You are on page 1of 70

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi dan batuan sebagai penyusunnya serta sejarah dan fenomena-fenomena yang membentuknya baik secara endogen mau pun eksogen. Untuk mempelajari fenomena-fenomena tersebut perlu dilakukan suatu penelitian, salah satu caranya adalah pemetaan geologi. Seorang mahasiswa geologi dituntut dapat melakukan pemetaan geologi, sebab hal itu merupakan identitas seorang ahli geologi. Pemetaan ini juga merupakan penerapan dari ilmu geologi yang didapat di bangku kuliah, yang pada kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan, sehingga mahasiswa Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran Bandung, dapat memperoleh pengalaman dan pembelajaran dari lapangan yang sesungguhnya. Untuk melatih keterampilan, maka pada semester V (lima) ini kami diharuskan melakukan pemetaan geologi seluas 5 km2 yang dikerjakan oleh satu kelompok yang berjumlah tiga orang. Ada pun pemetaan tersebut berlokasi di daerah Pamekarsari, Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Pemetaan Geologi pendahuluan ini dilakukan karena daerah tersebut memiliki kondisi geologi yang menarik untuk dipelajari, sehingga diharapkan dapat mengungkapkan proses geologi daerah tersebut dari data-data dan informasi geologi secara rinci dan lengkap, serta ditunjang dengan teori-teori geologi yang selama 1

ini diperoleh

sehingga diharapkan dapat menjelaskan kondisi geologi daerah

tersebut yang dituangkan dalam bentuk peta geologi. Dari penjelasan di atas maka permasalahan yang muncul di daerah pemetaan adalah : 1. Morfologi dan proses-proses geologi apa saja yang menyebabkan terbentuknya suatu bentang alam tertentu di daerah pemetaan? 2. Litologi apa saja yang menyususn daerah pemetaan, meliputi karakteristik fisik, umur, lingkungan pengendapan, dan hubungan stratigrafi? 3. Struktur geologi apa saja yang berkembang di daerah pemetaan? 4. Bagaimana sejarah geologi yang berlangsung di daerah pemetaan?

1.2

Maksud dan Tujuan Pemetaan Maksud penelitian ini adalah mempraktekkan secara langsung prinsip dan

metode pemetaan geologi yang diterima selama perkuliahan. Sedangkan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui unsur-unsur penyusun geomorfologi dan memisahkan unsurtersebut ke dalam satuan geomorfologi. 2. Mengetahui jenis-jenis batuan, mendeskripsi karakteristiknya,

mengelompokannya ke dalam satuan-satuan batuan sesuai dengan sandi stratigrafi, serta mengetahui hubungan antar satuan batuan. 3. 4. Mengetahui struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian.

Mencoba mengungkapkan sejarah geologi daerah penelitian.

1.3

Kegunaan Pemetaan Kegunaan pemetaan ini adalah :

1.

Menambah pengalaman mahasiswa geologi dalam pekerjaan lapangan 2. Menambah informasi-informasi geologi daerah penelitian bagi yang

memerlukannya. 3. Diselesaikannya beban kuliah semester 5 (lima) yang berupa mata kuliah Pemetaan Geologi.

1.4

Geografi Daerah Penelitian dan Aksesbilitanya Secara administratif daerah penelitian ini terletak di daerah Pamekarsari,

Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang, Propinsi Jawa Barat. Sedangkan secara geografis daerah penelitian ini terletak antara 1075016,20 BT - 1075259,22 BT dan 63841,03 LS - 64122,91 LS. Luas daerah pemetaan sekitar 5 km2. Lokasi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.1. Lokasi ini dapat dicapai dengan kendaraan bermotor melalui jalan raya Jatinangor ke arah kota Sumedang, menuju daerah Cimalaka. Untuk menuju lokasi pemetaan kami menggunakan sepeda motor. Selain karena jalan yang dilalui tidak terlalu besar, di sisi lain kondisi jalan tidak mendukung untuk dilewati mobil. Penduduk di daerah pemetaan sebagian besar terdiri dari suku Sunda dengan mata pencaharian sebagian besar adalah bertani dan berdagang, sedangkan sebagian kecil menjadi pegawai negeri. Tingkat pendidikan penduduk sebagian besar lulusan Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Gambar 1.1 Lokasi Daerah Penelitian

1.5

Waktu Penelitian dan Kelayakan Kerja Pelaksanaan pemetaan ini dikerjakan dalam empat tahap, yaitu tahap

persiapan, tahap penelitian lapangan, tahap pengolahan data, dan tahap penyusunan laporan. Kegiatan Kerja Lapangan ini dilaksanakan dari bulan Juli 2008 sampai bulan Januari 2009. Selama penelitian, pangkalan kerja yang digunakan terletak di Desa Pamekarsari karena lokasinya strategis tepat dengan akses utama menuju desa sehingga memudahkan untuk menjangkau lokasi-lokasi pengamatan. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa kendala di lapangan. Daerah pemetaan sebagian besar masih berupa hutan, sehingga vegetasi sangat lebat dan sulit untuk dijangkau. Dan juga dalam menempuh rute tersebut akses sering ditemui jalanan setapak yang sangat licin dengan daerah curam yang cukup membahayakan. Hambatan lain yang ditemui adalah faktor cuaca, di mana kabut tebal selalu mucul, apabila akan turun hujan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai geologi regional daerah penelitian meliputi fisiografi, stratigrafi, struktur geologi, geologi sejarah, dan dasar-dasar teori yang diambil dari peneliti terdahulu dan dibandingkan dengan data yang didapat dari lapangan.

2.1

Fisiografi Regional Secara umum Van Bemmelen (1949) dalam bukunya The Geology of

Indonesia, telah membagi berdasarkan fisiografi dan perbedaan strukturalnya menjadi empat bagian, yaitu Jawa bagian barat (seluruh daerah di sebelah barat Cirebon), Jawa bagian tengah (daerah antara Cirebon dan Semarang, memanjang kira-kira 100-120 km), Jawa bagian timur (antara Semarang dan Surabaya), dan ujung timur Jawa atau Eastern Spur (Oosthoek) dan Madura. Selanjutnya, setiap regional (Jawa bagian barat, Jawa bagian tengah, sampai Eastern Spur dan Madura) dibagi lagi menjadi beberapa jalur fisiografi yang mengacu kepada letak dalam fisiografi utama, dengan penamaan yang disesuaikan dengan nama geografisnya.

2.2

Fisiografi Regional Jawa Barat Van Bemmelen (1949) telah membagi fisiografi Jawa Barat menjadi lima

zona, yaitu:

1. Zona Dataran Rendah Pantai Jakarta: meliputi bagian Utara Jawa Barat, membentang dari barat ke timur mulai dari Serang sampai ke Cirebon sepanjang 40 km. Zona ini didominasi oleh endapan aluvium, endapan pantai dan aliran lumpur serta produk aktivitas gunungapi Kuarter.

2. Zona Bogor : memanjang dari barat ke timur mulai dari Rangkasbitung sampai Majenang (Bumiayu). Zona ini ditempati oleh pegunungan dan perbukitan dengan lebar kurang lebih 40 km, merupakan suatu antiklinorium yang terpatahkan kuat. Endapannya terdiri oleh akumulasi endapan Neogen yang tebal dengan dicirikan oleh endapan laut dalam. Umumnya terdiri dari batulempung dan breksi yang merupakan endapan turbidit, disertai beberapa intrusi hypabisal.

3. Zona Pegunungan Bayah : menempati sebelah Barat Zona Bandung dan memiliki penyebaran paling kecil, yaitu mulai dari Ujung Kulon di sebelah barat sampai ke Sukabumi di sebelah timur.

4. Zona Bandung : merupakan zona depresi di antara jalur pegunungan TimurBarat, memiliki struktur bagian atas dari geantiklin Jawa yang mengalami sesar

normal selama atau setelah pengangkatannya pada Tersier Akhir. Membentang mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu melalui dataran tinggi Cianjur, Bandung, Garut hingga Lembah Sungai Citanduy dan berakhir di Segara Anakan pantai Jawa Tengah. Zona ini sebagian besar ditutupi oleh endapan gunungapi Kuarter, akan tetapi di beberapa tempat masih dijumpai endapan Tersier.

5. Zona Pegunungan Selatan Jawa Barat : merupakan dataran tinggi (plateu) berbentuk segitiga dan puncaknya di sekitar Bandung dan memanjang dari barat ke timur, mulai dari Pangandaran bagian barat sampai ke Nusa Kambangan bagian timur. Secara keseluruhan zona ini merupakan suatu geantiklin yang agak landai dan telah miring beberapa derajat ke arah Selatan. Umumnya merupakan suatu bentang alam yang dipengaruhi oleh kejadian pembentukan peremajaan (peneplain), pengangkatan dan adanya limpahan material rombakan hasil erosi. Erosi yang terjadi merupakan erosi usia lanjut membentuk lembahlembah yang sangat lebar dan hampir rata. Adanya pengangkatan yang terus menerus mengakibatkan terjadinya kembali lembah-lembah yang dalam dan sempit. Van Bemmelen menyimpulkan bahwa tidak semua daerah Pegunungan Selatan Jawa Barat tenggelam sewaktu transgresi pada kala Miosen Atas (saat seri Bentang diendapkan). Pembentukan morfologinya dipengaruhi oleh proses geologi selama proses pembentukan, perbedaan sifat kekerasan dan jenis batuan serta struktur geologinya.

Berdasarkan letak Geografis maupun ciri batuan dan struktur geologinya, daerah penelitian termasuk ke dalam Zona Bogor bagian timur. Peta Fisiografi Jawa Barat dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Peta Fisiografi Jawa Barat ( van Bemmelen, 1949 )

2.3

Stratigrafi Regional Pembahasan stratigrafi regional dimaksudkan untuk memberikan gambaran

umum dari beberapa formasi yang erat hubungannya dengan stratigrafi daerah penelitian dan diuraikan dari satuan yang tua ke satuan yang lebih muda. Van Bemmelen (1949) telah mengurutkan stratigrafi Zona Bogor bagian Tengah dan Timur sebagai berikut :

Formasi Pemali Urutan tertua dimulai dari yang berumur Oligosen yang dikenal dengan nama Pemali Anggota Bawah (Lower Pemali Beds), terdiri dari batulempung, serpih dengan selingan batupasir kuarsa, napal, dan batugamping, dengan fosil penunjuk foraminifera besar Spiroclypeus.

Di atas Formasi Pemali Anggota Bawah, diendapkan batuan dari Formasi Pemali Anggota Atas (Upper Pemali Beds), pada Daerah Purwakarta dikenal sebagai Kompleks Annulatus (Annulattus Complexes) yang dibagi menjadi 2 fasies, yakni fasies utara dan fasies selatan. Formasi Pemali Anggota Atas ini diperkirakan berumur Miosen Bawah Bagian Atas sampai Miosen Tengah Bagian Bawah. Fosil yang dijumpai berupa foraminifera besar Cycloclypeus annulatus MARTIN, Cycloclypeus sp, Lepidocyclina sp, dan Miogypsina sp.

1.

Formasi Cidadap Di atas Formasi Pemali Anggota Atas, diendapkan secara selaras Formasi Cidadap (Cidadap Beds) atau juga disebut Halang Atas (Upper Halang Beds) yang terdiri dari serpih yang berfasies marin dibagian utara sedangkan dibagian selatannya berfasies volkanik yang berupa breksi dan batupasir tufaan. Fosil yang dijumpai adalah Lepidocyclina sp yang merupakan fosil penunjuk Miosen Tengah Bagian Atas. Selanjutnya Formasi Cidadap ditutupi secara tidak selaras oleh satuan batuan piroklastik yang kemudian disebut sebagai Breksi Kumbang (Kumbang Breccia). Selama kegiatan vulkanisma tersebut, disertai pula dengan peristiwa intrusi-intrusi andesit hornblende, dasit, dan diorit kuarsa. Kegiatan vulkanisma ini diperkirakan terjadi pada Miosen Atas.

Formasi Cijurey Diatas Formasi Cidadap diendapkan batuan dari Formasi Cijurey (Cijurey Beds) yang terdiri batulempung, serpih, napal, batupasir tufaan, andesitik, dasitik, konglomerat dan breksi serta lapisan tipis batubara muda (lignit). Umur formasi ini diperkirakan Miosen Atas sampai Pliosen Bawah, fosil yang dijumpai adalah Mollusca chirebonian dan fauna vertebrata Cijulang Bagian Atas.

Formasi Ciherang Formasi Ciherang diendapkan secara selaras diatas Formasi Cijurey. Formasi Ciherang diperkirakan berumur Pliosen Tengah, dengan komposisi konglomerat dasitik, andesitik dan batupasir tufaan.

Formasi Kaliglagah Diatas Formasi Ciherang secara selaras diendapkan Formasi Kaliglagah yang berumur Pliosen Atas, mempunyai komposisi endapan marin, tuf, batupasir, lempung, dan lapisan lignit.

Formasi Tambakan Diatas Formasi Kaliglagah diendapkan secara tidak selaras Formasi Tambakan yang merupakan hasil gunungapi yang berumur Pliosen Bawah yang kemudian ditutupi oleh endapan Kuarter Tua dan akhirnya secara tidak selaras ditutupi pula oleh endapan vulkanik muda dan endapan sungai.

10

Djuri (1995) dalam Peta Geologi Regional Lembar Ardjawinangun mengemukakan urutan stratigrafi dari yang tua ke muda adalah sebagai berikut : Formasi Cinambo Formasi Cinambo ini dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu Formasi Cinambo Bagian Bawah (anggota batupasir) dan Formasi Cinambo Bagian Atas (anggota serpih). Formasi Cinambo Bagian Bawah (anggota batupasir) disusun oleh graywacke dengan relief tinggi, batupasir gampingan, tuff, lempung, dan lanau. Graywacke ini mempunyai ciri perlapisan yang tebal, dengan sisipan serpih dan lempung tipis yang padat dan berwarna kehitaman, formasi ini diperkirakan berumur Miosen Bawah. Formasi Cinambo Bagian Atas (anggota serpih) disusun oleh batulempung dengan sisipan batupasir fosilan, batugamping, batupasir gampingan, dan batupasir tufaan dengan tebal keseluruhan 400 500 m, formasi ini diperkirakan berumur Miosen Bawah bagian Atas. Selaras diatas Formasi Cinambo diendapkan Batugamping Kompleks Kromong yang terdiri dari batugamping, batulempung, batupasir, batupasir gampingan dan batupasir tufaan, yang diperkirakan berumur Miosen Tengah.

1.

Formasi Halang

11

Selaras di atas Kompleks Kromong diendapkan Formasi Halang yang juga disusun oleh dua bagian, yaitu Formasi Halang Bagian Atas dan Formasi Halang Bagian Bawah yang diperkirakan berumur Miosen Tengah sampai Miosen Atas. Formasi Halang Bagian Bawah terdiri dari breksi gunungapi yang bersifat andesitis dan basaltis, selain itu di beberapa tempat ditemukan juga tuf, batulempung, dan konglomerat. Formasi Halang Bagian Atas disusun oleh batupasir tufaan, batulempung, dan konglomerat. Litologi batupasir merupakan bagian yang paling dominan.

2.

Formasi Subang Formasi Subang diendapkan secara selaras di atas Formasi Halang, terdiri dari batulempung yang mengandung lapisan batugamping abu-abu tua, dibeberapa tempat ditemukan sisipan batupasir dan sisipan glaukonit hijau. Formasi ini diperkirakan berumur Miosen Atas.

Formasi Kaliwangu Di atas Formasi Subang secara tidak selaras diendapkan Formasi Kaliwangu, formasi ini tersusun oleh batulempung dengan sisipan batupasir tufaan, konglomerat, kadang ditemukan lapisan batupasir gampingan dan batugamping. Formasi ini diperkirakan berumur Pliosen Bawah.

12

Formasi Citalang Formasi Citalang diendapkan secara selaras diatas Formasi Kaliwangu, terdiri dari batugamping koral, batupasir, batupasir tufaan, batulempung tufaan, konglomerat, dan kadang dijumpai lensa-lensa batupasir gampingan padu. Formasi ini diperkirakan berumur Pliosen Tengah sampai Atas.

Breksi Terlipat Di atas Formasi Citalang diendapkan secara tidak selaras Breksi Terlipat, terdiri dari breksi gunungapi andesitik, breksi tufaan, batupasir kasar, batulempung tufaan, dan graywacke yang diperkirakan berumur Plistosen Bawah.

Endapan Gunungapi Tua Endapan Gunungapi Tua menutupi Breksi Terlipat secara selaras, terdiri dari breksi lahar, lava andesitik sampai basaltik, diperkirakan berumur Plistosen Tengah sampai Atas.

3.

Endapan Gunungapi Muda Selaras di atas Endapan Gunungapi Tua diendapkan Endapan Gunungapi Muda, terdiri dari breksi lahar, batupasir tufaan, tuf, lapili, lava andesitik sampai basaltik, diperkirakan berumur Plistosen Atas sampai Holosen Bawah. Endapan Gunungapi Tua dan Muda ini diperkirakan merupakan hasil Gunungapi Ciremai dan Tampomas.

13

Aluvium Aluvium merupakan endapan termuda yang terdiri dari lempung, lanau, pasir sampai bongkah, merupakan endapan sungai yang berumur Holosen sampai sekarang. Berdasarkan pembagian urutan stratigrafi menurut Djuri (1995), daerah penelitian kerja lapangan ini termasuk dalam Formasi Cinambo dan Formasi Halang. Sedangkan menurut Van Bemmelen (1949), daerah penelitian kerja lapangan ini termasuk Formasi Pemali dan Formasi Cidadap.

Tabel 2.1 Perbandingan Stratigrafi Regional Daerah Penelitian Menurut PenelitiTterdahulu

2.4

Struktur Geologi Regional Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Barat menjadi beberapa jalur

fisiografi dan struktural. Menurut Van Bemmelen Zona Bogor telah mengalami dua 14

kali masa periode tektonik yaitu ; Periode intra Miosen atau Miosen Pliosen, dan Periode Pliosen Plistosen. Pada periode tektonik intra tektonik Miosen, terjadi ekstrusi Breksi Kumbang di ujung timur Zona Bogor. Ketidakselarasan antara Formasi Subang dan Formasi Kaliwangu yang berumur Pliosen Bawah (Silitonga,1973) yang terjadi pada Zona Bogor bagian utara, menandakan bahwa pada periode Miosen Pliosen tersebut terjadi proses perlipatan pada keseluruhan Zona Bogor bagian utara. Pada periode tektonik Pliosen Plistosen, terjadi proses perlipatan dan sesar yang diakibatkan oleh terjadinya amblesan dibagian utara Zona Bogor yang kemudian menimbulkan gangguan tekanan yang kuat pada Zona Bogor. Pada kala Pliosen Plistosen bagian barat Zona Bogor mengalami pengangkatan dan membentuk Kaliglagah Beds yang terdiri dari endapan klastik dan lignit dan selanjutnya Cigintung Beds terendapkan. Semua formasi tersebut menutupi batuan terdahulu secara selaras semu (pseudo conformable). Kegiatan tektonik Pliosen Plistosen didaerah ini mengakibatkan terjadinya sesar terobosan komplek kromong yang andesitis dasitis. Setelah berakhir kegiatan tersebut terbentuklah Tambakan Beds yang berumur Plistosen Bawah dan menutupi satuan lainya secara tidak selaras. Tidak adanya batuan yang berumur Pliosen Atas di daerah ini menunjukan adanya kekosongan pengendapan batuan. Pada kala Plistosen Tengah sampai Atas di Zona Bogor bagian tengah dan timur terbentuk endapan Vulkanik tua (Gunung Slamet tua) dan Vulkanik muda dari Gunung Ciremai, selanjutnya disusul oleh aktivitas pada Plistosen Atas yang menghasilkan Linggopodo Beds dan diikuti lagi oleh kegiatan Vulkanik Resen dari Gunung

15

Ciremai sehingga terbentuk endapan Vulkanik muda ke bagian sutara zona tersebut. Tekanan tersebut menimbulkan struktur perlipatan dan sesar naik dibagian Zona Bogor yang dikenal sebagai Baribis thrust.

2.5

Sejarah Geologi Regional Siklus sedimentasi kawasan pegunungan timur Zona Bogor berawal dari

Sub

Zaman Neogen

hingga Kwarter.

Endapan

batulempung,

batupasir,

batugamping dan serpih yang tersusun sebagai Formasi Pemali merupakan formasi tertua pada kawasan tersebut. Berakhirnya siklus sedimentasi Paleogen, ditandai dengan Sub Marine eruption of basalt pada Miosen Bawah sampai Miosen Tengah berupa retas, sumbat gunungapi pada formasi di atas. Di daerah sebelah barat, kegiatan tersebut membentuk endapan Formasi Halang yang berlingkungan laut dalam, endapannya berupa batulempung, batupasir tufaan, batupasir gampingan dan breksi andesit. Formasi Cidadap menjelang Miosen Atas selama vulkanisme Miosen Atas, sedimen Zona Bandung dan Zona Bogor telah mengalami erosi yang kuat. Hingga Miosen Tengah pengendapan terus berlangsung dan kegiatan vulkanisme kembali kuat sehingga Formasi Kaliwangu berubah fasies vulkanik. Pada akhir Miosen Tengah bagian selatan mengalami pengangkatan pada daerah antiklinal yang disertai penurunan di daerah bagian utara sehingga memungkinkan diendapkannya batuan Miosen Atas Pliosen, selain itu juga terjadi terobosan batuan andesitik dan basaltik yang membentuk Formasi Kumbang. Pengaruh kegiatan tersebut membentuk struktur pelipatan yang jelas.

16

Selama terjadi kegiatan volkanik pada Miosen Atas yang mengkompresikan dan mengangkat endapan daerah Zona Bogor, selama itu pula terjadi erosi kuat yang kemudian diendapkan batuan berusia Pliosen Bawah berupa endapan klastik berfasies litoral hingga neritik, yaitu Formasi Kaliwangu. Endapan ini letaknya tidak selaras di atas Formasi Cidadap bagian utara. Pada bagian sebelah timur pengendapan terus berlangsung membentuk Formasi Tapak dan menutupi Formasi Kumbang secara selaras. Kegiatan tektonik Plio Pleistosen menyebabkan terbentuknya pelipatan dan sesar naik di daerah utara Zona Bogor. Setelah kegiatan ini berakhir, dibentuk endapan Formasi Tambakan yang berusia Plistosen Bawah yang menutupi secara tidak selaras batuan lainnya. Setelah itu mulai Plistosen Bawah sampai Plistosen Atas diendapkan bahan volkanik tua dan endapan volkanik muda dari Gunung Ciremai di bagian timur Zona Bogor.

2.6

Dasar-Dasar Teori

2.6.1. Geomorfologi Geomorfologi merupakan cabang ilmu geologi yang mempelajari mengenai bentuk-bentuk umum roman muka bumi serta perubahannya yang

17

terjadi sepanjang evolusinya dan hubungannya dengan keadaan struktur dibawahnya serta sejarah perubahan geologi yang diperlihatkan atau tergambar pada bentuk permukaan bumi itu (American Geological Institute, 1973). Dalam melakukan proses pemetaan geomorfologi di daerah penelitian, ada tiga aspek yang dilibatkan dalam proses tersebut yaitu aspek morfografi, morfogentik, dan morfometri. 1. Morfologi Secara garis besar morfografi permukaan bumi dapat dibedakan menjadi bentuk lahan dataran, bentuk lahan perbukitan, bentuk lahan gunungapi dan lembah. Selain bentuk tersebut, ada bentuk-bentuk lain yang dapat dijadikan aspek pendekatan didalam pemetaan geologi seperti bentuk lereng, pola punggungan dan pola pengaliran.

Bentuk lahan dataran Dataran adalah bentuk lahan dengan kemiringan

lereng 0% - 2% biasanya digunakan sebutan bentuk lahan asal marin, fluvial, campuran marin dan fluvial dan plato. Bentuk lahan asal fluvial pada umumnya disusun oleh

18

matrial kerikil, kerakal, pasir halus sampai kasar, lanau dan lempung.

- Bentuk lahan perbukitan atau pegunungan Bentuk lahan perbukitan memiliki ketinggian antara 50 meter sampai 500 meter dari permukaan laut dengan kemiringan lereng antara 7% - 20%. Sedangkan bentuk lahan pegunungan memiliki ketinggiaan lebih dari 500 meter dengan kemiringan lebih dari 20%. Sebutan perbukitan ditujukan untuk perbukitan tefra, serta kubah koral) (intrusi, dan rempah

gunungapi/gumuk

perbukitan

struktural yang dipengaruhi oleh pengangkatan. Sebutan pegunungan ditujukan terhadap rangkaian bentuk lahan bergelombang tinggi dan relatif curam, biasanya menjadi satu rangkaian dengan gunungapi atau akibat kegiatan tektonik yang cukup kuat, seperti pegunungan Himalaya, Alpen dan Pegunungan Selatan Jawa Barat. Bentuk lahan perbukitan memanjang merupakan perbukitan terlipat dengan material penyusun berupa batuan sedimen (batupasir, batulempung atau batulanau). Bentuk lahan perbukitan terbelokan merupakan perbukitan , dipengaruhi oleh sesar geser yang mengakibatkan perbukitan tersebut terbelokan.

19

- Pola pengaliran sungai Pengertian pola pengaliran adalah kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan, alur pengaliran tetap mengalir. Pola pengaliran yang mudah dikenali dari peta topografi dan foto udara ini merupakan hasil dari kegiatan erosi dan tektonik yang memiliki hubungan erat dengan jenis batuan, struktur geologi, kondisi erosi dan sejarah bentuk bumi. Pola tersebut dapat diamati pada gambar 2.2. Sistem pengaliran yang berkembang pada permukaan bumi secara regional dikontrol oleh kemiringan lereng, jenis dan ketebalan lapisan batuan, struktur geologi, jenis dan kerapatan vegetasi serta kondisi alam.

20

Gambar 2.2. Pola Pengaliran Dasar Sungai (A) dan Modifikasinya (B dan C), Howard (1967).

Van Zuidam (1988) membagi pola pengaliran menjadi pola pengaliran dasar dan pola pengaliran modifikasi. Pola dasar merupakan pola yang terbaca dan dapat dipisahkan dengan pola dasar lainnya, sedangkan pola modifikasi adalah pola dengan perubahan yang masih memperlihatkan ciri pola dasar. Tabel 2.2, dan Tabel 2.3 menjelaskan perbedaan Pola Pengaliran Dasar dan Morfologi beserta karkateristiknya.

Tabel 2.2 Pola Pengaliran Dasar dan Karakteristiknya (Van Zuidam,1988)


Pola Pengaliran Dasar Dendritik Bentuk umum seperti daun, berkembang pada batuan dengan kekerasan relatif sama, perlapisan batuan sedimen relatif datar serta tahan akan pelapukan, kemiringan landai, kurang dipengaruhi struktur geologi. Karakteristik

21

Paralel

Bentuk umum cenderung sejajar, berlereng sedang-agak curam, dipengaruhi struktur geologi, merupakan transisi pola dendritik dan trelis. Bentuk memanjang sepanjang arah jurus perlapisan batuan sedimen, induk sungainya seringkali membentuk lengkungan menganan memotong kepanjangan dari alur jalur punggungannya. Biasanya dikontrol oleh struktur lipatan. Batuan sedimen dengan kemiringan atau terlipat, batuan vulkanik serta batuan metasedimen berderajat rendah dengan perbedaan pelapukan yang jelas. Induk sungai dengan anak sungai memperlihatkan arah lengkungan menganan, pengontrol struktur atau sesar yang memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki perulangan perlapisan batuan. Bentuk menyebar dari satu pusat, biasanya terjadi pada kubah intrusi, kerucut vulkanik dan bukit yang berbentuk kerucut serta sisa-sisa erosi. Memiliki dua sistem, sentrifugal dengan arah penyebaran keluar dari pusat (berbentuk kubah) dan sentripetal dengan arah penyebaran menuju pusat (cekungan). Bentuk seperti cincin yang disusun oleh anak-anak sungai, sedangkan induk sungai memotong anak sungai hampir tegak lurus. Mencirikan kubah dewasa yang sudah terpotong atau terkikis dimana disusun perselingan batuan keras dan lunak. Juga berupa cekungan dan kemungkinan stocks. Endapan permukaan berupa gumuk hasil longsoran dengan perbedaan penggerusan atau perataan batuan dasar, merupakan daerah gerakan tanah, vulkanisme, pelarutan gamping serta lelehan salju atau permafrost. Terbentuk pada batuan metamorf dengan intrusi dike, vein yang menunjukkan daerah yang relatif keras batuannya, Anak sungai yang lebih panjang ke arah lengkungan subsekuen, umumnya menunjukkan kemiringan lapisan batuan metamorf dan merupakan pembeda antara penunjaman antiklin dan sinklin.

Trelis

Rektangular

Radial

Angular

Multibasinal

Kontorted

Tabel 2.3 Pola Pengaliran Modifikasi dan Karakteristiknya (Howard, 1967) Pola Pengaliran Modifikasi Subdendritik Pinnate Anastomatik Dikhotomik Subparalel Karakteristik Umumnya struktural. Tekstur batuan halus dan mudah tererosi. Dataran banjir, delta atau rawa. Kipas aluvial dan delta seperti penganyaman. Lereng memanjang atau dikontrol oleh bentuklahan memanjang. 22

Kolinier Direksional trellis Trellis berbelok Trellis sesar Trellis kekar Angulate Karst

Kelurusan bentuklahan bermaterial halus dan beting pasir. Homoklin landai seperti beting gisik. Perlipatan memanjang. Percabangan menyatu atau berpencar, sesar paralel.

Sesar paralel dan atau kekar


Kekar dan sesar pada daerah berkemiringan. Batugamping.

2. Morfogenetik Morfogenetik adalah bentuk bentang alam permukaan bumi yang melibatkan proses pembentukannya, seperti proses pembentukan dataran, perbukitan/pegunungan, lembah,

gunungapi, plato, pola pengaliran dan bentuk lereng. Proses yang telah dikenal yaitu proses endogen dan eksogen. Proses endogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh kekuatan dari dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan bumi. Proses dari dalam kerak bumi antara lain intrusi, gejala tektonik, proses vulkanisme. Proses eksogen merupakan proses yang dipengaruhi oleh factor dari luar bumi seperti iklim (hujan,angin dan perubahan temperatur) dan proses biologi. Proses eksogen cenderung merubah permukaan bumi secara bertahap, yaitu pelapukan

23

batuan menjadi tanah akibat proses fisika, kimia dan biologi yang berakhir dengan proses erosi. Cerminan proses erosi pada peta topografi atau foto udara ditunjukan oleh kerapatan pola pengaliran, semakin rapat pola pengaliran maka proses erosi semakin tinggi. Tingkat erosi yang tinggi mencermikan batuan penyusun lunak dengan porositas buruk. Bentuk bentang alam permukaan bumi dapat di bedakan menjadi bentuk asal struktural, vulkanik, fluvial, marine, karst, aeolean, denudasi.

- Bentuk asal struktural Biasanya pengangkatan, dipengaruhi perlipatan dan proses tektonik berupa

pensesaran.

Penentuan

bentukan struktural dikenali dari penyebaran struktur geologinya jika dicerminkan dari penyebaran reliefnya. Bila hanya dikenali dengan rekonstruksi strike dan dip saja, belum bisa dikategorikan sebagai bentuk lahan asal struktural.

- Bentuk asal vulkanik Biasanya dipengaruhi oleh fenomena yang berkaitan dengan gerakan magma di permukaan bumi. Umumnya

24

berada pada komplek gunungapi. Aspek relief dan litologi umumnya mencerminkan genesis aktifitas gunungapi seperti kerucut semburan, kepundan, medan lava, medan lahar, dikes, stock dan sebagainya.

- Bentuk asal fluvial Biasanya berkaitan dengan aktifitas aliran sungai dan air permukaan berupa pengikisan, pengangkutan dan penimbunan di daerah rendah seperti dataran aluvial dan lembah.

- Bentuk asal marine Biasanya berkaitan dengan abrasi, sedimentasi, pasangsurut dan pertemuan terumbu karang sepanjang garis pantai, disamping itu pengaruh dari tektonik masa lalu, transgresi dan regrasi serta litologi penyusun menentukan dalam bentukan asal marine ini. - Bentuk asal karst Biasanya bentukan ini diihasilkan oleh proses pelarutan pada batuan yang mudah larut. Menurut Jennings (1971) karst adalah kawasan yang mempunyai karakteristik relief dan drainase yang khas disebabkan kelarutannyaa yang tinggi. Topografi karst tidak selalu batugamping. Adapun

25

faktor pembentuk karst adalah jenis batuan, struktur geologi, iklim, dan vegetasi.

- Bentuk asal denudasional Proses denudasional merupakan kesatuan dari proses pelapukan, gerakan tanah, erosi dan diakhiri pengendapan. Daerah dengan topografi yang tinggi dan relief yang kasar karena alur lembah dikenal sebagai bentukan denudasional, dengan parameter utama berupa erosi dan pengikisan yang disebabkan jenis batuan, iklim, vegetasi dan relief.

3. Morfometri Morfometri merupakan penilaian kuantittif dari bentuk lahan sebagai aspek pendukung morfografi dan morfogenetik. Sehingga klasifikasi kuantitatif akan semakin jelas dengan angka-angka. Untuk menghitung kemiringan lereng dari peta topografi digunakan rumus:

S=

(n-1) Ic x 100% d x Sp

di mana: S = kemiringan lereng

26

n = jumlah kontur yang terpotong Ic = interval kontur d = jarak mendatar pada peta Sp = skala peta

Besarnya kemiringan lereng yang didapat kemudian dikelompokkan berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam, (1985), sehingga diperoleh penamaan satuan geomorfologinya. Ukuran kemiringan lereng dan

perbedaan ketinggian dapat dilihat pada Tabel 2.4, dan Tabel 2.5.

Tabel 2.4 Ukuran Kemiringan Lereng (Van Zuidam, 1985)

27

NO

KEMIRINGA N LERENG 0-2 3-7 8 13 14 - 20 21 - 55 56 - 140

KETERANGAN

KLASIFIKA SI USSSM* (%) 0-2 2-6 6 - 13 13 - 25 25 - 55 > 55

KLASIFIKA SI USLE** (%) 1-2 2-7 7 - 12 12 - 18 18 24 > 24

1 2 3 4 5 6

Datar - Hampir datar Lereng sangat landai Lereng landai Lereng agak curam Lereng curam Lereng sangat curam

Tabel 2.5 Klasifikasi bentuk lahan absolut berdasarkan perbedaan ketinggian (Van Zuidam, 1985)

KETINGGIAN (meter) < 50 50 100 100 200 200 500 500 1500 1500 3000 > 3000

KETERANGAN Dataran rendah Dataran rendah pedalaman Perbukitan rendah Perbukitan Perbukitan tinggi Pegunungan Pegunungan tinggi

4.

Stratigrafi 28

Stratigrafi

merupakan

ilmu

yang

mempelajari

lapisan-lapisan batuan serta hubungannya satu dengan yang lain kemudian kejadian-kejadian di alam dalam hubungan ruang dan waktu yang meliputi umur, hubungan

lateral/vertikal, ketebalan, penyebaran dan keterjadiannya, yang memiliki tujuan untuk mendapatkan pengetahuan sejarah bumi dan pengetahuan lainnya dari lapisan batuan yang mempunyai arti ekonomis ataupun tidak

(Syarifin,1984). Penamaan satuan litostratigrafi didasarkan pada keterdapatan litologi yang dominan pada satuan tersebut. Penentuan satuan-satuan batuan didasarkan pada ciri-ciri batuan yang dapat diamati di lapangan. Sandi Stratigrafi Indonesia Pasal 15 menjelaskan mengenai batas dan penyebaran satuan yaitu: Batas satuan litostratigrafi ialah sentuhan antara dua satuan yang berlainan ciri litologi, yang dijadikan dasar pembeda kedua satuan tersebut. Batas satuan ditempatkan pada bidang yang nyata perubahan litologinya atau dalam hal perubahan tersebut tidak nyata, batasnya merupakan bidang yang

diperkirakan kedudukannya (batas arbiter).

29

Satuan-satuan yang berangsur berubah atau menjarijemari, peralihannya dapat dipisahkan sebagai satuan tersendiri apabila memenuhi persyaratan Sandi.

Penyebaran suatu satuan litostratigrafi semata-mata ditentukan oleh kelanjutan ciri-ciri litologi yang menjadi ciri penentunya.

Dari segi praktis, penyebaran suatu satuan litostratigrafi dibatasi oleh batas cekungan pengendapan atau aspekaspek geologi lain.

Batas-batas daerah hokum (geografi) tidak boleh dipergunakan sebagai alasan berakhirnya penyebaran lateral (pelamparan) suatu satuan.

Batas dan penyebaran dari setiap satuan litologi dapat dilihat dari bidang kontak antar perlapisannya yang dapat bersifat tegas atau berangsur. Kontak antar perlapisan batuan atau sentuhan stratigrafi yang kita kenal ada dua macam yaitu: 1. Selaras (conformable) Sedimentasi berlangsung menerus tanpa adanya interupsi atau penghentian proses sedimentasi dari satuan stratigrafi mulai dari yang dibawah sampai ke lapisan yang diatasnya. Kontak yang selaras ini dapat bersifat tegas, berangsur, ataupun interkalasi. 2. Tidak selaras (unconformable)

30

Siklus sedimentasi tidak menerus, karena adanya interupsi atau penghentian proses sedimentasi dan di lapangan ditandai dengan adanya bidang erosi. Jenis-jenis ketidak selarasan adalah: a. Angular unconformity, yaitu lapisan bawah dan atas

tidak sejajar (membentuk sudut) dan mempunyai stike/dip yang berbeda. b. Paraconformity, ialah lapisan atas dan bawah relatif

sejajar, namun dipisahkan oleh bidang erosi yang beraturan. c. Disconformity, sama seperti paraconformity, namun

bidang erosi yang memisahkannya relatif tak beraturan. d. Nonconformity, adalah permukaan erosi yang

memisahkan batuan kristalin (intrusi batuan beku atau kompleks metamorfis) di bawah permukaan dari batuan sedimen diatasnya. Istilah lainnya yang prlu diketahui adalah diastem yaitu siklus sedimentasi tidak menerus yang disebabkan oleh adanya erosi. Hiatus ialah waktu di mana tak ada proses sedimentasi. Penentuan umur dan lingkungan pengendapan masing-masing satuan batuan didasarkan atas kandungan fosil foraminifera plantonik dan bentonik. Kisaran umur ditentukan berdasarkan fosil foraminifera planktonik, sesuai dengan tabel Postuma (1971), sedangkan fosil foraminifera bentonik dapat menentukan

31

kisaran kedalaman lingkungan pengendapannya berdasarkan tabel kisaran kedalaman menurut F.B Phleger (1951).

5. Struktur Geologi Struktur geologi sangat penting keberadaannya dalam aspek geologi karena melalui struktur geologi kita dapat mengungkapkan berbagai masalah geologi seperti eksplorasi minyak bumi, eksplorasi mineral, dan lain sebagainya. Jejak-jejak adanya struktur geologi terkadang dengan mudah didapatkan di lapangan karena struktur yang terjadi biasanya dalam ukuran yang cukup besar. Untuk mengetahui ada atau tidaknya jejak-jejak struktur geologi maka kita harus meneliti langsung singkapansingkapan batuan atau dengan merekonstruksi data yang diperoleh baik dari data lapangan atau dari data peta topografi.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1

Objek Penelitian 32

Bahan penelitian yang terdapat di lapangan, berupa singkapan batuan, yang biasanya ditemukan di tepi sungai, dasar sungai, atau terdapat di tepi jalan, tapi tidak menutup kemungkinan terdapat di tempat lain. Bahan penelitian yang lain termasuk juga keadaan bentang alam, jenis sungai dan lain-lain yang menunjang hasil penelitian dari daerah penelitian. Singkapan-singkapan yang ditemukan dideskripsikan jenis batuannya, jurus kemiringan perlapisan batuan tersebut, serta diteliti pula unsur-unsur struktur geologi dan horizon tanah.

3.2

Alat - Alat yang Digunakan Peralatan yang diperlukan untuk keperluan pekerjaan lapangan ini, antara lain adalah

a. Peta Topografi : b. Kompas Geologi :

Penulis menggunakan peta dasar berskala 1 : 12500 Kompas yang digunakan adalah kompas tipe Brunton, antara lain untuk mengukur azimuth dan strike-dip batuan.

c. Palu Geologi : d. Pita Ukur :

Dipergunakan untuk mengambil sampel batuan. Pita ukur dengan panjang 50 meter, digunakan untuk mengukur jarak dan tebal batuan.

e. Kantong Sample :

Kantong sampel yang transparan dan cukup tebal, menjamin agar tidak mudah robek.

f. Lup :

Yang pembesarannya 10x dan 20x, digunakan untuk pengamatan sampel batuan secara megaskopis.

33

g. Asam Klorida :

HCl ini memiliki kepekatan 0,1 M untuk menguji adanya karbonat dalam suatu batuan secara kasar.

h. GPS : h. Kamera : i. Alat Tulis :

Menentukan titik koordinat dan ketinggian. Visualisasi singkapan dan bentang alam. Catatan lapangan, clipboard, busur derajat, pensil, dan lain lain.

3.3

Langkah Langkah Penelitian Langkah-langkah penelitian meliputi beberapa tahap pekerjaan, yaitu tahap

persiapan, pengamatan lapangan, analisis data, dan tahap penyusunan laporan.

3.3.1 Tahap Persiapan Tahap persiapan dilakukan sebelum melakukan pekerjaan lapangan. Pada tahap ini dilakukan beberapa persiapan yang menunjang kelancaran pekerjaan di lapangan.

Persiapan yang dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. Penggambaran Peta Topografi Peta yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta topografi daerah penelitian, dengan skala 1:12500. Peta ini dibuat dengan mendigitasi peta Bakosurtanal, lembar Buahdua dan Cisalak berskala 1:25000.

34

2. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan merupakan pengumpulan informasi tentang daerah penelitian dari peneliti-peneliti terdahulu. 3. Penafsiran peta topografi, analisa pola pengaliran sungai dan rencana lintasan penelitian di lapangan. 4. Perizinan Perizinan dilakukan dengan membuat surat izin mulai dari tingkat Universitas sampai pada tingkat pemerintahan daerah yang bersangkutan.

3.3.2

Tahap Pengamatan di Lapangan Dalam melakukan pengamatan di lapangan, metoda yang digunakan adalah

metoda orientasi lapangan dan metoda lintasan kompas dan pita ukur. Metode orientasi lapangan dilakukan dengan memplotting tiap stasiun penelitian atau pengamatan berdasarkan orientasi terhadap sungai, puncak-puncak bukit atau gunung, kota, desa dan titik patokan lain yang dikenal di lapangan dan berada di peta topografi. Metoda ini sesuai untuk daerah terbuka dengan ciri bentang alam yang sudah dikenali dan lokasi pengamatan yang relatif berjauhan. Metode lintasan kompas dan pita ukur dilakukan dengan memperhitungkan arah dan jarak lintasan terhadap suatu titik patokan yang dapat ditentukan pada peta, misalkan jembatan atau percabangan sungai. Metoda ini sesuai dengan ciri bentang alam yang tidak dapat dikenali, misalnya di lembah sungai atau pada daerah yang vegetasinya rapat. Menggunakan metoda ini dapat dilakukan pengamatan secara lebih teliti dan terperinci, meskipun waktu yang diperlukan relatif lebih lama.

35

Selain melakukan pengamatan terhadap singkapan batuan, juga melakukan pengukuran arah jurus dan kemiringan perlapisan batuan, ketebalan dan struktur yang ada. Tahapan kerja tersebut mencakup : 1. Pengamatan dan pencatatan terhadap jenis litologi (penamaan batuan), indikasi yang dapat menunjukan adanya perubahan litologi, komposisi batuan, struktur batuan dan batas antar lapisan batuan, ciri lingkungan pengendapan, serta pola jurus batuan. 2. Pengamatan dan pencatatan terhadap indikasi struktur geologi. 3. Pengambilan contoh batuan untuk analisis paleontologi. 4. Pemotretan atau pembuatan sketsa pada objek-objek batuan dan bentang alam yang dianggap penting.

3.3.3

Tahap Analisis Data Dalam proses analisis data ini digunakan beberapa cara atau metode agar

menghasilkan peta geologi yang baik sehingga dapat menginformasikan seluruh data yang didapatkan di lapangan. Beberapa analisis data lapangan untuk pemetaan, antara lain analisis litologi, analisis geomorfologi, analisis fosil, analisis stratigrafi, analisis geologi struktur dan analisis geologi sejarah.

36

3.3.3.1 Analisis Litologi Dalam menganalisis karakteristik litologi, peneliti menggunakan skala ukuran butir menurut Wentworth (1968), seperti telihat pada tabel 3.1 dalam menentukan ukuran butir batuan, sehingga dapat ditentukan jenis litologinya. Kemudian untuk menentukan nama satuan batuan yang dibentuk oleh litologi tersebut dihubungkan konsep litostratigrafi pada Sandi Stratigrafi Indonesia. Sedangkan dalam menerangkan klasifikasi batuan piroklastik didasarkan atas ukuran besar butir, bentuk butir, dan komposisinya terlihat pada tabel 3.2.

Tabel 3.1 Skala besar butir menurut Wentworth (1968) Limit-limit besar butir (Diameter) Di atas 256 mm 256 64 mm 64 4 mm 4 2 mm 2 1 mm 1 mm Nama Bongkah (Block) Kerakal (Cobble) Kerikil (Pebble) Granul (Granule) Pasir sangat kasar (Very coarse sand) Pasir kasar (Coarse sand)

37

mm 1/8 mm
1 1

Pasir sedang (Medium sand) Pasir halus (Fine sand) Pasir sangat halus (Very fine sand) Lanau (Silt) Lempung (Clay)

/8 1/16 mm /16 1/256 mm

Di bawah 1/256 mm

Tabel. 3.2 Klasifikasi batuan piroklastik berdasarkan ukuran butir (grain size) menurut Miller (1889) Ukuran butir (mm) Fragmen (Tephra) Di atas 64 mm Bomb (liquid) Block (solid) 2 64 mm Lapili Ash / Abu Batuan Piroklastik Agglomerat Breksi vulkanik Tufa lapili (lapili tuff) Tufa

Di bawah 2 mm

3.3.3.2 Analisis Geomorfologi Dalam analisis ini langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan pengelompokan daerah pemetaan berdasarkan kemiringan lerengnya. Caranya dengan membuat grid sel yang berukuran 2 cm x 2 cm pada peta dasar. Kemudian setiap grid ditarik garis tegak lurus kontur dan kemiringan lerengnya dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

38

S=

(n-1) Ic x 100% d x Sp

di mana : S = kemiringan lereng n = jumlah kontur yang terpotong Ic = interval kontur d = jarak mendatar pada peta Sp = skala peta Besarnya kemiringan lereng yang didapat kemudian dikelompokan dalam penamaaan satuan geomorfologi. Selanjutnya pada setiap satuan geomorfologi itu dilakukan pengamatan yang meliputi batuan penyusun, pola pengaliran sungai dan lain-lain. Pengelompokan geomorfologi yang digunakan berdasarkan pada klasifikasi kemiringan lereng menurut Van Zuidam, seperti terlihat pada tabel 3.3.

Tabel 3.3 Hubungan kelas lereng dengan sifat - sifat proses dan kondisi lahan disertai simbol warna yang disarankan (Van Zuidam, 1985).

KELAS LERENG 00 - 20 (0 - 2 %)

PROSES, KARAKTERISTIK DAN KONDISI LAHAN Datar atau hampi datar, tidak ada erosi yang besar, dapat diolah dengan mudah dalam kondisi kering.

WARNA

Hijau tua

39

20 - 40 (2 - 7 %)

Lahan memiliki kemiringan lereng landai, bila terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, pengikisan dan erosi akan meninggalkan bekas yang sangat dalam. Lahan memiliki kemiringan lereng landai sampai curam, bila terjadi longsor bergerak dengan kecepatan rendah, sangat rawan terhadap erosi.

Hijau Muda

40 - 80 (7 - 15 %)

Kuning Muda

3.3.3.3 Analisis Fosil Analisis fosil ini bertujuan untuk menentukan umur nisbi dan lingkungan pengendapan. Langkah-langkah yang diambil dalam analisa fosil ini adalah sebagai berikut: a. Menghaluskan sampel dengan menggunakan lumpang, mortir, dan cawan. Berat sampel 50 gram. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam mangkok dan di beri nomor. b. Selama 15 - 20 menit sampel tersebut direndam dengan zat pelarut hidrogen peroksida 30% (1 bagian H2O2 dan 3 bagian air) ditambah 2 butir pelet (NaOH). c. Melakukan pengayakan terhadap sampel pada air yang mengalir (air kran) dalam ayakan. Setelah bersih, sampel tersebut dimasukkan ke dalam cangkir bernomor dan dibiarkan mengendap. Setelah mengendap, sisa air dalam cangkir dibuang. d. Selanjutnya sampel dikeringkan di dalam oven. Sampel yang sudah kering dimasukkan ke dalam wadah transparan dan diberi keterangan. 40

e. Tahap terakhir adalah memeriksa sampel di bawah mikroskop dan mengidentifikasi fosil yang ditemukan. Pada tahap ini, pertama kali dilakukan picking, yaitu memisahkan fosil dari material pengotor, lalu dimasukkan ke dalam slide. Selanjutnya fosil-fosil tersebut diidentifikasi baik dengan cara membandingkan dengan buku pedoman atau menggunakan kunci identifikasi (Range chart, Blow 1969, Postuma 1971 dan Bolli 1970).

3.3.3.4 Analisis Stratigrafi Data yang dianalisis pada tahap ini adalah data pengamatan di lapangan dengan ditunjang hasil analisis dari laboratorium. Pembagian satuan batuan didasarkan pada satuan litostratigrafi tidak resmi, yaitu penamaan satuan batuan didasarkan pada ciri fisik yang dapat diamati, meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi dan posisi stratigrafinya (Sandi Stratigrafi Indonesia, Pasal 6). Tujuan utama analisis stratigrafi adalah untuk memperoleh umur dan mengelompokkan satuan batuan serta kesebandingan dengan formasi yang ada pada literatur. Dari data yang diperoleh di lapangan akan menghasilkan satuan-satuan batuan yang diambil dari dominasi batuan yang ada pada daerah tersebut. Kontak antara satuan batuan dengan batuan lain, apabila dapat ditemukan di lapangan dapat diinterpretasikan kisaran umur satuan batuannya. Kisaran umur batuan dapat diperoleh dari hasil analisa fosil foraminifera, yang diperoleh dari sampel batuan yang diambil di lapangan. Dari hasil analisis di laboratorium, didapatkan jenis masing - masing spesies, dan selanjutnya ditarik

41

garis umur berdasarkan zona kumpulan yang dihasilkan ataupun berdasarkan atas fosil petunjuk yang muncul. Dari hasil kisaran umur tiap satuan batuan akan diperoleh hubungan atau kontak antar satuan batuan sehingga dapat diketahui nama formasi batuan tersebut dengan cara kesebandingan terhadap hasil penelitian peneliti terdahulu. Penentuan lingkungan pengendapan dilakukan berdasarkan analisis fosil foraminifera bentonik kecil yang ditemukan pada satuan batuan tersebut.

3.3.3.5 Analisis Struktur Geologi Perlu dilakukan interprestasi topografi untuk melihat indikasi struktur geologi yang meliputi intreprestasi kerapatan garis kontur, kelurusan sungai, kelurusan punggungan, pola pengaliran sungai dan sebagainya. Untuk mengamati adanya struktur lipatan di lapangan yaitu dengan melihat perubahan berangsur pada kemiringan (dip) lapisan batuan, perulangan urutan variasi liotologi, pembalikan dengan menentukan top dan bottom-nya yang tidak sesuai dengan arah kemiringan lapisan. Untuk mengamati keberadaan, arah dan jenis sesar dilapangan dapat diperkirakan dengan melihat indikasi yang ada seperti adanya dragfold (lipatan seret), offset litologi, kekar-kekar, cermin sesar, slicken side, breksiasi, zona-zona hancuran, kelurusan mata air panas dan air terjun, juga dengan mengamati dan mengukur data kekar yang berkembang dilapangan serta menganalisisnya dengan statistik melalui bantuan program dip.

42

Semua indikasi yang telah ditemukan direkonstruksikan bersamaan dengan rekonstruksi pola jurus batuan yang akan menghasilkan jenis, arah dan pola struktur geologi yang berkembang di daerah tersebut yang kemudian dituangkan dalam Peta Pola Jurus. Untuk umurnya ditarik berdasarkan kesebandingan regional atau berdasarkan umur satuan litologi yang dilaluinya.

3.3.3.6 Analisis Geologi Sejarah Tahap ini merupakan aplikasi penafsiran berbagai aspek geologi, antara lain geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi. Hasil dari pembahasan dari aspek tersebut disusun berdasarkan urutan kejadian dan waktu, sehingga dapat diperkirakan proses sedimentasi, erosi, tektonik serta vulkanisme dalam kurun waktu tertentu.

3.4

Tahap Penyusunan Laporan Pengerjaan laporan, peta, dan pelengkap laporan lainnya dilakukan setelah

pemetaan geologi di lapangan. Tahap penyusunan laporan meliputi interpretasi dan rekontruksi data lapangan dan hasil analisis laboratorium seperti terlihat pada Gambar 3.1. Pada setiap tahapan dilakukan konsultasi dengan dosen pembimbing. Penulis mengerjakan penyusunan laporan secara bertahap. Tahap pertama adalah menyusun Bab I, Bab II dan Bab III. Bab I sampai Bab III dapat dilakukan segera setelah kembali dari lapangan. Sedangkan tahap kedua adalah menyusun Bab IV, dan Bab V serta kelengkapan lainnya hingga selesai.

43

Studi Pustaka

Peta topografi Skala 1 : 25000

Penafsiran Peta Topografi

Perizinan

Lintasan Pengamatan

Pencatatan Data Struktur

Pencatatan Data Stratigrafi

Pengambilan sample untuk Fosil & petrografi

PETA KERANGKA GEOLOGI

Analisis Struktur Geologi

Analisis Stratigrafi

Analisis Laboratorium

44
PETA GEOMORFOLOGI PETA GEOLOGI POLA ARAH JURUS DAERAH PENELITIAN PERLAPISAN BATUAN LAPORAN PETA GEOLOGI

Gambar 3.1 Bagan Alir Penelitian.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian pada daerah Pemekarsari ini disajikan dalam beberapa aspek, yaitu geomorfologi, stratigrafi, struktur geologi, sejarah geologi, serta potensi bahan galian.

4.1

Geomorfologi Dalam pembahasan geomorfologi ini dimaksudkan untuk menerangkan

bentuk-bentuk roman muka bumi berserta proses-proses penyebab daerah 45

penelitian. Terjadinya relief perkembangan relief bumi sangat dipengaruhi oleh struktur, proses, dan tahapan erosi. Proses yang berjalan tesebut menghasilkan morfologi daerah penelitian seperti yang tampak sekarang. Daerah penelitian ini terdiri dari perbukitan yang terbentuk oleh gaya endogen yang berjalan secara lambat dan terus-menerus. Kisaran ketinggian daerah yang terbentang di daerah penelitian adalah 100 651 dpl. Sedangkan kemiringan lereng diperkirakan 15 - 55%, dengan daerah yang terjal berfokus di bagian selatan peta. Titik tertinggi di daerah penelitian ini berada di Pasir Medang di barat daya daerah penelitian dengan ketinggian 651 dpl.

4.1.1

Pola Pengaliran Daerah Penelitian Gambar 4.1 pola pengaliran sungai yang diambil dari peta Pola Pengaliran

Sungai Daerah Penelitian skala 1 : 12500.

Pola Pengalitan Daerah Penelitian

merupakan kumpulan dari suatu jaringan pengaliran di suatu daerah yang dipengaruhi atau tidak dipengaruhi oleh curah hujan. Berdasarkan hasil penelaahan, dengan membandingkan pola pengaliran daerah penelitian dengan pola pengaliran modifikasi (Van Zuidam, 1985), maka pola pengaliran daerah penelitian terdapat tiga buah pola aliran (seperti terlihat pada gambar 4.1), yaitu :
1. 2. 3. Pola Aliran Anastomatik. Pola Aliran Sub Paralel. Pola Aliran Sub Dendritik.

46

Gambar 4.1 Pola Pengaliran Daerah Penelitian.

4.1.1.1 Pola Pengaliran Anastomatik Pola pengaliran ini mempunyai luas penyebaran sekitar 10% dan berkembang di bagian barat laut daerah penelitian. Pola aliran ini berkembang pada daerah satuan dataran sangat landai fluvial dimana batuan yang menyusunnya adalah dominan batulempung sehingga pola aliran yang terdapat didaerah ini berkembang dengan cukup baik. 4.1.1.2 Pola Pengaliran Sub Paralel Pola pengaliran ini mempunyai luas penyebaran sekitar 35% dari daerah penelitian dan berkembang di bagian barat memanjang ke arah barat daya daerah penelitian. Pola ini merupakan modifikasi dari pola aliran paralel sebagai pola dasarnya. Pola aliran ini dicirikan dengan pengurangan kesejajaran sungainya dibandingkan dengan pola dasarnya. Batuan penyusun daerah ini relatif sama dengan daerah berpola aliran paralel tetapi daerah ini memiliki kemiringan yang lebih rendah sehingga memungkinkan berkembangnya cabang-cabang sungai lainnya.

4.1.1.3 Pola Pengaliran Sub Dendritik 47

Pola pengaliran ini mempunyai luas penyebaran sekitar 55% dari daerah penelitian dan berkembang di seluruh bagian timur dan ada juga bagian kecil yang terletak di barat laut daerah penelitian. Pola ini merupakan modifikasi dari pola aliran dendritik.

4.1.2 Pembagian Satuan Geomorfologi Atas dasar aspek morfografi, morfogenetik, dan material penyusunnya maka daerah penelitian terbagi atas empat satuan geomorfologi, yaitu : 1. Satuan Geomorfologi Pedataran Aluvium Sangat Landai 2. Satuan Geomorfologi Pedataran Batulempung Landai 3. Satuan Geomorfologi Perbukitan Breksi Vulkanik Cukup Curam 4. Satuan Geomorfologi Perbukitan Tuf Curam 4.1.2.1 Satuan Geomorfologi Pedataran Aluvium Sangat Landai Satuan geomorfologi ini memiliki luas meliputi 15 % dari keseluruhan daerah penelitian yang letaknya berpusat pada daerah barat daerah penelitian. Pola pengaliran pada satuan geomorfologi ini adalah anastomatik dan lembah sungai membentuk U. Elevasinya berkisar 100-150 m dpl, dan slopenya 15, lahannya berupa dataran landai. Litologi yang menyusun morfologi pedataran ini adalah aluvium, dan batulempung. Biasanya di daerah pedataran sangat landai terdapat juga daerah pesawahan seperti yang terlihat pada Gambar 4.2 yang diberi tanda panah. Letak satuan geomorfologi ini berada di daerah Cipunagara tepatnya di sebelah barat laut peta. Foto diambil ke arah Utara.

48

Gambar 4.2 Satuan Geomorfologi Pedataran Aluvium Sangat Landai

4.1.2.2 Satuan Geomorfologi Pedataran Batulempung Landai Satuan geomorfologi ini memiliki luas yang meliputi 35 % keseluruhan daerah penelitian yang letaknya berada pada bagian utara memanjang ke arah timur dan tenggara daerah penelitian. Pola pengaliran pada satuan geomorfologi ini adalah sub dendritik. Elevasinya berkisar 150 - 300m dpl, dan slopenya 7 - 13, bentuk lahannya pedataran landai. Litologi yang menyusun morfologi pedataran ini adalah batulempung dan sedikit breksi vulkanik. Hal ini seperti yang terlihat pada gambar 4.3. Pada gambar tersebut diperlihatkan garis hitam sebagai indikator kemiringan lahan yang tidak terlalu curam, yang menandakan bahwa daerah tersebut dapat dikategorikan sebagai 49

pedataran landai. Lokasi ini terletak di Sungai Cigeuleuh, tepatnya berada di sebelah tenggara peta. Foto diambil ke arah selatan.

Gambar 4.3 Satuan Geomorfologi Pedataran Batulempung Landai

4.1.2.3 Satuan Geomorfologi Perbukitan Breksi Vulkanik Agak Curam Satuan geomorfologi ini memiliki luas yang meliputi 5 % keseluruhan daerah penelitian yang letaknya berada pada bagian tengah, dan memanjang ke arah selatan daerah penelitian. Pola pengaliran pada satuan geomorfologi ini ada dua, yaitu sub paralel dan sub dendritik. Elevasinya berkisar 300-500m dpl, dan slopenya 9-15, bentuk lahannya perbukitan agak curam. Litologi yang menyusun morfologi perbukitan ini didominasi oleh breksi dan sedikit tuff. Satuan geomorfologinya dapat di lihat pada Gambar 4.4 seperti ditunjukkan oleh panah hitam. Di mana daerah tersebut terdiri dari satuan geomorfologi perbukitan agak curam yang berada di dekat Pasir Medang, tepatnya 50

di bagian barat daya daerah penelitian dengan arah pengambilan foto ke arah barat daya.

Satuan Geomorfologi Perbukitan Breksi Vulkanik Agak Curam

Gambar 4.4. Satuan Geomorfologi Perbukitan Breksi Vulkanik Agak Curam

4.1.2.4 Satuan Geomorfologi Perbukitan Tuf Curam Satuan geomorfologi ini memiliki luas yang meliputi 25 % keseluruhan daerah penelitian yang letaknya berada pada bagian tengah dan barat memanjang ke arah barat daya daerah penelitian. Elevasinya berkisar 450-650 m dpl, dan slopenya 21-78, bentuk lahannya perbukitan curam. Litologi yang menyusun morfologi perbukitan ini didominasi oleh tuff. Keadaan geomorfologinya dapat di lihat pada Gambar 4.5 yang berada di lokasi Cilengkrang Wetan sebelah barat daya daerah penelitian, dengan arah pengambilan foto ke arah barat daya.

51

Satuan Geomorfologi Perbukitan Tuf Curam

Gambar 4.5 Satuan Geomorfologi Perbukitan Tuf Curam

4.2 Stratigrafi Daerah Penelitian Dalam pembahasan stratigrafi daerah penelitian, penulis mempergunakan istilah satuan batuan berdasarkan ciri fisik batuan yang diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, keseragaman litologi serta posisi stratigrafi antar satuan batuan tersebut. Pembagian satuan batuan ini dilakukan untuk setiap jenis batuan yang seragam, sedangkan penamaan batuannya didasarkan pada jenis batuan yang dominan. Berdasarkan litostratigrafi tidak resmi, tatanan stratigrafi pengamatan di daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat satuan batuan, berurutan dari tua ke muda sebagai berikut : 1. Satuan Batulempung Serpih 52

2. Satuan Batulempung Padu 3. Satuan Breksi Vulkanik 4. Satuan Tuff

4.2.1

Satuan Batulempung Serpih

4.2.1.1 Ciri Litologi Satuan ini merupakan dominasi batulempung berwarna abu-abu gelap. Batulempung berwarna segar abu-abu gelap, warna lapuk abu-abu kecoklatanhitam, besar butir < 1/256 mm (Wentworth, 1968), kekerasannya dapat diremas dengan tangan, karbonatan, mengandung mineral karbon, dan menyerpih. Singkapan yang baik ditemukan di Sungai Cipunegara yang dapat di lihat pada gambar 4.6.

Gambar 4.6 Singkapan batulempung pada stasiun 32, lokasi di Sungai Cipunegara.

4.2.1.2 Luas dan Penyebaran

53

Penyebarannya di permukaan tersebar dari arah barat laut sampai timur laut kemudian memanjang ke arah tenggara daerah penelitian, dengan luas penyebarannya kira-kira 20 %. Singkapan-singkapannya banyak terdapat di sepanjang sungai Cipunegara di bagian utara daerah penelitian.

4.2.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur satuan ini didasarkan pada posisi stratigrafi dan fosil yang ditemukan pada batuannya. Yang digunakan sebagai acuan adalah penarikan umur berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik yang ada. Fosil-fosil foraminifera yang ditemukan antara lain : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Globigerinoides trilobus (Reuss) Globorotalia peripheroronda Globorotalia archeomenardi Lenticulina cultrata (de Mont) Globorotalia opima nana (Gambar 4.7 B) Heterolepa mexicana (Gambar 4.7 A) Globorotalia fohsi Praeorbulina glomeroso circulcris

Berdasarkan fosil-fosil foraminifera plangtonik tersebut, kami menentukan bahwa kisaran umur satuan batulempung serpih ini diendapkan adalah dari Miosen Awal sampai Miosen Tengah (N8 N10).

Tabel 4.1 Umur Satuan Batulempung Serpih Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera Plangtonik

54

Untuk menentukan lingkungan pengendapan dari satuan batulempung serpih ini, didasarkan pada penemuan fosil foraminifera bentonik yang dikandung oleh batuannya, yaitu : 1. 2. Robulus sp Turitella sp

Melihat kandungan fosil bentonik yang ditemukan pada stasiun ini, maka kami menarik kesimpulan bahwa Satuan Batulempung Serpih diendapkan pada lingkungan laut, dengan zona batimetri litoral hingga neritik pada kedalaman 0 50m.

Tabel 4.2 Lingkungan Pengendapan Satuan Batulempung Serpih Berdasarkan Fosil Foraminifera Bentonik

55

Gambar 4.7 Foto fosil Globorotalia opima nana

4.2.1.4 Hubungan Stratigrafi Satuan Batulempung Serpih ini merupakan satuan batuan yang terendapkan pada bagian paling bawah dari daerah penelitian, sehingga merupakan satuan batuan tertua di daerah penelitian. Pada beberapa stasiun pengamatan di daerah Sungai Cipunagara, di atas Satuan Batulempung diendapkan secara selaras Endapan Aluvial. Kontak dengan endapan diatasnya (Endapan Aluvial) merupakan kontak tegas, dapat diamati pada stasiun pengamatan nomor 32. Berakhirnya Satuan Batulempung Serpih ini ditandai dengan hilangnya lapisan batulempung dan munculnya batulempung padu.

4.2.1.5 Kesebandingan Regional Tabel 4.3 menunjukkan perbandingan antara Satuan Batulempung Serpih yang ditemukan peneliti di daerah pemetaan dengan Formasi Batulempung yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu (P. H. Silitonga, 2003).
Tabel 4.3 Perbandingan antara Satuan Batulempung Serpih oleh penulis dengan Formasi Batulempung Subang oleh peneliti terdahulu (P. H. Silitonga, 2003)

Formasi Batulempung Subang (P. H. Silitonga, 2003) Batulempung berwarna segar abu-abu Tersusun oleh batulempung, beberapa gelap, warna lapuk abu-abu mengandung batugamping napalan yang kecoklatan-hitam, besar butiran keras, napal dan batugamping abu-abu 56

Satuan Batulempung

berkisar < 256 mm, kekerasannya dapat diremas dengan tangan, karbonatan, mengandung mineral karbon, dan teksturnya menyerpih.

tua, juga ada kadang-kadang batugamping glaukonit hijau, mengandung fosil Foraminifera. Menurut Tjia (1963) tebal dari anggota batulempung ini mencapai 2900 m. Formasi ini berumur Miosen Tengah sampai Miosen Atas.

4.2.2

Satuan Batulempung Padu

4.2.2.1 Ciri Litologi Satuan ini merupakan dominasi batulempung berwarna abu-abu gelap. Batulempung berwarna segar abu-abu gelap, warna lapuk abu-abu kecoklatanhitam, besar butir < 1/256 mm (Wentworth, 1968), kekerasannya dapat diremas dengan tangan, karbonatan, mengandung mineral karbon, dan menyerpih. Singkapan yang baik ditemukan di Sungai Cipunegara yang dapat di lihat pada gambar 4.6.

57

Gambar 4.8 Singkapan batulempung pada stasiun 32, lokasi di Sungai Cipunegara.

4.2.2.2 Luas dan Penyebaran Penyebarannya di permukaan tersebar dari arah barat laut sampai timur laut kemudian memanjang ke arah tenggara daerah penelitian, dengan luas penyebarannya kira-kira 10 %. Singkapan-singkapannya banyak terdapat di sepanjang sungai Cipunegara di bagian utara daerah penelitian.

4.2.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Penentuan umur satuan ini didasarkan pada posisi stratigrafi dan fosil yang ditemukan pada batuannya. Yang digunakan sebagai acuan adalah penarikan umur berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik yang ada. Fosil-fosil foraminifera yang ditemukan antara lain : 1. Heterolepa mexicana 2. Lenticulina peregrina (Schwager) 3. Ammonia beccarii Berdasarkan fosil-fosil foraminifera plangtonik tersebut, kami menentukan bahwa kisaran umur satuan batulempung padu, yaitu diendapkan pada kala Miosen Atas sampai Pliosen Tengah ( N15 N20).

Tabel 4.4 Umur Satuan Batulempung Padu Berdasarkan Fosil Foraminifera Plangtonik

58

Untuk menentukan lingkungan pengendapan dari satuan batulempung padu ini, didasarkan pada penemuan fosil foraminifera bentonik yang dikandung oleh batuannya, yaitu : 3. 4. Robulus sp Bulimina sp

Melihat kandungan fosil bentonik yang ditemukan pada stasiun ini, maka kami menarik kesimpulan bahwa Satuan Batulempung Padu ini diendapkan pada lingkungan laut, dengan zona batimetri litoral hingga neritik pada kedalaman 0 50m.

Tabel 4.5 Lingkungan Pengendapan Satuan Batulempung Padu Berdasarkan Fosil Foraminifera Bentonik

Gambar 4.9 Foto fosil Heterolepa Mexicana

59

4.2.2.4 Hubungan Stratigrafi Satuan Batulempung Padu ini merupakan satuan batuan yang terendapkan pada bagian kedua terbawah dari daerah penelitian, sehingga merupakan satuan batuan kedua tertua di daerah penelitian. Pada beberapa stasiun pengamatan di daerah Sungai Cipunagara, di atas Satuan Batulempung diendapkan secara selaras Endapan Aluvium. Kontak dengan endapan diatasnya (Endapan Aluvial) merupakan kontak tegas, dapat diamati pada stasiun pengamatan nomor 32. Berakhirnya Satuan Batulempung Padu ini ditandai dengan hilangnya lapisan batulempung dan munculnya breksi vulkanik.

4.2.2.5 Kesebandingan Regional Tabel 4.6 menunjukkan perbandingan antara Satuan Batulempung Padu yang ditemukan peneliti di daerah pemetaan dengan Formasi Batulempung yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu (P. H. Silitonga, 2003).
Tabel 4.6 Perbandingan antara Satuan Batulempung Padu penulis dengan Formasi Batulempung Kaliwangu berdasarkan peneliti terdahulu (P. H. Silitonga, 2003)

Satuan Batulempung Batulempung berwarna segar abu-abu gelap, warna lapuk abu-abu kecoklatan-hitam, besar butiran berkisar < 256 mm, kekerasannya dapat diremas dengan tangan, karbonatan, mengandung mineral karbon, dan teksturnya menyerpih.

Formasi Batulempung Kaliwangu (P. H. Silitonga, 2003) Batu pasir tufan, konglomerat, batulempung, dan kadang-kadang lapisan-lapisan batupasir gampingan dan batugamping. Selain itu terdapat juga lapisan-lapisan tipis gambut dan lignit. Formasi ini berumur Pliosen Awal sampai Pliosen Tengah.

4.2.3

Satuan Breksi Vulkanik

60

4.2.3.1 Ciri Litologi Breksi vulkanik adalah suatu massa batuan yang tersusun oleh fragmenfragmen batuan sedimen bersudut yang tersekap dalam suatu matriks. Breksi vulkanik tersusun atas komponen-komponen dengan bentuk butir menyudut yang terperangkap dan terekatkan oleh matriks sehingga massa tersebut menjadi terkompaksi dan keras. Breksi vulkanik ini mempunyai kenampakan di lapangan berupa breksi polimik, grain-supported, pemilahannya sangat buruk. Komponen terdiri dari andesit - basalt dan matriksnya tuff. Warna andesit warna segar abu-abu muda, warna lapuk coklat kemerahan, tekstur porfiritik, hypokristalin, kemas hypodiomorf, bentuk mineral subhedral. Basalt dengan warna segar abu-abu kehitaman, warna lapuk abu-abu kehitaman, tekstur afanitik, kristalisasi holohialin, berbentuk butir anhedral. Komponen-komponen tersebut dikelilingi oleh matriks berupa tuff dengan warna segar abu-abu putih, warna lapuk abuabu coklat, berukuran abu sampai lapili.

4.2.2.1 Luas dan Penyebaran Satuan ini menempati daerah penelitian sekitar 35% dan tersebar pada bagian tengah daerah penelitian. Singkapan-singkapannya banyak terdapat di sebagian tengah sampai selatan daerah penelitian.

61

Gambar 4.10 Singkapan Breksi Vulkanik pada stasiun 19, lokasi di sungai Cigeuleuh.

4.2.2.2 Umur dan Lingkungan Pengendapan Pada satuan breksi ini tidak ditemukan fosil sebagai penunjuk untuk menentukan umur dan lingkungan pengendapan, akan tetapi berdasarkan posisi stratigrafinya, satuan breksi vulkanik ini menutupi terhadap batu yang ada di bawahnya yaitu berupa batu lempung, maka dapat diinterpretasikan bahwa umurnya lebih muda daripada satuan batu lempung. Untuk lingkungan pengendapan (Silitonga, 2003) menyatakan bahwa satuan breksi vulkanik ini merupakan material hasil endapan gunungapi tua, dimana sumber dari gunungapi ini umumnya sudah tidak dapat lagi ditentukan dengan pasti. Secara megaskopis komponen satuan breksi vulkanik ini merupakan batuan beku dengan matriks tuff, maka dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah lingkungan darat.

4.2.2.3 Hubungan Stratigrafi Satuan Breksi Vulkanik ini berada di atas Satuan Batulempung. Hal ini menunjukkan bahwa Satuan Breksi Vulkanik merupakan satuan tertua kedua yang ada di daerah penelitian, setelah Satuan Batulempung.

62

4.2.2.4 Kesebandingan Regional Berikut adalah tabel yang menunjukkan perbandingan antara Satuan Breksi Vulkanik yang ditemukan peneliti di daerah pemetaan dengan Formasi Breksi Vulkanik yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu (P. H. Silitonga, 2003).

Tabel 4.7 Perbandingan antara Satuan Breksi Vulkanik penulis dengan Hasil gunungapi lebih tua peneliti terdahulu (P. H. Silitonga, 2003)

SATUAN BREKSI VULKANIK Breksi vulkanik ini berupa breksi polimik, grain-supported, pemilahannya sangat buruk. Komponen terdiri dari andesit dan matriksnya tuff. Warna andesit segar terdiri dari abu-abu gelap, warna lapuk coklat kemerahan, pemilahan buruk dan mengandung mineralmineral yang berwarna gelap. Sedangkan matriks tuffnya berwarna segar abu-abu putih, warna lapuk abu-abu coklat, berukuran abu sampai lapili.

HASIL GUNUNGAPI LEBIH TUA (P. H. SILITONGA, 2003) Breksi, lahar, dan pasir tuf berlapislapis dengan kemiringan yang kecil.

63

4.2.3

Satuan Tuf

4.2.3.1 Ciri Litologi Tuf merupakan hasil dari letusan gunungapi atau letusan vulkanik. Tipe dari bebatuan yang mengandung debu vulkanik yang dikeluarkan selama letusan gunungapi. Warna segar coklat muda, warna lapuk abu-abu-putih, berukuran abu sampai lapili.

Gambar 4.11 Singkapan Tuf pada stasiun 15, lokasi di Pasir Gedogan.

4.2.3.2 Luas dan Penyebaran Satuan ini menempati daerah penelitian sekitar 25% dan tersebar dari bagian barat yang memanjang ke selatan daerah penelitian. Singkapan-singkapannya banyak terdapat di daerah selatan dan barat daya daerah penelitian.

64

4.2.3.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan Tuf adalah mineral piroklastik yang materialnya berasal dari letusan gunungapi. Tidak ditemukan fosil pada satuan ini, akan tetapi berdasarkan posisi stratigrafinya, satuan tuf ini menutupi terhadap batu yang ada di bawahnya yaitu berupa batu breksi vulkanik, maka dapat diinterpretasikan bahwa umurnya lebih muda daripada satuan breksi vulkanik. Lingkungan pengendapannya berupa lingkungan darat, yaitu daerah gunungapi.

4.2.1.4 Hubungan Stratigrafi Satuan Tuf ini berada di atas Satuan Breksi Vulkanik. Hal ini menunjukkan bahwa Satuan Tuf merupakan satuan termuda yang ada di daerah penelitian, setelah Satuan Batulempung Serpih, Satuan Batulempung Padu, dan Satuan Breksi Vulkanik.

4.2.1.5 Kesebandingan Regional Berikut adalah tabel yang menunjukkan perbandingan antara Satuan Tuf yang ditemukan peneliti di daerah pemetaan dengan Hasil Gunung Api Lebih Tua yang dikemukakan oleh peneliti terdahulu (P. H. Silitonga, 2003).

Tabel 4.8 Perbandingan antara Satuan Tuf penulis dengan Hasil gunungapi lebih tua peneliti terdahulu (P. H. Silitonga, 2003)

HASIL GUNUNG API LEBIH TUA (P. H. SILITONGA, 2003) SATUAN TUF

65

Warna segar hitam, warna lapuk abu-abu keputihan, ukuran butir terdiri dari abu lapili, tekstur menyerpih, berstruktur vasikuler dan kekerasannya dapat di remas oleh tangan.

Breksi, lahar, dan pasir tuf berlapis-lapis dengan kemiringan yang kecil.

4.3

Struktur Geologi Sesuai dengan pengamatan-pengamatan yang dilakukan pada beberapa

lokasi di daerah penelitian, tidak di jumpai adanya indikasi-indikasi yang menunjukkan kehadiran struktur geologi yang nyata. Namun dibeberapa tempat terlihat adanya zona hancuran.

4.4

Geologi Sejarah Geologi sejarah daerah penelitian dimulai dari Kala Miosen Awal hingga

Miosen Tengah, dengan paleogeografi yang berupa lingkungan laut, yang secara batimetri berada pada kedalaman litoral hingga neritik. Hal ini diketahui dari hasil analisa fosil foraminifera bentonik yang telah ditemukan pada batulempung. Proses yang pertama kali terjadi dalam proses geologi daerah penelitian ini adalah diendapkannya material lempung serpih sebagai penyusun satuan batulempung menyerpih. Kemudian diendapkan material lempung padu. Setelah batulempung ini terlitifikasi, kemudian berlangsunglah proses tektonik secara regional, menyebabkan terjadinya proses pengangkatan, yang 66

berjalan seiring dengan terjadinya proses vulkanisme. Namun kebetulan proses tektonik ini tidak diindikasikan di daerah penelitian. Proses tektonik ini diperkirakan berlangsung pada periode Mio-Pliosen. Setelah kala Miosen Akhir, daerah penelitian berubah menjadi lingkungan darat akibat proses pengangkatan. Akibat proses vulkanisme tersebut diendapkan material volkanik berupa breksi dan tuf. Kedua satuan tersebut diperkirakan berumur lebih muda dari satuan batulempung serpih dan batulempung padu, sehingga dapat di interpretasikan bahwa kedua satuan tersebut berumur Pliosen.

4.5

Bahan Galian Berdasarkan pengamatan di lapangan bahan galian yang terdapat di daerah

penelitian adalah tuf dan lempung. Bahan tersebut digunakan sebagai bahan pembuat batako. Tidak banyak masyarakat yang memanfaatkan bahan galian ini, tetapi sebagian masyarakat di daerah Cicae tepatnya di selatan daerah penelitian ditemukan potensi bahan galian C untuk dijadikan sebagai bahan dasar konstruksi bangunan. Misalnya tanah merah dari pelapukan breksi yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan batubata.

67

BAB V KESIMPULAN

Secara administratif lokasi penelitian terletak di daerah Pamekarsari, Kecamatan Surian, Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak pada koordinat 107 50 16,20 BT- 1075259,22 BT dan 6 3841,03 LS - 6 41 22,91 LS. Atas dasar aspek morfografi, morfogenetik,morfometri dan material penyusunnya maka daerah penelitian ini terbagi atas empat satuan geomorfologi, yaitu Satuan Geomorfologi Pedataran Aluvium Sangat Landai, Satuan

Geomorfologi Pedataran Batulempung Landai, Satuan Geomorfologi Perbukitan Breksi Vulkanik Cukup Curam, Satuan Geomorfologi Perbukitan Tuf Curam. Di daerah pemetaan ini terbentuk suatu pola aliran sungai yang terbagi atas tiga macam, yaitu Pola Aliran Anastomatik, Pola Aliran Sub Paralel, Pola Aliran Sub Dendritik. Berdasarkan pengamatan di daerah penelitian, maka daerah penelitian ini terbagi atas empat macam satuan litologi, berurutan dari tua ke muda sebagai

68

berikut Satuan Batulempung Serpih, Satuan Batulempung Padu, Satuan Breksi Vulkanik, dan Satuan Tuf. Sesuai dengan pengamatan-pengamatan struktur geologi di lokasi penelitian, kami tidak menemukan indikasi struktur geologi. hanya menemukan Satuan Batulempung Serpih, yang tidak dapat diteliti lebih lanjut karena sudah merupakan zona hancuran. Geologi sejarah daerah penelitian diperkirakan dimulai pada kala Miosen Bawah sampai Pliosen Tengah. Pada kala Miosen Bawah terjadi pengendapan Satuan Batulempung Serpih. Lingkungan pengendapannya berupa lingkungan laut. Pengendapan ini berakhir pada Miosen Tengah. Penentuan umur satuan ini didasarkan pada posisi statigrafi dan fosil yang ditemukan pada batuannya. Yang digunakan sebagai acuan adalah penarikan umur berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik yang ada. Sedangkan lokasi pengendapan diperoleh dari fosil bentonik yang dikandung oleh batuannya. Pada kala Mio-Pliosen diperkirakan terjadi proses tektonik berupa pengangkatan bersamaan dengan proses vulkanisme. Ada kemungkinan proses ini menyebabkan terjadinya hancuran pada Satuan Batulempung Serpih. Pada kala Miosen Atas sampai Pliosen Tengah terendapkan Satuan Batulempung Padu dengan lingkungan pengendapan berupa lingkungan laut. Penentuan umur satuan ini didasarkan pada posisi stratigrafi dan fosil yang ditemukan pada batuannya. Yang digunakan sebagai acuan adalah penarikan umur berdasarkan kandungan fosil foraminifera planktonik yang ada. Sedangkan lokasi pengendapatan diperoleh dari fosil bentonik yang dikandung oleh batuannya. Pada

69

kala Pliosen terjadi pengendapan Satuan Breksi Vulkanik dan berlanjut dengan Satuan Tuff. Berdasarkan pengamatan di lapangan bahan galian yang terdapat di daerah penelitian berupa tuff dan lempung. Bahan tersebut digunakan sebagai bahan pembuat batako. Sedangkan di daerah Cicae ditemukan potensi bahan galian C sebagai bahan dasar konstruksi bangunan, yaitu batubata.

70

You might also like