You are on page 1of 7

Revitalisasi Sistem dan Revolusi Budaya, Stop Komersialisasi dan Komoditas Pendidikan

UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003 menjelaskan bahwa, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat. Sangat disayangkan, selama reformasi yang sudah berjalan 14 tahun, tidak ada perubahan signifikan dari sistem pendidikan. Justru yang terjadi adalah semakin merosotnya citra dunia pendidikan di mata masyarakat Nasional atau pun pada level Internasional. Mengingat masih tingginya angka putus sekolah dan siswa yang tidak melanjutkan pendidikan, dinilai sebagai cermin masih terbatasnya akses pendidikan yang bisa dijangkau masyarakat. meskipun dari tahun ke tahun anggaran pendidikan Nasional telah mengalami kenaikan secara signifikan. Mengutip wawancara jurnalis media massa Kompas dengan anggota Komisi X DPR RI Raihan Iskandar pada tahun 2011, menjelaskan bahwa pada tahun 2010, APBN untuk sektor pendidikan mencapai Rp 225 triliun, dan pada tahun 2011 meningkat menjadi Rp 249 triliun. Untuk tahun 2012 APBN pendidikan kembali mengalami peningkatan hingga mencapai Rp 286 triliun. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebagai instrumen penopang program wajib belajar sembilan tahun juga meningkat dari tahun 2011 sebesar Rp 16 triliun, menjadi Rp 23 triliun untuk tahun 2012.

Namun dengan anggaran yang mencapai 20% dari APBN yang di atur dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 4 yang menyatakan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional, ternyata tidak mengurangi adanya aktivitas pungutan liar yang terjadi hampir setiap tahun. Jenis pungutan liar itu cukup bervariasi. Misalnya, untuk uang gedung, uang shodaqoh jariyah, uang seragam, uang ekstrakurikuler dan berbagai pungutan liar lainnya. Tentu semua pungutan itu sangat memberatkan orang tua didik, pasalnya besaran uang yang dibebankan kepada orang tua didik mencapai jutaan rupiah. Biasanya, ada berbagai macam alasan pihak sekolah meminta pungutan anggaran kepada orang tua didik. Pertama, untuk subsidi silang kepada murid yang tidak mampu. Kedua, untuk biaya operasional sekolah. Tingginya alokasi APBN serta APBD dalam sektor pendidikan, dapat dinilai ironis karena berbagai kebijakan pemerintah, justru turut berkontribusi terhadap tertutupnya akses pendidikan yang terjangkau dan Pemerintah terkesan membiarkan berbagai komersialisasi dan pungutan yang marak terjadi. Salah satunya kebijakan mengenai Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). RSBI bisa menjadi kebijakan asesoris yang berpotensi menghambat penuntasan program wajib belajar sembilan tahun, menghambat siswa miskin atas layanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. RSBI dapat pula menjadi sarana seleksi status sosial yang menyebabkan kesenjangan sosial, bahwa orang miskin tidak berhak atas sekolah favorit impiannya, jika pada akhirnya standarisasi pendidikan bukan didasarkan pada kecerdasan calon anak didik, tetapi

yang lebih diutamakan adalah kemampuan secara finansial. RSBI juga acap kali dinalai sebagai kebijakan yang mengakibatkan adanya diskriminasi standarisasi pendidikan, yang menyebabkan biaya pendidikan yang relatif sangat mahal dibanding sekolah biasa, sehingga rakyat miskin takut untuk mengenyam pendidikan dengan standar yang bagus. Dari penjelasan tersebut sebagian kalangan menganggap bahwa sistem pendidikan saat ini, telah terjebak dalam pratek komersialisasi dan kapitalisme pendidikan. Pendidikan yang bertujuan mencerdaskan anak bangsa menjadi sistem perdagangan baru berselimut pendidikan. Ilmu pengetahuan telah menjadi objek komersialisasi yang menjanjikan sebagai komoditas utama mereka semua yang terlibat dalam sistem gelap tersebut. Fakta mencengangkan dan ternyata telah membudaya di negara ini yang terdengar sangat miris ketika saya menanyakan tentang praktek uang pendidikan di lingkup sekolah, yang notabene ibu saya sebagai guru di institusi pendidikan tersebut, serta beberapa mantan guru SMA saya yang menjadi narasumber menjelaskannya secara detail. Stempel Aspal (Asli Tapi Palsu), sering digunakan oleh sebagan praktisi akademisi untuk mencairkan anggaran yang diperlukan dalam melaksanakan kegiatan yang secara implisit hal tersebut di setujui oleh pimpinan. Prakteknya, saya sendiri pernah melakukan hal tersebut berdasarkan arahan dari guru saya untuk mencairkan dana ekstrakurikuler, bahkan dengan membuat stempel palsu, tentunya jumlah dana yang tertulispun tidak sama dengan pengeluaran sebenarnya. Misal ketika mengeluarkan anggaran konsumsi, hanya di sediakan kwitansi kosong dan stempel dengan nominal yang fiktif meskipun sebagian

memang digunakan, atau untuk keperluan ATK yang mencari stempel dari jasa fotokopi tentu yang memiliki NPWP dan materai 6000 yang memiliki keterikatan terhadap hukum. Sumbangan ataukah pungutan liar oleh pejabat Dinas? hal yang mungkin sering terjadi pada sejumlah guru dalam mengurus pencairan dana sertifikasi, atau urusan lainnya yang secara langsung dinas yang bersangkutan meminta sejumlah uang jika ingin dipermudah urusannya, tidak tanggung-tanggung nominalnya hingga ratusan ribu rupiah, bayangkan berapa guru yang menjadi korban? Ada lagi dana bantuan dari pemerintah, misal dana yang seharusnya 40 juta bagi instansi pendidikan, ternyata tidak sepenuhnya saat sampai ke instansi tersebut senilai awalnya, bahkan bisa hanya 20 juta saja karena terpotong secara beruntun dari pimpinan atas hingga kroni-kroninya. Komersialisasi pendidikan yang berlangsung di Indonesia sudah menjadi budaya, dan komoditas yang menggiurkan secara berantai bagi beberapa pelaksana pendidikan dan terjadi secara berjamaah dari pusat hingga guru bahkan siswa pun terlibat, kemudian siapakah yang harus bertanggung jawab terhadap kondisi ini? Padahal fondasi utama majunya suatu negara tergantung pada pendidikan itu sendiri. Lalu, apa peran negara untuk itu semua? Bagaimana dengan praktik amanah UUD 1945 tentang pendidikan dan deversifikasi aturan main lainnya? Tentu pemerintah belum maksimal menjalankan amanah itu. Jika pemerintah memaksimalkan dalam menjalankan amanah tersebut, komersialisasi pendidikan akan berhenti dengan sendirinya.

Peraturan telah ada dalam Pembukaan UUD 1945 tertera tujuan berdirinya negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan pasal 31 ayat 2 menyatakan bahwa, "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Praktek penyelenggaraan sistem pendidikan kita mestinya berpedoman pada prinsip-prinsip: otonomi, akuntabilitas, transparansi, penjaminan mutu, layanan prima, akses yang berkeadilan, keberagaman, keberlanjutan, serta partisipasi atas tanggung jawab negara yang sesuai dengan isi UU BHP. Dengan prinsip-prinsip ini, pengelolaan sistem pendidikan formal di Indonesia ke depan, diharapkan makin tertata dengan baik, makin profesional dan mampu membuat satu sistem pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien untuk meningkatkan mutu, kualitas dan daya saing. Menanggapi adanya praktek stempel Aspal ataupun suap untuk mempermudah urusan serta potongan-potongan dana bantuan dari pemerintah haruslah dilakukan revolusi budaya yang mendasar dari pemerintah pusat hingga bawahan. Menanamkan jiwa kepemimpinan yang bersih terhadap KKN kepada segenap civitas akademika dan mengaplikasikannya adalah yang utama pada dasar setiap teori. Revolusi budaya secara menyeluruh merupakan harga mati jika Negara ingin menghentikan adanya praktek komersialisasi dan komoditas pendidikan yang menimbulkan kapitalisme dan diskriminasi pendidikan, budaya suap, parktek penipuan dan pungutan liar yang wajib hukumnya untuk ditindak secara tegas berdasarkan kode etik yang berlaku bahkan dengan pencopotan jabatan.

Pernah ada sebuah celetukan kenapa harus dipercepat bila bisa diperlambat dan kenapa harus dipermudah bila bisa dipersulit yang pada prinsipnya hal tersebut adalah peluang bagi beberapa oknum untuk melaksanakan komersialisasi pendidikan, sehingga perlu adanya revitalisasi sistem yang seharusnya bisa menjadi pilot project oleh Pemda dalam melaksanakan otonomi daerah, semisal dengan melakukan percepatan dan permudahan proses administrasi sehingga akan sangat memperkecil kesempatan komersialisasi di lingkup pendidikan bahkan bisa untuk segala lingkup kepengurusan. Revitalisasi sistem serta revolusi budaya secara tepat dan tegas semoga bisa menjinakan komersialisasi dan komoditasi pendidikan yang menciptakan
generasi penerus bangsa yang sesuai dengan amanat Pancasila dan UUD 1945.

Biodata Penulis

Nama Fakultas Universitas Email Telepon Alamat

: Rizal Tawakal Alya : Sains dan Teknik / Teknik Geologi : Universitas Jenderal Soedirman : rizaltawakal@yahoo.com : (0291) 681168 / 085640647162 : Jalan Sultan Hadiwijoyo No.50 Kenep Demak

You might also like