You are on page 1of 11

DAMPAK PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP WAJAH KOTA DAN MASYARAKAT PINGGIRAN1 DI INDONESIA

Zainal Muttaqin | NIM. 116060500111004 Jurusan Arsitektur Brawijaya Malang Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

ABSTRAK Perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement/FTA) ASEAN China mulai diberlakukan per 1 Januari 2010. Dengan diberlakukannya perjanjian perdagangan bebas ini maka mulai tahun 2010 perjanjian perdagangan bebas antara Negara-negara di ASEAN dengan China diberlakukan. Pokok dari perjanjian tersebut adalah masing-masing negara akan menurunkan tarif bea masuk barang dan jasa dari negara-negara yang terlibat perjanjian menjadi nol persen dengan tahapan-tahapan yang disepakati. Tentu saja hal ini akan menimbulkan dampak positif dan negatif bagi indonesia. Asosiasi Pengusaha Indonesia menyatakan, pada 2010, banyak industri manufaktur tutup dan jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan bakal mencapai 7,5 juta. Itu berarti, angka penganggur terbuka yang saat ini sekitar 8,9 juta akan membengkak menjadi 17,8 juta orang. Disamping berdampak terhadap perkembangan ekonomi di indonesia, pemberlakuan perdagangan bebas juga sedikit banyak akan mempengaruhi sektor pembangunan, hal ini semakin terlihat jelas banyaknya lahan pertanian ataupun hutan yang berubah menjadi kawasan permukiman, industri, perdagangan, jasa, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu wajah kotapun ikut berubah di karenakan tuntutan penyedian ruang dan fasilitas guna menunjang kinerja para pelaku usaha. Kebutuhan akan ruang yang mempunyai fleksibelitas tinggi akan membentuk suatu bangunan yang cenderung pasif dan bersifat komersial, hal ini tentu saja berdampak pada keseragaman wajah kota di indonesia. Tuntutan perdagangan bebas juga berdampak pada terciptanya persaingan antar kota maupun antar negara, mereka berlomba-lomba menciptakan sebuah kota yang kondusif guna menarik para investor asing untuk menanamkan modal di daerah mereka. Tentu saja hal ini akan melahirkan program-program pemerintah yang mendukung terciptanya infrastruktur kota yang mampu menjawab tantangan tersebut. Program-program yang mereka canangkan seperti program mempercantik kota, secara tidak langsung akan berdampak pada pembersihan lahan-lahan kumuh yang ad di pinggiran kota, yang kemudian di ubah menjadi lahan-lahan industri, perdagangan dan jasa.

Keyword: Perdagangan Bebas, Wajah Kota , Permukiman Kumuh.

Permukiman Daerah Aliran Sungai

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

I. PENDAHULUAN Pemerintah melalui Menteri Perdagangan pada tanggal 28 Februari 2009 lalu bersama sejumlah menteri Perdagangan ASEAN, Australia dan New Zaeland telah menandatangani Persetujuan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru, atau AANZ-FTA (Asean, Australia, New Zealand Free Trade Area), yakni perjanjian kerjasama untuk melakukan perdagangan bebas di antara negara-negara tersebut. Sementara itu perjanjian ASEAN-China sudah akan mulai berlaku sejak bulan Januari 2010. Bahkan Menteri Perdagangan ASEAN juga telah membahas kerangka kerja penyusunan FTA dengan Uni Eropa dan India. Pokok dari perjanjian tersebut adalah masing-masing negara akan menurunkan tarif bea masuk barang dan jasa dari negaranegara yang terlibat perjanjian menjadi nol persen dengan tahapan-tahapan yang disepakati. Tentu saja hal ini akan menimbulkan dampak positif dan negatif bagi indonesia. Jelang tutup tahun 2009, Apindo melontarkan pernyataan mengejutkan. Asosiasi Pengusaha Indonesia itu menyatakan, pada 2010, banyak industri manufaktur tutup dan jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan bakal mencapai 7,5 juta. Itu berarti, angka penganggur terbuka yang saat ini sekitar 8,9 juta akan membengkak menjadi 17,8 juta orang. Belum lagi dampak free trade dalam bidang jasa. Sektor jasa seperti pendidikan, kesehatan sangat berpotensi tergulung akibat kalah bersaing dengan negara-negara sekelas Australia dan Singapura. Ide-ide dan budaya-budaya kufur dari negara-negara tersebut akan makin mencengkram. Lonjakan angka pengangguran itu disebabkan oleh serbuan produk RRT. Mulai 1 Januari 2010, era perdagangan bebas Asean-China atau yang lazim disebut Asean-China Free Trade Area (AC-FTA) diberlakukan. Disamping berdampak terhadap perkembangan ekonomi di indonesia, pemberlakuan perdagangan bebas juga sedikit banyak akan mempengaruhi sektor pembangunan, hal ini semakin terlihat jelas semakin banyaknya lahan pertanian ataupun hutan yang berubah menjadi kawasan permukiman, industri, perdagangan, jasa, dan lain sebagainya.Tidak hanya itu wajah kotapun ikut berubah di karenakan tuntutan penyedian ruang dan fasilitas guna menunjang kinerja para pelaku usaha. Kebutuhan akan ruang yang mempunyai fleksibelitas tinggi akan membentuk suatu bangunan yang cenderung pasif dan bersifat komersial, hal ini tentu saja berdampak pada keseragaman wajah kota di indonesia. Banyaknya bangunan yang berubah fungsi, yang awalnya merupakan bangunan bersejarah kemudian di rubah menjadi bangunan modern dan post modern yang tidak berjiwa. Tidak dapat di pungkiri akibat banyaknya industri manufaktur yang tutup dan jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaanpun meningkat, secara tidak langsung juga berakibat pada terbentuknya permukiman-permukiman kumuh di pinggiran kota. Hal ini tentu saja menjadi timbal balik dari dampak adanya perdagangan bebas. Tuntutan perdagangan bebas juga berdampak pada terciptanya persaingan antar kota maupun antar negara, mereka berlomba-lomba menciptakan sebuah kota yang kondusif guna menarik para investor asing untuk menanamkan modal di daerah mereka. Tentu saja hal ini akan melahirkan program-program pemerintah yang mendukung terciptanya infrastruktur kota yang mampu menjawab tantangan tersebut. Program-program yang mereka canangkan seperti program mempercantik kota, secara tidak langsung akan berdampak pada pembersihan lahan-lahan kumuh yang ad di pinggiran kota, yang kemudian di ubah menjadi lahan-lahan industri, perdagangan dan jasa.

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

II. PERMASALAHAN Dengan berlakukannya sistem perdagangan bebas di seluruh dunia termasuk Indonesia, secara tidak langsung mendorong timbulnya dampak yang sangat besar baik dari segi ekonomi, sosial, politik dan wujud pembangunan arsitektural di Indonesia.

III. PEMBAHASAN Pengertian Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individualindividual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda. Perdagangan Internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semua hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian-perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar. Tuntutan perdagangan bebas tidak terlepas dari adanya Modernisasi yang menggila pada abad 21 telah meluluhlantahkan siapa jati diri bangsa Indonesia ini sebenarnya.World is flat? Seluruh wajah wilayah di negeri ini berubah menjadi bentuk kota-kota yang seragam. Hans Dieter Evers 1973 (dalam Taliziduhu Ndraha, 1990:5) mengatakan bahwa modernisasi adalah proses penerapan ilmu pengetahuan yang meliputi semua segi kehidupan manusia pada tingkat yang berbeda-beda, pertama di dunia Barat, kemudian berbaur dalam dunia lainnya melalui berbagai cara dan kelompok dengan tujuan utama untuk mencapai taraf kehidupan yang lebih baik dan lebih nyaman dalam arti seluasluasnya, sepanjang dapat diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Perdagangan bebas sebenarnya juga berkembang dari budaya masyarakat lokal itu sendiri. Bagaimana kemampuan masyarakat di dalamnya dalam mengelola sumber daya alam yang dimiliki,

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

dan kemampuan mengubahnya. Kondisi yang berbeda inilah yang akan membedakan antara bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain melalui ciri khas yang dimilikinya. Akibat dari diberlakukannya perdagangan bebas, berpengaruh juga pada bangunan kota-kota di Indonesia dengan bentuk bangunan tinggi vertikal ke atas yang tidak berjati diri. Serba polos, tunggal rupa, dan memiliki aksen yang kaku. Hal ini terjadi karena teknologi yang tinggi menganut dari sistem peradaban budaya barat. Hal positif yang dapat kita ambil, dari perkembangan arsitektur saat ini adalah menunjukkan bagaimana peradaban budaya kita semakin berkembang, dan maju, tetapi semakin lama semakin kehilangan jati diri sebagai bangsa yang berbudaya serta memiliki kekayaan arsitektur nusantara yang sangat beragam. Dampak Perdagangan bebas juga banyak melahirkan kaum-kaum materialistis yang hanya berfikir bagaimana cara memperkaya diri sendiri tanpa sedikitpun melihat kepada rakyat miskin yang menjadi korban keserakahan mereka. Dampak dari perdagangan bebas juga menghantui permukiman penduduk yang berada di pinggiran kota, mereka dianggap merusak citra kota yang akan di bentuk. Program pemerintah untuk mempercantik kota serta menjadikan kotanya sebagai pusat perdagangan internasional juga mau tidak mau harus mengorbankan pihak-pihak yang dianggap dapat mengganggu suksesnya program yang mereka buat. Permukiman kumuh yang ada di pinggiran kota merupakan salah satu wujud nyata yang harus di hancurkan guna merubah lahan mereka menjadi lahan komersil yang dapat menguntungkan bagi mereka. Contoh Studi kasus : Renovasi bukan relokasi: (PWS) di Indonesia Karya Dari Paguyuban Warga Strenkali

Judul Asli : Renovation Not Relocation : The Work Of Peguyuban Warga Strenkali (PWS) in Indonesia Oleh : Wawan Some, Wardah Hafidz dan Gabriela Sauter Paguyuban Warga Strenkali Surabaya (PWS atau organisasi komunitas tepi sungai) merupakan organisasi lokal komunitas tepi sungai di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia (yang populasinya saat ini lebih dari 2.5 juta jiwa). Sebagai ibu kota provinsi Jawa timur, Surabaya menjadi pusat industri dan ekonomi untuk wilayah ini. Namun keinginan pemerintah kota dan provinsi untuk mempromosikan Surabaya menjadi pusat perdagangan internasional telah mempengaruhi munculnya program mempercantik kota yang jelas mengancam rumah dan pemukiman komunitas tepi sungai yang miskin dan para pedagang kaki lima. Hal ini

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

menggambarkan bagaimana PWS terbentuk sebagai respon terhadap ancaman penggusuran yang dimulai pada tahun 2002. Selain itu juga merekam bagaimana organisasi dan penduduk lokal telah meyakinkan pemerintah lokal dan provinsi bahwa mereka memiliki hak untuk mendiami area ini dan memang seharusnya diijinkan untuk tinggal.

PWS: Lahir Dari Ancaman Penggusuran Pada 31 Mei 2002, pemerintah kota Surabaya memberi peringatan bagi warga Bratang dan hunian tepi sungai lainnya di enam kampung (desa), bahwa mereka akan digusur. Komunitas mulai berusaha mencegah terjadinya penggusuran. Proses tersebut dimulai dengan membentuk NGO, Jerit yang dikelola menjadi empat kelompok: PPTS, PKL, PSK dan anak Gelandangan. PPTS keluar dari jerit pada Februari 2005 dan menjadi PWS. Kampung-kampung tersebut telah ada selama 40 tahun dan telah memiliki rasa komunitas dan memiliki tempat tersebut. Bagi mereka, bersatu untuk memerangi ketidak-adilan ini sangatlah penting. Secara bersama-sama, mereka mulai mempelajari hukum yang relevan serta mengembangkan rasa percaya diri untuk menghadapi hal ini. Proses negosiasi Pada bulan Januari 2005, pemerintah memberi peringatan pada komunitas Medokan Semampir akan terjadinya penggusuran di masa datang. PWS melakukan pendekatan pada pemerintah, berusaha memahami mengapa penggusuran ini dianggap perlu dan berusaha untuk menghentikannya. Menurut pemerintah provinsi, sampah para penghuni tepi sungai tersebut telah menurunkan kapasitas sungai, sehingga meningkatkan level air dan menyebabkan banjir di provinsi ini, khususnya sepanjang sungai Surabaya. PWS melakukan penelitian sendiri di sungai Surabaya dengan bantuan dari lembaga lingkungan Indonesia, Ecoton dari Universitas Gajah Mada. Penelitian yang dilakukan Ecoton melihat adanya sumber kontaminasi air, dan menemukan bahwa 60 persen berasal dari pabrik, 15 persen dari komunitas tepi sungai di Surabaya dan Sidoarjo dan sisanya adalah dari provinsi Jawa Tengah. Laporan ini menunjukkan muatan polusi yang meningkat dan jumlahnya besar dari 156 pabrik sepanjang sungai Surabaya, baik dalam bentuk kontaminasi kimia dan limbah padat. Hal ini menunjukkan bahwa pada kenyataannya, bukanlah komunitas kota miskin yang harus bertanggung jawab atas sebagian besar limbah atau polusi di sungai yang menyebabkan banjir dan penurunan integritas ekologi sungai. Respon pemerintah terhadap masalah polusi ini adalah merencanakan perluasan dan memperdalam dua sungai, sungai Surabaya dan Wonokromo. Ini berarti akan menggusur komunitas tepi sungai dan semakin menciptakan tepi sungai bentuk V konkrit untuk mencegah banjir di masa datang. Pemerintah menetapkan 12-15 meter ruang yang harus

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

diciptakan antara tepi sungai dan hunian. Mereka menyampaikan bahwa semakin lebar ruang yang ada di samping sungai akan memberikan akses lebih baik bagi pembersihan regular. Namun ini memerlukan penghancuran 3400 rumah. Di sisi lain studi teknis PWS menyatakan bahwa jika sungai diperdalam dengan tepi sungai vertikal, hanya 3-5 meter yang diperlukan pada tiap sisi sungai sehingga pembersih bisa lewat.

Dari relokasi ke Renovasi Antara tahun 2003 dan 2006, ketika pemerintah masih memutuskan langkah apa yang harus diambil, PWS mulai memperkuat organisasinya dengan dorongan dari Uplink Surabaya. PWS memperkenalkan beberapa program, termasuk pengkomposan dan daur ulang (sebagai alternatif untuk limbah), tabungan komunitas, pengenalan kembali obat tradisional dan aktivitas kelompok anak-anak dan mulai menekan pemerintah untuk mencapai keputusan dalam hal pemukiman di masa datang. Tujuannya adalah untuk menujukkan pada pemerintah dan warga umumnya perihal pendampingan mereka terhadap lingkungan dan kapasitas mereka untuk berusaha menangani isu seperti polusi. Secara tidak langsung, mereka juga mengembangkan semangat solidaritas antara sesama dan meningkatkan lingkungan hidup. Usaha PWS membangun dukungan publik bagi komunitas tepi sungai melalui rally, demonstrasi dan membuat konsep pengembangan komunitas mereka, akhirnya mendorong pemerintah untuk membuat keputusan. Parlemen provinsi menyetujui rencana yang dibuat oleh pemerintah dan komunitas tepi sungai. Mereka menyimpulkan bahwa pemukiman tepi sungai merupakan elemen kehidupan penting di kota Surabaya, jika komunitas ini digusur, maka akan muncul akibat sosial dan politik yang sangat serius, mereka fondasi sosial masyarakat Surabaya dan semua daerah, kota, desa sepanjang sungai tersebut. Dengan kebijakan yang ada, pemerintah juga bisa membatasi komunitas tepi sungai saat ini, sehingga mencegah pendirian bangunan baru dan migrasi keluarga baru ke sungai. Sehingga, PWS menggerakkan perubahan dalam pendekatan dari salah satu relokasi menjadi salah satu renovasi. Pengambilan keputusan bersama Badan Parlemen bertanggung jawab menangani masalah ini bersama dengan para penghuni tepi sungai (diwakili oleh PWS) serta pemerintah provinsi guna menetapkan hukum yang mengatur di masa datang mengenai pemukiman tepi sungai. Hukum yang disahkan pada 5 Oktober 2007, merupakan kombinasi dari ide stakeholder berbeda. Ketika pemerintah tidak bisa berbicara pada masing-masing penghuni tepi sungai tersebut, PWS mewakili komunitas, sehingga memungkinkan negosiasi dan konsolidasi proposal komunitas. Pemerintah juga melakukan kunjungan untuk memahami masalah yang mereka hadapi dan melihat bagaimana mereka merencanakan renovasi komunitas mereka untuk memenuhi regulasi yang ada.

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

Mekanik penurunan kemiskinan dan manajemen lingkungan a. Tantangan renovasi Kebijakan baru telah memberikan waktu lima tahun terhitung dari Oktober 2007, untuk meningkatkan komunitasnya, menurunkan jumlah perumahan dan membuat ruang untuk jalan tepi sungai, mengatur kembali perumahan sehingga mereka menghadap sungai dan menerapkan sistem manajemen limbah komunitas (termasuk daur ulang). Dalam hal ini, sungai akan menjadi poin penting dari komunitas dan toilet yang ada di sungai dihilangkan. Pemerintah bertanggung jawab membangun jalan di tepi sungai tersebut, memperdalam sungai dan membersihkan sampah yang menumpuk. Jika dalam lima tahun komunitas ini gagal mencapai semuanya, maka pemerintah memiliki hak untuk menggusur mereka. Lima tahun adalah waktu yang cukup bagi komunitas untuk membuat perubahan. Namun tetap saja cukup tidaknya lima tahun tersebut masih menjadi pertanyaan. Di Bratang, renovasi dimulai pada Maret 2008, dan setiap minggu rumah berbeda dibangun. Di sebagian besar anggota komunitas, ini merupakan langkah pertama untuk mengubah layout dari rumah mereka. Tujuannya adalah membangun septic tank untuk tiap kelompok enam atau lima rumah antara baris pertama dan kedua. Di baris kedua, rumah dibangun lebih kecil untuk memberikan ruang pengkomposan dan daur ulang domestik. Rumah juga diubah dalam hal kualitas dan strukturnya. b. Simpanan PWS telah memberikan penekanan kuat mengenai simpanan sehingga orang-orang miskin bisa sedikit-demi sedikit mengumpulkan uang untuk membiayai renovasi rumah mereka. Simpanan ini juga menunjukkan kapasitas pembayaran regular dan pinjaman, jika diperlukan untuk melakukan renovasi. Kelompok simpanan ini juga menjadi mekanisme untuk mengumpulkan anggota komunitas dan menciptakan solidaritas antara orang-orang. Simpanan di Bratang dimulai tahun 2002, setelah ada ancaman penggusuran pertama, namun semakin kuat ketika ada ancaman yang semakin besar dari pemerintah kota soal penggusuran. Banyak bantuan juga dari organisasi dan Universitas seperti dari UGM, ITS, Atmajaya yang memberikan bantuan saran teknis, UNAIR memberikan petunjuk masalah hukum dan Petra, UNESA dan Untag membantu kelompok belajar anak. c. Diluar simpanan dan renovasi: dampak yang lebih besar dari organisasi komunitas Berkaitan dengan isu lingkungan dan kemiskinan tidak hanya melibatkan komunitas melalui kelompok simpanan, masalah ini juga telah mengasah aktivitas, proyek, komunikasi kuat dan diseminasi informasi. Misalnya, di Semampir, penghuni sungai wanita sekarang melaksanakan pengajian mingguan untuk saling mendekatkan, menjaga kesatuan dan membahas perkembangan baru terkait komunitas mereka, ada perpustakaan

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

dan ruang pertemuan di tahun 2003 untuk menunjukkan komitmen mereka pada pendidikan dan kemampuan mereka mengelola komunitas ini. Beberapa perubahan tidak langsung juga ada: akses yang lebih baik ke rumah-rumah dan anak-anak sekarang memiliki tempat untuk bermain yang dijaga di malam hari. Banyak warga yang menunjukkan kegembiraannya karena memiliki lingkungan hidup yang lebih bersih. Sebelum proses ini dimulai, rumah sangat padat dan jika ada sedikit ruang pasti sudah terisi sampah. Sekarang, jalanan aman, bersih dan hijau. Setelah pertukaran kunjungan ke Thailand, juga banyak perubahan sosial dan komunitas PWS belajar mengenai nilai kerja tim, organisasi dan solidaritas. d. Bagaimana penerimaan eksternal mengarah pada perkembangan internal Sepanjang proses renovasi, komunitas telah mengkampanyekan agar merubah stigma bahwa komunitas mereka itu kotor dan penuh criminal, guna mempromosikan dukungan publik dan membantu meyakinkan pemerintah untuk tidak menggusur mereka. Oleh karenanya, PWS menerbitkan cerita komunitas dalam koran lokal dan regional untuk menunjukkan seperti apa mereka, bagaimana mereka berubah dan tindakan apa yang telah mereka ambil. Hal ini menekankan integritas dan mereka bisa menjadi sumberdaya kota dalam melindungi integritas ekologis sungai dan berkontribusi pada kota pada umumnya. komunitas ini telah melakukan banyak aktivitas untuk membangun opini publik yang positif. Misalnya tahun lalu Bratang dan Gunung sari memenangkan kompetisi citywide Green and Clean village di Surabaya untuk memotivasi desa agar membersihkan dan menjaga lingkungannya, menginspirasi komunitas lain dan menunjukkan pada masyarakat bahwa mereka tidak layak untuk mendapat predikat pemukiman kumuh. Pengakuan ini mendorong komunitas untuk melanjutkan proses manajemen dan peningkatan komunitas mereka. Dengan kata lain dengan adanya penerimaan dari luar akan membantu komunitas berkembang dari dalam. e. Organisasi dan struktur PWS PWS melakukan pertemuan sekali dalam sebulan untuk berbagi informasi dari tiap kampong, membuat rencana dan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah (misalnya dalam manajemen program). PWS menolak dana dari beberapa organisasi karena ingin memberikan penekanan pentingnya bekerja dengan organisasi partner yang memahami sejarah dan proses dan memberikan kebebasan. Meskipun PWS telah mengembangkan sejumlah aktivitas yang mendatangkan penghasilan, namun karena kurangnya pengetahuan pemasaran dan keahlian dalam komunitas ini sehingga mereka sulit menjual produk mereka f. Dukungan dari Uplink Uplink telah membantu PWS dalam banyak hal

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

Membantu menyatukan komunitas yang berbeda yang terkena ancaman penggusuran Memberikan pengetahuan dan dorongan untuk melakukan negosiasi dengan pemerintah Memberikan nasehat pada PWS mengenai cara mengubah opini publik mengenai pemukiman tepi sungai Memiliki tim teknis yang akan membantu mendesain rumah, desa dan lingkungan umum, tim kerja bekerja dengan emfasilitasi para warga untuk membuat desain mereka sendiri. Uplink juga menggunakan jaringan nasional dan internasional untuk mendukung komunitas ini dengan keahlian teknisnya. Jaringan Uplink membantu mengembangkan hubungan kerja dengn NGO lain, universitas, entitas penelitian dan advokasi. Anggota tim Uplink memberikan pelatihan pada anggota komunitas dalam penyembuhan tradisional (akupuntur dan acupressure) Uplink memfasilitasi bentuk organisasi komunitas yang tidak tergantung pada organisasi, institusi atau pendaan lain. Sehingga, ketika uplink menarik diri, komunitas ini masih tetap bertahan. Tantangan dan Halangan Kerangka waktu pendek. Meskipun pejabat pemerintah berpikir lima tahun akan waktu yang cukup untuk merenovasi semua rumah, namun tampaknya mereka tidak memahami kesulitan para warga miskin ini untuk mendapatkan biayanya. Banyak keluarga miskin memiliki masalah dalam mengumpulkan uang yang diperlukan dalam waktu tertentu. Untuk alasan inilah, PWS memberikan penekanan kuat dalam simpanan komunitas. Meskipun komunitas ini rekatif miskin, namun mereka menunjukkan kapasitas untuk menaung (meskipun tidak dalam jumlah besar), dan akan mendapatkan keuntungan dari pinjaman yang bisa mereka kembalikan di masa datang. Pinjaman sangat berarti bagi mereka karena akan membantu memulai dan mengakhiri renovasi mereka lebih cepat dan juga membantu memperpanjang masa pembayaran sehingga keluarga miskin bisa mengumpulkan simpanannya dalam periode yang lebih lama. Akhir-akhir ini, Uplink berusaha memberikan dukungan dalam dana beredar yang bisa digunakan di kota lain .proposal ini masih dalam proses perencanaan, seperti Uplink dan PWS yang berusaha menentukan berapa jumlah uang yang diperlukan dari sumber eksternal. Tantangan institusional. Selain kebijakan tahun 2007, pemerintah kota juga terus menemukan alasan baru untuk melakukan penggusuran komunitas tepi sungai, khususnya di Surabaya. Hal ini membuat penghuni tepi sungai frustasi dan berharap akan ada keadaan yang aman. Untungnya, hubungan positif yang berkembang selama beberapa tahun antara Parlemen dan PWS telah membuat pemukiman tepi sungai ini mendapatkan beberapa dukungan institusional dalam perjuangannya, dan karena sungai berada di bawah urisdiksi Parlemen provinsi, maka mereka mempertahankannya.

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

Tantangannya sekarang adalah dalam menangani kecenderungan pemerintah kota untuk melihat pendekatan ini sebagai kasus khusus dan menghindari penerapannya dalam situasi lainnya. Tantangan komunitas. Tekanan psikologis dalam peperangan lima tahun melawan penggusuran ini telah menyita banyak energi komunitas. Banyak pemimpin menyoroti kesulitan untuk menggerakkan komunitas secara keseluruhan. Seringkali orang tidak menyadari bahwa ancaman penggusuran memang nyata. Untuk mendapatkan alternatif dari pemerintah, banyak orang yang harus berubah dari reaktif menjadi proaktif, jika tidak perjuangan mereka untuk melindungi tempat tinggalnya akan berakhir. Pertanyaannya bukan lagi soal bagaimana cara bergeraknya namun bagaimana cara bergerak bersama-sama dalam renovasi dan proses perkembangan, meskipun setiap orang memiliki poin awal yang berbeda dan kebutuhan yang berbeda. Sehingga prioritas aktivitas dan usaha menjadi kunci untuk bergerak bersama-sama dan akan memperkuat pemahaman warga mengenai situasi dan mendorong mereka untuk memulai proses secepat mungkin. Banyak komunitas memulai renovasi mereka, sementara mereka menyimpan uang untuk membeli bahan, ada kemajuan signifikan dalam pembuatan ruang untuk jalan tepi sungai. Kesulitan untuk scaling up. PWS terus mencoba menggerakkan komunitas lain, namun mereka kesulitan mendorong mereka untuk bergabung dalam serikat ini. Dulu, banyak komunitas tidak memahami tujuan dan maksud PWS dan menolak bergabung. PWS akhir-akhir ini mencoba melibatkan pedagang kaki lima, yang mendapat ancaman penggusuran, dalam rangka melindungi hak mereka. PWS berkomitmen untuk mendukung kelompok lain, mempromosikan kerja mereka dan meminta sesama untuk bekerja dalam hal ini, selain itu juga mempublikasikan program mereka diluar komunitas tepi sungai, sehingga komunitas dan NGO lain bisa tahu dari pengalaman positif ini.

IV. PENUTUP

Menyikapi terjadinya perdagangan bebas yang berdampak besar bukan hanya pada sektor ekonomi, tetapi juga pada sektor lainnya seperti sosial budaya, politik serta pembangunan di Indonesia, untuk itu masyrakat perlu melakukan tindakan-tindakan yang komprehensif dengan cara meningkatkan kinerja produksi dalam negeri, khususnya meningkatkan kemandirian usaha melalui berbagai kebijakan ekonomi (kredit usaha kecil, PNPM mandiri, kredit Usaha Tani, dan berbagai subsidi pemerintah guna menumbuhkan ketahanan ekonomi dalam negeri). Dengan tumbuh dan berkembangnya usaha dalam negeri secara tidak langsung akan berdampak pada sektor pembangunan nasional yang lebih mengarah pada kemakmuran rakyat itu sendiri. Contoh kasus yang terjadi di

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

10

strenkali surabaya merupakan bukti nyata betapa besar pengaruh yang di akibatkan berlakunya sistem perdagangan bebas di indonesia saat ini. Usaha warga strenkali surabaya guna mempertahankan penggusuran yang akan dilakukan pemerintah surabaya guna menjadikan kota surabaya sebagai pusat industri dan perdagangan dapat dijadikan sebagai referensi bagaimana cara mengatur suatu lingkungan binaan yang dapat bertahan dari relokasi menjadi renovasi. Adapun hal-hal yang dapat di jadikan pelajaran pada kasus sterenkali ini ialah : 1. Konsep pembangunan harus benar-benar memperhatikan nilai-nilai modal sosial dapat dikatakan sebagai roh nya dari pembangunan yang berkelanjutan, artinya pembangunan berkelanjutan yang baik harus mengedepankan faktor partisipasi publik secara aktif dan hal ini dapat diperoleh dengan cara memahami apa yang menjadi kebutuhan masyarakat tersebut dan bukan kepentingan golongan tertentu; 2. Modal sosial yang berkembang di masyarakat harus didukung/didorong dan ditumbuh kembangkan oleh pembuat kebijakan, karena dengan tumbuh dan berkembangnya modal sosial ini, Pemerintah Daerah tidak akan pernah menemukan lagi permasalahan yang berhubungan dengan kondisi lingkungan di daerah permukiman tertentu. 3. Terbentuknya komunitas yang saling bahu-membahu dalam menyelesaikan permasalahan yang ada merupakan suatu wujud nyata dari tumbuh kembangnya partisipasi sosial dalam masyarakat yang tentu saja akan membawa dampak positif bagi keberlangsungan hidup orang banyak.

Perkembangan Masyarakat dan Lingkungan Binaan

11

You might also like