You are on page 1of 77

BUKU 1 PENDEKATAN KONSERVATIF PADA PERAWATAN LESI FURKASI Molar merupakan tipe gigi yang memperlihatkan jumlah kerusakaan

periodontal tertinggi pada penyakit yang tidak dirawat dan paling banyak hilang secara periodontal. Pada bab ini, keterlibatan furkasi didefinisikan sebagai resorpsi tulang dan hilangnya attachment pada ruang interadikular yang berasal dari penyakit periodontal karena plak. Kondisi seperti ini dilaporkan sangat meningkatkan resiko hilangnya gigi. Selanjutnya, kerusakan furkasi

merepresentasikan permasalahan rumit dalam perawatan penyakit periodontal, terutama berkaitan dengan anatomi furkasi yang kompleks dan tidak beraturan. Selanjutnya, respon terhadap terapi bisa dikomplikasi oleh adanya permukaan radikular lebih luas yang berpotensi memberikan toksin bakteri dan terbentuknya kalkulus, saat dibandingkan dengan kerusakan di sekeliling satu gigi. Jika lesi telah terbentuk, diskrepansi antar permukaan gigi dan jaringan lunak periodontal yang mengalami gangguan bakteri bisa menjadi penyebab turunnya respon penyembuhan. Terakhir, lokasi distal pada lengkung dan akses yang sukar bisa mengganggu prosedur kontrol plak yang dilakukan sendiri maupun prosedur profesional pada bagian furkasi, yang membatasi efektifitas. Prinsip-prinsip terapi dari keterlibatan furkasi bisa dibahas dalam tiga bagian utama: konservatif, resektif dan regeneratif. Namun harus diingat bahwa batasan antara istilah konservatif dan resektif kadang-kadang tidak memiliki definisi tajam, karena agak sukar dalam setting klinis untuk memisahkan secara menyeluruh perawatan konservatif dan resektif. Ini benar-benar terjadi saat pada

keterlibatan furkasi. Prosedur resektif terkadang harus dilakukan untuk mendapatkan suatu hasil yang bisa dianggap lebih konservatif. Contohnya, preparasi saluran merupakan contoh dari terapi konservatif yang dilakukan untuk menghindari bentuk-bentuk perawatan yang lebih radikal dan resektif untuk keterlibatan furkasi Kelas II dan III. Namun, preparasi saluran seringkali diselesaikan mencakup tulang dan substansi gigi didalam bagian furkasi untuk mencapai ruang yang mencukupi untuk alat pembersih interdental. Amputasi akar merepresentasikan bentuk prosedur resektif lain yang sering digunakan untuk tujuan konservatif. Pendekatan konservatif yang didefinisikan disini mencakup perawatan bedah dan non bedah yang digunakan untuk debridasi bagian-bagian furkasi untuk mengenyampingkan prosedur regenerasi dan pemisahan akar. Perawatan ini terkadang disertai oleh prosedur yang bisa mengubah anatomi gigi dan struktur periodontal disekelilingnya untuk memperbaiki akses untuk kontrol plak, walaupun tidak mengimplikasikan restorasi mahkota. Berbagai prosedur terapeutik telah dikemukakan oleh para klinisi dengan tujuan memperbaiki prognosis dari gigi furkasi. Ruang lingkup dari tinjauan ini adalah untuk membicarakan literatur tentang pendekatan konservatif dalam perawatan keterlibatan furkasi. Epidemiologi Prevalensi dari periodontitis parah telah dilaporkan bervariasi dari 5% sampai 20% pada berbagai populaasi yang diinvestigasi berdasarkan kriteria yang dipergunakaan untuk mengukur luas dan jumlah kerusakan periodontal.

Studi-studi

longitudinal

yang

dilakukan

untuk

menggambarkan

perkembangan periodontitis yang tidak dirawat telah memperlihatkan bahwa mayoritas bagian-bagian yang kehilangan attachment hanya masuk kedalam kelompok kecil populasi. Molar terlihat sebagai gigi yang paling banyak terkena dan tipe gigi yang paling banyak hilang. Disamping terdapat bukti yang sudah terdokumentasi baik bahwa terapi periodontal efektif dalam menghambat perkembangan penyakit, hilangnya gigi tampak tidak dapat dihindarkan pada sejumlah pasien yang berhasil dirawat, walaupun dalam jumlah yang sangat kecil setiap tahunnya dibandingkan dengan populasi yang tidak dirawat. Molar sekali lagi merepresentasikan tipe gigi yang merespon paling sedikit terhadap terapi dan beresiko lebih besar untuk ekstraksi dibandingkan dengan tipe gigi lainnya. Jumlah mortalitas lebih besar yang terlihat pada molar maksila dan mandibula setidaknya dapat dijelaskan dengan adanya furkasi. Ketika furkasi pada awalnya dipengaruhi oleh hancurnya pendukung periodontal, konfigurasi anatomi yang ganjil, bersamaan dengan lokasi distal, sepertinya mempercepat

perkembangan penyakit, sebaliknya kontrol infeksi oleh pasien menjadi lebih sulit. Demikianlah, hubungan antara deteksi keterlibatan furkasi secara klinis dan radiografi, dan peningkatan resiko hilangnya gigi dilaporkan telah terjadi. Prevalensi dari Keterlibatan Furkasi Sudah banyak informasi yang tersedia berkaitan dengan prevalensi dari keterlibatan bagian furkasi molar yang sedang terjadi pada populasi umum dalam survey epidemiologi. Hampir seluruh data yang tersedia diambil dari studi-studi

berbasis observasi yang dilakukan pada tulang tengkorak kering. Hasil-hasil ini harus dijabarkan dengan cermat: jumlah observasi relatif sedikit dan spesimen anatomi diambil dari populasi yang cukup khas secara etnis dan sosial. Demikianlah, hasil-hasil dari studi ini tidak mengaplikasikan penelitian etnis dan sosial. Pada studi oleh Volkansky & Cleaton-Jones pada mandibula kering orang Bantu Afrika Selatan, 30,9% gigi molar yang ada mengalami keterlibatan furkasi. Tal memeriksa 100 mandibula kering dari tulang kepala Afrika Selatan dan menemukan bahwa 85,4% molar-molar mandibula memperlihatkan resorpsi osseous pada bagian furkasi. Dia juga melaporkan bahwa tingkat keterlibatan furkasi, seperti dikemukakan dalam istilah kedalaman horizontal dari kerusakan osseous, meningkat seiring bertambahnya usia. Pada studi selanjutnya terhadap molar-molar mandibula, Tal & Lemmer mengkonfirmasikan temuan bahwa keterlibatan tingkat sedang sampai parah terutama terjadi pada orang dewasa, dimana molar-molar pertama lebih banyak terkena daripada molar-molar kedua. Bjorn & Hjort memperkirakan secara longitudinal prevalensi radiografi, tingkat dan perkembangan kerusakan tulang pada furkasi molar mandibula pada sampel 221 pekerja pabrik yang diamati selama 13 tahun. Prevalensi keterlibatan furkasi terus menerus meningkat dari nilai awal 18% menjadi 32% pada akhir periode observasi. Molar-molar kedua dan ketiga memiliki frekuensi kerusakan lanjutan lebih tinggi daripada molar-molar pertama. Data tambahan diberikan oleh investigasi menggunakan subjek-subjek yang mengalami gangguan periodontal yang dirujuk atau mencari perawatan

periodontal secara spontan. Selanjutnya, temuan-temuan dari survey ini mungkin tidak bisa digunakan untuk membuat kesimpulan tentang populasi umum. Molarmolar maksila lebih sering terpengaruh daripada molar-molar mandibula, walaupun nilai prevalensi bisa sangat berbeda. Prevalensi dari keterlibatan bagian furkasi pada molar-molar maksila dan mandibula bisa berkisar dari 25% sampai 52% dan dari 16% sampai 35%. Svardstrom & Wennstrom meneliti secara detail prevalensi dari keterlibatan furkasi pada kelompok 222 pasien yang dirujuk untuk perawatan periodontal. Mereka melaporkan bahwa, dari usia 30 tahun keatas, sekitar 50% molar pada maksila memperlihatkan paling tidak 1 bagian furkasi dengan keterlibatan dalam, sambil pada maksila prevalensi yang sama pertama sekali terlihat pada usia 40. Kehancuran periodontal paling sering terlihat pada aspek distal dari molar-molar pertama dan kedua (53% dan 35%). Pada mandibula, entrance/tempat masuk bukal dan lingual dari furkasi terpengaruh dengan frekuensi sama. Keterlibatan furkasi lebih sering terdeteksi pada para perokok (72%) dibandingkan orang yang tidak merokok (36%); odd rasio yang terhitung bagi para perokok untuk mengalami keterlibatan furkasi pada lebih dari satu molar adalah 4,6. Juga sudah terlihat bahwa molar dengan mahkota atau restorasi proksimal memiliki persentase keterlibatan furkasi lebih tinggi dibandingkan dengan molar tanpa restorasi. (Gambar 1). Klasifikasi dari Lesi Furkasi Telah dikemukakan berbagai metode berbeda untuk mengklasifikasikan luasnya keterlibatan furkasi. Glickman awalnya menggunakan klasifikasi tiga

tingkatan berdasarkan luasnya kerusakan jaringan pada furkasi. Ramfjord & Ash menggambarkan indeks untuk mengevaluasi dalamnya keterlibatan dengan menggunakan increment pengukuran probing periodontal 2 mm. Dengan tingkat 1, probe penetrasi secara horizontal antara akar sampai 2 mm; dengan tingkat 2 lebih dari 2 mm dan dengan tingkat 3, probe penetrasi furkasi sampai ke bagian sebelahnya. Hamp dkk mengemukakan pendekatan sama seperti Ramfjord & Ash dengan pengecualian menggunakan increment 3 mm untuk menggambarkan 3 kelas keterlibatan (Gambar 2), sambil Tarnow & Fletcher mengemukakan subklasifikasi yang mencakup bagian vertikal lesi dalam usaha menggambarkan keparahan lesi dengan lebih baik. Reproduksibilitas dan realibilitas dari diagnosa dan ukuran diagnosa Probing Ukuran vertikal sepanjang akar-akar yang berdekatan dengan lesi furkasi terlihat direproduksi kembali pada sisi fasial dari molar-molar maksila dan pada sisi fasial dan lingual dari molar-molar mandibula. Sebaliknya, kemampuan reproduksi antar pemeriksa menurun dengan bertambahnya kedalaman saku dan meningkatkan pemisahan akar karena, seiring probe penetrasi lebih dalam, lebih sukar untuk mempertahankan kontak dengan permukaan akar. Reproduksibilitas dari pengukuran horizontal sepertinya tidak sebagus pencatatan vertikal. Namun realibilitas dari ukuran vertikal yang diambil pada bagian saku interradikular paling dalam sangat buruk, karena probe penetrasi jaringan penghubung furkasi dengan kedalaman rata-rata 2,1 mm, seperti tampak pada

bagian-bagian histologi. Ahli lainnya telah mencari korelasi reliabel antara diagnosa klinis dari keterlibatan furkasi dan luasnya kerusakan yang terlihat setelah refleksi flap. Zappa dkk menggunakan indeks Ramfjord dan Hamp untuk membandingkan perkiraan klinis horizontal yang diindikasikan dalam tingkat keparahan dengan yang dicatat setelah pembukaan dengan bedah. Baik menggunakan probe Nabers kalibrasi dan nonkalibrasi, hasil-hasilnya

memperlihatkan perkiraan yang beragam. Sebaliknya, Eickholz & Staehle dan Eickholz menemukan realibilitas bagus dalam tingkatan keterlibatan furkasi ketika membandingkan ukuran klinis sebelum dan saat pembedahan, kecuali untuk bagian-bagian disto-palatal dimana hanya terlihat sedikit kesamaan antara kedua tipe pencatatan. Kesulitan dalam menentukan luas dan keparahan keterlibatan furkasi yang diperlihatkan oleh sejumlah studi sebelumnya sangat memberikan gambaran, karena telah terlihat bahwa klinisi mendasarkan opsi dan strategi perawatan pada perkiraan klinis dari tingkat kerusakan interadikular. Kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosa luas dan keparahan dari keterlibatan furkasi bisa menimbulkan kesalahan-kesalahan pada pilihan perawatan. Diagnosa radiografi Diagnosa radiografi dari keterlibatan furkasi biasanya lebih mudah dilaksanakan pada molar-molar mandibula, karena pendempetan dari akar palatal pada filem radiografi bisa menyembunyikan morfologi tulang sesungguhnya dari bagian interadikular pada molar-molar maksila. Hardekopf dkk mengklaim bahwa identifikasi dari bayangan radiografi triangular (furcation arrow) pada ronsen dari molar-molar maksila bisa menjadi indikator yang berguna untuk keberadaan

keterlibatan furkasi kelas 2 atau 3. Walaupun hubungan dari gambaran panah furkasi dengan keterlibatan furkasi kelas 2 atau 3 jauh kearah mesial dan bukal ketika dibandingkan dengan furkasi yang tidak terlibat, tidak adanya gambaran panah furkasi tidak mesti berarti tidak adanya keterlibatan furkasi tulang. Keberadaan bagian interadikular radiosulen mungkin tidak selalu hasil dari keterlibatan furkasi sesungguhnya karena alasan-alasan periodontal, karena trauma dari oklusi dan pathosis endodonti karena pembuluh saluran paten yang menghubungkan dengan ruang interadikular bisa menjadi penyebab resorpsi tulang yang menyerupai yang terjadi selama periodontitis. Ross & Thompson mendeteksi keterlibatan furkasi lebih sering pada molar-molar maksila dengan pemeriksaan radiografi daripada inspeksi klinis, sebaliknya hal yang berlawanan terjadi untuk molar-molar mandibula. Mereka juga mengamati bahwa diagnosa keterlibatan furkasi yang lebih akurat dilaksanakan dengan gabungan pemeriksaan radiografi dan klinis. Pendekatan konservatif pada perawatan melibatkan Furkasi Survey klinis jangka panjang longitudinal telah memperlihatkan bahwa terapi periodontal efektif dalam menghambat proses penyakit pada hampir setiap pasien dan bagian-bagiannya. Hasil-hasil ini telah dicapai dengan terapi bedah dan tanpa bedah, asalkan terapi periodontal pendukung dilaksanakan dengan secara reguler. Namun, porspektif longitudinal dan studi retrospektif memperlihatkan bahwa, pada molar yang mencakup furkasi, hasil-hasilnya tidak sebagus yang didapatkan untuk gigi akar tunggal atau molar-molar non furkasi. Namun, studistudi ini memperlihatkan angka daya tahan fungsional jangka panjang untuk

molar-molar furkasi, yang mengindikasikan bahwa keberadaan dari keterlibatan furkasi tidak merupakan alasan untuk menimbulkan prognosis meragukan atau buruk pada gigi-gigi ini. Studi berdasarkan pada mortalitas gigi (Tabel 2) Ross & Thompson mengamati 387 molar-molar maksila dengan bukti radiografi keterlibatan furkasi pada 100 pasien dengan penyakit periodontal destruktif kronis untuk periode yang berkisar antara 5 dan 24 tahun. Perawatan terdiri dari kombinasi dari prosedur-prosedur yang termasuk skeling, kuretase, koreksi oklusal dengan reshaping koronal, bedah periodontal pada jaringan lunak dan instruksi oral higienis. Tidak dilakukan bedah osseous; 305 dari 387 (84%) molar memiliki prognosis meragukan sampai buruk pada awal studi: setidaknya satu akar dengan tulang hilang minimum 50%. Total 341 (88%) masih berfungsi efisien tanpa rasa sakit pada akhir studi, sebaliknya molar-molar lain telah di ekstraksi pada berbagai interval waktu. Namun, 15 (33%) dari 46 gigi yang di ekstraksi selama 11-18 tahun dan 10 (22%) setidaknya dalam 6 tahun. Studi retrospektif oleh Hirscfeld & Wasserman, McFall, Goldman dkk dan Wood dkk berfokus pada observasi jangka panjang dengan berbagai bentuk terapi periodontal. Kualitas dari respon terhadap perawatan oleh pasien individual dievaluasi dengan mempertimbangkan jumlah gigi yang hilang selama periode observasi. Ini memungkinkan klasifikasi pasien menjadi tiga kategori: kelompok yang dipertahankan dengan baik (hilang 0-3 gigi), kelompok yang mengalami penurunan ( hilang 4-9 gigi) dan kelompok yang mengalami penurunan parah (hilang 10-23 gigi). Subdivisi seperti ini telah dipertahankan pada tinjauan ini

untuk mengkonstruksi tabel yang melaporkan angka mortalitas gigi untuk molarmolar furkasi (Tabel 3). Hirscfeld & Wasserman memeriksa secara retrospektif kondisi periodontal dari 600 pasien yang sebelumnya telah dirawat pada klinik pribadi selama 15 sampai 53 tahun. (rata-rata 22 tahun). Total 76,5% pasien awalnya telah

diklasifikasikan mengalami penyakit periodontal lanjutan, sebaliknya 16,5% mengalami penyakit dengan keparahan sedang dan hanya 7% memperlihatkan tanda-tanda awal periodontitis. Perawatan periodontal yang dilakukan sepanjang tahun terdiri dari skeling subgingiva, gingivektomi dan bedah flap. Amputasi akar (17 gigi) atau hemiseksi juga dilakukan. Pasien menjalani pemeliharaan periodik, dan skeling subgingiva dilakukan ketika benar-benar perlu. Evaluasi dari respon terhadap terapi berdasarkan jumlah gigi yang hilang selama periode observasi. Kelompok dengan pemeliharaan bagus berjumlah 499 (83,2%), kelompok yang mengalami penurunan 76 (12,6%), dan yang mengalami penurunan sangat parah 25 (4,2%) dari sampel yang diinvestigasi. Walaupun mayoritas pasien pada awalnya diklasifikasikan mengalami penyakit lanjutan, hampir seluruh mereka merespon bagus terhadap terapi, yang meninggalkan sekelompok kecil pasien dengan mengalami kondisi periodontal terus saja memburuk meski dilakukan perawatan. Data ini mengkonfirmasikan temuan-temuan epidemiologi yang dilaporkan dari studi terhadap bentuk sebenarnya penyakit, yang menunjukkan bahwa subfraksi kecil dari populasi menjadi penyebab untuk mayoritas kerusakan periodontal yang tercatat disini. Selama fase pemeliharaan, 7,1% dari seluruh gigi hilang karena sebab periodontal; 460 dari 1455 (31,6%) molar yang mengalami

10

furkasi sudah hilang, mayoritasnya masuk ke dalam kelompok yang mengalami penurunan kedaan, sebaliknya hanya 19,3% yang berasal dari kelompok dengan pemeliharaan bagus. Keseluruhan, proporsi dari molar hilang dengan keterlibatan furkasi adalah sekitar 5 kali lipat dimana molar tanpa keterlibatan furkasi. Mc Fall menganalisa sampel 100 pasien yang telah dirawat dan dipertahankan selama 15 tahun atau lebih (durasi rata-rata 19 tahun, kisaran 15 sampai 29 tahun). Keparahan penyakit periodontal diklasifikasikan menurut kriteria Hirscfeld & Wasserman: 36 dari 100 didiagnosa dengan penyakit lanjutan, 53 memperlihatkan tingkat keparahan sedang dan 11 mengalami tanda-tanda penyakit awal. Selanjutnya, studi populasi ini memiliki jumlah kasus tingkat lanjut lebih sedikit dibandingkan yang dimonitor oleh Hirschfeld & Wasserman. Seluruh pasien dirawat dengan cara sama selama periode preparasi awal dengan skeling supragingiva dan subgingiva, penyesuaian oklusal dan instruksi oral higienis. Perawatan terdiri dari gingivektomi dan gingivoplasti. Kerusakan infrabony dirawat dengan osteotomi dan osteoplasti dimana pembuangan saku benar-benar memungkinkan. Amputasi akar hanya dilakukan pada 5 gigi. Molar lain dengan keterlibatan furkasi dirawat dengan pembedahan atau dipertahankan dengan kuretasi terbuka dan tertutup. Mayoritas pasien telah menjalani telah menjalani pemeliharaan dengan interval 3, 4 atau 6 bulan. Selama periode ini, ketika diindikasikan, pasien dijadwal ulang untuk prosedur bedah. Populasi studi, dibagi berdasarkan gigi hilng, terdistribusi seperti berikut: 77 kelompok yang mempertahankan dengan baik, 15 kelompok yang mengalami penurunan pemeliharaan, dan 8 kelompok yang mengalami penurunan pemeliharaan sangat

11

jauh. Penyakit periodontal merupakan penyebab hilangnya 259 gigi (9,8%); 56,7% gigi dengan keterlibatan furkasi hilang selama periode observasi, dan kelompok dengan pemeliharaan bagus hanya memiliki 27% gigi terlibat furkasi yang di ekstraksi. Dari 600 molar tanpa keterlibatan furkasi, hanya 46 (7,6%) yang hilang. Yang mengagumkan, molar dengan keterlibatan furkasi telah berfungsi sebelum ekstraksi selama rata-rata 14 tahun pada kelompok dengan pemeliharaan bagus, 10,5 tahun pada kelompok dengan pemeliharaan kurang dan 9 tahun pada kelompok dengan pemeliharaan sangat kurang. Goldman dkk memeriksa catatan klinis dari 211 pasien yang dirawat dan dipertahankan selama 15 sampai 34 tahun (waktu rata-rata 22,2 tahun). Perawatan yang diberikan terdiri dari skeling supragingiva dan subgingiva, instruksi oral higienis dan penyesuaian oklusal ketika diperlukan. Pembedahan terdiri dari gingivektomi dan gingivoplasti, dan sejumlah kecil kasus dilakukan flap atau kuretase terbuka. Menurut respon mereka terhadap perawatan, pasien

diklasifikasikan seperti berikut: 131 (62%) kelompok yang dipertahankan dengan baik, 59 (28%) kelompok yang mengalami penurunan, dan 21 (10%) kelompok dengan penurunan sangat besar. Tidak satupun yang menjalani pembuangan jaringan. Furkasi dirawat dengan gingivektomi atau gingivoplasti atau flap yang diposisikan kearah apikal dan dipertahankan dengan skeling dan kuretase. Hanya pada lima kasus dilakukan amputasi akar. Dari seluruh gigi yang awalnya masih ada, 13,4% akhirnya hilang. Dari 630 gigi yang awalnya terdiagnosa mengalami furkasi, 270 di ekstraksi (43,5%), sebaliknya pada kelompok dengan pemeliharaan

12

bagus jumlah gigi hilang karena keterlibatan furkasi adalah 56 dari 335 (16,7%). Diantara molar-molar nonfurkasi, 190 dari 1112 (17,0%) hilang selama studi. Wood dkk meneliti 63 pasien yang menerima perawatan periodontal

paling tidak 10 tahun sebelumnya (durasi rata-rata 13,6 tahun, kisaran 10-34). Terapi awalnya terdiri dari skeling supragingiva dan subgingiva yang disertai dengan instruksi oral higienis. Terapi bedah selanjutnya termasuk gingivektomi, bedah flap, kuretase flap, kontur osseous, graft osseous, dan amputasi akar. Interval pemeliharaan sangat beragam antar pasien, dari <6 sampai >9 bulan. Berdasarkan respon terhadap terapi, pasien dibagi seperti berikut: 54 (85,7%) kelompok dengan pemeliharaan bagus, 7 (11,1%) kelompok dengan penurunan dan 2 (3,2%) kelompok dengan penurunan parah. Selama periode pemeliharaan, 5% gigi yang awalnya masih ada akhirnya hilang karena berlanjutnya kerusakan periodontal. Tiga puluh delapan (23,2%) dari gigi furkasi akhirnya hilang. Pada kelompok dengan pemeliharaan bagus, hilang 21 dari 126 (16,6%) gigi dengan keterlibatan furkasi. Diantara 261 molar tanpa keterlibatan furkasi, 36 di ekstraksi (13,8%). Pada studi terhadap 24 pasien yang dirawat dengan prosedur mekanis atau bedah, Wang dkk memperlihatkan bahwa molar-molar dengan keterlibatan furkasi sepertinya lebih cenderung untuk hilang 2,54 kali lebih sering dibandingkan dengan gigi tanpa furkasi selama periode pemeliharaan 8 tahun. Studi-studi longitudinal yang disebutkan diatas memperlihatkan bahwa molar-molar dengan keterlibatan furkasi benar-benar lebih mudah hilang dibandingkan molar-molar nonfurkasi (Tabel 2). Namun, jumlah molar yang

13

mengalami keterlibatan furkasi yang hilang karena alasan-alasan periodontal bisa lebih rendah, karena sejumlah gigi, terutama molar-molar ketiga, mungkin telah di ekstraksi karena sebab-sebab lain yang berkaitan dengan penyelesaian rencanarencana perawatan komprehensif, seperti ekstrusi karena tidak adanya gigi antagonist atau kompatibilitas buruk dengan rekonstruksi prostesis. Sebaliknya, sejumlah molar furkasi yang di ekstraksi pada studi ini pada saat perawatan tidak dimasukkan dalam penghitungan jumlah gigi yang bertahan. Selanjutnya, adanya keterlibatan furkasi mungkin telah luput karena kesalahan diagnosa. Sehingganya gambaran yang dilaporkan pada survey mungkin tidak sesuai dengan angka mortalitas sesungguhnya untuk molar-molar dengan keterlibatan furkasi. Persentase dari hilangnya molar-molar yang awalnya furkasi selama periode pengamatan pada studi-studi ini bervariasi dari 11,8% sampai 56,7%. Namun, kelompok dengan pemeliharaan bagus, yang merepresentasikan mayoritas pasien yang masuk ke dalam survey (berkisar dari 62% sampai 85,7%), benar-benar memiliki angka molar dengan keterlibatan furkasi lebih rendah yang di ekstraksi (16,7% sampai 27,3%) dibandingkan dengan pasien pada kelompok dengan respon buruk (Tabel 3). Temuan ini sesuai dengan asumsi bahwa mayoritas pasien pada studi ini, mungkin karena kerentanan lebih rendah terhadap penyakit atau kontrol plak efektif, merespon bagus terhadap perawatan periodontal. Demikianlah, molar-molar dengan keterlibatan furkasi sepertinya tidak berasosiasi dengan prognosis yang meragukan, karena hampir seluruhnya berada pada kelompok dengan pemeliharaan bagus selama bertahun-tahun. Selanjutnya, banyak dari molar furkasi yang hilang dianggap berfungsi bagus

14

dalam waktu cukup lama sebelum ekstraksi. Sebaliknya, meski dengan kenyataan bahwa gigi furkasi bisa dirawat dan dipertahankan dengan baik pada individual yang tidak begitu rentan, adanya keterlibatan furkasi masih harus dianggap sebagai faktor resiko sesungguhnya, seperti terlihat jelas pada penghitungan yang telah dilakukan, untuk masing-masing kategori respon terhadap perawatan, dari odd rasio untuk ekstraksi antar molar dengan dan tanpa keterlibatan furkasi dalam studi jangka panjang yang menjadi sumber data yang diolah. Meta-analisis jelas sekali mengindikasikan bahwa gigi furkasi memiliki kesempatan sangat besar untuk hilang dibandingkan dengan molar-molar nonfurkasi, bagaimanapun respon terhadap perawatan, tanpa kecuali pada kelompok dengan respon pemeliharaan sangat buruk pada survey oleh Hirscfeld & Waserman. Namun, belum ada investigasi jangka panjang yang dilaporkan pada Tabel 2 memberikan data tentang frekuensi distribusi dari keterlibatan furkasi menurut luas dan parah kerusakan, juga tidak terdapat laporan tentang pilihan perawatan yang berkaitan dengan tingkat keterlibatan. Selanjutnya tidak memungkinkan untuk mengambil kesimpulan dari artikel ini tentang efisiensi dari berbagai perawatan periodontal yang diaplikasikan menurut parahnya keterlibatan yang awalnya terdiagnosa. Baru-baru ini, studi lain telah dilakukan untuk

menginvestigasi efektifitas dari perawatan periodontal spesifik pada furkasi dengan berbagai tingkat kerusakan. Hal ini dibicarakan pada bagian lain.

15

Studi-studi berdasarkan pengukuran klinis, parameter mikrobial dan efisiensi instrumentasi akar Studi longitudinal yang dikemukakan diatas seluruhnya berdasarkan pada kesimpulan terhadap mortalitas gigi. Studi prospektif lebih singkat, karena durasi dari periode investigasi yang terbatas, berfokus pada respon perawatan berdasarkan pengukuran dari parameter klinis seperti level attachment dan kedalaman saku daripada mortalitas gigi. Sejumlah kecil studi juga

menginvestigasi efek-efek dari terapi periodontal pada mikroflora subgingiva dan distribusi dari deposit kalkulus. Studi prospektif 2 tahun meneliti efek-efek dari debridement akar dan kontrol plak pada pasien periodontitis dewasa. Bagian-bagian furkasi molar merespon tidak begitu bagus terhadap perawatan dibandingkan dengan permukaan datar molar dan bagian-bagian non-molar. Ini terlihat dengan rata-rata perdarahan lebih tinggi pada skor probing, rata-rata hilangnya attachment yang lebih tinggi dan penurunan kedalaman probing yang lebih sedikit*. Kecenderungan yang sama juga ditemukan oleh peneliti lain. Kaldahl dkk menemukan bahwa furkasi dari gigi molar selalu merespon tidak begitu bagus dibandingkan bagian lain terhadap terapi periodontal bedah dalam hal pengukuran level attachment, bagaimanapun kedalaman probing awal. Terakhir, Wang dkk melaporkan bahwa selama 8 tahun terapi periodontal pendukung, molar-molar dengan keterlibatan furkasi hilang rata-rata 1,12 mm pada level attachment, sambil molar tanpa keterlibatan furkasi hanya hilang 0,6 mm.

16

Respon klinis lebih buruk secara komparatif dari bagian furkasi molar juga direfleksikan pada hasil mikrobiologi yang terlihat pada studi yang dilakukan oleh Loos dkk. Para ahli ini melalukan monitoring 52 minggu efek-efek klinis dan mikrobiologi dari kontrol plak dan debridement akar dengan ultrasonik pada 24 bagian non molar dan pada 31 bagian molar furkasi tingkat II dengan kedalaman probing 5 mm pada 11 pasien. Disepanjang studi, jumlah dan persentase dari spirochetes, total unit pembentuk koloni anaerobik dan jumlah dari

Porphyromonas gingivalis selalu lebih tinggi pada furkasi dibandingkan pada bagian-bagian non-molar. Temuan ini bisa dijadikan penyebab sulitnya mencapai debridement menyeluruh pada bagian-bagian furkasi. Demikianlah, sudah terlihat bahwa lebih banyak kalkulus residual yang masih tersisa setelah debridement pada bagian furkasi dibandingkan permukaan akar lain. Parashis dkk meneliti 30 molar-molar mandibula yang dijadwalkan untuk ekstraksi dengaan keterlibatan furkasi kelas II dan III dan Indeks Kalkulus 2 memperlihatkan bahwa nilai ratarata dari kalkulus residual secara statistik lebih rendah untuk permukaan eksternal daripada bagian-bagian furkasi ketika menggunakan pendekatan tertutup. Pengaruh dari anatomi furkasi Penurunan angka keberhasilan yang dialami pada pendekatan konservatif dalam perawatan keterlibatan furkasi sepertinya berasal dari pembuangan debris keras dan lunak yang tidak menyeluruh yang terdapat pada bagian interadikular karena anatomi tertentu pada ruang furkasi (proyeksi enamel servikal, ridge bifurkasi, konveksitas, konkavitas, dan dimensi awal furkasi).

17

Svardstrom & Wennstrom telah menggambarkan secara mendetail topografi dari bagian furkasi pada molar-molar pertama maksila dan mandibula. Dengan mengimplementasikan metode fotogrametrik, para ahli ini memplot bagian interadikular untuk mendapatkan peta kontur tiga dimensi. Kompleksitas dari permukaan internal dari bagian-bagian furkasi digambarkan sehingga memperlihatkan lekukan, ridge dan pit dengan ukuran kecil. Bower menemukan bahwa, pada molar pertama maksila, aspek furcal dari akar berbentuk konkav pada 94% akar-akar mesiobukal, 31% dari akar-akar distobukal dan 17% dari akar-akar palatal. Selanjutnya, dia mengamati bahwa konkavitas dari aspek furcal terdapat pada 100% pada akar mesial dan 99% pada akar distal mandibula. Jika bagian plak telah mencapai bagian furkasi, konfigurasi ini menjadikan prosedur pembersihan cukup sulit. Dimensi entrance/tempat masuk furkasi sangat penting untuk keberhasilan terapi, karena mempengaruhi kemungkinan untuk mencapai akses ke bagian interadikular dengan instrumentasi mekanis, seperti dikemukakan oleh Matia dkk dan Parashis dkk, yang menemukan bahwa jumlah dari kalkulus residual berkaitan dengan lebar awal furkasi ketika dilakukan root planing terbuka. Bagian tempat masuk furkasi yang tidak mungkin untuk di akses dengan instrumen mekanis merupakan temuan yang cukup umum. Pada studi yang dilakukan oleh Bower, diameter bagian awal furkasi pada sampel 114 maksila dan 103 molar pertama mandibula ditemukan lebih sempit daripada lebar kuretase yang biasa dipergunakan pada 58% furkasi yang diperiksa. Studi selanjutnya oleh Chiu dkk menemupkan pada 185 molar maksila pertama orang Cina bahwa

18

dimensi tempat masuk furkasi ukuran 0,75 mm terdapat pada bukal 79%, mesial 39% dan distal 43%. Pada 178 molar mandibula, tempat masuk furkasi 0,75 mm terdeteksi pada 36% aspek bukal dan 47% aspek lingual. Setengah dari seluruh dimensi tempat masuk furkasi pada molar-molar pertama ini lebih kecil dari lebar mata pisau pada kuret Gracey terbaru. Hou dkk memeriksa dimensi tempat masuk furkasi pada 89 molar maksila orang Cina (49 molar pertama dan 40 molar kedua) dan 93 molar mandibula (50 pertama dan 43 kedua). Mayoritas tempat masuk furkasi pada molar kedua memiliki dimensi lebih kecil dibandingkan lebar kuret Gracey (0,76 mm), walaupun lebih besar daripada dimensi rata-rata dari ujung ultrasonik standar baru. Insersi ultrasonik mungkin kemudian memiliki akses lebih mudah terhadap bagian-bagian furkasi dibandingkan blade kuret, khususnya pada keterlibatan furkasi yang dalam. Asumsi seperti ini sesuai dengan hasil-hasil klinis dan mikrobiologi yang dilaporkan oleh Leon & Vogel, yang membandingkan debridment instrumen manual dengan ultrasonik pada

keterlibatan furkasi kelas I, II dan III dengan memperkirakan aliran cairan crevicular gingiva dan komposisi dari mikroflora subgingiva dengan

menggunakan mikroskop dark-field. Sambil pada kelas I kedua perawatan sama efektifnya, instrumen ultrasonik terbukti lebih efektif dibandingkan skeling manual dalam mengurangi aliran cairan gingivaa dan proporsi spirochetes bakti dan organisme motile lainnya pada kelas II dan III. Temuan ini memperkuat hasilhasil yang dilaporkan oleh Matia dkk, yang menemukan kalkulus residual yang jauh lebih banyak pada furkasi lebar 2,3 mm setelah debridement dengan kuret daripada dengan scaler ultrasonik.

19

Selanjutnya, usaha-usaha telah dilakukan untuk mengkonstruksi ujung ultrasonik berdesain khusus untuk memperbaiki kemampuan akses terhadap bagian-bagian paling dalam pada ruang interadikular. Studi in vitro telah menguji berbagai ujung sonik dan ultrasonik yang dibuat untuk mencapai akses pada bagian furkasi, yang memberikan hasil-hasil bagus dalam hal pembuangan kalkulus artifisial. Percobaan klinis terkontrol longitudinal terhadap penggunaan instrumen baru sangat diperlukan untuk membuktikan efektifitasnya. Namun, perbaikan dalam pembuangan kalkulus padaa furkasi dengan dimensi tempat masuk <2,4 mm juga telah dicapai dengan menggunakan rotary diamond bur, sehingga mengatasi komplikasi karena berkaitan dengan adanya tempat masuk furkasi yang kecil. Metode dan Teknik Terapi Konservatif Studi klinis retrospektif yang dikemukakan diatas menggunakan prosedur bedah dan tanpa bedah secara luas. Namun, seperti dikatakan diatas, tidak terdapat informasi mengenai aplikasi dan hasil dari berbagai teknik berdasarkan tingkat keterlibatan yang terdiagnosa secara klinis, yang mengenyampingkan

kemungkinan untuk membuat kesimpulan tentang kemampuan dari masingmasing prosedur dalam berbagai tipe kerusakan pada furkasi. Bagian-bagian berikut akan membicarakan efek dari prosedur bedah dan tanpa bedah, kemoterapi dan preparasi tunnel yang lebih invasif serta amputasi akar. Prosedur bedah dan non bedah Sejumlah kecil studi jangka pendek tersedia untuk perbandingan berbagai bentuk teknik konservatif dalam perawatan lesi furkasi tertentu. Efektifitas dari

20

berbagai pendekatan bedah dan non bedah yang digunakan telah diteliti berkaitan dengan jumlah residual dari kalkulus subgingiva, parameter klinis, dan perubahan kepadatan tulang interadikular. Studi lainnya menggunakan debridement mekanis sebagai kontrol positif untuk menentukan apakah setiap efek tambahan bisa didapat dari penggunaan terapi antibiotik yang diberikan secara lokal melebihi root planing itu sendiri. Laporan awal oleh Wylam dkk memperlihatkan tidak memadainya root planing dengan dan tanpa akses bedah pada bagian furkasi tingkat II dan III pada gigi yang rusak: plak residual dan kalkulus ditemukan pada 89% pada molar yang dirawat dengan pembedahan dan 95% pada molar yang dirawat tanpa pembedahan. Artikel terbaru oleh ahli yang sama melaporkan bahwa deposit kalkulus residual mencakup 93,2% dan 91,1% permukaan akar furcal setelah instrumentasi tertutup dan terbuka. Sebaliknya, Matia dkk menemukan kalkulus residual yang jauh lebih banyak setelah root planing tertutup daripada terbuka pada molar-molar furkasi dengan lesi dalam (kelas II dan III). Tidak terlihat perbedaan antara penggunaan scaler ultrasonik dan kuretase pada kedua kelompok. Namun, ketika data distratifikasi menurut dimensi dari tempat masuk furkasi, debridement terbuka dengan ultrasonik meninggalkan lebih sedikit kalkulus dibandingkan kuretase pada tempat masuk yang berukuran 2,3 mm. Sama juga halnya, Fleisher dkk memperkirakan jumlah kalkulus residual pasca ektrasi setelah satu kali skeling dan root planing dengan dan tanpa akses bedah yang dilakukan oleh operator dengan dua level skill berbeda. Pada operator yang lebih berpengalaman, root

21

planing terbuka meninggalkan lebih banyak furkasi bebas kalkulus daripada debridement tertutup (68% berbanding 44%), namun perbedaan ini tidak signifikan secara statistik. Ketika prosedur-prosedur ini dilakukan oleh dokter gigi yang sedikit pengalaman, furkasi terjadi jauh lebih sering dengan akses flap daripada setelah debridement tertutup (43% berbanding 8%). Demikianlah, tingkat pengalaman sepertinya memiliki peran tambahan dalam debridement furkasi, dimana ahli periodonti yang lebih berpengalaman sering memperoleh permukaan furkasi bebas kalkulus lebih banyak dibandingkan operator yang tidak berpengalaman, apapun tipe pendekatannya, walaupun perbedaan signifikan hanya terlihat pada lesi-lesi yang dirawat dengan root planing tertutup. Tidak terdapat informasi yang dikemukakaan Fleisher dkk berkaitan dengan tipe dan distribusi dari kerusakaan furcal yang dirawat. Parashis dkk mengevaluasi secara detil efisiensi pembuangan kalkulus pada furkasi kelas II dan III yang dicapai melalui skeling dan root planing dengan dan tanpa akses bedah. Pendekatan ketiga mencakup penggunaan rotary diamond bur untuk membuang deposit kalkulus pada bagian furkasi setelah eksposure bedah. Perawatan gabungan ini paling baik dalam membuang kalkulus dari furkasi, khususnya pada bagian flute dan ketika tempat masuk furkasi berukuran <2,4 mm. Studi oleh Matia dkk, Wylam dkk, Fleisher dkk dan Parashis dkk dilakukan pada molar-molar yang direncanakan akan di ekstraksi, yang bercirikan dengan adanya kerusakan tulang parah dan deposit kalkulus tebal. Apakah hasil-hasil yang dilaporkan pada artikel ini dapat diaplikasikan pada molar-molar dengan keterlibatan furkasi tidak begitu dramatis dan pertambahan kalkulus masih belum dilakukan oleh investigasi lain.

22

Bisa disimpulkan bahwa operator berpengalaman membuang lebih banyak kalkulus daripada operator yang kurang berpengalaman. Disamping itu, pendekatan terbuka terbukti lebih efektif dalam membuang deposit kalkulus dari bagian furkasi, khususnya ketika dikombinasikan dengan penggunaan diamond bur. Namun, hasil-hasil yang tampaknya lebih menguntungkan dengan kombinasi dari root planing dan akses bedah dalam hal pembuangan kalkulus yang dikemukakan oleh Matia dkk, Parashis dkk dan Fleisher dkk tidak disertai oleh superioritas tetap ketika berkaitan dengan parameter klinis, seperti dikemukakan oleh Kalkwarf dkk, Schroer dkk, dan Wang dkk. Kalkwarf dkk mengevaluasi respon klinis dari bagian-bagian furkasi pada empat tipe terapi periodontal: skeling supragingiva, root planing, bedah flap Widman modifikasi atau bedah flap dengan osteoktomi. Bedah flap dengan reseksi tulang secara bersamaan jauh lebih baik dalam mengurangi kedalaman saku dibandingkan prosedur-prosedur lain, yang menimbulkan penurunan ratarata 1,65 mm. Sebaliknya, ini merupakan satu-satunya tipe perawatan untuk menghasilkan rata-rata hilangnya attachment vertikal (0,36 mm) pada akhir periode observasi 2 tahun. Skeling supragingiva, root planing dan bedah flap Wildman modifikasi memperlihatkan pencapaian attachment probing 0,32 mm, 0,44 mm dan 0,44 mm. Seluruh prosedur, kecuali root planing, menyebabkan hilangnya attachment probing horizontal pada furkasi. Hilangnya attachment yang berkaitan dengan bedah osseous jauh lebih besar (0,51 mm) dibandingkan dari yang terbentuk oleh skeling supragingiva (0,13 mm) dan flap Wildman modifikasi

23

(0,14 mm). Hasil-hasil terbaik untuk level attachment (vertikal dan horizontal) dan kedalaman saku dicatat dalam tahun pertama setelah operasi. Meskipun dengan reduksi kedalaman saku yang terbatas dibandingkan prosedur bedah, root planing terbukti lebih efisien dalam melindungi level attachment vertikal dan horizontal pada furkasi, dan bahkan hasilnya bagus pada sejumlah bagian. Menariknya, implementasi dari bedah osseous yang dilaksanakan pada banyak molar-molar furkasi (n=55) dibandingkan dengan prosedur-prosedur lain. Sebaliknya, furkasi yang masih tersisa, jika dirawat dengan bedah resektif tulang, memperlihatkan persentase bagian lebih kecil yang memperlihatkan kerusakan signifikan secara klinis selama 2 tahun pemeliharaan. Ini bisa didapat dengan pemisahan margin gingiva kearah apikal, sehingga dapat membantu kemampuan pembersihan tempat masuk furkasi. Schroer dkk meneliti level attachment dan perubahan kedalaman probing antara debridement tertutup dan terbuka pada furkasi molar kelas II fasial. Pada 16 bulan, kedua prosedur telah mengurangi kedalaman saku 1,21,5 mm. Pencapaian rata-rata dalam level attachment dari awal di observasi setelah skeling subgingiva tertutup (0,6 mm), sebaliknya furkasi yang dirawat kehilangan attachment (-0,46 mm). Namun, perbedaaan ini tidak signifikan secara statistik. Sama saja, Wang dkk tidak melaporkan perbedaan besar dalam perubahan level attachment setelah bedah penghilangan saku, kuretase atau flap Wildman modifikasi. Hasil klinis lebih bagus dalam level attachment klinis yang diobservasi oleh sejumlah peneliti dengan debridement tertutup juga telah diperkuat oleh sejumlah studi yang bertujuan memperkirakan perubahan-perubahan

24

densitometrik kuantitatif dari tulang alveolar didalam bagian-bagian furkasi baik yang menjalani skeling atau root planing ataau dibuka dengan bedah flap. Payot dkk merawat keterlibatan furkasi kelas I atau II dengan kuretase gingiva atau flap Wildman modifikasi atau dengan osteoplasti furkasi. Ketiga prosedur menimbulkan hilangnya kepadatan awal lapisan luar tulang

interradikular selama 2 bulan pertama setelah perawatan. Hilangnya lapisan luar tulang ini kemudian diikuti oleh penyembuhan signifikan secara statistik, yang menjadi sangat padat 1 tahun setelah operasi hanya pada bagian-bagian yang dirawat dengan kuretase. Begitu juga, hilangnya tulang awalnya ditemukan pada lapisan dalam setelah dua prosedur bedah. Namun, pencapaian kepadatan yang signifikan terdeteksi pada akhir studi, 1 tahun setelah terapi. Hasil-hasil ekuivalen dilaporkan oleh Bragger dkk. Hilangnya kepadatan tulang segera terjadi setelah eksposure bedah, sebaliknya pencapaian diketahui pada bagian-bagian furkasi yang dirawat dengan root planing tertutup, yang menjadi pembeda utama antara kedua perawatan. Namun, pencapaian kepadatan tulaang terlihat dengan besar sama pada bagian bedah dan non bedah 1 tahun setelah operasi. Kesimpulannya, walaupun skeling dan root planing yang dikombinasikan dengan bedah flap lebih efektif dalam membuang kalkulus, evaluasi klinis tidak mengindikasikan perbedaan dramatik antara perawatan bedah maupun non bedah seberapapun tingkat keterlibatan furkasi. Skeling tertutup dan root planing terbukti lebih efektif dalam melindungi level attachment yang sudah ada, bersamaan dengan terbentuknya remineralisasi tulang yang lebih baik, walaupun

25

fenomena ini disertai dengan reduksi kedalaman saku yang lebih rendah. Ekuivalen dari efisiensi klinis antara prosedur tertutup dan terbuka bisa dipengaruhi prosedur, variabel operator, kenyamanan dengan rekomendasi profesional, atau, bahkan kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Sejumlah kecil studi juga sudah ada untuk membandingkan efek-efek dari perawatan konservatif (debridement terbuka) setelah akses bedah yang digunakan sebagai kontrol positif, dengan sejumlah prosedur regeneratif. Allograf seperti porous hydroxyapatite atau tricalcium phospate dalam kombinasi dengan doxycycline dan membran kolagen menghasilkan reduksi saku lebih besar dan pengisian kerusakan dibandingkan debridemen bedah saja pada kerusakan furkasi kelas II dan III. Kemoterapi Kesulitan dalam melakukan debridement adekuat pada furkasi secara mekanis telah membawa eksperimentasi dengan agen-agen kemoterapi pada bagian ini. Needleman & Watts menguji efek tambahan dari irigasi gel metronidazole 1% ke bagian-bagian furkasi dengan keterlibatan kelas II dan III selama pemeliharaan periodontal dengan skeling subgingiva. Secara klinis, tidak terlihat perubahan lebih baik pada bagian furkasi yang dirawat dengan metronidazole. Begitu juga, kurangnya efek tambahan yang dikeluarkan oleh gel metronidazole dilaporkan untuk proporsi spirochetes, motile rod dan cocci yang terlihat pada mikroskop dark field. Nylud & Egelberg mengevaluasi efek-efek terapeutik dari irigasi subgingiva dengan tetrasiklin sebagai suplement pada debridement mekanis pada

26

furkasi dengan keterlibatan kelas I, II dan III. Irigasi profesional dengan larutan tetrasiklin 50 mg/ml dilakukan setiap minggu kedua selama 3 bulan. Evaluasi 1 tahun terhadap level attachment dan kedalaman saku memperlihatkan

memperlihatkan variasi pengabaian klinis yang sama (<1 mm) pada furkasi yang diirigasi dengan tetrasiklin dan saline. Selanjutnya dapat disimpulkan dari studistudi ini bahwa pemberian substansi antibiotik lokal sporadis dan tidak terkontrol sepertinya tidak mengeluarkan efek suplemental dibandingkan yang dihasilkan oleh perawatan mekanis subgingival. Sehingganya, Minabe dkk menempatkan tetrasiklin pada filem kolagen silang untuk mendapatkan obat dengan efek lepas lambat. Filem ini telah digunakan secara tunggal atau bersamaan dengan root planing pada keterlibatan furkasi kelas II pada percobaan klinis acak terkontrol. Penurunan dramatis dalam frekuensi bagian-bagian yang mengalami perdarahan pada probing terlihat pada kelompok yang dirawat dengan kombinasi tetrasiklin dan debridement mekanis. Ukuran penurunan jauh lebih besar daripada yang dihasilkan oleh root planing atau tetrasiklin saja disepanjang periode studi (8 minggu). Level attachment probing dan kedalaman saku sama-sama menurun dengan ketiga cara perawatan ini. Begitu juga, penurunan yang sama pada ketiga kelompok terlihat untuk jumlah mikroba total dan proporsi spirochetes, yang turun dari nilai sebelum operasi 10-17% menjadi 2-3% pada akhir perawatan aktif (4 minggu). Pada 8 minggu, spirochetes pada ketiga kelompok perawatan masih jauh dibawah jumlah awal, walaupun terlihat kembali sedikit meningkat. Data terbaru oleh Tonetti dkk memperlihatkan bahwa serat mengandung tetrasiklin mengurangi perdarahan dan kedalaman saku signifikan daripada yang

27

hanya dihasilkan oleh skeling dan root planing, walaupun temuan ini hanya terbatas pada 3 bulan pertama setelah insersi serat. Namun tidak terlihat adanya perbedaan perawatan pada follow up 6 bulan, kecuali lebih banyaknya bagian dengan reduksi kedalaman saku > 2 mm pada kelompok yang menerima skeling dan root planing serta terapi serat. Kesimpulannya, disamping efek anti-inflamasi jangka pendek yang terlihat dengan berkurangnya perdarahan pada probing, tetrasiklin pada peralatan lepas lambat sepertinya tidak begitu mendorong atau memperlama efektifitas dari debridement subgingiva yang umum digunakan pada furkasi kelas II. Secara keseluruhan, hasil-hasil dari studi diatas tidak memperlihatkan secara jelas terhadap implementasi terapi obat lokal tambahan pada keterlibatan furkasi, bagaimanapun tingkat keparahannya. Prosedur saluran/tunnel Preparasi tunnel dari gigi akar gabungan merupakan pendekatan sangat konservatif dalam perawatan keterlibatan furkasi kelas II dan III (Gambar 4). Tujuan dari perawatan ini adalah untuk mendapatkan kemungkinan pembersihan bagian furcal oleh pasien dengan sikat gigi interdental. Manfaat utama dari teknik ini adalah menghindari rekonstruksi prostetis dan, untuk molar-molar mandibula, terapi endodonti. Namun, preparasi saluran masih dapat dipergunakan hanya ketika dimensi tempat masuk furkasi cukup lebar dan terletak pada arah koronal untuk memudahkan penggunaaan alat pembersih. Restriksi anatomi membatasi penggunaan teknik ini terutama sekali pada molar-molar pertama mandibula, meskipun kadang-kadang dapat diimplementasikan pada molar-molar maksila.

28

Namun pada situasi ini, satu dari tiga akar bisa di reseksi untuk memperbaiki akses ke bagian furkasi. Sangat sedikit studi yang telah meneliti kemungkinan-kemungkinan preparasi saluran. Pada sebuah studi 5 tahun, Hamp dkk menemukan bahwa empat dari tujuh gigi yang dirawat dengan teknik ini mengalami karies akar, dan tiga diantaranya telah diekstraksi selama waktu observasi. Hellden dkk mengevaluasi pada studi retrospektif hasil klinis dari preparasi saluran 102 pasien (149 gigi) dengan waktu observasi rata-rata 37,5 bulan (kisaran 10 sampai 107 bulan). Enam puluh tiga maksila dan 35 molar pertama mandibula merupakan gigi yang paling banyak dirawat. Prophilaksis fluoride dilakukan setelah tunnelling pada bagian-bagian furkasi. Sepuluh gigi (7%) di ekstraksi dan 7 gigi (5%) dirawat ulang dengan hemiseksi. Pada 12 dari 17 gigi ini, ekstraksi dan hemiseksi telah dilaksanakan kaarenaa karies akar. Diantara 132 gigi yang masih ada, 23 (15%) memperlihatkan karies awal atau yang sudah terbentuk. Karena sekitar 75% dari gigi yang dirawat masih bebas karies dan berfungsi pada akhir periode observasi, para ahli berpendapat bahwa preparasi saluran memiliki prognosis jauh lebih baik daripada yang sebelumnya dilaporkan oleh Hamp dkk dan selanjutnya bisa dianggap sebagai alternatif perawatan yang valid. Namun, ini bukan merupakan kesimpulan yang berdasarkan bukti namun lebih bersifat pembuktian prinsipal. Dalam hal apa prosedur lebih baik atau lebih buruk daripada bentuk-bentuk perawatan konservatif lain tidak bisa dikemukakan sampai dilakukan percobaan klinis terkontrol.

29

Bisa dikatakan bahwa waktu

observasi rata-rata lebih singkat bisa

disebabkan oleh persentase lesi karies akar baru relatif rendah yang dilaporkan oleh Hellden dkk ketika membandingkan hasil-hasil yang mereka peroleh dengan penelitian Hamp dkk. Namun, Helden mengamati peningkatan perkembangan lesi karies akar terutama sekali selama 19 bulan pertama dari periode follow up. Ini sesuai dengan data yang dilaporkan oleh Ravald & Hamp dan Ravald dkk, yang memperlihatkan bahwa setelah bedah periodontal, perkembangan karies akar terutama sekali terjadi dalam 2 tahun setelah perawatan. Hasil-hasil yang diperoleh oleh Hellden dkk berkaitan dengan perkembangan karies akar bisa disebabkan oleh prophilaksis fluoride yang dilakukan oleh pasien pada furkasi. Pada studi terbaru, kemungkinan prosedur preparasi saluran telah dievaluasi pada 18 subjek, masing-masingnya memiliki molar dengan keterlibatan furkasi Glickman kelas II atau III, yang diikuti untuk waktu observasi rata-rata 5,8 tahun. Gigi yang dirawat adalah lima molar maksila daan 13 molar mandibula. Pada akhir periode observasi, karies akar terdeteksi hanya pada tiga gigi (16,7%) yang mengkonfirmasikan hasil-hasil yang didapat oleh Hellden dkk. Disamping itu, tidak ditemukan perbedaan pada level attachment dan pada evaluasi tulang radiografi pada molar-molar mandibula melalui saluran dibandingkan dengan bagian-bagian berdekatan yang dirawat dengan bedah osseous. Amputasi akar Amputasi akar merupakan suatu teknik yang digunakan pada molar-molar maksila dengan membuang saatu dari tiga akar untuk menghilangkan masalah furkasi dan untuk mencapai akses bagus untuk kontrol plak yang tepat. Karena

30

teknik ini dapat diaplikasikan tanpa perubahan besar dalam anatomi gigi dan tanpa rekonstruksi prostesis, cara ini bisa dianggap sebagai pendekatan konservatif untuk merawat keterlibatan furkasi. Teknik ini diperkenalkan oleh Farrar pada 1884 dan diperkenalkan kembali oleh Messinger & Orban pada tahun 1954. Cara ini dianjurkan untuk digunakan pada lesi endodonti-periodontal gabungan serta hilangnya tulang yang berkaitan dengan periodontitis. Hanya sejumlah kecil studi mengikuti bentuk klinis setelah pembuangan akar. Green mengamati 122 kasus hemiseksi molar atau amputasi akar sampai 25 tahun. Pada kelompok ini, 41 dari 101 molar maksila yang menerima amputasi akar dibuang, hampir seluruhnya 8 tahun. Penyebab hilangnya molar pada hampir seluruh kasus adalah kerusakan berkelanjutan dari tulang periodontal meskipun dengan oral higienis bagus dan kontrol plak cermat oleh pasien. Pasien pada studi kedua tampak lebih baik, dengan 33 dari 34 molar maksila yang bertahan selama 11 sampai 84 bulan setelah amputasi akar. Pengalaman klinis telah menunjukkan bahwa prosedur ini sering merupakan langkah interim dan dalam persentase besar gigi-gigi ini gagal dalam beberapa tahun pembuangan akar. Kesimpulan Studi-studi yang ditinjau disini telah memunculkan pandangan baru terhadap topik, yang mentransformasi konsep-konsep terapeutik dan paradigma prognosa yang berkaitan dengan lesi furkasi. Saat ini tidak terdapat data untuk menyimpulkan bahwa salah satu dari berbagai pendekatan yang disarankan untuk perawatan lesi furkasi harus menjadi pilihan karena pendekatan tersebut memberikan hasil jangka

31

panjang lebih baik dalam hal daya tahan fungsional. Demikian juga, studistudi yang membandingkan efek-efek dari berbagai pendekatan didalam subjek yang sama masih sangat kurang. Studi jangka panjang retrospektif berdasarkan pada mortalitas gigi memperlihatkan bahwa gigi-gigi dengan keterlibatan furkasi awal bisa memiliki angka keberhasilan mengagumkan setelah perawatan konservatif pada pasien yang merespon bagus terhadap perawatan. Namun, gigi-gigi furkasi hilang dengan proporsi lebih tinggi dibandingkan dengan gigi akar tunggal atau dengan molar-molar nonfurkasi. Kecenderungan yang sama terlihat pada studi-studi berdasarkan pada parameter klinis, yang membandingkan hasil dari perawatan antara gigi dengan keterlibatan furkasi dengan permukaan datar molar dan gigi akar tunggal. Hasil-hasil ini bisa disebabkan oleh sukarnya memperoleh debridement adekuat pada gigi dengan keterlibatan furkasi. Anatomi ganjil pada bagian ini dan dimensi dari diameter tempat masuk sepertinya sebagai alasan untuk kemungkinan adanya furkasi pada bagian residual plak subgingiva dan kalkulus. Dalam hal ini, debridement lebih efektif dicapai pada keterlibatan furkasi kelas II dan III ketika akses bedah disediakan dan scaler ultrasonik atau rotary diamond bur dipergunakan. Namun, hasil klinis dari pendekatan bedah dan non bedah tampak sama dalam jangka waktu panjang serta juga studi longitudinal jangka pendek. Pada sejumlah keadaan root planing tertutup terlihat lebih baik melindungi

32

level attachment klinis dan mengeluarkan remineralisasi lebih cepat pada tulang alveolar interadikular. Studi-studi yang dikemukakan diatas memperlihatkan bahwa pembuangan debris subgingiva yang tidak menyeluruh pada furkasi dengan

menggunakan perawatan konservatif mungkin tidak mempengaruhi respon klinis dan biologi pada suatu bagian atau pasien secara menyeluruh. Pada suatu bagian, prosedur yang dipergunakan selama pendekatan konservatif mungkin telah mendorong kontrol plak profesional dan yang dilakukan sendiri. Dari sisi pasien, respon bagus pada perawatan dari hampir seluruh subjek yang diamati pada studi retrospektif jangka panjang bersamaan dengan jumlah daya tahan fungsional lama pada hampir seluruh molarmolar furkasi mungkin berkaitan dengan dengan kontrol plak adekuat dan kerentanan rendah terhadap penyakit pada mayoritas pasien-pasien periodontal, sehingga menjelaskan hasil-hasil perawatan yang dapat diterima. * Sangat sedikit studi yang sudah dilakukan untuk preparasi saluran, dengan hasil-hasil beragam. Namun, studi oleh Hellden dkk yang mencakup pasien dalam jumlah besar, memperlihatkan hasil yang menjanjikan, waalaun waktu observasi rata-rata masih terbatas. Selanjutnya, studi prospektif dan terkontrol jangka panjang pada teknik-teknik ini diperlukan untuk mendukung temuan-temuan yang sudah ada. Sangat sedikit terdapat informasi yang ada mengenai amputasi akar dan odontoplasti. Namun, amputasi akar belum digunakan secara luas pada

33

studi klinis jangka panjang. Selanjutnya, harus hati-hati ketika menjabarkan data publikasi yang masih terbatas. Penggunaan obat-obatan sepertinya tidak memberikan manfaat jangka panjang terhadap manfaat yang bisa didapatkan dengan root planing. Namun, penurunan perdarahan jangka pendek pada penurunan kedalaman saaku yang diobservasi oleh Tonetti dkk mengindikasikan bahwa konsentrasi tinggi obat antimikroba disertai dengan perawatan

konvensional memiliki potensi untuk memperbaiki respon klinis pada bagian-bagian furkasi, selama perawatan periodontal pendukung. Meskipun penanganan dari keterlibatan gigi furkasi dengan pendekatan konservatif tidak memberikan hasil yang sama seperti dengan gigi akar tunggal atau permukaan datar molar, perawatan alternatif berdasarkan reseksi atau regenerasi tidak banyak menjanjikan. Studi pada regenerasi telah memperlihatkan tidak bisa diperkirakannya penutupan keterlibatan furkasi keseluruhan. Sejumlah laporan pada reseksi akar atau separasi akar telah memperlihatkan angka kegagalan yang sangat rendah, walaupun studi jangka panjang lain memperlihatkan hasil-hasil yang kurang bagus dengan terapi seperti ini, mortalitas gigi setelah 10 tahun antara 32 38%. Pembentukan prognosis Prognosis dari gigi-gigi furkasi yang dirawat dengan pendekatan konservatif dengan sendirinya masuk kedalam tingkat optimisme sedang, dengan mengingat bahwa timbulnya kerusakan tulang alveolar interadikular masih dianggap faktor resiko lokal untuk hilangnya gigi.

34

Faktor-faktor lokal lainnya bisa mempercepat jumlah perkembangan penyakit, sehingga meningkatkan resiko untuk ekfoliasi gigi-gigi furkasi: restorasi dan kebiasaan merokok* BUKU 2 FURKASI: MASALAH DAN PENANGANAN Perkembangan penyakit periodontal inflamasi, jika tidak ditangani, menimbulkan hilangnya attachment yang cukup memadai untuk mempengaruhi bifurkasi atau trifurkasi dari gigi akar gabungan. Furkasi merupakan bagian dengan morfologi anatomi kompleks yang mungkin sukar atau tidak mungkin menjalani debridasi dengan instrumentasi periodontal rutin. Metode perawatan harian rutin mungkin tidak bisa menjaga bagian furkasi bebas plak. Adanya keterlibatan furkasi merupakan salah satu temuan klinis yang bisa membawa diagnosa pada periodontiti lanjutan dan berpotensi menimbulkan prognosis buruk bagi gigi yang terkena. Keterlibatan furkasi selanjutnya menimbulkan dilema diagnosa dan terapeutik. FAKTOR-FAKTOR ETIOLOGI DARI MASALAH FURKASI Faktor etiologi utama dalam perkembangan kerusakan furkasi adalah plak bakteri dan konsekuensi inflamasi yang berasal dari keberadaan jangka panjang. Besarnya attachment hilang yang diperlukan untuk menghasilkan kerusakan furkasi sangat bervariasi dan berkaitan dengan faktor-faktor anatomi lokal seperti panjang root trunk, morfologi akar, dan anomali developmental seperti proyeksi enamel servikal. Faktor-faktor lokal bisa mempengaruhi jumlah deposisi plak atu mengkomplikasi performa dari prosedur oral higienis sehingga berkontribusi pada

35

perkembangan periodontitis dan hilangnya attachment. Sejumlah mengindikasikan bahwa prevalensi dan keparahan keterlibatan furkasi meningkat seiring pertambahan usia. Karies gigi dan matinya pulpa bisa juga mempengaruhi giig dengan keterlibatan furkasi atau bahkan bagian furkasi. Seluruh faktor-faktor ini harus dipertimbangkan selama diagnosa, rencana perawatan dan terapi dari pasien dengan kerusakan furkasi. DIAGNOSA DAN KLASIFIKASI DARI KERUSAKAN FURKASI Pemeriksaan klinis menyeluruh merupakan kunci pada diagnosa dan rencana perawatan. Probing cermat diperlukan untuk menentukan keberadaan dan luas keterlibatan furkasi, posisi dari attachment relatif terhadap furca, dan besarnya konfigurasi kerusakan furkasi. Transgingival sounding selanjutnya bisa mendefinisikan anatomi dari kerusakan furkasi. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan luas keterlibatan furkasi dan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin berkontribusi pada perkembangan kerusakan furkasi atau yang bisa mempengaruhi hasil perawatan. Diantara faktor-faktor ini adalah 1) morfologi dari gigi yang terkena, 2) posisi gigi relatif terhadap gigi berdekatan, 3) anatomi lokal dari tulang alveolar, 4) konfigurasi dari setiap kerusakan tulang,dan 5) keberadaan dan luas dari penyakit gigi lain seperti karies dan nekrose pulpa. Dimensi dari tempat masuk furkasi merupakan suatu variabel namun biasanya cukup kecil. Delapan puluh satu persen daari furkasi biasanya memiliki mulut saluran 1 mm atau kurang, dan 58% sebesar 0,75 mm atau kurang. Dimensi ini, bersamaan dengan anatomi lokal pada bagian furkasi, harus diingat pada

36

seleksi instrumentasi untuk probing. Sebuah probe dengan penampang kecil diperlukan jika akan mendeteksi keterlibatan furkasi awal. KLASIFIKASI KETERLIBATAN FURKASI Luas dan konfigurasi dari kerusakan furkasi merupakan faktor-faktor pada diagnosa dan faktor-faktor perawatan. Ini telah menimbulkan perkembangan sejumlah indeks untuk mencatat keterlibatan furkasi. Indeks ini berdasarkan pada ukuran hilangnya attachment pada furkasi, dalam kombinasi ukuran horizontal dan vertikal, atau kombinasi dari temuan-temuan ini dengan konfigurasi terlokalisasi pada kerusakan tulang. Glickman membagi keterlibatan furkaai kedalam empat kelas berikut:* FAKTOR-FAKTOR ANATOMI LOKAL PADA PERAWATAN FURKASI Pemeriksaan klinis dari pasien harus memungkinkan ahli terapi untuk tidak saja mengidentifikasi kerusakan furkasi tetapi juga berbagai faktor-faktor anatomi lokal yang bisa mempengaruhi hasil dari terapi (prognosis). Radiografi gigi yang bagus, sambil tidak memungkinkan klasifikasi keterlibatan furkasi definitif, memberikan informasi tambahan vital untuk rencana perawatan. Faktorfaktor lokal penting dibicarakan pada bagian berikut: Gigi Selama rencana perawatan, ciri-ciri anatomi berikut dari gigi yang mengalami gaangguan harus dipertimbangkan: Panjang bagian utama akar: Ini merupakan faktor kunci pada perkembangan dan perawatan dari keterlibatan furkasi. Jarak dari persambungan cementoenamel ke tempat masuk furkasi bisaa sangat bervariasi. Gigi bisa

37

memiliki bagian utama sangat pendek, panjang sedang atau akar-akar yang bisaa melebar ke titik dekat apeks (Gambar 64-3). Kombinasi dari panjang bagian utama akar dengan jumlah dan konfigurasi akar-akar mempengaruhi keberhasilan terapi. Semakin singkat bagian utama akar, semakin sedikit attachment yang harus hilang sebelum furkasi terjadi. Jika furkasi terbuka, gigi dengan bagian utama akar pendke bisa lebih dapat diakses untuk mempertahankan prosedur dan bagian utama akar pendek bisa membantu sejumlah prosedur bedah. Secara alternatif, gigi dengan panjang bagian utama sangat berlebihan atau akar melebar mungkin bukanlah kandidat tepat untuk perawatan jika furkasi telah terpengaruh. Panjang akar: panjang akar berkaitan langsung dengan kuantitas attachment yang menyokong gigi. Gigi dengan bagian utama panjang dan akarakar pendek mungkin telah kehilangan mayoritas sokongan sebelum furkasi. Gigi dengan akar panjang dan bagian utama berukuran sedang atau pendek lebih mudah dirawat karena masih terdapat attachment yang memadai utuk memenuhi keperluan fungsional. Bentuk akar: Akar mesial dari hampir seluruh molar pertama dan kedua mandibula dan akar mesiofasial dari molar pertama maksila secara umum lengkung ke distal pada sepertiga apikal. Disamping itu, aspek distal dari akar ini biasanya sangat lengkung. Kelengkungan dan fluting bisa meningkatkan potensi untuk perforasi akar selama endodonti atau mengkomplikasi penempatan selama restorasi. Ciri-ciri anatomi ini bisa juga menimbulkan makin meningkatnya kejadian fraktur akar vertikal. Ukuran dari pulpa radikular mesial bisa menimbulkan mayoritas bagian gigi selama preparasi.

38

Anatomi dari furkasi: Anatomi dari furkasi bentuknya kompleks. Keberadaan dari ridge bifurkasi, konkavitas pada puncak/dome, dan kemungkinan saluran tambahan tidak saja mengkomplikasi skeling, root planing, dan terapi bedah, tetapi juga pemeliharaan periodontal. Odontoplasti untuk mengurangi ridge ini mungkin diperlukan selama terapi bedah untuk hasil optimal. Proyeksi enamel servikal: Proyeksi enamel servikal (CEP) dilaporkan terjadi pada 8,6% sampai 28,6% molar. Prevalensi paling tinggi pada molar kedua maksila dan mandibula. Besarnya CEP diklasifikasikan oleh Masters dan Hoskins pada 1964. Contoh dari CEP Grade III terlihat pada Gambar 64-4. Proyeksi ini bisa mempengaruhi pembuangan plak, mengkomplikasi skeling dan root planing, dan bisa menjadi faktor lokal dalam perkembangan gingivitis dan periodontitis. Semuanya harus dihilangkan untuk membantu pemeliharaan. ANATOMI DARI LESI TULANG Pola dari Hilangnya Attachment Bentuk dari lesi tulang yang berasosiasi dengan furkasi bisa sangat bervariasi. Hilangnya tulang horizontal bisa membuka furkasi sebagai plate lingual/fasial tulang yang bisa benar-benar hilang selama resorpsi. Secara alternatif, bagian-bagian dengan ledge tulang tebal bisa bertahan dan mempengaruhi perkembangan furkasi dengan komponen-komponen vertikal dalam. Pola hilangnya tulang pada permukaan lain dari gigi yang terpengaruh dan gigi berdekatan juga harus dipertimbangkan selama rencana perawatan. Respon perawatan pada kerusakan tulang di berbagai sisi berbeda dari yang terjadi pada bagian-bagian hilangnya tulang horizontal. Kerusakan pada berbagai sisi tulang

39

dengan komponen-komponen vertikal interadikular dalam bisa menjadi kandidat untuk terapi regeneratif. Secara alternatif, molar-molar dengan hilang attachment lanjutan pada satu akar saja bisa dirawat dengan prosedur resektif. TEMUAN-TEMUAN GIGI LAIN Kondisi gigi dan periodontal dari gigi berdekatan harus dipertimbangkan selama rencana perawatan untuk keterlibatan furkasi. Kombinasi dari keterlibatan furkasi dan rapatnya akar dengan gigi berdekatan merepresentasikan

permasalahan sama yang terjadi pada furkasi tanpa pemisahan akar adekuat. Temuan seperti ini bisa membantu pembuangan pada gigi yang paling terpengaruh atau pembuangan akar (Gambar 64-5). Adanya band gingiva adekuat dan vestibula ukuran sedang sampai dalam akan membantu performa dari prosedur bedah jika diindikasikan. PERAWATAN PADA KERUSAKAN FURKASI Tujuan dari furkasi adalah untuk 1) membantu pemeliharaan, 2) mencegah hilang attachment lebih lanjut, dan 3) obliterasi kerusakan furkasi sebagai masalah pemeliharaan periodontal. Pemilihan bentuk terapi bervariasi menurut kelas keterlibatan furkasi, luas konfigurasi dari hilangnya tulang, dan faktor-faktor anatomi lain. Terapi untuk kerusakan furkasi awal: Kelas I Kerusakaan furkasi ringan atau awal (kelas I) cocok untuk terapi periodontal konservatif. Karena saku pada suprabony dan belum furkasi, oral higienis, skeling dan root planing masih efektif. Setiap margin overhanging tebal, groove fasial, atau proyeksi enamel servikal harus dihilangkan dengan

40

odontoplasti, kontur ulang, atau penempatan kembali. Resolusi dari inflamasi dan selanjutnya perbaikaan ligament periodontal dan tulang bisanya memadai untuk merestorasi kesehatan periodontal. Terapi untuk keterlibatan furkasi: Kelas II Jika komponen horizontal pada furkasi telah berkembang (kelas II), terapi menjadi lebih rumit. Keterlibatan horizontal dangkal tanpa hilang tulang vertikal signifikan biasanya merespon bagus terhadap operasi flap terlokalisasi dengan odontoplasti dan osteoplasti. Furkasi kelas II dalam terisolasi bisa merespon terhadap prosedur flap dengan osteoplasti dan odontoplasti (Gambar 64-4, A dan B). Ini menurunkan puncak dari furkasi dan mengubah kontur gingiva untuk membantu pembuangan plak pasien. Terapi untuk kerusakan furkasi lanjutan: Kelas II-IV Perkembangan komponen horizontal signifikan pada satu atau lebih furkasi dari gigi akar gabungan (Kelas II akhir, kelas III, dan kelas IV) dan/atau perkembangan komponen vertikal yang dalam pad furca memiliki permasalahan tambahan. Perawatan tanpa bedah secara umum tidak efektif karena kemampuan untuk menggunakan instrumen pada permukaan gigi dengan bagus akan terganggu. Bedah periodontal, endodonti, dan restorasi gigi mungkin diperlukan untuk mempertahankan gigi. TERAPI BEDAH UNTUK KETERLIBATAN FURKASI Reseksi akar Reseksi akar bisa diindikasikan pada gigi akar gabungaan dengan keterlibatau furkasi grade II sampai IV. Reseksi akar bisa dilakukan pada gigi

41

vital atau gigi yang dirawat secara endodonti. Namun lebih dipilih untuk menyelesaikan terapi sebelum reseksi akar. Jika hal ini tidak memungkinkan, maka pulpa harus dibuang, patensi akar ditentukan, dan kamar pulpa diberi medikasi sebelum reseksi. Merupakan hal yang berat untuk melakukan reseksi akar vital dan selanjutnya menghadapi hal yang tidak diinginkan seperti perforasi, fraktur akar, atau ketidakmampuan untuk instrumentasi saluran. Indikasi dan kontraindikasi untuk reseksi akar disimpulkan oleh Bassaraba. Secara umum, gigi yang direncanakan untuk reseksi akar harus termasuk seperti berikut: 1. Gigi yang sangat penting untuk rencana perawatan gigi keseluruhan. Contohnya gigi-gigi yang berperan sebagai gigi pegangan dari restorasi cekat atau lepasan dimana hilangnya gigi tersebut akan menimbulkan longgarnya prostesis dan memerlukan perawatan ulang prostesis. 2. Gigi yang memiliki attachment memadai untuk fungsi. Molar-molar dengan tulang hilang tingkat lanjut pada zona interproksimal dan interadikular, kecuali lesi memiliki tiga dinding tulang, bukan merupakan kandidat untuk amputasi akar. 3. Gigi-gigi yang diperkiraan tidak laagi bisa menjalani metode terapi lain atau metode terapi dengan biaya efektif. Contohnya gigi-gigi dengan kerusakan furkasi yang sudah berhasil dirawat dengan endodonti namun sekarang muncul dengan fraktur akar vertikal, tulang hilang lanjutan atau karies pada akar tulang.

42

4. Gigi-gigi pada pasien dengan oral higienis bagus dan aktifitas karies rendah merupakan kandidat yang tepat. Pasien yang tidak mampu atau tidak ingin melakukan oral higienis bagus dan cara-cara preventif bukan merupakan kandidat yang tepat untuk reseksi akar atau hemiseksi. Gigi dengan reseksi akar memerlukan perawatan endodonti dan secara umum memerlukan restorasi cast. Terapi-terapi ini bisa merepresentasikan biaya investasi finansial besar dari sisi pasien dalam usaha menyelamatkan gigi. Terapi-terapi alternatif dan pengaruhnya pada rencana perawatan keseluruhan harus selalu dipertimbangkan dan dikemukakan pada pasien. Reseksi akar: Akar mana yang akan dibuang dan mengapa? Gigi dengan kerusakan furkasi terisolasi pada segmen gigi penuh bisa memunculkan sejumlah kecil masalah diagnosa. Namun, timbulnya kerusakan furkasi gabungan dengan berbagai keparahan ketika dikombinasikan dengan periodontitis lanjutan umum bisa menjadi rencana perawatan yang menantang. Diagnosa cermat biasanya memungkinkan ahli terapi untuk menentukan kelayakan dari reseksi akar dan indentifikasi akar mana yang akan dibuang sebelum pembedahan. Berikut merupakan pedoman untuk menentukan akar mana yang harus dibuang pada kasus-kasus ini: 1. Buang akar yang akan menghilangkaan furkasi daan memungkinkan produksi dari arsitektur yang dapat dipertahankaan pada akar yang masih tersisa.

43

2. Buang akar dengan jumlah hilang tulang dan attachment terbesar. Nyata bahwa attachment periodontal yang memadai harus tersisa setelah pembedahan agar gigi dapat menahan beban fungsional yang diberikan. Gigi dengan hilangnya tulang horizontal sangat banyak bukanlah kandidat untuk reseksi akar. 3. Buang akar yang paling berkontribusi untuk menghilangkan masalahmasalah periodontal pada gigi berdekatan.* 4. Buang akar dengan jumlah masalah anatomi terbesar seperti kurvatur parah, groove developmental, flute akar, atau saluran akar gabungan dan tambahan. 5. Buang akar yang paling tidak menyulitkan pemeliharaan periodontal di masa datang. HEMISEKSI Hemiseksi adalah pemisahan dari gigi dua akar menjadi dua bagian terpisah. Proses ini telah disebut bicuspidisasi atau separasi karena mengubah molar menjadi dua akar terpisah. Hal ini terutama dilakukan pada molar-molar mandibula dengan keterlibatan furkasi Kelas II atau III bukal dan lingual. Seperti dengan reseksi akar, molar dengan tulang hilang lanjutan paada zona interproksimal dan interadikular bukanlah kandidat bagus untuk hemiseksi. Setelah pemisahan gigi, satu atau kedua akar bisa dipertahankan. Keputusan ini berdasarkan pada luas dan pola hilangnya tulang, bagian utama akar dan panjang akar, kemampuan untuk menghilangkan kerusakan osseous, dan pertimbanganpertimbangan endodonti dan restoratif. Anatomi dari akar mesial dari molar-molar

44

mandibula sering menimbulkan ekstraksi dan retensi dari akar distal untuk memfasilitasi endodonti dan restorative dentistry. Dimensi interadikular antara kedua akar pada gigi yang akan menjalani hemiseksi juga penting. Zona interadikular kecil bisa menyulitkan prosedur bedah. Retensi dari kedua akar molar bisa menyulitkan restorasi gigi, karena secara virtual tidak mungkin untuk menyelesaikan margin atau menyediakan embrasure adekuat antara kedua akar untuk oral higienis efektif dan pemeliharaan. Selanjutnya separasi orthodonti dari akar secara umum diperlukan agar terbentuk restorasi dengan embrasure adekuat. Hasilnya bisa berupa perlunya prosedur gabungan dan terapi interdisiplin yang luas. Pada pasien seperti ini ketersediaan dari alternatif perawatan lain seperti regenerasi tulang penuntun atau penggantian dengan implant dental osseointegrasi harus dipertimbangkan. RESEKSI AKAR/PROSEDUR HEMISEKSI Reseksi akar yang paling umum dilakukan adalah akar distobukal dari molar pertama maksila. Reseksi ini bisa dilihat pada Gambar 64-11, A-F. Setelah anestesi lokal yang tepat, flap mukoperiosteal tebal penuh di elevasi. Reseksi atau hemiseksi gigi dengan hilangnya attachment lanjutan biasanya memerlukan pembukaan flap fasial dan lingual/palatal. Bab 60 dari teks ini menggambarkan proses elevasi flap. Merupakan hal yang tidak lazim untuk bisa melakukan reseksi akar tanpa elevasi flap. Flap harus memberikan akses adekuat untuk visualisasi dan instrumentasi dan untuk meminimalkan trauma selama operasi. Setelah debridment, reseksi akar mulai dengan eksposure furkasi pada akar yang akan dibuang (Gambar 64-11,A). Pembuangan dari sejumlah kecil tulang

45

fasial ataau palatal mungkin diperlukan untuk memberi akses bagi elevasi dan membantu pembuangan akar (lihat Gambar 64-11,B). Pemotongan kemudian diarahkan dari apikal ke titik kontak gigi, melalui gigi, ke mulut saluran fasial dan distal dari furkasi (lihat Gambar 64-11,C). * Jika reseksi akar vital akan dilaksanakan, disarankan pemotongan lebih ke horizontal. Pemotongan miring membuk bagian permukaan besar pada pulpa radikular dan/atau kamar pulpa gigi. Ini bisa menimbulkan rasa sakit setelah operasi dan bisa mengkomplikasi performa endodonti. Pemotongan horizontal, walaupun bisa mengkomplikasi pembuangan akar, memiliki komplikasi lebih sedikit pasca operasi. Tunggul akar ini bisa dibuang dengan odontoplasty setelah selesainya terapi endodonti atau pada saat preparasi gigi. Setelah pemisahan, akar di elevasi dari soketnya (lihat Gambar 64-11,E). Harus sangat cermat agar tidak menimbulkan trauma tulang pada akar yang tersisa atau merusak gigi berdekatan. Pembuangan akar menghasilkan visibilitas ke aspek furkasi dari gigi yang bertahan dan menyederhanakan debridement dari furkasi dengan instrumen manual, rotari, ataupun ultrasonik. Jika perlu, odontoplasti dilakukan untuk membuang bagian-bagian dari ridge developmental yang akan mendorong retensi plak atau pembuangan plak yang berpengaruh buruk. Pasien-pasien dengan periodontitis lanjutan secara umum menjalani reseksi akar yang dilakukan bersamaan dengan prosedur bedah lainnya. Contoh kombinasi reseksi akar dan bedah osseous periodontal terlihat pada Gambar 6412, A-1. Lesi tulang yang bisa muncul pada gigi berdekatan kemudian dirawat menggunaakan terapi resektif dan regeneratif. Setelah reseksi flap kemudian

46

dirapatkan untuk menutupi setiap graft jaringan atau sedikit menutupi margin tulang disekitar gigi. Jahitan kemudian ditempatkan untuk mempertahankan posisi flap. Bagian ini bisa ditutupi atau tidak dengan dressing bedah. Pembuangan akar merubah distribusi dari tekanan oklusal pada akar yang tersisa. Selanjutnya bijaksana untuk mengevaluasi oklusi dari gigi tempat akar telah di reseksi daan jika perlu untuk menyesuaikan oklusi. Penahan sentrik harus dipertahankan, namun tekanan esentris harus dihilangkan dari bagian diatas akar yang dibuang. Pasien dengan hilang attachment lanjutan bisa memperoleh manfaat dari stabilisasi sementara dari akar yang di reseksi untuk mencegah pergerakan (Gambar 64-13, A-I). REGENERASI Literatur periodontal telah mencatat dengan baik usaha-usaha terapeutik yang didesain untuk menghasilkaan attachment baru dan/atau regenerasi pada molar dengan kerusakan furkasi. Berbagai prosedur bedah yang menggunakan berbagai material graft telah diuji pada gigi dengan berbagai kelas keterlibatan furkasi. Sejumlah peneliti melaporkan keberhasilan klinis dengan teknik-teknik ini, sebaliknya peneliti lain mengatakan bahwa penggunaan material ini pada furkasi kelas II, III atau IV memberikan sedikit manfaat dibandingkan dengan kelompok yang menjalani pembedahan. Kerusakan furkasi pada tiga bagian sisi yang signifikan bisa menjadi kandidat untuk prosedur regenerasi. Kerusakan tulang vertikal ini merespon bagus pada berbagai prosedur bedah lain seperti debridement dengan dan tanpa membran dan graft tulang.

47

EKSTRAKSI Ekstraksi gigi kerusakan furkasi menyeluruh (kelas III dan IV) dan hilangnya attachment lanjutan mungkin merupakan terapi paling tepat untuk sejumlah pasien. Ini benar-benar terjadi pada individual yang tidak bisa atau tidak mau melakukan kontrol plak adekuat, memiliki level aktifitas karies tinggi, tidak komit dengan program pemeliharaan yang bagus, atau memiliki faktor-faktor sosioekonomi yang bisa menghambat terapi yang lebih kompleks. Sejumlah pasien enggan untuk menerima bedah periodontal atau bahkan membiarkan pembuangaan gigi dengan keterlibatan furkasi lanjutan meskipun prognosis jangka panjang buruk. * PROGNOSIS UNTUK RESEKSI AKAR/HEMISEKSI Selama bertahun-tahun keberadaan dari keterlibatan furkasi signifikan benar-benar membuat gigi prognosis jangka panjang yang buruk. Namun penelitian klinis telah mengindikasikan bahwa furkasi tidak separah komplikasi yang diperkirakan jika bisa dilakukan mencegah perkembangan karies pada furkasi. Terapi periodontal yang relatif sederhana sudah cukup untuk mempertahankan gigi-gigi ini berfungsi dalam waktu lama. Para peneliti lainnya mendefinisikan penyebab kegagalan klinis dari gigi yang menjalani reseksi akar atau hemiseksi. Data mereka mengindikasikan bahwa penyakit periodontal rekuren bukan merupakan penyebab utama kegagalan pada gigi-gigi ini. *

48

BUKU 3 PERAWATAN GIGI YANG MELIBATKAN FURKASI Pemahaman mendetail tentang morfologi dari gigi akar gabungan dan posisinya pada lengkung gigi merupakan prasyarat utama untuk pemahaman yang baik pada permasalahan yang mungkin terjadi ketika gigi-gigi ini mengalami penyakit periodontal destruktif. ISTILAH Root complex merupakan bagian gigi yang terletak apikal dari persambungan cemento-enamel (CEJ) Root trunk mendefinisikan bagian akar yang belum bercabang. Root cone termasuk bagian dari akar yang sudah bercabang Furcation merupakan daerah yang terletak antara root cone individual Furcation entrance: daerah peralihan antara bagian akar yang belum memisah dan sudah memisah. Furcation fornix: atap dari furkasi Divergence merupakan jarak antara dua akar; jarak ini biasanya meningkat pada arah apikal. Coefficient of Separation : panjang dari root cone berkaitan dengan panjang root complex. ANATOMI Secara umum, molar pertama maksila lebih besar dari molar keduaa, yang selanjutnya lebih besar daripada molar ketiga. *

49

Tiga tempat masuk furkasi dari molar pertama dan kedua maksila lebarnya bervariasi dan terletak dengan beragam jarak apikal ke CEJ. Biasanya, molar pertama memiliki bagian utama akar lebih pendek dibandingkan molar kedua. Pada molar pertama tempat masuk furkasi mesial terletak 3 mm dari CEJ, sambil bukal sebesar 3,5 mm dan tempat masuk distal 5 mm apikal dari CEJ. Ini mengimplikasikan bahwa furcation fornix terinklinasi; pada bidang mesiodistal, fornix secara komparatif dekat ke CEJ pada mesial namun lebih dekat ke apeks pada permukaan distal. Tempat masuk furkasi bukal lebih sempit dibandingkan bagian distal dan mesial yang berseberangan. * Premolar maksila Pada sekitar 40% kasus, premolar pertama maksila memiliki dua cone akar satu bukal dan satu palatal, dan furkasi mesiodistal. Konkavitas (kedalaman sekitar 0,5 mm) sering muncul pada aspek furkasi dari akar bukal. Furkasi pada berbagai kasus terletak pada bagian tengah atau pada sepertiga apikal dari root complex (Gambar 29-6). Jarak rata-rata antara CEJ dan tempat masuk furkasi adalah sekitar 8 mm. Lebar dari tempat masuk furkasi adalah sekitar 0,7 mm. Molar-molar mandibula Molar pertama mandibula lebih besar daripada molar kedua, yang selanjutnya lebih besar daripada molar ketiga. * Gigi-gigi lainnya Furkasi bisa juga terjadi pada gigi-gigi yang biasanya memiliki satu akar. Kenyataannya, insisivus dua akar (Gambar 29-9a), kaninus (Gambar 29-9b) dan

50

premolar mandibula bisa terbentuk. Kadang-kadang premolar maksila tiga akar (Gambar 29-10a) dan molar mandibula tiga akar juga ditemukan. DIAGNOSA Keberadaan gigi dengan furkasi pada pasien periodontal akaan mempengaruhi rencana perawatan. Pemilihaan prosedur yang akan digunakan pada perawatan penyakit periodontal pada gigi akar gabungan pertama bisa dibuat ketika keberadaan dan dalamnya lesi furkasi telah diperkirakan. Pada pemeriksaan ini dapat digunakan cara-cara pengukuran penyakit periodontal bisa (lihat Bab 18) namun harus diberikan perhatian terhadap temuan-temuaan klinis dari probing klinis dan analisis radiografi dari bagian premolar-molar. Deskripsi klasifikasi dari furkasi yang berlibat berdasarkan jumlaah kerusakan jaringan periodontal yang telah terjadi pada bagian interadikular, seperti tingkat eksposure akar horizontal atau hilangnya attachment yang terjadi didalam root complex. Hamp dkk (1975) mengemukakan klasifikasi berikut pada keterlibatan furkasi. Tingkat I: hilangnya pendukung periodontal horizontal tidak lebih 1/3 lebar gigi Tingkat II: Hilangnya pendukung periodontal horizontal melebihi 1/3 lebar gigi, namun tidak mencakup lebar keseluruhan dari bagian furkasi. Tingkat III: Kerusakan jaringan periodontal horizontal menyeluruh pada bagian furkasi.

51

Penting untuk memahami bahwa masing-masing tempat masuk furkasi harus diperiksaan dan masing-masing tempat masuk harus diklasifikasikan menurut kriteria diatas. Probing Tempat masuk furkasi bukal dari molar-molaar maksila dan tempat masuk furkasi bukal dan lingual dari molar-molar mandibula biasanya dapat diakses untuk pemeriksaan menggunakan probe periodontal lengkung (Gambar 29-12 a,b), eksplorer atau kuret kecil. Pemeriksaan dari furkasi aproksimal lebih sukar, khususny ketika terdapat gigi di dekatnya. Bagian kontak besar antara gigi semakin mengganggu akses ke tempat masuk furkasi aproksimal. Pada molar-molar maksila, tempat masuk furkasi mesial terletak jauh lebih dekat ke palatal daripada ke permukaan gigi bukal. Demikianlah, furkasi mesial harus di probe dari aspek palatal gigi (Gambar 29-13). Tempat masuk furkasi distal daari molar maksila secara umum terletak di bagian tengah antara permukaan bukal dan palatal, dan, sebagai konsekuensi, furkasi ini bisa di probe dari aspek bukal atau palatal gigi. Pada premolar maksila, antomi akar sering sangat bervariasi. Akar-akar juga bisa bentuknya tidak beraturan seperti furrow longitudinal, invaginasi atau furkasi sesungguhnya, yang bisa membuka pada berbagai jarak dari CEJ. Karena variasi diatas dan karena akses terbatas, perkiraan klinis dari keterlibatan furkasi pada premolar maksil seringkali sukar. Pada sejumlah pasien, keterlibatan furkasi bisa pertama kali teridentifikasi setelah elevasi dari flap jaringan lunak.

52

Radiografi Radiografi harus selalu didapatkan untuk mengkonfirmasi temuan-temuan yang dibuat selama probing dari gigi dengan furkasi. Pemeriksaan radiografi harus termasuk pensejajaran dari radiografi periapikal dan bite-wing. Pada radiogafi, lokasi dari tulang interdental serta level tulang didalam root complex harus diperiksa (Gambar 29-14). Situasi-situasi ini bisa terjadi ketika temuantemuan dari probing klinis dan dari radiografi tidak konsisten. * DIAGNOSA BANDING Lesi pada ruang interdikular dari gigi akar gabungan bisa berasosiasi dengan masalah-masalah yang berasal dari saluran akar atau bisa juga hasil dari overload oklusal. Perawatan dari gigi dengan furkasi belum boleh dimulai sampai dibuatnya diagnosa banding yang tepat dari lesi. Pathosis pulpa kadang-kadang menyebabkan lesi pada jaringan dari furkasi (lihat Bab 14). Bentuk radiografi dari kerusakan seperti ini bisa memiliki sejumlah ciri yang sama dengan lesi furkasi yang berasosiasi dengan plak. * Trauma dari oklusi Tekanan-tekanan yang dihasilkan oleh gangguan-gangguan oklusal, seperti pasien bruksim dan clencher bisa menyebabkan inflamasi dan kerusakan jaringan atau adaptasi didalam bagian interadikular dari gigi akar gabungan. Pada gigi seperti ini, radiolusensi bisa terlihat pada radiografi dari root complex. Gigi bisa memperlihatkan bertambahnya mobilitas. Namun probing gagal mendeteksi keterlibatan furkasi. Pada situasi khusus ini, penyesuaian oklusal harus selalu mengikuti terapi periodontal. Jika kerusakan yang terlihat didalam root complex

53

berasal dari oklusal gigi akan distabilisasi dan kerusakan hilang dalam beberapa minggu setelah koreksi overload oklusal. TERAPI Perawatan dari kerusakan pada bagian furkasi dari gigi akar gabungan ditujukan untuk memenuhi dua tujuan: 1. Menghilangkan plak mikroba dari permukaan root complex terbuka 2. Pembentukan anatomi dari permukaan yang terkena sehingga membantu kontrol plak yang dilakukan sendiri secara tepat. Direkomendasikan berbagai metode terapi: Keterlibatan furkasi tingkat I Terapi yang direkomendasikan: skeling dan root planing. Furkasi plasti Keterlibatan furkasi tingkat II Terapi yang direkomendasikan: furkasi plasti. Preparasi saluran. Reseksi akar. Ekstraksi gigi. Regenerasi jaringan tertuntun pada mandibula. Keterlibatan furkasi tingkat III Terapi yang direkomendasikan: preparasi saluran. Reseksi akar. Ekstraksi gigi. Skeling dan root planing Skeling dan planing dari permukaan akar pada tempat masuk furkasi tingkat I pada hampir seluruh situasi menghasilkan resolusi lesi inflamasi pada gingiva. Penyembuhan akan menghasilkan kembali anatomi gingiva normal dengan jaringan lunak diadaptasikan secara tepat ke dinding jaringan lunak dari tempat masuk furkasi (Gambar 29-18a,b).

54

Furkasi plasti Furkasi plasti (Gambar 29-19a-f) merupakan cara perawatan resektif yang harus menghilangkan kerusakan interadikular. Substansi gigi dibuang

(odontoplasti) dan crest tulang alveolar menjalani remodel (osteoplasti) pada level tempat masuk furkasi. Furkasi plasti terutama digunakan pada furkasi bukal dan lingual. Akses permukaaan aproksimaal terlalu sedikit untuk perawatan ini. Furkasi plasti mencakup prosedur berikut: Diseksi dan refleksi jaringan lunak untuk mendapatkan akses ke bagian interadikular dan struktur tulang sekelilingnya Pembuangan jaringan lunak inflamasi dari bagian furkasi yang diikuti dengan skeling dan root planing yang hati-hati pada permukaan akar terbuka. Pembuangan (odontoplasti) mahkota untuk dan substansi akar atau pada bagian furkasi

menghilangkan

mengurangi

komponen

horizontal dari kerusakan dan untuk memperlebar tempat masuk furkasi. Kontur ulang crest tulang alveolar untuk mengurangi dimensi bukallingual dari kerusakan tulang pada bagian furkasi. Penempatan dan jahitan pada flap mukosal di level crest alveolar untuk menutupi tempat masuk furkasi dengan jaringan lunak. Setelah penyembuhaan jaringan seperti papilla harus menutup tempat masuk furkasi.

55

Harus hati-hati ketika odontoplasti dilaksanakan pada gigi vital. Pembuangan struktur gigi berlebihan akan menimbulkan resiko peningkatan sensitifitas akar. Preparasi saluran Preparasi saluran merupakan suatu teknik yang digunakan untuk merawat kerusakan furkasi tingkat II yang dalam dan tingkat III pada molar-molar mandibula. Tipe dari terapi resektif ini bisa diberikan pada molar-molar mandibula yang memiliki bagian utama akar pendek, sudut pemisahan lebar dan divergensi panjang antara akar mesial dan distal. Prosedur termasuk eksposur bedah dan penanganan dari bagian furkasi keseluruhan dari molar-molar yang terkena. * Separasi dan reseksi akar (RSR) Separasi akar meliputi pemisahan dari akar kompleks dan pemeliharaan seluruh akar. Reseksi akar meliputi pemisahan dan pembuangan satu atau dua akar pada gigi akar gabungan. RSR seringkali digunakan pada kasus-kasus molar dengan furkasi tingkat II yang dalam dan furkasi tingkat III. Sebelum pelaksanaan RSR, harus dipertimbangkan faktor-faktor berikut: Panjang dari bagian utama akar Divergensi antara cone akar Panjang dan bentuk cone akar Fusi antara cone akar Jumlah penyokong yang tersisa disekitar gigi individual

56

Stabilitas akar individual Akses untuk peralatan oral higienis

Molar-molar maksila Sejumlah keputusan harus dibuat ketika RSR direncanakan untuk molar maksila dengan furkasi. Karena gigi-gigi ini memiliki tiga cone akar, satu satu dua cone bisa dipertahankaan setelah separasi. Terdapat berbagai alternatif perawatan. Sebelum RSR, morfologi dari akar-akar individual serta bagian permukaaaan dari masing-masing akar harus dianalisa secara hati-hati.* Premolar Maksila Reseksi akar dari premolar pertama maksila hanya memungkinkan pada sejumlah kecil keadaan karena anatomi dari root complex. Furkasi pada premolar ini sering terletak pada level apikaal sehingga pemeliharaan dari satu akar tidak ada tujuannya. Selanjutnya, pada hampir seluruh kasus, keberadaan dari keterlibatan furkasi dalam tingkat II atau tingkat III pada premolar pertama maksila memerlukan ekstraksi. Molar-molar mandibula Jika RSR harus diaplikasikan pada molar-molar mandibula dengan furkasi, terdapat tiga alternatif perawatan: 1. Pisahkan kedua akar, namun pertahankan kedua akar (premolarisasi) 2. Pisahkan dan ekstraksi akar mesial 3. Pisahkan dan dan ekstraksi akar distal

57

Sekuen perawatan RSR Jika karakteristik anatomi dan patologi dari akar kompleks dari gigi akar gabungan telah diketahui, perawatan harus mengikuti rencana logis. Perawatan endodonti Jika gigi yang akan di reseksi vital atau jika tambalan saluran akar yang tidak tepat ditempatkan pada gigi non-vital, RSR mulai dengan terapi endodonti. Rubber dam bisa ditempatkan, dan kondisi optimal terbentuk untuk penanganan penting (pembersihan dan pembentukan) pada saluran akar. Integritas struktural dari akar harus dipertahankan dan jumlah dentin akar yang dibuang harus minimal. Tambalan langsung dengan amalgam atau cured composite kimia dari gigi yang dirawat secara endodonti harus dilaksanaakn sebelum RSR (Gambar 2930c). Masing-masing gigi harus memiliki retensi individual untuk restorasi yang tidak boleh pecah atau lepas selama RSR, pembuangan dan reline dari restorasi sementara, pencetakan dan trysin prostesis. BUKU 4 PERAWATAN KERUSAKAN FURKASI KELAS II DENGAN

REGENERASI JARINGAN TERTUNTUN ATAU PROTEIN DERIVATIF MATRIKS ENAMEL STUDI KLINIS KOMPARATIF 12 BULAN Baru-baru ini penggunaan protein derivatif matriks enamel (EMD) telah diperkenalkan sebagai suatu perawatan alternatif untuk regenerasi periodontal. Namun, efek-efek klinis pada furkasi Kelas II manusia masih belum banyak diteliti.

58

Tujuan studi ini adalah untuk membandingkan hasil-hasil klinis yang didapat untuk furkasi Kelas II yang dirawat dengan regenerasi jaringan tertuntun (GTR) dengan yang didapat dari aplikasi EMD. Dua puluh pasang furkasi mandibula Kelas II dirawat pada 10 pasien tidak merokok diamati pada studi ini. Masing-masing kerusakan dirawat secara acak dengan membran e-PTE (GTR) atau dengan EMD. Setelah terapi awal, dilakukan pencatatan dasar, termasuk kedalaman probing (PD) dan level attachment klinis relatif (CAL-R). Pengukuran jaringaan keras dilakukan selama bedah untuk menentukan level kerusakan tulang vertikal (BDL-V) dan horizontal (BDL-H). Pada prosedur entri ulang, dievaluasi kembali pengukuran jaringan lunak dan keras. Kedua prosedur menghasilkan reduksi PD signifikan secara statistik dan pencapaian paad CAL-R tanpa perbedaan signifikan antar kedua kelompok. Resolusi BDL-V signifikan pada kedua kelompok (GTR: 2,5 1,14 mm dan EMD: 1,5 0,77 mm), serta resolusi BDL-H (GTR: 3,3 1,82 mm dan EMD: 2,2 1,75 mm), tanpa perbedaan signifikan pada kedua kelompok. Berdasarkan hal ini, terapi GTR dan EMD bisa direkomendasikan untuk perawatan furkasi Kelas II, yang menghasilkaan perbaikan jaringan lunak dan keras dengn jumlah sama. Namun, jika teknik GTR memberikan hasil lebih baik secara numerik pada parameter jaringan lunak, ini sepertinya memberikan sedikit manfaat pada prosedur ini ketikaa terdapat kerusakan.

59

PENDAHULUAN Lesi furkasi berasosiasi dengan peningkatan resiko hilangnya attachment jaringan penghubung secara berkelanjutan, resorpsi tulang alveolar, dan mortalitas gigi, (Bjorn dan Hjort, 1982; Becker dkk, 1984) yang merepresentasikan salah satu tantangan terbesar pada terapi periodontal. Penanganan bedah memberikan akses untuk debridement akar dan dekontaminasi, odontoplasti, kontur ulang osseous dan regenerasi periodontal. Prosedur ini bertujuaan untuk menghambat proses penyakit, perlindungan attachment periodontal yang masih ada dan yang terpenting pada kasus terapi regeneratif adalah pembentukan tulang alveolar baru, cementum baru dan serat ligament periodontal baru yang dimasukkan secara fungsional. Hasil bagus dari perawatan kerusakan furkasi secara klinis didefinisikan dengan penghilangan komponen-komponen kerusakan horizontal dan vertikal dengan pengisian tulang. Namun evaluasi histologis merupakan satu-satunya cara untuk verifikasi regenerasi periodontal, yang berarti pembentukan jaringan periodontal baru diatas permukaaan akar yang sebelumnya terkontaminasi. Karena bukti histologis untuk keberhasilan perawatan kerusakan furkasi tidak viable untuk percobaan klinis terkontrol, setiap perubahan pada pengukuran tulang langsung (pada pembedaaan dan entri ulang) telah dipahami sebagai variabel primer untuk mengevaluasi keberhasilan klinis. Pengisian tulang yang terlihat pada prosedur entri ulang menunjukkan regenerasi periodontal dari bagian yang terlibat, serta perubahan pada level attachment klinis, reduksi kedalaman probing dan perbaikan radiografi.

60

Regenerasi jaringan tertuntun (GTR), dengan menggunakan membran expanded polytetrafluorethylene (e-PTFE), telah diterima sebagai prosedur yang berhasil untuk perawatan kerusakan furkasi tingkat sedang (Kelas II). Observasi klinis setelah penggunaaan material penghambat ini membuktikan kemampuannya membuat ligament periodontal dan sel-sel tulang untuk mengisi kembali secara selektif ruang terisolasi, yang menghasilkan pembentukan apparatus attachment baru. Studi-studi klinis juga mendukung efektifitas dari terapi GTR pada perawatan kerusakan furkasi Kelas II dengan cara reduksi saku, pencapaian pada level attachment klinis dan pengisian kerusakan tulang. Namun, prosedur ini memiliki kelemahan: ini merupakan teknik sensitif dan memerlukan tingkat keahlian pembedahan yang tinggi (Parodi dkk 2000). Disamping itu bisa terjadi permasalahan yang berkaitan dengan kolonisasi bakteri pada membran terbuka yang bisa berpengaruh buruk pada hasil dari terapi regeneratif (Bower dkk, 2003). Baru-baru ini, penggunaan protein derivatif matriks enamel (EMD) yang mudah diaplikasikan berupa gel diperkenalkan sebagai alternatif perawatan baru bagi regenerasi periodontal (Hammarstrom, 1997). Telah dikatakan bahwa aplikasi dari protein ini pada permukaan akar yang sebelumnya terkontaminasi menimbulkan regenerasi periodontal, yang menyerupai kejadian yang berlangsung selama perkembangan jaringan periondontal. Studi morfologi telah

memperlihatkan bahwa sel-sel dari pelindung akaar epiteliel Hertwig, yang merupakan perluasan dari organ dental pembentuk enamel, memiliki fase eksresi selama protein matriks berkaitan dengan enamel di sekresi dan secara temporer

61

terdeposit kedalam permukaan akar yang memberikan langkah awal penting dalam pembentukaan cementum aselular (Hammarstrom, 1997). Selanjutnya, selsel yang dekat ke permukaan akar sepertinya membawa pesan tidak saaja untuk membentuk cementum acellular tetapi juga ligament periodontal yang berkaitan dan tulang alveolar (Andreasen, 1981; Hoffman, 1960). Analisis histologis dari kerusakan interproksimal pada kera (Sculean dkk 2000), serta biopsi manusia (Heijl, 1997), setelah aplikasi EMD memperlihatkan pembentukan cementum baru dengan insersi serat kolagen pada permukaan akar yang sebelumnya mengalami gangguan. Aplikasi EMD pada perawatan kerusakan intrabony pada percobaan klinis juga menghasilkaan attachment baru signifikan. Namun, efek klinis pada keterlibatan furkasi tingkat II msih memerlukan investigasi. Selanjutnya, tujuan dari studi ini adalah untuk membandingkan hasil-hasil klinis yang didapat untuk furkasi kelas II yang dirawat dengan terapi GTR, menggunakan membran e-PTFE, dengan yang didapatkan dari aplikasi EMD. PEMBAHASAN Hasil dari percobaan klinis acak terkontrol ini mengindikasikan bahwa perawatan kerusakan furkasi Kelas II dengan GTR atau EMD bisa menimbulkan reduksi signifikan secara statistik pda PD dan pencapaiaan CAL-R pada pemeriksaan satu tahun setelah pembedahan. Tidak ditemukan perbedaan signifikan secara statistik pada parameter klinis antaara kedua kelompok setelah periode evaluasi. Walaupun perbedaaan pada perbaikan jaringan lunak antara kedua percobaan sepertinya sering pada kerusakan furkasi, lebih banyak pada kerusakan

62

intrabony, perbaikan yang tampak pada studi ini sesuai dengan data klinis sebelumnya setelah terapi GTR, yang mengkonfirmasikan hasil-hasil regeneratif bagus yang diperoleh dengan prosedur ini dalam perawatan kerusakan furkasi mandibular Kelas II. Disamping itu, perubahan-perubahan jaringan lunak yang terlihat disini juga lebih besar dari yang dicapai dengan debridement flap terbuka ketika digunaakan sebagai kelompok kontrol pada studi terapi GTR, yang memperlihatkan manfaat tambahan pada kedua teknik regeneratif dalam studi ini. Eksposure bedah dan entri ulang merupakan satu-satunya cara untuk mengkonfirmasikan tingkat penutupan kerusakan, walaupun regenerasi hanya dapat dikonfirmasi dengan bukti histologis. Pengukuran jaringan lunak saja bisa tidak tepat, jika attachment jaringan penghubung kuat lebih menghambat penetrasi probe daripada pengisian furkasi. * Menurut observasi klinis dan hasil studi ini, bisa dikatakan bahwa EMD berperan khususnya pada permukaan akar, yang memodifikasi proses

penyembuhan secara lokal dan menciptakan lingkungan kondusif untuk pembentukan cementum. Hal ini bisa menimbulkan pembentukan attachment baru dan selanjutnya menghasilkan reduksi PD dan pencapaian CAL-R, namun tidak selalu berkaitan dengan perbaikan level tulang baru. * KESIMPULAN Menurut hasil-hasil dari studi ini, terapi GTR dan EMD berhasil dalam perawatan lesi furkasi Kelas II manusia, yang menghasilkan perbaikan pada jaringan lunak dan keras. Namun, teknik GTR secara numerik lebih baik pada parameter jaringan keras setelah evaluasi 12 bulan, walaupun perbedaan-

63

perbedaan tidak signifikan secara statistik. Demikianlah, penggunaan kedua terapi bisa direkomendasikan untuk perawatan kerusakan furkasi Kelas II, dengan memiliki manfaat lebih banyak untuk GTR. BUKU 5 REGENERASI JARINGAN TERTUNTUN PADA PERAWATAN

FURKASI TINGKAT II PADA MOLAR MAKSILA Abstrak. Percobaan klinis ini di desain untuk mengevaluasi efek klinis dari GTR pada perawatan kerusakan furkasi tingkat II pada molar-molar maksila. 28 pasien usia 21 sampai 59 tahun, dirujuk untuk perawatan penyakit periodontal lanjutan ikut dalam studi ini. Mereka memperlihatkan lesi periodontal sama pada bagian molar maksila kiri dan kanan, namun hanya memiliki satu permukaan yang memperlihatkan keterlibatan furkasi. Total 28 pasang kerusakaan furkasi kontralateral tingkat II yang termasuk 18 pasang interproksimal (10 mesial, 8 distal) dan 10 pasang bukal, terdapat pada studi ini. Setelah selesainya terapi awal, molar dengan furkasi pada kuadran kiri dan kanan pada masing-masing pasien ditempatkan secara acak pada prosedur perawatan tes dan kontrol. Setelah elevasi flap, skeling, root planing dan pembuangan jaringan granulasi, membran ePTFE pada bagian tes disesuaikan untuk mencakup tempat masuk pada kerusakan furkasi dan tulang berdekatan dan dipertahankan pada posisi ini dengan jahitan sling. Flap mukoperiosteal selanjutnya disesuaikan dan ditempatkan untuk menutupi seluruh permukaan dari membran dan dipertahankan pada posisinya. Prosedur bedah identik dilakukan pada bagian gigi kontrol dengan pengecualian pada penempatan membran teflon. Tidak digunakan dressing periodontal. Mulai

64

satu hari sebelum operasi dan berlanjut selama 7 hari, pasien menerima 1+1 g amoksisilin perhari; pagi dan malam. Jahitan dilepas setelah 10 hari. Pada bagian tes, membran dilepas setelah 6 minggu penyembuhan. Bagian yang dirawat menjalani pemeriksaan dan prosedur entry ulang dilakukan 6 bulan setelah terapi rekonstruktif. Debridement flap terbuka pada furkasi maksila tingkat II menimbulkan sejumlah resesi gingiva dan reduksi kedalaman probing, namun tidak terjadi perubahan dalam parameter yang menggambarkan attachment probing atau level tulang. Penambahan GTR pada furkasi bukal memperbagus hasil perawatan dengan mendorong attachment probing dan pencapaian tulang dan mengurangi jumlah resesi jaringan lunak diatas bagian yang sudahh diselesaikan dengan debridement flap. Tidak terlihat manfaat dari terapi membran pada furkasi mesial dan distal. Pada pasien dengan bentuk periodontitis lanjutan, molar dengan keterlibatan furkasi memperlihatkan masalah khusus. Terapi non resektif yang ditujukan untuk reduksi saku, pencapaian attachment, perbaikan atau regenerasi pada gigi-gigi seperti ini sering gagal dan prognosis jangka panjang dari molar yang terlibat secara periodontal sangat meragukan. Terapi resektif, termasuk hemiseksi, reseksi akar dan tunnelisasi bisa menambah hasil terapi furkasi namun seringkali memerlukan cara-cara endodonti dan restoratif yang bisa menghambat prognosis jangka panjang. Lebih lanjut, reseksi akar dari molarmolar maksila pada sejumlah studi memberikan keberhasilan kecil. Usaha-usaha telah dilakukan untuk regenerasi lesi-lesi furkasi dengan penggunaan cara-cara tambahan seperti (a) pengkondisian akar, (b) penempatan graft dari tulang atau

65

substitusi tulang, (c) penanganan novel dari flap jaringn lunak, dan (d) teknikteknir yang menggunakan barrier membran (regenerasi jaringan tertuntun: GTR) yang ditempatkan antara flap primer, furkasi dan kerusakan osseous. Studi terhadap manusia telah melaporkan berbagai keberhasilan setelah GTR pada perawatan kerusakan furkasi tingkat II dan III pada molar-molar mandibula (Becker dkk 1988) dan terdapat sedikit informasi berkaitan dengan jenis perawatan ini pada molar-molar maksila. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengevaluasi efek klinis dari regenerasi jaringan tertuntun pada perawatan kerusakan furkasi tingkat II pada molar-molar maksila manusia. Perawatan Bedah rekonstruktif Setelah incisi sulcus, flap mukoperiosteal dinaikkan pada aspek bukal dan palatal dari molar-molar maksila dan premolar berdektan pada sextant. Jaringan granulasi dibuang dan permukaan akar terbuka menjalani debridasi dan planing yang hati-hati. Dengan penggunaan probe periodontal standar, pengukuran dicatat pada pusat kerusakan furkasi terbuka. A) Jarak (pada arah apiko-koronal) antara CEJ dan crest tulang (CEJ-BC). B) Jarak (pada arah apiko-koronal) antara CEJ dan basis kerusakan osseous (CEJ-BD) C) Jarak horizontal antara level puncak dari dua akar dan level tulang pada pusat kerusakan furkasi (level tulang probing horizontal: HPBL)

66

D) Tinggi dan lebar tempat masuk dari kerusakan furkasi: tempat masuk dianggap memiliki bentuk segitiga dan diperkirakan bagian permukaan (mm2). Setelah perkiraan parameter diatas, membran e-PTFE pada bagian tes disesuaikan untuk menutupi tempat masuk ke furkasi rusak dan tulang berdekatan dan dipertahankan pada posisi ini dengan jahitan sling. Flap mukoperiosteal selanjutnya disesuaikan daan ditempatkan untuk mencakup seluruh permukaan dari membran dan dipertahankan pada posisi tersebut dengan jahitan interproksimal dan jahitan sling. Prosedur bedah identik dilaksanakan pada bagian gigi kontrol dengan pengecualian pada penempatan membran teflon. Tidak digunakan dressing periodontal. Mulai sehari sebelum pembedahan dan berlanjut 7 hari, pasien menerima 1+1 g amoksisilin/hari, pagi dan malam. Mereka diinstruksikan untuk membilas 2x sehari, selama 4 minggu dengan larutan chlorheksidine gluconate. Jahitan dilepas setelah 10 hari. Pada bagian tes, membran dibuang setelah 6 minggu penyembuhan dengan menggunakan teknik dan prosedur follow-up yang digambarkan oleh Pontoriero dkk (1988). Pemeliharaan Selama periode 6 bulan penyembuhan setelah pembedahan, pasien dipertahankan dalam program kontrol plak yang termasuk pembersihan gigi profesional setiaap minggu ke 2 (Axelsson & Lindhe 1974). Pemeriksaan ulang dan operasi entri ulang Pasien diperiksa kembali 6 bulan setelah pembedahan. Perubahan jaringan lunak diteliti dengan memperkirakan parameter sama yang dicatat pada awal

67

pemeriksaan. Operasi entri ulang juga dilaksanakan untuk mengulangi pengukuran yang dibuat selama bedah rekonstruktif. Pembahasan Investigasi ini memperlihatkan bahwa pada pasien dengan oral higienis bagus, debridement flap terbuka pada furkasi maksila tingkat II menimbulkan sejumlah resesi gingiva dan reduksi kedalaman probing namun tidak terjadi perubahan pada parameter yang menggambarkan attachment probing atau level tulang. Penambahan GTR pada furkasi bukal mendorong hasil perawatan dengan mempromosikan attachment probing dan pencapaian tulang dan mengurangi jumlah resesi jaringan lunak diatas bagian yang sudah menjalani debridement. Tidak terlihat adanya manfaat terapi pada furkasi mesial dan distal. Pada konteks ini, harus ditekankan bahwa pada percobaan ini, molar-molar maksila diseleksi sehingga memperlihatkan satu permukaan tunggal dengan keterlibatan furkasi, dan penanganan flap tidak dikomplikasi. Namun, hanya tiga kerusakan ( 2 bukal dan 1 mesial, Gambar 7) sembuh dengan pengisian tulang menyeluruh. Temuan-temuan yang dilaporkan pada studi ini juga cocok dengan yang sebelumnya dilaporkan oleh Metzler dkk (1991). Mereka mengevaluasi terapi GTR pada 17 pasien dengan paling tidak satu pasang molar makisla dengan keterlibatan furkasi tingkat II. Masing-masing pasien pertama menyelesaikan fase terapi awal yang termasuk instruksi oral higienis, dan debridement subgingiva setelah dicapainya skor plak rendah. 12 pasang bukal dan 5 pasang interproksimal yang rusak selanjutnya dirawat dengan debridement flap terbuka saja atau kombinasi dengan penggunaan membran e-PTFE. Seluruh pasien menerima

68

doxycycline selama 21 hari setelah operasi, dibilas dengan chlorheksidine 0,12% dan menerima pembersihan profesional secara reguler. Membran dibuang setelah 4-6 minggu dan pasien diperiksa kembali setelah 6 bulan. Tidak terdapat perbedaan signifikan yang terlihat berkaitan dengan resesi jaringan lunak, reduksi kedalaman saku probing, perubahan attachment probing atau resorpsi dari crest tulang antara prosedur tes dan kontrol. Pada ahli menyimpulkan bahwa prosedur GTR memiliki aplikasi terbatas sebagai modalitas perawatan untuk furkasi kelas II dari molar-molar maksila. Temuan-temuan pada studi ini merupakan variant dari data yang sebelumnya dilaporkan oleh Pontoriero dkk (1988) dari perawatan furkasi tingkat II pada molar-molar mandibula manusia. Mereka memaparkan bukti bahwa terapi GTR pada kerusakan seperti ini (i) hampir seluruh bagian menimbulkan resolusi menyeluruh pada keterlibatan furkasi, (ii) jumlah rata-rata pencapaian attachment probing adalah 4,1 mm untuk furkasi bukal dan 2,9 mm untuk lingual. Temuantemuan yang sama selanjutnya dikemukakanoleh Becker dkk (1988) yang menemukan pencapaian rata-rata 2,3 mmm pada furkasi mandibula dan Lekovic dkk (1989) yang pada entri ulang memperoleh pencapaian attachment probing 2,9 mm untuk bagian-bagian yang dirawat dengan GTR. Pada studi ini, hanya didapatkan perbaikan level attachment sangat kecil setelah perawatan GTR. Demikianlah, pencapaian rata-rata dari attachment probing bervariasi antara 1,5 mm (bukal) dan 0,5 mm (distal) pada bagian-bagian yang dirawat dengan GTR dan sekitar 0,1-0,2 m pada bagian-bagian kontrol. Level pencapaian attachment setelah GTR hanya 40-50% dari yang dilaporkan pada molar-molar mandibula

69

namun sangat cocok dengan data dari molar-molar maksila. Demikianlah, Metzler dkk (1991) menemukan pencapaian attachment keseluruhan 0,1 mm pada bagian maksila yang dirawat dengan GTR dan 0,2 mm pada bagian kontrol. Alasan untuk hasil berbeda pada terapi GTR pada kerusakan furkasi maksila dan mandibula sepertinya berkaitan dengan anatomi dari kerusakan, keberadaan groove dalam pada permukaan akar dari furkasi maksila, akses terbatas untuk debridement permukaan akar, dan jumlah periodontium yang tersisa yang mengarah pada bagian rusak. Furkasi yang dirawat pada studi ini memiliki bagian tempat masuk ratarata antara 4,5 mm2 (furkasi bukal) dan 5,5-5,8 mm2 (mesial dan distal). Perbedaan rata-rata utmaa antara material ini dan yang dikemukakan oleh Metzler dkk adalah kedalaman keterlibatan furkasi. Demikianlah, pada furkasi kelas II, dimensi CEJ-BC dan CEJ-BD juga lebih besar dari 1 mm sebelum operasi dibandingkan kerusakan yang dirawat oleh Metzler dkk (1991). Ini bisa mengimplikasikan bahwa dalamnya kerusakan, paling tidak diatas level tertentu, tidak berpengaruh besar pada penyembuhan. BUKU 6 STUDI KOMPARATIF DARI DERIVATIF MATRIKS ENAMEL

DENGAN DAN TANPA GTR PADA PERAWATAN LESI FURKASI KELAS II PADA ANJING Lesi furkasi kelas II kronis diciptakanpada empat ekor anjing. Setelah 21 hari, kelompok satu menjadi kontrol, kelompok 2 dirawat dengan membran dan derivatif matriks enamel (EMD), dan kelompok 3 menerima EMD sama.

70

Penyembuhan pada kelompok 1 bercirikan dengan epitelium persambungan panjang dan pembentukan tulang terpisah; kelompok 2 memperlihatkan penurunan pembentukan tulang; dan kelompok 3 memperlihatkan regenerasi tulang signifikan (bagian tulang baru = 67,36%3,93%; jarak dari akar furkasi ke crest tulang = 0,570,15 mm). level EMD menimbulkan regenerasi signifikan pada lesi furkasi, dan hubungan dengan membran buruk. Tujuan dari perawatan periodontal adalah untuk menurunkan dan mengontrol proses inflamsi untuk attachment jaringan penghubung baru, atau bahkan regenerasi struktur periodontal yang hilang karena penyakit periodontal. Perawatan dari lesi furkasi tergantung pada tingkat keterlibatan. Perawatan klasik untuk kelas II dan III adalah perbaikan furkasi dan preparasi saluran atau reseksi akar. Metode bedah konvensional ini tidak menghasilkan perbaikan jaringan periodontal keseluruhan dengan pembentukan cementum baru dan insersi jaringan penghubung pada permukaan akar yang sebelumnya rusak, tidak juga menghasilkan tulang alveolar baru. Perbaikan tidak menyeluruh biasanya disebabkanoleh migrasi apikal dari epitelium persambungan dan/atau kolonisasi baktei pada bagian subgingiva. Dengan kemajuan teknik regeneratif, konsep baru perawatan periodontal berdasarkan prinsip-prinsip seleksi seluler, regenerasi jaringan tertuntun (GTR), memungkinkan perawatan gigi dengan lesi furkasi dengan metode bedah lebih konservatif. GTR dianggap memiliki kemungkinan terbaik untuk keberhasilan ketika diaplikasikan pada molar-molar mandibula dengan lesi furkasi Kelas II. Banyak peneliti melaporkan pencapaian pada attachment klinis vertikal, dengan

71

penutupan keseluruhan pada furkasi sampai 67% kasus dengan menggunakan bebagai tipe barrier mekanis yang dari polytetrafluorethylene, kolagen, cellulose, dan polylactic acid. Protein yang diambil dari matriks enamel (EMD) diperkenalkan sebagai metode baru perawatan untuk regenerasi periodontal. Studi-studi histologis pada binatang dan manusia memperlihatkan bahwa EMD menstimulasi pembentukan lapisan baru cementum aselular, dengan insersi serat kolagen dan tulang alveolar baru. Studi radiografi juga memperlihatkan bahwa aplikasi dari protein ini pada kerusakan periodontal intrabony menimbulkan pencapaian signifikan pada attachment klinis dan regenerasi tulang. Studi klinis melaporkan bahwa perawatan dengan EMD mengurangi kedalaman probing 3,1 sampai 4,3 mm dan peningkatan attachment 2,1 sampai 3,3 mm pada kerusakan periodontal intrabony dengan dua dan/atau tiga dinding. Tidak adanya reaksi buruk, seperti reaksi alergi, abses, atau inflamasi akut, mengindikasikan potensi imunologi rendah dari material ini ketika digunakan pada bedah periodontal rekonstruktif. Namun, konsistensi semi liquid dari gel merupakan faktor pembatas untuk penggunaan pada kerusakan periodontal yang lebar atau dalam karena tekanan yang diberikan oleh flap tidak menciptakan ruang adekuat untuk pembentukan tulang baru dan pengisian penuh pada kerusakan tulang. Kapasitas dari EMD untuk menghambat pertumbuhan apikal dari epitelium persambungna, salah satu kondisi dasar untuk regenerasi, belum terlihat secara adekuat.

72

Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisa, secara histomorfometrik pada anjing, efektifitas dari EMD untuk menimbulkan regenerasi jaringan periodontal pada lesi furkasi Kelas II, dengan dan tanpa GTR. Pembahasan Studi eksperimental dengan EMD menunjukkan aplikasinya pada regenerasi kerusakan periodontal menghasilkan pembentukan signifikan pada cementum, ligament periodontal, dan tulang, sama dengan yang didapat dengan GTR. Namun, asosiasi dari EMD dengan GTR tidak memberikan hasil lebih baik pada regenerasi kerusakan intrabony. Mekanisme mendapatkan regenerasi periodontal dengan GTR didasarkan pada prinsip penghilangan sel-sel epiteliel dan penghubung dari jaringan gingiva. Penempatan dari membran antara bagian pembedahan dan flap memberikan perlindungan untuk pembentukan gumpalan darah dan penyatuan ke permukaan akar, dengan menghindari migrasi apikal dari epitelium persambungan. Penempatan dari membran juga melindungi ruang untuk migrasi koronal dari selsel ligament periodontal dan sel-sel endosteal dari basis kerusakan, yang penting untuk terjadinya pertumbuhan tulang koronal signifikan. Studi ini memperlihatkan tidak adanya migrasi epitelium persambungan pada kerusakan dalam kelompok 2 dan 3, yang bisa dijelaskan dengan daya cytostatik dari EMD pada sel-sel epiteliel, atau dengan sifat mekanis dari membran yang dikemukakan diatas. Menurut Kawase dkk, EMD berperan pada sel-sel epiteliel sebagai agen antiproliferatif, namun tanpa daya citotoksis, dengan memberi penilaian pada

73

observasi klinis bahwa aplikasi dari EMD mencegah migrasi apikal dari epitelium persambungan. Pada tujuh bagian yang dianalisa pada kelompok 1 (kontrol), empat mengalami migrasi apikal. Epitelium persambungan pada bagian-bagian lain hanya terlihat pada bagian bukal di dekat bagian yang digunakan untuk analisis morphometrik. Sebuah studi melaporkan variasi signifikan dari migrasi epitelium persambungan pada kelompok kontrol, yang diukur dengan ekstensi bukolingual. Sama dengan studi ini, bagian-bagian histologis pada bagian paling sentral dari kerusakan, dan jarak tertentu dari persambungan cemento enamel (CEJ): seperti diharapkan, berdasarkan variasi pada migrasi yang dicatat diatas, epitelium tidak terlihat pada sejumlah bagian. Analisis histologis dan histomorphometrik dari pembentukan tulang baru memperlihatkan persentase tulang baru yang tinggi untuk kelompok 3 (67,36%), yang jauh lebih besar daripada kelompok 1 (31,65%) dan kelompok 2 (28,49%). Dengan mempertimbangkan regenerasi tulang maksimum merepresentasikan 80% bagian furkasi total ketika mengurangi ketebalan rata-rata 0,3 mm, nilai yang didapatkan untuk kelompok 3 hampir sama dengan regenerasi tulang lengkap. Dengan menganalisa jarak dari crest tulang ke atap furkasi, kelompok 3 memiliki nilai terendah, yang berbeda secara statistik dari kelompok 1 dan 2. Ini sesuai dengan persetujuan dengan data persentase tulang baru. Dengan mempertimbangkan bahwa efektifitas dari membran nonresorpsi saja pada regenerasi lesi furkasi Kelas II pada anjing telah dicatat, termasuk studi dari teknisi labor, dan penggunaan EMD saja sepertinya efektif, seperti terlihat

74

pada studi ini, bisa dikatakan bahwa permasalahan berkaitan asosiasi GTR dan EMD. Studi dari lesi periodontal intrabony dan lesi furkasi Kelas III pada kera memperlihatkan bahwa perawatan dengan GTR, dengan menggunakan membran resorbable, dan dengan EMD menimbulkan regenerasi periodontal; gabungan dari kedua perawatan ini tidak memberikan hasil lebih baik. Kenyataannya, terdapat lebih sedikit pembentukan tulang dengan GTR dan dengan EMD+GTR ketika terdapat eksposure membran. Pada studi ini, penggunaan membran nonresorbable, juga terdapat eksposure membran, yang bisa mempengaruhi hasil-hasil dari kelompok ini, walaupun tidak terdapat migrasi epiteliel dari inflamasi. Terdapat jaringan penghubung padat, cementum baru, dan attachment jaringan

penghubung. Dengan mempertimbangkan bahwa tinggi dari vorteks furkasi premolar pada binatang-binatang ini sama dengan CEJ, pembukaan kecil pada membran bisa menjadi faktor penentu dalam pembentukan tulang baru pada kelompok 2. Juga penting untuk mempertimbangkan bahwa pembentukan gumpalan darah dan selanjutnya jaringan granulasi, keduanya penting untuk keberhasilan GTR, bisa diubah dengan pengisian kerusakan dengan EMD. Studi lebih lanjut harus mengevaluasi pengaruh dari EMD+GTR pada penyembuhan awal dan selama fase maturasi tulang yang baru terbentuk. Ini akan mengkonfirmasikan apakah pada studi ini terjadi hambatan dan gangguan mineralisasi dari matriks ekstraleluler jaringan penghubung. Faktor lain yang akan dianalisa adalah konsistensi dari gel EMD. Konsistensi semi liquid dianggap sebagai faktor terbatas untuk pemeliharan ruang

75

pada kerusakan lebar atau dalam. Namun, hasil-hasil yang didapatkan untuk kelompok 3 memperlihatkan regenerasi jaringan periodontal signifikan. Setelah 8 minggu, tulang yang baru terbentuk adalah tulang woven pada ketiga kelompok. Temuan ini sesuai dengan hasil-hasil sebelumnya pada kerusakan furkasi Kelas II pada anjing setelah GTR. Pada 4 minggu, para ahli ini mengamati pengisian kerusakan dengan jaringan penghubung padat; pada 8 minggu, tulang woven mendominasi; dan pada 20 minggu, tulang telah matang pada tulang sekunder atau lamellar dan tulang medular. Analisis histomorphometrik dari pembentukan cementum baru

memperlihatkan persentase cementum baru yang tinggi pada kelompok 3 (94,44%), secara statistik sama dengan kelompok 1 dan 2. Meski dengan fakta bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antar kelompok, kelompok 1 memiliki nilai terendah (71,95%), yang bisa dipengaruhi migrasi dari epitelium persambungan dan bagian focal pada resorpsi akar eksternal. Cementum baru memiliki struktur variabel dan ketebalan berbeda pada kelompok 2 dan 3. Keberadaan atau kurangnya cementocyte dan berbagai proporsi serat intrinsik dan ekstrinsik terdistribusi secara acak pada permukaan akar, menyatu atau memisah. Hanya sejumlah kecil bagian cementum yang bersifat aselular, tipis, dan dengan kepadatan serat Sharpey padat, yang sesuai dengan studi sebelumnya. Namun, hasil-hasil ini tidak sesuai dengan cementum baru yang terbentuk dengan EMD. Pada studi dari lesi furkasi Kelas III pada anjing dengan menggunakan GTR setelah aplikasi EMD, cementum baru pada basis lesi bercirikan sebagai aselular dengan serat ekstrinsik, tipis dan menyatu kuat ke permukaan dentin, berbeda dari

76

yang ditemukan pada atap furkasi, yang bersifat seluler dan lebih tebal dan sama seperti kelompok kontrol.

77

You might also like