You are on page 1of 26

PAPER RADIOLOGI

TUBERCULOSIS

OLEH

Ziauddin Zaidar H1A007060

Pembimbing: dr. H. Hasan Amin, Sp.Rad

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN/SMF RADIOLOGI RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT 2012

TUBERCULOSIS
Tinjauan Pustaka Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar basil tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya (Depkes RI, 2007). Tuberkulosis telah dikenali dalam beragam bentuknya selama ribuan tahun. Deskripsi TB sudah ada sejak milenium pertama sebelum masehi dalam teks medis dari Yunani ke India. Orang-orang Yunani menamakan penyakit ini dengan sebutan phthisis, yang berarti to waste. Dalam dunia berbahasa Inggris, consumption adalah nama umum yang diberikan pada penyakit ini. Selama Era Pertengahan, ketika TB menjadi umum di benua Eropa, dimana penyakit ini menjadi semakin dikenali sebagai white plague. Manifestasi lain terdeskripsikan, meliputi destruksi paru yang cepat nan progresif dan manifestasi kulit dari lupus vulgaris. Deskripsi Percival Pott mengenai TB pada tulang belakan menghasilkan pemberian namanya kepada bentuk TB ini. Dengan manifestasinya yang beraneka ragam, TB dianggap mewakili banyak penyakit yang berbeda. Sampai akhirnya pada tahun 1804, dimana Rene Laennec mengusulkan teorinya tentang pandangan untuk menyatukan dari manifestasi beragam akibat penyakit ini. Pada 1839, Schnlein mengusulkan entitas patologisnya dikenal sebagai tubercle yang menjadi dasar fundamental penyakit dan menganjurkan kata tuberculosis digunakan sebagai nama generik untuk semua manifestasi beragamnya. Pada 1882, Robert Koch menemukan bahwa agen penyebab TB merupakan organisme kompleks Mycobacterium tuberculosis (Fitzpatrick & Braden, 2000).

Epidemiologi Tuberkulosis secara Global Epidemiologi tuberkulosis bervariasi nilainya di seluruh dunia. Angka tertinggi (100/100.000 atau lebih) ditemukan di Afrika sub-Sahara, India, China, dan pulau-pulau di Asia Tenggara dan Mikronesia. Angka intermediate tuberkulosis (26-100 kasus/100.000) muncul di Amerika Tengah dan Selatan, Eropa Timur, dan Afrika Utara. Angka rendah (kurang dari 25 kasus per 100.000 penduduk) muncul di Amerika Serikat,

Eropa Barat, Kanada, Jepang, dan Australia . Dan diperkirakan 1 dari 14 kasus TB baru muncul pada individu yang terinfeksi HIV, 85% kasus-kasus ini muncul di Afrika (Horsburgh, 2010). Seperti yang disampaikan di atas, TB paru mencakup 80-85% dari seluruh kasus aktif; sedangkan TB ekstraparu mencakup 15-20% lainnya (Fitzpatrick & Braden, 2000).

Tuberkulosis Ekstraparu Yang dimaksud dengan TB ekstraparu adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya, kelenjar limfe, pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kemih, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2007).

Epidemiologi Manifestasi klinis TB bervariasi dan bergantung pada sejumlah faktor yang berhubungan dengan mikroba, pejamu dan lingkungan. Peran faktor-faktor yang berhubungan dengan pejamu yang bertanggung jawab atas terjadinya TB pada situs ekstraparu adalah terbatas. Beberapa studi telah melaporkan bahwa proporsi TB ekstraparu meningkat disebabkan epidemi HIV dan mungkin juga oleh perkembangan dalam fasilitas diagnostik (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008). Sebuah studi dari Amerika Serikat melaporkan bahwa wanita, warga berkulit hitam non-Hispanic dan individu yang terinfeksi HIV lebih beresiko tinggi menderita TB ekstraparu. Sedangkan studi di Amerika Serikat yang lain menunjukkan HIV-seropositif, usia kurang dari 18 tahun, warga Amerika berketurunan Afrika, pengidap sirosis hepatis adalah faktor-faktor resiko terhadap TB ekstraparu. Adapun suatu studi dari Turki menunjukkan bahwa wanita mempunyai resiko lebih tinggi untuk perkembangan TB ekstraparu dan resiko TB ekstraparu meningkat 5 tahun setelah kontak awal. Suatu studi yang lain menunjukkan faktor-faktor yang berhubungan dengan penjamu bervariasi menurut asal geografis dan faktor resiko terhadap TB ekstraparu adalah berjenis kelamin perempuan untuk individu-individu yang berasal dari Asia ataupun Afrika Utara, usia untuk individu-individu yang asalnya dari Afrika sub-Sahara dan positif HIV untuk yang asalnya dari Eropa (Sreeramareddy, Panduru, Verma, Joshi, dan Bates, 2008).

Pada pasien terinfeksi HIV, frekuensi TB ekstraparu tergantung pada derajat penurunan imunitas selular. Pada pasien dengan <100 CD4 cells/mL, TB ekstraparu dan milier terhitung 70% dari seluruh bentuk TB (Beek, Werf, Richter, dan Borgdorff, 2006).

Etiologi, Patogenesis dan Patofisiologi Mycobacterium tuberculosis Kuman penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis. Basil ini tidak berspora sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan, sinar matahari, dan sinar ultraviolet. Basil ini sukar diwarnai, tetapi berbeda dengan basil lain, setelah diwarnai tidak dapat dibersihkan lagi dari fuchsin atau metileenblauw oleh cairan asam sehingga biasanya disebut basil tahan asam (BTA). Pewarnaan Ziehl Neelsen biasanya digunakan untuk menampakkan basil ini (Karnadihardja, 2004). M. tuberculosis umumnya ditularkan dari seseorang dengan infeksi TB paru atau TB laringeal kepada orang lain melalui droplet nuclei, yang ter-aerosolisasi oleh batuk, bersin atau berbicara. Ada sebanyak 3000 nuclei infeksius per batukan. Droplet yang terkecil (<5-10mm dalam diameter) dapat bertahan tersuspensi di udara selama beberapa jam dan mencapai aliran udara terminal ketika terinhalasi. Ada dua pengecualian lain yang dilaporkan adalah prosector's wart (kutil pada orang yang mendiseksi mayat) disebabkan inokulasi pada kulit dari instrumen tajam yang terkontaminasi dan penularan orang-ke-orang melalui bronkoskop yang terkontaminasi. Resiko penularan dari pasien sumber infeksi ke pejamu dihubungkan dengan konsentrasi potensial dari basil yang hidup terus di ruang udara. Resiko penularan menjadi lebih besar pada ruangan yang kekurangan volume udara, udara segar, dan cahaya alami atau cahaya ultraviolet (Fitzpatrick & Braden, 2000; Raviglione & OBrien, 2005). Sedangkan menurut Karnadihardja (2004), ada dua macam mikobakteria penyebab TB, yaitu tipe human dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita mastitis tuberkulosa, dan bila diminum, dapat menyebabkan TB usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita TB terbuka. Orang yang rentan dapat terinfeksi TB bila menghirup bercak ini, ini merupakan cara penularan terbanyak. Selanjutnya, dikenal empat fase dalam perjalanan penyakitnya. Pertama adalah fase TB primer. Setelah masuk ke paru, basil berkembang biak tanpa menimbulkan reaksi pertahanan tubuh. Sarang pertama ini disebut afek primer. Basil

kemudian masuk ke kelenjar limfe di hilus paru dan menyebabkan limfadenitis regionalis. Reaksi yang khas adalah terjadinya granuloma sel epiteloid dan nekrosis pengejuan di lesi primer dan di kelenjar limfe hilus. Afek primer dan limfadenitis regionalis ini disebut kompleks primer yang bias mengalami resolusi dan sembuh tanpa meninggalkan cacat, atau membentukfibrosis dan kalsifikasi (95%) (Karnadihardja, 2004). Sekalipun demikian, kompleks primer dapat mengalami komplikasi berupa penyebaran milier melalui pembuluh darah dan penyebaran melalui bronkus. Penyebaran milier menyebabkan TB di seluruh paru-paru, tulang, meningen, dan lain-lain, sedangkan penyebaran bronkogen langsung ke bronkus dan bagian paru, dan menyebabkan bronkopneumonia tuberkulosis. Penyebaran hematogen itu bersamaan dengan perjalanan TB primer ke paru merupakan fase kedua. Infeksi ini dapat berkembang terus, dapat juga mengalami resolusi dengan pembentukan jaringan parut dan basil selanjutnya tidur (Karnadihardja, 2004). Fase dengan kuman yang tidur ini yang disebut fase laten, fase 3. Basil yang tidur ini bisa terdapat di tulang panjang, vertebra, tuba fallopii, otak, kelenjar limfe hilus dan leher, serta di ginjal. Kuman ini bisa tetap tidur selama bertahun- tahun, bahkan seumur hidup (infeksi laten), tetapi bisa mengalami reaktivasi bila terjadi perubahan keseimbangan daya tahan tubuh, misalnya pada tindak bedah besar, atau pada infeksi HIV (Karnadihardja, 2004). TB fase keempat dapat terjadi di paru atau di luar paru. Dalam perjalanan selanjutnya, proses ini dapat sembuh tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan fibrosis dan kalsifikasi, membentuk kavitas (kaverne), bahkan dapat menyebabkan bronkiektasis melalui erosi bronkus (Karnadihardja, 2004). Frekuensi penyebaran ke ginjal amat sering. Kuman berhenti dan bersarang pada korteks ginjal, yaitu bagian yang tekanan oksigennya relatif tinggi. Kuman ini dapat langsung menyebabkan penyakit atau tidur selama bertahun-tahun Patologi di ginjal sama dengan patologi di tempat lain, yaitu inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, dan nekrosis pengejuan. Kemudian basil dapat turun dan menyebabkan infeksi di ureter, kandung kemih, prostat, vesikula seminalis, vas deferens, dan epididimis (Karnadihardja, 2004). Penyebaran ke kelenjar limfe paling sering ke kelenjar limfe hilus, baik sebagai penyebaran langsung dari kompleks primer, maupun sebagai TB pascaprimer. TB

kelenjar limfe lain (servikal, inguinal, aksial) biasanya merupakan TB pascaprimer (Karnadihardja, 2004). Penyebaran ke genitalia wanita melalui penyebaran hematogen dimulai dengan berhenti dan berkembang biaknya kuman di tuba fallopii yang sangat vaskuler. Dari sini basil bisa menyebar ke uterus (endometritis), atau ke peritoneum (peritonitis) (Karnadihardja, 2004). Penyebaran ke tulang adalah daerah metafisis tulang panjang dan ke tulang spongiosa yang menyebabkan TB tulang ekstraartikuler. Penyebaran lain dapat juga ke sinovium dan menjalar ke tulang subkondral. Penyebaran ini menyebabkan TB sendi. Penyebaran dari metafisis ke epifisis tidak pernah terjadi karena sifat cakram epifisis yang avaskular (Karnadihardja, 2004). Penyebaran ke otak dan meningen juga melalui penyebaran hematogen setelah kompleks primer. Berbeda dengan penyebaran di atas, penyebaran ke perikardium terjadi melalui saluran limfe atau kontak langsung dari pleura yang tembus ke perikardium (Karnadihardja, 2004). Kekebalan terhadap TB sebagian besar diperantarai sel limfosit T yang atas rangsangan basil TB dapat mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan basil dengan cara lisis (bakteriolisis) (Karnadihardja, 2004).

Klasifikasi Berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, TB ekstraparu terbagi atas: TB ekstraparu ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. TB ekstraparu berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin (Depkes RI, 2007).

Situs Predileksi dan Gambaran Klinis Menurut Kreider dan Rossman (2008), situs tersering TB ekstraparu adalah sbb: - Kelenjar Limfe (44%). Limfadenitis TB (skrofula) merupakan bentuk paling umum dari TB ekstraparu. Beberapa nodus dapat terlibat, tetapi rantai-rantai servikal dan supraklavikular paling sering terkena. Pasien datang untuk perhatian medis dengan adenopati yang tidak nyeri,

yang sering berdrainase secara spontan. Pada tahap awal penyakit, nodus akan padat dan diskret. Pada tahapan penyakit lebih lanjut, nodus akan menjadi lembek dan berfluktuasi. Selain demam, biasanya tidak ada gejala sistemik jika penyakit ini tidak ada di tempat lainnya. Diagnosis adalah dengan peralatan aspirasi jarum halus atau biopsi insisional pada nodus yang terpengaruhi. Pewarnaan BTA dan kultur jaringan nodus biasanya menunjukkan BTA dan organisme M.tuberculosis (Fitzpatrick & Braden, 2000). - Rongga Pleura (19%). Penyakit pleura biasanya bermanifestasi dengan nyeri dada pleuritik ringan hingga berat, yang dapat diiringi dispnoe. Gejala lainnya meliputi demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Penyakit dapat dalam bentuk akut atau kronik dan sering menyebabkan efusi dan sering menyebabkan efusi yang halus. Efusi umumnya unilateral dan mengiringi penyakit parenkim aktif pada 70% pasien. TB pleura akan berkembang beberapa tahapan penyakit tetapi seringkali muncul sebagai manifestasi penyakit primer dan muncul selama 6 bulan setelah infeksi TB (Fitzpatrick & Braden, 2000). - Tulang dan/atau Sendi (11%). Vertebral TB (Pott's disease) terhitung untuk 50-70% dari semua kasus TB tulang, yang bercirikan kifosis and kompresi sumsum tulang belakang, jadi pasien akan bisa mengalami gejala neurologik atau motorik. Vertebra torakal bawah dan lumbal atas merupakan situs tersering dari penyakit. Pasien secara khas mempunyai riwayat 2 minggu sampai 3 bulan mengalami nyeri punggung, demam, dan penurunan berat badan. Abses paravertebral terjadi di antara 50% pasien. Pasien dengan Potts disease biasanya mempunyai bukti radiologis dari keterlibatan tulang belakang, dan 50% pasien mempunyai bukti radiologis dari salah satu TB paru lama atau aktif. Diagnosis memerlukan biopsi dan kultur dari tulang yang terinfeksi (Fitzpatrick & Braden, 2000). TB artritis secara khas bermanifestasikan sebagai sebuah artritis monoartikular dari sendi-sendi yang menopang berat (lutut, pinggul, pergelangan). Nyeri merupakan gejala paling umum, dan pembengkakan dengan rentang pergerakan yang menurun pada sendi yang dapat terlihat. Infeksi diawali trauma pada 25% kasus. Biopsi jaringan sinovial dapat mengandung granuloma, dan hasil kultur adalah positif untuk M.Tuberculosis 60-70% dari waktu itu (Fitzpatrick & Braden, 2000).

- Meninges / Sistem Saraf Pusat (6%). Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan meningitis TB muncul dalam bentuk demam dan tingkat kesadaran yang memburuk secara perlahan, yang dapat dengan cepat berakibat fatal jika tidak ditangani segera. Menurut Fitzpatrick dan Braden (2000), meningitis TB disebabkan penyebaran secara hematogen dari organisme mikobakterial menuju ruang meningeal. Proses ini terjadi dalam berminggu-minggu hingga bertahuntahun setelah infeksi, dan tampilan TB sistem saraf pusat (SSP) bisa akut ataupun subakut. Penyakit dapat bermanifestasi klinis sebagai meningitis bakterial. Gejalgejala akut dapat meliputi sakit kepala, demam, atau perubahan status mental. Gejalagejala lain dapat berlangsung selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan; meliputi demam, penurunan berat badan, anoreksia, keringat malam, malaise, dan kelumpuhan saraf kranialis. Kelumpuhan nervus VI adalah pertanda TB SSP, tetapi nervus II, III, dan VII juga bisa mungkin bisa dipengaruhi. Pemeriksaan bias menunjukkan meningismus dan papilledema. TB SSP dapat berkembang dalam tiga tahapan. Tahap 1 ditandai gejalagejala nonspesifik dengan sedikit atau tanpa tanda-tanda klinis meningitis. Tahap 2 ditandai perkembangan tanda-tanda meningitis seperti meningismus, letargi, dan kelumpuhan saraf kranialis. Tahap 3 ditandai koma dan gangguan neurologis seperti paralisis (Fitzpatrick & Braden, 2000). Diagnosis sering dibuat berdasarkan adanya alasan klinis dan keberadaan faktor resiko TB, hasil Tuberculin Skin Test (TST), dan radiograf dada. Pasien dengan TB SSP sering mempunyai respon memuaskan terhadap pengobatan TB jika terapi diawali dengan cepat (sebelum tahap 3). Ini adekuat untuk diagnosis ketika sangkaan klinis tinggi dan hasil studi laboratorium tidak mencukupi untuk mendukung diagnosis (Fitzpatrick & Braden, 2000). - Peritoneum dan/atau Usus (5,5%). Fitzpatrick dan Braden (2000) mengatakan TB peritoneal tidak umum dan sering memunculkan dilema dalam diagnosis. Patogenesisnya tidak dipahami dengan jelas, tetapi penyakit dipikirkan berkembang setelah penyebaran secara hematogen, seperti halnya penyakit ekstraparu yang lain. Gejala-gejala beraneka ragam dari pasien ke pasien tetapi paling umumnya meliputi nyeri abdominal, distensi, demam, penurunan berat badan, dan malaise. Gejala-gejala dapat menjadi kronik, dan penyakit dapat berkembang

menjadi asites atau massa abdominal, yang mungkin adalah omentum yang terkumpul, mesenteri, dan usus; ditemukan di pemeriksaan fisik. Sebanyak 30% dari pasien-pasien mungkin akan mengalami efusi pleura. - Saluran Genitourinarius (4%). TB genitourinarius berkembang dengan lamban. Dapat memunculkan tanda dan gejala infeksi lokal dengan sedikit manifestasi sistemik, atau penyakit mungkin saja asimptomatis (Fitzpatrick & Braden, 2000). Keterlibatan saluran genitourinarius mengakibatkan disuria, frekuensi urine, dan gross hematuria dengan atau tanpa nyeri pinggang. Penyakit di antara wanita dapat menyebabkan nyeri pelvik, ketidakteraturan menstruasi, dan infertilitas. Laki-laki dapat mempunyai massa skrotum yang tidak nyeri. Seperlima pasien dengan pyuria dapat mengalami tanpa gejala. Penyakit dicurigai ketika urinalisis menunjukkan sel darah putih dan hematuria tanpa bakteri (Fitzpatrick & Braden, 2000). Diagnosis dikonfirmasi dengan kultur urine. Hasil kultur urine adalah negatif untuk bakteri yang umum (sterile pyuria) dan positif untuk M. Tuberculosis. Hasil diagnostik yang terbaik dari spesimen pagi hari awal. Tiga spesimen diambil untuk dikultur. Temuan pada IVP (Intravenous Pyelography) biasanya nonspesifik dan sering tidak membantu. Dua pertiga pasien dengan TB genitourinarius mempunyai radiograf dada abnormal yang menunjukkan tanda-tanda penyakit paru aktif atau lama (Fitzpatrick & Braden, 2000). - Milier (1.8%). Gillespie dan Bamfoed (2009) mengatakan infeksi diseminata (penyakit milier) dapat muncul tanpa adanya bukti infeksi paru aktif. TB milier, penyakit yang tersembunyi dan secara klinis dalam bentuk yang sukar dipahami, berkembang setelah diseminasi secara hematogen dari basil TB. Diseminasi menghasilkan pola milier (demikan dinamakan karena menyerupai millet seeds (padi-padian) 2 mm dalam diameter) pada radiograf dada atau pada spesimen biopsi dari sumsum tulang belakang, hati atau limpa. Penyakit milier biasanya muncul di antara grup berisiko tinggi, meliputi orang-orang dengan infeksi HIV atau penyakit imunosupresif yang lain, penyakit jaringan ikat, atau neoplasma hematologik, orang-orang yang menyalahgunakan alkohol

dan mereka yang menjalani pengobatan imunosupresif, termasuk steroid dosis tinggi (Fitzpatrick & Braden, 2000). Pasien dapat mengalami penyakit ringan selama beberapa minggu atau bulan sebelum mencari perhatian medis. Demam merupakan gejala paling umum pada penyakit milier, tetapi banyak pasien dilaporkan mendapat gejala-gejala nonspesifik seperti malaise, anoreksia, penurunan berat badan, dan keringat malam. Pemeriksaan fisik adalah nonfokal (Fitzpatrick & Braden, 2000). Diagnosis TB milier ditegakkan berdasarkan riwayat klinis, keberadaan pola milier pada radiograf dada dan hasil kultur positif untuk M. tuberculosis dari darah atau sebuah situs biopsi seperti hati, atau sumsum tulang belakang (Fitzpatrick & Braden, 2000). TST adalah indikator yang insensitif terhadap infeksi M. Tuberculosis sebelumnya di antara orang-orang dengan penyakit milier; hasil telah dilaporkan positif pada 25 - 75% kasus. Pada kasus yang mana diagnosis laboratorium sulit untuk ditegakkan, pengawasan respon klinis terhadap terapi anti-TB dapat membantu. Demam mereda di antara 30% pasien dalam 2 minggu dan di antara 60 - 70% pasien dalam 4 minggu (Fitzpatrick & Braden, 2000). - Dan Lain-lain (11%) Kulit, Laring, telinga tengah, perikardium, payudara, tiroid, kelenjar ludah, jaringan lunak (Kreider & Rossman, 2008; Sreeramareddy et al., 2008).

Diagnosis Tuberculin Skin Test (TST) / Mantoux Test Tuberculin Skin Test (TST) paling umum digunakan untuk screening infeksi laten M. tuberculosis. Tes ini mempunyai keterbatasan nilai dalam mendiagnosis TB aktif karena berhubungan dengan sensitivitas dan spesifisitasnya yang rendah dan ketidakmampuannya membedakan antara infeksi laten dan infeksi aktif (Raviglione & OBrien, 2005). Uji ini berguna untuk mengetahui adanya reaksi hipersensitivitas lambat terhadap kuman TB. Tuberkulin adalah fraksi protein dari kuman TB, yang bila disuntikkan pada orang yang pernah terinfeksi TB (baik yang aktif maupun yang tidur) akan menyebabkan pembengkakan kulit dalam 24-72 jam akibat akumulasi sel limfosit di daerah

penyuntikan. Penebalan dan radang kulit lebih dari 10 mm disebut positif, kurang dari 5 mm disebut negatif. Reaksi negatif palsu (false-negative) umum pada pasien yang mengalami imunosupresi dan mereka dengan TB yang membludak. Reaksi positif palsu (false-positive) bisa disebabkan infeksi oleh mikobakterium nontuberkulosis dan oleh vaksinasi bacille Calmette-Gurin (BCG) (Karnadihardja, 2004; Raviglione & OBrien, 2005). Pemeriksaan Patologi Tuberkulum biasanya sebesar 1 sampai 3 mm, terbentuk sebagai reaksi radang di sekitar kelompok basil TB. Sebagian besar terdiri atas sel epiteloid yang berasal dari histiosit dan makrofag. Beberapa sel itu akan membesar dan berinti banyak dan disebut sel raksasa Langhans. Di tengah tuberkulum terjadi nekrosis keju, sedangkan lapisan luarnya terdiri atas sel limfosit. Struktur histologi ini merupakan gambaran patologi khas TB. Gambaran patologi jaringan hasil biopsy atau sisa jaringan debris pada dasarnya menunjukkan radang spesifik seperti ini pula. Diagnosis dengan cara ini cukup tinggi keandalannya meskipun tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang memberikan gambaran hampir sama (Karnadihardja, 2004). Gejala dan tanda klinis juga khas. Kecuali TB mililer, penyakit TB berkembang lambat tanpa radang akut. Bengkak radang biasanya jelas, tetapi tidak ada hiperemia, panas dan nyeri setempat. Kalau terbentuk abses, disebut abses dingin. (Karnadihardja, 2004) Kadang radang disertai dengan pembentukan banyak cairan seperti pada pleuritis eksudativa, peritonitis eksudativa, atau perikarditis eksudativa. Jika banyak terbentuk jaringan ikat, radangnya dinamai produktiva atau sika. Nekrosisnya menghasilkan massa seperti salep atau keju sehingga disebut pengejuan atau caseosa, misalnya limfadenitis kaseosa (Karnadihardja, 2004). Nekrosis yang mencair membentuk abses dingin karena tidak ada demam umum maupun setempat. Sering terjadi fistel tunggal atau multipel di kulit dari limfadenitis TB di leher, atau di lipat paha dari osteomielitis. Spondilitis pada vertebra torakal atau lumbal sering mengalirkan nanahnya keluar melalui fasia otot psoas. Pada tempat jaringan nekrosis / keju yang telah keluar itu mungkin terjadi ruang yang disebut kaverne seperti di paru dan ginjal (Karnadihardja, 2004). Pemeriksaan Bakteriologi

Pemeriksaan bakteriologi merupakan satu-satunya pembuktian mutlak akan adanya TB. Sediaan apus untuk identifikasi kuman TB dapat dilakukan dengan pewarnaan Ziehl Nielsen. Biakan kuman dilakukan dengan medium Lweinstein Jensen atau Middlebrook 7H-11. Bahan yang diperiksa adalah sputum, cairan lambung, air kemih, cairan sinovium, atau debris bergantung pada letak penyakit (Karnadihardja, 2004). Oleh karena basil TB sangat lambat berkembang biak, diperlukan waktu enam sampai delapan minggu untuk mengetahui hasil biakan. Marmut dapat dipakai untuk biakan binatang. Hasil pemeriksaan ini dapat diperoleh setelah enam minggu. Pembelahan sel memerlukan waktu 20-24 jam (Karnadihardja, 2004). Pemeriksaan Radiologi Gambaran radiologis TB sering dapat menegakkan diagnosis TB meskipun diagnosis pastinya adalah dari pemeriksaan bakteriologis (Karnadihardja, 2004). a. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu cara yang praktis yang dapat membantu menemukan lesi TB. Selain itu, gambaran radiologis ini juga berperan untuk membantu penegakan diagnosis, terutama jika hanya dijumpai satu spesimen BTA (+), dan berguna mengetahui adanya komplikasi (Hasan, 2010). Pemeriksaan radiologis sangat penting untuk diagnosis TB paru, dikarenakan (Rasad, 2005): Bila klinis ada gejala TB paru, hampir selalu ditemukan kelainan pada foto rontgen. Bila ada persangkaan terhadap peyakit TB paru, tetapi pada foto rontgen tidak terlihat kelainan, maka ini merupakan tanda yang kuat bahwa penyakit yang diderita bukanlah TB. Pada pemeriksaan rontgen rutin (misalnya check-up) mungkin telah ditemukan tanda-tanda pertama TB, walaupun klinis belum ada gejala. Sebaliknya, bila tidak ada kelainan pada foto Rontgen brlum berarti tidak ada TB, sebab kelainan pertama pada foto Rontgen baru kelihatan sekurang-kurangnya 10 minggu setelah infeksi oleh basil TB.

Sesudah sputum positif pada pemeriksaan bakteriologik, tanda TB yang terpenting adalah jika ada kelainan pada foto Rontgen. Ditemukananya kelainan pada foto Rontgen, belum berarti bahwa penyakit tersebut aktif. Dari bentuk kelainan pada foto Rontgen memang dapat diperoleh kesan tentang aktivitas penyakit, namun kepastian diagnosis hanya dapat diperoleh melalui kombinasi dengan pemeriksaan klinis/laboratoris.

Pemeriksaan Rontgen penting untuk dokumentasi, penentuan lokasi proses dan tanda perbaikan atau perburukan dengan melakukan perbandingan dengan foto-foto terdahulu.

Pemeriksaan Rontgen juga penting untuk penilaian hasil tindakan terapi. Pemeriksaan Rontgen TB paru saja tidak cukup dan dewasa ini bahkan tidak boleh dilakukan hanya dengan fluoroskopi. Pembuatan foto Rontgen merupakan suatu kehasrusan yaitu foto PA, bila perlu disertai proyeksiproyeksi tambahan seperti foto lateral, foto puncak AP lordotik, dan teknikteknik khusus lainnya seperti foto high voltage dan sebagainya (Rasad, 2005).

Sesuai dengan patofisiologinya, TB paru dibagi menjadi (Rasad, 2005): o TB Primer TB primer terjadi karena infeksi melalui jalan pernapasan (inhalasi) oleh M. tuberculosis, biasanya pada anak-anak. Kelainan Rontgen akibat penyakit ini dapat berlokasi dimana saja dalam paru-paru. Dapat terlihat Ghon focus, limfadenopati hilus, serta terbentuknya kompleks primer (Hasan, 2010; Rasad, 2005).

Salah satu komplikasi yang mungkin timbul adalah pleuritis, karena perluasan infiltrat primer ke pleura melalui penyebaran hematogen. Komplikasi lain adalah atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi kelenjar dalam bronkus. Baik pleuritis maupun atelektasis tuberkulosis pada anak-anak mungkin sedemikian luas sehingga sarang primer tersembunyi di belakang (Rasad, 2005). Selain itu dapat pula terjadi efusi pleura.

o TB sekunder (re-infeksi, dewasa) TB yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa. Sarang-sarang yang terlihat pada foto Roentgen biasanya berkedudukan dilapangan atas dan segmen apikal lobi bawah, walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi di lapangan bawah, yang biasanya disertai dengan pleuritis. Pembesaran kelenjar limfe pada tuberkulosis sekunder jarang ditemukan.

Klasifikasi TB sekunder (Rasad, 2005): i. TB minimal (minimal tuberculosis) yaitu luas sarang-sarang tidak melebihi daerah yang dibatasi oleh garis median, apeks, dan iga 2 depan. Sarang-sarang soliter dapat berada dimana saja, tidak harus berada dalam daerah tersebut di atas. Tidak ditemukan adanya lubang (kavitas).

ii. TB lanjut sedang (moderately advanced tuberculosis) yaitu luas sarang-sarang yang bersifat bercak-bercak tidak melebihi luas satu

paru, sewdangkan bila ada lubang diameternya tidak melebihi 4 cm. Kalau sifat bayangan sarang-sarang tersebut berupa awan-awan yang menjelma menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya luasnya tidak boleh melebihi luas satu lobus. iii. TB sangat lanjut (far advanced tuberculosis) yaitu luas daerah yang dihinggapi oleh sarang-sarang lebih dari klasifikasi kedua di atas, atau bila ada lubang-lubang maka diameter keseluruhan lubang lebih dari 4 cm.

Ada beberapa cara pembagian kelainan yang dapat dilihat pada foto Roentgen. Salah satu pembagian adalah menurut bentuk kelainan yaitu (Rasad, 2005) : Sarang eksudatif, berbentuk awan-awn atau bercak yang batasnya tidak tegas dan densitasnya rendah. Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya dan densitasnya sedang. Sarang induratif atau fibrotik, yaitu yang berbentuk garis-garis atau pita tebal berbatas tegas dengan densitas tinggi. Kavitas (lubang) Sarang kapur (kalsifikasi).

Cara pembagian ini masih banyak digunakan di Eropa, tetapi di Indonesia hampir tidak dipergunakan lagi. Yang mulai lebih banyak dipergunakan di Indonesia ialah pembagian yang lazim digunakan di Amerika Serikat, yaitu (Rasad, 2005) : Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak-bercak dengan densitas rendah atau sedang dengan batas tidak tegas. Sarang-sarang seperti ini biasanya menunjukkan bahwa proses aktif. Lubang (kavitas); ini selalu berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat kecil, yang dinamakan lubang sisa (residual cavity). Sarang seperti garis-garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur

(kalsifikasi) yang biasanya menunjukkan bahwa proses telah tenang.

Tuberkuloma Kelainan ini menyerupai suatu tumor. Bila terdapat di otak, tuberkuloma juga termasuk suatu lesi yang mengambil tempat (space occupying lesion, disingkat SOL) (Rasad, 2005). Pada hakekatnya tuberkuloma adalah suatu sarang keju (caseosa) dan biasanya menunjukkan penyakit yang tidak begitu virulen, bahkan biasanya tuberkuloma bersifat tidak aktif, lebih-lebih bila batasnya licin, tegas, dan di dalam atau dipinggirnya ada sarang perkapuran, sesuatu yang dapat dilihat jelas pada tomogram. Diagnosis diferensialnya dengan suatu tumor sejati (jinak atau ganas) adalah bahwa didekat tuberkuloma sering di temukan sarang-sarang kapur lainnya (satelit) (Rasad, 2005).

1. Prognosis Kemungkinan-kemungkinan kelanjutan dari sarang tuberkulosis a. Penyembuhan Penyembuhan tanpa bekas Penyebuhan tanpa bekas sering terjadi pada anak-anak (tuberkulosis primer), bahkan sering penderita tidak menyadari sama sekali bahwa ia pernah diserang penyakit tuberkulosis. Pada orang dewasa (tuberkulosis sekunder) penyembuhan tanpa bekaspun mungkin terjadi apabila diberikan pengobatan yang baik (Rasad, 2005). Penyembuhan dengan meninggalkan cacat Penyembuhan ini berupa garis-garis berdensitas tinggi/sarang fibrotik atau bintik-bintik kapur (sarang kalsiferus). Sarang-sarang fibrotik yang tebal dan kalsiferus, disingkat sarang fibrokalsiferus, di kedua lapangan atas dapat mengakibatkan penarikan pembuluh darah besar di kedua hili ke atas. Keadaan ini dinamakan tuberkulosis fibrosis densa dan memberikan gambaran yang cukup khas. Pembuluh-pembuluh darah besar di hili terangkat ke atas, seakan-akan menyerupai kantong celana yang di angkat dan disebut fenomena kantong celana terngkat (broekzak fenomeen) (Rasad, 2005). Secara roentgnenologis sarang baru dapat dinilai sembuh (proses tenang) bila setelah jangka waktu sekurang-kurangnya 3 bulan bentuknya sama (stationary). Sifat bayangan tidak boleh bercak-bercak, awan atau lubang melainkan garis-garis atau bintik-bintik kapur. Kesan roentgenologis bahwa proses tenang harus didukung oleh hasil pemeriksaan klinik laboratorium termasuk pemeriksaan sputum yang baik (Rasad, 2005).

b. Perburukan (perluasan) penyakit Pleuritis Pleuritis terjadi karena perluasan infiltrat primer langsung ke pleura atau melalui penyebaran hematogen; sering ditemukan pada remaja belasan tahun tapi jarang pada anak balita.

Penyebaran miliar Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sekecil 1-2 mm, atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua belah paru. Pada foto toraks, tuberkulosis miliar ini dapat menyerupai gambaran badai kabut (snow storm appeareance). Penyebaran seperti ini juga dapat terjadi ke ginjal, tulang, sendi, selaput otak, dan sebagainya.

Stenosis bronkus Stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru yang bersangkutan, sering menduduki lobus kanan (sindroma lobus medius).

Timbulnya lubang (kavitas) Timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju. Dinding lubang sering tipis, berbatas licin, tetapi mungkin pula tebal dan berbatas tidak licin. Di dalamnya mungkin terlihat cairan, yang biasanya sedikit. Lubang kecil di kelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat tidak berubah-ubah (stationer) pada pemeriksaan berkala ulang (follow-up) dinamakan lubang sisa (residual cavity) dan berarti suatu proses spesifik lama yang sudah tenang.

Diagnosis Diferensial Secara Radiologis Penyakit-penyakit yang gambaran radiologinya mirip dengan tuberkulosis adalah sebagai berikut (Rasad, 2005): a. Penyakit jamur Penyakit jamur yang memiliki gambaran radiologis menyerupai tuberkulosis adalah aspergilosis (aspergillus) dan nocardiasis (nocardia asteroides) yang sering ditemukan pada petani yang banyak bekerja di ladang. Kelainan-kelainan radiologik yang ditemukan pada penyakit jamur di atas mirip sekali dengan yang disebabkan oleh tuberkulosis, yaitu hampir semua berkedudukan di lapangan atas dan disertai oleh pembentukan lubang (kavitasi). Perbedaanya ialah, bahwa pada penyakit jamur ini pada pemeriksaan sepintas lalu terlihat bayangan bulat agak besar yang dinamakan aspergiloma, yang pada pemeriksaan lebih teliti, biasanya dengan tomogram, ternyata adalah suatu lubang besar bayangan bulat yang sering dapat bergerak bebas dalam lubang tersebut. Bayangan bulat ini dinamakan bola jamur (fungus ball) adalah tidak lain daripada massa mycelia yang mengisi suatu bronkus yang melebar. Untuk memastikan diagnosis sering diperlukan pemeriksaan laboratoium sekret bronkus, bahkan kadang-kadang baru mungkin ditemukan setelah suatu tindakan pembedahan. b. Infiltrat pneumonia Infiltrat penumonia lobaris lobus atas dalam massa resolusi sering disalahtafsirkan sebagai tuberkulosis karena berbentuk bercak-bercak dan berkedudukan dilapangan atas paru. Kepastian mudah diperoleh karena bercakbercak tersebut cepat menghilang sama sekali dengan pengobatan yang baik. c. Superposisi jalin kepang rambut Jalin (kepang) rambut wanita yang tidak diikat di atas kepala, melainkan lepas tergantung di bahu dapat menutup bagian atas paru sehingga pada foto toraks dapat dinilai sebagai suatu infiltrat. Pembuatan foto ulang dengan rambut yang diikat ke atas kepala tentu dapat menyampingkan salah tafsir ini. d. Kelainan menyerupai lubang (kavitas)

Kelainan yang menyerupai lubang yang dapat disalahtafsirkan sebagai kavitas tuberkulosis seperti kelainan bawaan anomali iga, bronkus ortograd, superposisi bagian lateral muskulus sternokleidomastoideus dengan badian medial iga pertama, dan fossa rhomboidea yaitu ujung anterior iga pertama. Superposisi lingkaran pembuluh-pembuluh darah pada foto PA biasanya dapat menyerupai lubang. Namun mudah dibedakan dengan pemeriksaan fluoroskopi atau pembuatan foto sedikit oblik. Kavitas tuberkulosis dalam posisi apapun tetap berupa bayangan bulat, tetapi superposisi lingkaranlingkaran pembuluh darah tentu tidak (Rasad, 2005).

Terapi Terapi Obat Kant (2004) mengatakan TB ekstraparu biasanya paucibasiler dan pengobatan dengan regimen yang efektif pada TB paru kemungkinan efektif dengan sama baiknya pada pengobatan TB ekstraparu. Saat ini telah ditemukan banyak macam anti-TB yang mekanisme kerja dan efek sampingnya berbedabeda. Umumnya anti-TB aktif terhadap kuman yang sedang giat membelah, kecuali rifampisin yang juga aktif terhadap kuman yang membelah lambat. Selain itu, obat-obat ini tidak aktif dalam suasana asam sehingga kuman yang berad dalam sel makrofag (suasana intraselnya asam) tidak dapat dibunuh. Hanya pirazinamid yang aktif dalam suasana asam. Sementara itu, kuman TB mudah resisten terhadap obat-obat ini. Oleh karena itu, kemoterapi TB selalu dalam kombinasi dua atau tiga macam dengan maksud meningkatkan efek terapinya dan mengurangi timbulnya resistensi (Karnadihardja, 2004). Untuk menyembuhkan TB diperlukan pengobatan yang lama karena basil TB tergolong kuman yang sukar dibasmi. Selain itu, kuman yang semidormant, yaitu yang berada dalam makrofag, baru dapat dibunuh kalau kuman tersebut telah keluar dari makrofag. Dengan pengobatan lama ini, kuman yang tidur tetap tidak dapat dijangkau (Karnadihardja, 2004). Dikenal dua macam paduan terapi (regimen) anti-TB, yaitu paduan jangka panjang selama 12-18 bulan dan paduan jangka pendek selama 6-9 bulan. Pengobatan TB diberikan dalam dua fase, yaitu fase intensif selama dua bulan yang dilanjutkan dengan 4-

6 bulan fase lanjutan. Pada fase intensif biasanya digunakan 3-4 macam obat, misalnya isoniazid, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol, sedangkan pada fase lanjutan diberikan lebih sedikit macam obat. Pilihan macam obat dan lamanya pengobatan bergantung pada beratnya penyakit, hasil pemeriksaan bakteriologi, dan riwayat pengobatan sebelumnya. Selain itu adanya kontraindikasi dan efek samping obat harus jadi pertimbangan (Karnadihardja, 2004). Efek samping penting yang penting diingat adalah kerusakan N. VIII oleh streptomisin, neuritis perifer oleh INH pada defisiensi vitamin B6, gangguan penglihatan akibat etambutol, dan hepatotoksisitas INH dan rifampisin. Efek toksik terhadap hati ini lebih berat bila kedua obat diberikan bersama-sama (Karnadihardja, 2004). Untuk bentuk yang parah, lebih cenderung untuk menangani dengan empat obat pada fase intensif awal dan jika diperlukan, total lama pengobatan dapat diperpanjang menjadi 9 bulan. Pasien TB ekstraparu diberikan pengobatan 2H3R3Z3/4H3R3 selama 6 bulan. Bagaimanapun, pada bentuk yang parah diberikan 2H3R3Z3E3/4H3R3. Pada TB meningeal, pengobatan akan diperpanjang selama 9 bulan dengan tambahan steroid. Walaupun pengobatan memberikan hasil yang bagus pada kebanyakan bentuk TB ekstraparu, ada beberapa pengecualian, seperti meningitis dan TB spiral yang mana hasil pengobatan tergantung diagnosis awal. Jika, bagaimana pun, TB ekstraparu bersamaan dengan infeksi HIV, idealnya pengobatan anti-retroviral aktif tinggi (HAART / Highly Active Anti-retroviral Treatment) harus diberikan juga. Interaksi antara rifampasin dan komponen HAART perlu untuk diketahui dan diingat juga (Kant, 2004).

Pencegahan dan Pengendalian Menurut Brooks, Butel, dan Morse (2007), pencegahan dan pengendalian TB secara umum adalah sbb: 1. Pengobatan pasien TB aktif dengan segera dan efektif serta tindak lanjut terhadap kontak mereka melalui uji tuberkulin, foto rontgen sinar X, dan pengobatan yang sesuai dengan saksama adalah tujuan utama pengendalian TB kesehatan masyarakat. Timbulnya kembali penyakit TB menunjukkan bahwa metode pengendalian ini belum dilakukan secara adekuat.

2. Pengobatan obat pada orang asimtomatik yang uji tuberkulinnya positif pada kelompok umur yang paling rentan terhadap timbulnya komplikasi (misalnya, anak-anak) dan orang yang uji tuberkulinnnya positif yang harus menerima obatobatan imunosupresif sangat mengurangi reaktivasi infeksi. 3. Resistansi seorang pejamu: faktor-faktor nonspesifik dapat mengurangi resistansi pejamu sehingga membantu konversi infeksi asimtomatik menjadi sebuah penyakit. Faktor-faktor tersebut meliputi kelaparan, gastrektomi, dan supresi imunitas selular dengan obat (misalnya, kortikosteroid) atau infeksi. Infeksi HIV adalah faktor resiko utama untuk TB. 4. Imunitas: berbagai macam basil tuberkel avirulen, terutama BCG (bacilli Calmette-Gurin, organisme attenuated bovin), telah digunakan untuk

menginduksi sejumlah tertentu resistansi pada orang yang sangat terpajan dengan infeksi. Vaksinasi dengan organisme ini, sama dengan infeksi primer dengan basil tuberkel virulen tanpa disertai bahaya di kemudian hari. Vaksin yang tersedia tidak adekuat menurut banyak sudut pandang teknis dan biologis. Walaupun demikian, BCG diberikan kepada anak-anak pada banyak negara. Di Amerika Serikat, BCG hanya diberikan pada orang dengan hasil uji tuberkulin negatif yang sangat terpajan (anggota keluaraga pasien TB , petugas kesehatan). Bukti statistik menunjukkan bahwa terjadi peningkatan resistansi untuk periode tertentu yang muncul setelah vaksinasi BCG. 5. Eradikasi TB pada sapi dan pasteurisasi susu telah sangat mengurangi infeksi M.bovis

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, et al, 2010. Medical Microbiology 25th edition. The Mc Graw-Hillcompany: United State. Fauci, et al, 2008. Harrisons Principles of Internal Medicine, 17th edition. The Mc Graw-Hillcompany: United State. Hasan, Helmia, 2010. Tuberkulosis Paru pada Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Dept. Ilmu Penyakit Paru FK Unair. Karpick, Ronald J., 2009. New England TB Intensive: The Radiology of Tuberculosis. Available at http://newenglandtb.pbworks.com/f/TB+Intensive+Radiology+Ronald+Karpick.p df Accessed May, 14th 2012. Leung, Ann L., 1999. Pulmonary Tuberculosis: The Essentials. Available at: http://radiology.rsna.org/content/210/2/307.full.pdf Accessed MAy, 14th 2012. Malueka, Rusdy Ghazali, 2008. Radiologi Diagnostik. Pustaka Cendekia Press: Jogjakarta. Rasad, Sjahrir, 2005. Radiologi Diagnostik, edisi 2. Penerbit FKUI: Jakarta. Sudoyo et al, 2009. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam FKUI. Internal publishing: jakarta World Health Organization, 2010. Treatment of Tuberculosis Guideline 4th edition. Switzerland: WHO press (Published 2010).

You might also like