

(hirupan atau oral) bila perlu > 3x < 3x

Asma episodik sering

Tambahkan obat pengendali: Kortikosteroid hirupan dosis rendah *)

6-8 minggu, respons:

(-)

(+)

Pertimbangkan alternatif penambahan salah satu obat:

Asma persisten

-agonis kerja panjang (LABA) teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosterid ditingkatkan (medium) (-) (+)

P E N G H I N D A R A N

6-8 minggu, respons:

Kortikosteroid dosis medium ditambahkanan salah satu obat: -agonis kerja panjang teofilin lepas lambat antileukotrien atau dosis kortikosteroid ditingkatkan (tinggi)

6-8 minggu, respons:

(-)

(+)

Obat diganti kortikoteroid oral *) Ketotifen dapat digunakan pada pasien balita dan/atau asma tipe rinitis

10.2 Tatalaksana Saat Serangan9-10 a. Serangan ringan

Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan sedang. b. Serangan sedang

Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di atas. Jika serangannya memang termasuk serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS).

Walaupun mungkin tidak diperlukan, namun untuk persiapan keadaan darurat, maka sejak di IGD pasien yang akan diobservasi di RRS langsung dipasangi jalur parenteral. c. Serangan berat

Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian

awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan beta-agonis dan antikolinergik. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. d. Penanganan di Ruang Rawat Sehari

Pemberian oksigen sejak dari IGD dilanjutkan. Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednisolon, prednison, atau triamsinolon. Setelah di IGD menjalani nebulisasi 3 kali dalam 1 jam dengan respons parsial, di RRS diteruskan dengan nebulisasi beta-agonis + antikolinergik tiap 2 jam. Jika dalam 8-12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat seperti pasien serangan ringan yang dipulangkan dari Klinik / IGD. Bila dalam 12 jam responsnya tetap tidak baik, maka pasien dialih rawat ke Ruang Rawat Inap untuk mendapat steroid dan aminofilin parenteral. e. Penanganan di Ruang Rawat Inap

Pemberian oksigen diteruskan Jika ada dehidrasi dan asidosis maka diatasi dengan pemberian cairan intravena dan dikoreksi asidosisnya. Steroid intravena diberikan secara bolus, tiap 6-8 jam. Nebulisasi beta-agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam. Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis:

bila pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberi aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 4-6 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrose atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, diberikan dalam 20-30 menit.

jika pasien telah mendapat aminofilin (kurang dari 4 jam), dosis diberikan 1/2nya. sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahankan 10-20 mcg/ml. selanjutnya aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam. Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam, dan

steroid serta aminofilin diganti peroral. Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali obat beta-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 24-48 jam. Selain itu steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke Klinik Rawat Jalan dalam 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksana.

Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. GINA. Global Strategy for Asthma Management and Prevention.2011: Available from: http://www.ginasthma.org/. Warner JO, Naspitz CK. Third International Pediatric Consensus Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatri Pulmonology. 1998;251-17. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi.2004. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma NHLBI/WHO Workshop Report. 2002. Supriyatno B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Fakultas Kedokteran UI. 2005. PDPI. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia. 2003. Depkes RI. Pedoman Pengendalian Asma. Jakarta.2009. Rahajoe N. Pengobatan Pencegahan Asma pada Anak. Cermin Dunia Kedokteran. 1991;69. Kemenkes. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1023/MENKES/SK/XI/2008 tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Jakarta: Kemenkes; 2008. Melinda DNH. Asma. In: Garna H, Heda Melinda D.N, editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi. Bandung.2005.

10.

You might also like