You are on page 1of 9

BAB I PENDAHULUAN Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) pertama kali diketahui pada tahun 1981.

Penyakit ini disebabkan oleh human immunodeficiency virus. Adanya suatu defisiensi imun adalah konsekuensi dari replikasi HIV yang menyebabkan penghancuran efektor kekebalan yaitu limfosit CD4. Masalah HIV/AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan banyak negara di seluruh dunia. Badan WHO yang menangani masalah AIDS memperkirakan jumlah orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di seluruh dunia pada Desember 2004 adalah 35,9 44,3 juta orang. Ada 79 daerah prioritas di mana epidemi AIDS sedang meluas. Daerah tersebut menjangkau delapan provinsi di Indonesia: Papua, Papua Barat, Sumatra Utara, Jawa Timur, Jakarta, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sekitar 170.000 sampai 210.000 dari 220 juta penduduk Indonesia mengidap HIV/AIDS. Perkiraan prevalensi keseluruhan adalah 0,1% di seluruh negeri, dengan pengecualian Provinsi Papua, di mana angka epidemik diperkirakan mencapai 2,4%, dan cara penularan utamanya adalah melalui hubungan seksual tanpa menggunakan pelindung. Jumlah kasus kematian akibat AIDS di Indonesia diperkirakan mencapai 5.500 jiwa. Penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Hukuman sosial bagi penderita HIV/AIDS, umumnya lebih berat bila dibandingkan dengan penderita penyakit mematikan lainnya. Terkadang hukuman sosial tersebut juga turut tertimpakan kepada petugas kesehatan atau sukarelawan, yang terlibat dalam merawat orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). Program-program penanggulangan AIDS menekankan pada pencegahan melalui perubahan perilaku dan melengkapi upaya pencegahan tersebut dengan layanan pengobatan dan perawatan. Perawatan antiretrovirus sesungguhnya dapat mengurangi tingkat kematian dan parahnya infeksi HIV, namun akses terhadap pengobatan tersebut tidak tersedia di semua Negara.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi HIV/AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (disingkat AIDS) adalah sekumpulan gejala atau penyakit yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV. Virus tersebut bernama Human Immunodeficiency Virus (atau disingkat HIV) yaitu virus yang dapat menyebabkan AIDS dengan cara menyerang sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat memperlemah atau merusak sistem kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan sekalipun. 2.2. Etiologi HIV/AIDS Penyebab AIDS HIV termasuk kelompok human retrovirus (Retroviridae) dan subfamili dari lentiviruses. Human retrovirus dibagi menjadi dua kelompok yang berbeda, yaitu human T lymphotropic virus, HTLV-I dan HTLV-II, yang merupakan jenis transformer retrovirus; dan human immunodeficiency virus, HIV-1 dan HIV-2, yang merupakan jenis cytopathic virus. Penyebab umum penyakit HIV di seluruh dunia, dan tentu saja di Amerika Serikat, adalah HIV-1, yang terdiri dari beberapa jenis subtipe dengan distribusi geografis yang berbeda. HIV-2 pertama kali diidentifikasi pada tahun 1986 di Afrika Barat. 2.3. Penularan HIV/AIDS HIV dapat ditularkan melalui hubungan homoseksual atau heteroseksual, oleh darah dan produk darah, dan oleh ibu yang terinfeksi kepada bayi baik intrapartum, perinatal, atau melalui ASI. a. Penularan Seksual Penularan (transmisi) HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Kekerasan seksual secara umum

meningkatkan risiko penularan HIV karena sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV.[35] Penyakit menular seksual meningkatkan risiko penularan HIV karena dapat menyebabkan gangguan pertahanan jaringan epitel normal akibat adanya luka pada alat kelamin. b. Penularan melalui darah dan produk darah HIV dapat ditularkan bagi individu yang tercemar HIV menerima transfusi darah, produk darah, atau transplantasi jaringan serta IDU yang terpapar. Jalur penularan ini terutama berhubungan dengan pengguna obat suntik, penderita hemofilia, dan resipien transfusi darah dan produk darah. c. Penularan pada pekerja kesehatan dan laboratorium Pekerja kesehatan dan laboratorium berisiko terkena HIV/AIDS jika bekerja dengan bahan yang mengandung HIV, terutama ketika benda tajam digunakan. d. Penularan maternal infant Infeksi HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi pada janinnya selama kehamilan, selama persalinan, atau dengan menyusui. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu mingguminggu terakhir kehamilan dan saat persalinan. e. Penularan melalui cairan lainnya Walaupun HIV dapat diisolasi dengan titers rendah dari ludah sebagian kecil individu yang terinfeksi, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan Infeksi HIV, baik melalui ciuman atau melalui eksposur lainnya. 2.4. Patogenesis HIV AIDS Meskipun berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, ada dua target utama infeksi HIV yaitu sistem imunitas tubuh dan sistem saraf pusat, tetapi virion HIV cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T penting untuk menentukan progresivitas penyakit infeksi HIV ke AIDS. Limfosit T menjadi sasaran utama HIV karena memiliki reseptor CD4+, merupakan reseptor dengan afinitas tinggi terhadap HIV. Bagian inti HIV yang mengandung RNA (single stranded RNA) akan berusaha membentuk double stranded DNA. Proses berikutnya adalah upaya masuk ke dalam inti limfosit T dengan bantuan enzim integrase, maka terjadilah rangkaian

proses integrasi, transkripsi yang dilanjutkan dengan translasi protein virus, serta replikasi HIV yang berlipat ganda yang nantinya akan meninggalkan inti. Kemudian berusaha keluar menembus membran limfosit (budding) dan virion baru yang terbentuk siap menginfeksi limfosit T CD4+ berikutnya. Sel yang pecah akan mati, demikian proses ini terus berlangsung sehingga jumlah limfosit T CD4+ cenderung terus menurun dan perjalanan penyakit cenderung progresif. Perjalanan penyakit HIV merupakan perjalanan interaksi HIV dengan sistem imun tubuh. Terdapat tiga fase yang menunjukkan terjadinya interaksi virus dan hospes yaitu fase permulaan/akut, fase pertengahan/kronik dan fase terakhir/krisis. Fase akut menandakan respon imun tubuh yang masih imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase tersebut ditandai oleh penyakit yang sembuh dengan sendirinya yaitu 3 sampai 6 minggu setelah terinfeksi HIV. Gejalanya berupa radang tenggorokan, nyeri otot (mialgia), demam, ruam kulit, dan terkadang radang selaput otak (meningitis asepsis). Produksi virus yang tinggi menyebabkan viremia (beredarnya virus dalam darah) dan penyebaran virus ke dalam jaringan limfoid, serta penurunan jumlah sel T CD4+. Beberapa lama kemudian, respon imun spesifik terhadap HIV muncul. Respon imun spesifik terhadap HIV diperantarai oleh sel T CD8+ (sel T pembunuh, T sitotoksik cell) yang menyebabkan penurunan jumlah virus dan peningkatan jumlah CD4+ kembali. Walaupun demikian, penurunan virus dalam plasma tidak disertai dengan berakhirnya replikasi virus. Replikasi virus terus berlangsung di dalam makrofag jaringan dan CD4+. Fase kronik ditandai dengan adanya replikasi virus terus menerus dalam sel T CD4+ yang berlangsung bertahun-tahun. Pada fase kronik tidak didapatkan kelainan sistem imun. Setelah bertahun-tahun, sistem imun tubuh mulai melemah, sementara replikasi virus sudah mencapai puncaknya sehingga perjalanan penyakit masuk ke fase krisis. Tanpa pengobatan, pasien HIV akan mengalami sindrom AIDS setelah fase kronik dalam jangka waktu 7 sampai 10 tahun. Fase krisis ditandai dengan hilangnya kemampuan sistem imun, meningkatnya jumlah virus dalam darah (viral load) dan gejala klinis yang berarti. Pasien mengalami demam lebih dari 1 bulan, lemah, penurunan berat badan dan diare kronis. Hitung sel T CD4+ berkurang sampai dibawah 500/L.

2.5.

Diagnosis HIV/AIDS 2.5.1. Gejala Klinis HIV/AIDS Biasanya penderita AIDS memiliki gejala infeksi sistemik; seperti demam, berkeringat (terutama pada malam hari), pembengkakan kelenjar, kedinginan, merasa lemah, serta penurunan berat badan. Penyakit paru-paru utama Pada stadium awal infeksi HIV (jumlah CD4 >300 sel per L), TBC muncul sebagai penyakit paru-paru. Pada stadium lanjut infeksi HIV, TBC muncul sebagai penyakit sistemik yang menyerang bagian tubuh lainnya (tuberkulosis ekstrapulmoner). Gejala-gejalanya biasanya bersifat tidak spesifik dan tidak terbatas pada satu tempat. Dengan demikian, gejala yang muncul mungkin lebih berkaitan dengan tempat munculnya penyakit ekstrapulmoner. Penyakit saluran pencernaan utama Esofagitis adalah peradangan pada kerongkongan (esofagus), yaitu jalur makanan dari mulut ke lambung. Pada individu yang terinfeksi HIV, penyakit ini terjadi karena infeksi jamur (jamur kandidiasis) atau virus (herpes simpleks1 atau virus sitomegalo). Diare kronis yang tidak dapat dijelaskan pada infeksi HIV dapat terjadi karena berbagai penyebab; antara lain infeksi bakteri, parasit, dan virus. Pada beberapa kasus, diare terjadi sebagai efek samping dari obat-obatan yang digunakan untuk menangani HIV.

Penyakit syaraf dan kejiwaan utama


Infeksi HIV dapat menimbulkan beragam kelainan tingkah laku karena gangguan pada syaraf (neuropsychiatric sequelae), yang disebabkan oleh infeksi organisme atas sistem syaraf yang telah menjadi rentan, atau sebagai akibat langsung dari penyakit itu sendiri. Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii. Parasit ini biasanya menginfeksi otak dan menyebabkan radang otak akut (toksoplasma ensefalitis).

Kanker dan tumor ganas (malignant)

Pasien dengan infeksi HIV pada dasarnya memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya beberapa kanker. Hal ini karena infeksi oleh virus DNA penyebab mutasi genetik. Sarkoma Kaposi adalah tumor yang paling umum menyerang pasien yang terinfeksi HIV. Penyakit ini sering muncul di kulit dalam bentuk bintik keungu-unguan, tetapi dapat menyerang organ lain, terutama mulut, saluran pencernaan, dan paru-paru. 2.5.2. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang HIV/AIDS Di negara-negara berkembang, sistem World Health Organization untuk infeksi HIV digunakan dengan memakai data klinis dan laboratorium; sementara di negara-negara maju digunakan sistem klasifikasi Centers for Disease Control (CDC) Amerika Serikat.

Grafik hubungan antara jumlah HIV dan jumlah CD4+ pada rata-rata infeksi HIV yang tidak ditangani. Keadaan penyakit dapat bervariasi tiap orang. jumlah RNA HIV per mL plasma jumlah limfosit T CD4+ (sel/mm)

Sistem tahapan infeksi WHO


Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1.[46] Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005.

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang

Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis. Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

Sistem klasifikasi CDC


Terdapat dua definisi tentang AIDS, yang keduanya dikeluarkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Para penemu HIV pada mulanya menamai AIDS dengan nama virus tersebut.[47][48] CDC mulai menggunakan kata AIDS pada bulan September tahun 1982, dan mendefinisikan penyakit ini.
[49]

Tahun 1993, CDC memperluas definisi AIDS mereka dengan memasukkan

semua orang yang jumlah sel T CD4+ di bawah 200 per L darah atau 14% dari seluruh limfositnya sebagai pengidap positif HIV.[50] Mayoritas kasus AIDS di negara maju menggunakan kedua definisi tersebut, baik definisi CDC terakhir maupun pra-1993. Diagnosis terhadap AIDS tetap dipertahankan, walaupun jumlah sel T CD4+ meningkat di atas 200 per L darah setelah perawatan ataupun penyakit-penyakit tanda AIDS yang ada telah sembuh.

Tes HIV
Tes HIV umum, termasuk imunoasai enzim HIV dan pengujian Western blot, dilakukan untuk mendeteksi antibodi HIV pada serum, plasma, cairan mulut, darah kering, atau urin pasien. Namun demikian, periode antara infeksi dan berkembangnya antibodi melawan infeksi yang dapat dideteksi (window period) bagi setiap orang dapat bervariasi. Inilah sebabnya mengapa dibutuhkan waktu 3-6 bulan untuk mengetahui serokonversi dan hasil positif tes. 2.6. Terapi HIV/AIDS Sampai saat ini tidak ada vaksin atau obat untuk HIV atau AIDS. Metode satusatunya yang diketahui untuk pencegahan didasarkan pada penghindaran kontak dengan virus atau, jika gagal, perawatan antiretrovirus secara langsung setelah kontak dengan virus secara signifikan, disebut post-exposure prophylaxis (PEP).[40]

PEP memiliki efek samping yang tidak menyenangkan seperti diare, tidak enak badan, mual, dan lelah.[71] Terapi antivirus Penanganan infeksi HIV terkini adalah terapi antiretrovirus yang sangat aktif (highly active antiretroviral therapy, disingkat HAART). Kombinasi yang umum digunakan adalah nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitor (atau NRTI) dengan protease inhibitor, atau dengan non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Karena penyakit HIV lebih cepat perkembangannya pada anakanak daripada pada orang dewasa, maka rekomendasi perawatannya pun lebih agresif untuk anak-anak daripada untuk orang dewasa.[73] Di negara-negara berkembang yang menyediakan perawatan HAART, seorang dokter akan mempertimbangkan kuantitas beban virus, kecepatan berkurangnya CD4, serta kesiapan mental pasien, saat memilih waktu memulai perawatan awal.[74] Perawatan HAART memungkinkan stabilnya gejala dan viremia (banyaknya jumlah virus dalam darah) pada pasien, tetapi ia tidak menyembuhkannya dari HIV ataupun menghilangkan gejalanya. Meskipun demikian, banyak pengidap HIV mengalami perbaikan yang hebat pada kesehatan umum dan kualitas hidup mereka, sehingga terjadi adanya penurunan drastis atas tingkat kesakitan (morbiditas) dan tingkat kematian (mortalitas) karena HIV. Penerapan HAART dianggap meningkatkan waktu bertahan pasien selama 4 sampai 12 tahun. Ketidaktaatan dan ketidakteraturan dalam menerapkan terapi antiretrovirus adalah alasan utama mengapa kebanyakan individu gagal memperoleh manfaat dari penerapan HAART. Terdapat bermacam-macam alasan atas sikap tidak taat dan tidak teratur untuk penerapan HAART tersebut. Berbagai efek samping yang juga menimbulkan keengganan untuk teratur dalam penerapan HAART. Obat anti-retrovirus berharga mahal, dan mayoritas individu terinfeksi di dunia tidaklah memiliki akses terhadap pengobatan dan perawatan untuk HIV dan AIDS tersebut 2.7. Pencegahan HIV/AIDS Hubungan seksual

Penggunaan kondom yang benar dapat mengurangi risiko penularan HIV sampai kira-kira 80%. Pemerintah Amerika Serikat dan berbagai organisasi kesehatan menganjurkan Pendekatan ABC untuk menurunkan risiko terkena HIV melalui hubungan seksual.[67] Adapun rumusannya dalam bahasa Indonesia:[68]

Anda jauhi seks, Bersikap saling setia dengan pasangan, Cegah dengan kondom.

Kontaminasi cairan tubuh terinfeksi Pekerja kedokteran yang mengikuti kewaspadaan universal, seperti mengenakan sarung tangan lateks ketika menyuntik dan selalu mencuci tangan, dapat membantu mencegah infeksi HIV. Penularan dari ibu ke anak Penelitian menunjukkan bahwa obat antiretrovirus, bedah caesar, dan pemberian makanan formula mengurangi peluang penularan HIV dari ibu ke anak (mother-tochild transmission, MTCT). Ibu yang terinfeksi HIV disarankan tidak menyusui anak mereka. Namun demikian, jika hal-hal tersebut tidak dapat terpenuhi, pemberian ASI eksklusif disarankan dilakukan selama bulan-bulan pertama dan selanjutnya dihentikan sesegera mungkin.

You might also like