You are on page 1of 39

KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya

dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul Thyroid. Referat ini saya susun untuk melengkapi tugas di Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah RSUD Bekasi. Saya mengucapkan banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Myra Sp.B yang telah membimbing dan membantu saya dalam melaksanakan kepaniteraan dan dalam menyusun referat ini. Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran saya terima dengan tangan terbuka. Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan-rekan serta semua pihak yang ingin mengetahui sedikit banyak tentang Thyroid.

Jakarta, 27 Mei 2011

Penyusun

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................................... BAB I. BAB II. PENDAHULUAN ................................................................................ PEMBAHASAN .................................................................................. 5 5 6 7 8 9 9 11 11 13 14 15 15 16 2.1. Embriologi kelenjar Thyroid .......................................................... 2.2. Anatomi kelenjar tiroid ................................................................... 2.2.1.Topografi Kelenjar Thyroid ............................................. 2.2.2.Vaskularisasi Kelenjar Thyroid ....................................... 2.2.3.Innervasi Kelenjar Thyroid............................................... 2.2.4.Aliran Limfe Kelenjar Thyroid ........................................ 2.2.5.Struktur Histologis Kelenjar Thyroid.............................. . 2.3.Fisiologikelenjar Tyroid............................................................... 2.3.1.Sintesis Hormon Tiroid................................................. 2.3.2.Sekresi Hormon Thyroid ................................................. 2.3.3.Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid................. 2.3.4.Mekanisme Kerja Hormon Thyroid............................... 2.3.5.Efek Metabolik Hormon Tiroid ..................................... 2.3.6.Efek Fisiologik Hormon Tiroid ..................................... 1 2 3 4

2.3.7.Pengaturan Faal Kelenjar Tiroid......................................


2.4 Kelainan Fungsi Tiroid...........................................................

17

18 26

2.5 Pemeriksaan Penunjang ........................................................ BAB III. KARSINOMA TIROID 3.1.Definisi........................................................................................ 3.2.Epidemiologi.............................................................................. 2.3.Etiologi...................................................................................... 2.4.Faktor resiko ......................................................... ...................... 2.5.Macam-macam neoplasma tiroid ............................................... 2.6.Klasifikasi karsinoma tiroid....................................................... 2.7.Diagnosis.................................................................................. 2.8.Penatalaksanaan........................................................................ DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

28 28 29 29 29 30 34 36 39

BAB I PENDAHULUAN Pertumbuhan dan fungsi dari kelenjar tiroid paling sedikit dikendalikan empat mekanisme : yaitu sumbu hipotalamus-hipofisis-tiroid klasik, di mana hormon pelepas-tirotropin hipotalamus (TRH) merangsang sintesis dan pelepasan dari hormon perangsang-tiroid hipofisis anterior (TSH), yang kemudian pada gilirannya merangsang sekresi hormon dan pertumbuhan oleh kelenjar tiroid; kemudian deiodininase hipofisis dan perifer, yang memodifikasi efek dari T4 dan T3; autoregulasi dari sintesis hormon oleh kelenjar tiroid sendiri dalam hubungannya dengan suplai iodinnya; dan stimulasi atau inhibisi dari fungsi tiroid oleh autoantibodi reseptor TSH . Pengelolaan kelainan kelenjar tiroid dilakukan dengan melakukan uji kadar hormon TSH dan tiroksin bebas, didasari atas patofisiologi yang terjadi, sehingga akan didapatkan pengelolaan menyeluruh. Diagnosis dari penyakit tiroid telah banyak disederhanakan dengan dikembangkannya assay yang peka untuk TSH dan tiroksin bebas. Suatu peningkatan TSH dan tiroksin bebas yang rendah menetapkan diagnosis dari hipotiroidisme, dan TSH yang tersupresi dan FT4 yang meningkat menetapkan diagnosis dari hipertiroidisme.

BAB II 4

PEMBAHASAN 2.1. Embriologi kelenjar Thyroid Kelenjar thyroid berkembang mulai pada minggu keempat kehidupan fetal dengan membentuk endoderm di medial, tumbuh ke bawah dari pangkal lidah. Proses tumbuh ke bawah ini dengan cepat membentuk saluran yang disebut ductus thyroglossus. Saluran ini bermuara pada lidah berhubungan dengan foramen secum. Ujung bawah terbelah menjadi dua lobus dan akhirnya terletak berhubungan dengan trachea pada sekitar minggu ketujuh. Ductus thyroglossus kemudian menghilang, tetapi bagian terbawah sering tetap ada dalam bentuk lobus piramidalis. Melalui pertumbuhan ke dalam dari mesenkim vaskular yang mengelilinginya, sel-sel endodermal dipisahkan menjadi kelompokan sel kecil, yang dengan cepat membentuk suatu lumen yang dikelilingi oleh selapis sel-sel. Koloid tampak dalam lumen pada sekitar minggu kesebelas dan strukturnya sekarang disebut folikel. Tiroksin tampak ada dalam kelenjar pada perkembangan saat ini. Bersamaan dengan pembentukan lobus thyroid, berkembang pula badan ultimobranchial dari kantong insang keempat. Badan ini terdiri atas sel-sel yang berasal dari krista neuralis. Badan ultimobranchial menjadi satu dengan primordium thyroid dan sel-selnya menyebar menjadi sel-sel C. 2.2. Anatomi kelenjar Thyroid Thyroid adalah suatu kelenjar endokrin yang sangat vaskular, berwarna merah kecoklatan dengan konsistensi yang lunak. Kelenjar thyroid terdiri dari dua buah lobus yang simetris. Berbentuk konus dengan ujung cranial yang kecil dan ujung caudal yang besar. Antara kedua lobus dihubungkan oleh isthmus, dan dari tepi superiornya terdapat lobus piramidalis yang bertumbuh ke cranial, dapat mencapai os hyoideum. Pada umumnya lobus piramidalis berada di sebelah kiri linea mediana. Setiap lobus kelenjar thyroid mempunyai ukuran kira-kira 5 cm, dibungkus oleh fascia propria yang disebut true capsule, dan di sebelah superficialnya terdapat fascia pretrachealis yang membentuk false capsule.

2.2.1. Topografi Kelenjar Thyroid Kelenjar thyroid berada di bagian anterior leher, di sebelah ventral bagian caudal larynx dan bagian cranial trachea, terletak berhadapan dengan vertebra C 5-7 dan vertebra Th 1. Kedua lobus bersama-sama dengan isthmus memberi bentuk huruf U. Ditutupi oleh m. sternohyoideus dan m.sternothyroideus. Ujung cranial lobus mencapai linea obliqua cartilaginis thyreoideae, ujung inferior meluas sampai cincin trachea 5-6. Isthmus difiksasi pada cincin trachea 2,3 dan 4. Kelenjar thyroid juga difiksasi pada trachea dan pada tepi cranial cartilago cricoidea oleh penebalan fascia pretrachealis yang dinamakan ligament of Berry. Fiksasi-fiksasi tersebut menyebabkan kelenjar thyroid ikut bergerak pada saat proses menelan berlangsung. Topografi kelenjar thyroid adalah sebagai berikut: Di sebelah anterior terdapat m. infrahyoideus, yaitu m. sternohyoideus, m. sternothyroideus, m. thyrohyoideus dan m. omohyoideus. Di sebelah medial terdapat larynx, pharynx, trachea dan oesophagus, lebih ke bagian profunda terdapat nervus laryngeus superior ramus externus dan di antara oesophagus dan trachea berjalan 6

nervus laryngeus recurrens. Nervus laryngeus superior dan nervus laryngeus recurrens merupakan percabangan dari nervus vagus. Pada regio colli, nervus vagus mempercabangkan ramus meningealis, ramus auricularis, ramus pharyngealis, nervus laryngeus superior, ramus cardiacus superior, ramus cardiacus inferior, nervus laryngeus reccurens dan ramus untuk sinus caroticus dan carotid body. Di sebelah postero-lateral terletak carotid sheath yang membungkus a. caroticus communis, a. caroticus internus, vena jugularis interna dan nervus vagus. Carotid sheath terbentuk dari fascia colli media, berbentuk lembaran pada sisi arteri dan menjadi tipis pada sisi vena jugularis interna. Carotid sheath mengadakan perlekatan pada tepi foramen caroticum, meluas ke caudal mencapai arcus aortae. Fascia colli media juga membentuk fascia pretrachealis yang berada di bagian profunda otot-otot infrahyoideus. Pada tepi kelenjar thyroid, fascia itu terbelah dua dan membungkus kelenjar thyroid tetapi tidak melekat pada kelenjar tersebut, kecuali pada bagian di antara isthmus dan cincin trachea 2, 3 dan 4.8. 2.2.2.Vaskularisasi Kelenjar Thyroid Kelenjar thyroid memperoleh darah dari arteri thyroidea superior, arteri thyroidea inferior dan kadang-kadang arteri thyroidea ima (kira-kira 3 %). Pembuluh darah tersebut terletak antara kapsula fibrosa dan fascia pretrachealis. Arteri thyroidea superior merupakan cabang pertama arteri caroticus eksterna, melintas turun ke kutub atas masing-masing lobus kelenjar thyroid, menembus fascia pretrachealis dan membentuk ramus glandularis anterior dan ramus glandularis posterior. Arteri thyroidea inferior merupakan cabang truncus thyrocervicalis, melintas ke superomedial di belakang caroted sheath dan mencapai aspek posterior kelenjar thyroid. Truncus thyrocervicalis merupakan salah satu percabangan dari arteri subclavia. Arteri thyroidea inferior terpecah menjadi cabang-cabang yang menembus fascia pretrachealis dan memasok darah ke kutub bawah kelenjar thyroid. Arteri thyroidea ima biasanya dipercabangkan oleh truncus brachiocephalicus atau langsung dipercabangkan dari arcus aortae. 7

Tiga pasang vena thyroidea menyalurkan darah dari pleksus vena pada permukaan anterior kelenjar thyroid dan trachea. Vena thyroidea superior menyalurkan darah dari kutub atas, vena thyroidea media menyalurkan darah dari bagian tengah kedua lobus dan vena thyroidea inferior menyalurkan darah dari kutub bawah. Vena thyroidea superior dan vena thyroidea media bermuara ke dalam vena jugularis interna, dan vena thyroidea inferior bermuara ke dalam vena brachiocephalica.

2.2.3.Innervasi Kelenjar Thyroid Persarafan simpatis diperoleh dari ganglion cervicalis superior dan ganglion cervicalis media yang mencapai kelenjar thyroid dengan mengikuti arteri thyroidea superior dan arteri thyroidea inferior atau mengikuti perjalanan nervus laryngeus superior ramus eksternus dan nervus laryngeus recurrens. Serat-serat saraf simpatis mempunyai efek perangsangan pada aktifitas sekresi kelenjar thyroid.3, 8 Nervus laryngeus superior mengandung komponen motoris untuk m. cricothyroidea, dan komponen sensoris untuk dinding larynx di sebelah cranial plica vocalis. Nervus laryngeus recurrens mengandung komponen motoris untuk semua otot intrinsik laryngeus dan komponen sensoris untuk dinding larynx di sebelah caudal dari plica vocalis. Nervus laryngeus superior mempercabangkan ramus internus dan ramus eksternus. Ramus internus berjalan menembus membrana thyrohyoidea, dinding anterior fossa piriformis dan 8

mencapai otot-otot lateral serta membawa komponen sensoris untuk dinding larynx di cranial plica vocalis dan aditus laryngeus. Sedangkan ramus eksternus mempersarafi m. cricothyroidea. Kerusakan pada nervus laryngeus superior menyebabkan perubahan suara yang khas dan hilangnya sensasi dalam larynx di cranial plica vocalis.8 Nervus laryngeus recurrens yang terletak dalam sulkus tracheoesophagus memasuki pharynx dengan melewati bagian profunda tepi inferior m. constrictor pharyngeus inferior dan berada pada bagian dorsal articulatio cricothyroidea. Kerusakan pada nervus recurrens menyebabkan paralisis plica vocalis. 2.2.4. Aliran Limfe Kelenjar Thyroid Pembuluh limfe kelenjar thyroid melintas di dalam jaringan ikat antar lobulus dan berhubungan dengan anyaman pembuluh limfe kapsular. Dari sini pembuluh limfe menuju ke lymphonodus cervicalis anterior profunda prelaryngealis, lymphonodus cervicalis anterior profunda pretrachealis dan lymphonodus cervicalis anterior profunda paratrachealis. Di sebelah lateral, pembuluh limfe mengikuti vena thyroidea superior dan melintas ke lymphonodus cervicalis profunda. 2.2.5. Struktur Histologis Kelenjar Thyroid Kelenjar thyroid hampir seluruhnya terdiri atas kista-kista bulat yang disebut folikel. Folikel adalah unit struktural dan unit fungsional, terdiri atas epitel selapis kubis yang mengelilingi suatu ruangan yang berisi koloid. Folikel-folikel bervariasi ukurannya dari diameter sekitar 50 m sampai 1 mm dan yang terbesar tampak secara makroskopis. Folikel dikelilingi oleh membrana basalis yang tipis dan jaringan ikat interstisial membentuk jala-jala retikulin sekeliling membrana basalis. Sel-sel folikular biasanya berbentuk kubis, tetapi tingginya berbeda-beda, tergantung pada keadaan fungsional kelenjar itu. Jika thyroid secara relatif tidak aktif, sel-selnya hampir gepeng. Sedangkan dalam keadaan kelenjar sangat aktif, sel-sel akan berbentuk kolumnar. Namun keadaan fungsional kelenjar tidaklah harus secara ekslusif berdasarkan pada tingginya epitel. 9

Sel-sel folikular semuanya membatasi lumen dan mempunyai inti bulat dengan warna agak pucat. Di ruang interfolikular, terdapat fibroblast yang tersebar dan serat-serat kolagen yang tipis. Selain itu, terdapat sejumlah besar kapilar tipe fenestrata yang sering berhubungan langsung dengan lamina basalis folikel. Ultrastruktur sel-sel folikular memperlihatkan semua ciri-ciri sel yang pada saat yang sama membuat, mengekskresikan, menyerap dan mencerna protein. Bagian basal sel-sel ini penuh dengan retikulum endoplasma kasar. Inti umumnya bulat dan terletak di pusat sel. Kompleks Golgi terdapat pada kutub apikal. Di daerah ini terdapat banyak lisosom dan beberapa fagosom besar. Membran sel kutub apikal memiliki mikrovili. Mitokondria, retikulum endoplasma kasar dan ribosom tersebar di seluruh sitoplasma. Sel-sel C terletak di antara membrana basalis dan sel-sel folikular. Berbentuk lonjong, lebih besar dan lebih pucat daripada sel folikular dan juga berisi inti lebih besar dan lebih pucat.

Kelenjar tiroid terdiri dari dua lobus jaringan endokrin yang menyatu di bagian tengah oleh bagian sempit kelenjar, sehingga kelenjar ini tampak seperti dasi kupu-kupu. Kelenjar ini bahkan terletak pada posisi yang tepat untuk pemasangan dasi kupu-kupu yaitu berada di atas trakea, tepat di bawah laring. Sel-sel sekretorik utama tiroid tersusun menjadi gelembung-gelembung berongga, yang masing-masing membentuk unit fungsional yang disebut folikel. Dengan demikian sel-sel sekretorik ini sering disebut sebagai sel folikel. Pada potongan mikroskopik, folikel tampak sebagai cincin-cincin sel folikel yang memenuhi lumen bagian dalam yang dipenuhi koloid, suatu bahan yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan ekstrasel pedalaman untuk hormon-hormon tiroid. Konstituen utama koloid adalah molekul besar dan kompleks yang dikenal sebagai tiroglobulin, yang didalamnya berisi hormon-hormon tiroid dalam berbagai tahapan pembentukannya. Sel-sel folikel menghasilkan dua hormon yang mengandung iodium yang berasal dari asam amino tirosin:
-

tetraiodotironin (T4 atau tiroksin) triiodotironin (T3)

10

awalan tetra dan tri serta angka 4 dan 3 di bawahnya menandakan jumlah atom iodium yang terdapat dalam setiap molekul hormon. Kedua hormon ini, yang secara kolektif disebut sebagai hormoe tiroid, merupakan regulator penting bagi laju metabolisme basal keseluruhan. Di ruang interstisium di antara folikel-folikel terdapat sel sekretorik jenis lain, yaitu sel C (disebut demikian karena mengeluarkan hormon peptida kalsitonin) yang berperan dalam metabolisme kalsium. Kalsitonin sama sekali tidak berkaitan dengan kedua hormon tiroid utama di atas.
2.3.

Fisiologi kelenjar Tyroid


2.3.1. Sintesis Hormon Tyroid

Bahan dasar untuk sintesis hormon tiroid adalah tirosin dan iodium, yang keduanya harus diserap darah oleh sel-sel folikel. Tirosin, suatu asam amino, disintesis dalam jumlah memadai oleh tubuh, sehingga bukan merupakan kebutuhan esensial dalam makanan. Di pihak lain, iodium yang diperlukan untuk sintesis hormon tiroid, harus diperoleh dari makanan. Pembentukan, penyimpanan, dan sekresi hormon tiroid terdiri dari langkah-langkah berikut:
1. Semua langkah sintesis hormone tiroid berlangsung di molekul tiroglobulin di dalam

koloid. Tiroglobulin itu sendiri dihasilkan oleh kompleks Golgi/reticulum endolasma di sel folikel tiroid. Tirosin menyatu ke dalam molekul tiroglobulin sewaktu molekul besar ini diproduksi. Setelah diproduksi, tiroglobulin yang mengandung tirosin dikeluarkan dari sel folikel ke dalam koloid melalui eksositosis.
2. Tiroid menangkap iodium dari darah dan memindahkannya ke dalam koloid melalui suatu

pompa iodium yang sangat aktif atau :iodine trapping mechanism protein pembawa yang sangat kuat dan memerlukan energi yang terletak di membran luar sel folikel. Hampir semua iodium di tubuh dipindahkan melawan gradien konsentrasinya ke kelenjar tiroid untuk mensintesis hormon tiroid. Selain untuk sintesis hormon tiroid, iodium tidak memiliki manfaat lain di tubuh. 3. Di dalam koloid, iodium dengan cepat melekat ke sebuah tirosin di dalam molekul tiroglobulin. Perlekatan sebuah iodium ke tirosin menghasilkan monoiodotirosin (MIT). Perlekatan dua iodium ke tirosin menghasilkan diiodotirosin (DIT).
4. Terjadi proses penggabungan antara molekul-molekul tirosin beriodium untuk membentuk

hormone tiroid. Penggabungan dua DIT (masing-masing mengandung dua atom iodium) 11

menghasilkan tetraiodotironin (T4 atau tiroksin), yaitu bentuk hormon tiroid dengan empat iodium. Penggabungan satu MIT (dengan satu iodium) dan satu DIT menghasilkan triiodotironin atau T3 (dengan tiga iodium). Penggabungan tidak terljadi antara dua molekul MIT. Karena reaksi-reaksi ini berlangsung dalam molekul tiroglobulin, semua produk tetap melekat ke protein besar tersebut. Hormon-hormon tiroid tetap disimpan dalam bentuk ini di koloid sampai mereka dipecah dan disekresikan. Diperkirakan bahwa jumlah hormone tiroid yang secara normal disimpan di koloid cukup untuk memasuk kebutuhan tubuh untuk beberapa bulan. Pengeluaran hormone-hormon tiroid ke dalam sirkulasi sistemik memerlukan proses yang agak rumit karena dua alasan. Pertama, sebelum dikeluarkan, T3 dan T4 tetap terikat ke molekul tiroglobulin. Kedua, hormon-hormon itu disimpan di tempat ekstrasel pedalaman, lumen folikel; sebelum dapat memasuki pembuluh darah yang berjalan di ruang interstisium, mereka harus diangkut menembus sel folikel. Sekresi hormon tiroid pada dasarnya melibatkan penggigitan sepotong koloid oleh sel folikel, sehingga molekul tiroglobulin terpecah menjadi bagianbagiannya, dan peludahan T4 dan T3 bebas ke dalam darah. Apabila terdapat rangsangan yang sesuai untuk mengeluarkan hormon tiroid , sel-sel folikel memasukkan sebagian dari kompleks hormone-tiroglobulin dengan memfagositosis sekeping koloid. Di dalam sel, butir-butir koloid terbungkus membran menyatu dengan lisosom, yang enzim-enzimnya kemudian memisahkan hormone tiroid yang aktif secara biologis, T4 dan T3, serta iodotirosin yang nonaktif, MIT dan DIT. Hormon-hormon tiroid, karena sangat lipofilik, dengan mudah melewati membran luar sel folikel dan masuk ke dalam darah. MIT dan DIT tidak memiliki nilai endokrin. Sel-sel folikel mengandung suatu enzim yang dengan cepat mengeluarkan iodium dari MIT dan DIT, sehingga iodium yang dibebaskan dapat didaur ulang untuk sintesis lebih banyak hormon. Enzim yang sangat spesifik ini akan mengeluarkan iodium hanya dari MIT dan DIT yang tidak berguna, bukan dari T4 dan T3. Sekitar 90% produk sekretorik yang dikeluarkan dari kelenjar tiroid adalah dalam bentuk T4, walaupun T3 memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten dibandingkan T4. Namun, sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian diubah menjadi T3 atau diaktifkan melalui proses pengeluaran satu iodium di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran iodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T 3 adalah 12

bentuk hormon tiroid yang secara biologis aktif di tingkat sel, walaupun tiroid mengeluarkan lebih banyak T4. Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik dengan cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan hormon tiroid memiliki akses ke reseptor sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek. terdapat tiga protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid: globulin pengikat tiroksin (thyroxine binding globulin) yang secara selektif mengikat hormon tiroid 55% dari T4 dan 65% dari T3 dalam sirkulasi walaupun namanya hanya menyebutkan secara khusus tiroksin (T4); albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik, termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3; dan thyroxine-binding prealbumin yang mengikat 35% T4. 2.3.2. Sekresi Hormon Thyroid Sel-sel thyroid mengambil koloid melalui proses endositosis. Di dalam sel, globulus koloid menyatu dengan lisosom. Ikatan peptida antara residu beriodium dengan tiroglobulin terputus oleh protease di dalam lisosom, dan T4, T3, DIT serta MIT dibebaskan ke dalam sitoplasma. T4 dan T3 bebas kemudian melewati membran sel dan dilepaskan ke dalam sirkulasi. MIT dan DIT tidak disekresikan ke dalam darah karena iodiumnya sudah dibebasakan sebagai akibat dari kerja intraselular iodotirosin dehalogenase. Hasil dari reaksi enzimatik ini adalah iodium dan tirosin. Iodium digunakan kembali oleh kelenjar dan secara normal menyediakan iodium dua kali lipat dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh pompa iodium.

2.3.3.Transport dan Metabolisme Hormon Thyroid

13

Hormon thyroid yang bersirkulasi dalam plasma terikat pada protein plasma, yaitu: globulin pengikat tiroksin (thyroxine-binding globulin, TBG), prealbumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding prealbumin, TBPA) dan albumin pengikat tiroksin (thyroxine-binding albumin, TBA). Kebanyakan hormon dalam sirkulasi terikat pada protein-protein tersebut dan hanya sebagian kecil saja (kurang dari 0,05 %) berada dalam bentuk bebas. Hormon yang terikat dan yang bebas berada dalam keseimbangan yang reversibel. Hormon yang bebas merupakan fraksi yang aktif secara metabolik, sedangkan fraksi yang lebih banyak dan terikat pada protein tidak dapat mencapai jaringan sasaran. Dari ketiga protein pengikat tiroksin, TBG merupakan protein pengikat yang paling spesifik. Selain itu, tiroksin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap protein pengikat ini dibandingkan dengan triiodotironin. Akibatnya triiodotironin lebih mudah berpindah ke jaringan sasaran. Faktor ini yang merupakan alasan mengapa aktifitas metabolik triiodotironin lebih besar. Perubahan konsentrasi TBG dapat menyebabkan perubahan kadar tiroksin total dalam sirkulasi. Peningkatan TBG, seperti pada kehamilan, pemakaian pil kontrasepsi, hepatitis, sirosis primer kandung empedu dan karsinoma hepatoselular dapat mengakibatkan peningkatan kadar tiroksin yang terikat pada protein. Sebaliknya, penurunan TBG, misalnya pada sindrom nefrotik, pemberian glukokortikoid dosis tinggi, androgen dan steroid anabolik dapat menyebabkan penurunan kadar tiroksin yang terikat pada protein. Hormon-hormon thyroid diubah secara kimia sebelum diekskresi. Perubahan yang penting adalah deiodinasi yang bertanggung jawab atas ekskresi 70 % hormon yang disekresi. 30 % lainnya hilang dalam feses melalui ekskresi empedu sebagai glukuronida atau persenyawaan sulfat. Akibat deiodinasi, 80 % T4 dapat diubah menjadi 3,5,3-triiodotironin, sedangkan 20 % sisanya diubah menjadi reverse 3,3,5-triiodotironin (rT3) yang merupakan hormon metabolik yang tidak aktif.

2.3.4.Mekanisme Kerja Hormon Thyroid

14

Mekanisme kerja hormon thyroid ada yang bersifat genomik melalui pengaturan ekspresi gen, dan non genomik melalui efek langsung pada sitosol sel, membran dan mitokondria. Mekanisme kerja yang bersifat genomik dapat dijelaskan sebagai berikut, hormon thyroid yang tidak terikat melewati membran sel, kemudian masuk ke dalam inti sel dan berikatan dengan reseptor thyroid (TR). T3 dan T4 masing-masing berikatan dengan reseptor tersebut, tetapi ikatannya tidak sama erat. T3 terikat lebih erat daripada T4. Kompleks hormon-reseptor kemudian berikatan dengan DNA melalui jari-jari zinc dan meningkatkan atau pada beberapa keadaan menurunkan ekspresi berbagai gen yang mengkode enzim yang mengatur fungsi sel. Ada dua gen TR manusia, yaitu gen reseptor pada kromosom 17 dan gen reseptor pada kromosom 3. Dengan ikatan alternatif, setiap gen membentuk paling tidak dua mRNA yang berbeda, sehingga akan terbentuk dua protein reseptor yang berbeda. TR2 hanya ditemukan di otak, sedangkan TR1, TR2 dan TR1 tersebar secara luas. TR2 berbeda dari ketiga reseptor yang lain, yaitu tidak mengikat T3 dan fungsinya belum diketahui. Reseptor thyroid (TR) berikatan dengan DNA sebagai monomer, homodimer dan heterodimer bersama dengan reseptor inti yang lain. Dalam hampir semua kerjanya, T3 bekerja lebih cepat dan 3-5 kali lebih kuat daripada T4. Hal ini disebabkan karena ikatan T3 dengan protein plasma kurang erat, tetapi terikat lebih erat pada reseptor hormon thyroid. 2.3.5. Efek Metabolik Hormon Tiroid Hormon tiroid dibutuhkan oleh hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme. Efek metaboliknya antara lain:
-

Termoregulasi (jelas pada miksedema atau koma miksedema dengan temperature suboptimal) dan kalorigenik. Metabolisme protein . Dalam dosis fisiologis kerjanya bersifat anabolic, tetapi dalam dosis besa bersifat katabolik. Metabolisme karbohidrat bersifat diabetogenik, karena resorpsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis , demikian pula glikogen otot menipis dan degradasi insulin meningkat.

Vitamin A. Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati memerlukan hormon tiroid. Sehingga pada hipotiroidisme dapat dijumpai karotenemia, kulit kekuningan. 15

Lain-lain: gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati, tonus traktus gastrointestinal meninggi, hiperperistaltik, sehingga sering terjadi diare; gangguan faal hati; anemia defisiensi Fe dan hipertiroidisme.

2.3.6. Efek Fisiologik Hormon Tiroid Efeknya membutuhkan waktu beberapa jam sampai hari. Efek genomnya menghasilkan panas dan konsumsi oksigen meningkat, pertumbuhan, maturasi otak dan susunan saraf yang melibatkan Na+K+ATPase sebagian lagi karena reseptor beta adrenergik yang bertambah. Tetapi ada juga efek yang nongenomik misalnya meningkatnya transport asam amino dan glukosa, menurunnya enzim tipe 2 5 deyodinasi di hipofisis.
-

Pertumbuhan fetus. Sebelum minggu 11 tiroid fetus belum bekerja, juga TSHnya. Dalam keadaan ini karena DIII tinggi di plasenta hormon tiroid bebas yang masuk fetus amat sedikit, karena diinaktivasi di plasenta. Meski amat sedikit krusial, tidak adanya hormon yang cukup menyebabkan lahirnya bayi kretin (retardasi mental dan cebol)

Efek pada konsumsi oksigen, panas dan pembentukan radikal bebas. Kedua peristiwa di atas dirangsang oleh T3, lewat Na+K+ATPase di semua jaringan kecuali otak, testis dan limpa. Metabolisme basal meningkat. Hormon tiroid meurunkan kadar superoksida dismutase hingga radikal bebas anion superoksida meningkat.

Efek kardiovaskular. T3 menstimulasi a) transkrpsi myosin hc- dan menghambat myosin ke hc-, akibatnya kontraksi otot miokard menguat. b) transkripsi Ca++ATPase di retikulum sarkoplasma meningkatkan tonus diastolic. c) mengubah konsentrasi protein G, reseptor adrenergik, sehingga akhirnya hormon tiroid ini punya yonotropik positif. Secara klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan takikardia.

Efek simpatik. Karena bertambahnya reseptor adrenergik-beta miokard, otot skelet, lemak dan limfosit, efek pasca reseptor dan menurunnya reseptor adrenergik alfa miokard, maka sensitivitas terhadap katekolamin amat tinggi pada hipertiroidisme dan sebaliknya pada hipotiroidisme.

Efek hematopoetik. Kebutuhan akan oksigen pada hipertiroidisme menyebabkan eritropoesis dan produksi eritropoetin meningkat. Volume darah tetap namun red cell turnover meningkat. 16

Efek gastrointestinal. Pada hipertiroidisme motilitas usus meningkat. Kadang ada diare. Pada hipotiroidisme terjadi obstipasi dan transit lambung melambat. Hal ini dapat menyebabkan bertambah kurusnya seseorang.

Efek pada skelet. Turnover tulang meningkat resorpsi tulang lebih terpengaruh daripada pembentukannya. Hipertiroidisme dapat menyebabkan osteopenia. Dalam keadaan berat mampu menghasilkan hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan penanda hidroksiprolin dan cross link piridium

Efek neuromuskular. Turnover yang meningkat juga menyebabkan miopati disamping hilangnya otot. Dapat terjadi kreatinuria spontan. Kontraksi serta relaksasi otot meningkat (hiperrefleksia)

Efek endokrin. Sekali lagi, hormon tiroid meningkatkan metabolik turnover banyak hormon serta bahan farmakologik. Contoh: waktu paruh kortisol adalah 100 menit pada orang normal tetapi menurun jadi 50 menit pada hipertiroidisme dan 150 menit pada hipotiroidisme. Untuk ini perlu diingat bahwa hipertiroidisme dapat menutupi (masking) atau memudahkan unmasking kelenjar adrenal.

2.3.7. Pengaturan Faal Kelenjar Tiroid 1. Autoregulasi Seperti disebutkan diatas, hal ini lewat terbentuknya yodolipid pada penberian yodium banyak dan akut, dikenal sebagai efek Wolff-Chaikoff. Efek ini bersifat selflimitting. Dalam beberapa keadaan mekanisme escape ini dapat gagal dan terjadilah hipotiroidisme. 2. TSH TSH disintesis oleh sel tirotrop hipofisis anterior. Banyak homologi dengan LH dan FSH. Ketiganya terdiri dari subunit dan dan ketiganya mempunyai subunit yang sama, namun berbeda subunit . Efek pada tiroid akan terjadi dengan ikatan TSH dengan reseptor TSH (TSHr) di membrane folikel. Sinyal selanjutnya terjadi lewat protein G (GsA). Dari sinilah terjadi perangsangan protein kinase Aoleh cAMP untuk ekspresi gen yang penting untuk fungsi tiroid seperti pompa yodium, Tg, pertmbuhan sel tiroid dan TPO, serta faktor transkripsi TTF1, TTF2 dan PAX8. Efek klinisnya terlihat sebagai perubahan morfologi

17

sel, naiknya produksi hormone, folikel dan vaskularisasinya bertambah oleh pembentukan gondok, dan peningkatan metabolisme.
3. TRH (Thyrotrophin Releasing Hormone)

Hormon ini satu tripeptida, dapat disintesis neuron yang korpusnya berada di nucleus paraventrikularis hipotalamus (PVN). TRH ini melewati median eminence, tempat ia disimpan dan dikeluarkan lewat sistem hipotalamohipofiseal ke sel tirotrop hipofisis. Akibatnya TSH meningkat. Meskipun tidak ikut menstimulasi keluarnya growth hormone dan ACTH, terapi TRH menstimulasi keluarnya prolaktin, kadang FSH dan LH. Apabila TSH naik dengan sendirinya kelenjar tiroid mengalami hiperplasi dan hiperfungsi. Sekresi hormone hipotalamus dihambat oleh hormon tiroid (mekanisme umpan balik), TSH, dopamine, hormone korteks adrenal dan somatostatin, serta stress dan sakit berat (non thyroidal illness) Kompensasi penyesuaian terhadap proses umpan balik ini banak member informasi klinis. Sebagai contoh, naiknya TSH serum serig menggambarkan produksi hormone tiroid oleh kelenjar tiroid yang kurang memadai. Sebaliknya respon yang rata (blunted response) TSH terhadap stimulasi TRH eksogen menggambarkan supresi kronik di tingkat TSH karena kebanyakan hormon, dan sering merupakan tanda dini bagi hipertiroidisme ringan atau subklinis. 2.4.Kelainan kelenjar thyroid Di luar kelainan bawaan, kelainan kelenjar tiroid dapat digolongkan menjadi dua kelompok besar, yaitu penyakit yang menyebabkan perubahan fungsi, seperti hipertiroidisme dan penyakit yang menyebabkan perubahan jaringan dan bentuk kelenjar, seperti struma noduler. Fungsi tiroid dapat berkurang, normal atau bertambah. Pengurangan fungsi atau hipotiroidisme dapat disebabkan oleh penyakit hipotalamus, kerusakan kelenjar hipofisis, defisiensi yodium, obat antitiroid, dan tiroiditis. Juga terdapat keadaan yang dikenal dengan hipotiroidisme iatrogenik, yang terjadi sesudah tiroidektomi atau setelah terapi dengan yodium radioaktif. Hipertiroid dapat terjadi pada struma toksik difus (penyakit Graves), struma nodosa toksik, pengobatan berlebihan dengan tiroksin, tiroiditis, struma ovarium rang), dan metastasis luas karsinoma tiroid terdeferensiasi.

18

Gangguan autoimun dengan atau tanpa reaksi radang dapat menyebabkan struma Graves yang bergejala hipertiroid dan struma Hashimoto yang akhirnya mengakibatkan hipotiroid. Contoh kelainan hiperplasia ialah struma koloid dan struma endemik. Keganasan terutama disebabkan oleh adeniokarsinoma. Tumor ganas kelenjar tiroid dapat dibagi sesuai tingkat keganasannya.

Kelainan Fungsi Tiroid Disfungsi Tiroid Hipotiroidisme Penyebab Kegagalan primer kelenjar tiroid Sekunder akibat kegagalan hipotalamus atau hipofisis TSH anterior Kekurangan iodium dalam Hipertiroidisme makanan Adanya immunoglobulin perangsang TSI (penyakit Grave) Sekunder akibat kelebihan sekresi hipotalamus atau TSH hipofisis anterior Hipersekresi tumor tiroid T3 dan T4, TSH Tidak T3 dan T4, TRH dan/atau Ya T3 dan T4, TSH T3 dan T4, TSH Ya Ya Konsentrasi Plasma Hormon Gondok? Ya yang Bersangkutan T3 dan T4, TSH T3 dan T4,

TRH dan/atau Tidak

Menurut American society for Study of Goiter, struma terbagi menjadi Struma Non Toxic Diffusa, Struma Non Toxic Nodusa, Struma Toxic Diffusa (grave disease), Struma Toxic Nodusa (Plummer disease). Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotiroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. 1. Struma non toxic nodusa = adenomatous goiter

19

Adalah pembesaran dari kelenjar tiroid yang berbatas jelas tanpa gejala-gejala hipertiroid. Pada umumnya pasien struma nodosa datang berobat karena keluhan kosmetik atau ketakutan akan keganasan. Sebagian kecil pasien, khususnya yang dengan struma nodosa besar, mengeluh adanya gejala mekanis, yaitu penekanan pada esophagus (disfagia) atau trakea (sesak napas) Biasanya tidak disertai rasa nyeri kecuali bila timbul perdarahan di dalam nodul Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada hipotiroidisme atau hipertiroidisme. 2. Struma Toxic Diffusa Yang termasuk dalam struma toxic difusa adalah grave disease, yang merupakan penyakit autoimun. Graves disease adalah bentuk umum dari tirotoksikosis. Penyakit Graves terjadi akibat antibodi reseptor TSH (Thyroid Stimulating Hormone) yang merangsangsang aktivitas tiroid itu sendiri. Penyakit Grave merupakan penyebab tersering hipertiroidisme adalah suatu penyakit otonium yang biasanya ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid. Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus, oftamopati Etiologi Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15% penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur. Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahunsampai40tahun. Dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :
-

(eksoftalmus/mata

menonjol)

dan

kadang-kadang

dengan

dermopati

Bentuk kista : struma kistik: mengenai 1 lobus, bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan, kadang multilobaris, fluktuasi (+) Bentuk Noduler : struma nodusa, batas jelas, konsistensi kenyal sampai keras, bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea Bentuk diffusa : struma diffusa, batas tidak jelas, Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek 20

Bentuk vaskuler : struma vaskulosa, tampak pembuluh darah, berdenyut, Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa, kelejar getah bening: para trakheal dan jugular vein

Dari faalnya struma dibedakan menjadi : Eutiroid, Hipotiroid, Hipertiroid Berdasarkan istilah klinis dibedakan menjadi : Nontoksik : eutiroid/hipotiroid, Toksik: Hipertiroid Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid:
-

Sangat mencurigakan: riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare, cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin, nodul padat atau keras, sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar, paralisis pita suara, metastasis jauh(paru-paru),limfadenopati servikal

Kecurigaan sedang: umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun, pria, riwayat iradiasi pada leher dan kepala,nodul >4cm atau sebagian kistik,keluhan penekanan termasuk disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk.

Nodul jinak :riwayat keluarga: nodul jinak,struma difusa atau multinodosa, besarnya tetap FNAB: jinak,kista simpleks,nodul hangat atau panas,mengecil dengan terapi supresi levotiroksin.

Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak anak atau dewasa ( juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak )

Pada hipertiroidisme, apapun penyebabnya, terjadi peningkatan fungsi tubuh, tanda dan gejalagejalanya : keringat berlebihan, ketidaktoleranan panas, kulit hangat dan basah, rambut rontok (alopecia), pergerakan-pergerakan usus besar yang meningkat, gemetaran /tremor, kegelisahan, agitasi, denyut jantung yang cepat, kadang sesak setelah beraktivitas, kehilangan berat badan namun nafsu makan meningkat, kelelahan, konsentrasi yang berkurang, sulit tidur, hiperaktivitas, perubahan pada mata : bengkak di sekitar mata, bertambahnya pembentukan air mata, iritasi dan peka terhadap cahaya, pandangan kabur, double. Gejala ini akan segera menghilang setelah pelepasan hormon tiroid terkendali, kecuali pada penyakit Graves yang menyebabkan gangguan mata khusus, Bruit(+) Gejala dan tanda-tandanya Penyebab berat badan menurun disertai Manifestasi

hipermetabolisme

(basal

metabolisme

rate 21

dengan meningkat,

nafsu

makan meningkat) dan akibat aktivitas simpatis berlebihan takikardi,

kelemahan serta atrofi otot. Jantung berdetak lebih cepat, Metabolisme yang cepat membutuhkan lebih banyak oksigen berdebar-debar sehingga jantung memompa lebih banyak dan cepat Banyak keluar keringat, kulit Hormon tiroid berfungsi untuk meningkatkan metabolisme. lembab(hangat dan basah) Metabolisme yang cepat menghasilkan banyak panas Lebih suka hawa dingin, tidak Keringat yang banyak keluar tahan panas Tremor halus ( gemetar ) Lemas, cepat merasa lelah Pengaruh terhadap saraf simpatis pembakaran kalori yang lebih cepat daripada kecepatan normal, katabolisme Eksophthalmus protein berlebih

pembengkakan otot-otot ekstraokulus dan pada jaringan retroorbital. Hal ini mendorong mata ke depan. Pembengkakan disebabkan oleh infiltrasi limfositik pada jaringan orbital

disertai cairan edema dan mukopolisakarida. oftalmopati dan infiltrasi kulit Manifestasi ekstratiroid lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.

Gejala dan Tanda Penyakit Graves Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. 22

Gambaran klinik klasik dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan eksoftalmus. Perubahan pada mata (oftalmopati Graves) , menurut the American Thyroid Association diklasifikasikan Kelas Uraian 0 1 2 3 4 5 6 Tidak ada gejala dan tanda Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction, stare, lid lag) Perbahan jaringan lunak orbita Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphtalmometer) Keterlibatan otot-otot ekstraokular Perubahan pada kornea (keratitis) Kebutaan (kerusakan nervus opticus) sebagai berikut (dikenal dengan singkatan NOSPECS) :

Tiroiditis de Quervain:. kelainan ini ditemukan sebagai pembengkakan yang nyeri pada leher bagian anterior, dan berlangsung selama1 atau 2 bulan dan kemudian menghilang spontan tanpa gejala sisa. Kelenjar tiroid membesar secara simetris dan kadang-kadang terasa nyeri. Kelenjar tiroid menjadi lunak Nyeri bisa berpindah dari satu sisi ke sisi lainnya, menyebar ke rahang dan telinga dan terasa lebih nyeri jika penderita menggerakkan kepalanya atau jika penderita menelan Kulit diatasnya sering tampak kemerahan dan terasa hangat Tiroiditis Hashimoto: Tidak menimbulkan nyeri atau rasa penuh di leher. Jika diraba, kelenjar terasa membesar, teksturnya seperti karet tetapi tidak lembut; kadang terasa berbenjol-benjol. 20% penderita memililki kelenjar tiroid yang kurang aktif, sisanya memiliki kelenjar yang berfungsi normal. Banyak penderita yang juga memiliki kelainan endokrin lainnya seperti diabetes (kencing manis) Supuratif akut : bacterial :Kelainan yang tejadi dapat disertai abses atau tanpa abses. Gejala klinis berupa nyeri di leher mendadak, malaise, demam, menggigil, dan takikardi. Nyeri bertambah pada pergerakan leher dan gerakan menelan. Daerah tiroid membengkak dengan tanda-tanda radang lain dan sangat nyeri tekan.

Index New castle dan index Wayne 23

INDEX WAYNE Gjl Subjektif Dyspnoe deffort Palpitasi Capai/lelah Suka panas Suka dingin Keringat banyak Nervous Tangan basah Tangan panas Nafsu makan Nafsu makan BB BB Fibrilasi atrium Angka +1 +2 +2 -5 +5 +3 +2 +1 -1 +3 -3 -3 +3 +4 Gjl objektif Tiroid teraba Bruit di Ada +3 Tidak -3 -2 -2 -2 -3

atas +2 +2 +2 +1 +4 +2 +3

systole Eksoftalmus Lid retraction Lid lag Hiperkinesis Tangan panas Nadi 80x/mnt 80-90x/mnt >90x/mnt

INDEX NEW CASTLE KLINIS Umur mulai timbul gejala 15-24 thn 25-34 thn 35-44 thn 45-54 thn >55 thn Psychological precipitant Frequent checking Severe antiopathy anxietas Nafsu makan naik Tiroid teraba Bruit Eksoftalamus Lid retraction Hiperkinesis Tremor halus Nadi > 90 80-90 <80 SKOR 0 4 8 12 16 -5 -3 -5 +5 +3 +18 +19 +9 +4 +4 +16 +8 0 24

-Indeks New Castle Interprestasinya : -11-(+23) =eutiroid 24-39 40-80 -Index Wayne Interprestasinya : <11 = eutiroid 11-18= normal >19 = hipertiroid =ragu-ragu =hipertiroid

2.5

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk mengevaluasi nodul tiroid dapat berupa pemeriksaan laboratorium untuk penentuan status fungsi dengan memeriksa kadar TSHs dan hormon tiroid,(T3 dan T4), pemeriksaan Ultrasonografi, sidik tiroid, CT scan atau MRI, serta biopsi aspirasi jarum halus dan terapi supresi Tiroksin untuk diagnostik. Autoantibodi tiroid , TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto , namun TSH-R Ab (stim) lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas. Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan (scan dan USG tiroid) untuk menegakkan diagnosis penyakit Graves jarang diperlukan, kecuali scan tiroid pada tes supresi tiroksin Pemeriksaan sidik tiroid. Pemeriksaan tersebut dapat memberikan gambaran morfologi fugsional, berarti hasil pencitraan merupakan refleksi dari fungsi jaringan tiroid. Bahan radioaktif yang digunakan I-131 dan Tc-99m.Pada sidik tiroid 80-85% nodul tiroid memberikan hasil dingin (cold), sedangkan 10-15% mempunyai risiko ganas. Nodul panas (hot) dijumpai sekitar 5% dengan risiko ganas paling rendah, sedang nodul hangat (warm) 10-15% dari seluruh nodul dengan risiko ganas kurang dari 10%.

25

Pemeriksaan CT scan dan MRI. Pemeriksaan CT scan (Computed Tomographic scanning) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) tidak direkomendasikan untuk evaluasi keganasan tiroid. Karena disamping tidak memberikan keterangan berarti untuk diagnosis, juga sangat mahal. CT scan atau MRI baru diperlukan bila ingin mengetahui adanya perluasan struma substernal atau terdapat kompresi/penekanan pada jalan nafas. Pemeriksaan Biopsi Aspirasi Jarum Halus. Pemeriksaan ini dianggap sebagai metode yang efektif untuk membedakan nodul jinak atau ganas pada nodul tiroid yang soliter maupun pada yang multinoduler. Termografi: Pemeriksaan ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan.

26

BAB III KARSINOMA TIROID

3.1.Definisi Karsinoma tiroid adalah suatu keganasan (pertumbuhan tidak terkontrol dari sel) yang terjadi pada kelenjar tiroid

Gambar 1. Nodul Pada glandula tiroid 27

3.2.Epidemiologi Karsinoma tiroid agak jarang di dapat, yaitu sekitar 3-5 % dari semua tumor maligna. Insiden karsinoma tiroid diperkirakan berkisar antara 36-60 kasus per satu juta populasi per tahun. Di Amerika Serikat, insiden karsinoma tiroid adalah 4 per 100.000 populasi atau sekitar 0,004% per tahun. Insiden lebih tinggi di negara dengan struma endemik, terutama jenis tidak berdiferensiasi. Karsinoma tiroid didapat pada semua usia dengan puncaknya pada usia muda (7-20 tahun) dan usia setengah baya (40-60tahun). Karsionoma jarang ditemukan pada anak-anak dan insiden meningkang sejalan dengan peningkatan usia. Rasio perbandingan insiden antara wanita dan pria dilaporkan 2,5 : 1

2.3.Etiologi Radiasi merupakan merupakan salah satu faktor resiko yang bermakna. Kurang lebih 25% orang yang mengalami radiasi pada usia muda kemudian timbul struma nodosa dan kurang lebih 25% dari struma ini akan menjadi adenokarsinoma tiroid. Bila radiasi tersebut terjadi pada usia lebih dari 20 korelasinya kurang bermakna. Masa laten mungkin lama sekali, sampai puluhan tahun seperti terlihat pada penduduk hiroshima dan penderita lain yang mengalami radiasi pada lehernya dalam bentuk apappun. Stimulasi TSH yang lama merupakan salah satu faktor etiologi karsinoma tiroid. Pemberian diet tanpa garam Jodium pada binatang percobaan, pemberian zat radioaktif atau sub total tiroidektomi berakibat stimulasi STH meninngkat dan dalam jangka waktu yang lama dapat terjadi karsinoma tiroid (SOEKIMIN). Faktor lain yang dijuga dilaporkan berhubungan dengan terdinya karsinoma tiroid adalah jenis kelamin dan kelainan benigna pada tiroid

2.4.Faktor resiko Faktor resiko adanya malignansi pada nodul tiroid : 1. Umur <20 tahun, dan > 50 tahun 2. Jenis kelamin laki-laki 3. Pemberian radioterapi sebelumnya pada daerah leher 28

4. Family MEN II (Multiple Endocrine Neoplasma tipe II) 2.5.Macam-macam neoplasma tiroid 1. Benigna Penampilan sebagai nodul soliter dari tiroid dengan sisa jaringan palpable. Teoritis ada adenoma papiler tetapi kebanyakan adenoma folikular. Sangat sukar dibedakan dengan karsinoma. Oleh karena itu, tindakan selalu pembedahan karena berdasar morfologi sendiri adenoma selalu tidak dapat dibedakan dengan karsinoma, diagnosis hanya dikonfirmasikan histologi yang dapat menunjukkan invasi ke kapsula atau ke pembuluh darah. 2. Maligna Rosai J. membedakan tumor tiroid atas adenoma folikular, karsinoma papillare, karsinoma folikular, hurtle cell tumors, clear cell tumors, tumor sel skuamous, tumor musinus, karsinoma medulare, dan karsinoma anaplastik. Karsinoma tiroid sering hormone-dependent. Misalnya pada TSH dimana mengatur sekresi normal dari tiroid. Hormone-dependent maksimal pada Ca papiller dan praktis nol pada tipe anaplastik dan folikuler bervariasi responnya. 2.6.Klasifikasi karsinoma tiroid 1. Klasifikasi karsinoma tiroid menurut WHO : a. Tumor epitel maligna Karsinoma folikulare Karsinoma papilare Campuran karsinoma folikulare papilare Karsinoma anaplastik (undifferentiated) Karsinoma sel skuamosa Karsinoma tiroid medulare b. Tumor non-epitel maligna Fibrosarkoma Lain-lain c. Tumor maligna lainnya Sarcoma Limfoma maligna 29

Hemangiotelioma maligna Teratoma maligna d. Tumor sekunder dan unclassified tumor 2. Klasifikasi karsinoma tiroid berdasarkan histopatologi mayor, antara lain : a. Karsinoma papiler Karsinoma ini merupakan jenis karsinoma yang banyak diderita pada umur muda. Sebanyak 1/3 penderita umumnya menunjukkan metastase intraglanduler lymphatic (yang sebelumnya dianggap multisentrik). Metastasis yang paling sering terutama ke limfonodi servikal, namun karsinoma ini relatif tidak terlalu ganas. Secara histologis, terciri atas struktur papiler yang sangat bercabang dilapisi selsel yang tersusun tidak teratur dengan inti yang umumnya jernih opaque. Benda-benda psamoma (konkremen kapur dengan susunan berlapis konsentris) sering didapatkan. Di samping daerah papiler, sering terdapat campuran dengan bagian folikuler. b. Karsinoma folikuler Karsinoma folikuler biasanya terjadi pada penderita yang lebih tua. Karsinoma ini bersifat lebih ganas dibandingkan tipe papiler. Selain itu, karsinoma ini sering merupakan komplikasi dari adenoma benigna soliter ataupun struma multinoduler. Metastasis jauh sering ditemukan terutama secara hematogen ke dalam otot dan paru. Secara histologi, sering menyerupai jaringan kelenjar tiroid normal. sel berukuran medium dan teratur dalam berkas atau trabekula dengan daerah folikuler yang teratur. Oleh karena secara mikroskopik terlihat sel teratur dalam bentuk aciner (sel kolumner rendah atau kuboid), terkadang digambarkan seperti halnya karsinoma alveolar. Bentuk khusus karsinoma folikular adalah karsinoma sel hurtle, terdiri dari sel-sel eosinofil, granular halus yang mengandung banyak mitokondria. c. Karsinoma anaplastik Karsinoma jenis ini merupakan tumor yang tidak menunjukkan diferensiasi ke arah folikuler ataupun papiler dan terdiri dari rangkaian sel-sel solid yang tidak mempunyai aspek khas untuk karsinoma meduler. Biasanya diderita pada usia lanjut. Penyebaran biasanya secara limfogen ataupun hematogen pada stadium awal. Secara histologi, terdapat 2 tipe sel yaitu tipe small cell dan giant cell. Kedua tipe menunjukkan gambaran pleomorphi tetapi tipe giant cell lebih ganas. 30

d. Karsinoma meduler Karsinoma ini berasal dari sel parafolikuler C (derivat dari corpus ultimobranchial) dan beberapa ragu-ragu bahwa ini berasal dari jaringan tiroid. Ada 2 tipe, yaitu familial dan sporadis. Tipe familial sering melibatkan dua lobus dan dapat berasal multifocal sebagai sel parafolikular pada jaringan interstisial dari kelenjar tiroid. Metastasis dengan limfonodi dalam persentase yang tinggi penderita dan prognosis buruk. Tipe sporadis biasanya unilobar dan kurang malignant. Histologi menunjukkan karakter undifferentiated terdiri dari berkas-berkas gel bulat dan dapat menyerupai tumor karsinoid. Karakteristik adanya amiloid baik mikroskopik maupun makroskopik. Tumor juga menyebabkan kelainan biokimia karena kenaikan sekresi dari : Kalsitonin (hipokalsemia, osteoporosis, pembesaran paratiroid, dan sakit tulang) 5-hidroksitriptamine seperti pada karsinoid (dengan manifestasi diare) ACTH (nampak cushingoid) e. Karsinoma epidermoid Karsinoma ini merupakan kanker sekunder berasal dari luar, biasanya dari perluasan sekunder kanker esofagus atau faring. Dalam klinik terkadang ditemukan adenoma maligna (perubahan menjadi ganas dalam adenoma. Karsinoma yang terjadi awalnya dapat berupa struma nodular soliter. Bisa berupa occult (tersembunyi) bila yang primer tidak palpabel tetapi pasien biasanya menampilkan metastasis pada limfonodi di dekatnya (thyroid aberrant lateral). Klasifikasi TNM Karsinoma Tiroid T Tumor primer Tx Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tidak didapatkan tumor primer T1 Tumor ? 1 cm, terbatas di tiroid T2 Tumor > 1cm tapi tidak lebih dari 4 cm, masih terbatas di tiroid T3 Tumor > 4cm, terbatas di tiroid atau tumor ukuran berapapun dengan ekstensi ekstra T4a tiroid yang minimal (misal ke m. sternocleidomastoideus atau kelenjar paratiroid Tumor telah berekstensi keluar kapsul tiroid dan menginvasi daerah berikut : jaringan

subkutis, laring, trakea, esophagus, n. laryngeus reccurens T4b Tumor menginvasi fascia prevertebralis, pembuluh mediastinal atau arteri karotis T4a* Tumor ukuran berapapun yang masih terbatas pada tiroid 31

T4b* Tumor ukuran berapapun yang berekstensi keluar kapsul tiroid *khusus pada karsinoma anaplastik N Kelenjar limfe regional Nx Kelenjar limfe tidak dapat dinilai N0 Tidak didapatkan metastase kelenjar limfe N1 Terdapat metastase kelenjar limfe N1a Metastase kelenjar limfe servikal ipsilateral N1b Metastase kelenjar limfe bilateral, midline, atau cervical kontralateral atau mediastinum M Metastase jauh Mx Metastase tidak dapat dinilai M0 Tidak ada metastase jauh M1 Terdapat metastase jauh Stadium Klinis Karsinoma Tiroid 1. Karsinoma tiroid papilare atau folikulare < 45 tahun Stadium Tumor (T) Nodul (N) Stadium I Tiap T Tiap N Stadium II Tiap T Tiap N 2. Karsinoma tiroid papilare dan folikulare umur ? 45 tahun dan medulare Stadium Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IVA Stadium IVB Stadium Tumor (T) T1 T2 T3 T1, T2, T3 T1, T2, T3 T4a T4b Tiap T Nodul (N) N0 N0 N0 N1a N1b N0, N1 Tiap N Tiap N Metastasis jauh (M) M0 M1 Metastasis jauh (M) M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

IVC 3. Karsinoma anaplastik / undifferentiated (semua kasus pada stadium IV) Stadium Stadium IVA Stadium IVB Stadium Tumor (T) T4a T4b Tiap T Nodul (N) Tiap N Tiap N Tiap N Metastasis jauh (M) M0 M0 M1 32

IVC 2.7.Diagnosis Prosedur diagnostik dari karsinoma tiroid adalah : 1. Anamnesis a. Pengaruh usia dan jenis kelamin Apabila nodul tiroid terjadi pada usia dibawah 20 tahun atau diatas 50 tahun dan jenis kelamin laki-laki mempunyai resiko malignansi lebih tinggi b. Pengaruh radiasi di daerah leher dan kepala Radiasi pada masa anak-anak dapat menyebabkan malignansi pada tiroid 33-37 % c. Kecepatan tumbuh tumor Nodul jinak membesar dalam waktu yang tidak terlalu cepat Nodul ganas membesar dalam waktu yang cepat Nodul anaplastik membesar dengan sangat cepat Kista dapat membesar dengan cepat d. Riwayat gangguan mekanik di daerah leher Keluhan gangguan menelan, perasaan sesak, perubahan suara dan nyeri dapat terjadi akibat desakan dan/atau infiltrasi tumor. e. Riwayat penyakit serupa pada keluarga 2. Pemeriksaan Fisik a. Pada tumor primer dapat berupa suatu nodul soliter atau multipel dengan konsistensi yang bervariasi dari kistik sampai dengan keras bergantung kepada jenis patologi anatominya. b. Perlu diketahui ada atau tidaknya pembesaran kelenjar getah bening regional. c. Perlu dicari ada tidaknya benjolan pada kalvaria, tulang belakang, klavikula, sternum, dll, serta tempat metastasis jauh lainnya yaitu paru-paru, hati dan otak. 3. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan laboratorium Human Thyroglobulin ; suatu tumor marker untuk keganasan tiroid ; jenis yang berdiferensiasi baik, terutama untuk follow up. Pemeriksaan kadar FT4 dan TSHS untuk menilai fungsi tiroid Kadar kalsitonin hanya untuk pasien yang dicurigai karsinoma meduler. 33

b. Pemeriksaan radiologis Dilakukan pemeriksaan foto paru posterior anterior, untuk menilai ada tidaknya metastasis, foto polos leher antero-posterior dan lateral dengan metode soft tissue technique dengan posisi leher hiper ekstensi, bila tumor besar. Untuk melihat ada atau tidaknya mikrokalsifikasi. Esofagogram dilakukan bila secara klinis terdapat tanda-tanda adanya infiltrasi ke esophagus Pembuatan foro tulang dilakukan bila ada tanda-tanda metastasis ke tulang yang bersangkutan c. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) Diperlukan untuk mendeteksi nodul yang kecil atau nodul posterior yang secara klinis belum dapat dipalpasi. Disamping itu dapat dipakai untuk membedakan nodul yang padat dan kistik serta dapat dimanfaatkan untuk penuntun dalam tidakan biopsi. d. Pemeriksaan sidik tiroid Bila nodul menangkap lebih sedikit dari jaringan tiroid yang normal disebut nodul dingin (cold nodule), bila sama afinitasnya maka disebut nodul hangat (warm nodule) dan bila afinitasnya lebih maka disebut nodul panas (Hot nodule). Karsinoma tiroid sebagai besar adalah nodul dingin. Sekitar 10-17% struma dengan nodul dingin ternyata adalah suatu keganasan. Bila akan dilakukan pemeriksaan sidik tiroid, maka obat-obatan yang mengganggu penangkapan iodium oleh tiroid harus dihentikan selama 2-4 minggu sebelumnya. e. Pemeriksaan sitologi BAJAH. Keberhasilan dan ketepatan hasil BAJAH tergantung atas 2 hal yaitu faktor kemampuan pengambilan sampel dan faktor ketepatan interpretasi oleh seorang sitolog sehingga angka akurasinya sangat bervariasi. Ketepatan pemeriksaan ini pada karsinoma tiroid anaplastik, medulare dan papilare hampir mendekati 100%, tetapi jenis folikulare hampir tidak dapat dipakai karena gambaran sitologi untuk adenomatosus goiter, adenoma folikulare dan adeno karsinoma folikuler adalah sama, tergantung dari gambaran invasinya ke kapsul dan vaskular yang hanya dapat dilihat dari gambaran histopatologi. f. Pemeriksaan histopatologi

34

Merupakan pemeriksaan diagnostik utama jaringan diperiksa, setelah dilakukan tindakan lobektomi atau isthmolobektomi Untuk kasus inoperabel, jaringan yang diperiksa diambil dari tindakan biosi insisi.

2.8.Penatalaksanaan Penatalaksanaan karsinoma thyroid tergantung pada jenis, penyebaran sel kanker, ketersedian alat, dan ketersedian sumber daya manusia yang mengerjakanya. Pada penderita karsinoma thyroid dilakukan tindakan pembedahan yang bisa dikuti dengan radioterapi tergantung jenis histopatologis dan stadiumnya. Pemeriksaan klinis penting untuk menentukan apakah nodul tiroid tersebut suspek maligna atau suspek benigna. Bila nodul tersebut suspek maligna dibedakan atas apakah kasus tersebut operabel atau inoperabel. Bila kasus yang dihadapi inoperabel maka dilakukan tindakan biopsi insisi dengan pemeriksaan histopatologi secara blok parafin. Dilanjutkan dengan tindakan debulking dan radiasi eksterna atau kemoradioterapi.

35

Gambar 1. bagan penatalaksanaan neoplasma tiroid Bila nodul tiroid suspek maligna tersebut operabel dilakukan tindakan isthmolobektomi dan pemeriksaan potong beku (VC). Ada 5 kemungkinan hasil yang didapat : 1. Lesi jinak maka tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi 2. Karsinoma papilare. Dibedakan atas risiko tinggi dan risiko rendah berdasarkan klasifikasi AMES. Bila risiko rendah tindakan operasi selesai dilanjutkan dengan observasi. Bila risiko tinggi dilakukan tindakan tiroidektomi total. 3. Karsinoma Folikulare dilakukan tindakan tiroidektomi total 4. Karsinoma Medulare dilakukan tindakan tiroidektomi total 5. Karsinoma Anaplastik

36

Bila memungkinkan dilakukan tindakan tiroidektomi total. Bila tidak memungkinkan, cukup dilakukan tindakan debulking dilanjutkan dengan radiasi eksterna atau khemoradioterapi. Bila nodul tiroid secara klinis suspek benigna dilakukan tindakan FNAB/BAJAH (Biospi Aspirasi Jarum Halus). Ada 2 kelompok hasil yang mungkin didapat yaitu : 1. Hasil FNAB suspek maligna, foliculare Pattern dan Hurthle Cell. Dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti diatas. 2. Hasil FNAB benigna Dilakukan terapi supresi TSH dengan tablet Thyrax selama 6 bulan kemudian dievaluasi, bila nodul tersebut mengecil diikuti dengan tindakan observasi dan apabila nodul tersebut tidak ada perubahan atau bertambah besar.sebaiknya.dilakukan tindakan isthmolobektomi dengan pemeriksaan potong beku seperti diatas.

37

Daftar Pustaka 1. Ganong, William. Kelenjar Thyroid, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, edisi kedua puluh. Jakarta, McGraw-Hill & EGC. 2003. 2. Guyton, Arthur C. Hormon Thyroid, Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, edisi ketiga. Jakarta, EGC. 1995. 3. Geneser, Finn. Kelenjar Thyroid, Buku Teks Histologi, jilid 2, edisi pertama. Jakarta, Binarupa Aksara.1994. 4. Sadler, T. W. Glandula Thyroidea, Embriologi Kedokteran Langman, edisi ketujuh. Jakarta, EGC. 2000. 5. Sabiston, David C. Glandula Thyroidea, Buku Ajar Ilmu Bedah, jilid 1. Jakarta, EGC. 1995. 6. Sloane, Ethel. Kelenjar Thyroid, Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula, edisi pertama. Jakarta, EGC.2004. 7. Guibson, John. Kelenjar Thyroid, Fisiologi & Anatomi untuk Perawat, edisi kedua. Jakarta, EGC. 2003. 8. Moore, Keith L. and Anne M. R. Agur. Glandula Thyroidea, Anatomi Klinis Dasar. Jakarta, Hipokrates. 2002. 9. Putz, R. and R. Pabst. Neck, Sobotta, Atlas of Human Anatomy, part 1, 12th edition. Los Angeles, Williams & Wilkins. 1999. 10. Kierszenbaum, Abraham L. Endocrine System, Histology and Cell Biology, an Introduction to Pathology, 1st edition. Philadelphia, Mosby, Inc. 2002. 11. Junqueira, L. Carlos, et al. Tiroid, Histologi Dasar, edisi kedelapan. Jakarta, EGC. 1998.

38

12. Price, Sylvia Anderson, et. al. Gangguan Kelenjar Thyroid, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, edisi keenam. Jakarta, EGC. 2006. 13. Syaifuddin. Kelenjar Thyroid. Struktur dan Komponen Tubuh Manusia, edisi pertama. Jakarta, Widya Medika. 2002. 14. Schwartz, Seymour I., et. al. Tiroid dan Paratiroid, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, edisi keenam. Jakarta, EGC. 2000.

39

You might also like