You are on page 1of 15

BAB I PENDAHULUAN Postherpetic neuralgia adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang

infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf. Postherpetic neuralgia lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya. Postherpetic neuralgia ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf nosiseptif (penghantar rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-sel saraf yang abnormal dan ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem penghambatan serta perangsangan saraf juga ditemukan dan berperan terhadap timbulnya nyeri pada kasus ini. Tidak semua kasus herpes zoster diikuti dengan postherpetic neuralgia. Kasus ini lebih sering ditemukan pada lansia, serangan herpes zoster di wajah bagian atas dan lengan, nyeri hebat pada saat serangan herpes zoster, dan ruam kulit yang sangat banyak pada saat serangan herpes zoster. Pasien sudah pernah menderita herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di tempat yang tadinya terdapat ruam kulit (lentingan). Nyeri demikian dapat dikategorikan sebagai postherpetic neuralgia jika masih dirasakan sampai lebih dari 3 bulan sejak hilangnya ruam kulit. Sifat nyeri umumnya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dapat dicetuskan oleh sentuhan ringan (yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri). Sejauh ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan untuk mendiagnosis postherpetic neuralgia. Jika penderita sudah terserang postherpetic neuralgia, dapat diberikan antidepresan, antikonvulsan (obat epilepsi), analgesik (pereda nyeri), kortikosteroid; dan terapi antiviral (misalnya dengan aciclovir). Konsultasikan dengan dokter mengenai penanganan yang cocok karena pengobatan yang diberikan sangat tergantung pada kondisi penderitanya masing-masing.

BAB II POSTHERPETIC NEURALGIA 2.1 Pengertian dan Epidemiologi Postherpetic neuralgia adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf.1 Postherpetic neuralgia lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya1.

Gambar 2.1 Postherpetic neuralgia1 Postherpetic neuralgia dapat diklasifikasikan menjadi acute herpetic neuralgia (30 hari setelah timbulnya ruam pada kulit), subacute herpetic neuralgia (30-120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit) dan postherpetic neuralgia (di defenisikan sebagai rasa sakit yang terjadi setidaknya 120 hari setelah timbulnya ruam pada kulit).1,2 2.2 Patofisiologi dan Patogenesis Postherpetic neuralgia memiliki patofisiologi yang berbeda dengan nyeri herpes zoster akut. Postherpetic neuralgia, komplikasi dari herpes zoster, adalah sindrom nyeri neuropatik yang dihasilkan dari kombinasi inflamasi dan kerusakan virus pada serat aferen primer saraf sensorik. Setelah resolusi infeksi primer varicella, virus tetap aktif di ganglia sensorik. Virus ini diaktifkan kembali, 2

bermanifestasi sebagai herpes zoster akut, dan berhubungan dengan kerusakan pada ganglion, saraf aferen primer, dan kulit. Studi histopatologi telah menunjukkan fibrosis dan hilangnya neuron (dalam ganglion dorsal), jaringan parut, serta kehilangan akson dan mielin (pada saraf perifer yang terlibat), atrofi (dari tanduk dorsal sumsum tulang belakang), dan peradangan (sekitar saraf tulang belakang) dengan infiltrasi dan akumulasi limfosit. Selain itu, ada pengurangan saraf inhibitor berdiameter besar dan peningkatan neuron eksitasi kecil, pada saraf perifer.3 Patofisiologi PHN adalah cedera neuron yang mengenai sistem saraf baik perifer maupun pusat. Cedera ini mengakibatkan neuron sentral dan perifer mengadakan discharge spontan sementara juga menurunkan ambang aktivasi untuk menghasilkan nyeri yang tidak sesuai pada stimulus yang tidak menyebabkan nyeri. Biopsi kulit menunjukkan hilangnya ujung saraf bebas epidermal pada daerah yang terkena. Namun, reinervasi tidak dibutuhkan untuk resolusi nyeri.4 Reaktivasi virus ini mengakibatkan inflamasi atau kerusakan pada serabut saraf sensoris yang berkelanjutan, hilang dan rusaknya serabut-serabut saraf atau impuls abnormal, dimana serabut saraf berdiameter besar yang berfungsi sebagai inhibitor hilang atau rusak dan mengalami kerusakan terparah. Akibatnya, impuls nyeri ke medulla spinalis meningkat sehingga pasien merasa nyeri yang hebat. Virus herpes zooster kebanyakan memusnahkan sel-sel ganglion yang berukuran besar sementara tersisa adalah sel-sel berukuran kecil. Mereka tergolong dalam serabut halus yang mengahantarkan impuls nyeri, yaitu serabut Adelta dan C. Hal ini menyebabkan semua impuls yang masuk diterima oleh serabut penghantar nyeri. Selain itu pada saraf perifer terjadi lesi yang mengakibatkan saraf perifer tersebut memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menimbulkan hyperesthesia, yaitu respon sensitifitas yang berlebihan terhadap stimulus. Hal ini menunjukkan adanya kelainan pada proses transduksi.5 Penghantaran nyeri pada proses transmisi juga mengalami gangguan. Hal ini diakibatkan oleh hilangnya impuls yang disalurkan oleh serabut tebal, sehingga semua impuls yang masih bisa disalurkan kebanyakan oleh serabut halus. Akibatnya sumasi temporal tidak terjadi, karena impuls yang seharusnya dihantarkan melalui serabut tebal dihantarkan oleh serabut halus. Karena sebagian

besar dari serabut tebal sudah tidak ada, maka mayoritas dari serabut terdiri dari serabut halus. Karena itu sumasi temporal yang wajar hilang.5 Dengan hilangnya sumasi temporal maka proses modulasi yang terjadi pada kornu posterior tidak berjalan secara normal, akibatnya tidak terjadi proses antara sistem analgesilk endogen dengan asupan nyeri yang masuk ke kornu posterior. Kornu posterior adalah pintu gerbang untuk membuka dan menutup jalur penghantaran nyeri. Hal ini dapat mengakibatkan munculnya gejala hyperalgesia.Maka dari itu impuls yang dipancarkan ke inti thalamus semuanya tiba kira-kira pada waktu yang sama dan hampir semuanya telah dihantarkan oleh serabut halus yang merupakan serabut penghantar impuls nyeri. Kedatangan impuls yang serentak dalam jumlah yang besar dipersepsikan sebagai nyeri hebat yang sesuai dengan sifat neuralgia. Sesuai dengan tipe pada penghantaran serabut saraf masing-masing, yaitu serabut saraf tipe A membawa nyeri tajam, tusuk dan selintas sedangkan serabut saraf tipe C membawa nyeri lambat dengan rasa terbakar dan berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan timbulnya allodinia, yaitu nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri).4,5 Pada level selular, bukti menunjukkan peningkatkan proporsi kanal natrium voltage-gated, perubahan kanal kalium voltage-gated, dan regulasi berlebih pada reseptor yang berhubungan dengan nyeri seperti transient receptor potential vanilloid 1 (TRPV1). Perubahan ini berhubungan dengan nyeri spontan dan yang dirangsang ke ambang yang lebih rendah pada potensial aksi. TRPV1 merupakan kanal kalsium nonselektif dengan permeabilitas kalsium yang tinggi yang diekspresikan pada ujung terminal dari neuron sensori berdiameter kecil. Inhibisi dari reseptor TRPV1 dapat mencegah potensial aksi pada neuron perifer yang menuju pada transmisi nyeri. Terdapat juga bukti bahwa hilangnya interneuron inhibitor aminobutyyric acid pada kornu dorsal sesuai dengan hilangnya inhibisi desenden.3 Meskipun terdapat predileksi untuk keikutsertaan nervus dan ganglion sensoris, deficit motorik dapat terjadi dari perluasan infeksi serta inflamasi pada kornu anterior medulla spinalis.3

Gambar 2.2. Model terjadinya postherpetic neuralgia.3

PHN dibedakan menjadi dua submodel, yaitu irritable nociceptor dan deafferentation. Model irritable nociceptor berhubungan dengan aktivitas C-fiber dan adanya alodinia taktil, mekanik, dan suhu yang berat dengan kehilangan sensoris yang kecil atau tidak ada samasekali. Nosiseptor c-fiber biasanya hanya terstimulasi oleh stimulus noxious, namun dengan adanya perubahan selular yang telah dijelaskan di atas menyebabkan serat saraf ini tersensitisasi, merendahkan ambang aksi potensialnyya, dan meningkatkan tingkat dan besar pelepasannya. Luaran klinisnya adalah nyeri spontan dan alodinia termediasi PHN.3 Model deafferentation berhubungan dengan alodinia dan kehilangan sensoris yang berhubungan dengan dermatom. Deafferentation perifer menghasilakn reorganisasi kornu posterior. C-fiber yang tersensitisasi pada saraf perifer berkurang jumlahnya yang mengakibatkan bertunasnya serat A- (serat berdiameter tebal yang berespon terhadap stimulus mekanik seperti raba dan tekanan). Pertunasan serat A- akhirnya menghasilkan hubungan dengan traktus

spinotalamikus pada medulla spinalis yang sebelumnya mengadakan sinaps dengan serat C untuk menghantarkan nyeri. Luaran klinis dari reorganisasi kornu dorsal yang disebabkan oleh degenerasi serat C dengan perhubungan serat A- mengakibatkan rangsang sentuh dan tekanan menjadi berkomunikasi silang dengan traktus spinotalamikus yang menghantarkan nyeri, menghasilkan alodinia yang diperantarai SSP.3 Sensitisasi sentral juga memainkan peranan penting dalam PHN karena impuls yang terus menerus dan konstan menuju medulla spinalis, juga dengan cedera virus secara langsungmenyebabkan eksitabilitas kronik sehingga input normal dan banyak dari nosiseptor perifer menghasilkan respon sentral yang meningkat.3 Patogenesis terjadinya herpes zoster sendiri disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di sel-sel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan nama Lipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis . Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf.7,8

Gambar 2.2 Patogenesis postherpetic neuralgia8

2.3 Faktor Risiko Tidak semua kasus herpes zoster diikuti dengan postherpetic neuralgia. Faktor risiko untuk terjadinya postherpetic neuralgia diantaranya2,3.: -

usia lebih dari 50 tahun serangan herpes zoster oftalmika dan di lengan nyeri hebat pada saat serangan herpes zoster ruam kulit yang sangat banyak pada saat serangan herpes zoster. terdapatnya nyeri prodormal sebelum terjadinya manifestasi kulit Diabetes mellitus Neoplasma imunocompromise

Insiden postherpetic neuralgia sendiri berkurang pada pasien dengan imunokompeten meskipun pada pasien dengan usia lebih dari 60 tahun yang telah mendapatkan vaksinasi virus varicella-zoster hidup yang dilemahkan.3 Penatalaksanaan untuk postherpetic neuralgia difokuskan pada penggunaan psikotropik dan antikonvulsan yang efektif untuk menurunkan kualitas nyeri. Anestetik lokal dapat pula digunakan. Neuralgia pasca herpetika dapat dicegah

dengan penggunaan kortikosteroid dan antiviral seperti asiklovir yang dimulai selambat-lambatnya 72 jam setelah inset ruam zoster dengan dosis 5x800mg perhari selama 7 hari.8 2.4 Gejala Klinis Pasien dengan postherpetic neuralgia mengalami nyeri dan yang hebat nyeri karena misalnya menetap seperti terbakar, nyeri tajam atau menusuk yang hilang timbul. Gejala yang muncul adalah hiperalgesia, rangsangan yang biasanya tidak parastesi, hiperastesi, menimbulkan nyeri (alodinia)

tersentuh pakaian. Nyeri dirasakan selama berbulan hingga bertahun setelah lesi zoster sembuh. Hampir seluruh penderita mengalami gangguan untuk mengenali sensasi para perabaan halus dan suhu pada daerah persarafan yang terkena. Pasien dewasa tua yang menderita postherpetic neuralgia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas hidup. Nyeri sering dihubungkan dengan penurunan sensoris, dan terdapat hubungan antara derajat penurunan sensoris dan keparahan nyeri6. Postherpetic neuralgia juga ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf nosiseptif (penghantar rangsang nyeri) dan sensorik. Terbentuknya persambungan sel-sel saraf yang abnormal dan ketidakseimbangan pengaturan otomatis pada sistem penghambatan serta perangsangan saraf juga ditemukan dan berperan terhadap timbulnya nyeri pada kasus ini.6 2.5 Diagnosis Diagnosis dapat dilakukan dengan cara mengetahui distribusi nyeri yaitu disepanjang saraf trigeminus, melakukan anamnesis diantaranya dengan menanyakan riwayat penyakit, apakah pasien demam, sudah pernah terkena cacar air, adakah timbul lesi seperti balon air, daerah yang terkena dimana saja, rasa sakitnya seperti apa, dan apakah sebelumnya anggota keluarga yang lain ada yang terkena penyakit yang sama. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan pula dengan langsung melihat lesi dan gambaran klinisnya.1 Pemeriksaan laboratorium dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang. Pasien sudah pernah menderita herpes zoster sebelumnya, dan nyeri dirasakan di tempat

yang tadinya terdapat ruam kulit (lentingan). Nyeri demikian dapat dikategorikan sebagai postherpetic neuralgia jika masih dirasakan sampai lebih dari 3 bulan sejak hilangnya ruam kulit. Sifat nyeri umumnya terasa seperti ditusuk-tusuk dan dapat dicetuskan oleh sentuhan ringan (yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri). Sejauh ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dibutuhkan untuk mendiagnosis postherpetic neuralgia.2 2.6 Penatalaksanaan Perawatan terhadap postherpetic neuralgia adalah dilakukan dengan obatobatan serta terapi selain dengan obat-obatan.2 2.6.1 Farmakologi 1. Topikal Terapi topikal berguna untuk pasien usia lanjut yang tidak dapat mentoleransi pengobatan sistemik karena penyakit lain yang dideritanya. Sampai saat ini, terdapat 3 kategori pengobatan topikal yaitu : a. Anestetik topikal Formulasi topikal lidokain, lidokain dengan prilokain, eter dalam kombinasi dengan antiinflamasi nonsteroid seperti aspirin dan indometasin dilaporkan juga bermanfaat dalam beberapa studi tanpa kontrol. Lidoderm (lidokain 5% skin patch), tersusun dari bahan perekat yang mengandung lidokain 5%, lidoderm menimbulkan analgesia dan memperbaiki alodinia dengan cara difusi lidokain ke lapisan-lapisan epidermis-dermis dan terikat pada kanal sodium saraf perifer. Untuk tiap aplikasi, efeknya berlangsung selama 4 hingga 12 jam. Karena keamanannya, kini disarankan untuk digunakan sebagai terapi awal post herpetic neuralgia dengan gejala alodinia atau nyeri yang intermiten. Penggunaan lidoderm telah disetujui oleh FDA. b. Anestetik lokal Hilangnya 50-90% nyeri dapat dicapai oleh anestesi infiltrasi subkutan, yang efeknya berlangsung selama beberapa jam hingga beberapa minggu. Lidokain, prokain, dan mepivakain sering diberikan secara infiltrasi atau intravena.

c.

Kapsaisin Kapsaisin (dolorax, capsin, zoztrix), trans-8-metil-N-vanilil-6nonenamida, ekstrak dari Capsicum frustecans, telah banyak digunakan untuk terapi topikal pada keadaan yang melibatkan nyeri, pruritus dan inflamasi. Kapsaisin berperan dalam meningkatkan pelepasan lalu deplesi substansi P, yang dianggap merupakan neurotransmiter peptida endogen utama rangsangan nyeri serabut C dari perifer ke susunan saraf pusat. Sehingga pada awalnya kapsaisin menyebabkan rasa terbakar dan hiperalgesia terhadap panas atau tekanan. Setelah beberapa hari hingga seminggu, efek ini digantikan oleh hipoalgesia. Analgesia baru timbul saat terjadi deplesi substansi P.

2. Sistemik

a. Analgesik i. Antiinflamasi nonsteroid (AINS) Asetaminofen (tylenol), aspirin dan antiinflamasi nonsteroid lain umum digunakan untuk postherpetic neuralgia. AINS berguna untuk potensiasi efek analgetik opioid pada nyeri parah. ii. Opioid Opioid memperbaiki nyeri melalui aktivasi reseptor spesifik di system saraf pusat dan perifer. Karena efek adiksinya, opioid hanya diindikasikan untuk penggunaan jangka pendek. b. Agen neuroaktif i. Psikotropik Antidepresan trisiklik (AT) merupakan terapi yang penting pada Postherpetic Neuralgia. Mekanisme kerja AT dalam menghilangkan nyeri adalah dengan memblokade reuptake neurotransmitter norepinefrin dan serotonin, serta meningkatkan inhibisi neuron spinalis yang terlibat dalam persepsi nyeri seperti terbakar dan nyeri tajam atau menusuk, AT yang banyak digunakan pada Postherpetic Neuralgia adalah amitriptilin (elavil), nortriptilin (pamelor), imipramin (tofranil), desipramin (norpramin), dan maprotilin.

10

ii.

Antikonvulsan Antikonvulsan dapat mengurangi nyeri tajam atau menusuk pada Postherpetic Neuralgia. Pada studi buta ganda dengan kontrol, karbamazepin mengurangi nyeri tajam atau menusuk namun tidak efektik untuk nyeri yang terus-menerus. Mekanisme kerja antikonvulsan dalam menghilangkan nyeri adalah dengan memblokade kanal natrium dan berperan sebagai membran stabilizing agent sehingga mencegah impuls ektopik yang dapat mencetuskan nyeri. Antikonvulsan yang sering yang digunakan adalah karbamazepin (tegretol), fenitoin (dilantin), asam valproat (depakene), dan gabapentin (neurontin). Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia lebih rendah dari dosis untuk epilepsi. Pemberian gabapentin untuk terapi post herpetic neuralgia dimulai dengan dosis rendah, lalu dinaikkan bertahap hingga efek yang diinginkan tercapai atau timbul efek samping yang serius.

iii.

Neuroleptik Golongan fenotiazin seperti flupenazin (prolixin), perpenazin

(trilafon), dan tioridazin, telah lama digunakan untuk terapi postherpetic neuralgia dalam kombinasi dengan AT. iv. Metikobal Metikobal adalah derivate vitamin B12 yang bersifat koenzim, menjadi aktif di tubuh, mempunyai afinitas yang besar terhadap jaringan saraf, dan dilaporkan efektif untuk neuralgia dan neuritis perifer. Selain itu metikobal dianggap mempunyai efek bila disuntikkan pada area saraf setempat, tetapi tidak efektif bila digunakan secara sistemik. Bersama dengan vitamin B1 dan B6 sering dipakai untuk membantu regenerasi saraf. 2.6.2 Nonfarmakologi
1. Pendekatan neuroaugmentif [3]

11

Beberapa pendekatan neuroaugmentif yang banyak digunakan antara lain counterirritation, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), akupuntur dan deep brain stimulation. Penggunaan teknik lain, seperti aplikasi ultrasound pada dermatom yang terkena dan stimuli korda dorsalis dikatakan tidak bermanfaat. a. Counterirritation Counterirritation (menggosok area yang terkena) dilaporkan dapat memperbaiki postherpetic neuralgia dengan meningkatkan inhibisi normal serabut saraf kecil di medulla spinalis.
b. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

TENS

dapat

memberikan

perbaikan

nyeri

sebagian

hingga

sempurna pada beberapa pasien post herpetic neuralgia. c. Stimulasi deep brain Stimulasi di nucleus ventrobasal thalamus pada pasien Postherpetic Neuralgia memberikan perbaikan nyeri yang bermakna dan berlangsung selama 7 hingga 17 bulan. d. Akupuntur Akupuntur tidak efektif untuk postherpetic neuralgia. e. Low Intensity Laser Therapy (LILT) Beberapa bukti menunjukkan LILT mempunyai efek terhadap sintesis, pelepasan, metabolisme, berbagai bahan neurokimia antara lain serotonin dan asetilkolin. LILT yang umum digunakan ialah laser HeNe.

2. Prosedur neurosurgikal Prosedur neurosurgikal merupakan pilihan terakhir untuk postherpetic neuralgia yang refrakter. Neuroktomi, rizotomi, avulasi saraf, simpatektomi, trakotomi trigeminal pernah disarankan pada beberapa tahun

12

yang lalu, namun tidak satupun yang menguntungkan untuk pengobatan postherpetic neuralgia. 3. Terapi Psikososial Manajemen stress dan berbagai tehnik kognitif-perilaku, termasuk latihan relaksasi, biofeedback dan hypnosis dapat bermanfaat sebagai terapi penunjang. Pasien perlu diberi penjelasan mengenai perjalanan kepatuhan pasien dan penyakitnya, dibuat strategi untuk mengikatkan mempercepat kembali ke aktivitas sebelum sakit. 4. Terapi Penunjang Alodinia taktil dapat diatasi dengan penggunaan artificial skin seperti kolodion spray atau penggunaan pakaian dengan bahan serat natural. Aplikasi cold packs juga bermanfaat sebagai terapi penunjang.

13

BAB III RINGKASAN Postherpetic neuralgia adalah suatu kondisi nyeri yang dirasakan di bagian tubuh yang pernah terserang infeksi herpes zoster (cacar ular). Herpes zoster sendiri merupakan suatu reaktivasi virus varicella (cacar air) yang berdiam di dalam jaringan saraf. Postherpetic neuralgia lebih banyak menyerang lansia dan orang dengan kekebalan tubuh yang rendah. Data seluruh dunia menunjukkan di antara pasien herpes zoster yang berumur di atas 60 tahun, 6% masih merasakan nyeri saat 1 bulan sejak terkena herpes zoster; dan 1% masih merasakan nyeri 3 bulan sesudahnya. Postherpetic neuralgia ditandai gangguan fungsi saraf yang menyerang saraf nosiseptif (penghantar rangsang nyeri) dan sensorik. Jika penderita sudah terserang postherpetic neuralgia, dapat diberikan antidepresan, antikonvulsan (obat epilepsi), analgesik (pereda nyeri), kortikosteroid; dan terapi antiviral (misalnya dengan aciclovir).

14

DAFTAR PUSTAKA
1.

Alvin

McElveen.

2012.

Postherpetic

Neuralgia.

Diakses

dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1143066-overview pada 13 Mei 2012.


2.

Mario Roxas, ND. 2006. Herpes Zoster and Postherpetic Neuralgia: Diagnosis and Therapeutic Considerations. Alternative Medicine Review. 2006; 11:2 Jericho Barbara G. Postherpetic Neuralgia: A Review. The Internet Journal of Orthopedic Surgery. 2010;16: 2. Gharibo Christopher, Kim Carolyn. Neuropatic Pain of Postherpetic Neuralgia. Pain Medicine News Special Edition. 2010 Martin. 2008. Ilmiah : Neuralgia Paska Herpetika. 2008. Persatuan Dokter Spesialis Syaraf Seluruh Indonesia. http://www.perdossijaya.org/perdossijaya/index.php? ption=com_content&view=section&id=7&layout=blog&Itemid=63 92k

3.

4.

5.

6.

Pasqualucci, V. Pasqualucci, et all. Prevention of post-herpetic neuralgia: acyclovir and prednisolone versus epidural local anesthetic and methylprednisolone. Acta Anaesthesiol Scand 2000; 44: 910918

7.

Lynn R Webster, Marvin Tark. Effect of duration of postherpetic neuralgia on efficacy analyses in a multicenter, randomized, controlled study of NGX-4010, an 8% capsaicin patch evaluated for the treatment of postherpetic neuralgia. Webster et al. BMC Neurology 2010. http://www.biomedcentral.com/1471-2377/10/92.

8.

Astrid Rizky Agustina, Dyah Nuraini. 2011. Neuralgia Pasca Herpetika. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.

15

You might also like