You are on page 1of 22

MALNUTRISI

EALSA CHRISNA TABUN Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUD W.Z. Johannes Kupang

I.

Pendahuluan Malnutrisi adalah suatu keadaan defisiensi, kelebihan atau ketidakseimbangan protein energi dan nutrien lain yang dapat menyebabkan gangguan fungsi pada tubuh1 . Secara umum malnutrisi terbagi atas dua bagian yaitu undernutrisi dan overnutrisi. Undernutrisi atau keadaan defisiensi terdiri dari marasmus, kwashiorkor, serta marasmic kwashiorkor. Sedangkan overnutrisi atau kelebiahn nutrisi lebih dikenal dengan obesitas.

II.

Epidemiologi Prevalensi balita yang mengalami gizi buruk di Indonesia masih tinggi. Berdasarkan laporan propinsi selama tahun 2005 terdapat 76.178 balita mengalami gizi buruk dan data Susenas tahun 2005 memperlihatkan prevalensi balita gizi buruk sebesar 8.8%. Pada tahun 2005 telah terjadi peningkatan jumlah kasus gizi buruk di beberapa propinsi dan yang tertinggi terjadi di dua propinsi yaitu Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat. Pada tanggal 31 Mei 2005, Pemerintah Propinsi Nusa Tenggara Timur telah menetapkan masalah gizi buruk yang terjadi di NTT sebagai KLB2. Di Indonesia prevalensi obesitas pada balita menurut SUSENAS

menununjukan peningkatan baik di perkotaan maupun pedesaan. Di perkotaan pada tahun 1989 didapatkan 4,6% lelaki dan 5,6% perempuan. Pada tahun 1992 didapatkan 6,3% lelaki dan 8% untuk perempuan. Prevalensi obesitas tahun 1995 di 27 propinsi adalah 4,6%. Di DKI Jakarta, prevalensi obesitas meningkat dengan bertambahnya umur. Pada umur 6 12 tahun ditemukan obesitas sekitar 4%, pada anak remaja 12 18 tahun ditemukan 6,2 % dan pada umur 17 18 tahun11,4%. Kasus obesitas pada remaja lebih banyak ditemukan pada wanita (10,2%) dibanding lelaki (3,1%)3.

III.

Etiologi a. Marasmus4 Secara garis besar sebab-sebab marasmus ialah sebagai berikut:
-

Pemasukan kalori yang tidak cukup. Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, pemberian makanan yang tidak sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak.

Kebiasaan makan yang tidak tepat. Seperti mereka yang mempunyai hubungan orang tua anak terganggu.

Kelainan metabolik. Misalnya: renal asidosis, idiopathic hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.

Malformasi kongenital. Misalnya: penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschprung, deformitas palatum, palatoschizis, micrognathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis pankreas.

b. Kwashiorkor5 Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan kwashiorkor antara lain. 1. Pola makan Protein (dan asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein/ asam amino yang memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI protein dari sumbersumber lain (susu, telur, keju, tahu dan lain-lain) sangatlah dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa peralihan ASI ke makanan pengganti ASI. 2. Faktor sosial Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan sosial dan politik tidak stabil ataupun adanya pantangan untuk menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun-turun dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor. 3. Faktor ekonomi

Kemiskinan keluarga/ penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan proteinnya. 4. Faktor infeksi dan penyakit lain Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi. c. Marasmic kwashiorkor6 Penyebab marasmic kwashiorkor dapat dibagi menjadi dua penyebab yaitu malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorbsi dan/atau peningkatan kehilangan protein maupun energi dari tubuh. d. Obesitas7 Penyebab obesitas belum diketahui secara pasti. Obesitas adalah suatu penyakit multifaktorial yang diduga bahwa sebagian besar obesitas disebabkan oleh karena interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan, antara lain aktifitas, gaya hidup, sosial ekonomi dan nutrisional yaitu perilaku makan dan pemberian makanan padat terlalu dini pada bayi. 1. Faktor Genetik Parental fatness merupakan faktor genetik yang berperanan besar. Bila kedua orang tua obesitas, 80% anaknya menjadi obesitas; bila salah satu orang tua obesitas, kejadian obesitas menjadi 40% dan bila kedua orang tua tidak obesitas, prevalensi menjadi 14%. Mekanisme kerentanan genetik terhadap obesitas melalui efek pada resting metabolic rate, thermogenesis non exercise, kecepatan oksidasi lipid dan kontrol nafsu makan yang jelek. Dengan demikian kerentanan terhadap obesitas ditentukan secara genetik sedang lingkungan menentukan ekspresi fenotipe. 2. Faktor lingkungan - Aktivitas fisik Penelitian di negara maju mendapatkan hubungan antara aktifitas fisik yang rendah dengan kejadian obesitas. Individu dengan aktivitas fisik yang

rendah mempunyai risiko peningkatan berat badan sebesar = 5 kg. Penelitian terhadap anak Amerika dengan tingkat sosial ekonomi yang sama menunjukkan bahwa mereka yang nonton TV = 5 jam perhari mempunyai risiko obesitas sebesar 5,3 kali lebih besar dibanding mereka yang nonton TV = 2 jam setiap harinya. - Faktor nutrisional Peranan faktor nutrisi dimulai sejak dalam kandungan dimana jumlah lemak tubuh dan pertumbuhan bayi dipengaruhi berat badan ibu. Kenaikan berat badan dan lemak anak dipengaruhi oleh : waktu pertama kali mendapat makanan padat, asupan tinggi kalori dari karbohidrat dan lemak serta kebiasaan mengkonsumsi makanan yang mengandung energi tinggi. Makanan berlemak juga mempunyai rasa yang lezat sehingga akan meningkatkan selera makan yang akhirnya terjadi konsumsi yang berlebihan. Bila cadangan lemak tubuh rendah dan asupan karbohidrat berlebihan, maka kelebihan energi dari karbohidrat sekitar 60-80% disimpan dalam bentuk lemak tubuh. Lemak mempunyai kapasitas penyimpanan yang tidak terbatas. Kelebihan asupan lemak tidak diiringi peningkatan oksidasi lemak sehingga sekitar 96% lemak akan disimpan dalam jaringan lemak. - Faktor sosial ekonomi Perubahan pengetahuan, sikap, perilaku dan gaya hidup, pola makan, serta peningkatan pendapatan mempengaruhi pemilihan jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Suatu data menunjukkan bahwa beberapa tahun terakhir terlihat adanya perubahan gaya hidup yang menjurus pada penurunan aktifitas fisik, seperti: ke sekolah dengan naik kendaraan dan kurangnya aktifitas bermain dengan teman serta lingkungan rumah yang tidak memungkinkan anak-anak bermain diluar rumah, sehingga anak lebih senang bermain komputer / games, nonton TV atau video dibanding melakukan aktifitas fisik. Selain itu juga ketersediaan dan harga dari junk food yang mudah terjangkau akan berisiko menimbulkan obesitas. IV. Patofisiologi Kekurangan energi protein (KEP) adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi, dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG), dan biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa

nutrisi lainnya. Disebut malnutrisi primer bila kejadian KEP akibat kekurangan asupan nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi, pendidikan serta rendahnya pengetahuan dibidang gizi. Malnutrisi sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti diatas disebabkan karena adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun kelainan pencernaan dan metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan nutrisi.Makanan yang tidak adekuat, akan

menyebabkan mobilisasi berbagai cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup, dimulai dengan pembakaran cadangan karbohidrat kemudian cadangan lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stres katabolik (infeksi) maka kebutuhan akan protein akan meningkat, sehingga dapat menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada saat status gizi masih diatas -3 SD (-2SD--3SD), maka terjadilah kwashiorkor (malnutrisi akut/decompensated malnutrition). Pada kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres katabolik ini terjadi pada saat status gizi dibawah -3 SD, maka akan terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat teradaptasi sampai dibawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik (malnutrisikronik/compensated malnutrition). Dengan demikian pada malnutrisi dapat terjadi : gangguan pertumbuhan, atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin, penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesa enzim6 Sedangkan Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Gangguan keseimbangan energi ini dapat disebabkan oleh faktor eksogen (obesitas primer) sebagai akibat nutrisional (90%) dan faktor endogen (obesitas sekunder) akibat adanya kelainan hormonal, sindrom atau defek genetik (meliputi 10%). Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu : pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer (jaringan adipose, usus dan jaringan otot). Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek

dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida gastrointestinal, yang diperankan oleh kolesistokinin (CCK) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh fat-derived hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi. Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro Peptide Y (NPY), sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan. 7 V. Manifestasi Klinik Marasmus8 Pertumbuhan berkurang atau berhenti Terlihat sangat kurus Penampilan wajah seperti orangtua Perubahan mental Cengeng Kulit kering, dingin, mengendor, keriput Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang Otot atrofi sehingga kontur tulang terlihat jelas Vena superfisialis tampak jelas Ubun ubun besar cekung tulang pipi dan dagu kelihatan menonjol mata tampak besar dan dalam Kadang terdapat bradikardi Tekanan darah lebih rendah dibandingkan Kwshiorkor8 Perubahan mental sampai apatis Anemia Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut / rontok Gangguan sistem gastrointestinal Pembesaran hati Perubahan kulit Atrofi otot Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh. Obesitas7 wajah bulat dengan pipi tembem dan dagu rangkap leher relatif pendek dada membusung dengan payudara membesar - perut membuncit dan striae abdomen - pada anak laki-laki : Burried penis, gynaecomastia - pubertas dini - genu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua pangkal paha bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang dapat menyebabkan laserasi kulit

anak sebaya *Manifestasi klinis dari marasmic-kwashiorkor merupakan campuran gejala marasmus dan kwashiorkor VI. Diagnosis 1. Kekurangan Energi Protein: Diagnosis ditegakkan dengan berdasarkan tanda dan gejala klinis serta pengukuran antropometri. Anak didiagnosis gizi buruk apabila: - BB/TB < -3 SD atau , 70 % dari median (marasmus) Edema pada kedua punggung kaki sampai seluruh tubuh (kwashiorkor: BB/TB > - 3 SD atau marasmic kwashiorkor: BB/TB < -3SD). Jika BB/TB tidak dapat diukur, gunakan tanda klinis berupa anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat, paha, tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa adanya edema. Anak anak dengan BB/U <60% belum tentu gizi buruk, karena mungkin anak tersebut pendek, sehingga tidak terlihat sangat kurus. Anak seperti itu tidak membutuhkan perawatan di rumah sakit, kecuali jiak ditemukan penyakit lain yang berat. 2. Obesitas 1. Anamnesis Saat mulainya timbul obesitas : prenatal, early adiposity rebound, remaja Riwayat tumbuh kembang (mendukung obesitas endogenous) Adanya keluhan: ngorok (snoring), restless sleep, nyeri pinggul Riwayat gaya hidup : Pola makan/kebiasaan makan Pola aktifitas fisik

Riwayat keluarga dengan obesitas (faktor genetik), yang disertai dengan resiko seperti penyakit kardiovaskuler di usia muda, hiperkolesterolmia, hipertensi, diabetes melitus tipe II

2. Pemeriksaan fisik Adanya gejala klinis obesitas seperti diatas. 3. Pemeriksaan penunjang Analisis diet, laboratoris, radiologis, ekokardiografi dan tes fungsi paru (jika ada tanda-tanda kelainan).

4. Pemeriksaan antropometri : a. Pengukuran berat badan (BB) dibandingkan berat badan ideal (BBI). BBI adalah berat badan menurut tinggi badan ideal. Disebut obesitas bila BB > 120% BB Ideal. b. Indeks massa tubuh (IMT). Obesitas bila IMT P > 95 kurva IMT berdasarkan umur dan jenis kelamin dari CDC-WHO. c. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur skinfold thickness (tebal lipatan kulit/TLK). Obesitas bila TLK Triceps P > 85. d. Pengukuran lemak secara laboratorik, misalnya densitometri, hidrometri.

VII.

Penatalaksanaan Tatalaksana umum malnutrisi energi protein:

Penilaian triase anak dengan gizi buruk dengan tatalaksana syok pada anak dengan gizi buruk

Jika ditemukan ulkus kornea, beri vitamin A dan obat tetes mata kloramfenikol/tetrasiklin dan atropin; tutup mata dengan kasa yang telah dibasahi dengan larutan garam normal, dan balutlah. Jangan beri obat mata yang mengandung steroid.

- Jika terdapat anemia berat, diperlukan penanganan segera (lampiran 2) Penanganan umum meliputi 10 langkah dan terbagi dalam 3 fase yaitu: fase stabilisasi, fase transisi, fase rehabilitasi dan fase tindak lanjut.

1. Mencegah dan mengatasi hipoglikemi Semua anak dengan gizi buruk berisiko hipoglikemia (kadar gula darah < 3 mmol/L atau < 54 mg/dl) sehingga setiap anak gizi buruk harus diberi makan atau larutan glukosa/gula pasir 10% segera setelah masuk rumah sakit. Jika fasilitas setempat tidak memungkinkan untuk memeriksa kadar gula darah, maka semua anak gizi buruk harus dianggap menderita hipoglikemia dan segera ditangani sesuai panduan. Tatalaksana
-

Segera

beri

F-75

pertama

atau

modifikasinya

bila

penyediaannya

memungkinkan.
-

Bila F-75 pertama tidak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml larutan glukosa atau gula 10% (1 sendok teh gula dalam 50 ml air) secara oral atau melalui NGT.

Lanjutkan pemberian F-75 setiap 23 jam, siang dan malam selama minimal dua hari.

Bila masih mendapat ASI teruskan pemberian ASI di luar jadwal pemberian F-75.

Jika anak tidak sadar (letargis), berikan larutan glukosa 10% secara intravena (bolus) sebanyak 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula pasir 50 ml dengan NGT.

Beri antibiotik.

Pemantauan Jika kadar gula darah awal rendah, ulangi pengukuran kadar gula darah setelah 30 menit. Jika kadar gula darah di bawah 3 mmol/L (< 54 mg/dl), ulangi pemberian larutan glukosa atau gula 10%. Jika suhu rektal < 35.5 C atau bila kesadaran memburuk, mungkin hipoglikemia disebabkan oleh hipotermia, ulangi pengukuran kadar gula darah dan tangani sesuai keadaan (hipotermia dan hipoglikemia). Pencegahan Beri makanan awal (F-75) setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin atau jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu. Pemberian makan harus teratur setiap 2-3 jam siang malam.

2. Mencegah dan mengatasi hipotermia Diagnosis Suhu aksilar < 35.5 C Tatalaksana Segera beri makan F-75 (jika perlu, lakukan rehidrasi lebih dulu). Pastikan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan letakkan pemanas (tidak mengarah langsung kepada anak) atau lampu di dekatnya, atau letakkan anak langsung pada dada atau perut ibunya (dari kulit ke kulit: metode kanguru). Bila menggunakan lampu listrik, letakkan lampu pijar 60 W dengan jarak 60 cm dari tubuh anak. Beri antibiotik sesuai pedoman.

Pemantauan - Ukur suhu aksilar anak setiap 2 jam sampai suhu meningkat menjadi 36.5 C atau lebih. Jika digunakan pemanas, ukur suhu tiap setengah jam. Hentikan pemanasan bila suhu mencapai 36.5 C - Pastikan bahwa anak selalu tertutup pakaian atau selimut, terutama pada malam hari - Periksa kadar gula darah bila ditemukan hipotermia Pencegahan Letakkan tempat tidur di area yang hangat, di bagian bangsal yang bebas angin dan pastikan anak selalu tertutup pakaian/selimut Ganti pakaian dan seprai yang basah, jaga agar anak dan tempat tidur tetap kering Hindarkan anak dari suasana dingin (misalnya: sewaktu dan setelah mandi, atau selama pemeriksaan medis) Biarkan anak tidur dengan dipeluk orang tuanya agar tetap hangat, terutama di malam hari Beri makan F-75 atau modifikasinya setiap 2 jam, mulai sesegera mungkin, sepanjang hari, siang dan malam. 3. Mencegah dan mengatasi dehidrasi Diagnosis Cenderung terjadi diagnosis berlebihan dari dehidrasi dan estimasi yang berlebihan mengenai derajat keparahannya pada anak dengan gizi buruk. Hal ini disebabkan oleh sulitnya menentukan status dehidrasi secara tepat pada anak

dengan gizi buruk, hanya dengan menggunakan gejala klinis saja. Anak gizi buruk dengan diare cair, bila gejala dehidrasi tidak jelas, anggap dehidrasi ringan. Tatalaksana - Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat dengan syok. - Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT, lakukan lebih lambat disbanding jika melakukan rehidrasi pada anak dengan gizi baik. - Beri 5 ml/kgBB setiap 30 menit untuk 2 jam pertama - Setelah 2 jam, berikan ReSoMal 510 ml/kgBB/jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, setiap jam selama 10 jam. Jumlah yang pasti tergantung seberapa banyak anak mau, volume tinja yang keluar dan apakah anak muntah.
-

Selanjutnya berikan F-75 secara teratur setiap 2 jam Jika masih diare, beri ReSoMal setiap kali diare. Untuk usia < 1 th: 50-100ml setiap buang air besar, usia 1 th: 100-200 ml setiap buang air besar.

4. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit Pemantauan Pantau kemajuan proses rehidrasi dan perbaikan keadaan klinis setiap setengah jam selama 2 jam pertama, kemudian tiap jam sampai 10 jam berikutnya. Waspada terhadap gejala kelebihan cairan, yang sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan gagal jantung dan kematian. Periksalah: frekuensi napas frekuensi nadi frekuensi miksi dan jumlah produksi urin frekuensi buang air besar dan muntah Selama proses rehidrasi, frekuensi napas dan nadi akan berkurang dan mulai ada diuresis. Kembalinya air mata, mulut basah cekung mata dan fontanel berkurang serta turgor kulit membaik merupakan tanda membaiknya hidrasi, tetapi anak gizi buruk seringkali tidak memperlihatkan tanda tersebut walaupun rehidrasi penuh telah terjadi, sehingga sangat penting untuk memantau berat badan.

Jika ditemukan tanda kelebihan cairan (frekuensi napas meningkat 5x/menit dan frekuensi nadi 15x/menit), hentikan pemberian cairan/ReSoMal segera dan lakukan penilaian ulang setelah 1 jam. Pencegahan Cara mencegah dehidrasi akibat diare yang berkelanjutan sama dengan pada anak dengan gizi baik, kecuali penggunaan cairan ReSoMal sebagai pengganti larutan oralit standar.
-

Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI Pemberian F-75 sesegera mungkin Beri ReSoMal sebanyak 50-100 ml setiap buang air besar cair.

Tatalaksana
-

Untuk mengatasi gangguan elektrolit diberikan Kalium dan Magnesium, yang sudah terkandung di dalam larutan Mineral-Mix yang ditambahkan ke dalam F-75, F-100 atau ReSoMal

Gunakan larutan ReSoMal untuk rehidrasi Siapkan makanan tanpa menambahkan garam (NaCl).

5. Mengobati infeksi Pada gizi buruk, gejala infeksi yang biasa ditemukan seperti demam, seringkali tidak ada, padahal infeksi ganda merupakan hal yang sering terjadi. Oleh karena itu, anggaplah semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang ke rumah sakit dan segera tangani dengan antibiotik. Hipoglikemia dan hipotermia merupakan tanda infeksi berat. Tatalaksana Berikan pada semua anak dengan gizi buruk:
-

Antibiotik spektrum luas Vaksin campak jika anak berumur 6 bulan dan belum pernah mendapatkannya, atau jika anak berumur > 9 bulan dan sudah pernah diberi vaksin sebelum berumur 9 bulan.

Tunda imunisasi jika anak syok.

Pilihan antibiotik spektrum luas Jika tidak ada komplikasi atau tidak ada infeksi nyata, beri Kotrimoksazol per oral (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB setiap 12 jam selama 5 hari Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi, beri:

Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV setiap 6 jam selama 2 hari), dilanjutkan dengan Amoksisilin oral (15 mg/kgBB setiap 8 jam selama 5 hari) ATAU, jika tidak tersedia amoksisilin, beri Ampisilin per oral (50 mg/kgBB setiap 6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari DITAMBAH:

Gentamisin (7.5 mg/kgBB/hari IM/IV) setiap hari selama 7 hari.

Jika diduga meningitis, lakukan pungsi lumbal untuk memastikan dan obati dengan Kloramfenikol (25 mg/kg setiap 6 jam) selama 10 hari

Jika ditemukan infeksi spesifik lainnya (seperti pneumonia, tuberkulosis, malaria, disentri, infeksi kulit atau jaringan lunak), beri antibiotik yang sesuai.

Beri obat antimalaria bila pada apusan darah tepi ditemukan parasit malaria. Walaupun tuberkulosis merupakan penyakit yang umum terdapat, obat anti tuberkulosis hanya diberikan bila anak terbukti atau sangat diduga menderita tuberkulosis.

Pemantauan Jika terdapat anoreksia setelah pemberian antibiotik di atas, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 10 hari penuh. Jika nafsu makan belum membaik, lakukan penilaian ulang menyeluruh pada anak.

6. Memperbaiki kekurangan zat gizi mikro Semua anak gizi buruk mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Meskipun sering ditemukan anemia, jangan beri zat besi pada fase awal, tetapi tunggu sampai anak mempunyai nafsu makan yang baik dan mulai bertambah berat adannya (biasanya pada minggu kedua, mulai fase rehabilitasi), karena zat besi dapat memperparah infeksi. Tatalaksana Berikan setiap hari paling sedikit dalam 2 minggu:
-

Multivitamin Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari) Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari) Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari) Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi) Vitamin A: diberikan secara oral pada hari ke 1 (kecuali bila telah diberikan sebelum dirujuk), dengan dosis seperti di bawah ini :

Umur <6 bulan 6 12 bulan 1 5 tahun

dosis 50 000 (1/2 kapsul biru) 100 000 (1 kapsul biru) 200 000 (1 kapsul merah)

Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.

7. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi Pada fase awal, pemberian makan (formula) harus diberikan secara hati-hati sebab keadaan fisiologis anak masih rapuh. Tatalaksana Sifat utama yang menonjol dari pemberian makan awal adalah: Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas maupun rendah laktosa Berikan secara oral atau melalui NGT, hindari penggunaan parenteral Energi: 100 kkal/kgBB/hari Protein: 1-1.5 g/kgBB/hari Cairan: 130 ml/kgBB/hari (bila ada edema berat beri 100 ml/kgBB/hari) Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan bahwa jumlah F-75 yang ditentukan harus dipenuhi seperti di bawah ini:

Hari Frekuensi ke : 12 35 6 dst 2 jam 3 jam 4 jam

Volume/kgBB/pemberian

Volume/kgBB/hari

11 ml 16 ml 22 ml

130 ml 130 ml 130 ml

Pada anak dengan nafsu makan baik dan tanpa edema, jadwal di atas dapatdipercepat menjadi 2-3 hari. Jika jumlah petugas terbatas, beri prioritas untuk pemberian makan setiap 2 jam hanya pada kasus yang keadaan klinisnya paling berat, dan bila terpaksa upayakan paling tidak tiap 3 jam pada fase permulaan. Libatkan dan ajari orang tua atau penunggu pasien.

Pemberian makan sepanjang malam hari sangat penting agar anak tidak terlalu lama tanpa pemberian makan (puasa dapat meningkatkan risiko kematian). Apabila pemberian makanan per oral pada fase awal tidak mencapai kebutuhan minimal (80 kkal/kgBB/hari), berikan sisanya melalui NGT. Jangan melebihi 100 kkal/kgBB/hari pada fase awal ini. Pada cuaca yang sangat panas dan anak berkeringat banyak maka anak perlu mendapat ekstra air/cairan. Pemantauan Pantau dan catat setiap hari: Jumlah makanan yang diberikan dan dihabiskan Muntah Frekuensi defekasi dan konsistensi feses Berat badan.

8. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar Tanda yang menunjukkan bahwa anak telah mencapai fase ini adalah: Kembalinya nafsu makan Edema minimal atau hilang. Tatalaksana Lakukan transisi secara bertahap dari formula awal (F-75) ke formula tumbuhkejar (F-100) (fase transisi): Ganti F 75 dengan F 100. Beri F-100 sejumlah yang sama dengan F-75 selama 2 hari berturutan. Selanjutnya naikkan jumlah F-100 sebanyak 10 ml setiap kali pemberian sampai anak tidak mampu menghabiskan atau tersisa sedikit. Biasanya hal ini terjadi ketika pemberian formula mencapai 200 ml/kgBB/hari. Dapat pula digunakan bubur atau makanan pendamping ASI yang dimodifikasi sehingga kandungan energi dan proteinnya sebanding dengan F-100. Setelah transisi bertahap, beri anak: pemberian makan yang sering dengan jumlah tidak terbatas (sesuai kemampuan anak) energi: 150-220 kkal/kgBB/hari protein: 4-6 g/kgBB/hari.

Bila anak masih mendapat ASI, lanjutkan pemberian ASI tetapi pastikan anak sudah mendapat F-100 sesuai kebutuhan karena ASI tidak mengandung cukup energi untuk menunjang tumbuh-kejar. Makanan-terapeutik-siap-saji (ready to use therapeutic food = RUTF) yang mengandung energi sebanyak 500 kkal/sachet 92g dapat digunakan pada fase rehabilitasi. Pemantauan Hindari terjadinya gagal jantung. Amati gejala dini gagal jantung (nadi cepat dan napas cepat). Jika nadi maupun frekuensi napas meningkat (pernapasan naik 5x/menit dan nadi naik 25x/menit), dan kenaikan ini menetap selama 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4 jam berturutturut, maka hal ini merupakan tanda bahaya (cari penyebabnya). Lakukan segera: kurangi volume makanan menjadi 100 ml/kgBB/hari selama 24 jam kemudian, tingkatkan perlahan-lahan sebagai berikut: 115 ml/kgBB/hari selama 24 jam berikutnya 130 ml/kgBB/hari selama 48 jam berikutnya selanjutnya, tingkatkan setiap kali makan dengan 10 ml sebagaimana dijelaskan sebelumnya. atasi penyebab

Penilaian kemajuan Kemajuan terapi dinilai dari kecepatan kenaikan berat badan setelah taha ptransisi dan mendapat F-100:

Timbang dan catat berat badan setiap pagi sebelum diberi makan Hitung dan catat kenaikan berat badan setiap 3 hari dalam gram/kgBB/hari Jika kenaikan berat badan: kurang (< 5 g/kgBB/hari), anak membutuhkan penilaian ulang lengkap sedang (5-10 g/kgBB/hari), periksa apakah target asupan terpenuhi, atau mungkin ada infeksi yang tidak terdeteksi. baik (> 10 g/kgBB/hari).

9. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang ungkapan kasih sayang lingkungan yang ceria terapi bermain terstruktur selama 1530 menit per hari

aktivitas fisik segera setelah anak cukup sehat keterlibatan ibu sesering mungkin (misalnya menghibur, memberi makan, memandikan, bermain)

10. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah Bila telah tercapai BB/TB > -2 SD (setara dengan >80%) dapat dianggap anak telah sembuh. Anak mungkin masih mempunyai BB/U rendah karena anak berperawakan pendek. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjutkan di rumah. Berikan contoh kepada orang tua: Menu dan cara membuat makanan kaya energi dan padat gizi serta frekuensi pemberian makan yang sering. Terapi bermain yang terstruktur

Sarankan: Melengkapi imunisasi dasar dan/atau ulangan Mengikuti program pemberian vitamin A (Februari dan Agustus)

Pemulangan sebelum sembuh total Anak yang belum sembuh total mempunyai risiko tinggi untuk kambuh. Waktu untuk pemulangan harus mempertimbangkan manfaat dan faktor risiko. Faktor sosial juga harus dipertimbangkan. Anak membutuhkan perawatan lanjutan melalui rawat jalan untuk menyelesaikan fase rehabilitasi serta untuk mencegah kekambuhan. Beberapa pertimbangan agar perawatan di rumah berhasil: Anak seharusnya: telah menyelesaikan pengobatan antibiotik mempunyai nafsu makan baik menunjukkan kenaikan berat badan yang baik edema sudah hilang atau setidaknya sudah berkurang. Ibu atau pengasuh seharusnya: mempunyai waktu untuk mengasuh anak memperoleh pelatihan mengenai pemberian makan yang tepat (jenis, jumlah dan frekuensi) mempunyai sumber daya untuk memberi makan anak. Jika tidak mungkin, nasihati tentang dukungan yang tersedia. Tindak lanjut bagi anak yang pulang sebelum sembuh

Jika anak dipulangkan lebih awal, buatlah rencana untuk tindak lanjut sampai anak sembuh: Hubungi unit rawat jalan, pusat rehabilitasi gizi, klinik kesehatan local untuk melakukan supervisi dan pendampingan. Anak harus ditimbang secara teratur setiap minggu. Jika ada kegagalan kenaikan berat badan dalam waktu 2 minggu berturut-turut atau terjadi penurunan berat badan, anak harus dirujuk kembali ke rumah sakit.

Tata laksana Obesitas: Prinsipnya adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi, dengan cara pengaturan diet, peningkatan aktifitas fisik, dan

mengubah/modifikasi pola hidup. 1. Menetapkan target penurunan berat badan Untuk penurunan berat badan ditetapkan berdasarkan : Usia anak : 2-7 tahun dan diatas 7 tahun Derajat obesitas Ada tidaknya penyakit penyerta/komplikasi. Pada anak obesitas usia dibawah 7 tahun tanpa komplikasi, dianjurkan cukup dengan mempertahankan berat badan. Pada anak obesitas usia dibawah 7 tahun dengan komplikasi dan usia diatas 7 tahun (dengan/tanpa komplikasi) dianjurkan untuk menurunkan berat badan (diet dan aktifitas fisik). Target penurunan berat badan dengan kecepatan 0,5-2 kg per bulan, sampai mencapai berat badan ideal. 2. Pengaturan diet Prinsip pengaturan diet pada anak obesitas adalah diet seimbang sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG), hal ini karena anak masih mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Intervensi diet harus disesuaikan dengan usia anak, derajat obesitas dan ada tidaknya penyakit penyerta. Pada obesitas tanpa penyakit penyerta, diberikan diet seimbang rendah kalori dengan pengurangan asupan kalori sebesar 30%. Dapat pula memakai perhitungan kebutuhan kalori berdasarkan berat badan sebagai berikut : BB ideal + (BB aktual-BB ideal) X 0,25

Dalam pengaturan diet ini perlu diperhatikan tentang : Menurunkan berat badan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan normal.

Diet seimbang dengan komposisi karbohidrat 50-60%, lemak 20-30% dengan lemak jenuh < 10% dan protein 15-20% energi total serta kolesterol < 300 mg per hari.

Diet tinggi serat, dianjurkan pada anak usia > 2 tahun dengan penghitungan dosis menggunakan rumus : (umur dalam tahun + 5) gram per hari.

3. Pengaturan aktifitas fisik Latihan fisik yang diberikan disesuaikan dengan tingkat perkembangan motorik, kemampuan fisik dan umurnya. Aktifitas fisik untuk anak usia 6-12 tahun lebih tepat yang menggunakan keterampilan otot, seperti bersepeda, berenang, menari dan senam. Dianjurkan untuk melakukan aktifitas fisik selama 20-30 menit per hari. 4. Mengubah pola hidup/perilaku Diperlukan peran serta orang tua sebagai komponen intervensi, dengan cara : Pengawasan sendiri terhadap: berat badan, asupan makanan dan aktifitas fisik serta mencatat perkembangannya. Mengontrol rangsangan untuk makan. Orang tua diharapkan dapat menyingkirkan rangsangan disekitar anak yang dapat memicu keinginan untuk makan. Mengubah perilaku makan, dengan mengontrol porsi dan jenis makanan yang dikonsumsi dan mengurangi makanan camilan. Memberikan penghargaan dan hukuman. Pengendalian diri, dengan menghindari makanan berkalori tinggi yang pada umumnya lezat dan memilih makanan berkalori rendah. 5. Peran serta orang tua, anggota keluarga, teman dan guru. Orang tua menyediakan diet yang seimbang, rendah kalori dan sesuai petunjuk ahli gizi. Anggota keluarga, guru dan teman ikut berpartisipasi dalam program diet, mengubah perilaku makan dan aktifitas yang mendukung program diet. 6. Konseling problem psikososial, terutama untuk peningkatan rasa percaya diri 7. Terapi intensif Terapi intensif diterapkan pada anak dengan obesitas berat dan yang disertai komplikasi yang tidak memberikan respon pada terapi konvensional, terdiri dari diet berkalori sangat rendah (very low calorie diet), farmakoterapi dan terapi bedah. Indikasi terapi diet dengan kalori sangat rendah bila berat badan > 140% BB Ideal atau IMT P > 97, dengan asupan kalori hanya 600-800 kkal per hari dan protein hewani 1,5-2,5 gram/kg BB Ideal, dengan suplementasi vitamin dan mineral serta

minum > 1,5 L per hari. Terapi ini hanya diberikan selama 12 hari dengan pengawasan dokter. Farmakoterapi dikelompokkan menjadi 3, yaitu : mempengaruhi asupan energi dengan menekan nafsu makan, contohnya sibutramin; mempengaruhi penyimpanan energi dengan menghambat absorbsi zat-zat gizi contohnya orlistat, leptin, octreotide dan metformin; meningkatkan penggunaan energi. Farmakoterapi belum

direkomendasikan untuk terapi obesitas pada anak, karena efek jangka panjang yang masih belum jelas. Terapi bedah di indikasikan bila berat badan > 200% BB Ideal. Prinsip terapi ini adalah untuk mengurangi asupan makanan atau memperlambat pengosongan lambung dengan cara gastric banding, dan mengurangi absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus. Sampai saat ini belum banyak penelitian tentang manfaat dan bahaya terapi ini pada anak.

VIII. IX. X.

Komplikasi Prognosis Kesimpulan

1. Penatalaksanaan 2. Komplikasi Pada anak dengan gizi buruk dapat ditemukan penyakit penyerta antara lain : Masalah pada mata Anemia berat Lesi kulit pada kwashiorkor Diare persisten (giardiasis dan kerusakan mukosa usus, intoleransi laktosa, diare osmotik) Penyakit penyerta yang dapat terjadi pada obesitas adalah antara lain: Faktor Risiko Penyakit Kardiovaskuler Diabetes Mellitus tipe-2 Obstruktive sleep apnea

Gangguan ortopedik Pseudotumor serebri

3. Prognosis Malnutrisi yang hebat mempunyai angka kematian yang tinggi, kematian sering disebabkan oleh karena infeksi, sering tidak dapat dibedakan antara kematian karena infeksi atau karena malnutrisi sendiri. Prognosis tergantung dari stadium saat pengobatan mulai dilaksanakan. Dalam beberapa hal walaupun kelihatannya pengobatan adekuat, bila penyakitnya progesif kematian tidak dapat dihindari, mungkin disebabkan perubahan yang irrever-sibel dari set-sel tubuh akibat under nutrition maupun overnutrition.

DAFTAR PUSTAKA 1. Syam Fahrial. Malnutrisi. Dalam: Sudojo A, Bambang S, Alwi I, Simbadibrata M, Setiadi S, Editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2009;355 65 2. Direktorat Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB Gizi Buruk. Jakarta: Depkes RI Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat. 2008; 1 3. Susanto J.C, Mexitalia M, Nasar S. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi Berbasis Komunitas. Dalam: Syarif D, Lestari E, Mexitalia M, Nasar S, penyunting. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik jilid 1 cetakan I. Jakarta: IDAI.2011;128 45 4. Yaszero. Epidemiologi Penanggulangan Marasmus http://epiders.blogspot.com/2011/11/epidemiologi-penanggulangan-marasmus.html 5. Yaszero. Mengenal Kwashiorkor http://epiders.blogspot.com/2011/11/mengenal-kwashiorkor.html 6. Hidajat B, Irawan R, Hidjati S. Kurang Energi Protein (KEP) http://pediatrik.com/pdt/07110-rswg255.html

7. Hidajat B, Irawan R, Hidjati S. Obesitas Pada Anak http://www.pediatrik.com/isi03.php 8. Pudjiati A, Hegar B, Hendryastuti S, Idris N, Gandaputra E, Harmoniati E, et al. Pedoman Pelayanan Medik Jilid 1. Jakarta: IDAI. 2010;183 87 9. World Health Organization. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO Indonesia. 2009. 193 221 10. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku I. Jakarta: Departemen Kesehatan.2009. 3 11. Barnes Lewis, Curran John. Nutrisi. Dalam: Wahab S, editor. Nelson Ilmu Kesehatan Anak jilid 1 Edisi 15. Jakarta: EGC. 2000;179 232 12. Ngastiyah. Perawatan Anak Sakit edisi 2. Jakarta: EGC. 2005;258 66 13. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak. Ilmu Kesehatan Anak jilid 1. Jakarta: FKUI.2007;360 69 14. Lailani D, Hakimi. Pertumbuhan Fisik Anak Obesitas. Dalam: Sari Pediatri Volume 5. 2003; 99 102 15. Lubis N, Marsida A. Penatalaksanaan Busung Lapar pada Balita. Aceh Timur: Bagian IKA RSU Langsa.2002;12

You might also like