You are on page 1of 3

Menggapai Pesona Frida Kahlo

(Jawa Pos, Minggu, 28 November 2004) Judul buku Judul Asli Penulis Penerbit Edisi Tebal : Frida : Frida: A Novel Based on the Life of Frida Kahlo : Barbara Mujica : Bentang, Yogyakarta : Juni, 2004 : xxviii+794 hlm.

Frida Kahlo dikenal dunia sebagai salah seorang pelukis besar. Lukisanlukisannya yang sebagian besar berupa potret diri banyak dipuji bahkan di kalangan seniman sendiri, di antaranya oleh maestro seni lukis dunia, Picasso. Tetapi Frida dikenang bukan sekedar karena lukisannya. Kisah hidupnya yang dramatis dan cenderung eksentrik, itulah yang membuatnya hingga saat ini, dan mungkin di masa yang akan datang nanti, tetap tidak bisa dilupakan. Selain kualitas artistiknya, yang membuat karya-karyanya demikian bernilai di mata para pengamat dan penikmat seni adalah cerita dibaliknya. Begitu penting sosok Frida dalam lukisan-lukisannya hingga tidak mungkin orang mengapresiasi karyanya dengan baik tanpa mengetahui siapa Frida Kahlo. Frida telah menjadikan dirinya sendiri sebagai objek kreativitasnya, arena pergulatannya. Tak heran jika banyak pengamat memandang karya-karya Frida sebagai rangkaian kesaksian yang bersifat biografis atas kehidupannya sendiri. Gaya Lukisan Frida dipandang menandai babak baru dalam sejarah seni lukis dunia karena tidak ada preseden sebelumnya. Andre Breton, seorang penyair besar Perancis yang banyak disebut-sebut sebagai bapak aliran surealisme, memandang lukisan-lukisan Frida sebagai esensi surealisme. Dalam lukisan Frida, pengalaman sadar dan tak sadar menyatu hingga antara realitas dan mimpi menjadi tak terpisahkan. Tapi Frida tak ambil pusing, baginya yang ia lukis bukanlah mimpi. Tetapi kenyataan hidup yang ia alami. Bahkan, banyak pengamat menyatakan lukisan-lukisan Frida tidak hanya bercerita tentang dirinya tetapi juga kondisi batin seorang perempuan. Karena itu, hingga saat ini Frida merupakan salah satu ikon feminisme. Frida Kahlo lahir di kota Meksiko dari pasangan ayah keturunan Yahudi dan ibu keturunan Spanyol-Meksiko pada tahun 1907. Ia adalah anak ketiga dari empat bersaudara yang semuanya perempuan. Saudaranya yang paling banyak disebut dan nantinya sangat mempengaruhi kehidupan Frida adalah adiknya yang bernama Cristina. Pada usia tujuh tahun ia menderita polio yang membuat kaki kanannya pincang. Penderitaannya bertambah ketika pada usia 18 tahun ia mengalami cedera berat ketika bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan. Ia sempat didiagnosis tidak akan selamat. Tapi, hasratnya hidupnya yang besar dan kekuatannya menanggungkan penderitaan membuatnya dapat bertahan. Ia dapat pulih kembali meskipun sepanjang hidupnya harus meminum obat pereda rasa sakit. Pada saat inilah pertama kali ia mulai melukis potret dirinya. Hampir semua lukisannya menggambarkan derita fisik dan luka hatinya. Ia pernah mengatakan sepanjang hidupnya telah mengalami dua kecelakaan. Yang pertama kecelakaan bus, sedangkan yang kedua ketika bertemu dengan Diego Rivera. Hubungannya dengan Diego Rivera, suami sekaligus mentornya, amat kompleks. Kebiasaan Diego tidur dengan banyak perempuan amat menyakiti Frida. Rasa sakit Frida itu mencapai puncaknya ketika mengetahui Diego berselingkuh dengan adiknya sendiri, Cristina. Tapi bukan Frida kalau ia tidak dapat bertahan. Kondisi fisiknya yang

rapuh tidak dapat menghalangi hasrat kehidupannya yang menyala-nyala. Pada saat inilah justru Frida memulai petualangan cintanya dengan banyak laki-laki dan juga perempuan. Frida diketahui sebagai seorang biseksual. Laki-laki pertama yang menjadi selingkuhan Frida adalah Leon Trotsky, pemimpin dan konseptor komunis Rusia. Petualangan cinta Frida terus berlangsung hingga menjelang akhir hidupnya. Pada tahun 1953 kesehatan Frida terus memburuk. Ia menjalani operasi tulang belakang dan kaki kanannya harus diamputasi. Bagi orang yang sangat memperhatikan dan menjaga citra diri seperti Frida, amputasi itu tentu saja membuatnya sangat terpukul. Sebagian dirinya sepertinya telah direnggut. Sejak saat itu ia melakukan beberapa kali percobaan bunuh diri. Setahun kemudian ia meninggal pada usia 47 tahun diduga karena bunuh diri. Sosok Frida yang demikian kompleks, eksentrik dan dramatis itu telah mengundang banyak orang untuk mengapresiasi kisah hidupnya. Buku-buku biografinya, catatan harian dan surat-suratnya, bahkan resep-resep makanan favoritnya telah banyak didokumentasikan. Sebuah film berdasarkan kisah hidupnya berjudul Frida telah dibuat pada tahun 2002. Novel berjudul Frida yang ditulis Barbara Mujica ini adalah bentuk apresiasi terbaru terhadap Frida Kahlo. Mujica adalah profesor bahasa dan sastra Spanyol di Universitas Georgetown. Sebagai novel-biografis buku ini tidak berpretensi untuk mencapai akurasi. Sebaliknya, novel ini hendak mengisi ruang kosong yang ditinggalkan buku-buku biografi Frida. Kesetian terhadap fakta telah membuat bukubuku biografi cenderung kering dan superfisial. Mujica berambisi untuk mengungkap sisi dalam dari seorang Frida. Kemampuan Frida untuk keluar dari keterpakuan terhadap fisiknya yang rapuh. Sejarah biseksualitasnya. Hubungannya yang rumit antara cinta dan benci dengan suami dan adiknya. Kecemburuannya dengan pacar-pacar Diego yang mendorongnya membalas Diego dengan petualangan cintanya sendiri. Semua kisah itu meninggalkan ruang kosong yang penuh teka-teki. Pergulatan batin yang berkecamuk dalam diri Frida tentulah amat luar biasa. Hebatnya lagi, pergulatan batin itu telah memberinya energi yang besar untuk berkarya. Dengan menulis novel ini, Mujica hendak menangkap esensi kepribadian dari seorang Frida (hlm.xxiv). Ia mengumpulkan berbagai serpihan diri Frida yang tersebar dalam berbagai lukisannya, studi biografis, serta dokumen-dokumen pribadinya seperti catatan harian dan surat-surat yang pernah ia tulis. Dengan imajinasinya, Mujica kemudian merekonstruksi kembali berbagai serpihan ini menjadi karakter yang utuh dari seorang Frida Kahlo. Tapi, utuh tidaklah mesti satu kesatuan yang padu. Dalam novel ini, Mujica justru melukiskan sosok Frida sebagai pribadi yang mendua. Kita dibuat kesulitan untuk memuja Frida. Setiap kita merasakan derita Frida saat itu pula kita dijejali dengan tingkahnya yang menyebalkan. Saat kita melihatnya demikian tegar saat itu pula kita disuguhi Frida yang kerap memaki dan menghiba. Bahkan ketika kita dibuat kagum menyaksikannya berjam-jam bahkan berhari-hari melukis dalam keheningan, kita segera diingatkan betapa ia gila pujian dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Namun, satu garis tegas tetap setia diikuti Mujica. Betapapun derita fisik maupun pukulan psikologis datang bertubi-tubi, Frida tetap tegak berdiri. Bagi Mujica, Frida adalah seniman sejati yang mengubah kerapuhan dan deritanya menjadi karya-karya yang memukau. Tetapi pilihan Mujica menjadikan Cristina, adik Frida, sebagai narator dalam novelnya ini agak dilematis. Di satu sisi, sebagai adik terdekat Frida yang merawat Frida hingga kematiannya bahkan terlibat cinta dengan suaminya, Cristina tentulah menjadi karakter yang tepat untuk menggambarkan sosok Frida yang paling dalam.

Namun, di sisi lain, dengan menggunakan karakter Cristina sebagai naratornya, Mujica justru lebih banyak mengeksplorasi sisi dalam dari Cristina sendiri. Kita hanya bisa tahu tentang Frida dari kesaksian dan perasaan-perasaan Cristina. Mujica sendiri memang menegaskan bahwa ia tertarik secara khusus pada persoalan bagimana kira-kira menjadi saudara perempuan yang biasa saja dari seorang perempuan yang begitu luar biasa (hlm. xxiv). Tetapi, pilihannya ini akhirnya membuat ambisinya untuk mengungkap esensi kepribadian Frida menjadi tertunda. Pembaca tetap berjarak dengan Frida dan hanya dapat merasakan kehadiran Frida dengan menggauli Cristina. Dengan tidak memposisikan Frida sebagai narator dalam novelnya ini, Mujica sepertinya masih terikat tabu objektivitas. Seolah ia tidak rela Frida sebagai hasil apresiasinya menggantikan Frida yang sebenarnya. Dibalik penggambarannya yang telanjang, mendalam dan intim tentang Frida, ia ingin menjaga Frida yang sesungguhnya tetap menjadi misteri.[] Muhammad Syafiq

You might also like