You are on page 1of 19

Ekonomi Makrt)

Analisis Kebijakan Moneter Indonesia: Pelaksanaan - Restrukturisasi - Implikasi


Wahid Salim")

Abstract:
It is hypothetically believed that Rupiah's devaluation policy of the New Order Indonesian govenunent since 1970's and the floating exchange rate policy might be the "driving force" of the Indonesian monetary crisis that is marked by Rupiah's depreciation toward the US Dollar up to now. In addition, the Indonesian central bank's intervention to money market seems to be meaningless, even it just drain the exchange rate. In order to overcome the crisis, it is proposed to restructure the monetary policy from floating exchange rate to fixed exchange rate by employing Iceberg model.

Pendahuluan
Bank Indonesia sebagai otoritas rnoneter Indonesia bertanggung jawab bagi stabilitas nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat. Bank Indonesia dalarn usahanya rnernelihara stabilitas rnoneter, telah rnelaksanakan beberapa kebijakan. Kebijakan itu telah rnernbawa irnplikasi bukan saja terhadap naiknya nilai tukar Dolar AS terhadap Rupiah, tetapi juga berdampak terhadap sektor-sektor lain. Guna rnernberikan garnbaran yang jelas rnengenai implikasi kebijakan rnoneter yang diterapkan oleh Bank Indonesia, dan bagaimana bangsa Indonesia dapat rnengatasi kernelut nilai tukar Rupiah tersebut, kajian akadernik ini akan rnernbahas dua topik utarna, yaitu (l) pelaksanaan kebijakan rneneter Indonesia dan implikasinya, serta (2) restrukturisasi kebijakan rnoneter Indonesia dan irnplikasinya. Kedua topik termaksud akan dianalisis secara argurnentatifpada tulisan ini. Pokok Masalah Salah satu tujuan kebijakan moneter yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia adalah untuk rnenstabilkan nilai tukar Rupiah. Narnun tujuan itu kelihatannya belurn dapat rnernenuhi harapan rnasyarakat, ditandai oleh terns rnelemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Dengan kata lain, apresiasi Dolar AS terhadap Rupiah sernakin takterbendung lagi oleh berbagai kebijakan rnoneter yang diterapkan di Indonesia. Untuk itu perlu dipikirkan ahematif restrukturisasi kebijakan yang rnernungkinkan bangsa Indonesia keluar dari kernelut nilai tukar yang berkepanjangan. Berkenaan dengan itu seluruh penyelenggara negara dan komponen bangsa diharapakan dapat rnernberi kontribusi sesuai dengan perannya rnasing-rnasing. Untuk rnemfokuskan pembahasan atas kedua topik utarna tersebut, beberapa pokok rnasalah dirumuskan sebagai berikut.

")

Penulis adalah dosen Faku1tas Ekonomi Universitas Pancasila sejak tabun 1976 dan sekarang menjabat sebagai staf ahIi Menteri Negara ResllUkturisasi Ekonomi Nasiona~ RI. Ia luIus Slljana Ekonomi dati UGM Jogyakarta, lulus Slljana Hukum dari Universitas Janabadra YogyaklJ1l, dan lulus Master of Social Science dati Binningbam University, London.

PANtJrAN BISNIS

ISSN 1410-7805

VOLUME

4 NOMOR

1 lULl 2001

5
7/24

http://www.univpancasila.ac.id

Ekonomi Makro

1. Bagaimana pelaksanaan kebijakan moneter Indonesia dan impilkasinya? 2. Mengapa nilai tukar Rupiah melemah? 3. Apakah akar masalahnya dan struktur kebijakan moneter yang bagaimanah yang dapat menstabilkan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat? 4. Bagaimana pandangan para ahli mengenai restrukturisasi kebijakan moneter Indonesia? 5. Bagaimana peran IMF dalam merestrukturisasi kebijakan moneter Indonesia? 6. Apakah "driving force" merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap Do1ar AS? 7. Apakah implikasi diberlakukannya struktur kebijanan moneter "fixed exchange rate" di Indonesia? Masalah pertama akan dianalisis dalam topik pertama dengan menggunakan instrumen analisis "The Operations System" dari Prof. Howard 1. Weiss dan Prof. Mark E. Gershon dalam bukooya Production and Operation Management (1991: 5). Masalah kedua sampai dengan masalah ketujuh akan di bahas dalam topik kedua dengan menggunakan instrumen analisis "Iceberg Model" dari Peter Schwartz and James A. ogilvy dalam buku Learning From the Future diedit oleh Liam Fahey and Robert M. Randall (1998 : 68).

Adapoo tujuan analisis ini adalah terciptanya nilai tukar Rupiah yang stabil agar bangsa Indonesia dapat keluar dari krisis ekonomi dan bangkit kembali ootuk dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. PELAKSANAAN KEBIJAKAN DAN IMPLIKASINY A MONETER

Kajian mengenai topik pertama ini didasari oleh tiga preposisi sebagai berikut. I. Bank Indonesia sebagai otontas moneter, berdasarkan ketentuan UU No. 23 Tahoo 1999, pasal 58 ayat (1) dan (2) harus menyampaikan laporan setiap triwulan kepada DPR RI. 2. Dalam laporan triwulan 1-2001, Bank Indonesia memaparkan perkembangan ekonomi, moneter dan perbaikan serta kebijakan mendatang. 3. Kebijakan-kebijakan yang telah dilaksanakan oleh Bank Indonesia dalam laporan triwulan tersebut bukanlah kebijakan baru, tapi merupakan kebijakan-kebijakan yang selama ini dijalankan dan akan terus diterapkan. Kebijakan itu adalah : a. tight monetary policy (kebijakan uang ketat); b. menaikkan booga surat berharga Bank Indonesia (SBI); c. intervensi pasar valuta asing; d. pengawasan langsung (on site supervision); e. pembatasan transaksi Rupiah oleh non

Manfaat Dan Tujuan Analisis


Kajian diharapkan bermanfaat bagi para penyelenggara negara sebagai masukan ootuk mengubah struktur kebijakan moneter Indonesia.

resident.

VOLUME

4 NOMOR

1 JULl2001

PANUfAN BISNIS

ISSN 14IO.780~

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

1. Tight Monetary Policy a. Pengendalian uang primer yang beredar merupakan pelaksanaan kebijakan uang ketat melalui pasar terbuka. Sasaran yang ingin dicapai adalah pertumbuhan uang primer antara II % - 12 %. b. Kenaikan booga SBI merupakan alat dari pengetatan / pengendalian uang primer yang beredar. SBI tersebut dijual melalui operasi pasar terbuka. Hasil lelang sampai dengan akhir triwulan I 2001 mencapai Rp. 90,06 trilioo atau mengalami peningkatan Rp. 11, IS trilioo dibandingkan dengan posisi akhir triwuIan IV - 2000 yang nilainya mencapai Rp. 78,91 trilioo. c. Kebijakan pengendalian / kebijakan uang ketat dijalankan dengan strategi "front loading" (sejak awal taboo). Kebijakan ini telah berhasil menurunkan jumlah uang beredar. Posisi uang beredar sampai dengan bulan Maret 2001 mencapai Rp 103,2 trilioo atau mengalami penurunan sebesar Rp. 22,4 trilioo dibandingkan dengan posisi Desember 2000 yang tercatat Rp. 125,6 trilioo. d. Kebijakan uang ketat dan menaikkan suku booga SBI, tidak berhasil menekan laju inflasi. Pada triwulan I - 2001 laju inflasi sebesar 10,62% lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan IV - 2000 yaitu sebesar 9,35 %.

2. Depresiasi Rupiah Terhadap Instrumen Kebijakan HI

Dolar AS

Untuk menekan laju depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS, Bank Indonesia melaksanakan tiga alat kebijakan moneter yaitu: a. intervensi pasar valas dan kenaikan suku booga SBI b. pengawasan langsoog (on site supervision) ootuk semua bank terutama bank asing c. pembatasan transaksi Rupiah oleh non resident (PBI NO.3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001) a. Intervensi Pasar suku bunga SBI Valas dan kenaikan

Bank Indonesia melakukan intervensi pasar ootuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan Dolar AS. Sejalan dengan kebijakan tersebut, Bank Indonesia juga menaikkan suku booga SBI. Kedua kebijakannya itu disebut kombinasi kebijakan atau 'instrument mixed'. Menurut penjelasan Gubemur BI, bahwa kedua instrumen ito dimaksudkan ootuk menekan likuiditas pasar gooa menstabilkan nilai. Intervensi pasar akan dilakukan setiap hari dan secara berkelanjutan agar tidak menekan nilai . b. On site Supervision Pengawasan langsoog BI dilakukan kepada semua bank, terutama bank

PANlJfAN

BISNIS

ISSN

1410-7805

VOLUME 4 NOMOR

1 JULI2001

7
7/24

http://www.univpancasila.ac.id

Ekonom; Makro

asing. Tidak begitu jelas apa yang ingin dicapai oleh BI dengan site supervision. Namun dapat dimaklumi bahwa instrumen ini untuk menekan laju depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS.

dalam PBI No. 3/3/PBV2001. Peraturan BI ini terkesan diskriminatif, karenanya instrumen ini tidak begitu populer,

c. Pembatasan Transaksi Rupiab oleb Non


Resident Bank Indonesia pada tanggal 12 Januari menetapkan peraturan Bank Indo. nesia yang membatasi transaksi Rupiah oleh non resident. Ketentuan ini tertuang

IMPLIKASI PELAKSANAAN KEBIJAKAN MONETER INDONESIA Untuk menjelaskan implikasi dari pelak. sanaan instrumen kebijakan otoritas moneter maka akan digunakan instrumen analisis 'the Operations System' seperti diilustrasikan pada skema di bawah ini.

Skema: THE OPERATIONS SYSTEM

":<:::~~1;~.t\N '.'.' BI:


,,'("'/

" REsbURCES
. '~1, ~

,,;"'~'

INPVT .
STRUKruR
MO~TER;. NU.A1:fUKAR' .

'.' .'".,

TRANSFORMATION NILA111J1(AR .

ME.NGAMJ3~O .~:
..~BU~j'!3I.

MENGAMBJWd

Sumber: Weiss dan Gershon (1991: 5)

VOLUME

4 NOMOR

I IULI20ll1

PANUfAN BlSNIS

ISSN 1410-7805

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

Skema di atas memberi gambaran mengenai cara operasi dari suatu sitem operasi dalam manajemen perekonomian Indonesia. Elemen sistem kerja tersebut meliputi: 1. INPUT Struktur kebijakan moneter Indonesia adalah struktur dengan nilai tukar mengambang (floating exchange rate). Struktur ini dikualifikasi sebagai input (masukan). 2. RESOURCES Bank Indonesia menerapkan kebijakan tight monetary policy (pengendalian/ pengetatan), menaikkan suku bunga surat berharga Bank Indonesia (SBI), intervensi pasar valas pengawasan langsung (on site supervision). pembatasan transaksi Rupiah oleh non resident. Tujuan kebijakan tersebut adalah untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah. Semua kebijakan tersebut merupakan resources. 3. TRANSFORMATION SYSTEM Proses transformation antara struktur moneter dengan nilai tukar mengambang dan kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh Bank Indonesia terjadi dalam perekonomian Indonesia. Proses transformasi itu akan menghasilkan main product dan by product 4. OUTPUT (MAIN PRODUC1) Sebagai konsekuensi proses transformasi tersebut, nilai tukar Rupiah (sebagai main output) merosot/turun. Kenyataan ini terjadi dalam perekonomian Indonesia. Dengan demikian kebijakan Bank Indonesia tidak mampu menstabilkan nilai tukar Rupiah. Dengan kata

lain, kebijakan itu tidak dapat berfungsi sebagai stimulan untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah dalam struktur kebijakan moneter yang mengam-bang (floating exchange rate). 5. BY PRODUCTS a. Permintaan Dolar AS Sebagai hasil sampingannya (by product) adalah permintaan akan Dolar AS oleh masyarakat akan terus meningkat. Masyarakat lebih untung memiliki Dolar AS dari pada memegang Rupiah. Dalam hal ini harus dimaklumi bahwa setiap manusia berpikir dan bertindak rasional. Masyarakat dihadapkan pada situasi moneter dengan nilai tukar Rupiah yang cenderung menurun sedangkan Dolar AS cenderung naik. Konsekuensinnya, permintaan akan Dolar AS meningkat, dengan motif spekulasi, berjaga-jaga dan untuk transaksi. b. Restrukturisasi Kebijakan

Proses tranformation yang menghasilkan kedua macam output tersebut akan terus berjalan sampai Bank Indonesia sebagai otoiritas moneter meng-ubah struktur moneter Indonesia dari struktur yang mengambang ke struktur dengan nilai tukar tetap. c. Uang Beredar I) Kebijakan BI menjual SBI di pasar terbuka untuk menurunkan jumlah uang yang beredar dapat dikatakan cukup berhasil dalam arti uang beredar dapat ditekan. Posisi uang beredar sampai dengan bulan Maret 2001 mencapai Rp

PANUfAN BISNIS

ISSN 1410.7805

VOLUME 4 NOMOR

1 lULl 2001

9
7/24

http://www.univpancasila.ac.id

Ekonom; Makro

103,2 triliun, mengalami penurunan sebesar Rp 22,4 dibandingkan dengan bulan Desember 2000 yang tercatat Rp 125,6 triliun. Namun pengendalian tersebut kurang bermakna dalam mengatasi fenomena nilai tukar Rupiah. 2) Secara teoritik dikatakan bahwa pada saat bank sentral menjual surat-surat berharga di pasar terbuka maka cadangan bank-bank komersial akan menurun, bank-bank ini akan menurunkan deposito sehingga mengurangi jumlah uang yang beredar. Kelemahan dari kebijakan uang ketat adalah "timbulnya siklus suku bunga yang tajam dan suku bunga ratarata tinggi" sebagaimana terjadi di Arnerika Serikat pada sekitar tahun sembilan puluhan" (Richard G. Lipcy, et.al.,Tj, 1990,222 & 231). 3). Kebijakan <tightmonetary policy' tidak dapat menurunkan tingkat inflasi dan depresiasi nilai Rupiah terhadap Dolar AS. Namun Bank Indonesia tidak memiliki insrumen lain untuk mengatasi kedua hal tersebut. d. Nilai Tukar Rupiah I) Kebijakan BI seperti intervensi pasar valas, on site supervision, batasan transaksi Rupiah oleh non resident dan kenaikan suku bunga SBI serta kebiakan uang ketat tidak mampu menekan depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS. Nilai Rupiah terus merosot sedangkan apresiasi Dolar AS terus meningkat. Pada akhir triwulan I - 2001 nilai tukar

adalah Rp 10.450/ US$ 1 dan pada tanggal 21 April mencapai tingkat Rp 11.338 /US$ 1. 2) Kebijakan intervensi pasar valas seperti membuang garam ke laut. Tambahan penawaran Dolar AS ke pasar kelihatannya diikuti oleh tambahan permintaan akan Dolar AS. Kemungkinan tambahan itu belum dapat menutupi kekurangan permintaan akan Dolar AS untuk bertransaksi. 3) Tambahan penawaran Dolar AS ke pasar juga diikuti oleh tambahan permintaan uang untuk berspekulasi dan untuk berjaga-jaga. Masyarakat mengetahui kebijakan intervensi itu hanya merupakan respon BI terhadap perilaku pasar dan mereka beranggapan memegang Dolar AS lebih menguntungkan daripada memegang Rupiah. Peristiwa ini oleh BI diistilahkan sebagai <panicbuying'. Bagaimana menghilangkan 'panic buying' itu tidak dijelaskan dalam laporan triwulan 1-2000 tersebut. Dengan demikian penawaran Dolar AS ke pasar tidak akan menurunkan nilainya, bahkan justru apresiasi Dolar AS terus terjadi. Bangsa Indonesia hams dapat memaklumi keadaan ini, sampai adanya perubahan struktural dari kebijakan moneter Indonesia. e. Inflasi I) Dalam laporan BI triwulan I - 200 I diperlihatkan laju inflasi berdasarkan IRK yang telah mencapai 10,62 % Iebih

10

VOLUME 4 NOMOR I lULl 2001

PANUTAN BlSNIS

ISSN 1410-7805

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

tinggi dibandingkan dengan triwulan IV 2000, yaitu sebesar 9,35%. Penyebab ulama meningkat-nya laju inflasi tersebut adalah kenaikan pada kelompok perumahan, makanan dan depresiasi nilai Rupiah terhadap Dolar AS. Perlu di catat bahwa peningkatan harga pada kelompok makanan sebesar 2,5 % karena adanya peningkatan harga beras impor (imported inflation). Dengan demikian bila Bank Indonesia ingin menurunkan tingkat inflasi maka penyebab utama dari inflasi itu hams dapat dihilangkan. 2) Imported inflation dan apresiasi Dolar AS terhadap Rupiah tidak akan dapat dihi1angkan dalam perekonomian Indonesia selama Pemerintah Indonesia secara konsisten melaksanakan kebijakan yang saat ini diterapkan. 3) Kedua hal tersebut akan menjadi tumor dalam perekonomian Indonesia, kecuali Pemerintah Indonesia sadar bahwa kebijakan itu harus dapat di ganti dengan kebijakan lain yaitu merubah struktur moneter perekonomian Indonesia. f. Pembayaran Hutang Pemerintab 1) Sebagai implikasi terhadap APBN dari aprisiasi Dolar AS tersebut maka Pemerintah Indonesia hams dapat menyediakan uang Rupiah ootuk membeli Dolar AS ootuk pembayaran hutang luar negeri. Penyediaan Rupiah tersebut menyebabkan anggaran pengeluaran konsumsi pemerintah meningkat.Permintaan akan Dolar AS guna pembayaran hutang luar

negeri pemerintah dapat dikatakan sebagai 'driving force' apresiasi Dolar AS terhadap Rupiah. Dalam harian "The Indonesian Observer" terbitan 21 April 200 I jumlah hutang Indonesia saat ini adalah US $ 140 milyar (billion). Jumlah ini equivalent dengan 100% GDP. Seandainya Pemerintah Indonesia membayar cicilan hutang US $ 5 mi1yar/taboo dan di lain pihak Pemerintab Indonesia tidak berhutangi taboo maka hutang tersebut akan dapat dilooasi da1am waktu 70 taboo (US $ 140 billion : US $ 5 billion). Dengan hutang sebesar itu maka setiap rakyat Indonesia terbebani hutang US$ 7001 penduduk. 2) Jika pembayaran hutang 1uar negeri sesuai dengan yang disepakati maka beban hutang tersebut akan bergeser dari 90% pada tahoo 2000 menjadi 67% pada tahoo 2004. Oi samping itu jika program pemerintah Indonesia yang telah saling disepakati dengan IMF yaitu mengurangi subsidi pemerintah, desentra1isasi fiska1, mendorong penyehatan perbankan dan merijamin tabungan masyarakat tidak digunakan ootuk rekapitalisasi perbankan, Indonesia akan dapat keluar dari krisis ekonomi setelah me1alui masa proses 10 tahoo terhitung mulai taboo 2000. (Transition Indonesia, Des.2000 East Asean Inst., Colombia University, New York, NY 10027) Jika Negara Kesatuan Republik Indonesia diasumsikan sebagai sebuah perusahaan maka sesungguhnya perusahaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sudah tidak liquid dan tidak solvabel lagi. Namoo kita semua berharap kiranya Negara Kesatuan Repub1ik Indonesia

PANlJfAN BISNIS

ISSN 1410.7805

VOLUME 4 NOMOR

I lULl 2001

11
7/24

http://www.univpancasila.ac.id

Ekonomi Makro

ini dapat segera kembali menemui jati dirinya. Untuk itu Bangsa dan rakyat Indonesia harus berani mengambil risiko dengan meninggalkan kebijakan BTdan mencari alternatiflain. RESTRUKTURISASI TER INDONESIA KEBIJAKAN MONE-

Pembahasan mengenai restrukturisasi kebijakan moneter Indonesia ini didasari oleh empat premis berikut. 1. Devaluasi Rupiah adalah sebuah model kebijakan moneter yang diterapkan oleh Pemerintah "ORDE BARU" pada sekitar tahun tujuh puluhan. Tujuan yang hendak diwujudkan antara lain adalah tertingkatkannya daya saing dan kinerja ekspor. Pemerintah Orde Baru dengan TRILOGI pembangunan berhasil menciptakan kestabilan politik. Namun karena fundamental ekonomi Indonesia lemah, maka kebijakan devaluasi itu secara berulang kali dilaksanakan. Pada tahun 1960 nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS adalah Rp 0,0900/US$. Pada tahun 1997 nilai tukar Rupiah Rp 2.431/US $ dan pada tahun 1998 nilai tukar Rupiah berkisar antara Rp.12.000 sampai dengan 17.000/ US$. Kebijakan devaluasi telah menjadi 'driving force' (kekuatan pendorong) terjadinya depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sampai saat ini. 2. Peningkatan daya saing dan peningkatan ekspor komoditi (non rnigas) Indonesia kiranya bukanlah terletak pada kebijakan devaluasi, namun lebih disebabkan pada fundamental ekonomi Indonesia. Salah satu

model fundamental ekonomi yang dibangun adalah Industri Subsitusi Impor (lSI) yang 'inward looking '. Indusri ini menghasilkan produk yang hanya memiliki 'competitive advantage' dan 'comparative advantage'. Untuk beberapa hal (to some extend) belum memiliki 'absolute advantage'. Industri Sub. situsi Impor (lSI) telah melahirkan ketergantungan kepada luar negeri dan mewamai pembangunan Industri Indonesia selama pemerintahan ORDE BARU. Konsentrasi lokasi perusahaan sebagian besar di Pulau Jawa. Misalnya, industri tekstil 99% berlokasi di Pulau Jawa . 3. Depresiasi nilai Rupiah akan terus berlangsung. Instrumen kebijakan moneter belum membuahkan hasil yang diharapkan karena lajunya depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS akan terus berlanjut. Dalam "Kerangka Ekonorni Makro" yang merupakan lampiran UU No. 35 Tahun 2000 tentang APBN tahun 2001, diperkirakan bahwa nilai tukar Rupiah relatif stabil yaitu berkisar pada rentang Rp. 7.000 - Rp. 8.000/ Dolar AS dan akan menguat pada rentang Rp 6.500Rp 7.500/ Dolar AS pada tahun 2003. Dengan kemerosotan nilai Rupiah saat ini maka pemerintah kelihatannya akan mengalami kesukaran penyediaan anggaran rutin dalam memenuhi kewajiban pembayaran hutangluarnegen. 4. Mencermati ketidakmampuan instrumen kebijakan moneter untuk menekan laju depresiasi Rupiah, maka otontas moneter dan pemerintah seyogyanya mencari pola kebijakan lain

12

VOLUME 4 NOMOR 1 AGUSWS 2001

PANUfAN BlSNIS

ISSN 1410.7805

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

sebagai suatu altematif kebijakan dalam menekan lajunya depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS. MENGAPA RUPIAH TERUS MELEMAH? I. Salah satu model analisis yang dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai mengapa nilai tukar Rupiah terns melemah adalah 'Iceberg Model' (model ciptaan asli Prof Peter Senge dalam bukunya the Fifth Discipline). Model ini dapat memberikan gambaran mengenai melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Dalam analisis 'Iceberg Model' terdapat tiga buah elements (un sur) yang menjadi pusat perhatian analisis yaitu Events, Patterns, dan Structure. a. Events (tingkat puncak iceberg) Events adalah kejadian-kejadian yang muncul ke permukaan. Kejadian-kejadian termaksud sering dilihat sebagai suatu masalah yang hams diselesaikanldiatasi (visible manifestations) Contob: Untuk menekan lajunya depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS, maka otoritas moneter dan pemerintah menerapkan kebijakan 'intervensi pasar '. b. Patterns (tingkat tengah iceberg) Patterns adalah pola kecenderungan (trends) di masyarakat. Kecenderungan

ini selalu melahirkan kejadian-kejadian di permukaan. Contob: Permintaan Dolar AS untuk motif spekulasi dan untuk motif berjagajaga dalam melakukan transaksi di kemudian hari telah mendorong permintaan akan Dolar AS meningkat. Keadaan ini mendorong kenaikan nilai Dolar AS terhadap Rupiah" c. Structure (tingkat bawah iceberg) S'tructure adalah akar masalah. Akar masalah ini mernpakan 'driving force' timbulnya pola atau kecenderungan dan kejadian-kejadian yang terdapat di permukaan (causal relationship). meskipun tidak tertutup adanya penyebab lain. Contob: Kejadian merosotnya nilai tukar Rupiah didorong oleh pola permintaan akan Dolar AS untuk berspekulasi dan untuk berjaga. Keadaan tersebut dapat terjadi karen a struktur kebijakan nilai tukar yang diterapkan oleh otoritas moneter adalah nilai tukar yang mengambang (floating exchange rate). 2. Penyebab utama melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS terletak pada struktur kebijakan moneter yang diterapkan di Indonesia selama ini oleh Bank Indonesia sebagaimana tergambar dalam Iceberg Model (Skenario I) berikut.

PANlJI'AN

BISNIS

ISSN

1410-7805

VOLUME

4 NOMOR

I .IUL12001

13
7/24

http://www.univpancasila.ac.id

Ekonomi Makro

THE SYSTEM ICEBERG MODEL


(SKENARIO I)

OTORITAS.MONETER DAN PEMERINT AH

INTERVENSI PASAR

PATTERNS
SPEKULASI ~ BERJAGA TRANSAKSI ,/

PATTERNS

'it
.

SPEKULASI ~ BERJAGA TRANSAKSI ~ STRUCTURE MENGAMBANG

STRUCTURE
MENGAMBANG

A
3. Iceberg Model A dan B di atas memberi
gambaran sebagai berikut a. Pada iceberg model A digambarkan suatu keadaan struktur moneter yang sedang dilaksanakan dalam perekonomian Indonesia yaitu Struktur kebijakan moneter dengan 'nilai tukar mengambang'. Dengan struktur ini maka permintaan akan Dolar AS oleh masyarakat didorong oleh motif spekulasi, motif berjaga-jaga dan motiftransaksi. Permintaan akan Dolar AS tersebut cenderung

B
meningkat, karena masyarakat menghadapi ketidakpastian (uncertainty) sehingga mereka berspekulasi dan berjaga-jaga untuk melakukan transaksi yang lebih menguntungkan. Dengan tendensi yang demikian itu maka terjadilah depresiasi nilai Rupiah semakin merosot terhadap nilai tukar Dolar AS. b. Untuk menaikkan nilai tukar Rupiah atau menekan lajunya depresiasi nilai Rupiah, pemerintah dan otoritas moneter melakukan intervensi pasar dengan me-

14

VOLUME

4 NOMOR

1 AGUSlUS

2001

PANlJfANBISNIS

[SSN 1410.7805

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

nambah jumlah penawaran Dolar AS. Hal serupa dilakukan juga oleh BUMN dan BPPN dengan menjual Dolar AS yang mereka miliki ke pasar. N amun instrumen kebijakan terse but hanya dapat menekan laju depresiasi Rupiah sesaat saja dan tidak akan dapat mengembalikan nilai Rupiah ke posisi semula. Otoritas moneter dan pemerintah hanya ingin menghilangkan kejadian (events) dan menghilangkan kejadian itu sifatnya hanya sementara saja. Catatan : Penjualan perkebunan kelapa sawit kepada Gutrie Bhd menghasilkan devisa senilai US$ 368 juta. Jumlah ini harnpir sarna dengan pinjaman IMF yang berjumlah US $ 400 juta yang sampai dengan saat ini belum terrealisasi. Pelepasan Dolar AS oleh BUMN dan BPPN seharusnya lebih didasarkan pada pertimbangan likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas; bukan sekedar sebagai alat otoritas moneter. c. Kebijakan yang dilakukan oleh otoritas moneter dan pemerintah tidak dapat mengurangi/meniadakan pola permintaan akan Dolar AS oleh masyarakat. Keadaan ini dapat dilihat pada iceberg Model B. Pola permintaan Dolar AS dengan motif spekulasi dan motif berjaga-jaga, dan motif transaksi tetap terus meningkat. Permintaan inilah yang mendorong terjadinya depresiasi nilai tukar Rupiah

terus merosot/ melemah. Karena itulah kebijakan intervensi pasar dan peningkatan suku bunga SBI tidak akan membuahkan hasil. Kebijakan itu ibarat membuang garam ke laut. c. Dengan demikan instrumen kebijakan yang diterapkan tidak dapat menahan karena hanya mempengaruhi events dan belum menyentuh akar masalahnya. Selama struktur kebijakan moneter itu tidak diubah, instrurnen kebijakan BI tidak akan rnarnpu menstabilkan nilai Rupiah terhadap nilai Dolar AS. AKAR MASALAH 1. Akar Masalah Analisis Iceberg Model di atas memberi garnbaran bahwa instrumen kebijakan yang selarna ini dijalankan belum menyentuh akar masalahnya dan kebijakan itu hanya mempengaruhi tingkat kejadian (events). Oleh karena itu diharapkan otoritas rnoneter dan pemerintah dapat mengubah struktur kebijakan rnoneter di perekonomian Indonesia, dati "floating exchange rate" ke "fixed exchange rate ". Inilah yang diduga menjadi akar rnasalah fenornena rnoneter Indonesia. 2. Pemecahan: Stabilisasi Nilai Tukar Rp Bagaimana menstabilkan nilai tukar Rupiah? Untuk menjawab masalah ini akan diilustrasikan dengan menggunakan Iceberg Model seperti berikut ini. & PEMECAHANNYA

PANUfAN

BISNIS

ISSN

1410-7805

VOLUME 4 NOMOR

1 AGUSTIJS

2001

15
http://www.univpancasila.ac.id 7/24

Ekonom; Makro

THE SYSTEM ICEBERG MODEL


(SKENARIO II)

OTORITAS.MONETER DAN PEMERINT AH

RP~

PATTERNS
SPEKULASI ~ BERJAGA /], TRANSAKSI /' .

PATTERNS
TRANSAKSI --.

STRUCTURE
MENGAMBANG

STRUCTURE TETAP

A
Analisis Iceberg Model A dan C di atas memberikan gambaran sebagai berikut. a. Iceberg Model A menggambarkan struktur moneter di perekonomian Indonesia saat ini. Kebijakan moneter yang diterapkan adalah nilai tukar mengambang. Patterns (pola) permintaan Dolar AS dalam masyarakat adalah dengan motif spekulasi, motif berjaga-jaga, dan motif transaksi meningkat. Dalam keadaan seperti ini, pada 'events', terjadilah nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS terus melemahl merosot.

c
b. Otoritas moneter dan pemerintah tidak lagi menerapkan kebijakan intervensi pasar dan menaikkan suku bunga serta instrumen kebijakan yang lain, tetapi lebih melihat kepada akar masalah pada struktur moneter dalam perekonomian Indonesia. c. Otoritas moneter dan pemerintah melihat pada 'driving force' yang menimbulkan 'patterns' (motif spekulasi, motif berjagajaga, motiftransaksi) yang selalu meningkat dan 'events' berupa melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Oleh karena itu

16

VOLUME

4 NOMOR

1 AGUS11JS

2001

PANUTAN

BISNIS

ISSN

1410-7805

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

Otoritas moneter dan pemerintah melakukan perubahan struktur moneter dari nilai tukar mengambang ke nilai tukar tetap (fixed exchange rate). d. Dalam Iceberg Model C digambarkan perubahan kebijakan struktur moneter dalam perekonomian Indonesia. Perubahan struktur merupakan suatu 'skenario logic' yang dijalankan oleh otoritas moneter dan pemerintah. Perubahan ini sekaligus menjadi 'driving force' bagi 'patterns' dan 'events'. Masyarakat tidak lagi menghadapi suatu situasi moneter yang "uncertain" seperti yang dihadapi pada nilai tukar mengambang. Situasi moneter yang dihadapi oleh masyarakat adalah "certain". Keadaan ini menumbuhkan kecenderungan masyarakat untuk tidak lagi meminta Dolar AS untuk motif spekulasi dan motif berjaga-jaga. Bagi mereka memegang Dolar AS saat ini akan sarna nilai tukamya dengan Rupiah pada masa-masa yang akan datang. Kepercayaan akan Rupiah meningkat. Masyarakat lebih tertarik menyimpan kekayaannya dalam bentuk obligasi atau saham karena akan lebih memberikan keuntungan yang lebih besar daripada berspekulasi dan berjagajaga memegang Dolar AS Permintaan Dolar AS dalam masyarakat hanya untuk melakukan transaksi yang relatif stabil. e. Dengan perubahan struktur seperti yang digambarkan pada Iceberg Model C di atas, pada tingkat events (kejadian) menunjukkan kurs Rupiah terhadap Dolar AS relatif stabil

Keadaan ini akan berlangsung sepanjang masa (dibaca: dalam jangka panjang).

Catatan:
Bila otoritas moneter dan pemerintah tidak mengubah struktur kebijakan moneter yang eliterapkan (tetap menerapkan floating exchange rate), depresiasi Rupiah terhadap Dolar AS akan terus berlangsung. PANDANGAN PARA AHLI 1. Fahrial Anwar & Hariyadi B. Sukamdani

Dalam harian Rakyat Merdeka tanggal 24 Maret 2001, kedua ahli valas tersebut menjelaskan bahwa instrumen yang dipakai oleh BI untuk mengatasi gejolak nilai tukar sangat konservatif, tidak ada terobosan baru. BI hanya mempunyai tiga buah instrumen yaitu menaikkan bunga SBI, menaikkan suku bunga pasar uang, dan intervensi pasar. Ketiga kebijakan itu terbukti tidak efektif karena pasar sudah kebal. Mereka menambahkan bahwa kenaikan suku bunga akan menghancurkan sektor riil dan bank-bank kolaps (bleeding). Devisa yang telah dilempar ke pasar untuk mengatasi gejolak nilai tukar berjumlah sekitar US$ I milyar, namun kebijakan itu tidak dapat mengendalikan nilai tukar ke posisi semula, maksudnya kondisi sebelum adanya gejolak nilai tukar). Pandangan kedua analis valas tersebut sejalan dengan pandangan mantan Direktur Pelaksana IMF yaitu Hubert Neiss. Ia menyatakan bahwa langkah intervensi BI di pasar uang dan tindakan menaikkan suku bunga itu tidak akan ada artinya.

PANL,TAN BISNIS

ISSN

1410-7805

VOLUME 4 NOMOR

I AGUS11JS 2001

17
http://www.univpancasila.ac.id 7/24

Ekonom; Makro

2. Prof. Dr.Suroso(UNAIR) dan Prof.Dr. Sri Edi Swasono (VI) Dalam suatu wancara TVRI pada minggu kedua Maret 2001, kedua ekonom Indonesia tersebut sependapat bahwa : a. Pemerintah dapat menerapkan dua macam mata uang Rupiah yaitu nilai tukar tetap

daknya dapat menimba pengalarnan dan mempelajari penerapan kebijakan tersebut. h. Mereka bersepakat bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagaimana teIjadi pada tahun 2000 dan akan terjadi pula pada tahun 2001 ,dipengaruhi oleh adanya

Rp 1.000,- sama dengan US $ 1,. dan nilai tukar mengamhang sesuai dengan yang sedang terjadi saat into Nilai tukar
yang terakhir ini secara perlahan-Iahan ditarik dari peredaran dan diganti dengan mata uang Rupiah dengan nilai tukar tetap sebesar Rp 1.000,- per US$ 1. Kebijakan semacarn ini diterapkan oleh pemerintah RRC saat ini. Pemerintah Indonesia hena. Perbedaan Antara Sistem Dewan

kekuatan pendorong secara otomatik di dalam perekonomian Indonesia.


3. Prof. Dr. Kurt Schuler (Amerika Serikat)

Pandangan dan konsep Prof. Dr. Kurt Schuler dari Amerika Serikat ini rupanya sarna dengan pandangan dan konsep yang dtkemukakan oleh Prof. Dr. Suroso dan Prof. Dr. Sri Edi Swasono. Beberapa catatan penting pandangan beliau adalah sebagai berikut.

Mata Uang dan Bank Sentral

Dewan

Mata

Uang

Bank Senttal

Nilai tukar tetap (fixed exchange rate) dengan menggunakan mata uang acuan Cadangan devisa 100% Konvertibilitas penuh Kebijakan moneter berdasarkan peraturan Bukan merupakan lender of the last resort Tidak melakukan regulasi terhadap bank-bank komersial Transparan Bebas dari tekanan-tekanan politis Kredibilitas tinggi Memperoleh seignorage dari bunga Tidak menimbulkan inflasi Tidak dapat membiayai pengeluaran pemerintah Tidak memerlukan prasyarat untuk diadakannya reformasi moneter. Sumber: Media Indonesia, 7 Februari, 1998

Nilai tukar pagged atau nilai tukar mengambang Cadangan devisa bervariasi Konvertibilitas terbatas Kebijakan moneter bersifat diskresioner
Lender of the last resort

Seringkali melakukan regulasi terhadap bank-bank komersial Tidak transparan Tidak terbatas dari tekanan politis Kredibilitas rendah Memperoleh seignorage dari inflasi Dapat menimbulkan inflasi Dapat biayai pengeluaran pemerintah Memerlukan prasyarat untuk diadakannya reformasi moneter.

18

VOLUME 4 NOMOR I AGlJSTUS 2001

PANt!l'AN BISNIS

ISSN 1410.780'

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

b. Cadangan Devisa Indonesia


Apakah Indonesia kekurangan cadangan devisa sebesar 100% dari jumlah uang kertas, uang logam dan deposito ootuk memberlakukan sistem Dewan Mata Uang? Prof. Dr. Kurt Schuler menjawab "tidak". Beliau mengemukakan fakta-fakta sebagai berikut. Jumlah cadangan devisa yang mula-mula diperlukan oleh sistem Dewan Mata Uang adalah sebesar 100% daTi nilai uang primer dalam Rupiah. Berdasarkan angka statistik terakhir yang tersedia, yaitu ootuk bulan November 1997, uang primer bernilai 26 trilioo rupiah. Bank Indonesia juga memiliki kewajiban luar negeri sebesar Rp 14 trilioo, sehingga jumlah keseluruhan uang primer dan kewajiban luar negeri adalah sebesar Rp 41 trilioo. Cadangan devisa BI diperkirakan sejumlah US$ 20 miliar. Jumlah cadangan devisa sebesar itu cukup ootuk memberikan jaminan 100 % atas uang primer dan kewajiban luar negeri Bank Indonesia dengan nilai tukar lebih besar dari 2.000 Rupiah per satu dolar Amerika - suatu tingkat apresiasi yang signifikan diandingkan dengan nilai tukar saat ini yang berkisar pada 10.000 Rupiah per satu dolar Amerika. Jika nilai tukar Rupiah ditentukan tetap pada tingkat yang cadangan devisanya dapat menjamin lebih daTi 105%, maka Dewan Mata Uang harus menyerahkan kelebihannya kepada pemerintah. Jika Bank Indonesia tidak dapat menggunakan seluruh cadangan devisa yang dirnilikinya (rnisalnya karena Bank Indonesia menyimpannya sebagai trust), dan Dewan Mata Uang memerlukan tambahan cadangan

devisa, maka ia dapat memperoleh tambahan kredit dari IMF atau daTi pasar keuangan internasional (BUMN dan BPPN). Program ini dapat diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari ootuk mendirikan sistem Dewan Mata Uang di Argentina, Estonia, Bulgaria, dan di negara-negara lain. (Media Indonesia, 11 Februari 1998)

c. Pendirian Dewan Mata Uang Indonesia


PendiTian Dewan Mata Uang di Indonesia hams menjadi pertimbangan utama, berdasarkan pada beberapa alasan berikut. 1) Kondisi ekonomi Indonesia mempooyai kesamaan dengan yang dialami oleh Hongkong pada bulan September 1983. PemeTintah Hongkong berhasil mengatasi krisis mata uang pada tanggal 15 Oktober 1983 (hanya dalam waktu kurang dari dua bulan), karena kembali menggunakan sistem Dewan Mata Uang yang telah ditinggalkannya pada tahoo 1974. Nilai tukar dolar Hongkong ditentukan tetap (fixed) pada nilai 7.80IUS$. Nilai tersebut tetap bertahan sampai sekarang, stabilitas nilai tukar telah menjadikan pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Hongkong berhasil melampaui bekas penjajahnya yaitu Inggris dalam nilai produksi per penduduk. Sekarang berada pada tingkat yang sama dengan Amerika Serikat. Disarankan sebaiknya Indonesia meniru Hongkong dengan menganut sistem Dewan Moneter (Hongkong menjadi salah satu pusat perdagangan dunia yang kinerja eknominya jauh lebih baik dari Indonesia karena berhasil mengubah struktur kebijakan moneternya).

PANUfAN BISNIS

ISSN 1410-7805

VOLUME 4 NOMOR 1 AGUSnJS 2001

19
http://www.univpancasila.ac.id 7/24

Ekonomi Makro

2) Lebih dari 70 negara telah mempunyai Dewan Mata Uang atau sejenisnya. 3) Pengalaman historik mendukung pemyataan bahwa jika Indonesia mendirikan Dewan Mata Uang maka juga akan menikmati kinerja ekonomi yang baik. 4) Sistem bank sentral di banyak negara berkembang dan juga Indonesia tidak berjalan dengan baik. Pendirian bank sentral hanya sebagai suatu simbul kemerdekaan dari negara yang menjajahnya. 5) Brunei Darussalam hanya menjamin 70 % cadangan devisanya dan bukan 100%. d. Dewan Mata Uang & Kurs yang Berlaku 1) Bank Indonesia dijadikan Dewan Mata Uang. Tidak ada pejabat dan pegawai BI yang kehilangan pekerjaan. Mereka dapat bekerja pada organisasi Dewan Mata Uang. 2) Nilai tukar Rupiah mengambang murni terhadap nilai tukar mata acuan. Nilai tukar haruslah tepat. Nilai tukar terlalu tinggi (overvalued) akan menyebabkan harga barang ekspor tidak kompetetif di pasar dunia dan bila terlalu rendah (undervalued) akan menyebabkan harga barang impor terlalu tinggi sehingga tidak dapat terbeli. Nilai tukar yang tepat ditentukan oleh mekanisme pasar berda-sarkan hukum permintaan dan penawaran. Langkah pertama dalam menetapkan nilai tukar Rupiah adalah dengan membiarkan nilai tukar Rupiah terhadap uang acuan mengambang murni selama jangka waktu 30 hari (tidak boleh lebih).

DRIVING FORCE MEROSOTNY A NILAl


TUKAR RUPIAH 1. Para pejabat otoritas moneter sering membuat pemyataan-pemyataan bahwa merosotnya nilai tukar Rupiah saat ini lebih disebabkan oleh kondisi politik yang belum stabil, terkendalai oleh adanya pertentangan elit politik, dan bukan karena struktur kebijakan moneter. Kelihatannya otoritas moneter masih terpaku pada paradigma lama yaitu "the enemy is out there". Pandangan ini cenderung melontarkan kesalahan pada orang lain. 2. Apabila pandangan "the enemy is out there" dibenarkan, maka sudah waktunya Pemerintah Indonesia mencarai struktur kebijakan yang lain yang tahan banting terhadap gejolak politik seperti yang diterapkan di India. Struktur kebijakan itu adalah 'fIXed exchange rate'. Beberapa negara Asia seperti India, Malaysia, juga mengalami gejala politik didalam negeri namun nilai tukar Rupee dan Ringgit Malaysia relatif stabil. Driving force dari stabilnya nilai tukar mata uang negara tersebut adalah struktur kebijakan moneter yang menerapkan 'fIXed exchange rate'. 3. Sebenamya demonstrasi/unjuk rasa bukan suatu kerusuhan atau keadaan tidak ada stabilitas keamanan di Indonesia. Demonstrasi itu terjadi di semua negara demokrasi. Namun otoritas mODeter tampaknya memandang demonstrasi/ unjuk rasa sebagai suatu 'driving force' merosotnya nilai Rupiah. Indonesia adalah negara demokrasi dan karenanya demonstrasil unjuk rasa akan

20

VOLUME 4 NOMOR 1 AGUSTlJS 2001

PANUrAN BlSNlS

ISSN 14J(}.780S

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

selalu terjadi sepanjang masa. Dengan demikian, kebijakan yang sesuai dengan negara demokrasi seperti Indonesia adalah nilai tukar tetap yang merupakan 'driving force' kestabilan nilai tukar Rupiah. 4. Dengan demikian 'floating exchange rate' akan merupakan tumor dan sekaligus 'driving force' merosotnya nilai tukar Rupiah sepanjang masa yang harus dibayar mahal oleh bangsa dan rakyat Indonesia dan tidak mampu menghadapi gejolak politik. Sebaliknya 'fIXed exchange rate' merupakan 'driving force' stabilnya nilai tukar Rupiah dan mampu menghadapi gejolak politik.

IMPLIKASI

STRUKTURISASI

KEBUAKAN

I. Uraian diatas memberikan arahan bahwa sepantasnyalah bangsa Indonesia melakukan restrukturisasi kebijakan moneter dalam rangka restrukturisasi ekonomi nasional dan bukan terpukau oleh pandangan otoritas moneter. 2. Restrukturisasi yang disarankan adalah penerapan kebijakan 'fIXed exchange rate' sebagai pengganti kebijakan 'floating exchange rate' dan pendirian Dewan Mata Uang Indonesia. 3. Beberapa implikasilkeunggulan 'fIXed exchange rate' dengan sistem Dewan Mata Uang Indonesia antara lain: a. Nilai tukar Rupiah stabil; b. Berkurangnya permintaan Dolar AS dengan motif spekulasi dan berjaga-jaga; c. Adanya kepastian nilai tukar; d. Transaksi berjalan normal; e. Kinerja ekonomi meningkat; f. Pertumbuhan ekonomi tinggi; g. Investasi (PMA) meningkat; h. Tingkat pendapatan masyarakat meningkat; 1. Daya bayar masyarakat meningkat; J. Inflasi rendah, mengikuti negara acuan k. Ekspor meningkat; 1. Tabungan masyarakat meningkat; m. Tabungan pemerintah meningkat; n. Krisis APBN atas beban pembayaran hutang luar negeri dapat terhindari.

PERANAN IMF
1. IMF diharapakan tetap dapat berperan dalam menanggulangi depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS yang sedang dial ami oleh bangsa Indonesia saat ini. Menurut Prof. Dr. Kurt Schuler, IFM diharapakan berperan dalam memberikan dana pinjaman bagi kebutuhan cadangan devisa bila diperlukan dalam penerapan sistem Dewan Mata Uang Indonesia dengan 'fIXed exchange rate " di samping perannya selama ini. 2. Mencermati peranan IMF terse but di atas, maka seyogianya IMF dapat lebih berperan, terutama dalam merestrukturisasi kebijakan moneter Indonesia karena beban hutang yang dipikul oleh bangsa Indonesia dengan penerapan 'floating exchange rate' sangat membebani pengeluaran rutin APBN.

PANUTAN

BISNIS

ISSN

1410-7805

VOLUME

4 NOMOR

1 AGUS'lUS

2001

21
http://www.univpancasila.ac.id 7/24

Ekonomi Makro

SIMPULAN a. Instrumen kebijakan otoritas moneter yang sedang dan akan terns dilaksanakan/diterapkan adalah tight monetary policy (kebijakan pengendalian/ pengetatan), menaikkan suku booga surat berharga Bank Indonesia (SBI), intervensi pasar valas, pengawasan langsoog (on site supervision) dan pembatasan transaksi Rupiah oleh non resident. b. Dengan menggunakan alat analisis The Operations System' maka implikasi pelaksanaan instrnmen kebijakan otoritas moneter adalah : I) Penerapan instrumen kebijakan tersebut tidak dapat berfungsi sebagai stimulan ootuk menstabilkan nilai tukar Rupiah dalam struktur kebijakan moneter 'floatd. Dengan menggunakan alat analisis 'The System Iceberg Model' terindikasikan bahwa melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS disumbang oleh tidak efektifuya instrnmen kebijakan otoritas moneter yang hanya menyentuh atau mempengaruhi 'events' (kejadian) dan tidak dapat menghilangkan pola permintaan masyarakat terhadap Dolar AS yang terns meningkat. e. Akar masalah melemahnya nilai tukar Rupiah tersebut terletak pada struktur kebijakan moneter Indonesia. Untuk menstabilkan nilai tukar Rupiah maka diperlukan pernbahan strnktur kebijakan moneter dari 'l'/oating

exchange rate' ke JlXed exchange rate'.


f. Para ahli moneter Indonesia dan juga dari Amerika Serikat menganjurkan Pemerintab Indonesia ootuk segera mengubah struktur kebijakan moneter Indonesia dari floating

ing exchange rate'.


2) Permintaan masyarakat terhadap mata uang Dolar AS dengan motif spekulasi, motif berjaga-jaga dan transaksi terns meningkat. 3) Infllasi tinggi 4) Pembayaran hutang pemerintah mern. pakan 'driving force' meningkatnya nilai tukar Dolar AS sehingga terjadi krisis APBN. c. Jika program kerjasama pemerintah dengan IMF berhasil maka hutang Indonesia akan turun dari 90% dari GDP pada tahoo 2000 menjadi 67% dari GDP pada taboo 2004 dan Indonesia akan keluar dari krisis ekonomi setelah melalui masa proses 10 taboo terhitoog mulai taboo 2000.

exchange rate kefIXed exchange rate. g. Floating exchange rate bagaikan tumor dan sekaligus sebagai 'driving force' merosotnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS sepanjang masa yang harns dibayar mahal oleh bangsa dan rakyat Indonesia dan tidak mampu menghadapi gejolak politik. Sebaliknya 'fIXed exchange rate' mernpakan ' driving force' kestabilan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dan mampu menghadapi gejolak politik. h. Menurut pandangan Prof. Kurt Schuler bahwa IMF diharapkan berperan dalam merestruk. turisasi kebijakan moneter Indonesia, terntama dalam penyediaan pinjaman cadangan devisa.

22

VOLUME

4 NOMOR

I lULl 2001

PANUfAN B1SNIS

ISSN 1410.7805

http://www.univpancasila.ac.id

7/24

Ekonomi Makro

1.

Implikasi pelaksanaan struktur kebijakan 'fixed exchange rate' adalah nilai tukar Rupiah stabil, permintaan masyarakat akan Dolar AS dengan motif spekulasi dan berjaga-jaga akan hilang; seiring dengan normalnya transaksi, terkendalinya inflasi, tertingkatkannya daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi, serta terbaikinya investasi, kinerja ekonomi, ekspor, tabungan masyarakat dan pemerintah, serta terhindarinya krisis APBN.

REKOMENDASI
a. Pemerintah Indonesia hendaknya membentuk TIM untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi diberlakukannya struktur kebijakan moneter fIXed exchange rate. b. Tim tersebut dapat melakukan kajian dan studi banding ke negara-negara yang telah berhasil menerapkan struktur kebijakan moneter fIXed exchange rate _

Daftar Rujukan
Anwar, Fahria1. dan Hariyadi B. Sukamdani, 2001, BI dan Gejolak Nilai Tukar Rupiah, Harian Rakyat Merdeka, 24 Maret. Bank Indonesia, 200 I, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 3/3/PBI/2001, tentang Pembatasan Transaksi Rupiah oleh Non Resident, Jakarta: BI, 12 Januari. East Asian Institute, 2000, How to Overcome the Indonesian Economic Crisis, Transition Indonesia, New York, NY 10027: Colombia University. The Indonesian Observer, 2001, Indonesian Foreign Debt, 21 April. Lipsey, Richard G., Peter D.Steiner, dan Douglas D. Puvis, 1990,Tj., Economics, alih bahasa Jaka Wasana dkk, Jakarta: Erlangga, halaman 222 dan 231. Republik Indonesia, 1999, Undang-Undang Nomor 23 Tabun 1999 tentang Bank Indonesia, Jakarta, Sekretariat Negara, Pasal 58, ayat 1-2. Suroso, dan Sri Edi Swasono, 2001, Wawancara: Perekonomian Indonesia, TYR!, Maret. Schuler, Kurt, 1998, Currency Bord System (CBS), Media Indonesia, 7 Februari. Schwartz dan James A. Ogilvy, 1998, Iceberg Model, dalam Liam Fahey dan Robert M.Randall, Learning From the Future, Hannonsworth: Penguin Books Ltd. Weiss, Howard J., dan Gershon, Mark E., 1991, Production and Operation Management, New Jersey: PH Publishing.

PANUTA:'oI BISNIS

ISSN

1410-7805

VOLUME

4 NOMOR

1 AGUSlUS

2001

23
http://www.univpancasila.ac.id 7/24

You might also like