You are on page 1of 7

Pertimbangan BPK Dalam Penerapan SAP Sebagai Langkah Strategis Kesamaan Tindakan Menghadapi Pelaksanaan Pemeriksaan Peran BPK

Berdasarkan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 7 huruf m, Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara berwenang mengajukan rancangan peraturan pemerintah (PP) tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Standar tersebut memberikan mandat bahwa selain sebagai entitas pelaporan, karena Menteri Keuangan mengelola keuangan negara; juga sebagai penyusun standar bagaimana melaporkan pengelolaan atas keuangan negara. Sementara itu berdasarkan amanat UU No.15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, BPK diberi kewenangan untuk memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan. BPK terkait dengan SAP yang disusun dalam bentuk rancangan PP mempunyai peran sebagai pihak yang dimintai pertimbangan atas rancangan tersebut. Perihal peran BPK itu dimuat adalah sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 32 ayat 2 dan UU No. 1 Tahun 2004 Penjelasan pasal 57. Ditambahkan lagi sesuai dengan penjelasan Bagian Kelima, Pasal 57 tentang Komite SAP, UU No. 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa atas pertimbangan yang diberikan oleh BPK, Komite akan memberikan tanggapan, penjelasan, dan/atau melakukan penyesuaian sebelum standar akuntansi pemerintahan ditetapkan menjadi peraturan pemerintah. Tercatat di tahun 2009, BPK pernah mengirimkan pertimbangannya tentang standar akuntansi berbasis akrual. Penelurusan dokumen menunjukkan bahwa Surat Pertimbangan BPK tersebut terkirim sesuai dengan No. Surat 19/S/IXII/02/2009 tanggal 25 Februari 2009. Dalam dokumen tersebut RPP tentang SAP akrual tidak terlepas dari masalah. Perihal ketidak jelasan pentahapan penerapan, duplikasi pengaturan, kompleksitas laporan dari 4 laporan menjadi 7 laporan, serta kurangnya sosialisasi, serta dampak investasi yang diperlukan untuk penerapannya. Pentahapan Penerapan dan Tanggal Efektif Sekarang setelah hampir 2 tahun sejak ditetapkannya, yakni tertanggal 22 Oktober 2010 penerapan PP 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan memang perkembangannya belum sesuai dengan yang diharapkan. Walaupun KSAP telah menetapkan pentahapan langkah-langkah penerapannya (lihat tabel di bawah), namun gaung dari apa yang telah diagendakan masih jauh dari pendengaran. Tabel 1 Pentahapan Penerapan SAP PP 71 Tahun 2010 Tahun Kegiatan Penerbitan Standar Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual Mengembangkan Framework Akuntansi Berbasis Akrual dan BAS Sosialisasi SAP Berbasis Akrual Penyiapan aturan pelaksanaan dan kebijakan

2010

2011

Tahun

Kegiatan akuntansi; Pengembangan Sistem Akuntansi dan TI bagian pertama (proses bisnis dan detail requirement) Pengembangan kapasitas SDM

2012

Pengembangan Sistem Akuntansi dan TI (lanjutan) Pengembangan kapasitas SDM (lanjutan) Piloting beberapa KL dan BUN Reviu, Evaluasi dan Penyempurnaan Sistem Pengembangan kapasitas SDM (lanjutan) Parallel Run dan Konsolidasi seluruh LK Reviu, Evaluasi dan Penyempurnaan Sistem Pengembangan kapasitas SDM (lanjutan) Implementasi Penuh Pengembangan kapasitas SDM (lanjutan)

2013

2014

2015

Sosialisasi telah dilakukan beberapa kali oleh KSAP namun dari sisi pengembangan kebijakan standar akuntansi berbasis akrual langkahnya masih kurang serempak dan seirama. Kebijakan akuntansi terkait SAP akrual masih banyak yang belum sinkron. Khususnya atas LKPD, Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri sepertinya memegang peranan yang sama-sama kuat. Misalnya tentang ketentuan Permendagri No. 61 Tahun 2007 tentang BLU, serta Permendagri No. 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial padahal di berbagai produk KSAP tentang keduanya telah banyak diulas. Pentingnya penahapan penerapan Standar Akuntansi Pemerintahan berbasis akrual dikarenakan, tanpa melebih-lebihkan, telah penuh ketidakpastian. UU No. 17 Tahun 2003 pasal 36 menyebutkan bahwa ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama itu pula apabila pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, maka digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas. Namun, sampai batas waktu yang telah ditentukan tersebut SAP akrual masih belum ditetapkan, dan akhirnya baru disahkan di tahun 2010. Jadi PP No. 24 Tahun 2005 mempunyai posisi seolah-olah mengisi kekosongan selama 2 tahun, yakni tahun antara 2008-2010. Pun ternyata praktiknya sesuai dengan PP No. 71 Tahun 2010 pemberlakuan SAP cash basis dapat diperpanjang sampai dengan tahun 2014. Kesimpulan ini didapat dengan menyimak tanggal efektif/paragraf terakhir dari tiap Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah (PSAP) yang menyatakan bahwa: Dalam hal entitas pelaporan belum dapat menerapkan PSAP ini, entitas pelaporan dapat menerapkan PSAP Berbasis Kas Menuju Akrual paling lama 4 (empat) tahun setelah Tahun Anggaran 2010. Artinya dari periode pemberlakuannya memang tidak efektif. Dokumen PP No. 71 Tahun 2010 sendiri tidak menyebutkan adanya periode tahun pemberlakuan efektif secara detail. Hanya klausul biasa yang terdapat dalam peraturan perundangan dimana menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Produk Lain dari KSAP Produk lain dari KSAP tidak pernah disebut-sebut dalam kerangka konseptual SAP. Kerangka konseptual memuat hal-hal terkait asumsi dasar SAP, karakteristik kualitatif dari laporan keuangan pemerintah, serta kaidah-kaidah pengertian perihal pengakuan, pengukuran dan pelaporan. PP No. 71 Tahun 2010 sajalah yang menyebutkan tentang produk lain tersebut, yakni Interpretasi Standar Akuntansi Pemerintahan (IPSAP) dan Buletin Teknis (Bultek) pada Pasal 3 Ayat 1,2 dan 3. Pada pasal 3 tersebut diatas dinyatakan hanya rancangan IPSAP saja yang perlu disampaikan kepada BPK dengan jangka waktu 14 hari sebelum IPSAP diterbitkan. Entah maksud dari hal ini namun dalam website KSAP (http://www.ksap.org/proses.php) sama sekali tidak disebut due process dari IPSAP. Sehingga penyampaian kepada BPK ini apakah ditujukan untuk mendapatkan masukan/pertimbangan tidak ditemukan rujukannya. Atau sebaliknya IPSAP ini dianggap satu paket dengan PSAP, yang akhirnya diberlakukan sama bahwa IPSAP perlu juga dimintakan pertimbangan BPK. Sekali lagi due process tidak menyitir tentang hal ini, apalagi bulletin teknis. Yang ada hanyalah due process (proses penyiapan) SAP yang terdiri dari 15 tahap. Sampai saat ini KSAP sudah menghasilkan 1 ISPAP dan 10 Bultek, sebagai berikut: Tabel 2. No . 1 No . 1 ISPAP ISPAP No. 1 Bultek Bultek No. 1 Tentang Transaksi Dalam Mata Uang Asing Tentang Penyusunan Neraca Awal Pemerintah Pusat sebagai pedoman bagi instansi pemerintah pusat dalam menyusun neraca awal sesuai dengan SAP Penyusunan Neraca Awal Pemerintah Daerah sebagai pedoman bagi instansi pemerintah daerah dalam menyusun neraca awal sesuai dengan SAP Penyajian Laporan Keuangan Pemerintah Daerah sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan dengan Konversi. Penyajian dan Pengungkapan Belanja Pemerintah. Akuntansi Penyusutan Akuntansi Piutang Akuntansi Dana Bergulir Akuntansi Utang Akuntansi Aset Tetap Akuntansi Belanja Bantuan Sosial

Bultek No. 2

3 4 5 6 7 8 9 10

Bultek No. 3 Bultek No. 4 Bultek No. 5 Bultek No. 6 Bultek No. 7 Bultek No. 8 Bultek No. 9 Bultek No. 10

Bultek yang telah dikeluarkan olek KSAP sebanyak 10 Bultek dalam hal penyajian masih menunjukkan inkonsistensi. Contoh penyajian jurnal yang masih berbeda formatnya, namun dari segi substansi pertanyaannya adalah dalam hal penganggaran apakah SAP mengenal mengenai Jurnal Anggaran seperti yang terdapat dalam Bultek No. 7 tentang Dana Bergulir. Sebab pada Bultek Akuntansi Dana Bergulir dikenal adanya pencatatan anggaran dengan istilah Estimasi dan Allotment. Terhadap Standar Akuntansi Pemerintahan dan interpretasinya, BPK dapat memberi pertimbangan yang sifatnya inisiatif dan non-inisiatif. Pertimbangan BPK atas SAP yang bersifat inisiatif dapat dilakukan dengan membuat suatu kajian atas penerapan SAP pada pemeriksaan yang dilakukan di lingkungan BPK. Pertimbangan yang bersifat non-inisiatif dapat dilakukan dengan mengkritisi Standar Akuntansi Pemerintahan. Untuk memenuhi amanat undang-undang, dan sesuai dengan RKSP 2012 Sub Direktorat Litbang Pemeriksaan Keuangan dan Kinerja atas Kegiatan Penelitian dan Pengembangan Pemeriksaan Keuangan Negara mengenai Penyusunan Pertimbangan BPK atas Standar Akuntansi Pemerintahan, maka Subdit Litbang Seksi Pemeriksaan Keuangan membuat suatu kajian atas beberapa hal terkait penerapan SAP di lingkungan BPK yang dirangkum sebagai bahan untuk di diskusikan secara internal dan selanjutnya dapat di sampaikan kepada KSAP untuk dibahas bersama. ( bentuk pertimbangan BPK atas SAP yang sifatnya inisiatif). Rangkuman ini disusun dari berbagai sumber (pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada Panduan Pemeriksaan atas LKPP/LKKL dan Panduan Pemeriksaan atas LKPD) dan hasil diskusi dengan Kadit LABH dan Kasubagset Anggota V. Hasil rangkuman berupa permasalahan-permalasahan yang terjadi di lingkungan BPK dan masih dapat diperdebatkan mengenai kesesuaian penerapan akuntansinya. Beberapa permasalahan yang dapat dirangkum adalah sebagai berikut: 1) Penyusutan dan Aset Tetap; Penerapan penyusutan pada akuntansi pemerintahan belum diterapkan oleh semua pemerintah daerah. Hal ini akan mempengaruhi nilai aset tetap pada laporan keuangan. Waktu efektif penerapan kebijakan ini memang memperbolehkan penerapan PP No. 71 Tahun 2010 sampai dengan Tahun Anggaran 2014, namun hal ini membuat penerapannya tidak merata pada seluruh entitas pemerintah. Seberapa besar tingkat urgensi penerapan akuntansi penyusutan di dalam laporan keuangan pemerintahan? Bagaimana pengaruh penyusutan pada opini? Bagaimana perlakuan dipinjampakaikan? akuntansi untuk aset tetap yang

Bagaimana penilaian kembali aset tetap yang diperoleh setelah neraca awal? Bagaimana penyajian suatu aset dekon yang sedang dalam proses pengurusan hibah kepada daerah? Terdapat barang rusak berat, barang tersebut sudah dicatat dalam aset-aset lain. Entitas telah menulis surat kepada KPKNL perihal penghapusan Barang Milik Negara (BMN) dan ditindaklanjuti dengan surat DJKN perihal persetujuan penjualan BMN dan SK Sekjen tentang

penghapusan BMN, namun barang tersebut belum laku dijual. Bagaimanakah perlakuan pencatatan atas barang tersebut? Apakah harus dikeluarkan dari aset-aset lain dan diungkap di CaLK atau sebaliknya? Bagaimana perlakuan terhadap biaya-biaya yang dapat dikapitalisasi ke aset tetap. Apakah ada kebijakan suatu batasan jumlah biaya kapitalisasi?

2) Konstruksi Dalam Pengerjaan; Jika suatu perolehan aktiva tetap telah dibayar 100% dan KL memperoleh bank garansi, namun secara fisik bangunan tersebut belum selesai, maka apakah bangunan tersebut tetap merupakan konstruksi dalam pengerjaan? Bagaimana pengakuan dan pencatatan terhadap belanja modal yang sudah selesai pembangunannya jika uang retensi masih ada hingga setahun berikutnya sebagai jaminan pemeliharaan? Bagaimana perlakuan akuntansi atas pekerjaan kantor bupati yang belum selesai tetapi tidak tercatat sebagai penambahan KDP di neraca?

3) Bagi Hasil Pajak; Bagaimana pencatatan atas bagi hasil pajak provinsi ketika SK untuk bulan-bulan akhir tahun 20X1 muncul pada saat subsequent event, misalnya bulan Maret 20X2? Bagi hasi pajak yang belum diterima pada akhir tahun LK yang diaudit dicatat sebagai Piutang yang mempengaruhi sisi asset, namun pada sisi ekuitas dana dicatat sebagai apa?

4) Retensi/Hutang Belanja; Bagaimana pengakuan penganggaran dan pembayaran hutang belanja atas proyek pengadaan yang belum selesai diakui sebagai aset KDP sepenuhnya pada tahun berjalan? Hutang Belanja atas proyek pengadaan yang belum selesai diakui sebagai asset KDP sepenuhnya pada tahun berjalan, namun bagaimana dengan pembayarannya, apakah dianggarkan melalui hutang belanja atau dianggarkan melalui pembiayaan pengeluaran?

5) Bantuan Sosial/Hibah; Bagaimanakah perlakuan akuntansi atas hibah yang diterima pemerintah daerah dalam bentuk barang? Apakah dapat penerimaan hibah langsung kepada SKPD. Hibah yang berupa uang pada tahun berjalan dapat diakui sebagai pendapatan, namun apabila dalam bentuk barang apakah hal itu hanya mempengaruhi neraca saja?

6) Program Sapi Gaduh; Pemda XYZ melaksanakan suatu program yang dinamakan Program Sapi Gaduh. Mekanisme Program Sapi Gaduh dimulai dari pembelian induk sapi oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Kemudian induk sapi diserahkan kepada anggota/kelompok masyarakat untuk dipelihara, disertai dengan penandatanganan Surat Perjanjian berisi hak dan kewajiban dari masingmasing pihak (pemda dan anggota/kelompok masyarakat). Surat Perjanjian antara lain menetapkan bahwa bila induk sapi melahirkan anak, 50 % dari hasil penjualan anak pertama dan kedua akan menjadi hak pemda, dan 50 % lagi menjadi hak anggota/kelompok masyarakat yang memelihara. Setelah melahirkan anak kedua, induk sapi tersebut menjadi milik anggota/kelompok masyarakat yang memelihara. Ada beberapa perlakuan akuntansi yang kami pertimbangkan dalam penganggaran dan realisasi kegiatan tersebut yaitu: 1) Pengeluaran untuk pembelian induk sapi tersebut dianggarkan dan direalisasikan dalam akun Belanja Barang karena diniatkan akan diserahkan kepada anggota/kelompok masyarakat. Namun penganggaran dan realisasi pada akun tersebut menjadi kurang tepat karena: (1) Pemda perlu mengakui aset berupa induk sapi tersebut di Neraca (kemungkinan di Akun Persediaan), sebelum induk sapi diserahkan kepada anggota/kelompok masyarakat pada waktu kelahiran anak sapi kedua. (2) Pengakuan pendapatan dari hasil penjualan anak sapi pertama dan kedua. 2) Pengeluaran untuk pembelian induk sapi tersebut dianggarkan dan direalisasikan dalam akun Belanja Modal karena induk sapi tersebut masih diakui sebagai aset sebelum diserahkan kepada anggota/kelompok masyarakat pada waktu kelahiran anak sapi kedua. Namun penganggaran dan realisasi pada akun tersebut menjadi kurang tepat karena penganggaran di belanja modal harus disertai dengan pencatatan dalam akun asset tetap, sedangkah aset yang akan diserahkan kepada anggota/kelompok masyarakat lebih tepat dicatat pada akun Persediaan. 3) Pengeluaran untuk pembelian induk sapi tersebut dianggarkan dan direalisasikan dalam akun Pengeluaran Pembiayaan sehingga di neraca dicatat sebagai akun Investasi Non-Permanen. Namun pengakuan pada akun Investasi Non-Permanen anggota/kelompok masyarakat lainnya dan pokok investasi berupa induk sapi akan hilang (diserahkan kepada anggota/kelompok masyarakat yang memelihara) pada waktu kelahiran anak sampi kedua. 4) Pengeluaran untuk pembelian induk sapi tersebut dianggarkan dan direalisasikan dalam akun Belanja Hibah/Bansos karena diniatkan akan diserahkan kepada anggota/kelompok masyarakat. Namun pengakuan pada akun Belanja Hibah/Bansos menjadi kurang tepat karena pemda memperolah pendapatan sebesar 50 % dari hasi penjualan anak pertama dan kedua serta pemda masih tetap mengakui induk sapi sebagai asset sampai diserahkan kepada anggota/kelompok masyarakat yang memelihara.

Bagaimana seharusnya perlakuan akuntansi pengeluaran untuk pembelian induk sapi, dan pengakuan aset berupa induk sapi jika neraca memang harus mengakui aset? 7) Dana Bos.(Dedy Eryantos Part) Kesimpulan Bagi BPK, kejelasan terkait isu ini akan mampu memberikan pandangan bagi satker pemeriksa dan pemeriksa di lapangan mengenai substansi yang sama. Sehingga pemeriksa apabila dihadapkan pada permasalahan tersebut tentunya akan mempunyai kesamaan tindakan dalam menghadapi. BPK mempunyai kepentingan terhadap hal ini karena permasalahan di lapangan walaupun bermacam-macam kondisi serta latar belakangnya seharusnya sama dalam pengambilan tindakan, sehingga tidak ada suatu alasan, misalnya akibat keterlambatan dan metode komunikasi, yang menyebabkan perbedaan.

You might also like