You are on page 1of 22

BAB I PENDAHULUAN

Herpes Zoster merupakan penyakit yang disebabkan oleh reaktivasi infeksi virus variselazoster yang terjadi sebelumnya, yang menyebabkan munculnya ruam kulit yang terlokalisir dan sangat nyeri, biasanya disertai vesikel yang ditemukan di atas kulit eritema.1 Herpes zoster terjadi secara sporadis sepanjang tahun, prevalensinya tidak tergantung musim. Kejadian herpes zoster tidak dipengaruhi oleh prevalensi varisela dan tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa herpes zoster dapat ditularkan melalui kontak dengan orang yang sedang mengalami varisela atau herpes zoster. Insiden penyakit ini ditentukan oleh faktor yang mempengaruhi hubungan antara hospes dengan virus (virus varisela-zoster).2 Di seluruh dunia., insiden herpes zoster diperkirakan antara 2-3 kasus per 1000 penduduk tiap tahunnya. Insiden penyakit ini meningkat pada orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh atau pada orang tua, insidennya mencapai 50%.3,4 Patogenesis herpes zoster belum sepenuhnya diketahui. Selama terjadinya varisela, VZV (varicela-zoster virus) berpindah tempat dari lesi kulit dan permukaan mukosa ke ujung saraf sensoris dan didistribusikan ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dan sewaktu-waktu dapat terjadi reaktivasi virus. Herpes zoster pada umumnya terjadi pada dermatom sesuai dengan lokasi ruam varisela yang terpadat. Aktivasi virus ini diduga karena suatu kedaan tertentu yang berhubungan dengan imunosupresi.2 Komplikasi herpes zoster dapat terjadi pada 10-15% kasus, komplikasi yang terbanyak adalah neuralgia paska herpetik yaitu berupa rasa nyeri yang persisten setelah krusta terlepas. Komplikasi ini terutama dijumpai pada pasien dengan usia di atas 40 tahun. Makin tua penderita, makin tinggi kemungkinan komplikasi yang ditimbulkan.5 Secara umum pengobatan herpes zoster mempunyai 3 tujuan utama yaitu mengatasi infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster dan mencegah timbulnya neuralgia paska herpetik. Sebuah penelitian kohort retrospektif menemukan penurunan kejadian herpes zoster pada seseorang dengan usia 60 tahun atau lebih yang mendapatkan vaksinasi herpes zoster. Sebuah penelitian lain mengungkapkan bahwa imunisasi terhadap virus varisela zoster dapat mengurangi frekuensi dan tingkat keparahan penyakit herpes zoster serta komplikasinya terutama neuralgia post herpetik.7

Pentingnya pemahaman terhadap herpes zoster, sehingga dapat mencegah komplikasi terutama neuralgia paska herpetik dan memberikan penanganan yang tepat terhadap komplikasi yang ditimbulkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten di ganglia sensoris.2,8 2.2 Epidemiologi

Di dunia, insiden herpes zoster tidak banyak diteliti, diperkirakan 2-3 kasus tiap 1000 penduduk tiap tahun (rata-rata 750.000 kasus tiap tahun). Insiden yang sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, karena banyak kasus ringan yang tidak mendapat perhatian bagi pelayan kesehatan dan tetap tidak terdiagnosis. Insidennya meningkat terutama pada individu dengan penurunan sistem kekebalan tubuh atau pada orang tua, insidennya mencapai 50%.3 Insiden terjadinya herpes zoster meningkat sesuai dengan pertambahan umur dan biasanya jarang mengenai anak-anak. Insiden herpes zoster berdasarkan usia yaitu sejak lahir 9 tahun: 0,74 / 1000; usia 10 19 tahun: 1,38 / 1000; usia 20-29 tahun: 2,58 / 1000. Lebih dari 66% mengenai usia lebih dari 50 tahun, kurang dari 10% mengenai usia dibawah 20 tahun dan 5% mengenai usia kurang dari 15 tahun.9 Hampir 50% individu dengan usia di atas 80 tahun diperkirakan pernah mengalami herpes zoster. Penyakit ini jarang terjadi pada anak maupun dewasa muda, dengan pengecualian pada dewasa muda dengan AIDS, limfoma dan keganasan lainnya, serta pasien yang merupakan resipien transplant sumsum tulang dan ginjal.3 Herpes zoster dapat muncul disepanjang tahun karena tidak dipengaruhi oleh musim dan tersebar merata di seluruh dunia, tidak ada perbedan angka kesakitan antara laki-laki dan perempuan, angka kesakitan meningkat seiring dengan peningkatan usia.2 Ras kulit hitam dikatakan mempunyai resiko lebih rendah dalam mengalami penyakit ini bila dibandingkan dengan ras kulit putih.3

2.3

Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh VZV (Varicella Zoster Virus) dan tergolong virus DNA. Virus ini berukuran 150-200 nm, yang termasuk subfamili alfa herpes viridae. Virus ini mempunyai sifat khas yang menyebabkan infeksi primer pada sel epitel, setelah infeksi primer biasanya virus menetap dalam bentuk laten di dalam ganglion. Virus yang laten ini pada saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi meliputi virus spesifik DNA polymerase dan virus spesifik deoxypiridine (thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi.10 2.4 Patogenesis

Varicella Zoster Virus dapat menyebabkan varisela dan herpes zoster. Kontak pertama dengan virus ini akan menyebabkan varisela, oleh karena itu varisela dikatakan infeksi akut primer sedangkan bila penderita varisela sembuh atau dalam benuk laten dan kemudian terjadi serangan kembali maka yang akan muncul adalah herpes zoster.2 Infeksi primer dari VZV ini pertama kali terjadi di daerah nasofaring. Disini virus mengadakan replikasi dan dilepas ke darah sehingga terjadi viremia yang sifatnya terbatas dan asimptomatik. Keadaan ini diikuti masuknya virus ke dalam sistem retikuloendotelial, selanjutnya mengadakan replikasi kedua yang sifat viremianya lebih luas dan simptomatik dengan penyebaran virus ke kulit dan mukosa.2 Sebagian virus juga menjalar melalui seratserat sensoris dan ditransportasikan secara sentripetal melalui serabut saraf sensoris ke ganglion sensoris. Pada ganglion tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan berubah menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat diakibatkan oleh keadaan yang menurunkan imunitas seluler seperti pada penderita karsinoma, penderita yang mendapat pengobatan imunosupresif termasuk kortikosteroid dan pada orang yang menerima transplantasi. Pada saat terjadi reaktivasi, virus akan kembali bermultiplikasi sehingga terjadi reaksi radang dan merusak ganglion sensoris. Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak dan melalui saraf sensoris akan sampai ke kulit yang kemudiaan dapat menyebabkan timbulnya gejala klinis.10 Jadi, selama antibodi yang beredar di dalam darah masih tinggi, reaktivasi dari virus yang laten ini dapat dinetralisir, tetapi pada saat tertentu dimana antibodi tersebut turun dibawah level kritis, maka terjadilah reaktivasi virus sehingga terjadi herpes zoster.2

Secara ringkas, pathogenesis penyakit herpes zoster dapat digambarkan sebagai berikut: Varisela: virus mukosa saluran nafas atas multiplikasi pembuluh darah dan limfe kulit lesi primer saraf perifer ganglion dorsalis infeksi laten. Herpes zoster virus teraktifasi saraf perifer kulit lesi. 2.5 Manifestasi Klinis

Gejala prodromal herpes zoster biasanya berupa rasa sakit dan parestesi pada dermatom yang terkena. Gejala ini terjadi beberapa hari menjelang timbulnya erupsi dan bervariasi mulai dari perasaan kesemutan, sensasi seperti terbakar hingga perasaan sakit seperti tertusuk. Nyeri ini dapat menetap atau bersifat hilang timbul dan biasanya diikuti oleh adanya nyeri tekan dan hiperestesi kulit pada dermatom yang terkena. Nyeri ini menyerupai nyeri yang terjadi pada peradangan pleura, infak miokard, ulkus duodenum, kolesistitis, kolik bilier atau kolik renal, apendiksitis, prolaps diskus intervertebralis, sehingga menyebabkan terjadinya suatu kesalahan diagnosis dan penanganan.2 Gejala prodromal sistemik (demam, pusing, malaise), maupun gejala prodromal lokal (mialgia, pegal, dan sebagainya) dapat terjadi biasanya 1-3 minggu sebelum timbul ruam di kulit.5,10 Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan unilateral, jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensoris. Lokasi yang sering dijumpai yaitu pada dermatom T3 hingga L2 dan nervus kranialis V serta nervus VII.2,10 Lesi awal berupa makula dan papula yang eritematosa, kemudian dalam waktu 12 24 jam akan berkembang menjadi vesikel dan akan berlanjut menjadi pustul pada hari ke 3 4 dan akhirnya pada hari ke 7 10 akan terbentuk krusta dan dapat sembuh tanpa parut, kecuali terjadi infeksi sekunder bakterial. Pada pasien dengan sistem kekebalan tubuh yang rendah, dapat terjadi herpes zoster diseminata dan dapat mengenai alat visceral seperti paru, hati, otak, dan DIC (disseminated intravascular coagulation) sehingga dapat berakibat fatal. Lesi pada kulit biasanya sembuh lebih lama dan dapat mengalami nekrosis, hemorhagik, dan dapat terbentuk parut.5,10 Masa tunasnya 7 12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1 2 minggu. Disamping gejala kulit, dapat juga dijumpai pembesaran kelenjar getah bening regional. Pada susunan saraf tepi jarang timbul kelainan motorik, tetapi pada susunan saraf

pusat, kelainan motorik lebih sering terjadi. Hiperestesi pada daerah yang terkena memberi gejala yang khas.5 Berdasarkan lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi: 1. Herpes zoster ophtalmikus Herpes zoster ophtalmikus merupkan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmikus saraf trigeminus, ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsung 1 4 hari sebelum kelainan kulit timbul, fotofobia, banyak keluar air mata, kelopak mata bengkak dan sukar dibuka.

Gambar 1. Herpes zoster opthalmikus sinistra

2. Herpes zoster fasialis Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 2. Herpes zoster fasialis dekstra

3. Herpes zoster brakialis Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 3. Herpes zoster brakialis sinistra

4. Herpes zoster torakalis Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 4. Herpes zoster torakalis sinistra

5. Herpes zoster lumbalis Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

6. Herpes zoster sakralis Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.

Gambar 5. Herpes zoster sakralis dekstra

2.6

Diagnosis

Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya lesi. Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala prodromal seperti demam, pusing, dan malaise. Kelainan kulit tersebut mula-mula berupa eritema kemudian berkembang menjadi papula dan vesikel yang dengan cepat membesar dan menyatu sehingga terbentuk bula. Isi vesikel mulamula jernih, setelah beberapa hari menjadi keruh dan dapat pula bercampur darah. Jika absorpsi terjadi, vesikel dan bula dapat menjadi krusta. Pada stadium pra erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri lainnya, misalnya pleuritis, infark miokard, kolesistitis, apendisitis, kolik renal, dan sebagainya. Namun bila erupsi sudah terlihat, diagnosis mudah ditegakkan. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom.2,3,5 Secara laboratorium, pemeriksaan sediaan apus tes Tzanck membantu menegakkan diagnosis dengan menemukan sel dantia berinti banyak. Demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan mikroskop elektron, serta tes serologik. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel limfosit yang mencolok, nekrosis sel dan serabut saraf, proliferasi endotel pembuluh darah kecil, hemoragi fokal dan inflamasi ganglion. Partikel virus dapat dilihat dengan mikroskop elektron dan antigen virus herpes zoster dapat dilihat secara imunofluoresensi.2,8 Apabila gejala klinis sangat jelas tidaklah sulit untuk menegakkan diagnosis. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain: isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop elektron, pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik.2

2.7

Diagnosis Banding

1. Herpes Simplek Herpes simpleks ditandai dengan erupsi berupa vesikel yang bergerombol, di atas dasar kulit yang eritema. Sebelum timbul vesikel, biasanya didahului oleh rasa gatal atau seperti terbakar yang terlokalisasi, dan kemerahan pada daerah kulit. Herpes simplek terdiri atas 2 tipe yaitu herpes simplek tipe 1 dan tipe 2. Lesi yang disebabkan oleh herpes simplek tipe 1 biasanya ditemukan pada bibir, rongga mulut, tenggorokan, dan jari tangan. Lokalisasi penyakit yang disebabkan oleh herpes simplek tipe 2 umumnya adalah di bawah pusat, terutama di sekitar alat genitalia eksterna. Biasanya penyakit ini cenderung residif di tempat yang sama.5 2. Varisela Herpes zoster diseminata mungkin dapat dikelirukan dengan varisela ketika terjadi diseminasi atau penyebaran yang luas dari virus herpes zoster dari area yang sempit dan tidak terlalu nyeri atau dari ganglion sensoris yang terkena tetapi tidak menimbulkan erupsi kulit.2 3. Pada nyeri yang merupakan gejala prodromal lokal sering salah diagnosis dengan penyakit rematik maupun dengan angina pectoris, jika terdapat di daerah setinggi jantung.5

2.8

Komplikasi

Penyakit herpes zoster dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Secara garis besar, komplikasi herpes zoster antara lain komplikasi neurologis, kutaneus, okuler, dan visceral. Kebanyakan komplikasi herpes zoster dikaitkan dengan penyebaran virus herpes zoster dari ganglion sensoris, saraf, atau kulit baik melalui aliran darah atau dengan penyebaran neural langsung.2,5 Neuralgia paska herpetik Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Keadaan ini cenderung timbul pada umur diatas 40 tahun, persentasenya 10 15% dengan gradasi nyeri yang bervariasi. Semakin tua umur penderita maka semakin tinggi persentasenya.2,5

Infeksi sekunder Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa komplikasi. Sebaliknya pada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjut dapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik.5 Kelainan pada mata Pada herpes zoster oftatmikus, kelainan yang muncul dapat berupa: ptosis paralitik, keratitis, skleritis, uveitis, dan neuritis optik.5 Sindrom Ramsay Hunt Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan otikus, sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainan kulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran, nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan.2 Paralisis motorik Paralisis motorik dapat terjadi pada 1 - 5% kasus, yang terjadi akibat perjalanan virus secara kontinutatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam dua minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapat terjadi di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus. Umumnya akan sembuh spontan.5

2.9

Pengobatan

Penatalaksaan herpes zoster secara garis besarnya bertujuan untuk mengatasi infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster, mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.2 Pengobatan Umum Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan.2 Pengobatan Khusus I. Sistemik 1. Obat antivirus

Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase pada virus. Asiklovir dapat diberikan per oral ataupun intravena. Asiklovir hendaknya diberikan pada tiga hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5800 mg/hari selama tujuh hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yang imunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapat digunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovvir diberikan 3x1000 mg per hari selama tujuh hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itu famsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase. Famsiklovir diberikan 3200 mg/hari selama tujuh hari.2,5 2. Analgetik Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamat adalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak tiga kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul. Untuk neuralgia paska herpetik belum ada obat pilihan, dapat dicoba dengan akupungtur. Obat yang direkomendasikan diantaranya gabapentin dosisnya 1800 mg 2400 mg sehari. Mula-mula dosis rendah kemudian dinaikkan secara bertahap untuk menghindari efek samping berupa nyeri kepala dan rasa melayang. Hari pertama dosisnya 300 mg/hari diberikan sebelum tidur, setiap tiga hari dosis dinaikkan 300 mg sehari sehingga mencapai dosis 1800 mg/hari.5 3. Kortikosteroid Indikasi pemberian kortikostreroid ialah untuk sindrom ramsay hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah prednisone dengan dosis 320 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis prednisone setinggi itu, imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan obatt antivirus.5 II. Topikal Pengobatan topikal bergantung pada stadiumnya. Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalau terjadi ulserasi dapat diberikan salap antibiotik.5

2.10 Pencegahan Pencegahan meliputi mencegah infeksi primer (varisela) dengan memberikan vaksin varisela kepada anak-anak atau dewasa yang rentan terinfeksi virus ini. Seseorang dengan usia 60 tahun hendaknya mendapat vaksin zoster dosis tunggal (sediaan vaksin varisela yang poten), tanpa memperhatikan apakah sebelumnya seseorang sudah pernah menderita zoster atau belum. Pemberian vaksin dikatakan dapat menurunkan insiden zoster.8 2.11 Prognosis Umumnya prognosis baik, walaupun kemungkinan terjadi neuralgia post herpetik dapat membuat pasien tidak nyaman dan mengurangi kualitas hidup penderita. Pada herpes zoster ophtalmikus, prognosis bergantung pada tindakan perawatan secara dini.3,5

BAB III LAPORAN KASUS

3.1

Identitas Pasien Nama Jenis Kelamin Umur Tingkat Pendidikan Pekerjaan Status Perkawinan Agama Bangsa/Suku Bangsa Alamat Tanggal Pemeriksaan : HH : Perempuan : 26 tahun : Tamat SLTP : Ibu Rumah Tangga : Sudah menikah : Islam : Indonesia : Jalan A. Yani Kampung Jawa, Denpasar : 22 Agustus 2011

3.2

Anamnesis Keluhan Utama Bintil-bintil bernanah di daerah kulit perut bagian kiri bawah dan daerah pinggang kiri. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang mengeluhkan munculnya bintil-bintil bernanah di daerah kulit perut kiri bawah dan pinggang kiri sejak tiga hari yang lalu. Pada awalnya bintil kemerahan bergerombol muncul di daerah perut samping kiri bawah, kemudian dalam waktu dua hari bintil menyebar ke depan sampai di daerah perut dan ke belakang sampai daerah pinggang, membentuk pola melingkar seperti ikat pinggang unilateral di bagian kiri. Bintil kemerahan berisi cairan pada awalnya, kemudian berkembang menjadi bintil bernanah. Pasien juga mengeluhkan rasa perih dan panas seperti terbakar di kulit tempat terdapatnya bintil tersebut. Pasien juga mengatakan terasa nyeri di daerah tempat munculnya bintil. Rasa nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Rasa nyeri terutama terjadi jika daerah tempat munculnya bintil disentuh atau mengalami gesekan. Hal ini membuat pasien menjadi tidak nyaman dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan ketika tidur, pasien lebih memilih tidur miring kanan. Pada awalnya, beberapa hari sebelum munculnya bintil tersebut, pasien mengeluhkan demam, dan demam hilang

dengan sendirinya tanpa pengobatan, setelah demam menghilang, munculah bintil kemerahan bergerombol yang dengan cepat kemudian menyebar. Keluhan gatal pada bintil tidak ada. Riwayat Pengobatan Pasien mengatakan tidak menggunakan obat apapun untuk mengurangi keluhannya. Riwayat menempel jagung pada daerah lesi. Adanya riwayat penggunaan antibiotik atau steroid yang lama disangkal oleh pasien. Riwayat Alergi Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, obat, maupun bahanbahan alergen lainnya. Riwayat Penyakit Terdahulu Keluhan ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien mengatakan pernah mengalami cacar pada waktu balita. Riwayat menderita penyakit kronis disangkal oleh pasien. Riwayat Penyakit Keluarga Dikatakan bibi pasien pernah mengalami keluhan yang serupa dengan pasien. Riwayat penyakit kronis dalam keluarga disangkal. Riwayat Sosial Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Riwayat merokok, minum alkohol, penggunaan obat-obatan terlarang disangkal oleh pasien. 3.3 Pemeriksaan Fisik Status present Nadi RR : 72 x/menit : 16 x/menit

Status general Kesadaran : kompos mentis

Keadaan umum : baik Kepala Mata Leher Thorax Abdomen : normocephali : anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+, isokor : pembesaran kelenjar getah bening (-) : tidak dilakukan pemeriksaan : tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

: tidak dilakukan pemeriksaan

Status Dermatologis Lokasi : hingga

Regio abdomen dan pinggang kiri, mengikuti dermatom Thorakal 10 Thorakal 12 Effloresensi :

Vesikel seropurulen, bergerombol dengan batas tegas, multipel, tersebar unilateral (tidak melewati garis tengah) sesuai dengan dermatom Th10- Th12 sinistra, diatas kulit eritema. Tampak krusta kehitaman tersebar disekitar vesikel. Kulit diantara lesi normal. Stigmata Atopi Mukosa Rambut Kuku : tidak ditemukan : dalam batas normal : dalam batas normal : dalam batas normal

Kelenjar Getah Bening : tidak ditemukan kelenjar getah bening inguinal Saraf : hiperestesi pada tempat lesi pada dermatom thorakalis 10 hingga thorakalis 12, sinistra 3.4 Diagnosis Banding 1. Herpes Zoster Thorakalis 2. Herpes Simplek 3.5 Diagnosis Kerja Herpes Zoster Thorakalis Sinistra 3.6 Penatalaksanaan Topikal Bedak salisil 1 % Sistemik Analgetik : parasetamol 3 x 500 mg Antiviral : acyclovir 5 x 800 mg (7 hari) Vitamin B1 B6 B12 2 x 1 tablet

KIE 3.7 Kontrol Poliklinik 1 minggu lagi Istirahat dan makan makanan yang bergizi Lesi jangan digaruk Lesi boleh dibersihkan dengan air, tapi jangan digosok agar bintil tidak pecah

Prognosis Dubius ad bonam

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien perempuan berusia 26 tahun datang dengan keluhan bintil-bintil bernanah di daerah kulit perut bagian kiri bawah dan daerah pinggang kiri sejak tiga hari yang lalu. Awalnya bintil kemerahan bergerombol muncul di daerah perut samping kiri bawah, kemudian dalam waktu dua hari bintil menyebar membentuk pola melingkar seperti ikat pinggang unilateral di bagian kiri. Rasa perih, panas seperti terbakar, dan nyeri seperti tertusuk-tusuk di daerah tempat munculnya bintil. Sebelum munculnya bintil, pasien mengeluh demam. Gatal pada bintil tidak ada. Keluhan ini baru pertama kali dialami penderita. Tidak ada riwayat penggunaan obat untuk mengurangi keluhannya. Pasien mengatakan pernah mengalami cacar pada waktu balita. Dikatakan bibi pasien pernah mengalami keluhan yang serupa dengan pasien. Dari pemeriksaan fisik ditemukan status general dalam batas normal. Pada status dermatologi didapatkan vesikel seropurulen, bergerombol dengan batas tegas, multipel, tersebar unilateral (tidak melewati garis tengah) sesuai dengan dermatom Th10- Th12 sinistra, diatas kulit eritema. Tampak krusta kehitaman tersebar disekitar vesikel. Kulit diantara lesi normal. Tidak ditemukan adanya pembesaran kelenjar inguinal. Diagnosis banding kasus ini adalah herpes zoster thorakalis dan herpes simplek. Dan diagnosis kerjanya adalah herpes zoster thorakalis sinistra. 4.1 Penegakan Diagnosis

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nerfus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten di ganglia sensoris. Diagnosis herpes zoster didasarkan pada anamnesis didapatkan keluhan berupa neuralgia beberapa hari sebelum atau bersama-sama dengan timbulnya lesi. Adakalanya sebelum timbul kelainan kulit, didahului oleh gejala. Gambaran yang paling khas pada herpes zoster adalah erupsi yang lokalisata dan unilateral, jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu

ganglion saraf sensoris. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikelvesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom. Dasar penegakan diagnosis herpes zoster pada pasien ini adalah sebagai berikut: 1. Dari anamnesia, didapatkan keluhan utama pasien adalah bintil-bintil bernanah di daerah kulit perut bagian kiri bawah dan daerah pinggang kiri sejak tiga hari yang lalu. Awalnya bintil kemerahan bergerombol kemudian menyebar membentuk pola melingkar seperti ikat pinggang unilateral di bagian kiri. Rasa perih, panas seperti terbakar, dan nyeri seperti tertusuk-tusuk di daerah tempat munculnya bintil. Sebelum munculnya bintil, pasien mengeluh demam. Gatal pada bintil tidak ada. Keluhan ini baru pertama kali dialami penderita. Pasien pernah mengalami cacar pada waktu balita. Hal ini sesuai dengan kajian teoritis yang menyatakan bahwa herpes zoster ditandai oleh adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal. 2. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan status general dalam batas normal, status dermatologi didapatkan vesikel seropurulen, bergerombol dengan batas tegas, multipel, tersebar unilateral (tidak melewati garis tengah) sesuai dengan dermatom Th10- Th12 sinistra, diatas kulit eritema. Tampak krusta kehitaman tersebar disekitar vesikel. Kulit diantara lesi normal. Dari penggambaran status dermatologi di atas, sesuai dengan apa yang dipaparkan dalam tinjauan pustaka. Pada herpes zoster, erupsi yang lokalisata dan unilateral, jarang erupsi tersebut melewati garis tengah tubuh. Umumnya lesi terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh salah satu ganglion saraf sensoris. Karakteristik dari erupsi kulit pada herpes zoster terdiri atas vesikel-vesikel berkelompok, dengan dasar eritematosa, unilateral, dan mengenai satu dermatom. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten di ganglia sensoris. Dari diagnosis banding diatas maka diputuskan diagnosis kerjanya adalah herpes zoster. Karena berdasarkan keluhan subyektif pasien dan tanda obyektif yang ditemukan mengarah ke herpes zoster. Tidak dipilihnya herpes simplek sebagai diagnosis kerja karena berbagai alasan. Pada pasien ini, keluhan baru pertama kali dirasakan. Hal ini tidak sesuai dengan kasus herpes simplek yang cenderung bersifat residif. Sementara itu, pada herpes zoster, keluhan jarang berulang kecuali pada kasus adanya defisiensi imun yang tampak jelas secara klinis. Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan tzanck test tidak diusulkan dilakukan karena karakteristik sitolopatologinya biasanya tidak banyak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi pada keadaan yang meragukan diperlukan pemeriksaan penunjang antara lain: isolasi virus dengan kultur jaringan dan identifikasi morfologi dengan mikroskop

elektron, pemeriksaan antigen dengan imunofluoresen, tes serologi dengan mengukur imunoglobulin spesifik. 4.2 Penatalaksanaan Herpes Zoster

Penatalaksaan herpes zoster secara garis besarnya bertujuan untuk mengatasi infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster, mencegah timbulnya neuralgia paska herpetik. Untuk mencapai tujuan tersebut di atas, pasien diberikan pengobatan antara lain pengobatan topikal bedak salisil 1 %. Adapun alasan pemberian bedak pada pasien ini adalah untuk mencegah pecahnya vesikel sehingga pasien terhindar dari infeksi sekunder mengingat lesi kulit yang paling banyak ditemukan pada pasien ini adalah vesikel yang belum pecah. Pengobatan sistemik yang diberikan pada pasien ini berupa parasetamol 3 x 500 mg sebagai analgetik untuk mengurangi neuralgia yang terjadi pada pasien ini, serta pengobatan antivirus yang berupa acyclovir 5 x 800 mg (7 hari). Hal ini sesuai dengan dosis acyclovir yang dianjurkan untuk pengobatan herpes zoster.

BAB V PENUTUP

5.1

Simpulan

Dari kajian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat yang khas ditandai oleh adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensoris dari nerfus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus varisela zoster endogen yang menetap dalam fase laten di ganglia sensoris. Pada pasien ini didiagnosa dengan herpes zoster karena berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjang kearah diagnosis penyakit herpes zoster. Terapi pada pasien ini meliputi terapi topikal dan terapi sistemik dengan tujuan untuk mengatasi infeksi virus akut, mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster, mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik. Herpes zoster merupakan suatu konsekuensi klinis dari reaktivasi virus VZV yang dormant, diduga reaktivasi virus ini akibat suatu proses imunosupresi. Pada pasien ini belum dapat ditentukan apa kira-kira penyebab reaktivasi virus VZV yang telah ada dalam tubuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Davis, C. Shingles [homepage on internet]. c2011 [cited 2011 July 11]. Available from http://www.emedicinehealth.com/shingles/article_em.htm. Accessed August 22, 2011 2. Straus S, et all. Varicella and Herpes Zoster. In: Freedberg I, Eisen A, Wolff K, Austen F, Goldsmith L, Katz S (eds). Fitzpatricks Dermatology In General Medicine. 6th ed New York: McGraw-Hill Professional; 2003. p. 221 3. Eastern J. Herpes Zoster [homepage on internet]. c2011 [cited 2011 May 11]. Available from http://emedicine.medscape.com/article/1132465-overview#a0199.

Accessed August 22, 2011 4. Centers for Diseases Control and Prevention. Shingles (Herpes Zoster) [homepage on internet]. No date [cited 2011 January 10]. Available from

http://www.cdc.gov/shingles/about/overview.html. Accessed August 22, 2011 5. Handoko P. Penyakit Virus. Dalam: Djuanda A, hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. Hal.110-112 6. Tseng H, et all. Herpes Zoster Vaccine in Older Adults and the Risk of Subsequent Herpes Zoster Disease. JAMA. 2011; 305(2): 160-166 7. Oxman MN: Imunization to reduce the frequency and severity of herpes zoster and its complications. Neurology. 1995. 45: 541 8. Kaye K. Herpes Zoster [homepage on internet]. No date [cited 2009 December]. Available from http://www.merckmanuals.com/professional/sec15/ch200/ ch200e.htm Accessed August 22, 2011 9. Lubis R. Varicella dan Herpes Zoster. Medan: Fakultas Kedokteran Sumatera Utara; 2008. Hal. 1-13 10. Brooks G, Butel J, Morse S. Herpesvirus. 22nd ed New York: McGraw-Hill; 2001. p. 81-111

LAMPIRAN

You might also like