You are on page 1of 25

ANESTESI PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT GINJAL

A. EVALUASI FUNGSI GINJAL Taksiran yang akurat terhadap fungsi ginjal bergantung pada determinasi laboratorium. Kerusakan ginjal dapat mengarah pada disfungsi glomerulus, disfungsi tubulus, atau obstruksi traktus urinarius. Karena abnormalitas dari fungfi glomerulus menyebabkan gangguan yang berat dan dapat dideteksi, maka tes laboratorium yang dapat digunakan adalah yang berhubungan dengan laju filtrasi glomerulus (GFR). Blood Urea Nitrogen (BUN) Sumber utama urea dalam tubuh adalah hati. Selama katabolisme protein, amonia diproduksi dari deaminasi asam-asam amino. Konversi hati dari amonia menjadi urea mencegah pembentukan amonia toksik: 2NH3 + CO2 H2N-CO-NH2 + H2O BUN berhubungan langsung dengan katabolisme protein dan berhubungan terbalik dengan filtrasi glomerulus. Akibatnya, BUN bukanlah indikator yang bisa digunakan untuk perhitungan GFR kecuali jika katabolisme protein normal dan konstan. Selain itu, 40-50 % dari filtrat secara normal direabsorbsi secara pasif oleh tubulus renal; hipovolemi meningkatkan fraksi ini. Konsentrasi BUN normal adalah 10-20 mg/dl. Nilai yang lebih rendah dapat didapatkan pada starvasi dan penyakit hati; peningkatan biasanya disebabkan oleh berkurangnya GFR atau meningkatnya katabolisme protein. Selanjutnya dapat berlanjut pada keadaan katabolisme yang tinggi

(trauma/sepsis), degradasi darah baik pada traktus gastrointestinal atau pada

hematoma besar, atau diet tinggi protein. Konsentrasi BUN yang lebih besar dari 50 mg/dl biasanya berhubungan dengan kerusakan ginjal. Kreatinin Serum Kreatinin adalah produk dari metabolisme otot yang dikonversi ke kreatinin tanpa enzim. Produksi kreatinin pada sebagian besar orang adalah relatif konstan dan berhubungan dengan massa otot, rata-rata 20-25 mg/kg pada laki-laki dan 15-20 mg/kg pada perempuan. Kreatinin disaring (dan dalam jumlah kecil disekresi) tetapi tidak direabsorbsi pada ginjal. Konsentrasi kreatinin serum berhubungan langsung dengan massa otot tubuh tapi berkebalikan dengan filtrasi glomerulus (gambar 1). Oleh karena massa otot tubuh biasanya konstan, maka pengukuran kreatinin serum biasanya berdasarkan indeks GFR. Konsentrasi kreatinin serum normal adalah 0,8-1,3 mg/dL pada laki-laki dan 0,6-1 mg/dL pada perempuan. Gambar 1 menunjukkan bahwa setiap penggandaan kreatinin serum mewakili penurunan 50 % dari GFR. Makan daging dalam jumlah besar, terapi simetidine, dan peningkatan asetoasetat (seperti pada ketoasidosis), dapat meningkatkan jumlah kreatinin serum tanpa perubahan pada GFR. Makanan daging meningkatkan timbunan kreatinin. Simetidine menghambat sekresi kreatinin oleh tubulus ginjal. GFR menurun dengan meningkatnya umur pada sebagian besar orang (5% per dekade setelah umur 20 tahun), tetapi karena massa otot juga menurun, kreatinin serum tetap relatif normal; produksi kreatinin bisa menurun sampai 10 mg/kg. Pada pasien yang tua, peningkatan kecil dari kreatinin serum bisa menunjukkan perubahan besar pada GFR. Dengan menggunakan umur dan berat badan (dalam kg), GFR bisa diperkirakan dengan formula/rumus seperti di bawah ini untuk pria: Creatinine clearance = Untuk
( )

perempuan,

persamaan

tadi

dikali

dengan

0,85

untuk

mengkompensasi perbedaan kecil pada massa otot.

Tabel 32-1. Kelompok pasien berdasarkan fungsi glomerulus Creatinin Clearance (mL/mnt) Normal Penurunan cadangan ginjal Kerusakan ginjal ringan Insufisiensi ginjal sedang Gagal ginjal Penyakit ginjal tingkat akhir 100-120 60-100 40-60 25-40 < 25 < 10

Rasio BUN : Kreatinin Kecepatan aliran tubulus ginjal yang rendah meningkatkan reabsorbsi urea namun tidak berpengaruh terhadap kreatinin serum. Akibatnya, rasio BUN terhadap kreatinin serum meningkat di atas 10:1. Penurunan aliran tubulus bisa disebabkan oleh penurunan perfusi ginjal atau obstruksi dari traktus urinarius. Rasio BUN : kreatinin yang lebih dari 15:1 dapat dilihat pada kekurangan volume dan pada edema dengan gangguan yang berhubungan dengan berkurangnya aliran tubular ( seperti pada gagal jantung, sirosis, sindrom nefrotik) dan juga pada obstruksi uropati. Meningkatnya katabolisme protein juga dapat meningkatkan rasio ini. Creatinine Clearance Pengukuran creatinine clearance adalah metode yang paling akurat untuk perkiraan klinis fungsi ginjal. Meskipun pengukuran biasanya dilakukan setelah 24 jam, penentuan creatinine clearance 2 jam lebih akurat dan lebih mudah untuk dilakukan. Secara umum kerusakan ginjal ringan mengakibatkan kreatinin clearance menjadi 40-60 mL/menit. Clearance antara 24-40 mL/menit

menimbulkan disfungsi ginjal moderat dan hampir selalu menimbulkan gejala. Creatinine clearance yang kurang dari 25 mL/menit adalah indikasi adanya gagal ginjal.

Penyakit ginjal progresif mempertinggi sekresi kreatinin pada tubulus proksimal. Akibatnya, dengan penurunan fungsi ginjal kreatinin klirens semakin mempertinggi GFR.

Urinalisis Selanjutnya urinalisis merupakan tes rutin yang paling biasa dilakukan untuk evaluasi fungsi ginjal. Meskipun kegunaannya untuk tujuan tersebut masih diragukan, urinalisis dapat membantu untuk mengidentifikasi beberapa gangguan pada disfungsi tubulus ginjal maupun beberapa gangguan nonrenal. Urinalisis rutin termasuk pH, berat jenis (BJ), deteksi dan kuantitas kadar glukosa, protein, dan bilirubin, dan pemeriksaan mikroskopik terhadap sedimen urin. pH urin membantu hanya jika pH arteri diketahui. Bila pH urin lebih dari 7,0 asidosis sistemik memberi kesan asidosis tubulus renal. Berat jenis berhubungan dengan osmolalitas urin; 1,010 biasanya sesuai dengan 290 mOsm/kg. BJ lebih dari 1,018 setelah puasa 1 malam menunjukkan adekuatnya kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasi. Berat jenis yang lebih rendah dengan adanya hiperosmolalitas plasma sesuai dengan diabetes insipidus. Glikosuria adalah hasil dari ambang batas glukosa pada tubulus rendah (normalnya 180 mg/dL) atau hiperglikemia. Proteinuri yang dideteksi melalui urinalisis rutin seharusnya dievaluasi dengan pengumpulan urin 24 jam. Ekskresi protein urin lebih dari 150 mg/dl adalah signifikan. Peningkatan kadar bilirubin pada urin terlihat pada obstruksi biliar. Analisa mikroskopik pada sedimen urin bisa mendeteksi adanya sel darah merah atau sel darah putih, bakteri, dan kristal. Sel darah merah bisa mengindikasikan adanya perdarahan akibat tumor, batu, infeksi, koagulopati, atau trauma. Sel darah putih dan bakteri biasanya berhubungan dengan infeksi. Kristal mungkin menunjukkan adanya abnormalitas pada asam oksalat, asam urat, atau metabolisme kristin.

B. PERUBAHAN FUNGSI GINJAL DAN EFEKNYA TERHADAP AGEN-AGEN ANESTESI Beberapa obat yang biasanya dipakai pada saat anestesi sebagian kecil tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi. Dengan adanya kerusakan ginjal, modifikasi dosis mungkin diperlukan untuk mencegah akumulasi obat atau metabolit aktif. Efek sistemik azotemia bisa menyebabkan potensiasi kerja farmakologikal dari agen-agen ini. Pada observasi terakhir mungkin disebabkan akibat menurunnya ikatan protein dengan obat, perembesan ke otak karena perubahan pada sawar darah otak, atau efek sinergis dengan toksin yang tertahan pada gagal ginjal. Agen Intravena Propofol dan Etomidate Farmakokinetik dari keduanya, propofol dan etomiate, secara signifikan tidak dipengaruhi oleh gangguan fungsi ginjal. Penurunan ikatan protein dari etomidate pada pasien dengan hipoalbuminemia bisa meningkatkan efek farmakologiknya. Barbiturat Pasien dengan penyakit ginjal sering terjadi peningkatan sensifitas terhadap barbiturat selama induksi, meskipun profil farmakokinetik tampak tidak berubah. Mekanismenya terlihat dengan meningkatnya barbiturat bebas yang bersirkulasi sebagai akibat dari penurunan ikatan protein. Asidosis juga bisa menyebabkan agen ini lebih cepat masuk ke otak dengan meningkatkan fraksi non ion pada obat Ketamine Farmakokinetik ketamin berubah sedikit karena penyakit ginjal. Beberapa metabolit aktif di hati tergantung pada ekskresi ginjal dan dapat berpotensi terakumulasi pada gagal ginjal. Efek hipertensi sekunder dari ketamin tidak diinginkan pada pasien hipertensi ginjal. Benzodiazepin

Benzodiazepin mengalami metabolisme dan konjugasi di hati sebelum dieliminasi di urin. Karena sebagian besar terikat kuat dengan protein, peningkatan sensitifitas bisa terlihat pada pasien-pasien dengan

hipoalbuminemia. Diazepam seharusnya digunakan dengan hati-hati pada adanya kerusakan ginjal karena potensi untuk terjadinya akumulasi metabolit aktif. Opioid Sebagian besar opioid sekarang ini digunakan pada terapi anestesi (morfin, meperidin, fentanyl, sulfentanyl, dan alfentanyl) di inaktifasi oleh hati; beberapa metabolitnya nantinya diekskresi di urin. Farmakokinetik remifentanil tidak dipengaruhi oleh fungsi ginjal karena hidrolisis ester yang cepat di dalam darah. Dengan pengecualian morfin dan meperidin, akumulasi signifikan dari metabolit aktif umumnya tidak terjadi pada agen tersebut. Akumulasi metabolit morfin (morphine-6-glucoronide) dilaporkan

memperpanjang depresi pernapasan pada beberapa pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan level normepiridin, metabolit meperidin, dihubungkan dengan kejang. Farmakokinetik dari kebanyakan agonis-antagonis opioid yang sering digunakan (butorphanol, nalbuphine, dan buprenorphine) tidak dipengaruhi oleh gagal ginjal. Agen-agen Antikolinergik Dalam dosis yang digunakan untuk premedikasi, atropin dan glikopirolat umumnya bisa digunakan secara aman pada pasien-pasien dengan kerusakan ginjal. Karena lebih dari 50% dari obat-obat ini dan metabolit aktifnya secara normal diekskresi melalui urin, akan tetapi potensi akumulasi terjadi bial dosis diulang. Scopolamin kurang tergantung pada ekskresi ginjal, tetapi efek sistem saraf pusat bisa dipertinggi oleh azotemia. Phenothiazines, H2 blocker, dan agen-agen yang berhubungan Beberapa phenothiazine, seperti prometahazine dimetabolisme menjadi komponen tidak aktif oleh hati. Meskipun profil farmakokinetik tidak mampu diubah oleh adanya kerusakan ginjal, potensinya terhadap efek depresi pusat oleh azotemia juga dapat terjadi. Efek antiemetiknya terutama dapat berguna

untuk penanganan mual perioperatif. Droperidol sebagian tergantung pada ginjal untuk diekskresikan. Akumulasi dapat dilihat pada dosis besar pada pasien dengan kerusakan ginjal, secara relatif dosis kecil droperidol (<2,5mg) biasanya digunakan di klinik. Semua H2 reseptor bloker sangat tergantung pada ekskresi ginjal. Metoclopramid sebagian diekskresikan tidak berubah di urin dan juga akan di akumulasi pada gagal ginjal. Meskipun diatas 50% dari dolasetron diekskresikan di urin, tidak ada dosis penyesuaian yang direkomendasikan untuk beberapa 5-HT3 blocker pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Agen-agen Inhalasi Agen-agen volatile Agen anastetik volatile hampir ideal untuk pasien dengan disfungsi ginjal karena kurangnya ketergantungan mereka pada ginjal untuk eliminasi, kemampuannya untuk mengontrol tekanan darah, dan biasanya mempunyai efek langsung minimal pada aliran darah ginjal. Meskipun pasien dengan gangguan ginjal ringan sampai sedang tidak menunjukkan perubahan pada uptake atau distribusi, induksi cepat dan segera bisa dilihat pada pasien anemia berat (hemoglobin < 5 g/dl) dengan gagal ginjal kronik; observasi ini dapat dijelaskan oleh turunnya kofisien pemisah gas atau turunnya konsentrasi alveolar minimum. Enflurane dan sevoflurane (dengan aliran < 2L/menit) tidak disarankan untuk pasien dengan penyakit ginjal yang menjalani prosedur lama karena potensi terjadinya akumulasi fluoride. Nitrous Oxide Banyak klinisi tidak menggunakan atau membatasi penggunaan nitrous oxide sampai 50% pada pasien dengan gagal ginjal dengan tujuan untuk meningkatkan kandungan O2 arteri pada keadaan anemia. Dasar pemikiran ini bisa dibenarkan hanya pada pasien anemia berat (hemoglobin < 7 g/dl), dimana peningkatan kecil dari kandungan oksigen bisa menunjukkan persentase signifikan perbedaan O2 arteri dan vena.

Pelumpuh Otot Succinylcholine Succinylcholine bisa digunakan secara aman pada gagal ginjal, asalkan konsentrasi kalium serum kurang dari 5 mEq/L pada saat induksi. Bila kalium serum lebih tinggi atau diragukan, pelumpuh otot nondepolarisasi sebaiknya digunakan. Meskipun penurunan kadar pseudokolinesterase dilaporkan pada beberapa pasien uremik yang menjalani dialisis,

pemanjangan signifikan dari blokade neuromuskular jarang terlihat. Cisatracurium, Atracurium, dan Mivacurium Mivacurium tergantung secara minimal pada ginjal untuk eliminasi. Efek yang sedikit memanjang dapat dilihat karena menurunnya

pseudokolinesterase plasma. Cisatracurium dan atracurium didegradasi di plasma oleh eliminasi enzim hidrolisis ester dan nonenzim Hofmann. Agenagen tersebut mungkin merupakan obat pilihan untuk pelumpuh otot pada pasien-pasien dengan gagal ginjal. Vecuronium dan Rocuronium Eliminasi vecuronium secara primer ada di hati, tapi lebih dri 20% dari obat ini dieliminasi melalui urin. Efek dari dosis besar vecuronium (> 0,1 mg/kg) hanya memanjang sedikit pada pasien insufisiensi ginjal. Recuronium secara primer mengalami eliminasi hepatik, tetapi perpanjangan kerja pada penyakit ginjal berat pernah dilaporkan. Curare Eliminasi dari curare tergantung baik pada ginjal maupun ekskresi empedu; 40-60% dosis curare secara normal diekskresi di urin.

Meningkatnya pemanjangan efek terlihat pada pemberian dosis berulang pada pasien dengan kerusakan ginjal signifikan. Dosis lebih rendah dan perpanjangan interval pemberian dosis diperlukan untuk pemeliharaan agar pelumpuh otot optimal.

Pacuronium, Pipecuronium, Alcuronium, dan Doxacurium Agen-agen tersebut tergantung terutama pada ekskresi ginjal (6090%). Walaupun pancuronium dimetabolisme di hati menjadi metabolit intermediat yang kurang aktif, eliminasi paruh waktunya masih tergantung pada ekskresi ginjal (60-80%). Fungsi neuromuskular harus dimonitor ketat jika obat-obat tersebut digunakan pasien dengan fungsi ginjal abnormal. Metocurine, Gallamine, dan Decamethonium Obat-obat ini hampir sepenuhnya tergantung pada ekskresi ginjal untuk eliminasi dan harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan kerusakan fungsi ginjal Obat-obat Reversal Ekskresi ginjal adalah rute utama eliminasi bagi endrophonium, neostigmine, dan pyridostigmine. Waktu paruh dari obat-obat ini pada pasien dengan kerusakan ginjal memanjang setidaknya sama dengan pelumpuh otot sebelumnya di atas.

C. ANASTESI PADA PASIEN DENGAN GAGAL GINJAL PERTIMBANGAN PREOPERASI Gagal Ginjal Akut Gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal secara cepat yang menghasilkan penumpukan dari sampah nitrogen (azotemia). Zat ini sebagian besar bersifat racun, dihasilkan oleh metabolisme protein dan asam amino. Termasuk urea, senyawa guanidine (termasuk creatin dan creatinin), asam urat, asam amino alifatik, berbagai jenis peptida dan metabolisme dari asam amino aromatik. Azotemia dapat dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu prerenal, renal, dan postrenal. Azotemia prerenal diakibatkan oleh penurunan akut perfusi ginjal. Azotemia renal biasanya

karena penyakit intrinsik ginjal, iskemia ginjal, atau nofrotoksin. Azotemia postrenal disebabkan oleh gangguan atau obstruksi traktus urinarius. Azotemia prerenal dan postrenal bersifat reversible pada tahap inisial namun jika dibiarkan terus menerus akan menyebabkan azotemia renal. Kebanyakan pasien dewasa dengan gagal ginjal akan terjadi oliguria. Pasien yang nonoliguri (yaitu pasien dengan urin output > 400 mL/hari) terus menerus membentuk urin yang secara kualitatif jelek, pada pasien ini cenderung memiliki pemeliharaan yang cukup baik dari GFR. Walaupun filtrasi glomerulus dan fungsi tubulus terganggu, kelainannya untuk cenderung buruk lebih sedikit pada gagal ginjal nonoliguri. Pembahasan mengenai gagal ginjal akut bervariasi, namun pada tipe oliguria bertahan sampai 2 minggu dan diikuti oleh fase diuretik yang ditandai dengan adanya peningkatan yang progresif pada urin output. Fase diuretik ini sering menghasilkan sangat banyak urin output dan biasanya tidak ditemui pada gagal ginjal yang non oligurik. Fungsi urinari semakin baik dalam beberapa minggu namun tidak kembali normal sampai 1 tahun. Gagal Ginjal Kronis Sindroma ini dikarakteristikkan oleh adanya penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversibel dalam waktu 3-6 bulan. Penyebab utamanya adalah hipertensi nefrosklerosis, diabetik nefropati,

glomerulonefritis kronis, dan penyakit ginjal polikistik. Manifestasi penuh dari sindrom ini sering dikenal dengan uremia yang akan terlihat setelah GFR menurun dibawah 25 mL/menit. Pasien dengan klirens dibawah 10 mL/menit (sering disebut dengan end stage renal disease) akan bergantung kepada dialisis untuk bertahan sampai dilakukan transplantasi. Dialisis dapat berbentuk intermittent hemodialysis melalui arteriovenous fistula atau dialisis peritoneal yang terus menerus melalui kateter yang diimplantasikan.

Tabel 32-2. Manisfestasi Uremia


Neurological Peripheral neuropathy Autonomic neuropathy Muscle twitching Encephalopathy Asterixis Myoclonus Lethargy Confusion Seizures Coma Pulmonary Hyperventilation Interstitial edema Alveolar edema Pleural effusion Gastrointestinal Anorexia Nausea and vomiting Delayed gastric emptying Hyperacidity Mucosal ulcerations Hemorrhage Adynamic ileus Endocrine Glucose intolerance Secondary hyperparathyroidism Hypertriglyceridemia Cardiovascular Fluid overload Congestive heart failure Hypertension Pericarditis Arrhythmia Conduction blocks Vascular calcification Accelerated atherosclerosis Metabolic Metabolic acidosis Hyperkalemia Hyponatremia Hypermagnesemia Hyperphosphatemia Hypocalcemia Hyperuricemia Hypoalbuminemia Hematological Anemia Platelet dysfunction Leukocyte dysfunction Skin Hyperpigmentation Ecchymosis Pruritus Skeletal Osteodystrophy Periarticular calcification

Efek yang meluas dari uremia biasanya dapat dikontrol dengan dialisis. Banyak pasien yang menjalani dialisis setiap hari umumnya merasa normal dan beberapa tidak terjadi discoloration yang berkaitan dengan tahap akhir penyakit ginjal dan dialisis. Mayoritas pasien di dialisis 3 kali perminggu. Sayangnya, semakin lama biasanya komplikasi uremia sukar disembuhkan. Lebih lagi, beberapa komplikasi berhubungan langsung dengan proses dialisis tersebut. Hipotensi, neutropenia, hipoksemia,

sindroma disequilibrium bersifat sementara dan hilang beberapa jam setelah dialisis. Beberapa faktor yang menyebabkan hipotensi selama dialisis termasuk efek vasodilatasi dari larutan asetat dialisat, neuropati otonom dan pergerakan yang cepat dari cairan. Interaksi antara sel darah putih dengan membran dialisis derivat cellophane akan mengakibatkan neutropenia dan leukocyte-mediated pulmonary disfunction menyebabkan hipoksemia. Sindroma disequilibrium ditandai oleh gejala neurologis sementara yang berhubungan dengan penurunan dengan cepat osmolaritas ekstraselular daripada osmolaritas intraselular. Tabel 32-3. Komplikasi dialisis
Neurologis Sindrom disequilibrium Demensia Hematologi Anemia Transient neutropenia Antikoagulasi residual Hipokomplementemia Metabolik Hipokalemia Kehilangan protein dalam jumlah banyak Skeletal Osteomalasia Artropati Miopati Infeksi Peritonitis Transfusion-related hepatitis

Kardiovaskular Deplesi volume intravaskular Hipotensi Aritmia Pulmonal Hipoksemia

Gastrointestinal Asites

Manifestasi dari Gagal Ginjal a. Metabolik Pasien dengan gagal ginjal dapat berkembang dengan

abnormalitas dari metabolik yang multipel termasuk hiperkalemia, hiperphospatemia, hipokalemia, hipermagnesemia, hiperuricemia, dan hipoalbuminemia. Retensi air dan natrium akan mengakibatkan pemburukan dari hiponatremia dan cairan ekstra seluler yang berlebihan. Kegagalan untuk mengekskresikan asam yang non folatil

mengakibatkan asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi. Hipernatremia dan hipokalemia adalah komplikasi yang jarang. Hiperkalemia adalah abnormalitas yang paling mematikan karena memiliki efek pada jantung. Hal ini biasanya ditemukan pada pasien dengan kreatinin klirens < 5 mL/menit, namun dapat berkembang secara cepat pada pasien dengan klirens yang lebih tinggi ketika disertai masukan kalium yang besar (trauma, hemolisis, infeksi atau konsumsi kalium). Hipermagnesia biasanya ringan kecuali masukan magnesium meningkat (umumnya dari antasida yang mengandung magnesium). Hipokalsemia terjadi dengan sebab yang tidak diketahui. Mekanisme yang diakibatkan oleh deposit kalsium ke tulang secara sekunder oleh karena hiperphospatemia, resistensi dari hormon paratiroid dan penurunan absorbsi usus halus secara sekunder menurunkan sintesis ginjal dari 1,25-dihidroksi kolekalsiferol. Gejala dari hipokalsemia jarang berkembang kecuali pasien dalam kondisi alkalosis. Pasien dengan gagal ginjal juga secara cepat kehilangan protein jaringan sehingga menyebabkan hipoalbuminemia. Anoreksia, restriksi protein dan dialisis (terutama dialisis peritonium) juga berperan. b. Hematologik Anemia biasanya muncul jika kreatinin klirens dibawah 30 ml/menit. Konsentrasi hemoglobin umumnya 6-8 gram/dl. Penurunan produksi eritropoetin menurunkan produksi sel darah merah, dan menurunkan pertahanan sel. Faktor tambahan termasuk perdarahan saluran cerna, hemodilusi, dan penekanan sumsum tulang dari infeksi sebelumnya. Walaupun dengan transfusi, konsentrasi hemoglobin meningkat sampai 9 gram/dl sangat sulit untuk dipertahankan. Pemberian eritropoetin biasanya dapat mengoreksi anemia.

Peningkatan

dari 2,3-difosfogliserat

bertanggung jawab dalam

penurunan kapasitas pembawa oksigen. 2,3-DPG memfasilitasi pelepasan oksigen dari hemoglobin. Asidosis metabolik juga

mengakibatkan pergeseran ke kanan pada kurva oksigen-hemoglobin dissosiasi. Fungsi platelet dan sel darah putih terganggu pada pasien dengan gagal ginjal. Secara klinis, hal ini dimanifestasikan sebagai pemanjangan waktu perdarahan dan gampang terkena infeksi. Beberapa pasien mengalami penurunan aktivitas platelet faktor III, dan juga penurunan ikatan dan agregrasi platelet. Pasien yang dihemodialisa juga memiliki efek sisa antikoagulan dari heparin. c. Kardiovaskuler Cardiac Output dapat meningkat pada gagal ginjal untuk menjaga pengantaran oksigen pada penurunan kapasitas pembawa oksigen. Retensi natrium dan abnormalitas pada sistem renin angiotensin berakibat pada hipertensi arteri sistemik. Hipertropi ventrikel kiri umum dijumpai pada gagal ginjal kronis. Cairan ekstraseluler yang berlebihan oleh karena retensi natrium bersamaan dengan peningkatan kebutuhan yang terganggu oleh karena anemia dan hipertensi mengakibatkan pasien gagal jantung dan edema pulmonum. Peningkatan permeabilitas dari membran kapiler alveoli dapat menjadi faktor predisposisi. Blok konduksi tidak sering ditemukan dan mungkin diakibatkan oleh deposit kalsium dari sistem konduksi. Aritmia sering ditemukan dan mungkin berhubungan pada kelainan metabolik. Perikarditis uremia dapat ditemukan pada beberapa pasien, pasien bisa asimptomatis , bisa datang dengan adanya nyeri dada atau terbentuknya tamponade jantung. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga ditandai dengan peningkatan pembuluh darah perifer dan penyakit arteri koroner.

Depresi volume intravaskuler dapat muncul pada fase diuretik pada gagal ginjal akut jika penggantian cairan tidak adekuat. Hipovolemi juga muncul jika terlalu banyak cairan yang dikeluarkan ketika dialisis. d. Pulmonary Tanpa dialisis atau terapi bikarbonat, pasien bergantung pada peningkatan ventilasi permenit untuk mengkompensasikan asidosis metabolik. Cairan ekstravaskular pulmonum biasanya meningkat pada bentuk edema interstitial, mengakibatkan perluasan alveoli ke gradient oksigen arterial yang menyebabkan terjadinya hipoksemia.

Peningkatan permeabilitas dari kapiler alveolar pada beberapa pasien menyebabkan edema paru walaupun dengan tekanan kapiler paru yang normal, karakteristik pada foto toraks menyerupai butterfly wings. e. Endokrin Toleransi glukosa yang abnormal adalah karakteristik dari gagal ginjal dan ini disebabkan oleh resistensi perifer pada insulin, pasien mempunyai glukosa dalam darah dengan jumlah besar dan jarang menggunakannya. Hiperparatiroidisme sekunder pada pasien dengan gagal ginjal kronis dapat mengakibatkan penyakit tulang metabolik, yang dapat menyebabkan fraktur. Kelainan metabolisme lemak sering mengakibatkan hipertrigliseridemia dan kemungkinan berperan dalam atherosklerosis. Peningkatan dari kadar protein dan polipeptida dalam sirkulasi yang biasanya segera didegradasikan di ginjal sering terlihat, hal ini berhubungan dengan hormon paratiroid, insulin, glukagon, hormone pertumbuhan, luteinizing hormone, dan prolaktin.

f. Gastrointestinal Anoreksia, nausea, vomiting dan ileus adinamik umumnya berhubungan dengan azotemia. Hipersekresi dari asam lambung meningkatkan insiden dari tukak peptik dan perdarahan saluran pencernaan, yang muncul pada 10-30% dari pasien. Penundaan pengosongan lambung secara sekunder pada neuropati autonom dapat mencetuskan adanya aspirasi perioperatif. Pasien dengan gagal ginjal kronis juga memiliki insiden tinggi terhadap virus hepatitis (tipe B dan C), sering diikuti oleh disfungsi hepatik. g. Neurologis Tubuh kurus, letargi, konfusi, kejang, dan koma adalah manifestasi dari uremik encephalopathy. Gejala pada umumnya berhubungan dengan derajat azotemia. Neuropati autonom dan perifer umumnya dijumpai pada pasien dengan gagal ginjal kronis. Neuropati perifer bersifat sensoris dan melibatkan bagian distal ekstremitas bawah.

Evaluasi Preoperatif Efek umun dari azotemia harus dievaluasi secara teliti pada pasien gagal ginjal. Sebagian besar pasien dengan gagal ginjal akut yang memerlukan operasi penyakitnya menjadi kritis. Gagal ginjalnya

berhubungan dengan komplikasi post operatif atau trauma. Pasien dengan gagal ginjal akut juga mempercepat pemecahan protein. Manajemen perioperatif yang optimal tergantung dari dialisis preoperatif. Hemodialisis lebih efektif dari pada peritoneal dialisis dan dapat dilakukan melalui kateter dialysis sementara pada jugular interna, dialisis dengan subklavia atau femoral. Kebutuhan dialisis pada pasien nonoligurik dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual.

Table 32-4. Indikasi Untuk Dialisis


Overload Cairan Hiperkalemi Asidosis Berat Enselopaty Metabolik Perikarditis Koogulopati Refraktory Gastrointestinal Symtom Toksisitas Obat

Pasien dengan gagal ginjal kronis biasanya dibawa ke ruang operasi untuk memperbaiki arteriovenous fistula dibawah anestesi local atau regional. Bagaimanapun juga prosedur atau pekerja anestesi, evaluasi komplit diperlukan untuk memastikan bahwa mereka berada dalam kondisi medis yang optimal; semua manifestasi yang reversibel dari uremia harus dikontrol. Dialisis pre operatif pada hari pembedahan atau hari sebelumnya dibutuhkan. Evaluasi fisik dan laboratorium harus di fokuskan pada fungsi jantung dan pernafasan. Tandatanda kelebihan cairan atau hipovolemia harus dapat diketahui. Kekurangan volume intravaskuler sering disebabkan oleh dialisis yang berlebihan. Perbandingan berat pasien sebelum dan sesudah dialisis mungkin membantu. Data hemodinamik, jika tersedia dan foto dada sangat bermakna dalam kesan klinis. Analisa gas darah arteri juga berguna dalam mendeteksi hipoksemia dan mengevaluasi status asam-basa pada pasien dengan keluhan sesak nafas. EKG harus diperiksa secara hatihati untuk tanda-tanda dari hiperkalimia atau hipokalsemia seperti pada iskemia, blok konduksi, dan ventrikular hipertropi. Echocardiography sangat bermakna dalam mengevaluasi fungsi jantung pada pasien dibawah prosedur pembedahan mayor karena hal ini dapat mengevaluasi ejeksi

fraksi dari ventrikel, seperti halnya mendeteksi hipertrofi dan derajat hipertropi, pergerakan abnormal pembuluh darah, dan cairan perikard. Adanya friction rub bisa tidak terdengar pada auskultasi pada pasien dengan efusi perikard. Transfusi sel darah merah pre operatif harusnya diberikan hanya pada pasien dengan anemia berat (hemoglobin <6-7 g/dL) atau ketika kehilangan darah sewaktu operasi diperkirakan. Pemeriksaan waktu perdarahan dan pembekuan dianjurkan, khususnya jika ada pertimbangan regional anestesi. Elektrolit serum, BUN, dan pengukuran kreatinin dapat menentukan keadekuatan dialisis. Pengukuran glukosa dibutuhkan dalam mengevaluasi kebutuhan potensial untuk terapi insulin perioperatif. Terapi obat preoperatif harus diberikan secara hati-hati pada obat yang dieliminasi di ginjal. Penyesuaian dosis dan pengukuran kadar darah (jika memungkinkan) dibutuhkan untuk mencegah toksisitas obat. Table 32-5. Obat yang berpotensial berakumulasi secara signifikan pada pada pasien dengan gangguan ginjal
Muscle relaxants Metocurine, Gallamine, Decamethonium, Pancuronium, Pipecurium, Doxacurium, Alcuronium Anticholinergics Atropine, Glycopyrrolate Metoclopramide H2 reseptor antagonists Cimetidine, Ranitidine Digitalis Diuretics Calcium Channel antagonis Nifedipine, Diltiazem Adrenergic blockers Propanolol, Nadolol, Pindolol, Atenolol Anti Hipertensi

Clonidine, Methyldopa, Captporil, Enalapril, Lisinopril, Hydralazine, Nitroprusside (Thiocyanate) Antiarrhytmics Procainamide, Disopyramide, Bretylium, Tocainide, Encainide (Genetically determined) Bronchodilators Terbutalline Psychiatric Lithium Antibiotics Penicillins, Cephalosporin, Aminoglycosid, Tetracycline, Vancomycin Anticonvulsants Carbamazepine, Ethosuximide, Primidone

Premedikasi Pada pasien yang relatif stabil dan sadar dapat diberikan pengurangan dosis dari opioid atau benzodiazepin. Promethazine, 12.5-25 mg intramuscular, berguna sebagai sedasi tambahan dan sebagai antiemetic. Profilaksis untuk aspirasi dengan H2 blocker diindikasikan pada pasien mual, muntah atau perdarahan saluran cerna. Metoclopramide, 10 mg secara oral atau tetes lambat intra vena juga berguna dalam mempercepat pengosongan lambung, mencegah mual dan menurunkan resiko aspirasi. Pengobatan preoperatif terutama obat anti hipertensi harus dilanjutkan sampai pada saat pembedahan.

PERTIMBANGAN INTRAOPERATIF Monitoring Prosedur pembedahan membutuhkan perhatian pada kondisi medis secara menyeluruh. Karena bahaya dari adanya oklusi, tekanan darah sebaiknya tidak diukur dari cuff pada lengan dengan fistula arteriovena.

Monitoring intraarterial, vena sentral, dan arteri paru diindikasikan, terutama pada pasien dibawah prosedur dengan pergeseran cairan yang luas, volume intravaskuler sering sulit disesuaikan hanya dari tanda klinis. Monitoring tekanan darah intraarteri secara langsung diindikasikan pada pasien yang hipertensinya tidak terkontrol. Monitoring invasif yang agresif diindikasikan khususnya pada pasien diabetes dengan penyakit ginjal berat yang sedang menjalani pembedahan mayor, pasien jenis ini mungkin memiliki tingkat morbiditas 10 kali lebih banyak pada pasien diabetes tanpa penyakit ginjal. Yang terakhir ini menunjukkan insiden yang tinggi pada komplikasi kardiovaskular pada grup pertama. Induksi Pasien dengan mual, muntah atau perdarahan saluran cerna harus menjalani induksi cepat dengan tekanan krikoid. Dosis dari zat induksi harus dikurangi untuk pasien yang sangat sakit. Thiopental 2-3 mg/kg atau propofol 1-2 mg/kg sering digunakan. Etomidate, 0,2-0,4 mg/kg dapat dipertimbangkan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Opioid, beta-bloker (esmolol), atau lidokain bisa digunakan untuk mengurangi respon hipertensi pada intubasi. Succinylcholine, 1,5 mg/kg, bisa digunakan untuk intubasi endotrakeal jika kadar kalium darah kurang dari 5 meq/L. Rocuronium (0,6mg/kg),cisatracurium (0,15 mg/kg), atracurium (0,4 mg/kg) atau mivacurium (0,15 mg/kg) dapat digunakan untuk mengintubasi pasien dengan hiperkalemia. Atracurium pada dosis ini umumnya mengakibatkan pelepasan histamin. Vecuronium, 0,1 mg/kg tepat digunakan sebagai alternatif, namun pemanjangan efeknya harus diperhatikan. Penggunaan laringaeal mask airway, jika tersedia, biasanya menghindarkan respon simpatis (hipertensi) yang berlebihan yang kadangkadang berhubungan dengan intubasi dan membutuhkan paralisis otot.

Pemeliharaan Tehnik pemeliharaan yang ideal harus dapat mengkontrol hipertensi dengan efek minimal pada cardiac output, karena peningkatan cardiac output merupakan mekanisme kompensasi yang prinsipil pada anemia. Anestesi volatil, nitrous oxide, fentanyl, sufentanil, alfentanil, remifentanyl, hydromorphone dan morfin dianggap sebagai agen pemeliharaan yang memuaskan. Isoflurane dan desflurane merupakan agen volatile yang pilihan karena mereka memiliki efek yang sedikit pada cardiac output. Nitrous oxide harus digunakan secara hati-hati pada pasien dengan fungsi ventrikel yang lemah dan jangan digunakan pada pasien dengan konsentrasi hemoglobin yang sangat rendah (< 7g/dL) untuk pemberian 100% oksigen. Meperidine bukan pilihan yang bagus oleh karena akumulasi dari normeperidine. Morfin boleh digunakan, namun efek kelanjutannya perlu diperhatikan. Ventilasi terkontrol adalah metode teraman pada pasien dengan gagal ginjal. Ventilasi spontan yang tidak adekuat dengan hipercarbi progreif dibawah pengaruh anestesi dapat menyebabkan asidosis

respiratorik yang mungkin mengeksaserbasi acidemia yang telah ada, yang dapat menyebabkan depresi pernafasan yang berat dan peningkatan konsentrasi kalium serum yang berbahaya. Alkalosis respiratorik dapat merusak karena mengeser kurva disosiasi hemoglobin ke kiri, dan mengeksaserbasi hipokalemia yang telah ada, dan menurunkan aliran darah otak. Terapi Cairan Operasi superfisial melibatkan trauma jaringan yang minimal memerlukan penggantian untuk kehilangan cairan insensible dengan 5 % dekstrosa dalam air. Prosedur yang berhubungan dengan kehilangan cairan yang banyak atau pergeseran membutuhkan kristalloid isotonik, koloid, atau keduanya. Ringer laktat sebaiknya dihindari pada pasien hiperkalemia

yang membutuhkan banyak cairan, karena kandungan kalium (4 meq/L), normal saline dapat digunakan. Cairan bebas glukosa digunakan karena intoleransi glukosa yang berhubungan dengan uremia. Kehilangan darah diganti dengan packed red blood cells. Transfusi darah tidak memiliki efek atau mungkin bermanfaat bagi pasien gagal ginjal yang merupakan calon donor ginjal; transfusi menurunkan kemungkinan reaksi penolakan

transplantasi ginjal pada beberapa pasien.

D. ANESTESI PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN GINJAL RINGAN SAMPAI SEDANG Pertimbangan Preoperatif Ginjal biasanya menunjukkan fungsi yang besar. GFR, yang dapat diketahui dengan kreatinin klirens, dapat menurun dari 120 ke 60 mL/ menit tanpa adanya perubahan klinis pada fungsi ginjal. Walaupun pada pasien dengan kreatinin klirens 40 -60 mL/menit umumnya asimtomatik. Pasien ini hanya memiliki gangguan ginjal ringan namun harus dipertimbangkan sebagai gangguan ginjal. Perhatian dalam perawatan pasien ini merupakan pemeliharaan terhadap fungsi ginjal yang tersisa, yaitu dengan mempertahankan keadaan normovolemia. Ketika kreatinin klirens mencapai 25 40 mL/menit, merupakan gangguan ginjal sedang dan pasien bisa disebut memiliki insufisiensi ginjal. Azotemia yang signifikan selalu muncul, dan hipertensi maupun anemia secara bersamaan. Manajemen anestesi yang tepat pada pasien ini sama pentingnya pada pasien gagal ginjal yang berat. Yang terakhir ini terutama selama prosedur yang berkaitan dengan insiden yang relatif tinggi dari gagal ginjal postoperatif, seperti pembedahan konstruktif dari jantung dan aorta. Kehilangan volume intravaskular, sepsis, obstruktif jaundice, kecelakaan, injeksi kontras dan aminoglikosid, angiotensin converting enzim inhibitor, atau terapi NSAID adalah faktor resiko mayor

tambahan pada perburukan akut pada fungsi ginjal. Hipovolemia muncul khususnya sebagai faktor yang penting dalam berkembangnya gagal ginjal akut postoperatif. Penekanan dalam penanganan pasien ini adalah pada pencegahan, karena angka kematian dari gagal ginjal post operatif sebesar 50%60%. Peningkatan resiko perioperatif berhubungan dengan

kombinasi penyakit ginjal lanjut dan diabetes. Profilaksis untuk gagal ginjal dengan cairan diuresis efektif dan diindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi jantung, rekonstruksi aorta mayor, dan kemungkinan prosedur pembedahan lainnya. Mannitol (0,5 g/kg) sering digunakan dan diberikan sebagai perioritas pada induksi. Meskipun controversial, efek menguntungkan dari manitol muncul berkaitan dengan cairan dieresis daripada efek antioksidannya. Cairan intravena harus diberikan untuk mencegah kehilangan cairan intra vaskular. Infus intravena dengan fenoldopam atau dopamin dosis rendah dapat meningkatkan aliran darah ginjal dan meningkatkan dieresis melalui aktivasi dari vasodilator reseptor dopamin pada pembuluh darah ginjal. Loop diuretik juga dibutuhkan untuk membantu dieresis, mempertahankan output urin yang adekuat dan mencegah kelebihan cairan. Pertimbangan Intraoperatif Monitoring Monitor standard digunakan untuk prosedur termasuk kehilangan cairan yang minimal. Untuk operasi yang berhubungan dengan kehilangan cairan atau darah yang signifikan, pemantauan urin output dan volume intravaskular perjam sangat penting. Walaupun dengan urin output yang cukup tidak memastikan fungsi ginjal baik, namun selalu diusahakan pencapaian urin output lebih besar dari 0,5 mL/kgBB/jam. Pemantauan tekanan intra arterial juga dilakukan jika terjadi perubahan tekanan darah yang cepat, misalnya pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol atau

sedang dalam prosedur yang berhubungan dengan perubahan yang mendadak pada preload maupun afterload jantung. Induksi Pemilihan zat induksi tidak sepenting dalam memastikan volume intravaskular yang cukup untuk induksi. Anestesi induksi pada pasien dengan insuffisiensi ginjal biasanya menghasilkan hipotensi jika terjadi hipovolemia. Kecuali jika diberikan vasopressor, hipotensi biasanya muncul setelah intubasi atau rangsangan pembedahan. Perfusi ginjal, yang dipengaruhi oleh hipovolemia semakin buruk, sebagai hasil pertama adalah hipotensi dan kemudian secara simpatis atau farmakologis diperantarai oleh vasokonstriksi ginjal. Jika berlanjut, penurunan perfusi ginjal mengakibatkan kerusakan ginjal postoperatif. Hidrasi preoperatif biasanya digunakan untuk mencegah hal ini. Pemeliharaan Semua zat pemeliharaan dapat diberikan kecuali Sevoflurane yang diatur dengan aliran gas yang rendah. Walau enflurane bisa digunakan secara aman pada prosedur singkat, namun lebih baik dihindari pada pasien dengan insuffisiensi ginjal karena masih ada pilihan obat lain yang memuaskan. Pemburukan fungsi ginjal selama periode ini dapat dihasilkan dari efek hemodinamik lebih lanjut dari pembedahan (perdarahan) atau anestesi (depresi jantung atau hipotensi), efek hormon tidak langsung (aktifasi simpatoadrenal atau sekresi ADH), atau ventilasi tekanan positif. Efek ini biasanya reversibel ketika diberikan cairan intravena yang cukup untuk mempertahankan volume intravaskuler yang normal atau meluas. Pemberian utama dari vasopresor adrenergik (phenyleprine dan norepineprine) juga dapat mengganggu. Dosis kecil intermitten atau infus singkat mungkin bisa berguna untuk mempertahankan aliran darah ginjal sebelum pemberian yang lain (seperti transfusi) dapat mengatasi hipotensi.

Jika mean tekanan darah arteri, cardiac output dan cairan intravaskuler cukup, infus dopamin dosis rendah (2-5 mikrogram/kg/menit) dapat diberikan pada pasien dengan batasan urin output untuk mempertahankan aliran darah ginjal dan fungsi ginjal. Dosis dopamin untuk ginjal juga dapat menunjukkan setidaknya sebagian membalikkan vasokonstriksi arteri ginjal selama infus dengan vasopresor adrenergik

(norepinephrine). Fenoldopam juga mempunyai efek yang sama. Terapi Cairan Perhatikan jika ditemukan pemberian cairan yang berlebihan, namun masalah biasanya jarang dengan pasien yang urin outputnya cukup. Maka perlu dilakukan pemantauan pada urin outputnya, jika cairan yang berlebihan diberikan maka akan menyebabkan edema atau kongestif paru yang lebih mudah ditangani daripada gagal ginjal akut.

You might also like