You are on page 1of 35

TUGAS MATA KULIAH SISTEM KOMUNIKASI BERGERAK

MODEL PROPAGASI GELOMBANG RADIO LUAR RUANGAN

Disusun oleh :

SOFIET ISA MASHURI SETIA HATI 07/252083/TK/32754

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO DAN TEKNOLOGI INFORMASI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

Pendahuluan
Pada saat ini kebutuhan masyarakat akan layanan jasa telekomunikasi terus meningkat dengan pesat. Hal ini menuntut inovasi dalam teknologi telekomunikasi yang sesuai dengan keadaan masyarakat saat ini yang memiliki mobilitas yang tinggi. Salah satu teknologi komunikasi yang menjadi trend saat ini adalah sistem komunikasi nirkabel atau wireless. Jaringan nirkabel adalah teknologi pengiriman data dari satu titik ke titik lain tanpa kabel fisik, antara lain menggunakan radio, selular, infrared, dan satelit. Pada komunikasi nirkabel, dibutuhkan adanya media transmisi yaitu gelombang radio. Radio adalah transmisi dan penerimaan sinyal dengan gelombang elektromagnetik tanpa kabel. Spektrum Radio Frequency (RF) menempati range 9 KHz 300 GHz. Penggunaan gelombang radio jelas memberikan banyak keuntungan. Terutama terkait sifatnya yang mobile, dapat bergerak dan berpindah tempat dengan bebas tanpa perlu terhalang adanya kabel.

Gambar 1. Gelombang Radio

Agar jaringan nirkabel dapat berfungsi, sinyal harus memiliki jalur dari pengirim ke penerima dan tiba dengan kekuatan sinyal yang masih cukup untuk diterjemahkan. Kekuatan sinyal dapat diukur dengan dua satuan : dBm (decibel above 1 milliWatt) dalam satuan Watt atau Volt S/N Ratio (Singnal-to-Noise) menggambarkan rasio antara kekuatansinyal dan kekuatan noise. Untuk sinyal digital, S/N Ratio lebih kecil daripada S/N untuk sinyal analog.

Propagasi Gelombang Radio

Gambar 2. Model sederhana transmisi gelombang radio

Gelombang radio akan melakukan propagasi untuk mentransmisikan suatu informasi. Propagasi gelombang radio didefinisikan sebagai perambatan gelombang radio di suatu medium (umumnya udara). Propagasi gelombang radio dapat dikatakan ideal jika gelombang yang dipancarkan oleh antena pemancar diterima langsung oleh antena penerima tanpa melalui suatu hambatan (line of sight/LOS). Seluruh pemodelan dasar pada propagasi radio, disebut sebagai model propagasi ruang bebas (free space). Propagasi ruang bebas (free space) terjadi apabila di antara transmitter dan receiver tidak terdapat penghalang apapun.

Propagasi ruang bebas berfungsi untuk memperkirakan penguatan dari sinyal pada penerima.

Gambar 2. Model transmisi gelombang radio

Berdasarkan lokasinya, propagasi gelombang radio dapat dikelompokkan menjadi propagasi dalam ruang (Indoor) dan propagasi luar ruang (Outdoor). Sementara itu, gelombang radio berdasarkan perambatannya dalam ruang dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu ground wave dan sky wave. Ground wave adalah gelombang yang dekat dengan permukaan tanah dan sky wave adalah gelombang yang merambat ke langit. Ground wave sendiri ada yang merambat secara line of sight (LoS) atau secara garis lurus pada ruang bebas (sering disebut space wave) dan merambat secara memantul dengan tanah (ground reflected wave). Satu lagi gelombang dalam kategori ground wave yang benar-benar merambat dipermukaan tanah yaitu gelombang permukaan (surface wave).

Gambar 3. Gelombang radio berdasarkan perambatannya

Mekanisme Propagasi Radio

LOS (Line of Sight)

Gambar 4. Model sederhana LOS

Salah satu mekanisme perambatan gelombang radio adalah LOS, yang merupakan lintasan gelombang radio yang mengikuti garis pandang. Propagasi jenis ini disebut pula sebagai propagasi ruang bebas karena gelombang radio memancar bebas ke segala arah dan diterima langsung oleh receiver. Transmisi ini terjadi jika antena pemancar dan penerima dapat saling melihat yaitu jika di antara keduanya dapat ditarik garis lurus tanpa hambatan apa pun. Lintasan LOS merupakan lintasan yang menghasilkan daya yang tertinggi di antara mekanismemekanisme yang lain. Dengan kata lain, lintasan LOS menawarkan rugi-rugi lintasan (pathloss) yang terendah. Di atas permukaan bumi, transmisi ini dibatasi jaraknya oleh lengkungan bumi.

Gambar 5. Model sederhana LOS di atas permukaan bumi

Refleksi (Pantulan)

Gambar 6. Refleksi 2 gelombang radio oleh permukaan bumi

Mekanisme pantulan terdiri atas dua jenis, yaitu: mekanisme pantulan pada atmosfer bumi dan pada permukaan bumi. Permukaan bumi dan lapisan ionosfer secara bersama-sama dapat membentuk pantulan gelombang yang berulang-ulang sehingga diperoleh jangkauan radio yang sangat jauh. Mekanisme pantulan pada atmosfer bumi menghasilkan lintasan terpantul lapisan ionosfer. Lapisan ionosfer merupakan lapisan atmosfer bumi yang memiliki sifat dapat memantulkan gelombang elektromagnetik. Dengan lintasan ini, jangkauan radio dapat mencapai jarak yang lebih jauh daripada menggunakan lintasan hamburan tropo. Pada siang hari, lapisan ionosfer kurang stabil oleh karena proses ionisasi, sehingga mengakibatkan efektivitasnya sebagai pemantul menjadi kurang baik. Lapisan ionosfer menjadi lebih stabil pada waktu malam hari sehingga semakin efektif sebagai pemantul gelombang radio.

Gambar 7. Refleksi gelombang radio oleh ionosfer

Mekanisme pantulan juga terjadi di atas permukaan bumi, yaitu oleh permukaan bumi itu sendiri. Bersama-sama dengan lintasan LOS, lintasan terpantul oleh permukaan bumi ini membentuk apa yang ground reflection (2 ray) model.

Gambar 8. Refleksi gelombang radio oleh permukaan bumi

Koefisien refleksi merupakan nilai perbandingan antara gelombang pantul dengan gelombang radio langsung, besarnya adalah R = Rv e jv = c Sin 1 ( c - Cos 2 1 ) c Sin 1 + ( c - Cos 2 1 )

dengan, 1 = adalah besar sudut datang c = adalah permisivitas kompleks c = - j( 1800 )/ f Mhz

Faktor Rv menunjukkan perubahan amplitud dan v menyatakan perubahan fase. Nilai masing-masing tergantung pada polarisasi gelombang, sudut datang, konstanta dielektrik, permukaan bumi, dan panjang gelombang. Berikut ini tabel koefisien refleksi dari beberapa tipe permukaan bumi menurut Von Hipple. Tipe Permukaan Pemitivitas Relatif (rata-rata) Air Tawar (danau, sungai) Air laut Permukaan yang baik(rata) Permukaan rata-rata Permukaan yang buruk Pegunungan 81 81 25 15 4 Konduktivitas Rata-rata (s/meter) 0.001 5.0 0.02 0.005 0.001 0.00075

Tabel 1. Koefisien Refleksi beberapa tipa permukaan bumi

Tabel 2. Loss Daya akibat refleksi benda padat

Refraksi (Pembiasan)
Reflaksi merupakan proses pemancaran atau pembolakan gelombang elektromagnetik. Refraksi terjadi jika gelombang merambat dari suatu medium ke medium lain yang memiliki perbedaan kerapatan. Refraksi hampir seperti refleksi, namun jika pada refleksi gelombang elektromagnetik tersebut dipantulkan dari atas permukaan bumi maka akan menuju ke atas permukaan bumi lagi. Sementara

itu, pada refraksi, gelombang dari atas permukaan bumi akan menuju ke atas permukaan bumi dan bawah permukaan bumi.

Gambar 9. Refraksi gelombang radio oleh permukaan bumi

Difraksi
Defraksi adalah kemampuan gelombang radio untuk berputar pada sudut yang tajam dan membelok disekitar penghalangnya. Difraksi terjadi jika gelombang radio membentur benda atau penghalang yang berupa ujung yang tajam, sudut-sudut atau suatu permukaan batas (gelombang menyusur permukaan). Gelombang radio yang demikian akan terurai dan dapat menjangkau daerah berbayang-bayang (shadowed region). Daerah bayangan pada dasarnya adalah daerah kosong dari sisi berlawanan datangnya gelombang dalam arah segaris pandang dari pemancar terhadap penerima Mekanisme ini menjadi penting karena pada lingkungan tersebut terdapat banyak wilayah yang berbayang-bayang.

Gambar 10. Difraksi gelombang radio oleh permukaan bumi dan fenomena shadow zone

Scattering (Hamburan)
Hamburan gelombang radio terjadi jika medium tempat gelombang merambat terdiri atas benda-benda (partikel) yang berukuran kecil (jika dibandingkan dengan panjang gelombang) dan jumlah per satuan volumenya cukup besar. Mekanisme hamburan akan menyebabkan gelombang menuju ke segala arah sehingga transmisi gelombang radio dengan mekanisme hamburan mempunyai efisiensi yang kecil. Biasanya digunakan antena dengan permukaan yang luas untuk meningkatkan efisiensi. Transmisi jenis ini memanfaatkan sifat lapisan troposfer yang menghamburkan gelombang elektromagnetik dan sering disebut dengan istilah hamburan tropo (troposcatter). Dalam hal ini, benda-benda penghambur dapat berupa pepohonan, rambu-rambu lalu lintas dan tiang-tiang lampu jalan. Efisiensi yang kecil mengakibatkan mekanisme hamburan ini hanya berpengaruh pada penerima yang berada di sekitar benda penghambur saja. Daya gelombang terhambur akan meluruh dengan cepat sehingga pengaruhnya pada penerima yang berada jauh dari penghambur

menjadi sangat kecil. Meskipun demikian, berbagai pengukuran menunjukkan bahwa daya yang diterima sering lebih daripada yang diperkirakan oleh sinyal terpantul dan terdifraksi. Hal ini menunjukkan kontribusi gelombang terhambur pada penerimaan sinyal.

Gambar 11. Titik S merupakan titik penghamburan

Hubungan antara Propagasi dan Frekuensi


Selain dipengaruhi oleh benda-benda fisik maupun nonfisik yang menghalangi transmisi gelombang radio, propagasi biasa juga dipengaruhi oleh frekuensi. Berikut ini adalah tabel hubungan antara propagasi dan frekuensi sinyal yang ditransmisikan

Tabel 3. Hubungan antara frekuensi dan propagasi

Gambar 12. Pengaruh frekuensi pada propagasi ionosfer

Efek-Efek Propagasi
Pemudaran (Fading)
Fading didefinisikan sebagai perubahan fase, polarisasi, atau level suatu sinyal yang ditransmisikan terhadap waktu. Fading merupakan fenomena yang diakibatkan oleh mekanisme-mekanisme propagasi yang ada. Jarak yang ditempuh gelombang dan mekanisme perambatan yang telah dialami gelombang menyebabkan gelombang yang datang memiliki amplitude dan fase yang berbeda satu sama lain. Kondisi lingkungan yang selalu berubah dari waktu ke waktu juga mengakibatkan amplitude dan fase gelombang radio yang diterima berubah-ubah (bervariasi) dari waktu ke waktu. Keadaan ini dikenal dengan istilah pemudaran (fading). Secara umum, fading terbagi atas dua jenis: short term fading dan long term fading. Short term fading terjadi pada periode waktu dan jarak yang pendek dan disebabkan oleh pantulan multipath suatu sinyal yang ditransmisikan seperti akibat pemantulan oleh rumah-rumah, gedung-gedung, hutan atau pepohonan. Sedangkan long term fading terjadi pada periode waktu dan jarak yang panjang seperti akibat pada pemantulan oleh gunung atau bukit.

Multipath
Multipath dapat didefinisikan secara sederhana sebagai fenomena perambatan dari sinyal yang dikirimkan melalui lintasan yang bervariasi. Dengan kata lain, multipath merupakan fenomena diterimanya sinyal-sinyal yang mengalami fading oleh penerima. Karena adanya fenomena ini maka sinyal yang datang dari Tx akan diterima oleh Rx dengan level daya dan waktu kedatangan yang bervariasi dimana sinya secara LOS (langsung) akan diterima oleh Rx dengan waktu kedatangan yang lebih awal dan level daya yang lebih besar dibandingkan sinyal yang berpropagasi secara NLOS (tidak lansung). Oleh karena itu total sinyal yang diterima oleh Rx merupakan penjumlahan dari masingmasing komponen sinyal yang malalui lintasan dengan berbagai macam mekanisme propagasi. Ini berarti daya yang diterima oleh penerima merupakan jumlahan (vektor) dari seluruh gelombang radio yang datang tersebut yang memiliki kemungkinan untuk saling menguatkan atau malah melemahkan.

Gambar 13. Efek multipath

Propagasi loss
Propagasi loss mencakup semua perlemahan yang diperkirakan akan dialami sinyal ketika berjalan dari Base station ke Mobile Station. Adanya pemantulan dari beberapa obyek dan pergerakan mobile station menyebabkan kuat sinyal yang diterima oleh mobile station bervariasi dan sinyal yang diterima tersebut mengalami path loss. Path loss akan membatasi kinerja dari system komunikasi bergerak sehingga memprediksikan Path loss merupakan bagian yang penting dalam perencanaan system komunikasi bergerak. Path loss yang terjadi pada sinyal yang diterima dapat ditentukan melalui model propagasi tertentu. Model propagasi biasanya memprediksikan rata-rata kuat sinyal yang diterima oleh mobile station.pada jarak tertentu dari base station ke mobile station. Disamping itu model probagasi juga berguna untuk mempekirakan daerah

cakupan sebuah base station sehingga ukuran sel dari base station dapat ditentukan. Model propagasi juga dapat menentukan daya maksimum yang dapat dipancarkan untuk menghasilkan kualitas pelayanan yang sama pada frekuensi yang berbeda. Perkiraan rugi lintasan propagasi yang dilalui oleh gelombang yang terpancar dapat dihitung.

Daerah skip
Daerah skip adalah daerah tenang antara 2 titik di mana gelombang tanah terlalu lemah untuk dapat diterima oleh antena penerima dan titik dimana gelombang langit pertama kali kembali ke bumi. Batas luar daerah skip bervariasi bergantung pada frekuensi kerja, kapan terjadinya (hari), musim, aktivitas matahari dan arah pancaran. Pada frekuensi rendah dan sangat rendah, daerah skip tidak kelihatan, tetapi untuk frekuensi tinggi dapat diketahui daerah skip tersebut. Apabila frekuensi kerja semakin tinggi, maka daerah skip menjadi semakin lebar terhadap titik di mana batas luar daerah skip dapat mencapai beberapa ribu kilometer jauhnya.

Gambar 14. Efek daerah skip

Model Propagasi
Transmisi radio dalam sistem komunikasi bergerak sering terjadi melalui wilayah yang tidak beraturan. Untuk mengestimasi besarnya nilai redaman lintasan sinyal, perlu diperhitungkan pula berbagai profil wilayah yang dilaluinya. Profil wilayah ini dapat berubah dari yang sederhana seperti hanya berupa kelengkungan bumi, sampai ke profil pegunungan yang ketinggiannya tidak beraturan. Hadirnya pepohonan, bangunan dan penghalang-penghalang lainnya harus juga diperhitungkan keberadaannya. Untuk itu, kondisi wilayah yang dilalui perambatan gelombang juga sering diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, antara lain 1. Daerah Urban Memiliki ciri-ciri antara lain:

Gedung-gedung yang terdapat didaerah tersebut berkerangka logam dan betonnya tebal, sehingga membatasi propagasi radio melalui gedung.

Gedung-gedungnya tinggi, sehingga kemungkinan terjadinya difraksi pada propagasi sinyal sangat kecil.

Sinyal radio dalam perambatannya mengalami pantulan dengan redaman tertentu.

Redaman oleh pepohonan (foliage loss) diabaikan, karena pepohonan sangat jarang.

Kendaraan

yang bergerak

banyak,

sehingga

menyebabkan

perubahan karakteristik kanal secara kontinyu. 2. Daerah Sub-Urban Memiliki ciri-ciri antara lain: Tingkat halangan lebih rendah dibanding daerah urban, sehingga propagasi sinyal radio relatif lebih baik dan median kuat sinyal tinggi. Gedung-gedung relatif rendah, sehingga sinyal radio mengalami difraksi oleh puncak gedung. Jalan-jalan lebar. Kecepatan pergerakan (mobiltas) kendaraan lebih tinggi dibanding daerah urban. Daerah bisnis rendah. Pembangunan infrastruktur baru mungkin dilakukan.

3. Daerah Terbuka (Open Area) Memiliki ciri-ciri antara lain: Kuat sinyal yang diterima relatif lebih besar dibanding daerah urban dan sub-urban, karena jarang terdapat halangan. Ruas jalan lebar Lalu-lintas kendaraan tinggi

Sejumlah model propagasi kini telah tersedia untuk memprediksi redaman lintasan yang melalui wilayah yang sifatnya tidak beraturan. Model-model ini ditujukan untuk memprediksi kekuatan sinyal di titik lokasi penerimaan tertentu, atau di wilayah lokal tertentu yang disebut sektor, dengan metode yang bervariasi secara luas dalam pendekatannya, kerumitannya maupun ketepatannya. Sebagian besar model propagasi ini berlandaskan pada interpretasi sistematik dan pengukuran data yang diperoleh dalam wilayah layanan yang dimiliki oleh operator sistem komunikasi bergerak. Model propagasi bergantung pada terrain, densitas pohon, beamwidth, tinggi antena, kecepatan angin dan musim. Fokus utama permodelan perambatan sinyal (propagation model) adalah memprediksi kekuatan rata-rata sinyal yang diterima pada sebuah titik dengan jarak tertentu dari transmitter. Dapat dibedakan menjadi dua yaitu: Large-scale propagation model dan Small-scale propagation model atau Fading model. Disebut sebagai large-scale propagation model, jika permodelan tersebut dapat digunakan untuk menghitung kuat sinyal rata-rata untuk transmitter-receiver yang terpisah jarak hingga cukup jauh (ratusan atau bahkan ribuan meter). Permodelan ini dapat memperkirakan coverage area dari sebuah transmitter.

Sedangkan small-scale propagation model (atau disebut juga fading model), merupakan permodelan yang digunakan untuk mengamati fluktuasi kekuatan sinyal sinyal yang diterima receiver pada jarak pergerakan yang sangat dekat atau dalam waktu yang sangat singkat. Sebagaimana kita ketahui, pergerakan penerima yang sangat kecil sekalipun dapat menyebabkan sinyal yang diterimanya berubah fasenya. Karena pengaruh multipath, perubahan fase ini akan dapat menyebabkan perubahan kekuatan sinyal yang cukup besar. Inilah yang diamati oleh small-scale propagation model. Sedangkan large-scale propagation model mengamati tren perubahan rata-rata kekuatan sinyal yang diakibatkan oleh pergerakan dengan jarak yang cukup jauh. Berdasarkan cara pembuatannya model perambatan gelombang luar ruangan dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu: 1. Deterministic Model: sebuah model yang dibuat berdasarkan relasi antara sebuah persamaan dan peristiwa yang terjadi, sehingga jika diberi input yang sama maka akan menghasilkan output yang sama pula. Contoh: Parabolic equation 2. Empirical Model: Sebuah model yang dibuat dengan membandingkan secara statistik sebuah persamaan dengan data hasil observasi, eksperimen, atau pengalaman. Contoh: Hata-okumura, Walfisch-Ikegami 3. Ray Optical Model: Model yang dibuat berdasarkan gerakan berkas sinar yang dipancarkan sebagai pengganti sinyal radio. Sinyal elektromagnetik juga merupakan cahaya (energi gelombang elektromagnetik merupakan

energi dari foton berdasarkan persamaan E adalah energi, h = tetapan Planck, dan f =banyaknya foton). Contoh: Intelligent Ray Tracing

Model Okumura
Model Okumura merupakan salah satu model yang terkenal dan paling banyak digunakan untuk melakukan prediksi sinyal di daerah urban (kota). Model ini cocok untuk range frekwensi antara 150-1920 MHz dan pada jarak antara 1100 km dengan ketinggian antenna base station (BS) berkisar 30 sampai 1000 m. Okumura membuat kurva-kurva redaman rata-rata relatif terhadap redaman ruang bebas (Amu) pada daerah urban melalui daerah quasi-smooth terrain dengan tinggi efektif antenna base station (hte) 200 m dan tinggi antenna mobile station (hre) 3 m. Kurva-kurva ini dibentuk dari pengukuran pada daerah yang luas dengan menggunakan antenna omnidirectional baik pada BS maupun MS, dan digambarkan sebagai fungsi frekuensi (range 100-1920 MHz) dan fungsi jarak dari BS (range 1-100 km). Untuk menentukan redaman lintasan dengan model Okumura, pertama kita harus menghitung dahulu redaman ruang bebas (free space path loss), kemudian nilai Amu (f,d) dari kurva Okumura ditambahkan kedalam factor koreksi untuk menentukan tipe daerah. Model Okumura dapat ditulis dengan persamaan berikut: L (dB) = LF + Amu(f,d) G(hte) G(hre) - GAREA Dimana L adalah nilai rata-rata redaman lintasan propagasi, LF adalah redaman lintasan ruang bebas, Amu adalah rata-rata redaman relatif terhadap redaman ruang bebas, G(hte) adalah gain antena BS, G(hre) adalah gain antena MS, dan GAREA adalah gain tipe daerah. Gain antena disini adalah karena berkaitan

dengan tinggi antena dan tidak ada hubungannya dengan pola antena. Kurva Amu(f,d) untuk range frekuensi 100-3000 Mhz ditunjukkan oleh gambar 15, sedangkan nilai GAREA untuk berbagai tipe daerah dan frekuensi diperlihatkan pada gambar 16.

Gambar 15

Gambar 16

Lebih jauh, Okumura juga menemukan bahwa G(hte) mempunyai nilai yang bervariasi dengan perubahan 20 dB/decade dan G(hre) bervariasi dengan perubahan 10 dB/decade pada ketinggian antena kurang dari 3 m. G(hre) = 20log(hre/200) G(hre) = 20log(hre/3) G(hre) = 10 log(hre/3) 100 m > hre > 10 m 10 m > hre > 3 m hre 3 m

Beberapa koreksi juga dilakukan terhadap model Okumura. Beberapa parameter penting seperti tinggi terrain undulation (Dh), tinggi daerah seperti bukit atau pegunungan yang mengisolasi daerah, kemiringan rata-rata permukaan

daerah, dan daerah transisi antara daratan dengan lautan juga harus diperhitungkan. Jika parameter-parameter tersebut dihitung, maka factor koreksi yang didapat dapat ditambahkan untuk perhitungan redaman propagasi. Semua faktor koreksi akibat parameter-parameter tersebut juga sudah tersedia dalam bentuk kurva Okumura. Model Okumura ini, semuanya berdasarkan pada data pengukuran dan tidak menjelaskan secara analitis hasil perhitungan yang diperoleh. Untuk kondisi tertentu, kita dapat melakukan ekstrapolasi terhadap kurva Okumura untuk mengetahui nilai-nilai di luar rentang pengukuran yang dilakukan Okumura, tetapi validitas dari ekstrapolasi yang kita lakukan sangat bergantung kepada keadaan dan kehalusan kurva ekstrapolasi yang kita buat. Model Okumura merupakan model yang sederhana tetapi memberikan akurasi yang bagus untuk melakukan prediksi redaman lintasan pada sistem komunikasi radio bergerak dan sellular untuk daerah yang tidak teratur. Kelemahan utama dari model ini adalah respon yang lambat terhadap perubahan permukaan tanah yang cepat. Karena itu model ini sangat cocok diterapkan pada daerah urban dan suburban, tetapi kurang bagus jika untuk daerah rural (pedesaan). Secara umum standar deviasi hasil prediksi model ini dibanding dengan nilai hasil pengukuran adalah sekitar 10 dB sampai 14 dB.

Model Hatta dan COST-231


Model Hatta merupakan bentuk persamaan empirik dari kurva redaman lintasan yang dibuat oleh Okumura, karena itu model ini lebih sering disebut sebagai model Okumura-Hatta. Model ini valid untuk daerah range frekuensi

antara 150-1500 MHz. Hatta membuat persamaan standard untuk menghitung redaman lintasan di daerah urban, sedangkan untuk menghitung redaman lintasan di tipe daerah lain (suburban, open area, dll), Hatta memberikan persamaan koreksinya. Persamaan prediksi Hatta untuk daerah urban adalah:
L(urban)(dB) = 69,55 + 26,16logfc 13,82loghte a(hre) + (44,9 6,55loghre) logd

Dimana fc adalah frekuensi kerja antara 150-1500 MHz, hte adalah tinggi effektif antena transmitter (BS) sekitar 30-200 m , hre adalah tinggi efektif antena receiver (MS) sekitar 1-10 m, d adalah jarak antara Tx-Rx (km), dan a(hre) adalah faktor koreksi untuk tinggi efektif antena MS sebagai fungsi dari luas daerah yang dilayani. Untuk kota kecil sampai sedang, faktor koreksi a(hre) diberikan oleh persamaan: a(hre) = (1,1logfc 0,7) hre (1,56logfc 0,8) dB sedangkan untuk kotta besar: a(hre) = 8,29 (log1,54hre)2 1,1 db untuk fc < 300 MHz a(hre) = 3,2 (log11,75hre)2 4,97 dB untuk fc > 300 MHz Untuk memperoleh redaman lintasan di daerah suburban dapat diturunkan dari persamaan standar Hatta untuk daerah urban dengan menambahkan faktor koreksi, sehingga diperoleh persamaan berikut: L(suburban)(dB) = L(urban) 2[log(fc/28)]2 5,4 dan untuk daerah rural terbuka, persamaannya adalah: L(open rural)(dB) = L(urban) 4,78 (logfc)2 18,33logfc 40,98 Walaupun model Hatta tidak memiliki koreksi lintasan spesifik seperti yang disediakan model Okumura, tetapi persamaan-persamaan diatas sangat praktis

untuk digunakan dan memiliki akurasi yang sangat baik. Hasil prediksi dengan model Hatta hampir mendekati hasil dengan model Okumura, untuk jarak d lebih dari 1 km. Model ini sangat baik untuk sistem mobile dengan ukuran sel besar, tetapi kurang cocok untuk sistem dengan radius sel kurang dari 1 km. European Co-operative for Scientific and Technical Research (EUROCOST) membentuk komite kerja COST-231 untuk membuat model Hatta yang disempurnakan atau diperluas. COST-231 mengajukan suatu persamaan untuk menyempurnakan model Hatta agar bisa dipakai pada frequensi 2 GHz. Model redaman lintasan yang diajukan oleh COST-231 ini memiliki bentuk persamaan:
L(urban) = 46,3 + 33,9logfc 13,82 loghte a(hre) + (44,9-6,55loghte)logd +CM

Dimana a(hre) adalah faktor koreksi tinggi efektif antenna MS sesuai dengan hasil Hatta, dan 0 dB untuk daerah kota sedang dan suburban CM = 3 dB untuk daerah pusat metropolitan Model Hatta COST-231 hanya cocok untuk parameter-parameter berikut: f : 1500 2000 MHz hte : 30-200 m hre : 1-10 m d : 1-20 km

Model Lee
Didasarkan pada data hasil pengukuran di Amerika Serikat Frekuensi kerja : 900 MHz

Model bisa digunakan untuk penerapan prediksi area to area atau point to point Sesuai untuk daerah urban, suburban, dan rural.

Persamaan prediksi Lee: L = Lo + glogd + Fo Dimana: Fo = F1.F2.F3.F4.F5 F1 = faktor koreksi ketinggian antena BS F2 = faktor koreksi daya pancar BS F3 = faktor koreksi gain antena BS F4 = faktor koreksi ketinggian antena MS F5 = faktor koreksi frekuensi kerja Parameter acuan: - Frekuensi kerja : 900 MHz - Tinggi antena BS : 30,5 m dan tinggi antena MS : 3 m - Daya pancar : 10 W - Gain antena BS : 6 dB terhadap dipole lambda Lingkungan Free space Open Suburban Urban -Tokyo -Philadelphia -Newark 128,0 112,8 106,3
Tabel 4. Perbandingan pada model Lee

Lo(dB) 91,3 91,3 104,0 20,0 43,5 38,0

30,0 36,8 43,1

Model Longley-Rice
Model Longley-Rice ini cocok untuk diterapkan pada system komunikasi titik ke titik didalam frekuensi dari 400 MHz sampai 100 GHz.. Redaman media transmisi dihitung dengan mengacu pada bentuk geometri dari profil permukaan daerah layanan dan efek refraksi dari troposphere. Teknik geometri optik (utamanya model refleksi 2-ray) digunakan untuk memperkirakan kekuatan sinyal sampai batas horizon gelombang radio. Redaman karena difraksi dihitung dengan menggunakan model Fresnel-Kirchoff knife-edge. Sementara itu teori hamburan digunakan untuk membuat perhitungan troposcatter pada jarak jauh, dan redaman difraksi medan jauh dihitung dengan menggunakan metode Van der Pol-Bremmer yang dimodifikasi. Model Longley-Rice juga dapat digunakana dengan menggunakan program komputer untuk menghitung redaman media transmisi dibandingkan terhadap redaman ruang bebas (free space loss) pada daerah permukaan tidak teratur untuk selang frekuensi antara 20 MHz sampai 10 GHz. Parameter-parameter sebagai masukan dari program komputer tersebut adalah frekuensi operasi, panjang lintasan, polarisasi, tinggi antenna, refraksi permukaan, radius effektif bumi, konduktivitas tanah, konstanta dielektrik bumi, dan cuaca. Program juga dapat dioperasikan pada parameter khusus seperti jarak horizon antenna, sudut elevasi horizon, jarak angular antar horizon, ketidakteraturan permukann bumi, dan parameter-parameter khusus lainnya. Model Longley-Rice bekerja pada dua mode. Jika informasi mengenai profile permukaan lintasan tersedia secara mendetail maka parameter-parameter

khusus lebih mudah untuk menentukan dan menghitung redaman lintasan, mode ini disebut mode prediksi dari titik ke titik (point to point mode). Pada sisi lain jika profile permukaan lintasan tidak tersedia maka metode Longley-Rice meyediakan teknik untuk menghitung parameter-parameter khusus dari lintasan. Mode prediksi ini disebut dengan area mode. Sampai saat ini model Longley-Rice sudah mengalami banyak modifikasi dan koreksi sejak pertama kali model ini dipublikasikan. Salah satu modifikasi yang penting adalah yang berkaitan dengan propagasi radio didaerah kota, dimana ini sangat berkaitan dengan komunikasi bergerak. Modifikasi ini memperkenalkan istilah baru sebagai tambahan pada prediksi redaman di daerah urban yang berhubungan dengan penerimaan sinyal di antenna penerima. Istilah baru ini adalah urban factor (UF), yang didefinisikan sebagai perbandingan antara hasil prediksi berdasarkan model Longley-Rice dengan hasil prediksi menggunakan model Okumura. Salah satu kelemahan dari model Longley-Rice ini adalah tidak menyediakan cara untuk penentuan koreksi terhadap factor lingkungan disekitar antenna penerima yang bergerak, atau mempertimbangkan factor koreksi untuk menghitung efek dari gedung-gedung dan pohon disekitar penerima. Dengan kata lain pada model Longley-Rice efek multipath tidak diperhitungkan. Model Durkin Model Durkin merupakan salah satu model propagasi klasik yang hampir memiliki kesamaan dalam penggunaannya dengan model Longley-Rice. Model yang pertama kali diterbitkan dalam paper oleh Edwards dan Durkin ini

menggunakan komputer sebagai simulasi untuk memprediksi kuat medan diatas permukaan bumi yang tidak teratur. Sebagai masukan simulator untuk menghitung path loss, Durkin membaginya menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah akses terhadap database dari topografi dan informasi profile permukaan bumi sepanjang arah radial dari transmitter ke receiver. Dengan asumsi bahwa antenna receiver menerima semua energi yang berasal dari arah radial, maka tidak terjadi efek multipath. Dengan kata lain propagasi yang dimodelkan disederhanakan ke dalam bentuk Line of Sight (LOS) dan difraksi dari rintangan sepanjang arah radial, dan mengabaikan pantulan dari benda-benda disekitarnya dan efek scater local. Sedangkan bagian kedua adalah algoritma simulasi untuk menghitung perkiraan redaman lintasan sepanjang arah radial. Dengan cara melakukan perhitungan secara iterasi dari pengukuran pada daerah yang berbeda-beda tetapi masih dalam satu daerah layanan, maka dapat diperoleh kontur dari kuat sinyalnya.

Model Walfisch Ikegami


Model empiris ini adalah kombinasi dari model yang dibuat oleh J. Walfisch dan F. Ikegami. Model ini selanjutnya dikembangkan oleh COST dalam proyek COST 231. Oleh karena itu model ini sering juga disebut dengan model empiris COST-Walfisch-Ikegami. Dalam perhitungannya, model ini hanya memperhitungkan jalur transmisi secara lurus pada bidang vertikal antara pemancar-penerima. Jadi yang diperhitungkan hanyalah efek dari benda-benda yang segaris dengan jalur transmisi. Pada daerah perkotaan dimana terdapat banyak gedung-gedung maka yang diperhitungkan hanyalah gedung-gedung yang

dilalui bidang vertikal jalur transmisi. Tingkat ketepatan dari model empiris ini sangat tinggi karena, pada daerah perkotaan perambatan yang terjadi melalui atap gedung (multiple diffraction) merupakan faktor yang sangatlah dominan dan paling berpengaruh. Hanya saja efek akibat refleksi yang berulang-ulang (Multiple reflection) tidak diperhitungkan. Gambar 16 menjelaskan mengenai jalur perambatan berdasar model walfisch ikegami ini.

Gambar 17. Jalur Perambatan model Walfisch Ikegami

Model ini bisa digunakan secara akurat pada parameter-parameter sebagaiberikut: Frekuensi = f (800...2000 MHz)

Ketinggian pemancar = hTX (4...50 m) Ketinggian penerima = hRX (1...3 m) Jarak antara pemancar dan penerima = d (20...5000 m) Gambar 17 menunjukkan penampang vertikal dari gedung-gedung yang berada pada jalur transmisi. Sebuah pemancar pada atap sebuah gedung dengan tinggi htx memancarkan gelombang dengan frekuensi f agar penerima diseberang gedunggedung tersebut dapat menerima sinyal. Parameter yang di dapat dari gedung tersebut antara lain: Nilai rata-rata dari ketinggian gedung (hROOF)

Nilai rata-rata dari lebar jalan (w) Nilai rata-rata dari jarak gedung (b)

Gambar 18. Penampang vertikal jalur gelombang berdasar model Walfisch-Ikegami

Perarahan pada jalan yang berhubungan dangan jalur pemancar-penerima, tidak diperhitungkan dalam implementasi model ini. Hal tersebut dikarenakan data penampang melintang tersebut tidak dapat mewakili perarahan (contohnya pada persimpangan, pada halaman gedung yang dikelilingi tembok maka program-program komputasi model ini tidak dapat menggambarkan perarahan dalam pixel-pixel database gambar mereka. Jika parameter-parameter di atas saja yang diikutsertakan dalam perhitungan, maka walfisch ikegamai dapat dikategorikan sebagai model statistik saja. Namun selain memperhitungkan karakteristik dari parameter-parameter diatas, model walfisch ikegami juga membuat perbandingan dan membedakan antara dua situasi berbeda, yaitu saat terjadi LOS dan NLOS (None Line of Sight). Perambatan LOS adalah perambatan langsung antara pemancar (TX) dan penerima (RX). Saat terjadi situasi LOS maka fungsi yang digunakan dalam prediksi menggunakan model ini sangatlah sederhana. Cuma dibutuhkan sebuah persamaan dengan dua parameter saja. Persamaan di bawah ini menunjukkan hal tersebut

Persamaan LOS ini hampir sama dengan persamaan losses pada perambatan gelombang di ruang bebas. Persamaan itu diturunkan dari persamaan free space loss yang mengalami modifikasi berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan di kota-kota di eropa. Jika jarak d= 20 m, losses yang terjadi hampir sama dengan losses pada ruang bebas dengan jarak yang sama. Grafik pada gambar di bawah menunjukkan perbandingan antara free space loss dan transmission loss dengan persamaan LOS diatas pada jarak d.

Gambar 19. Perbandingan free space loss dan transmission loss pada model Walfisch-Ikegami

Perambatan NLOS adalah perambatan tidak langsung antara pemancar (TX) dan penerima (RX) dimungkinkan akibat refleksi, difraksi, maupun hamburan. Persamaan pada situasi NLOS ini lebih rumit. Losses total dari kasus NLOS ini merupakan hasil penjumlahan antara free space loss (l0), multiple diffraction loss (lmsd) dan rooftop-to-street diffraction loss/losses akibat difraksi dari atap gedung-jalan (lrts).

Untuk space loss :

Istilah rooftop-to-street diffraction loss (lrts) mewakili losses yang muncul pada gelombang yang yang terarah ke jalanan dimana penerima berada. Pada dasarnya losses ini dinyatakan oleh ikegami dalam model persamaannya, namun proyek COST 231 telah menyempurnakan persamaan ini menjadi persamaan:

dan,

Lebar jalanan w, ketinggian atap hROOF, ketinggian penerima hRX dan perarahan pada jalan adalah variabel dalam persamaan ini. Orientation loss lOri adalah persamaan koreksi empiris yang diperoleh dengan membandingkan dengan data dari pengukuran. Jadi persamaan tersebut dikalibrasi dengan hasil pengukuran. Sebuah perkiraan mengenai multiple diffraction loss telah dibuat sebelumnya oleh walfisch-bertoni COST 231 kemudian memodifikasi persamaannya agar bisa dipakai untuk base station yang tingginya lebih rendah daripada ketinggian atap

gedung. Pada persamaan tersebut pengaruh hROOF dan b juga turut diperhitungkan dengan cara dijumlahkan. Persamaan 4.38 adalah persamaan tersebut.

dengan,

Kota medium dan pusat suburban Pusat metropolitan

Faktor kd and kf mengendalikan ketergantungan multiple diffraction loss terhadap jarak dan frekuensi gelombang. Faktor ka menyatakan kenaikan path loss pada base stations yang berada dibawah ketinggian atap.

Referensi
Wirelees and celluler telecomunications. William C.Y Lee

Wireless communication. Theodore S. Rappaport Optimasi Penataan Sistem Wi-Fi di PENS-ITS dengan Menggunakan Metode Algoritma Genetika, Seminar Proyek Akhir Jurusan Teknik Telekomunikasi PENS-ITS 2010 oleh Kurnia P. Kartika, Tri Budi Santoso, Nur Adi Siswandari.

Analisis Trafik pada Sistem Telekomunikasi Seluler Berbasis CDMA 2000 1X di Wililayah Semarang Kota. Eko Budiyono, 2006

Stasiun Induk Ponsel: Rangkuman Fakta EMF/Kesehatan. Mobile Manufacturers Forum

Kuliah9-Komunikasi Radio. Indah Susilawati, S.T, M.Eng 2009

You might also like