You are on page 1of 6

TES FUNGSI PENDENGARAN 1. Tes sederhana/klasik : tes arloji, tes berbisik, tes garpu tala 2.

Pemeriksaan pendengaran subjektif : audiometri dan timpanometri 3. Pemeriksaan pendengaran objektif : BERA A. Tes sederhana/klasik : tes arloji, tes berbisik, tes garpu tala 1. Tes Berbisik Caranya ialah dengan membisikkan kata-kata yang dikenal penderita dimana kata-kata itu mengandung huruf lunak danhuruf desis. Lalu diukur berapa meter jarak penderita dengan pembisiknya sewaktu penderita dapat mengulangi kata-kata yangdibisikan dengan benar.Pada orang normal dapat mendengar80% dari kata-kata yang dibisikkan pada jarak 6 s/d 10meter.Apabila kurang dari 5 6 meter berarti ada kekurang pendengaran. Apabila penderita tak dapat mendengarkan kata-kata dengan huruf lunak, berarti tuli konduksi. Sebaliknya bilatak dapat mendengar kata-kata dengan huruf desis berarti tuli persepsi.Apabila dengan suara bisik sudah tidak dapat mendengar ditesdengan suara konversasi atau percakapan biasa. Orang normaldapat mendengar suara konversasi pada jarak 200 meter Penilaian (menurut Feldmann) : Normal : 6-8 m Tuli ringan : 4 - <6m Tuli sedang : 1 - <4 m Tuli berat : 25 cm - <1 m Tuli Total : <25 cm 1. Test Rinne Tujuan melakukan tes Rinne adalah untuk membandingkan atara hantaran tulang dengan hantaran udara pada satu telinga pasien. Ada 2 macam tes rinne , yaitu : a) Garputal 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya tegak lurus pada planum mastoid pasien (belakang meatus akustikus eksternus). Setelah pasien tidak mendengar bunyinya, segera garpu tala kita pindahkan didepan meatus akustikus eksternus pasien. Tes Rinne positif jika pasien masih dapat mendengarnya. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien tidak dapat mendengarnya b) Garpu tala 512 Hz kita bunyikan secara lunak lalu menempatkan tangkainya secara tegak lurus pada planum mastoid pasien. Segera pindahkan garputala didepan meatus akustikus eksternus. Kita menanyakan kepada pasien apakah bunyi garputala didepan meatus akustikus eksternus lebih keras dari pada dibelakang meatus skustikus eksternus (planum mastoid). Tes rinne positif jika pasien mendengar didepan maetus akustikus eksternus lebih keras. Sebaliknya tes rinne negatif jika pasien mendengar didepan meatus akustikus eksternus lebih lemah atau lebih keras dibelakang.

Ada 3 interpretasi dari hasil tes rinne : 1. Normal : tes rinne positif 2. Tuli konduksi: tes rine negatif (getaran dapat didengar melalui tulang lebih lama) 3. Tuli persepsi, terdapat 3 kemungkinan : a) Bila pada posisi II penderita masih mendengar bunyi getaran garpu tala. b) Jika posisi II penderita ragu-ragu mendengar atau tidak (tes rinne: +/-) c) Pseudo negatif: terjadi pada penderita telinga kanan tuli persepsi pada posisi I yang mendengar justru telinga kiri yang normal sehingga mula-mula timbul. Kesalahan pemeriksaan pada tes rinne dapat terjadi baik berasal dari pemeriksa maupun pasien. Kesalah dari pemeriksa misalnya meletakkan garputala tidak tegak lurus, tangkai garputala mengenai rambut pasien dan kaki garputala mengenai aurikulum pasien. Juga bisa karena jaringan lemak planum mastoid pasien tebal. Kesalahan dari pasien misalnya pasien lambat memberikan isyarat bahwa ia sudah tidak mendengar bunyi garputala saat kita menempatkan garputala di planum mastoid pasien. Akibatnya getaran kedua kaki garputala sudah berhenti saat kita memindahkan garputala kedepan meatus akustukus eksternus. 2. Test Weber Tujuan kita melakukan tes weber adalah untuk membandingkan hantaran tulang antara kedua telinga pasien. Cara kita melakukan tes weber yaitu: membunyikan garputala512 Hz lalu tangkainya kita letakkan tegak lurus pada garis horizontal. Menurut pasien, telinga mana yang mendengar atau mendengar lebih keras. Jika telinga pasien mendengar atau mendengar lebih keras 1 telinga maka terjadi lateralisasi ke sisi telinga tersebut. Jika kedua pasien samasama tidak mendengar atau sam-sama mendengaar maka berarti tidak ada lateralisasi. Getaran melalui tulang akan dialirkan ke segala arah oleh tengkorak, sehingga akan terdengar diseluruh bagian kepala. Pada keadaan ptologis pada MAE atau cavum timpani missal:otitis media purulenta pada telinga kanan. Juga adanya cairan atau pus di dalam cavum timpani ini akan bergetar, biala ada bunyi segala getaran akan didengarkan di sebelah kanan. Interpretasi: a. Bila pendengar mendengar lebih keras pada sisi di sebelah kanan disebut lateralisai ke kanan, disebut normal bila antara sisi kanan dan kiri sama kerasnya. b. Pada lateralisai ke kanan terdapat kemungkinannya: 1. Tuli konduksi sebelah kanan, missal adanya ototis media disebelah kanan. 2. Tuli konduksi pada kedua telinga, tetapi gangguannya pada telinga kanan ebih hebat. 3. Tuli persepsi sebelah kiri sebab hantaran ke sebelah kiri terganggu, maka di dengar sebelah kanan. 4. Tuli persepsi pada kedua teling, tetapi sebelah kiri lebih hebaaaat dari pada sebelah kanan. 5. Tuli persepsi telinga dan tuli konduksi sebelah kana jarang terdapat.

3. Test Swabach Tujuan : Membandingkan daya transport melalui tulang mastoid antara pemeriksa (normal) dengan probandus. Dasar : Gelombang-gelombang dalam endolymphe dapat ditimbulkan oleh : Getaran yang datang melalui udara. Getaran yang datang melalui tengkorak, khususnya osteo temporale Cara Kerja : Penguji meletakkan pangkal garputala yang sudah digetarkan pada puncak kepala probandus. Probandus akan mendengar suara garputala itu makin lama makin melemah dan akhirnya tidak mendengar suara garputala lagi. Pada saat garputala tidak mendengar suara garputala, maka penguji akan segera memindahkan garputala itu, ke puncak kepala orang yang diketahui normal ketajaman pendengarannya (pembanding). Bagi pembanding dua kemungkinan dapat terjadi : akan mendengar suara, atau tidak mendengar suara. Interpretasinya : Bila terdengar lebih keras ke salah satu telinga : lateralisasi ke telinga tersebut Bila tdk dapat dibedakan ke arah mana yg lebih keras : tidak ada lateralisasi Normal : tdk ada lateralisasi Tuli konduktif : lateralisasi ke telinga yang sakit Tuli sensorineural : lateralisasi ke telinga yang sehat 4. Tes Bing ( Tes Oklusi) Cara pemeriksaan : Tragus telinga yang diperiksa ditekan (ditutup) sehingga terdapat tuli konduktif kira2 30 Db. Penala digetarkan, diletakkan di tengah kepala seperti pada tes weber Interpretasi: Lateralisasi ke telinga yang ditutup telinga normal atau tuli saraf Tidak ada lateralisasi ke telinga yang ditutup (yang diperiksa) telinga tersebut tuli konduktif B. Pemeriksaan pendengaran subjektif : audiometri dan timpanometri 1. Pemeriksaan audiometri Ketajaman pendengaran sering diukur dengan suatu audiometri. Alat ini menghasilkan nadanada murni dengan frekuensi melalui aerphon. Pada sestiap frekuensi ditentukan intensitas ambang dan diplotkan pada sebuah grafik sebagai prsentasi dari pendengaran normal. Hal ini menghasilkan pengukuran obyektif derajat ketulian dan gambaran mengenai rentang nada yang paling terpengaruh. a. Definisi Audiometri berasal dari kata audir dan metrios yang berarti mendengar dan mengukur (uji pendengaran). Audiometri tidak saja dipergunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran, tetapi juga dapat dipergunakan untuk menentukan lokalisasi kerusakan anatomis yang menimbulkan gangguan pendengaran. Audiometri adalah subuah alat yang digunakan untuk mengtahui level pendengaran seseorang. Dengan bantuan sebuah alat yang disebut dengan audiometri, maka derajat

ketajaman pendengaran seseorang da[at dinilai. Tes audiometri diperlukan bagi seseorang yang merasa memiliki gangguan pendengeran atau seseorang yag akan bekerja pada suatu bidang yang memerlukan ketajaman pendngaran. Pemeriksaan audiometri memerlukan audiometri ruang kedap suara, audiologis dan pasien yang kooperatif. Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah : 1) Audiometri nada murni Suatu sisitem uji pendengaran dengan menggunakan alat listrik yang dapat menghasilkan bunyi nada-nada murni dari berbagai frekuensi 250-500, 1000-2000, 4000-8000 dan dapat diatur intensitasnya dalam satuan (dB). Bunyi yang dihasilkan disalurkan melalui telepon kepala dan vibrator tulang ketelinga orang yang diperiksa pendengarannya. Masing-masing untuk menukur ketajaman pendengaran melalui hntaran udara dan hantran tulang pada tingkat intensitas nilai ambang, sehingga akan didapatkankurva hantaran tulang dan hantaran udara. Dengan membaca audiogram ini kita dapat mengtahui jenis dan derajat kurang pendengaran seseorang. Gambaran audiogram rata-rata sejumlah orang yang berpendengaran normal dan berusia sekitar 20-29 tahun merupakan nilai ambang baku pendengaran untuk nada muri. Telinga manusia normal mampu mendengar suara dengan kisaran frekwuensi 20-20.000 Hz. Frekwensi dari 500-2000 Hz yang paling penting untuk memahami percakapan sehari-hari. Tabel berikut memperlihatkan klasifikasi kehilangan pendengaran Kehilangan Klasifikasi dalam Desibel 0-15 Pendengaran normal >15-25 Kehilangan pendengaran kecil >25-40 Kehilangan pendengaran ringan >40-55 Kehilangan pendengaran sedang >55-70 Kehilangan pendenngaran sedang sampai berat >70-90 Kehilangan pendengaran berat >90 Kehilangan pendengaran berat sekali Pemeriksaan ini menghasilkan grafik nilai ambang pendengaran psien pada stimulus nada murni. Nilai ambang diukur dengan frekuensi yang berbeda-beda. Secara kasar bahwa pendengaran yang normal grafik berada diatas. Grafiknya terdiri dari skala decibel, suara dipresentasikan dengan aerphon (air kondution) dan skala skull vibrator (bone conduction). Bila terjadi air bone gap maka mengindikasikan adanya CHL. Turunnya nilai ambang pendengaran oleh bone conduction menggambarkan SNHL. 2) Audiometri tutur Audiometri tutur adalah system uji pendengaran yang menggunakan kata-kata terpilih yang telah dibakukan, dituturkan melalui suatu alat yang telah dikaliberasi, untuk mrngukur beberapa aspek kemampuan pendengaran. Prinsip audiometri tutur hampir sama dengan audiometri nada murni, hanya disni sebagai alat uji pendengaran digunakan daftar kata terpuilih yang dituturkan pada penderita. Kata-kata tersebut dapat dituturkan langsung oleh pemeriksa melalui mikropon yang dihubungkan dengan audiometri tutur, kemudian disalurkan melalui telepon kepala ke telinga yang diperiksa pendengarannya, atau kata-kata

rekam lebih dahulu pada piringan hitam atau pita rekaman, kemudian baru diputar kembali dan disalurkan melalui audiometer tutur. Penderita diminta untuk menirukan dengan jelas setip kata yang didengar, dan apabila kata-kata yang didengar makin tidak jelas karena intensitasnya makin dilemahkan, pendengar diminta untuk mnebaknya. Pemeriksa mencatata presentase kata-kata yang ditirukan dengan benar dari tiap denah pada tiap intensitas. Hasil ini dapat digambarkan pada suatu diagram yang absisnya adalah intensitas suara kata-kata yang didengar, sedangkan ordinatnya adalah presentasi kata-kata yanag diturunkan dengan benar. Dari audiogram tutur dapat diketahui dua dimensi kemampuan pendengaran yaitu : a) Kemampuan pendengaran dalam menangkap 50% dari sejumlah kata-kata yang dituturkan pada suatu intensitas minimal dengan benar, yang lazimnya disebut persepsi tutur atau NPT, dan dinyatakan dengan satuan de-sibel (dB). b) Kemamuan maksimal perndengaran untuk mendiskriminasikan tiap satuan bunyi (fonem) dalam kata-kata yang dituturkan yang dinyatakan dengan nilai diskriminasi tutur atau NDT. Satuan pengukuran NDT itu adalah persentasi maksimal kata-kata yang ditirukan dengan benar, sedangkan intensitas suara barapa saja. Dengan demikian, berbeda dengan audiometri nada murni pada audiometri tutur intensitas pengukuran pendengaran tidak saja pada tingkat nilai ambang (NPT), tetapi juga jauh diatasnya. Audiometri tutur pada prinsipnya pasien disuruh mendengar kata-kata yang jelas artinya pada intensitas mana mulai terjadi gangguan sampai 50% tidak dapat menirukan kata-kata dengan tepat. Kriteria orang tuli : a. Ringan masih bisa mendengar pada intensitas 20-40 dB b. Sedang masih bisa mendengar pada intensitas 40-60 dB c. Berat sudah tidak dapat mendengar pada intensitas 60-80 dB d. Berat sekali tidak dapat mendengar pada intensitas >80 dB Pada dasarnya tuli mengakibatkan gangguan komunikasi, apabila seseorang masih memiliki sisa pendengaran diharapkan dengan bantuan alat bantu dengar (ABD/hearing AID) suara yang ada diamplifikasi, dikeraskan oleh ABD sehingga bisa terdengar. Prinsipnya semua tes pendengaran agar akurat hasilnya, tetap harus pada ruang kedap suara minimal sunyi. Karena kita memberikan tes paa frekuensi tertetu dengan intensitas lemah, kalau ada gangguan suara pasti akan mengganggu penilaian. Pada audiometri tutur, memng kata-kata tertentu dengan vocal dan konsonan tertentu yang dipaparkan kependrita. Intensitas pad pemerriksaan audiomatri bisa dimulai dari 20 dB bila tidak mendengar 40 dB dan seterusnya, bila mendengar intensitas bisa diturunkan 0 dB, berarti pendengaran baik. Tes sebelum dilakukan audiometri tentu saja perlu pemeriksaan telinga : apakah congok atau tidak (ada cairan dalam telinga), apakah ada kotoran telinga (serumen), apakah ada lubang gendang telinga, untuk menentukan penyabab kurang pendengaran. 3) Timpanometri Definisi : pengukuran tekanan telinga yang berhubungan dengan tuba saluran eustachius pada membran tImpani, deteksi kehilangan pendengaran, instrumen diagnostik Tujuan, mengetahui: Compliance/mobilitas membrana timpani Tekanan pada telinga tengah

Volume canalis auditorius eksterna Hasil timpanogram Klasifikasi timpanogram : tipe A (normal) type B (menunjukkan adanya cairan di belakang membrana timpani) tipe C (menunjukkan adanya disfungsi tuba eustachius) Berguna untuk diagnosis dan follow-up penyakit pada telinga tengah (aling sering : otitis media pd anak-anak) C. Pemeriksaan pendengaran objektif : BERA BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry) Bersifat objektif dan non-invasif Prinsip pemeriksaan BERA adalah menilai potensial listrik di otak setelah pemberian rangsang sensoris berupa bunyi Pemeriksaan BERA dpt dilakukan pada : bayi, anak dengan gangguan sifat dan tingkah laku, retardasi mental, cacat ganda, dan kesadaran menurun. Pada orang dewasa dapat digunakan untuk memeriksa orang yang berpura-pura tuli atau ada kecurigaan tuli saraf retrocochlea.

You might also like