You are on page 1of 14

Mendamba Fiqh Riset, Mengembangkan Teori IstiqroImam Syafii

Jamal Mamur Asmani: Peneliti Cepdes, center for pesantren and democracy studies, Jakarta, Jl. Kertamukti No. 12 Rt. 04/RW. 08 Pisangan Ciputat Tangerang Banten Hp. 085726836184

Abstrak :Fiqh has been seen as a statis and passive dogmatism. There was no relationship between social problem that had been dinamis and fluctuative. In the end of that case, its erased or eliminated outside social reality. Based on this context, fiqh need revitalization. Imam syafii was known as radical and revolutioner fiqh revival according to his theory about istiqro. he not only contextualized and actualized it into real live but also for social problem and ilmyah research. In this concept, fiqh can be intellectual pioneer evocation, democracy, economic, technological, and education on this nation.
Keywords: Fiqh Riset, Teori Istiqro Imam Syafii

PENDAHULUAN Fiqh selama ini seperti tidak mampu mengikuti dinamika perubahan yang berlangsung dengan cepat. Produktifitas ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu diikutioleh respons kitab kuning. ironisnya, kitab justru dikucilkan dalam pergulatan dan pergumulan modernisasi, industrialisasi, dan globalisasi informasi. Fiqh klasik menghadapi dua tantangan dan ini menjadi pertaruhan eksistensinya ke depan. Pertama, mempertahankan diri dengan pola tradisionalisme tanpa ada upaya dinamisasidan revitalisasi. Kedua, melakukan pembaharuan dan memasukkan spirit rasionalisasi, empirisasi, dan reaktualisasi dengan tetap berpijak pada akar tradisi yang kuat. Saya kira, pilihan kedua adalah pilihan yang paling strategis ke depan. Agar supaya kajian kitab turast islami menjadi menarik dan ada manfaat nyata ditengah dinamika globalisasi sekarang ini. Dalam konteks ini, istiqra (penelitian induktif) adalah salah satu instrumen reaktualisasi, revitalisasi, dan transformasi sosial ke arah kehidupan yang maju dan islami. Istiqra, sebuah konsep ulama klasik ini ternyata belum dimaksimalkan fungsinya ditengah problematika sosial yang berkembang secara massif-eskalatif. Ide istiqra Imam Syafii sangat luar biasa. Toeri ini hasil perjalanan panjang intelektual Imam Syafii yang banyak dikagumi intelektual Islam dan non-Islam. Dari perjalanan panjang tersebut, Imam Syafii mampu menguasai semua bidang ilmu dari

golongan ahlul hadits dan ahlun al-rayi, sehingga hampir semua ulama mengagumi pada masanya, baik yang ahli al-hadits (pengikut Imam Malik) maupun ahli rayi (pengikut ImamAbu Hanifah). Imam Syafii lama berguru kepada Imam Malik, sehingga mendalami ilmu hadits, juga berguru dengan dua orang murid ImamAbu Hanifah (ImamAbu Yusuf dan Imam Ibnu Hasan) di Baghdad sehingga cepat menguasai ilmu-ilmu Imam Abu Hanifah. Imam Syafii juga banyak melahirkan ulama terkenal, diantaranya adalah ImamAhmad bin Hambal (pendiri madzhab Hambali). Menggunakan spirit al-turats al-islami (kekayaan intelektual Islam) sebagai langkah melakukan revitalisasi adalah jalan terbaik untuk keluar dari dominasi intelektual Barat dan membangun pondasi intelektual Islam yang konsisten dengan tuntunan Nabi besar Muhammad Saw. yang selalu berkisar pada makarim al-akhlaq moralitas luhur. Ingat kaidah Al-Muhafadhatu ala al-qodim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah, konsisten dengan warisan masa lalu yang masih relevan dan mengadopsi hal baru yang lebih dinamis, produktif, kompetitif. PEMBAHASAN Kemunculan Imam Syafii Pada zaman Imam Syafii ini berkembang dua aliran besar, yaitu ahlu al-rayi dan ahlu al-hadits. Ahlu al-rayi adalah golongan yang aksentuasi dan frekuensi
39

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya menggunakan akal dalam interpretasi sumber wahyu Kedua aliran ini sekali-kali tidak pernah lumayan besar. Mereka mempersempit penggunaan almeninggalkan sumber wahyu (al-Quran dan alHadits. ImamAbu Hanifah hanya menggunakan hadits Hadits). Tuduhan yang dialamatkan kepada Imam yang masyhur saja. Aliran ini dinisbahkan kepada Imam Hanafi bahwa beliau meninggalkan nash dan lebih Hanafi dan pengikut-pengikutnya. Sedangkan ahlu almemilih akal adalah tuduhan yang tidak berdasar oleh hadits adalah golongan yang frekuensi dan aksentuasi mereka yang ingin menghancurkan solidaritas penggunaan akal dalaminterpretasi sumber wahyu tidak keislaman (ukhuwwah islamiyah) dan muncul dari begitu banyak. Mereka memilih hadits sebagai alat fanatisme dan eksklusifisme buta.2 Madzhab Hanafi interpretasi wahyu primer (Al-Quran), sekalipun hadist terkenal dengan istihsannya, sedangkan Madzhab itu adalah hadits yang hanya bersumber dari satu garis Maliki terkenal dengan maslahah mursalah. Kedua silsilah rawi (haditsAhad), bahkan mengambil pendapat sumber hukum ini menjadi perdebatan panjang. sahabat dan praktek hukum penduduk Madinah Imam Syafii muncul di tengah eskalasi kedua sebagai sumber hukum. Golongan ini dinisbahkan madzhab ini. Namun, kelebihan Imam Syafii adalah kepada Imam Maliki dan pengikutnya. Golongan ahlu mengumpulkan kemampuan dua aliran ini. Kalau kita al-rayi biasa dinamakan golongan Kufah (Iraq), melihat pengembaraan Imam Syafii di atas, maka sedangkan ahlu al-hadits berada di Hijaz, Makkahsangat wajar dan layak kalau Imam Syafii mampu Madinah. menguasaiilmu ulama Hijaz dan Kufah. Menguasaiilmu Menurut Ali al-Khaffif, seorang Anggota ulama Hijaz, jelas, karena beliau belajar lama kepada Badan Riset Islam (Mama al-Buhuts Islamiyah) Imam Malik, bahkan beliau adalah murid kesayangan Universitas al-Azhar, Kairo, aliran Iraq lebih cenderung Imam Malik. Beliau juga menguasai madzhab ahli alpada kelonggaran (fleksibelitas) dan bersandar pada rayi karena belajar dengan murid-murid Imam Abu penalaran, analogi dan tujuan-tujuan hukum Hanifah, seperti Muhammad bin Hasan al-Syaibani dan (maqashid al-syariah) dan alasan-alasan sebagai AbuYusuf, berdebat lama dan mendalamdengan ulamadasar ijtihad. Sedangkan madzhab Hijaz, dalam ulamanya sewaktu berada di Baghdad dan Mesir.3 berijtihad, lebih memfokuskan pada bukti-bukti atsar Pergulatan intelektual Imam Syafii yang lintas (peninggalan atau petilasan yakni tradisi atau sunnah) madzhab, lama, danmelelahkan inilah yang membuatnya dan nash.1 dapat mengumpulkan ilmu aliran ahlu al-rayi dan ahlu Kedua aliran ini tidak keluar dari wahyu. al-hadits. Namun, Imam Syafii adalah pemikir kritis Golongan ahlu al-rayi tidak keluar dari nash dengan yang berani mengkoreksi kekurasngan-kekurangan menggunakan akal secara liberal. Dalam menentukan kedua pemikir sebelumnya (Imam Hanafi dan Imam hukumapapun, mereka tetap bersandarkan pada wahyu Maliki). Independensi pemikiran Imam Syafii sangat dengan melakukan optimalisasiijtihad dalam menjawab menonjol, walau banyak orang mengkritiknya. Justru persoalan-persoalan sosial actual, melihat banyaknya independennsi inilah yang beliau warisi dari gurufenomena sosial yang terjadi. Ini tidak lepas dari jarak gurunya. Para gurunya (misalnya Imam Muslim bin antara Makkah-Madinah dengan Kufah (Iraq) yang Kholid, mufti Makkah) sejak beliau berumur 15 sudah lumayan jauh yang memakan perjalanan zaman dulu memberikan kebebasan memberi fatwa hukum kepada memalai unta selama 24 hari. Sedangkan kemajuan manusia melihat watak, kepribadian dan luasnya ilmu ekonomi, keilmuan, peradaban, dan ekonomi di Kufah yang dimilikinya.4 Oleh sebab itu, keberadaan Imam jauh lebih cepat, dinamis, dan kompetitif dibandingkan Syafii ini diakui, dihormati, dan dijadikan rujukan oleh di Hijaz. Maka sebagai konsekwensi logis dari dinamika ulama kalangan madzhab Hanafi dan madzhab Maliki. zaman, muncullah fenomena-fenomena sosial-budaya, Imam Syafii sangat berjasa meletakkan maka disinilah pemikir muslim mengoptimalkan dasar-dasar teoritis tentang dua hal. Pertama, Sunnah, kemampuan akalnya berdasarkan wahyu untuk khususnya dalam bentuk hadits, sebagai sumber dalam menjawab persoalan-persoalan yang terjadi. Jadi, memahami hukum Islam setelahAl-Quran, dan kedua tuntutan situasi dan kondisi sosial turut mempengaruhi analogi atau qiyas sebagai metode rasional dalam munculnya aliran ahlu al-rayi ini. memahami dan mengembangkan hukum itu. Sedangkan ahlu al-hadits, interaksi sosial Sementara ini, consensus atau ijma yang ada dalam budayanya berjalan secara apa adanya, dinamika masyarakat yang kebanyakan bersumber atau sosial, ekonomi, dan peradabannya tidak sedinamis menjelma menjadi sejenis kebiasaan yang berlaku yang terjadi di Iraq, sedangkan mereka mendapatkan umum (al-urf), juga diterima oleh al-Syafii, meskipun ulama-ulama besar dengan penguasaan sumber wahyu ia tidak pernah membangun teorinya yang tuntas. lengkap, sehingga kalau masalah local yang terjadi, Berkat pergulatan intelektual Imam Syafii ini lahirlah mereka langsung kembali kepada al-Quran dan alempat sumber hukum secara berurutan, Al-Quran, Hadits. Tuntutan sosial budaya tidak sebesar di Kufah. Hadits, ijma, dan qiyas.5 Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025 40

Jamal Mamur Asmani: Mendamba Fiqh Riset; Mengembangkan Teori Istiqro Imam Syafii

Imam Syafii telah merintis jalan baru yang seolah-olah merupakan jalan tengah antara dua aliran diatas. Ia menyusun kaidah-kaidah yang harus diikuti oleh para mujtahid, yang terkenal dengan ushul fiqh. Ia menggunakan hadits yang tidak masyhur (hadits Ahad) asalkan hadits itu shahih atau hasan. Tetapi ia tidak menempatkan praktek penduduk Madinah sebagai sumber hukum. Menurut Imam Syafii, setelah hadits harus digunakan ijma (kesepakatn ulama), sebagai tanda adanya persamaan pendapat.6 Mengenal Istiqra Imam Syafii Imam Syafii adalah seorang pemikir dan peneliti yang sukses menghasilkan berbagai karya pemikiran dan penelitian yang sulit dibandingi kwalitasnya. Jejak Imam Syafii ini diikuti para ulama, semisalAl-Ghazali, Al-Suyuthi, Ibnu Rusyd, dan lainlain. Istiqro adalah memberikan justifikasi hukum secara universal (kulliyah) pada sebuah masalah, setelah melakukan penelitian mendalam, akurat pada mayoritas masalah tersebut secara partikularistik (juziyyah). Wahbah Zuhaili mengartikan istiqra dengan pencarian dalil (istidlal) dengan sebab keberadaan hukum pada keseluruhan atau sebagian particular (juziyyat) untuk selanjutnya ditetapkan pada keumuman (kully) dari juziyyat tersebut. Al-Ghazali mencontohkan penerapan istiqra ini dalam menentukan status hukum shalat witir. Bagi Al-Ghzali, shalat witir hukumnya sunnah, karena boleh dilakukan ketika berkendara. Dan setiap shalat yang boleh ditunaikan saat berkendara tentulah bukan shalat fardhu, karena shalat fardhu tidak dapat dilakukukan dengan berkendara. Mengapa shalat fardhu tidak dapat dilakukan dengan berkendara ? hal ini kita ketahui berdasarkan metode istiqra, yaitu bahwasanya setiap sesuatu (shalat) yang dikerjakan, secara qadha (tidak pada waktunya), ada (pada waktunya) ataupun karena unsur nadzar dan keseluruhan satuan shalat fardhu, tidak boleh dilakukan saat berkendara. Maka dengan metode semacam ini dapat dikatakan bahwa setiap shalat fardhu tidak dapat dilakukan dengan berkendara. Dengan berdasarkan pengamatan ini dapat kita pastikan bahwa shalat witir adalah sunnah hukumnya.7 Klasifikasi istiqra Istiqra dibagi menjadi dua, tam dan naqish. Yang dimaksud istiqratam adalah penetapan sebuah hukum dalam juziy karena ditetapkannya hukum tersebut dalam kully (induknya) secara menyeluruh (istighra) yang mencakup keseluruhan individunya. Istiqra tam ini identik dengan al-qiyas al-manthiqi (penalaran silogisme) yang biasa digunakan dalam ilmu

logika (aqliyyat). Istiqrataminitumbuhdaripengamatan obyeknya yang menyeluruh, bisa berpengaruh pada sebuah kesimpulan (natijah) yang direkomendasikan legalitasnya sebagai sebuah hujjah atau argumentasi bernilai kebenaran pasti (qathi). Misalnya, shalat ada yang fardhu ada yang sunnah. Setelah diamati satu persatu ditemukan ternyata semuanya harus dilakukan dalam keadaan suci. Dari pengamatan ini diambil kesimpulan, bahwa semua jenis shalat harus dilakukan dalam keadaan suci. Al-Subuki dan sebagian besar ulama menyatakan bahwa hukum yang dihasilkan dari kegiatan istiqra tam bersifat qathi (pastidan mengikat). BahkanAl-Baidhawi mengatakan bahwa seluruh ulama menyepakati istiqra tam sebagai dalil yang dapat dipastikan kebenarannya. Akan tetapi, menurut sebagian ulama, istiqra tam ini masih bersifat mungkin (dzann), sebab tidak menutup kemungkinan ada contoh lain yang tidak sama. Istiqra naqish (tidak sempurna, cacat) adalah menetapkan hukum terhadap kulli karena ditetapkannya hukum tersebut terhadap sebagian juzi dengan syarat tidak adanya suatu kesamaan diantaranya keduanya. Dalam bahasa fuqaha dikenal dengan istilah ilhaq al-fardi ala al-amm al-aghlab (menyamakan individu yang langka dengan keumumannya). Misalnya, menghukumi bahwa semua hewan kalau makan menggerakkan gigi gerahamnya yang bawah, ini setelah meneliti banyak hewan yang menggerakkan gigi gerahamnya ketika makan. Dalam klasifikasi kedua ini, terjadi silang pendapat antar ulama. Pendapat paling shahih mengatakan istiqra naqish bersifat asumtif (dzann), tidak sampai tingkat qathi. Karena ada kemungkinan adanya hal lain yang berbeda dengan sebagian juzi yang lainnya. Dalam bahasa lain, konklusi hukum universal dari penelitian particular tidak sampai pada derajat yaqin (obyektif/ pasti benarnya), misalnya hewan buaya yang tidak menggerakkan gigi geraham bawahnya ketika makan. Generalisasi konklusi hukum ini sifatnya tidak totalitas. Tapi sudah didasari riset ilmiah, mendalam, uji coba, dan pematangan konklusi. Kekuatan dzann ini tergantung seberapa banyak juzi (sample) yang berhasil diteliti. Semakin banyak sample yang diteliti, semakin kuat pula zhannya. Tegasnya, toleransi kesalahan dari sebuah penelitian semakin kecil. Kesimpulan hukum dari istiqra naqist ini meski asumtif, namun tetap bisa dijadikan sebagai hujjah menurut mayoritas ulama, sebagaimana AlBaidhawi, Al-Hindi, sebagian kalangan Hanafiyyah dan sebagian Syafiiyyah.8 Dalam melakukan istiqronya dalam masalah haidl, nifas, dan istihadloh (darah penyakit), saya melihat Imam Syafii banyak menggunakan metode yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat, ini tidak lepas
41

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya dari jenis penelitiannya yang empiris-sosiologis. Metode tersebut ialah : 1. Bertanya secara langsung dari satu wanita ke wanita yang lain. Strategi yang pertama ini membutuhkan kejelian, kelincahan, dan kemampuan pendekatan psychology yang professional, sehingga perempuan dengan suka rela menceritakan pengalaman pribadinya kepada orang lain, apalagi lawan jenis. 2. Menganalisis data yang masuk secara cermat dan teliti, membuat kesimpulan pertama, lalu melakukan uji coba, selama berulang-ulang dan bertahun-tahun, setelah itu membuat kesimpulan baru, lalu eksperimentasi, dan begitu seterusnya 3. Pada level ini, aktifitas penelitian sudah sampai pada tahap konklusi sementara, melakukan generalisasi, dan uji publik. 4. Mengoreksi kekurangan, kesalahan, kelemahan, dan ketidaksempurnaan hasil berdasarkan respons publik yang beragam 5. Setelah mengoreksi dan eksperimentasi secara berulang-ulang, dan respons publik positif dan mendukung, maka dibuatlah kesimpulan final. Istiqro Imam SyafiI dianggap akurat karena banyak factor, yaitu : 1. Cermat, jeli, professional, dan akuntabel 2. Bidikan obyeknya harus betul-betul bertanggung jawab, mempunyai nilai strategis, berdimensi sosial, actual, dan kontekstual 3. Menguasai latar belakang daerah, budaya, pendidikan, agama, etnis, dan suku yang berbedabeda dari obyek yang diriset 4. Metodologi analisa data, konklusi, dan generalisasinya harus ilmiah, konfrehensif, akurat, valid, dan sering melakukan eksperimentasi, uji publik, koreksi, dan melakukan konklusi agi 5. Melakukan komparasi hasil istiqro dengan disiplin ilmu lain, misalnya dengan kedokteran, biologi dan lain-lainnya Selain itu, sejarah perjalanan Imam Syafii yang demikian luasnya, menambah keotentikan hasil penelitian ini. Walaupun begitu istiqra Imam Syafii tidak qathi sifatnya, karena obyek penelitiannya tidak semua perempuan di dunia ini, misalnya perempuan Indonesia tidak pernah diteliti, sehingga kalau kita lihat perempuan di Indonesia, rata-rata usia haidlnya diatas 9 tahun, rata-rata usia antara 12-13 tahun baru haidl. Namun warisan metode penelitian Imam Syafii inilah yang harus kita teruskan dan kembangkan secara maksimal demi relevansi konsep fiqh dalam dinamika zaman yang berjalan secara eskalatif, massif, dan kompetitif dalam semua bidang kehidupan, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Istiqro Kontemporer Lewat istiqro ini Imam Syafii telah memberikan teladan baik dalam hal pengembangan fiqh sehingga mampu merespons dan membumikan konsep fiqh sesuai kebutuhan umat manusia9. Prinsip Ushul Fiqh adalah selalu memandang seluruh perubahan sosial dan kemajuan ilmu pengetahuan yang membawa perbaikan dalam kehidupan manusia diperbolehkan, sepanjang dalam aktualisasinya tidak mengingkari orientasi umum yang diberikan sumbersumber (agama). Orientasi umum dan langkah-langkah yang diambil berjalan menurut yang mungkin dilakukan.10 Sudah menjadi keharusan, metode brilian ini kita kembangkan, terutama oleh kalangan ahli fiqh (fuqoha). Kesempatan ini tidak bisa ditunda-tunda lagi. Mengingat pembaruan fiqh saat inisangat sulit dilakukan ditengah hegemoni teks. Sedangkan banyak sector kehidupan yang telah berkembang melahirkan masalahmasalah baru yang belum disinggung oleh fiqih tradisional. Disamping itu, perkembangan ilmu-ilmu rasional modern berjalan sangat pesat. Oleh karena itu, sudah selayaknya kaum muslim mengkaji kembali fiqh Islam dengan persepsibaru, memanfaatkan segala ilmu sebagai sarana beribadah kepada Allah, dan membuat format baru yang menyatukan antara ilmu tekstual dan ilmu rasional yang selalu mengalami pembaruan dan kesempurnaan lewat eksperimentasi dan observasi. Dengan integrasi ilmu-ilmu itu, kita akan dapat memperbarui pemahaman agama kita dan memenuhi tuntutan kehidupan modern sepanjang masa.11 Pemikiran Islam selama ini tidak mampu merespons secara cepat fenomena sosial. Ada tiga kelemahan pemikiran yang membuatnya stagnan, pasif, dan eternal. Pertama, tercerabut dari prinsip-prinsip agama (al-ushul al-syariyyah). Ciri utama agama adalah bahwa ia bersumber dari wahyu dan bukan produk manusia. Bencana terbesar dalam agama terjadi ketika ia tertutup oleh produk manusia dan ketika manusia menutup diri dari dasar-dasar wahyu. Para ulama mengkaji dasar-dasar wahyu yang kekal ini guna memberikan penjelasan kepada manusia dan menyesuaikan dengan praktik di zaman dan tempat tertentu. Berbagai penjelasan dan praktik agama di zaman dan tempat itu berbaur dengan agama lantaran disimpulkan dari agama dan berinteraksi dengan dasardasar agama. Kemudian muncul suatu masa ketika para pemikir mengalami degradasi dalam menjelaskan agama sehingga praktik keagamaan terputus dari sumber aslinya.
42

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jamal Mamur Asmani: Mendamba Fiqh Riset; Mengembangkan Teori Istiqro Imam Syafii

Kedua, berkutat pada berbagai persoalan cabang (furuiyyah). Ajaran-ajaran Islam selalu berisi prinsip-prinsip umum, kaidah-kaidah global, dan hukum-hukum syariat. Sudah menjadi tradisi jika orang menjelaskan fiqh dengan amat terperinci, generasi baru muncul akan menjelaskannya dengan lebih terperinci lagi. Fenomena ini tampak jelas dalam fiqh. Seorang ulama menulis sebuah teks (matn) dan kemudian orang lain menguraikannya secara panjang lebar dalam syarah (syarh), yang lalu dijelaskan dalam catatan pinggir (hasyiyah), dan lantas dalam komentar (taliq). Hal ini menjadikan fiqh hanya berkutat dalam masalah cabang. Akibatnya, ketika hendak mempelajari Islam, Anda tidak mungkin mengkajinya secara global dan terpaksa menelaahnya secara parsial. Akhirnya, fiqh tidak berkembang dalam masalah actual, semisal globalisasi ekonomi, informasi, politik, komunikasi, militer, dan kebudayaan. Ini tidak lepas dari fiqh yang tidak dilihat dalam perpekstif tujuan, makna, dan berbagai prinsip umumnya sebagai iman yang hidup dan menggerakkan. Ia hanya akan membeberkan berbagai rincian yang terpisah-pisah. Ilustrasinya seperti sebuah mobil yang dipisahkan seluruh bagiannya menjadi baut dan rangka besi yang berserakan. Lalu datanglah seorang ahli mekanik dan mengamati bagian-bagian yang berserakan ini dengan seksama. Ia tidak melihat mobil yang utuh dan bisa bergerak. Jika Anda bertanya kepadanya, ia tidak memiliki gambaran utuh tentang mobil itu dan tidak tahu bagaimana mengendarainya, meskipun ia mengerti seluruh baut dan rangka besi itu serta dapat menjelaskannya secara terperinci. Ketiga, kekeliruan dalam menetapkan prioritas. Karena berkutat pada masalah cabang, akhirnya masalah-masalah mana yang paling penting untuk dikaji secara mendalam menjadi terbengkalai. Misalnya, ada seorang melihat seorang gadis membuka sebagian anggota tubuhnya dan lantas menyimpulkan bahwa agama dan umat Islam sedang terancam. Padahal, disaat yang sama, ia menyaksikan kaum penjajah menguasai wilayah Islam, membatalkan sejumlah hukum Islam, dan sebagai gantinya menegakkan hukum-hukum positif disana. Hanya ia tidak terperangah dengan hal itu. Sebab, ia menduga bahwa dosa karena membuka sebagian tubuh lebih besar dari pada dosa tidak menerapkan hukum-hukum Islam. Inicontohbagaimana menentukan prioritas dalam realitas umat ini mengalami kekacauan, lantaran sibuk memperhatikan maslah-masalah cabang yang tidak pernah selesaidan tidak melihat posisinya secara utuh.12 Oleh sebab itu, dalam bidang kehidupan umum, kebutuhan akan ijtihad sangat luas dan membutuhkan konsentrasi yang sungguh-sungguh dalam kajian fiqih serta membutuhkan pengembangan kaidah-kaidah

ushul fiqihyang relevan dan bukan sekedar berisi kaidahkaidah penafsiran atas nash saja. Disinilah urgensi adanya suatu metodologi ushul fiqih dan system yang mengikat pemikiran sehingga tidak ada masalah yang bercampur baur; madzhab-madzhab tidak saling berbenturan, dan tidak banyak terjadi kesalahpahaman dalam persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan politik, sosial, ekonomi, administrasi, masalah internasional dan sebagainya yang mempengaruhi persatuan dan kebangkitan masyarakat Muslim.13 Fikih merupakan kepastian, dan ijtihad fiqh sangat dibutuhkan dalam kehidupan yang terus berkembang, bergerak dan memperbarui. Kehidupan yang penuh problematika dan banyak bermucnulan hal-halbaru, merupakan tantangan bagi fikih dan fuqaha. Ketika seorang ahlifikih mengerti, memahami, dan mendalami realitas, yakni dengan merangkai salah satunya dengan yang lain atau menyandarkan di antara keduanya dengan yang lain, maka kehidupan akan berjalan baik dan alami. Dalam kondisi ini fikih akan bergerak, berkembang, dan mencapai kemajuan.14 Oleh sebab itu, mujtahid sempurna adalah mujtahid yang menguasai ilmu-ilmu agama, bahasa, tradisi, dan ilmu-ilmu alam dan sosial yang masing-masing bersumber dari wahyu, teks, eksperimen, dan rasio. Kehidupan agama hanya bisa tegak dengan seluruh ilmu ini.15 Ushul fiqh adalah metodologi riset. Suatu ilmu tidak lepas dari penelitian dan penelitianharus empiris. Empirisme iniidentik dengan realitas sosial. Disinilah urgensi revitalisasi ushul fiqh sebagai metodologi riset untuk dipraktekkan fuqaha.
16

Kontroversi boleh tidaknya ijtihad harus diakhiri, mengingat manfaat yang besar dari aktifitas ilmiah ini. Selain itu, tertutupnya ijtihad tidak menjadi kesepakatan ulama. Sebagian ulama Syafiiyyah seperti Al-Ghazali, Al-Amidi danAl-Razi menolak pendapat tersebut. Begitu juga hampir semua ulama Sunni dan Syii juga menolak pendapat tertutupnya pintu ijtihad itu, terutama ulama Hanbaliyyah, seperti Ibn al-Qayyim al-Jauziyah. Bahkan dikatakan bahwa ulama Mutaqaddimin (abad III H) dan Mutaakhkhirun (abad IV H) juga menolak terjadinya kekosongan ijtihad. 17 Kisah Muadz ketika diutus Nabi ke Yaman bahwa ia akan menggunakan akalnya bila tidak menemukan status hukum dalam Al-Quran dan AlHadits adalah dasar yang baik dalam melakukan ijtihad. Persoalan terus bermunculan dan status hukum harus ada.18 Kampanye menggalakkan ijtihad justru harus segera dilakukan melihat stagnasi umat sudah dititik nadir, sehingga Barat memimpin pengetahuan dan kebudayaan ini tanpa dasar norma agama. Kalau umat Islam ingin memimpin perubahan dunia ke depan, maka satu-satu kunci adalah menggalakkan ijtihad.
43

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya Dengan ijtihad, akan muncul pemikir-pemikir besar Islam yang mampu menggetarkan dunia dengan cakrawala pemikirannya yang dinamis, inklusif, kreatif, progresif, kosmopolit, dan produktif-kompetittif. Kondisi semacam inilah yang diharapkan oleh Prof. Muhammad al-Hazawi al-Saalibi (w. 1376 H). beliau berkata : Jelas bagi saya bahwa sedikitnya mujtahid (pembaharu) atau kelangkaannya adalah akibat dari ketidakpedulian umat akan ilmu pengetahuan. Seandainya saja mereka bangun dari tidurnya dan menyingkap mimpi buruk kebodohan, dan kemudian berpikir maju dalam realitas kehidupan yang didasarkan atas ketinggian ilmu pengetahuan, maka akan bermunculan pemikir dan ilmuwan besar dalam ilmu pengetahuan umum, kemudian terjadi kompetisi dan persaingan antara ahli ilmu agama dan ilmu umum, dan di saat itu muncul para mujtahid.19 Hal ini mutlak harus dilakukan mengingat gelombang modernisasi dan globalisasi budaya telah meruntuhkan sekat-sekat cultural, teknik, ideology, dan agama. Infrastruktur kehidupan modern telah mengakibatkan terjadinya mobilitas sosial, ekonomi, pendidikan dan politik yang berakibat pula pada terciptanya relasi baru dalam kehidupan beragama. Orang beragama kini tidak mungkin bisa menutup diri dan menciptakan tatanan kebudayaan yang homogen.20 Tidak ada waktu lain kecuali sekarang, sebelum Islam semakin terpuruk. Setiap individu Islam harus terpanggil melakukan perubahan. Merubah diri merupakan perjuangan (jihad) besar manusia. Kerja yang tertib merupakan awal dari kehidupan yang merupakan jalan untuk memperbaiki watak, mewujudkan kemanusiaannya dan membangkitkan kemandiriannya, agar selalu dekat kepada Allah Swt.21 Dalamkonteks inikita perlu mencamkanstatement Imam Syafii anna al-izzata ala al-nuqali bahwa kemajuan akan bisa diperoleh dengan cara perpindahan/ peralihan. Teori perubahan atau peralihan Imam Syafiitidak hanya dipahami secara geografis, namun bisa dikembangkan menjadi peralihan dan pergeseran paradigma (shifting paradigm), yakni beralih dari paradigma (acuan) lama ke arah yang lebih baru. Beralih dari pola pemahaman agama dan budaya yang tradisional kepada yang lebih modern dan rasional, yakni menuju nuansa fiqh baru (fiqh tasaqafah) atau fiqih peradaban.22 Ada banyak syarat, sehingga istiqro menjadi alt ernatif riset (research) dan pengembangan teori (theory development) keilmuan fiqh. Ada beberapa syarat fuqoha melakukan istiqro ini : 1. Pendalaman wawasan kemasyarakatan atau sosiologisnya 2. Pendalaman wawasan medis, biologisnya 3. Pendalaman wawasan kebudayaannya 4. Penguasaan metodologi yang ilmiah, analitis, dan professional 5. Pendalaman dan pematangan metode generalisasi, konklusi, uji publik, koreksi, komparasi multidisipliner keilmuan, eksperimentasi, dan membuat konklusi yang betul-betul konfrehensif, valid, dan universal Istiqro kontemporer ini harus dikembangkan menjadi metodologi riset yang ilmiah-progresifkompetitif, yang menghasilkan temuan-temuan baru dalam bidang sosial, pendidikan, politik, budaya, kedokteran, biologi, kemanusiaan, dan teknologi. Tradisi riset ini bukanlah warisan Barat, tapi warisan ulama-ulama kita zaman dulu. Pada abad-abad pertengahan adalah abad yang terang bagi dunia Islam, dan abad gelap bagi Eropa. Pada periode yang kreatif dan dinamis ini, dunia Islam menjadi pusat dari seluruh dunia beradab. Gustave Le Bon dalam The World of Islamic Civilization Jika menaklukkan sebuah kota, yang pertama mereka (Muslim) lakukan adalah mendirikan masjid dan sekolah. Dua bangunan adalah bukti kongkret visiIslam yang mengutamakan dimensi dzikir (ibadah) dan fikir (ilmu pengetahuan) yang merupakan kunci kebahagiaan dan kemajuan spiritualitas, rasionalitas dan intelektualitas. Dua aspek ini adalah dua pilar peradaban yang tahan bantingan sejarah. Periode kreatif dan dinamis di atas yang berlangsung sekitar lima abad, telah berhasil pula mengembangkan metode induktif dalam mendekati gejala alam. Sarjana-sarjana Muslim-lah yang merintis metode eksperimen dan observasi yang kemudian dikembangkan oleh para penerusnya di dunia Barat. Le Bon membuat perbandingan yang menarik antara dunia Islam dan Eropa abad Pertengahan Eksperimen dan observasi adalah metodenya Arab. Kajian buku dan pengulangan opini tuannya adalah metode Eropa Riset Empiris abad pertengahan. Perbedaan ini begitu fundamental Istiqro ini adalah penelitian empiris yang tidak untuk memahami hasa-jasa ilmiah pihak Arab. Sarjana begitu terbatasi oleh teks, sehingga ia adalah wilayah Muslim-lah dalam sejarah yang pertama kali menyadari kreatifitas, inovasi, dinamitas, dan produktifitas ahli pentingnya metode ini. Mereka mengembangkan fiqih dalam mengeksplorasi pemikirannya ditengah metode induktif. Sarjana-sarjana Muslim yang telah jauh konstelasi dan kompetisi hidup dalam semua aspek mengembangkan ke wilayah kajian spekulatif. Karya23 kehidupan saat ini . karya filsafat dan sufisme Islam yang monumental adalah Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025 44

Jamal Mamur Asmani: Mendamba Fiqh Riset; Mengembangkan Teori Istiqro Imam Syafii

buah dari pengembaraaan spekulatif itu. Deretan nama sepertiAl-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd dan Ibnu Taimiyyah adalah namanama ilmuwan Islam yang diakui jasa-jasanya oleh Barat. Warisan inilah yang harus kita teruskan. Kalau hanya mengulang-ngulang saja warisan mereka, membanggabanggakan, tanpa kreatif-dinamis mengembangkannya, maka tidak akan mampu meretas statisme intelektual Islam yang telah berlangsung dalam tempo yang cukup panjang.24 MenurutAbdurrahman Wahid (Gus Dur), pintu masuk paling strategis bagi pengkajian Islamadalah dua hal. Pertama, wilayah kajian (study areas). Kedua, beberapa pendekatan yang diperlukan untuk membuat penelitian yang lebih berkelayakan (feasible researches). Wilayah kajian dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Kajian interaksi antara ajaran ideal Islam dan persepsi budaya kaum muslimin. Kajian ini terutama ditekankan pada cara-cara yang dikembangkan kaum muslimin untuk meleraikan ajaran formal agama mereka dan kenyataan kehidupan yang dibawakan oleh perubahan sosial. 2. Kajian umum perkembangan berbagai ethos kemasyarakatan yang mengalami perumusan kembali di kalangan kaum muslimin, terutama dalam bentuk kecenderungan puritanistik, modernistic ataupun neo-orthodoks (terutama gerakan-gerakan keagamaan sempalan (religious splinter groups). 3. Kajian sector-sektor yang diperebutkan antara aspirasi keagamaan di kalangan kaum muslimin dan aspirasi pemikiran non-keagamaan, seperti hukum dan pendidikan. Dalamkajian ini termasuk penelitian tentang aspirasi untuk menegaskan kembali (self assertion) tempat agama dalam kehidupan, seperti kecenderungan untuk memunculkan sejumlah teori formal Islam bagi bermacam-macam bidang kehidupan, seperti Teori Ekonomi Islam dan sebagainya. 4. Kajian responsi kelembagaan (institutional responses) terhadap tantangan modernisasi secara keseluruhan di kalangan kaum muslimin, seperti kajian tentang pengembangan beberapa jenis pendidikan baru di pesantren dan dampaknya atas kehidupan masyarakat di sekitarnya. Adapun masalah pendekatan, Gus Dur menekankan beberapa hal. Pertama, persoalan didekati dari sudut pandang dan persepsi obyek yang dikaji, bukannya dari asumsi-asumsi umum yang seringkali tidak dapat menangkap secara tajam persepsi di atas. Kedua, harus memperoleh pengertian yang benar dan akurat tentang metode penafsiran ajaran yang digunakan oleh obyek kajian. Ketiga, kerangka penelitian harus secara seksama menyingkirkan halhal yang akan mengganggu ketajaman pandangan,

seperti asumsi-asumsi umum yang diterima secara universal selama ini, misalnya dikotomi tradisionalmodern, santri-abangan dan kultur bawah-atas. Keempat, menghindari pendekatan terpotong-potong, melainkan harus dilakukan secara konfrehensif. Kelima, mempunyai kemampuan menggali dari sumber-sumber informasi yang tepat.25 Dalam melakukan riset saat ini alangkah baiknya kita menggunakan metodologi riset ilmu sosial yang sudah lama teruji dalam sejarah intelektual, sehingga wacana Islam semakin kaya dan matang.26 Dengan ilmu sosial kita membuka kemungkinan adanya perumusan ulang, revisi, dan rekonstruksi secara terus menerus baik melalui refleksi empiris maupun normative.27 Potret Istiqro Kontemporer Istiqro adalah riset sosiologis-empiris, sehingga metode yang digunakan selalu mengalami perubahan, penyempurnaan, dan penyesuaian secara terus menerus, sesuai dengan peningkatan SDM, latar belakang masalah, konteks masalah, dan kondisi psykologis-sosiologisnya28. Kalau zaman Imam Syafii, metode yang digunakan hanya bertanya (sual), meneliti (fahsyutatabbu), dan membuat konklusi (natijah), maka, untuk konteks kontemporer saat ini, metode riset sosial sudah berkembang dengan pesat. Lembaga Survai Indonesia (LSI) yang dikomandoni Dr. Denny JA adalah salah contoh lembaga survai yang esensinya sama dengan istiqro ini. Majalah dan Koran (Kompas, Jawa Pos), dan lembaga penelitian (research institute) (seperti PPIM29 [Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat] UIN [Universitas Islam Negeri] Jakarta) juga sering melakukan riset sosial kaitannya dengan persoalan-persoalan kontemporer yang actual, misalnya tentang legitimasi politik penguasa, efektifitas program dan pelaksanaan birokrasi, tingkat kesalehan sosial, fundamentalisme dan radikalisme gerakan keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini, metode riset yang digunakan adalah : 1. Memakai cara koresponden dengan sampling sambil membawa quosiner (daftar pertanyaan) yang harus diisi secara cermat, akurat, dan akuntabel. 2. Memilih kelompok dan elemen sosial yang teruji, representatif latar belakangnya, dan tanggap terhadap persoalan yang diangkat 3. Membuat kesimpulan sementara dan melakukan uji publik 4. Melakukan koreksi secara terus menerus sesuai hasil uji publik 5. Finalisasi konklusi 6. Sosialisasi publik
45

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya Tentu, yang harus disadari adalah hasil istiqroi tidak harus obyektif 100%, semua ada celah kekurangan, kelemahan, dan ketidaksempurnaan. Namun, itu menjadi kontribusi besar bagi perjalanan bangsa yang sedang diambang kehancuran ini. untuk masa mendatang atau apa nilai pemeccahan persoalan itu untuk kepentingan yang akan datang.

Melihat langkah-langkah utama penelitian harus sesuai dengan tahapan berpikir ilmiah tadi, maka tahapan penelitian adalah : Metodologi Istiqro Kontemporer 1. Menentukan adanya suatu objek penelitian atau Melakukan penelitian adalah mengungkapkan masalah. Pertama ditentukan suatu objek penelitian atau kebenaran, lewat aktifitas seseorang, bahwa mencari permasalahan. Pada saat ini sudah dapat ditentukan jawaban terhadap pertanyaan adalah lebih baik arah kegiatan dan metodologi pemecahan yang daripada bertindak tanpa informasi. Namun, agar berkaitan dengan permasalahan pantas mendapat nama penelitian, aktifitas seseorang 2. Membatasi permasalahan. Suatu permasalahan yang mencari pengetahuan itu harus melangkah menurut mungkin menjadi bagian dari permasalahan yang luas. aturan-aturan tertentu. Melakukan penelitian menurut Kemampuan untuk memecahkan suatu permasalahan aturan berarti bahwa seseorang mengumpulkan dan biasanya terbatas. Sebab itu perlu ditetapkan lebih menginterpretasi data sejalan dengan serangkaian dahulu batas-batas permasalahan yang menurut prosedur yang sudah diakui. Budaya ilmu pengetahuan kemampuan dapat diselesaikan. Pembatasan atau memberikan norma-norma yang menetapkan pendefisian permasalahan amat perlu agar pokok bagaimana penelitian harus dilaksanakan, walaupun persoalan sebenarnya tidak kabur. tujuan peneliti tidak benar-benar ilmiah30. 3. Mengumpulkan data. Karena penelitian adalah upaya Penelitian harus dilakukan sesuai dengan pemahaman atau penelaahan terkendali, maka bahan prosedur berpikir ilmiah yang terdiri dari enam hal : informasi yang diperlukan bukan diperoleh dengan coba-coba, sehingga bahan atau data yang akan 1. Merasakan suatu kesulitan. Terasa kesenjangan dikemukakan sudah ditentukan lebih dahulu. Dengan antara alat-alat untuk mencapai suatu tujuan atau demikian, kegiatan penelitian yang dilakukan dapat terasa kesulitan menemukan ciri-ciri atau pola dari dijalankan dengan efektif dan efesien. Kecenderungan suatu objek, atau terasa kesukaran menerangkan penelitian sekarang agar data-data yang akan sesuatu peristiwa dikumpulkan itu dapat dinyatakan dengan bilangan. 2. Menegaskan persoalan. Setelah merasakan adanya Artinya, data-data yang sifatnya kualitatif dapat kesulitan, perlu ditegaskan apa persoalan dinyatakan secara kuantitatif sebenarnya. Kita harus mampu merumuskan inti 4. Mengolah data dan mengambil kesimpulan. Bila data persoalan atau permasalahan. Atau menegaskan yang dikumpulkan sudah merupakan data kuantitatif obyek, atau peristiwa sebenarnya. maka mengolah data dilakukan dengan analisis statistik 3. Menyusun hipotesis. Bila sudah dirumuskan persoalan, tertentu. Analisis statistik ini sangat menentukan mutu disusunlah kemungkinan pemecahan persoalan, atau atau taraf kepercayaan akan hasil penelitian tersebut. menerangkan obyek atau peristiwa tersebut. Usaha Penafsiran hasil penelitian melalui analisis statistik itu menyusun pemecahan atau usaha menerangkan dapat dinyatakan dengan angka-angka. persoalan peristiwa itu berdasarkan teori-teori, atau 5. Merumuskan dan melaporkan hasil penelitian. dugaan-dugaan hanya bersifat sementara Karena ilmu pengetahuan adalah milik umum, obyektif 4. Mengumpulkan data. Data adalah bahan informasi dan terbuka, demikian juga halnya akan hasil penelitian. untuk proses berpikir gambling (eksplisit). Supaya hasil itu menjadi milik masyarakat haruslah Kemungkinan-kemungkinan pemecahan persoalan, dipublikasikan. Publikasi hasil penelitian biasanya ditulis atau keterangan-keterangan sementara yang sudah dalam laporan hasil penelitian. Laporan hasil penelitian disusun haruslah diujimelalui pengumpulan data-data itu terbuka terhadap perbaikan-perbaikan orang lain. yang relevan atau yang ada kaitannya. Data-data 6. Mengacu pada teori penelitian sosial kontemporer, yang terkumpul itu kemudian diolah untuk metode yang bisa diadopsi untuk pengembangan membuktikan kebenaran dari hipotesis itu. istiqro adalah : 5. Mengambil kesimpulan. Dari data-data yang 1. Pengamatan berperan serta, yaitu pengamatan yang sudah diolah diambillah kesimpulan untuk dilakukan sambil sedikit banyak berperan serta dalam menerima atau menolak hipotesis yang kehidupan orang yang kita teliti. Pengamat terlibat dirumuskan pada langkah berpikir ketiga diatas. mengikuti orang-orang yang ia teliti dalam kehidupan 6. Menentukan kegunaan atau nilai umum dari sehari-hari mereka, melihat apa yang mereka lakukan, kesimpulan. Jika pemecahan persoalan itu dapat kapan, dengan siapa, dan dalam keadaan apa, dan diterima, maka dipertanayakan apa kegunaannya menanyai mereka mengenai tindakan mereka. Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025 46

Jamal Mamur Asmani: Mendamba Fiqh Riset; Mengembangkan Teori Istiqro Imam Syafii

Pengamatan dimaksudkan untuk melihat apakah subjek memilih berperilaku dengan cara tertentu alih-alih dengan cara lainnya agar sesuai dengan situasi yang ada. Jadi suatu gambaran konferensif tentang subjek diperoleh dan suatu pandangan mendalam juga dicapai dengan membandingkan apa yang orang katakan dengan apa yang mereka lakukan ketika keadaan tertentu muncul.ketika seorang responden memberikan informasi atau data pada anda sebagai peneliti, anda harus mengaktualifikasi apakah informasi tersebut ia berikan sebagai jawaban atas pertanyaan anda, atau tanpa anda minta. Anda juga harus mengkualifikasi, apakah komentar yang diberikan responden itu dalam situasi ketika anda berdua saja dengan responden atau ketika ada orang lain di dekat anda dan responden. Lazimnya, kita akan lebih mempecayai informasi yang diberikan responden yang tidak kita minta, juga informasi yang dikemukakan pada saat tidak ada orang lain yang hadir. Sebagai metode kualitatif yang inklusif atau menyeluruh (kombinasi metode-metode dan teknik-teknik penelitian kualitatif), pengamatan berperan-serta lazim digunakan dalammenelitimasyarakat primitif, subkultur menyimpang, organisasi yang kompleks (sepertirumah sakit, serikat, dan korporasi), pergerakan sosial, komunitas, dan kelompok informal (seperti geng dan kelompok kerja pabrik). Keterampilan meneliti secara kualitatif ini akan berkembang sejalan dengan pengalaman peneliti turun ke lapangan. Dibutuhkan kepekaan yang tinggi untuk menjadi seorang peneliti kualitatif yang andal dan mungkin juga imajinasi. 2.Wawancara mendalam. Wawancara adalah bentuk komunikasi antar dua orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan tujuan tertentu. Wawancara secara garis besar dibagi menjadi dua, terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara tersturktur sering disebut wawancara baku (standardizet interview) yang susunan pertanyaannya sudah ditetapkan sebelumnya (biasanya tertulis) dengan pilihan-pilihan jawaban yang juga sudah disediakan. Sedangkan wawancara tak terstruktur sering disebut wawancara mendalam, intensif, kualitatif, dan terbuka (opended interview) dan wawancara etnografis. 3.Analisis dokumen. Analisis dokumen adalah menganalisis dokumen seperti otobiografi, memoar, catatan harian, surat-surat pribadi, catatan pengadilan, berita Koran, artikel majalah, brosur, bulletin, dan foto-foto. Sebagian penelitian bahkan hanya mengandalkan (kombinasi) dokumen-dokumen ini, tanpa dilengkapi dengan wawancara, bila data dalam dokumen-dokumen ini dianggap lengkap, artinya secara memadai memberikan gambaran mengenai

pengalaman hidup dan penafsiran atau pengalaman hidup tersebut. Walaupun dokumen merupakan sumber primer, lebih baik dilengkapi dengan wawancara dengan pihak-pihak terkait, seperti keluarga dan karib kerabat, kawan-kawan terdekat, tetangga, ulama, guru, dosen, kepolisian, pengadilan, dan sebagainya. 4. Studi kasus. Yaitu uraian dan penjelasan konfrehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi sosial. Peneliti studi kasus berupaya menelaah sebanyak mungkin data mengenai subjek yang diteliti. Mereka sering menggunakan berbagai metode: wawancara (riwayat hidup), pengamatan, penelaahan dokumen, (hasil) survei, dan data apa pun untuk menguraikan suatu kasus secara terinci. Alih-alih menelaah sejumlah kecil variable dan memilih suatu sample besar yang mewakili populasi, peneliti secara seksama dan dengan berbagai cara mengkaji sejumlah besar variable mengenai suatu kasus khusus. Dengan mempelajari semaksimal mungkin seorang individu, suatu kelompok, atau suatu kejadian, penelitibertujuan memberikan pandangan yang lengkap dan mendalam mengenai subjek yang diteliti.32 5. Survey. Surveyadalah pengamatan/ penyelidikan yang kritis untuk mendapatkan keterangan yang terang dan baik terhadap suatu persoalan tertentu dan dalam suatu daerah tertentu. Misalnya seorang peneliti ingin mendapatkan keterangan mengenai pendapatan usaha tani padi di Kabupaten Bogor, ia lalu mengadakan survey terhadap usaha tani-usaha padi di daerah itu. Tujuannya adalah mendapatkan gambaran yang mewakili daerah itu dengan benar. Dalamsurvey, tidak semua individu diteliti, namun hasil yang diharapkan haruslah dapat menggambarkan sifat populasi yang bersangkutan. Karena itu, metode pengambilan contoh didalam suatu survey itu memegang peranan yang sangat penting. Metode pengambilan contoh yang tidak benar akan merusak hasil survey. Kaum pioneer metode survey telah memberikan sumbangansumbangan yang besar dan berharga terhadap penelitiaan dewasa inidengan menekankan pentingnya pergi ke lapangan untuk mengumpulkan data secara sistematis dari pada menggantungkan diri kepada spekulasi-spekulasi dari belakang meja. 6.Pencacahan lengkap. Metode ini biasanya dipergunakan untuk sensus, dimana diperlukan keterangan yang sangat terperinci dan tepat, yang nantinya akan dapat dipergunakan sebagai dasar pengambilan kebijaksanaan. Sensus penduduk Republik Indonesia, 1967, 1971, 1980 adalah suatu misal dari pencacahan lengkap.33 7. Dalam buku lain dijelaskan, teknik komuniasi selain wawancara, yaitu angket dan kuesioner. Kuesioner
47

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya adalah alat pengumpul informasi dengan cara menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis untuk menjawab secara tertulis pula oleh reponden. Kuesioner sepertihanya interviu, dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang ciri responden atau informasi tentang orang lain. Kuesioner terbagimenjadi empat. Pertama, kuesioner berstruktur yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang disertai sejumlah alternatif jawaban yang disediakan. Responden dalam menjawab terikat pada sejumlah kemungkinan jawaban yang sudah disediaka. Kedua, kuesioner tak berstruktur dimana jawaban responden terhadap setiap pertanyaan kuesioner bentuk ini dapat diberikan secara bebas menurut pendapat sendiri. Ketiga, kuesioner kombinasi berstruktur dan tak berstruktur dimana pertanyaan disatu pihak memberi alternatif jawaban yang harus dipilih, dan dilain pihak memberi kebebasan kepada responden untuk menjawab secara bebas lanjutan dari jawaban pertanyaan sebelumnya. Keempat, kuesioner semi terbuka yang memberi kebebasan kemungkinan menjawab selain dari alternatif jawaban yang sudah tersedia. Untuk semua kegiatan ini peneliti haru membuat daftar pertanyaan dan jawaban yang tepat.34 Identifikasi Masalah Masalah-masalah sosial kontemporer yang harus dijawab dengan metode istiqro ini sangat banyak sekali, diantaranya adalah : 1.Pengaruh obat KB yang sulit dideteksi (pendarahan, kegemukan, dll) 2.Pengaruh program infotainment TV pada harmoni keluarga dan mentalitas serta moralitas remaja 3.Hukum face of (operasi wajah total) dan implikasinya dalam aspek biologis, kejiwaan, dan sosial 4.Terbitnya majalah Playboy dan pengaruhnya 5.Pengaruh acara Miss Universe pada kebudayaan dunia 6.Pengaruh kebiadaban Israel di Palestina dan Libanon 7. Agresi militer AS k Afghanistan, Iraq, dan negaranegara lain 8.Pengaruh positif perda syariat pada mentalitas dan moralitas manusia 9.Pengaruh Perusahaan asing yang mengelola SDA potensial Indonesia, seperti PT. Exxon Mobil yang mengelola Blok Cepu dan PT. Preefood yang mengelola pertambangan dan minyak di Papua 10.Pengaruh liberalisme dan sekularisme pemikiran terhadap kemurnian doktrin Islam ala Ahlus Sunnah wal Jamaah35 11. Pengaruh lembaga donor, foundhing asing, yang mendanai program Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan implikasi sosial-politisnya bagi bangsa 12. Kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi 13. Kehancuran kwalitas pendidikan 14. Kemunduran teknologi canggih 15. Internalisasi mental konsumen dan obyek 16. Sistemiknya budaya KKN di semua aspek kehidupan, khususnya politik 17. Pengaruh kebebasan informasi yang tidak kenal batas 18. Sistem perbankan konvensioal dan syariah 19. Koperasi konvensional dan syariah 20. Efektifitas politik sebagai perjuangan umat 21. Bentuk kepemimpinan khilafah atau demokrasi 22. Legitimasi sosial seorang pemimpin 23. Pengembangan teknologi informasi 24. Produktifitas inovasi kedokteran 25. Illegal logging 26. Astronomi dan astrologi (hisab/ruyah) 27.Fenomena hedonisme, matrealisme, dan konsumerisme 28. Pengaruh kapitalisasi, liberalisasi ekonomi, dan swastanisasi asset-aset negara 29. Globalisasi pendidikan 30. Eskalasi gerakan feminisme absolut Mendamba Fiqh Riset Saat ini, Indonesia sedang mengalami krisis keilmuan dan teknologi, kalah jauh dengan negaranegara seperti Malaysia, Singapura, Amerika, Perancis, Inggris, Australia, dan negara-negara Barat maju lainnya. Mereka kreatif-inovatif-produktif dalam melahirkan hal-hal baru yang eksponsional dan spektakuler. Salah satu penyebab dekadensi dan degradasi ini adalah lemahnya semangat penelitian dan pengembangan pada diri bangsa ini, dan khususnya umat Islamnya. Reseach and development adalah ciri khas negara maju1. Kalau dua elemen itu tidak berkembang, maka dipastikan negara tersebut dalam kondisi lemah, stagnan, dan pasif. Ditengah bangsa yang sakit seperti ini, kalau fiqh mampu menjelma menjadi pioneer kebangkitan penelitian keilmuan tentu akan membawa harapan besar bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Apalagi kalau obyeknya adalah problematika sosial yang kompleks, maka fiqh akan semakin menampakkan eksistensi, fungsi, dan transformasi sosialnya ke arah progresifitas, dinamitas, produktifitas dan kompetisitas. Fiqh yang solutif, dinamis, dan progresif inilah yang akan mengantarkan masa keemasan fiqh, seperti yang terjadi pada masa pembentukan madzhab, dimana Abu Hanifah, Maliki bin Anas, Syafii, dan Ahmad bin Hambal dapat mendemonstrasikan kapasitas dan kapabilitas keilmuannya secara bebas dan akuntabel lewat ijtihad fardi (ijtihad individual)37.
48

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jamal Mamur Asmani: Mendamba Fiqh Riset; Mengembangkan Teori Istiqro Imam Syafii

Ijtihad inilah yang menurut Moh. Iqbal sebagai sumber dinamika hukum Islam akan menjadi starting point kebangkitan fiqh ditengah gelombang modernisasi dan globalisasi dalamsemua aspek kehidupan. Menurut Dr. Farouq Abu Zaid, ketidakmampuan fiqh merespons tantangan globalisasi sehingga tidak mampu teraplikasi dalam kehidupan modern dikarenakan lima hal. Pertama, negara-negara Islam sendiri sekarang sudah demikian maju dala mengikuti modernisasi yang meliputi bidang sosial, politik, pengembangan alat-alat produksi dan teknologi, juga pengembangan dibidang pemikiran dan kebudayaan dengan laju yang lebih cepat dibandingkan dengan laju pembaharuan dibidang syariat dan fiqh. Seakan mereka tidak sabar menunggu di pintu-pintu pembaharuan sampai para fuqoha Islam selesai mengikuti seluruh perkembangan, lalu baru berijtihad dan menghasilkan hukum-hukumyang sesuai. Kedua, banyaknya perbedaan pendapat yang terdiri dari beberapa madzhab. Ketiga, sampai saat ini, hukum Islam belum tersusun secara sistematis, kronologis sebagaimana hukum positif. Keempat, ditengah zaman spesialisasi dengan pembidangan kritis saat ini, fiqh justru berlainan. Kelima, diskusi, seminar, dan sejenisnya, biasanya hanya membatasi pada pemikiran empat madzhab saja, sementara pertemuanpertemuan ilmiah tersebut seharusnya digunakan untuk melakukan ijtihad, menggali hukum, dan menghasilkan pemikiran-pemikiran baru dengan melihat realitas dan tuntutan masyarakat Islam dewasa ini. Oleh sebab itu, Dr. Farouq Abu Zaid menyarankan agar kita mencetak kader-kader fuqoha, ulama, dan para peneliti dengan spesialisasi khusus mengenai penyusunan kodifikasi itu berikut pembidangan dan sub-subnya38. Istiqro yang dalam bahasa modern disebut metode penelitian induktif ini sangat bermanfaat untuk mencapai cita-cita ideal diatas. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Warisan peradaban Islamyang begitu melimpah dan meliputisemua aspek kajian keilmuan adalah modal berharga yang tidak ternilai. Namun sayang, modal yang sangat besar itu ternyata tidak mampu menggerakkan pemiliknya untuk mencapai masa keemasan keilmuan dan peradaban. Justru, khazanah klasik itu banyak dicerca sebagai biang kemunduran umat Islam. Ternyata, sebuah kemajuan tidak butuh modal ansich, tapi juga pengayaan, dinamisasi, inovasi, kreatifitas, dan produktifitas. Itulah yang akan membuat warisan berharga menjadi berharga dan dibutuhkan semua orang. Cirikeilmuanyang berupa riset itu pada dasarnya sudah melekat pada konsep fiqih, sehingga tidak aneh kalau ada (sebagian orientalis-umpamanya) yang menyebut fiqh dengan the science of Islam (ilmu

pengetahuan Islam). Lebih dari itu, dapatlah dikatakan bahwa ciri lain fuqaha adalah berpikir bebas dan sangat terbuka dengan factor atau elemen yang seolah di luar materi fiqih. Kajian dan penelitian yang berkesinambungan antara masa awal fiqh sampai sekarang mutlak diperlukan untuk merespons fenemona globalisasi yang berjalan secara massif dan produktif. Para fuqaha kontemporer harus melakukan kajian yang berkesinambungan danberkelanjutan sehingga terbangun kajian yang diakui nilai akademiknya baik oleh tradisi fiqih, maupun tradisi akademik di dunia keilmuan. 39 Ulama Indonesia, khususnya kader mudanya harus segera memulai tugas besar ini, agar konsep fiqh tidak hanya teoritis-elitis, tapi benar-benar membumi ditengah kehidupan masyarakat, membawa dampak positif-konstruktif bagi perubahan moral, ekonomi, pendidikan, budaya, politik, dan kemanusiaan. Sebaik apapun ide kalau tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia, tidak akan membawa perubahan apapun. Oleh sebab itu semua insane fiqh harus tampil di garda depan menjadikan fiqh sebagai pioneer kebangkitan penelitian sosial yang bermanfaat bagi kemajuan dan kebangkitan bangsa ini ke depan dengan prestasi prestisius dan eksponsional. Saran Dari paparan di atas menjadi jelas bahwa aplikasi istiqro di era modern sekarang ini menjadi sangat krusial dan tidak bisa ditunda-tunda lagi. Konsep-konsep fiqh harus diteliti ulang dengan teori istiqro ini untuk memastikan relevansi dan dampak positifnya bagi kehidupan kemanusiaan. Ada beberapa saran dalam konteks kajian istiqro ini : 1. Meneliti rahasia sukses Imam Syafii dalam menemukan dan mempraktekkan teori istiqro, apa saja factor yang melatarbelakanginya, bagaimana aplikasi teknis di lapangan, dan bagaimana pula proses penelitian yang njlimet dan rumit tersebut, kemudian ditarik kata kuncinya. 2. Mengembangkan teori istiqro sebagai bentuk riset modern yang bisa menjangkau semua problem sosial agar fiqh terbukti secara faktual mampu merespons masalah-masalah non-ibadah mahdloh yang bermanfaat secara lansung bagi penyelesaian problem-problem kemanusiaan lintas agama. 3. Menjadikan istiqro sebagai entry point lahirnya penemuan-penemuan baru yang genuine, orisinil, otentik, dan spektakuler. Istiqro akan berubah menjadi sejenis think thank (dapur pemikiran) bagi setiap perubahan, kemajuan, dan kebangkitan di semua aspek kehidupan. Istiqro akan bersaing dengan lembaga riset yang sudah terkenal seperti LSI (Lembaga Survai Indonesia) dalam melakukan
49

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya riset empiris untuk mengetahui problem terkini yang dialami bangsa ini, tidak hanya pada masalah politik, tapi juga pada masalah ekonomi kerakyatan, demokrasi, HAM, dan lain sebagainya. 4. Melakukan studi banding dan kerjasama penelitian dengan lembaga penelitian bergengsi di dalam dan luar negeri untuk mematangkan diri secara teori dan praktek. Studi banding dan kerjasama ini akan semakin menyempurnakan dan memajukan teori istiqro pada level tinggi yang bisa menjangkau masalah pada skala nasional dan global. 5. Melatih kader-kader peneliti dari kalangan fuqoha secara intensif dan ekstensif agar mereka mempunyai kemampuan meneliti yang baik. Dari sini akan terjadi kaderisasi massif calon peneliti ulung yang akan terus melakukan penelitian berkesinambungan terhadap masalah-masalah yang muncul setiap saat. 6. Mendirikan Pusat Studi Istiqro yang akan menjadi kawah candradimuko bagi kalangan fuqoha dan calon-calon kader masa depan dalam mengasah, mengkaji, dan mengembangkan paradigma pemikiran progresif bagi pengembangan fiqh ke depan.
(Endnotes) 1 Nur Cholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, dalam sub Sejarah Awal Penyusunan dan Pembakuan Hukum Islam, editor Budi Munawar-Rahman, (Jakarta : Paramadina, 1995). 242-243. Keterangan ini diambil dari Sumanto Al-Qurthuby, Era baru Fiqih Indonesia, (Yogyakarta : Cermin, 1999). 4 2 Abi al-Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari al-Syaroni, Al-Mizan al-Kubra, (Surabaya : al-Hidayah). 63-75 3 Ahmad bin Asymuni al-Jaruni, Masyahirul Fuqoha wa Maratibuhum wa Kutubuhum wa alIstilahatuhum, (Kediri : Pondok Pesantren Hidayah al-Thullab, tt.), dalam akhir kitab ada halaman silsilah guru dan murid Imam Syafii 4 Abu Bakar Syatha, Ianah al-Tholibin, (Jakarta : Daru Ihyail Kutub al-Arabiyyah, tt.), jJuz 1. 16 5 Nur Cholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, (Jakarta : Paramadina, 2000). 241 6 Chatib Quzwain, Kiprah Tajdid Tempo Dulu, dalam Pesantren, No. 1/Vol.V/1988. 11-12 7 Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, (Kediri : PP. Hidayatul Mubtadiin Lirboyo, 2006), cet. III. 211-212 8 Ibid. 212-213, juga dalam Sadul Millah wad Din Maud bin Umar ibn Abdillah dan Sadud Din alTaftazani al-Harawi al-Hanafi al-Khurasini, alTazhib syarh Ubaidullah ibn Fadhlullah alKhubaishi ala Tahdzibil Kalam wa al-Manthiq, Penerbit Maslakul Huda Pati Jateng. 412-413; Syeikh Ahmad Damanhuri, Syarh Idhohul Mubham min Maani al-Sullam. 37; Syekh Abu Yahya Zakariyya al-Anshari al-Syafii, Ghoyah al-Wushul Syarh Lubbu al-Ushul. 138; Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasith, Thoha Putra Semarang, Juz 1. 36; dan Tajuddin Abdul Wahhab ibn Subki, Jamul Jawami, Maktabah Daru Ihyai al-Kutub al-Arabiyyah Indonsia, Juz 2. 345347. Ini juga bisa dilacak di jurnal P3M, Pesantren, No.1/Vol.VI/1989 hlm. 16-17, dalam tema Epistimologi Kitab Kuning, dalam jurnal tersebut, A. Chozin Nasuha mendefinisikan istiqro dengan mengambil kesimpulan umum dari soal-soal khusus 9 Imam Zarnuji, Talimul Mutaallim, fi adab al-alim wa al-Mutaallim. 9. 10 Tariq Ramadan, Menjadi Modern Bersama Islam,(Jakarta : Teraju, 2003). 402 11 Hasan Al-Turabi, Fiqih Demokratis, Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, (Jakarta : Arasy, 2003). 51 12 Ibid. 14-18 13 Ibid. 58-59 14 Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Jamal Barut, Ijtihad, anrara teks, realitas dan kemaslahatan sosial, Erlangga Jakarta, 2002. 39 15 Fiqih Demokratis, Op. Cit. hlm. 64 16 A. Qodri Azizy, Mengibarkan Nalar Ushul Fiqh, dalam Gerbang, Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, eLSAD Surabaya, Vol. 06, No. 03, Pebruari-Aprol 2000. 148 17 Abdul Mughits, Kajian Ushul Fiqh di Pesantren Tradisional, dalam Tashwirul Afkar, edisi No. 18 Tahun 2004. 139 18 Amir Mualim dan Yusdani, Ijtihad, Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi, (Titian Ilahi Press, 1997). 63-68 19 Ijtihad, Op. Cit. hlm. 40 20 M. Muhsin Jamil, Membongkar Mitos, Menegakkan Nalar, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal, (Jakarta : Pustaka Pelajar dan Ilham Institut, 2005). 206 21 Hasan Shoub, Islam dan Revolusi Pemikiran, Dialog Kreatif Ketuhanan dan Kemanusiaan, (Surabaya : Risalah Gusti, 1997). 16 22 Muhammad Azhar, Fiqih Peradaban, (Yogyakarta : Ittaqa Press, 2001). 8-9 23 Pada wilayah masalah yang tidak ada sandaran teks (dalil), para ulama memang masih berbeda pendapat, ada yang mengatakan semua pemikiran hasil ijtihad ulama benar, ada yang mengatakan, yang benar satu, lainnya salah. Ini adalah celah untuk mengembangkan kreatifitas dan produktifitas ulama dalam merespons fenomena sosial kontemporer yang sangat kompleks, sehingga fiqh mampu hadir memberikan solusinya. Baca Syeikh Amidi, AlIhkam fi Ushul al-Ahkam, (Pati : Penerbit Maslakul Huda Kajen Pati Jateng, tt.), juz 4. 323 24 A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Is50

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

Jamal Mamur Asmani: Mendamba Fiqh Riset; Mengembangkan Teori Istiqro Imam Syafii lam di Indonesia, (Bandung : Mizan, 1993) . 2426 25 Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta : Lappenas, 1983). 68-75. 26 Nurcholis Madjid, Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan,(Bandung : Mizan, 1995), cet. VIII. 263-267; Harun Nasution, Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan, 1995). 320-327 27 Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung : Mizan, 1991). 286-291 28 Baca dalam Kritik Nalar Fiqh NU. xix-xx, menarik statement Kiai Sahal dalam buku ini, yaitu : sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya jika fiqh terus berkembang lantaran pertimbanganpertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola piker yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan. Para peletak dasar fiqih, yakni imam mazhab (mujtahidin) dalam melakukan formulasi hukum Islam meskipun digali langsung dari teks asal (al-Quran dan Hadits), namun selalu tidak lepas dari pertimbangan konteks lingkunga keduanya baik asbab alnuzul maupun asbab alwurud. Namun konteks lingkungan ini kurang berkembang dikalangan NU. Ia hanya dipandang sebagai pelengkap (komplemen) yang memperkuat pemahaman karena yang menjadi focus pembahasannya adalah norma-norma baku yang telah dikodifikasikan dalam kitab-kitab, furu al-fiqh. Fungsi syarah, hasyiyah, taqrirat dan taliqot juga dipandang sebagai figuran yang hanya berfungsi memperjelas pemahaman matan teks. Meskipun didalam kitab-kitab syarah, hasyiyah, taliqot sering ditemukan adanya kritik, penolakan (radd), counter, perlawanan (Itiradl) atas teks-teks matan yang dipelajari dan dibahas, namun hal itu kurang mendapat kajian serius dilingkungan NU. Hal ini juga bisa dibaca dalam Hasan Turabi, Fiqh Demokratis, Arasy, kelompok penerbit Mizan, 2003. 23-24, ia menyebutkan bahwa fiqh yang baik itu fiqih realistis, artinya mempertimbangkan konteks sosial actual, seperti rumusan Hanafi, Maliki, Syafii yang relevan dengan konteks dulu, sekarang kita dalam lubang hitam pemikiran fiqh, karena konteksnya sudah berbeda, sehingga banyak pemikiran fiqh yang out of date. 29 PPIM UIN Jakarta sering melakukan survai banyak hal mengenai tingkat kesalehan orang-orang Indonesia, apakah saleh ritual-individual ansich, atau saleh sosial-horisontal, juga melakukan survai tentang tingkat dukungan masyarakat pada perda syariat, negara islam, dan lain sebagainya. Kalau Koran dan Majalah Populer (Gatra, Tempo) sering melakukan survai kaitannya dengan legitimasi pemimpin yang ada, efektifitas program, dan lain sebagainya. Bruce A. Chadwick, Howard M. Bahr, Stan L. Albrecht, Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerjemah : Dr. Sulistia, ML., Drs. Yan Mujianto, Drs.Ahmad Sofwan, Drs. Suhardjito, MA, Penerbit : IKIP Semarang Press, cetakan pertama 1991, Pengetahuan, Ilmu Pengetahuan dan Riset; halaman 14-15 31 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2005), cet. V, hlm. 2-4 32 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung : Rosda, 2004), lm. 162-201 33 Metodologi Penelitian Pendidikan, Op. Cit. hlm. 29-34 34 Ibid. 167-169 35 Kita tentu masih ingat fatwa keras MUI yang melarang keras fenomena liberalisme, pluralisme, dan sekularisme di Indonesia 36 Amin Rais, Tauhid Sosial, Upaya Menggempur Kesenjangan, (Bandung : Mizan, 1998). 209-211, Amien Rais dalam buku tersebut menekankan general library, adanya laboratorium untuk setiap disiplin ilmu, research and development, dan intensifikasi diskusi, ceramah, seminar, dan symposium; juga bisa dibaca dalam Nugroho, Menimbang Daya Saing Perguruan Tinggi, Suara Merdeka, 31 Juli 2006, dalam opininya, ia menekankan pengembangan universitas menjadi research university. Pada level ini, aktivitas dosen dan mahasiswa sudah masuk kancah lapangan atau laboratorium riset untuk penemuan, pengembangan dan produksi ilmu pengetahuan. 37 Munim A. Sirry, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti, 1995). 61-87 38 Ibid. 185-187 39 A. Qodri Azizy, Reformasi Bermadzhab, (Jakarta : Teraju, 2003), h.90 dan 94
30

DAFTAR PUSTAKA 1. Abdurrahman Wahid. (1983) Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta : Lappenas, 1983 2 Al-Amidi. (Tt) Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Pati : Penerbit Maslakul Huda Kajen Pati Jateng. 3. Amir Mualim dan Yusdani. (1997) Ijtihad, Suatu Kontroversi Antara Teori dan Fungsi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press 4. Azhar, Muhammad. (2001) Fiqih Peradaban, Yogyakarta : Ittaqa Press. 5. Azizy .A. Qodri. (2000) Mengibarkan Nalar Ushul Fiqh, dalam Gerbang, Jurnal Pemikiran Agama dan Demokrasi, eLSAD Surabaya, Vol. 06, No. 03. 6. Azizy .A. Qodri. (2003) Reformasi Bermadzhab, Jakarta : Teraju

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

51

Jurnal Hukum Islam Kopertais Wilayah IV Surabaya 7. Bruce A. Chadwick, Howard M. Bahr, Stan L. Albrecht. (1991) Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial, Penerjemah : Dr. Sulistia, ML., Drs. Yan Mujianto, Drs.Ahmad Sofwan, Drs. Suhardjito, MA, Penerbit : IKIP Semarang Press. 8. Damanhuri, Syeikh Ahmad. (Tt) Syarh Idhohul Mubham min Maani al-Sullam 9. Forum Karya Ilmiah 2004. (2006) Kilas Balik Teoritis Fiqh Islam, Kediri : PP. Hidayatul Mubtadiin Lirboyo. 10. Jamal, Ahmad Al Raysuni dan Muhammad Barut. (2002) Ijtihad, anrara teks, realitas dan kemaslahatan sosial, Jakarta: Erlangga. 11. Jamil, M. Muhsin. (2005) Membongkar Mitos, Menegakkan Nalar, Pergulatan Islam Liberal Versus Islam Literal, Jakarta : Pustaka Pelajar dan Ilham Institut. 12. Jaruni, Ahmad bin Asymuni -. (Tt), Masyahirul Fuqoha wa Maratibuhum wa Kutubuhum wa alIstilahatuhum, Kediri : Pondok Pesantren Hidayah al-Thullab 13. Kuntowijoyo. (1991) Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Bandung : Mizan. 14. Maarif, A. SyafiI. (1993) Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia, Bandung : Mizan. 15. Madjid, Nur Cholis. (2000) Islam Doktrin dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan, dan Kemodernan, Jakarta : Paramadina 16.Madjid, Nurcholis. (1995) Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung : Mizan. 17. Mughits, Abdul. (2004) Kajian Ushul Fiqh di Pesantren Tradisional, dalam Tashwirul Afkar, edisi No. 18. 18. Mulyana, Deddy. (2004) Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, Bandung : Rosda 19. Nasution, Harun. (1995) Islam Rasional, Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan. 20. Quzwain, Chatib (1988) Kiprah Tajdid Tempo Dulu, dalam Pesantren, No. 1/Vol.V. 21. Rais, Amin. (1998) Tauhid Sosial, Upaya Menggempur Kesenjangan, Bandung : Mizan 22. Ramadan, Tariq. (2003) Menjadi Modern Bersama Islam, Jakarta : Teraju. 23. Rusyd, Ibnu. (Tt) Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasith, Thoha Putra Semarang. 24. S. Margono. (2005) Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta : Rineka Cipta 25. Sadul Millah wad Din Maud bin Umar ibn Abdillah dan Sadud Din al-Taftazani al-Harawi al-Hanafi al-Khurasini. (Tt) al-Tazhib syarh Ubaidullah ibn Fadhlullah al-Khubaishi ala Tahdzibil Kalam wa al-Manthiq, Penerbit Maslakul Huda Pati Jateng 26. Shoub, Hasan (1997) Islam dan Revolusi Pemikiran, Dialog Kreatif Ketuhanan dan Kemanusiaan, Surabaya : Risalah Gusti. 27. Sirry, Munim A. (1995) Sejarah Fiqih Islam, Surabaya : Risalah Gusti 28. Sumanto Al-Qurthuby. (1999) Era baru Fiqih Indonesia, Yogyakarta : Cermin 29. Syaroni, Abi al-Mawahib Abdul Wahhab bin Ahmad bin Ali al-Anshari (Tt). Al-Mizan al-Kubra. Surabaya : al-Hidayah 30. SyafiI, Syekh Abu Yahya Zakariyya alAnshari. (Tt) Ghoyah al-Wushul Syarh Lubbu alUshul. TT:Tp. 31. Syatha, Abu Bakar. (Tt) Ianah al-Tholibin, Jakarta : Daru Ihyail Kutub al-Arabiyyah 32. Turabi, Hasan Al. (2003) Fiqih Demokratis, Dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis, Jakarta : Arasy. 33. Zarnuji, Imam. (Tt) Talimul Mutaallim, fi adab al-alim wa al-Mutaallim, TT:Tp.

Vol. 01, No.01, Maret 2009 - ISSN 2085-3025

52

You might also like