You are on page 1of 20

BAB II PEMBAHASAN Apabila kita menemukan penderita dengan luka parah, maka seringkali kita dalam kebingungan untuk

memulai penilaian dan pengelolaan penderita, sedangkan tindakan kita seharusnya cepat dan tepat. Cara penilaian awal serta pengelolaannya yang akan diuraikan dibawah ini merupakan suatu protocol menurut Advanced Trauma Life Support. 2.1 PENGERTIAN INITIAL ASSESMENT Pengertian luas initial assessment adalah proses evaluasi secara tepat pada penderita gawat darurat yang langsung diikuti dengan tindakan resusitasi. Secara terbatas pengertian initial assessment adalah meliputi tindakan triase sampai dengan survey sekunder. Initial assessment harus dilakukan dengan urutan yang benar supaya diperoleh hasil yang maksimal meski demikian dalam praktek sehari-hari dapat berlangsung secara simultan 1. KOMPONEN INITIAL ASSESMENT Proses initial assessment ini meliputi : 1. Persiapan penderita 2. Triase 3. Survey primer 4. Resusitasi 5. Pemeriksaan penunjang untuk survey sekunder 6. Pengawasan dan evaluasi ulang 7. Terapi definitive

2. LANGKAH-LANGKAH PADA INITIAL ASSESSMENT MELIPUTI : 1. Persiapan penderita Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakut dengan petugas di lapangan akan menguntungkan penderita. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari tempat kejadian sehingga rumah sakit dapat mempersiapkan peralatan dan tim trauma pada saat penderita tiba di rumah sakit Ada 2 tahap persiapan penderita :
3

Tahap pra rumah sakit Merupakan fase yang cukup menentukan untuk keselamatan pasien, mulai dari penanganan awal hingga rujukan pasien ke RS yang tepat Di Indonesia pelayanan pra Rumah sakit ini merupakan bagian yang sangat terbelakang dari pelayanan penderita gawat darurat secara menyeluruh. Berbeda di jalan tol hamper semua korban penderita yang trauma dibawa oleh ambulans ke rumah sakit. Pelayanan korban dengan trauma pra rumah sakit yang membawanya biasanya adalah keluarga sendiri atau orang sekitar yang berbaik hati ( good samaritan) Prinsip Do No Further Ham : Keadaan yang ideal adalah dimana Unit Gawat Darurat (UGD) yang datang ke penderita, bukan sebaliknya, karena itu ambulans yang datang sebaiknya memiliki peralatan yang lengkap. Petugas/ paramedic yang datang membantu penderita sebaiknya mendapatkan latihan khusus, karena pada saat menangani penderita mereka harus menguasai ketrampilan khusus yang dapat menyelamatkan nyawa.

Hal-hal yang perlu dipertimbangkan meliputi : Koordinasi dengan rumah sakit tujuan yang disesuaikan dengan kondisi dan jenis perlukaannya Penjagaan jalan nafas, control perdarahan dan imobilisasi penderita Koordinasi dengan petugas lapangan lainnya

Pada tahap intra RS harus dipersiapkan petugas dan perlengkapannya sebelum penderita tiba. Persiapan tersebut meliputi : Alat perlindungan diri Kesiapan perlengkapan dan ruangan untuk resusitasi Persiapan untuk tindakan resusitasi yang lebih kompleks Persiapan untuk terapi definitive

Yang harus dilakukan oleh seorang paramedic adalah : Menjaga airway dan breathing
4

Kontrol perdarahan dan syok Imobilisasi penderita Pengiriman kerumah sakit terdekat yang cocok.

Tahap rumah sakit Evakuasi Penderita : Dalam keadaan dimana penderita trauma dirumah sakit yang dibawa tanpa persiapan pada pra- dirumah sakit maka sebaiknya evakuasi dari kendaraan ke brankar dilakukan oleh petugas rumah sakit dengan berhati-hati. Selalu harus diperhatikan control servikal. Ingat prinsip Do No Further Ham

2. Triase Triase adalah tindakan untuk mengelompokkan penderita berdasar pada beratnya cedera yang diprioritaskan berdasarkan ada tidaknya gangguan pada A (airway), B (Breathing) dan C (Circulation). Triase adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan terapi dan sumber daya yang tersedia Penderita yang mengalami gangguan jalan nafas (airway) harus mendapatkan prioritas penanganan pertama mengingat adanya gangguan jalan nafas adalah penyebab tercepat kematian pada penderita. Triase juga mencakup pengertian mengatur rujukan sedemikian rupa sehingga penderita mendapatkan tempat perawatan yang semestinya Pada umumnya kita akan melakukan triase, tidak peduli penderita hanya satu atau banyak. Bila satu penderita, akan mencari masalah penderita (selection of problems) Bila banyak penderita, akan mencari penderita yang paling bermasalah. Pemilahan akan didasarkan pada keadaan ABC (Airway, Breathing, Circulation).

Dua jenis keadaan triase yang dapat terjadi : Musibah missal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan melebihi kemampuan RS. Dalam keadaan ini penderita dengan masalah gawat darurat dan multitrauma akan dilayani terlebih dahulu
5

Musibah missal dengan jumlah penderita dan beratnya perlukaan melampaui kemampuan RS. Dalam keadaan ini yang akan dilayani terlebih dahulu adalah penderita dengan kemungkinan survival yang terbesar, serta membutuhkan waktu, perlengkapan dan tenaga paling sedikit

Tindakan triase dapat dikerjakan pada sekelompok pasien, missal pada keadaan bencana atau korban missal, atau pada penderita tunggal untuk menentukan diagnosis 3. SURVEY PRIMER, RESUSITASI DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG Survey primer atau primary survey adalah pemeriksaan secara cepat fungsi vital pada penderita dengan cedera berat dengan prioritas pada ABCD, fase ini harus dikerjakan dalam waktu singkat dan kegawatan pada penderita sudah harus dapat ditegakkan pada fase ini. Pada tahap ini harus dicari keadaan yang mengancam nyawa, tetapi sebelum memegang penderita trauma selalu harus proteksi diri terlebih dahulu untuk menghindari tertular penyakit seperti Hepatitis dan AIDS. Alat proteksi diri sebaiknya : Sarung tangan Kaca mata, terutama apabila penderita menyemburkan darah Apron, melindungi pakaian sendiri Sepatu

Tindakan resusitasi untuk menyelamatkan harus segera dikerjakan apabila dijumpai kegawatan pada survey primer meliputi penilaian : A: AIRWAY maintenance adalah mempertahankan jalan nafas. Hal ini dapat dikerjakan dengan tekhnik manual ataupun menggunakan alat bantu (pipa orofaring. Pipa endotracheal). Tindakan ini mungkin akan banyak memanipulasi leher sehingga harus diperhatikan untuk menjaga stabilitas tulang leher B: BREATHING adalah menjaga pernafasan/ventilasi dapat berlangsung dengan baik. Setiap penderita trauma berat memerlukn tambahan oksigen yang harus diberikan kepada penderita dengan cara efektif. C : CIRCULATION adalah mempertahankan sirkulasi bersama dengan tindakan untuk menghentikan perdarahan. Pengenalan dini tanda-tanda syok perdarahan

dan pemahaman tentang prinsip-prinsip pemberian cairan sangat penting untuk dilakukan sehingga menghindari pasien dari keterlambatan penanganan D: DISABILITY adalah pemeriksaan untuk mendapatkan kemungkinan adanya gangguan neurologis E : ENVIRONMENT atau EXPOSURE adalah pemeriksaan pada seluruh tubuh penderita untuk melihat jejas atau tanda-tanda kegawatan yang mungkin tidak terlihat dengan menjaga supaya tidak terjadi hipotermi. Selama survey primer ini keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Resusitasi yang agresif dan pengelolaan yang cepat dari keadaan yang mengancam nyawa merupakan hal yang mutlak bila ingin penderita tetap hidup. Prioritas penanganan kegawatan dilakukan berdasarkan urutan diatas, namun bila memungkinkan dapat juga dilakukan secara simultan. Prioritas penanganan untuk pasien usia muda maupun usia lanjut adalah sama. Salah satu perbedaanya adalah bahwa pada usia muda ukuran organ relative lebih kecil dan fungsinya belum berkembang secara maksimal. Pada ibu hamil, prioritas tetap sama , hanya proses kehamilan membuat proses fisiologis berubah karena adanya janin. Pada orang tua, karena proses penuaan fungsi tubuh menjadi lebih rentan terhadap trauma karena berkurangnya daya adaptasi tubuh.

4.

AIRWAY DAN CERVICAL CONTROL Kelancaran jalan nafas (airway) adalah menjadi prioritas pemeriksaan. Pemeriksaan ini meliputi adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan karena benda asing, fraktur tulang wajah, trauma laring, trachea dan sebab lain. Dalam hal ini penjagaan airway bias dimulai dengan membuka jalan nafas dengan maneuver chin lift atau jaw thrust untuk mengetahui ada atau tidaknya sumbatan oleh benda asing/darah/dan lainnya. Selama melakukan tindakan tersebut juga harus dijaga stabilisasi tulang leher, khususnya pada multiple trauma atai trauma bagian atas tubuh. Cedera tulang leher harus diantisipasi dengan benar sampai terbukti tidak ada. Pada keadaan tertentu dimana airway sukar dipertahankan dengan tindakan biasa maka harus segera disiapkan untuk memasang airway definitive jika diperlukan.

Yang pertama dinilai adalah : kelancaran jalan nafas, namun harus diingat bahwa kebanyakan usaha untuk memperbaiki jalan nafas akan menyebabkan gerakan pada leher. Karena itu apabila ada kemungkinan fraktur servikal harus dilakukan control servikal. Kemungkinan patahnya tulang servikal diduga bila ada : Trauma kapitis, terutama apabila ada penurunan kesadaran Adanya luka karena trauma tumpul cranial dari klavikula Setiap multi trauma (trauma pada 2 regio tubuh atau lebih) Juga harus waspada kemungkinan patah servikal bila boi-mekanika trauma mendukung (misalnya ditabrak dari belakang). Cara proteksi servikal : Pertahankan posisi kepala Pasang colar servikal Pasang diatas Long Spine Board

Lalu perhatian ditujukan kepada airway. Ajaklah penderita berbicara, apabila penderita dapat berbicara, apabila penderita dapat berbicara dengan jelas dan dengan kalimat panjang, maka untuk sementara dapat dianggap bahwa airway dan breathing dalam keadaan baik. Juga kemungkinan penderita tidak syok, dan tidak ada kelainan neurologis, namun asumsi ini selalu lakukan dengan berhati-hati. Lakukan penilaian Airway Bila dapat berbicara jelas : airway baik Bila ada gangguan airway : perbaiki.

Sumbatan pada jalan nafas akan menyebabkan sesak yang harus dibedakan dengan sesak karena gangguan breathing. Pada obtruksi jalan nafas biasanya akan ditemukan pernafasan yang berbunyi seperti : bunyi gurgling (bunyi kumur-kumur karena ada cairan), bunyi mengorok (snoring karena pangkal lidah yang jatuh ke dorsal) ataupun stridor karena adanya penyempitan / oedem larings. Lakukan penanganan sebai berikut : Bila ada cairan , dilakukan suction
8

Bila mengorok dilakukan penjagaan jalan nafas secra manual dengan chin lift atau jaw thrust disusul pemasangan pipa oro atau naso-faringeal.

Pemasangan pipa orofaringeal (Guedel /Mayo) jangan dilakukan apabila penderita masih sadar ataupun berusaha mengeluarkan pipa tersebut (masih ada gag reflek). Dalam keadaan ini lebih baik dipasang pipa nasofaringeal. Harus diingat bahwa pemasangan pipa melalui hidung merupakan kontraindikasi apabila penderita ada kecurigaan fraktur basis kranii bagian depan, karena pipa dapat masuk kerongga cranium.

Apabila penderita apnue, ada ancaman obstruksi ataupun ada ancaman aspirasi lebih baik memasang jalan napas definitif (pipa dalam trakea). kriko tiroidotomi. Jalan nafas definitif ini dapat

melalui hidung (nasotrakeal), melalui mulut (orotrakeal) ataupunlangsung melalui suatu

Menjaga jalan nafas pada penderita trauma sangat sulit. Sebagai contohnya adalah penderita trauma kapitis dengan mulut yang penuh darah karena raktur basis kranii ataupun karena fraktur tulang wajah. Contoh lain adalah penderitabkesadaran menurun yang gelisah dan gigi terkatup. Betapapun sulitnya, tetapi merupakan tugas dokter yang menerima penderita itu untuk dapat menjaga jalan nafas dengan baik dan dalam waktu yang secepat mungkin. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi ataupun rotasi dari leher.

5.

BREATHING DAN VENTILATION Breathing (pernafasan) dan ventilation (proses pertukaran gas) yang baik memerlukan kerja dinding dada, paru dan diafragma yang baik pula. Gangguan pada salah satu organ tersebut dapat menyebabkab gangguan pada pernafasan dan ventilasi. Dada penderita harus dibuka untuk melihat ekspansi dinding dada. Lakukan tekhnik auskultasi, perkusi dn palpasi untuk melihat adanya kelainan pada pernafasan penderita.
9

Setiap penderita trauma harus diberikan oksigen. Beberapa keadaan akut akibat trauma yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan yang fatal adalah tension pneumothoraks, flail chest yang disertai kontusio pulmonum, hemathotoraks yang massif dan pneumothoraks terbuka. Hal ini harus dikenali pada fase ini dan segera tindakan berupa pemasangan drain thoraks untuk tujuan dekompresi. Periksa breathing dan atasi bila kurang baik. Jalan nafas yang baik tidak

menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernapas adalah mutlak untuk pertukaran oksigen dan karbondioksida dari tubuh. Tiga hal yang harus dilakukan dalam breathing : Nilai apakah breathing baik (look-listen-feel) Ventilasi tambahan apabila breathing kurang adekuat. Selalu berikan oksigen

Menilai pernafasan Petugas yang berpengalaman dalam hitungan detik dapat menilai apakah pernafasan baik atau tidak. Penderita yang dapat berbicara kalimat panjang, tanpa ada kesan sesak, umumnya breathingnya baik.

Pernafasan yang baik adalah pernafasan yang : Frekuensi normal (dewasan rata-rata sekitar 20, anak 30, bayi 40) Tidak ada gejala dan tanda sesak Pada pemeriksaan fisik baik

Lakukan pemeriksaan dengan cara : 1. Lihat dada penderita dengan membuka untuk melihat pernafasan yang baik. Lihat apakah ada jejas, luka terbuka, dan ekspansi kedua paru. 2. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara kedalam kedua paru dengan mendengarkan bising nafas dan memeriksa jantung.

10

3. Perkusi dilakukan untuk menilai adanya udara (hipersonor) atau darh (dull) dalam rongga pleura.

Cedera thorak yang dapat mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat dan ditemukan pada saat melakukan survey primer adalah : Tension pneumothorak Flail chest dengan kontusio paru Pneumothorak terbuka Hematotorak massif.

Kelainan kelainan diatas harus segera diatasi untuk menghindari kematian.

Ventilasi Tambahan Apabila pernafasan tidak adekuat harus dilakuka bantuan pernafasan (assisted ventilation). Di UGD sebaiknya membantu pernafasan memakai Bag-Valve (Ambu Bag) ataupun memakai ventilator.

Oksigen Berikan oksigen, apabila diperlukan konsentrasi oksigen yang tinggi dengan memakai rebreathing ataupun non rebreathing mask, atau dengan kanul (5-6 lpm)

6.

CIRCULATION DAN HEMORHAGE CONTROL Perdarahan merupakan sebab utama kematian pada penderita trauma yang mungkin dapat diatasi apabila mendapat terapi yang cepat dan tepat. Penilaian fungsi sirkulasi secara cepat dapat dilakukan dengan menilai kesadaran, warna kulit dan nadi. Menghentikan perdarahan luar dapat dikerjakan selama primary survey primer dengan tekhnik penekanan pada luka atau cara operatif. Bila ada tanda syok atasi. Syok pada penderita trauma harus dianggap disebabkan oleh hipovolemia, sampai terbukti sebaliknya. Dengan demikian maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamika penderita.

Reaksi tubuh terhadap hilangnya cairan (perdarahan) dapat berbeda :


11

Pada orang tua kemampauan kompensasi sudah jauh berkurang sehingga tindakan resusitasi harus segera diberikan Pada usia dini kompensasi sangat besar sehingga tanda-tanda kegagalan sirkulasi muncul lambat Pada olah ragawan daya kompensasi lebih besar daripada orang biasa dengan ciri khas lebih jarang terjadi takikardi meskipun dlama kondisi hipovolemia

Resusitasi cairan diberikan berdasarkan derajat syok yang terjadi , dari derajat syok dan responnya terhadap resusitasi cairan, dapat diprediksi apakah suatu perdarahan dalam (internal bleeding) memerlukan tindakab operatif (surgical resusitation) atau tidak. 1. Pengenalan Syok Ada dua pemeriksaan yang dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamika, yakni keadaan kulit akral dan nadi.

Keadaan kulit akral : Warna kulit dapat membantu diagnosis hipovolemia. Penderita trauma yang kulitnya kemerahan, terutama pada wajah dan ekstremitas, jarang yang dalam keadaan hipovolemia. Sebaliknya, wajah pucat keabu-abuan kulit eksremitas yang pucat serta dingin, merupakan tanda syok.

Nadi : Nadi yang besar seperti arteri femoralis atau arteri carotis harus diperiksa bilateral, untuk kekuatan nadi, kecepatan dan irama. Pada syok nadi akan kecil dan cepat. Bila nadi kecil dan cepat, kulit pucat, dan akral dingin syok

Catatan mengenai tekanan darah : Pada fase awal jangan terlalu percaya kepada tekanan darah dalam menentukan syok karena : Tekanan darah sebelumnya tidak diketahui. Diperlukan kehilangan volume darah lebih dari 30% untuk dapat terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan.

12

2. Kontrol pendarahan Perdarahan dapat secara eksternal (terlihat) dan internal (tidak terlihat). Perdarahan internal berasal dari : Rongga toraks Rongga abdomen Fraktur pelvis Fraktur tulang panjang Jarang : perdarahan retro-peritoneal karena robekan vena kava/aorta atau perdarahan masif dari ginjal. Perdarahan eksternal : Perdarahan eksternal dikendalikan dengan penekanan langsung pada luka. Jarang diperlukan penjahitan untuk mengendalikan perdarahan luar. Turniket (tourniquet) jangan dipakai, karena apabila dipasang secara benar (diatas tekanan sistolik) justru akan merusak jaringan karena menyebabkan iskemia distal dari turniket. Pemakaian hemostat (di klem) memerlukan waktu dan dapat merusak jaringan sekitar seperti syaraf dan pembuluh darah. Perdarahan internal : Spalk/bidai dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan dari suatu fraktur pada ekstremitas. Pneumotic anti shack garment adalah suatu alat untuk menekan pada keadaan fraktur pelvis, namun alat ini mahal dan sulit didapat. Sebagai gantinya dapat dipakaikan gurita sekitar pelvis. Perdarahan intra-abdominal atua intra-torakal yang masif, dan tidak dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena yang adekuat, menunut diadakanny operasi segera untuk menghentikan perdarahan (resusitasi laparo/thoracotomy). 3. Perbaikan volume

13

Kehilangan darah sebaiknya diganti dengan darah, namun penyediaan darah memerlukan waktu, karena itu pada awalnya akan diberikan cairan kristaloid 1-2 liter untuk mengatasi syok hemoragik melalui 2 jalur dengan jarum intravena yang besar. Cairan kristaloid ini sebaiknya Ringers Lactate, walaupun NaCl fisiologis juga dapat dipakai. Cairan ini diberikan dengan tetesan cepat melalui suatu kateter intravena yang besar (min. Ukuran 16). Dalam bahasa Jakarta/Jawa Barat diguyur, di Jawa Tengah/Jawa Timur dengan bahasa grojog dan di Sumatera cor. Cairan ini juga harus dihangatkan untuk menghindari terjadinya hipotermia. Cairan ini juga harus dihangatkan apabila ingin menghindari terjadinya hipotermia. Pemasangan kateter urin dapat dipertimbangkan disini guna pemantauan urin. Alur pikir pada penderita trauma yang mengalami syok : saat dikenali syok (penderita trauma), harus dianggap sebagai syok hemoragik. Sambil dipasang infus, dilakukan penekanan pada perdarahan luar (bila ada). Bila tidak ada perdarahan luar dilakukan pencarian akan adanya perdarahan internal (5 tempat : torax, abdomen, pelvis, tulang panjang dan retoperitonial). Sambil mecari sumber perdarahan, dilakukan evaluasi respon penderita terhadap pemberian cairan. Kemungkinan adalah : Respon baik : setelah diguyur, tetesan diperlahan, tanda-tanda perfusi baik (kulit menjadi hangat, nedi menjadi besar dan melambat, tensi naik). Ini pertanda perdarahan sudah berhenti. Respon sementara : setelah tetesan dipelankan, ternyata penderita masuk syok lagi. Ini mungkin disebabkan : resusitasi cairan masih kurang, atau perdarahan berlanjut. Respon tidak ada : apabila sama sekali tidak ada respon terhadap pemberian cairan, maka harus dipikirkan perdarahan yang hebat atau syok non-hemoragik (paling sering kardiogenik).

7.

DISABILITY
14

Pemeriksaan neurologis secara cepat dapat dilakukan dengan metode AVPU (Alert, Voice Respone, Pain Respone, Unresponsive). Pemeriksaan GCS secara periodic dapat dilakukan untuk hasil yang lebih detail pada survey sekunder. Penururnan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau penuruna perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung pada otak. Bila hipoksia dan hipovolemia pada penderita dengan gangguan kesadaran adapat disingkirkan, pikirkan adanya kerusakan CNS sampai terbukti lain. Perdarahan intra-kranial dapat menyebabkan kematian dengan sangat cepat (the patient who talk and dies), sehingga diperlukan evaluasi keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. 1. GCS (Glasgow Coma Scale) : GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan (outcome) penderita. Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau dan penurunan perfusi otak, atau disebabkan perlukaan pada otak sendiri. Perubahan kesadaran akan dapat mengganggu airway serta breathing yang seharusnya sudah diatasi terlebih dahulu. Jangan lupa bahwa alkohol dapat mengganggu kesadaran penderita. Penurunan tingkat GCS yang lebih dari satu (2 atau lebih) harus sangat diwaspadai.

2. Pupil Nialai adakah perubahan pupil. Pupil yang tidak sama besar (anisokori) kemungkinan menunjukkan adanya suatu lesi masa intra-kranial (perdarahan). Perlu diingat bahwa lesi biasanya (tidak selalu) akan terjadi pada sisi pupil yang melebar.

3. Resusitasi Terhadap kelainan primernya di otak tidak banyak yang dapat dilakukan, namun tugas sangat penting dari dokter yang menerima penderita trauma
15

kapitis di UGD adalah dengan menghindari cedera otak sekunder (secondary brain injury). Yang harus dilakukan terapi dengan agresif adalah adanya hipovoilemia, hipoksia dan hiperkarbia untuk menghindari cedera otak sekunder tersebut.

8.

EKSPOSURE Di rumah sakit penderita harus dibuka keseluruhan pakaiannya untuk evaluasi kelainan atau injury secara cepat pada tubuhh penderita. Setelah pakaian dibuka perhatikan terhadap injury/jejas pada tubuh penderita, dan harus dipasang selimut agar penderita tidak kedinginan. Harus dipakaikan selimut hangat, ruangan cukup hangat dan diberikan cairan intravena yang sudah dihangatkan. Apabila pada primary survei dicurigai ada perdarahan dari belakang tubuh maka dilakukan log rog untuk mengetahui sumber perdarahan. Pemeriksaan seluruh bagian tubuh harus dilakukan disertai tindakan untuk mencegah hipotermia. Pemasangan bidai atau vakum matras untuk emnghentikan perdarahan juga sapat dilakukan pada fase ini. Pemeriksaan penunjang pada umumnya tidak dilakuan pada survey primer. Yang dilakukan pada survey primer adalah pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse oxymetri, foto servical, foto thoraks, dan foto polos abdomen. Tindakan lainnya yang dapat dikerjakan pada survey primer adalah pemasangan monitor EKG, kateter, dan NGT. Pemeriksaan dikerjakan tanpa menghentikan/ menunda proses survey primer.

9. FOLLEY CATHETER / KATETER URIN Pemakaian kateter urin dan lambung harus dipertimbangkan. Jangan lupa mengambil sampel urin untuk pemeriksaan urin rutin. Produksi urin merupakan indikator yang peka untuk menilai keadaan hemodinamik penderita. Catatan : urin penderita dewasa cc/kgBB/jam, anak 1cc/kgBB/jam, bayi 2cc/kgBB/jam. Kateter urin jangan dipakai bila ada dugaan ruptur uretra yang ditandai oleh : Adanya darah di lubang uretra bagian luar (QUE/Orifisium Uretra External) Hematom skrotum
16

Pada colok dubur prostat letak tinggi atau tidak teraba.

Dengan demikian maka pemasangan kateter urin tidak boleh dilakukan sebelum colok dubur (khusus pada penderita trauma).

10. GASTRIC TUBE/ KATETER LAMBUNG Kateter lambung dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mencegah muntah. Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak berfungsi, pemasangannya sendiri dapat mengakibatkan muntah. Darah dalam lambung dapat disebabkan darah tertelan, pemasangan NGT yang traumatik atau perlukaan lambung. Bila lamin kribrosa patah (fraktur basis kranili anterior) atau diduga patah, kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT dalam rongga otak.

11. . HEART MONITORING/ MONITOR EKG Monitoring hasil resusitasi didasarkan pada ABC penderita. Airway : seharusnya dudah diatasi Breathing : pemantauan laju nafas (sekaligus memantua airway), dan kalau ada : pulse oximetry. Circulation : nadi, tekanan nadi, tekanan darah, suhu tubuh dan jumlah urin setiap jam. Bila ada sebaiknya terpasang monitor EKG. Disability : nilai tingkat kesadaran penderita dan adakah perubahan pupil.

12. FOTO RONTGEN Pemakaian foto rontgen harus selekif, dan jangan mengganggu proses resusitasi.Pada penderita trauma tumpul harus dilakukan 3 foto rutin : - Servikal - Toraks (AP) Pelvis (AP)

Foto servikal AP harus terlihat ke-7 ruas tulang servikal, apabila tidak terlihat harus dengan menarik kedua bahu kearah kaudal, ataupun dengan swimmers view.

17

13. SURVEY SEKUNDER, PEMERIKSAAN PENUNJANG DAN EVALUASI Survey sekunder baru dilakukan setelah survey primer selesai dan dipastikan airway, breathing, dan sirkulasi penderita dipastikan membaik. Survai sekunder adalah pemeriksaan teliti yang dilakukan dari ujung rambut sampai ujung kaki, dari depan sampai belakang dan setiap lubang dimasukka jari (tube finger in every orifice). Prinsip pada survey sekunder adalah memeriksa seluruh tubuh dengan lebih teliti dari mulai ujung rambut sampai ujung jari kaki (head to toe) baik pada tubuh bagian depan maupun belakang dan evaluasi ulang terhadap pemeriksaan tanda vital penderita. Dimulai dengan anamnesa singkat meliputi AMPLE (allergi, medication, past illness, last meal, dan event of injury). Pemeriksaan penunjang yang diperlukan dapat dilakukan pada fase ini diantaranya foto thoraks. Survai sekunder hanya dilakukan apabila penderita stabil. Sedikit mengenai pengertian stabil : penderita stabil berarti bahwa keadaan penderita sudah tidak menurun. Mungkin masih ada tanda syok, namun tidak bertambah berat. Ini berbeda dengan keadaan normal, dimana penderita kembali ke keadaan normal.

Survai sekunder juga harus meliputi pemeriksaan yang teliti akan setiap lubang alami (tubes and finger in every orifice). a. Anamnesa Anamnesa harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh : Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman : cedera wajah, maksilo-facial, sevikal, toraks, abdomen dan tungkai bawah. Jatuh dari pohon setinggi 6 meter : perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas. Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.

Anamnesa juga harus meliputi : A M P : alergi : medikasi / obat-obatan : Penyakit sebelumnya yang diderita: hipertensi, DM
18

L E

: last Meal (terakhir makan jam berapa, bukan makan apa) : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera

Dapatkan riwayat AMPLE dari penderita, keluarga atau petugas pra RS b. Pemeriksaan fisik : meliputi inspeksi, auskultasi, palpasi, dan perkusi 1. Kulit kepala Seluruh kulit kepala diperiksa. Cukup sering terjadi bahwa penderita yang nampaknya cedera ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari tetesan luka di belakang kepala. Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya laserasi, kontusi, fraktur, dan luka termal. 2. Wajah Ingat prinsip: look-listen-feel. Apabila cedera sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re-evaluasi tingkat kesadaran denagn skor GCS. Mata : periksa kornea ada cedera atau tidak, pupil mengenai isokor serta reflex cahaya, acies visus dan acies campus. Hidung : apabila ada pembengkakan. Lakukan palpasi akan kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur. Zygoma : apabila ada pembengkakan jangan lupa mencari krepitasi akan adanya fraktur zygoma. Telinga : periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani atau adanya hemotimpanum. Rahang atas : periksa stabilitas rahang atas Rahang bawah : periksa akan adanya fraktur

3. Vertebra servikalis dan leher Pada saat memeriksa leher, kolar terpaksa dilepas. Jangan lupa untuk seorang pembantu tetap melakukan fiksasi pada kepala. Periksa adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, dan simetri pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris dan proteksi servikal. Jaga airway,

19

pernafas, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan, cegah kerusakan otak sekunder, dan lepaskan lensa kontak. 4. Toraks Pemeriksaan dilakukan dengan look-listen-feel. Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya trauma tumpul/ tajam, pemakaian otot pernafasan tambahan dan ekspamsi thoraks bilateral. Auskultasi pada bagian depan untuk bising nafas (bilateral) dan bising jantung. Palpasi seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema subkutan, nyeri tekan dan krepitasi. Perkusi untuk adanya hipersonor dan keredupan. Ingat bahwa setiap cedera di bawah putting susu, ada kemungkinan cedera intraabdominal pula. 5. Abdomen Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada). Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang untuk adanya trauma tajam, tumpul, dan adanya perdarahan internal. Auskultasi bising usus, perkusi abdomen untuk mendapatkan nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk nyeri tekan, defans muskuler, nyeri lepas yang jelas, atau uterus yang hamil. Bila ragu-ragu akan adnya perdarahan intra-abdominal dapat dilakukan pemeriksaan DPL (diagnostic peritoneal lavage), ataupun USG. Ingat bahwa pada perforasi organ ber-lumen misalnya usus halus gejala mungkin tidak akan Nampak dengan segera, karena itu memerlukan re-evaluasi berulang kali. Pengelolaan : transfer penderita ke ruang operasi bila diperlukan 6. Pelvis

20

Cedera pada pelvis yang berat, akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis menjadi tidak stabil). Pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk control perdarahan dari fraktur pelvis. 7. Ekstermitas Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa untuk memeriksa adanyaluka dekat daerah fraktur (fraktur terbuka), pada saat palpasi jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur, pada saat menggerakkan, jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen dalam ekstrimitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah) mungkin luput terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan. 8. Bagian punggung Memeriksa punggung dilakukan dengan log roll (memiringkan penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan pemeriksaan punggung.

14. RE-EVALUASI PENDERITA Penilaian ulang penderita dengan mencatat, melaporkan setiap perubahan pada kondisi penderita dan respon terhadap resusitasi. Monitoring dari tanda vital dan jumlah urin mutlak dilakukan. Jangan lakukan pemeriksaan yang tidak perlu apabila penderita akan dirujuk ke RS lainnya.

15. TERAPI DEFINITIVE DAN RUJUKAN Terapi definitive pada umunya merupakan porsi dari dokter spesialis bedah. Tugas dokter yang melakukan penanganan pertama adalah untuk melakukan resusitasi dan stabilisasi serta menyiapkan penderita untuk dilakukannya tindakan definitive atau untuk dirujuk. Proses rujukan harus sudah mulai saat alasan untuk merujuk ditemukan, karena menunda rujukan akan meninggikan morbiditas dan mortalitas penderita.

21

Keputusan untuk merujuk penderita didasarkan atas data fisiologis penderita, cedera anatomis, mekanisme perlukaan, penyakit penyerta serta factor-faktor yang dapat mengubah prognosis. Idealnya dipilih rumah sakut terdekat yang cocok dengan kondisi penderita. Pertimbangkan perlunya diadakan pemeriksaan tambahan: seperti foto tambahan, CT scan, USG, endoskopi, dsb. Tentukan indikasi rujukan, prosedur rujukan, kebutuhan penderita selama perjalanan, dan cara komunikasi dengan dokter yang akan dirujuk

22

You might also like