You are on page 1of 28

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah satu penyebab terbanyak kebutaan di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang menempati urutan ke-4 sebesar 8,7%.1 Degenerasi makula terkait usia ( Age related Macular Degeneration, AMD) merupakan penyebab utama hilangnya ketajaman penglihatan pada satu atau dua mata pada orang berusia di atas 50 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan 15 juta warga negara Amerika Utara menderita AMD. Prevalensi AMD adalah 85-90% pada AMD non eksudatif dan 10 15 % pada eksudatif AMD.2 Di Indonesia sendiri, hingga saat ini belum ada data pasti tentang insidens dan angka morbiditas AMD. Salah satu penelitian dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia periode 03 Maret 2008 - 05 Januari 2009 di Jakarta Timur, yang menggunakan 1259 responder didapati prevalensi non eksudatif dan eksudatif AMD didapatkan pada 52 orang (4,1%) and 3 orang (0,2%). Prevalensi AMD didapatkan semakin meningkat dengan bertambahnya usia, dimana 3,4% pada kelompok usia 40-49 tahun, 4,8% pada kelompok usia 50-59 tahun, dan 7,4% pada usia > 70 tahun.3 Berdasarkan American Academy of Opthalmology, degenerasi makula terkait usia adalah gangguan pada makula yang dikarakteristikkan dengan satu atau lebih dari tandatanda berikut: (1) terbentuknya drusen, (2) abnormalitas dari epitelium pigmen retina seperti hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi, atrofi geografik dan koriokapiler, dan neovaskular makulopati.4 Makula adalah pusat dari retina dan merupakan bagian yang paling vital dari retina yang memungkinkan mata melihat detil-detil halus pada pusat lapang pandang. Tanda utama dari degenerasi pada makula adalah didapatkan adanya bintik-bintik abu-abu atau hitam pada pusat lapangan pandang. Kondisi ini biasanya berkembang secara perlahan-lahan, tetapi kadang berkembang secara progresif, sehingga menyebabkan kehilangan penglihatan yang sangat berat pada satu atau kedua bola mata.5 Degenerasi makula terkait usia merupakan kondisi generatif pada makula atau pusat retina. Terdapat 2 macam degenerasi makula yaitu tipe kering (atrofi) sering
1

disebut dengan non eksudatif degenerasi makula

dan tipe basah (eksudatif) sering

disebut dengan eksudatif degenerasi makula . Kedua jenis degenerasi tersebut biasanya mengenai kedua mata secara bersamaan. Degenerasi makula terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada epitel pigmen retina. 5 Penyebab pasti dari degenerasi makula ini belum diketahui, tetapi insidens gangguan ini meningkat pada setiap dekade setelah usia 50 tahun. Keterkaitan lain adalah ras ( biasanya ras kaukasia lebih beresiko dibandingkan dengan ras Afrika-Amerika, insidensi pada orang Asia diyakini juga meningkat), riwayat keluarga, riwayat merokok (menurunkan level dari CFH yang bertindak sebagai inhibitor jalur komplemen pemicu inflamasi), jenis kelamin ( sedikit predominansi pada wanita), obesitas dan asupan lemak yang tinggi, status sosial ekonomi, hipertensi, dll.6 Degenerasi makula menyebabkan kerusakan penglihatan yang berat (misalnya kehilangan kemampuan untuk membaca dan mengemudi) tetapi jarang menyebabkan kebutaan total. Penglihatan pada tepi luar dari lapang pandang dan kemampuan untuk melihat biasanya tidak terpengaruh, yang terkena hanya penglihatan pada pusat lapang pandang. Gejala klinis biasa ditandai terjadinya kehilangan fungsi penglihatan secara tiba-tiba ataupun secara perlahan tanpa rasa nyeri. Kadang gejala awalnya berupa gangguan penglihatan pada salah satu mata, dinilai garis yang sesungguhnya lurus terlihat bergelombang.5, 6, 7 Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan hasil pemeriksaan mata. Sejauh ini belum ada terapi untuk degenerasi makula tipe kering. Beberapa suplemen makanan seperti omega-3 long chain polyunsaturated fatty acids

(LCPUFAs:docohexaechonoic acid [DHA], dan eicosapentaenoic acid [EPA]), beta karoten, zinc, dll dapat digunakan untuk mencegah AMD derajat ringan dan sedang menjadi lebih berat.5,8 Untuk beberapa kasus basah, penggunaan anti VEGF ( Vascular Epithelial Growth Factor) seperti Pegabtanib, Ranibizumab, bevacizumab dapat

meningkatkan ketajaman penglihatan, selain itu terapi fotokoagulasi laser termal pada kasus eksentrik fovea, bisa membersihkan pembuluh darah abnormal sehingga kekaburan penglihatan dapat dicegah. Tetapi, tidak semua kasus bisa diatasi dengan terapi laser terutama pada subfoveal degenerasi makula karena fotokoagulasi dapat menyebabkan kerusakan sel fotoreseptor. Saat ini sedang dikembangkan berbagai obat dan prosedur
2

operasi baru antara lain terapi foto dinamik dengan menggunakan verteporfin, sedangkan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh National Eye Institute of the National institutes of Health tahun 1998 yang membandingkan keuntungan operasi submakular dengan observasi, didapatkan bahwa operasi eksisi dari neovaskular koroid tidak menunjukkan keuntungan yang signifikan dibandingkan observasi. 5,9

1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan paper ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi, faktor resiko, patofisiologi, gejala klinis, diagnosis, pemeriksaan penunjang, pengobatan, dan prognosis degenerasi makula terkait usia. Selain itu penulisan paper ini juga bertujuan untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik di Departemen Kesehatan Mata , Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.4 Manfaat Penulisan Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan paper ini diantaranya : 1. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit dalam, khususnya mengenai degenerasi makula terkait usia. 2. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin memahami lebih lanjut topik-topik yang berkaitan dengan degenerasi makula terkait usia.

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Retina Retina adalah selembar tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi bagian dalam dua per tiga posterior dinding bola mata. Retina membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliare, dan akhirnya di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar 6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sistem temporal dan 5,7 mm di belakang garis ini pada sisi nasal.5,7 Secara garis besar retina dibagi atas 2 bagian: kutub posterior dan perifer yang dipisahkan oleh ekuator retina. Kutub posterior sampai ekuator retina, ini merupakan area posterior retina. Kutub posterior retina terbagi atas 2 area: optik disk dan makula lutea. Retina perifer di posterior dibatasi oleh ekuator retina dan anterior dengan oraserrata. Oraserrata merupakan batas yang paling perifer tempat retina berakhir, terbagi dalam 2 bagian; anterior pars plikata dan posterior pars plana. oraserrata juga tempat melekat vitreous dan koroid.5,7

Gambar 2.1 Ketebalan dari retina7

Secara mikroskopis lapisan retina mulai dari sisi dalamnya, adalah sebagai berikut: (1) membrana limitans interna; (2) lapisan sel saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju ke nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion; (4) lapisan pleksiformis dalam yang mengandung sambungan-sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan sel bipolar, amakrin, dan sel horisontal; (6) lapisan pleksiformis luar, yang mengandung sambungan-sambungan sel bipolar dan sel horisontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor; (8) membran limitans eksterna; (9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar batang dan kerucut; dan (10) epitelium pigmen retina. Lapisan dalam membrana Bruch sebenarnya adalah membrana basalis epitelium pigmen retina.1,5,7

Gambar 2.2 Histologi lapisan-lapisan retin

Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula. Secara klinis, makula dapat didefinisikan sebagai daerah pigmentasi kekuningan yang disebabkan oleh pigmen luteal atau xantofil. Definisi alternatif secara histologis adalah bagian retina yang lapisan ganglionnya mempunyai lebih dari satu lapis sel.5 Secara topografi makula terdiri dari umbo, foveola, fovea, parafovea, dan perifovea. Umbo adalah pusat dari foveola, secara histologis terdiri dari suatu lamina basal yang tipis, sel-sel muller dan sel kerucut. Foveola merupakan area pusat cekunan di dalam fovea, dengan lokasi 4 mm ke arah temporal dan 8 mm ke inferior dari pusat papil optik, dengan diameter sekitar 0,35 mm dan ketebalan sekitar 0,1 mm pada pusatnya. Berisi sel sel kerucut, sel sel muller, dan sel-sel glial. Fovea adalah pusat dari makula berupa cekungan dengan diameter 1,5 mm. Pada daerah ini sel kerucut akan terdorong ke rah tepi, lapisan plesiforma luar (lapisan Henle) menjadi horisontal, sedangkan seat sel muller tersusun secara miring. Di dalam fovea, dengan diameter 250600m terdapat fovea avascular zone (FAZ). Parafovea setebal 0,5 mm mengelilingi fovea. Para fovea terdiri dari sepuluh lapisan retina. Perifovea mengelilingi parafovea setebal 1,5 mm, area ini merupakan bagian yang paling luar dari makula.10

Gambar 2.3 Topografi regio makula 1. Umbo, 2. Foveola, 3. Fovea, 4. Parafovea, 5. perifovea 10

Retina menerima darah dari dua sumber : khoriokapilaris yang berada tepat di luar membrana Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk lapisan fleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoresptor, dan lapisan epitel pigmen retina; serta cabang-cabang dari sentralis retina, yang mendarahi 2/3 sebelah dalam. Fovea sepenuhnya diperdarahi oleh khoriokapilaria dan mudah terkena kerusakan yang tak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang, yang membentuk sawar darah-retina. Lapisan endotel pembuluh koroid dapat ditembus. Sawar darah retina sebelah luar terletak setinggi lapisan epitel pigmen retina.5 2.2 Fisiologi Retina Untuk melihat, mata harus berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor kompleks, dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan. 5 Retina mengandung sel batang lebih dari tiga puluh kali lebih banyak dari sel kerucut ( 100 juta sel batang dibandingkan 3 juta sel kerucut per mata). Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam.11Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna ( penglihatan fototopik) sedangkan bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik). 5 Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar yang avaskuler pada retina sensorik dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mencetuskan proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung rodopsin, yang merupakan suatu pigmen penglihatan fotosensitif yang terbentuk sewaktu molekul protein opsin
7

bergabung dengan 11-sis-retinal. Sewaktu foton cahaya diserap oleh rodopsin, 11-sis-retinal segera mengalami isomerisasi menjadi bentuk ali-trans. Rodopsin adalah suatu glikolipid membran yang separuh terbenam di lempeng membran lapis ganda pada segmen paling luar fotoreseptor. Penyerapan cahaya puncak oleh terjadi pada panjang gelombang sekitar 500 nm, yang terletak di daerah biru-hijau pada spektrum cahaya. 5,11 Penelitian-penelitian sensitivitas spektrum fotopigmen kerucut memperlihatkan puncak penyerapan panjang gelombang di 430, 540, dan 575 nm masing-masing untuk sel kerucut peka-biru, -hijau, dan merah. Namun demikian, sel sel kerucut juga berespon terhadap panjang gelombang lain dalam derajat yang berbeda-beda. Persespsi kita mengenai warna dunia bergantung pada berbagai rasio stimulasi ketiga jenis kerucut sebagai respon terhadap berbagai panjang gelombang. Suatu panjang gelombang yang tampak sebagai biru merupakan satu-satunya yang merangsang sel kerucut biru 100 %. Fotopigmen sel kerucut terdiri dari 11-sis-retinal yang terikat ke berbagai protein opsin. 5,11 Penglihatan skotopik seluruhnya diperantarai oleh fotoreseptor sel batang. Pada bentuk penglihatan adaptasi gelap ini, terlihat bermacam-macam nuansa abu-abu, tetapi warna tidak dapat dibedakan. Sewaktu retina telah beradaptasi penuh terhadap cahaya, sensitivitas spektral retina bergeser dari puncak dominasi rodopsin 500 nm ke sekitar 560 nm, dan muncul sensasi warna. Suatu benda akan berwarna apabila benda tersebut mengandung fotopigmen yang menyerap panjang-panjang gelombang dan secara selektif memantulkan atau menyalurkan panjang-panjang gelombang tertentu di dalam spektrum sinar tampak (400-700 nm). Penglihatan siang hari terutama diperantarai oleh fotoreseptor kerucut, senjakala oleh kombinasi sel kerucut dan batang, dan penglihatan malam oleh fotoreseptor batang.5,11 2.3 Degenerasi Makula terkait Usia 2.3.1 Definisi Berdasarkan American Academy of Opthalmology, degenerasi makula terkait usia adalah gangguan pada makula yang dikarakteristikkan dengan satu atau lebih dari tanda-tanda berikut: (1) terbentuknya drusen, (2) abnormalitas dari epitelium pigmen retina seperti hipopigmentasi ataupun hiperpigmentasi, (3) atrofi geografik dan
8

koriokapiler, dan (4) neovaskular makulopati.4 National Health and Nutrition Eye Study, mendefinisikan degenerasi makula terkait usia sebagai suatu keadaan dimana hilangnya refleks makular, dispersi dan penggumpalan dari pigmen retina, dan terbentuknya drusen yang berhubungan dengan ketajaman penglihatan. 6

2.3.2 Prevalensi Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah satu penyebab terbanyak

kebutaan di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang menempati urutan ke-4 sebesar 8,7%.1 Degenerasi makula terkait usia ( Age related Macular Degeneration, AMD) merupakan penyebab utama hilangnya ketajaman penglihatan dengan lebih dari 10 % pada populasi usia 65-74 tahun dan 25 % pada populasi usia lebih dari 74 tahun. Diperkirakan 15 juta warga negara Amerika Utara menderita AMD. Prevalensi AMD adalah 85-90% pada AMD non eksudatif dan 10 15 % pada eksudatif AMD. Sekitar 10 20 % dari pasien yang mengalami AMD noneksudatif akan berlanjut menjadi AMD eksudatif, akibatnya 1,75 juta pasien dengan AMD lanjut akan

kehilangan penglihatan yang disebabkan oleh efek sekunder dari neovaskular koroid dari AMD. 2

2.3.3 Faktor Risiko Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya degenerasi makula terkait usia, dimana faktor risiko yang telah banyak diteliti adalah usia, ras, riwayat keluarga, dan merokok, sedangkan beberapa faktor risiko yang mungkin lainnya adalah jenis

kelamin, status sosioekonomi, warna iris, densitas pigmen makula, katarak dan operasinya, gangguan refraksi, rasio cup/disc, penyakit kardiovaskular, hipertensi,

kadar lemak tubuh dan asupan lemak, indeks massa tubuh, faktor hematologi, infeksi Chlamydia pneumonia, reproduksi, degenerasi dermal elastotic, enzim antioksidan, paparan sinar matahari, mikronutrien, asupan ikan, dan konsumsi alkohol.6 1. Usia Usia merupakan faktor risiko yang paling berpengaruh pada degenerasi makula terkait usia. Pada Frammingham Eye Study, 6,4 % pasien usia 65-74 tahun dan 19,7 % pasien usia lebih dari 75 tahun memiliki tanda-tanda AMD. Sama dengan
9

Frammingham Eye Study,

The Eye Disease Research Prevalence Group

menemukan bahwa pasien usia di atas 80 tahun memiliki prevalensi 6 kali lipat dibandingkan dengan pasien usia 60-64 tahun.2,6 2. Ras AMD lebih sering terjadi pada pasien ras kaukasia dibandingkan dengan AfrikaAmerika yang berkulit hitam, sedangkan pada orang Asia dijumpai adanya peningkatan dibandingkan dengan dengan Afrika-Amerika yang berkulit hitam.
2,6,8,9

Penelitian kohort oleh Klein, dkk, menujukkan prevalensi AMD pada empat

ras yaitu kulit putih(kaukasia), hitam, hipanik, dan chinese pada pasien usia 45-80 tahun adalah 2,4 % pada kulit hitam, 4,2 % pada hispanik, 4,6 % pada chinese, dan 5,4% pada kulit putih (kaukasia).6 3. Riwayat keluarga Beberapa predisposisi terjadinya AMD adalah faktor genetik yaitu
6,8,9

gen CHF

(kromosom 1), BF ( komplemen faktor B), C2 (komplemen 2) (kromosom 6), dan gen LOC (kromosom 10). Sekitar 10-20% pasien dengan AMD memiliki

sekurang-kurangnya satu keluarga derajat satu yang mengalami kebutaan. Penelitian menunjukan AMD dengan kebutaan terjadi pada sedikitnya satu orang dari orangtua atau saudara dari pasien dengan AMD.2 4. Merokok Hubungan antara merokok dengan meningkatnya resiko terjadinya AMD telah dilaporkan pada beberapa penelitian. Perokok memiliki resiko 2,4 -2,5 kali menderita AMD dibandingkan dengan pasien yang tidak merokok. Hal ini dapat dijelaskan dengan menurunnya level CFH pada perokok sehingga terjadi aktivasi jalur komplemen yang mengakibatkan inflamasi pada makula.12 5. Jenis kelamin Data dari beberapa penelitian dengan populasi yang banyak, termasuk the Beaver Dam study, the Third National Health and Nutrition Examination Survey, dan the Framingham study menunjukkan bahwa wanita lebih beresiko menderita AMD dibandingkan dengan pria. 5,6,9

10

Gambar 2.4 Faktor-faktor risiko degenerasi makula terkait usia6

2.3.4 Klasifikasi 1. Degenerasi Makula tipe non-eksudatif (tipe kering) Rata-rata 90% kasus degenerasi makula terkait usia adalah tipe kering. Kebanyakan kasus ini bisa memberikan efek berupa kehilangan penglihatan yang sedang. Tipe ini bersifat multipel, kecil, bulat, bintik putih kekuningan yang di sebut drusen dan merupakan kunci identifikasi untuk tipe kering. Bintik tersebut berlokasi di belakang mata pada level retina bagian luar. Drusen adalah endapan putih kuning, bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di seluruh makula dan kutub posterior. Seiring dengan waktu, drusen dapat membesar, menyatu, mengalami kalsifikasi dan meningkat jumlahnya. Secara histopatologis sebagian besar drusen terdiri dari kumpulan lokal bahan eosinifilik yang terletak di antara epitel pigmen dan membran Bruch; drusen mencerminkan pelepasan fokal epitel pigmen.5,6,8 Berdasarkan ukurannya, drusen dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu kecil (diameter < 64m), sedang (diameter
11

64-124 m), dan besar (diameter 125 m). Berdasarkan batasnya, drusen dapat dibagi tiga yaitu keras (menyebar dan batas tegas), lunak(tidak berbentuk/amorf dan batas tidak tegas), dan konfluens (drusen yang bergabung jadi satu).2 Akhir-akhir ini klasifikasi ARMD dilakukan menurut kelompok peneliti AgeRelated Eye Disease Study (AREDS) berdasarkan ukuran drusen. Ukuran drusen dapat diperkirakan dengan membandingkannya dengan kaliber vena besar di sekitar papil yaitu kurang lebih 125 mikron. 1. ARMD dini: terdapat banyak drusen kecil ( diameter <63 ), disertai beberapa drusen sedang (diameter 63-124), atau kelainan epitel pigmen retina (EPR), 2. ARMD menengah: terdapat sangat banyak drusen sedang dan paling sedikit terdapat satu drusen besar (diameter > 125 ), atau atrofi geografikan yang tidak melibatkan sentral fovea, 3. ARMD lanjut: adanya satu atau lebih tanda berikut: i. atrofi geografikan EPR dan koriokapiler yang melibatkan sentral fovea, ii. makulopati neovaskular seperti neo-vaskularisasi koroid, hemorrhagic detachment retina sensoris atau EPR, eksudat lemak, proliferasi fibrovaskular subretina dan sikatrik disiformis. 2,4,6,13 Selain drusen, terdapat abnormalitas dari epitelium pigmen retina seperti atrofi geografik, atrofi nongeografik, dan fokal hiperpigmentasi. Atrofi geografik adalah kondisi dimana epitelium pigmen retina tidak ada yang dapat disebabkan oleh regresi dari drusen yang lunak dan konfluens. Pada daerah atrofi geografik, pembuluh darah koroid lebih tampak dan lapisan luar retina tampak lebih tipis. Apabila daerah atrofi tidak luas dan menyatu, daerah atrofi tampak seperti bercakbercak depigmentasi yang disebut sebagai atrofi nongeografik. Peningkatan pigmentasi diluar retina dapat menyebabkan fokal pigmentasi.2,4,6 2. Degenerasi Makula tipe eksudatif (tipe basah) Degenerasi makula tipe ini adalah jarang terjadi namun lebih berbahaya di bandingkan dengan tipe kering. Kira kira didapatkan adanya 10% dari semua degenerasi makula terkait usia dan 90% dapat menyebabkan kebutaan. Tipe ini ditandai dengan adanya neovaskularisasi subretina dengan tanda-tanda degenerasi makula terkait usia yang mendadak atau baru mengalami gangguan penglihatan
12

sentral termasuk penglihatan kabur, distorsi atau suatu skotoma baru. Pada pemeriksaan fundus, terlihat darah subretina, eksudat, lesi koroid hijau abu-abu di makula. Neovaskularisasi koroid merupakan perkembangan abnormal dari pembuluh darah pada epitel pigmen retina pada lapisan retina. Pembuluh darah ini bisa mengalami perdarahan dan menyebabkan terjadinya scar yang dapat menghasilkan kehilangan pusat penglihatan. Scar ini disebut dengan Scar Disciform dan biasanya terletak di bagian sentral dan menimbulkan gangguan penglihatan sentral permanen. 2,4,5,6,7,9

2.3.5 Patofisiologi AMD merupakan penyakit retina yang diturunkan secara autosomal dominan dan juga dipengaruhi oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan. Patofisiologi pasti dari AMD masih relatif sulit untuk dipahami, dimana beberapa penelitian terbaru meningkatkan pemahaman kita mengenai AMD. Penelitian-penelitian terbaru memusatkan perhatian pada kompleks epitel pigmen retina, fotoreseptor dan membran bruch. Epitel pigmen retina merupakan lapisan metabolisme aktif yang menyokong fungsi dari fotoreseptor retina. Sel pada pigmen ini memfagositosis lapisan luar dari sel fotoreseptor dan mengganti ulang secara bertahap serta memproses bahan-bahan metabolisme yang digunakan untuk fungsi fotoreseptor. 2,5,6,8,9 Seiring dengan penuaan sel pigmen retina, bahan-bahan residual intraseluler yang mengandung lipofusin bertumpuk pada sel ini. Diperkirakan

lipofusin merupakan hasil degradasi yang tidak sempurna dari bahan-bahan residual yang terperangkap pada lisosom sekunder.8 Lipofusin mengandung sedikitnya sepuluh fluorofor yang berbeda (atom flouresen pada molekul). Eldred dan Lasky (19930 mengidentifikasi A2E (N-retinyledin-N-retylethanolamin) sebagai flourofor utama yang dihasilkan melalui reaksi Schiff-base dari etanolamin dan aldehid vitamin A. Kedua substansi ini banyak terdapat di lapisan luar retina. Telah dilaporkan A2E memiliki efek toksik melalui beberapa mekanisme molekular. A2E menginduksi inhibisi enzim lisosom dengan menghambat pompa proton tergantung ATP pada lisosom yang bakhirnya kan meningkatkan pH melebihi pH lisosomal yang optimal untuk aktivitas enzim lisosom. Efek lebih lanjut dari A2E adalah efek detergen akibat
13

peningkatan

tajam konsentrasi A2E yang menginduksi disintegrasi membran-

membran pada organel khususnya lisosom dan mitokondria. Akhirnya, A2E menyebabkan efek fototoksik. 14

Gambar 2.5 Efek Molekular yang diinduksi oleh lipofusin-A2E pada sel pigmen retina14

Pada sel pigmen retina normal, bahan bahan residu akan dibuang melalui pembuluh darah koriokapiler, keadaan dimana terjadi penurunan fungsi dari sel pigmen ini akan menyebabkan deposisi bahan-bahan tersebut di antara lapisan pigmen retina dengan membran bruch, yang tampak sebagai drusen. Peneliti menemukan bahwa koriokapiler pada pasien-pasien AMD lebih tipis sehingga meningkatkan

kemungkinan penurunan klirens dari bahan-bahan ekstraseluler yang berperan dalam pembentukan drusen. Drusen terdiri dari vibronectin (plasma multifungsional dan matriks ekstraseluler), lemak, protein terkait inflamasi, amiloid terkait protein, dan bahan-bahan lain. Penelitian terbaru menyatakan bahwa pembentukan drusen dapat menginisiasi terjadinya kaskade inflamasi yang berperan pada progresi AMD. Penelitian terhadap gen menunjukkan bahwa jalur komplemen memiliki peranan
14

primer. Hubungan yang kuat anatara AMD dengan gen single nucleotide polymorfism in the complement factor H (CFH) dan PLEKHA serta LOC387715. Berlawanan dengan faktor komplemen B yang memiliki efek protektif.8,9 CFH merupakan inhibitor jalur komplemen, dimana abnormalitas dari CFH akan mengaktivasi kaskade komplemen dan selanjutnya respon inflamasi pada jaringan subretinal. Berdasarkan penelitian, drusen mengandung komponen inflamasi dari kaskade ini. Sebagai tambahan, merokok akan menurunkan kadar CFH yang secara signifikan meningkatkan resiko terjadinya AMD dibandingkan dengan orang yang tidak merokok. Pembentukan drusen bukan hanya mengindikasikan adanya

disfungsi lapisan pigmen retina tetapi juga dapat menunjukkan bahwa terdapat tanda hilangnya lapisan tersebut dan lapisan fotoreseptor retina. Degenerasi lanjut dari lapisan pigmen ini dapat menyebabkan disfungsi membran bruch yang memisahkan koriokapiler dari lapisan pigmen retina. Kerusakan pada membran bruch akan menyebabkan peningkatan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang dapat menyebabkan pertumbuhan pembuluh darah koroid abnormal (neovaskularisasi koroid) di bawah lapisan pigmen retina. Pembuluh-pembuluh darah ini dapat bocor dan menimbulkan perdarahan dan lama- kelamaan akan menyebabkan terjadinya skar. Stadium akhir dari AMD eksudatif adalah terbentuknya skar disciform pada makula yang menyebabkan kebutaan. 2,6,8,9,15

Gambar 2.6 Patogenesis AMD eksudatif15

15

2.3.6 Diagnosis 1. Anamnesis Pasien dengan AMD sering mengeluhkan penurunan penglihatan sentral penglihatan yang tidak disertai nyeri yang dpat terjadi secara akut ataupun perlahan-lahan. Pasien yang mengalami perdarahan subretinal dari

neovaskularisasi AMD pada AMD eksudatif biasanya penurunan penglihatan terjadi secara akut. Selain itu, dapat terjadi distorsi penglihatan (objek-objek terlihat salah ukuran atau bentuk, metamorfosia), garis-garis lurus mengalmi distorsia terutama di bagian pusat penglihatan, kehilangan kemampuan untuk membedakan warna secara jelas, ada daerah kosong atau gelap di pusat penglihatan (skotoma), kesulitan membaca dimana kata-kata tampak kabur atau berbayang. 2,6,8,9,12,15 2. Pemeriksaan fisik AMD biasanya terjadi bilateral tetapi sering asimetris. Ketajaman penglihatan akan menurun. Test yang dapat dilakukan adalah test Amsler grid dan tes

penglihatan warna. Test Amsler Grid, dimana pasien diminta suatu halaman uji yang mirip dengan kertas milimeter grafis untuk memeriksa luar titik yang terganggu fungsi penglihatannya. Kemudian retina diteropong melalui lampu senter kecil dengan lensa khusus (lihat lampiran 1).2,5,8,9,16 Test penglihatan warna, untuk melihat apakah penderita masih dapat membedakan warna, dan tes-tes lain untuk menemukan keadaan yang dapat menyebabkan kerusakan pada makula. 3. Pemeriksaan laboratorium Tidak ada dari hasil laboratorium yang dapat menegakkan diagnosa dari AMD.8 4. Angiografi flouresens (Flourescein Angiography, FA) FA merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya kelainan pada makula oleh karena AMD. Pada pemeriksaan ini, zat warna flouresens akan diinjeksikan secara intravenous dan foto serial dari retina akan diambil seiring perjalanan zat tersebut melalui koroid dan pembuluh darah retina. Abnormalitas yang dapat tampak adalah adanya daerah dimana zat tersebut berkumpul (hiperfluoresens) dan daerah dimana zat tersebut tidak tampak (hipofluoresens).2,6,7,8,9,17
16

Gambar 2.7 Angiografi Flouresens

Lesi hiperfluoresens2: a. Drusen lunak dan keras b. Atrofi lapisan pigmen retina c. Robekan lapisan pigmen retina (tear RPE) d. CNV (Choroidal Neovascularisation) e. Serous PED (Pigment Endohelial Detachment) f. Fibrosis subretinal g. Skar laser Lesi hipofluoresens2: a. Perdarahan b. Lemak c. Proliferasi pigmen

17

Atrofi geografik

skar laser

Tear RPE

Detachment RPE

Lemak

Skar disciform

Perdarahan pada retina

Exudative retinal Detachment

Gambar 2.8 Angiografi Flouresens pada AMD6,17

18

5. Indocyanine green angiography (ICGA)17 ICGA dapat digunakan untuk mengidentifikasi CNV yang tampak sebagai daerah hiperflouresens fokal baik hot spot atau plaque, pemeriksaan ini jauh lebih baik dibandingkan dengan FA karena beberapa alasan yaitu: a. Meningkatkan sensitivitas dalam mendeteksi CNV dimana CNV dengan adanya perdarahan densitas rendah, cairan atau pigmen yang kurang tampak pada FA b. Membedakan CNV dengan diagnosis lain yang memiliki presentasi yang sama terutama retinal angiomatous proliferation (RAP) daan central serous chorioretinopathy (CSR). c. Identifikasi vascular feeder complexes yang menyuplai daerah CNV

Gambar 2.9 Indocyanine green angiography pada AMD

6.

Optical coherence tomography (OCT) OCT sangat membantu dalam menentukan adanya cairan subretinal dan dalam menentukan tingkat ketebalan retina. OCT menawarkan kemampuan unik untuk menunjukkan gambaran cross sectional dari retina yang tidak mungkin dengan teknologi pencitraan lain dan dapat membantu dalam mengevaluasi respon dari
19

retina dan RPE terhadap terapi dengan memungkinkan pengamatan terhadap perubahan struktural secara akurat. 8,9,17

Gambar 2.10 High Defenition Optical

coherence tomography AMD noneksudatif8

Gambar 2.10 High Defenition Optical

coherence tomography AMD eksudatif8

2.3.7 Tatalaksana Tatalaksana AMD noneksudatif meliputi edukasi dan follow up, mikronutrien, perubahan gaya hidup, dan laser fotokoagulasi.2,6,8 Edukasi dan follow up merupakan hal yang penting untuk mencegah progresi AMD menjadi lebih lanjut. Penggunaan Amsler grid penting untuk tes penglihatan pada pasien dan dilakukan setiap hari. Amsler grid adalah suatu tes dengan garis-garis berwarna hitam pada latar putih
20

dengan titik fiksasi di tengah. Setiap mata diperiksa berganti-gantian dengan menggunakan kacamata baca untuk mengevaluasi adanya metamorfosia yang baru, skotoma, dan perubahan penglihatan sentral. Setiap perubahan pada Amsler grid harus dievaluasi. 2,6,8 Mikronutrien, beberapa penelitian menunjukkan kegunaan dari konsumsi mikronutrien. The Age-Related Eye Diseases Study (AREDS) telah melakukan penelitian pada pasien dengan AMD noneksudatif ringan dan sedang yang diberikan suplemen antioksidan (15 mg betakaroten, 500 mg vitamin C, vitamin E 400 IU, seng 80 mg, dan tembaga 2 mg) dengan hasil adanya penurunan progresi AMD menjadi AMD lanjut walaupun efek tersebut kecil. Data menunjukkan kegunaan lain yaitu mencegah AMD non eksudatif menjadi eksudatif. Penelitian lain oleh Rotterdam Study yang mencari hubungan asupan antioksidan dengan penurunan resiko menjadi AMD pada lebih dari 4000 orang yang berusia 55 tahun atau lebih di Belanda. Pada penelitian ini asupan tinggi betakaroten, vitamin C, vitamin E, dan seng berhubungan dengan penurunan resiko AMD pada orang usia tua. 2,4,8 Berdasarkan American Academy of Ophtalmology, suplemen mikronutrien yang disarankan adalah vitamin C 500 mg, vitamin E 400 IU per hari, betakaroten 15 mg, seng 80 mg, dan tembaga 2 mg.
4

Suplemen lain adalah omega-3 long chain [DHA], dan

polyunsaturated fatty acids (LCPUFAs:docohexaechonoic acid eicosapentaenoic acid [EPA]).

Tabel 1. Suplemen mikronutrien pada AMD4

Perubahan gaya hidup, beberapa penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup berperan dalam terjadinya AMD yaitu konsumsi makanan tinggi lemak dan
21

merokok. Pada pasien AMD disarankan untuk menurunkan berat badan dan berhenti merokok.2,8 Laser fotokoagulasi, terapi ini memiliki manfaat yang kurang bermakna, hal ini telah diteliti oleh National Eye Institute sponsored the complications of AgeRelated Macular Degeneration Prevention Trial (CAPT) yang menggunakan 1052 pasien pada 22 klinik mata.2 Berbeda dengan tatalaksana AMD noneksudatif, pada AMD eksudatif diterapi dengan medikamentosa, thermal laser photocoagulation, photodynamic therapy, dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa yang menjadi sorotan sekarang adalah anti VEGF seperti Pegaptanib sodium, Ranibizumab, Bevacizumab, Aflibercept.2,9 Pegaptanib sodium merupakan antagonis VEGF selektif yang

menstabilkan penglihatan dan mengurangi hilangnya ketajaman penglihatan serta menurunkan progresi terjadinya kebutaan. VEGF menyebabkan terjadinya

angiogenesis dan meningkatkan permeabilitas serta inflamasi, ketiga hal ini berperan dalam neovaskularisasi pada AMD eksudatif. FDA telah mencanangkan penggunaan obat anti VEGF untuk AMD eksudatif tahun 2004. Pegaptanib sodium diberikan secara intravitreal dengan dosis 0.3 mg intravitreous selama 6 minggu.2,9 Ranibizumab merupakan rekombinan IgG1-kappa isotype monoclonal antibody fragment yang berkerja dengan mengikat VEGF-A sehingga mencegah VEGF berikatan dengan reseptornya (seperti VEGFR1, VEGFR2) pada permukaan sel endotel sehingga mencegah proliferasi, kebocoran vaskular, dan pembentukan pembuluh darah baru. Ranibizumab diberikan secara intravitreal dengan dosis 0,5 mg setiap bulan dan dapat diberikan setiap 3 bulan kemudian setelah 4 suntikan. 2,9 Bevacizumab merupakan monoklonal antibodi dari murin yang

menghambat angiogenesis dengan menghambat VEGF. Secara farmakologi ekonomi, obat ini lebih menguntungkan karena memiliki harga yang lebih murah. The National Eye Institute melakukan penelitian yang membandingkan keamanan dan kegunaan dari kedua obat ini, dan didapatkan bahwa baik keamanan dan kegunaan pada kedua obat ini sama- sama menimbulkan meningkatkan ketajaman penglihatan setelah 1 tahun.

22

Bevacizumab diberikan secara intravitreal dengan dosis 1.25 mg (dalam 0.05mL ) setiap bulan. 2,9

larutan

Aflibercept berikatan dan mencegah aktivasi VEGF dan PIGF (placental growth factor). Aktivasi VEGF-A dan PIGF akan menyebabkan terjadinya neovaskularisasi. Aflibercept diberikan secara intravitreal dengan dosis 2 mg (0,05 ml) setiap bulan selama 3 bulan pertama, dan 2 mg setiap 2 bulan. 9 Thermal laser photocoagulation biasanya digunakan untuk CNV diluar fovea dan untuk terapi beberapa varian dari AMD eksudatif termasuk retinal

angiomatous proliferation (RAP) dan polypoidal choroidal vasculopathy. Walaupun data dari MPS untuk subfoveal CNV menyatakan bahwa laser fotokoagulasi lebih baik dari observasi tetapi kebanyakan dokter tidak melakukannya karena menginduksi skotoma sentral iatrogenik. 9 Photodynamic therapy(PDT), untuk mencegah skotoma pada subfoveal CNV, para dokter beralih ke PDT. Setalh menginjeksikan tinta fotosensitif dan

menunggu sampai tinta untuk mengkonsentrasi CNV patologis, fotosensitisiser akan terstimulasi oleh cahaya dengan panjang gelombang spesifik yang di arahkan ke CNV. Tinta akan bereaksi dengan air untuk menghasilkan oksigen dan radikal bebas

hidroksil yang kemudian akan menginduksi oklusi dari pembuluh darah patologis akibat aktivasi masif dari platelet dan thrombosis. Tinta yang dapat digunakan adalah verteporfirin. Verteporfirin merupakan porfirin yang dimodifikasi dengan tingkat absorpsi pada 689 nm yang diberikan secara intravena sampai 10 menit. 9 Tindakan pembedahan submakular tidak menunjukkan mamfaat yang signifikan dibandingkan observasi. Hal ini telah diteliti oleh National Eye Institute yang membandingkan tindakan pembedahan dengan observasi selama 2 tahun. 9 2.3.8 Diagnosis Banding Diagnosis banding AMD noneksudatif adalah sebagai berikut 2,6,8,17: a. Central Serous Retinopathy (CSC) dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif dengan usia di bawah 50 tahun, apabila lebih dari 50 tahun, CSC dibedakan dengan tidak adanya drusen, atrofi lapisan pigmen retina (RPE), dan serous detachment RPE multipel.

23

b. Pattern dystrophy of RPE dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif dengan adanya pewarnaan kuning lambat pada pemeriksaan FA dan bisa pada pasien muda. c. Toksisitas obat seperti klorokuin yang dapat dibedakan dengan AMD noneksudatif dengan adanya riwayat penggunaan obat dan tidak dijumpai adanya drusen ukuran besar. Diagnosis banding AMD eksudatif adalah sebagai berikut2,6,9,17: a. Makroaneurisma arteri retina b. Vitelliform detachments c. Polypoidal choroidal vasculopathy d. Central serous chorioretinopathy e. Inflammatory conditions f. Small tumor such as choroidal melanoma

2.3.9 Prevensi Beberapa prevensi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya AMD adalah dengan tidak merokok baik aktif maupun pasif, melindungi mata dari paparan sinar matahari dengan menggunakan kacamata hitam ataupun topi, mengkonsumsi makanan yang mengandung antioksidan yang tinggi, mengkonsumsi ikan 1-2 ekor per hari, mengkonsumsi sayuran hijau seperti bayam setiap hari, konsumsi sumplemen tambahan yang mengandung asam folat 2,5 mg/hari, piridoksin 50 mg/hari, dan vitamin B12 1 mg/hari.2,8,9,12 2.3.10 Prognosis
Perkembangan kehilangan penglihatan pada AMD noneksudatif bervariasi dan harus dievaluasi secara individual. Gambaran oftalmoskopik dari makula tidak berkorelasi langsung dengan derajat kehilangan penglihatan. Keterlibatan foveal tampaknya terjadi di awal proses atrofik, tetapi interval rata-rata dari pengamatan pertama hingga kebutaan adalah 9 atau 10 tahun.12 Prognosis untuk AMD noneksudatif secara signifikan lebih baik daripada

prognosis untuk AMD eksudatif. Pasien mungkin mengalami perburukan ketajaman penglihatan tapi terjadi secara perlahan-lahan.9

24

The Age-Related Eye Disease Study (AREDS) membuat skala berdasarkan ada atau tidaknya kelainan retina pada masing-masing mata yaitu 2: a. Terdapat satu atau lebih drusen ukuran besar (1 poin) b. Terdapat gangguan pigmen (1 poin) c. Pada pasien tanpa drusen ukuran besar, terdapat drusen ukuran sedang (1 poin) d. Terdapat neovaskular AMD (2 poin)
Faktor-faktor risiko dijumlahkan pada kedua mata dan dijumpai angka 0-4 yang dapat digunakan untuk perkiraan resiko untuk menjadi AMD lanjut dalam 5 -10 tahun.

Risiko 5 tahun mendatang 0 faktor 1 faktor 2 faktor 3 faktor 4 faktor 0,5 % 3% 12% 25 % 50 %

Risiko 5 tahun mendatang 1% 7% 22 % 50 % 67 %


2

Tabel 2.1 Risiko 5 tahun dan 10 tahun AMD menjadi AMD lanjut

25

BAB 3 KESIMPULAN

Degenerasi makula terkait usia sebagai suatu keadaan dimana hilangnya refleks makular, dispersi dan penggumpalan dari pigmen retina, dan terbentuknya drusen yang berhubungan dengan ketajaman penglihatan.6 Berdasarkan WHO perkiraan pada tahun 2002, salah
satu penyebab terbanyak kebutaan di dunia adalah degenerasi makula terkait usia yang menempati urutan ke-4 sebesar 8,7%. 1Degenerasi makula terkait usia ( Age related Macular Degeneration, AMD) merupakan penyebab utama hilangnya ketajaman penglihatan pada satu atau dua mata pada orang berusia di atas 50 tahun di Amerika Serikat. Diperkirakan 15 juta warga negara Amerika Utara menderita AMD. Prevalensi AMD adalah 85-90% pada AMD non eksudatif dan 10 15 % pada eksudatif AMD. Di Indonesia sendiri, hingga saat ini belum ada data pasti tentang insidens dan angka morbiditas.2

Etiologi pasti dari degenerasi makula masih belum jelas, tetapi terdapat berberapa faktor risiko terjadinya degenerasi makula terkait usia, dimana faktor risiko yang telah banyak diteliti adalah usia, ras, riwayat keluarga, dan merokok, sedangkan beberapa faktor risiko yang mungkin lainnya adalah jenis kelamin, status sosioekonomi, warna iris, densitas pigmen makula, katarak dan operasinya, gangguan refraksi, dll. 6 Degenerasi makula dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu degenerasi makula eksudatif dan degenerasi makula noneksudatif. 90 % dari degenerasi makula adalah degenerasi makula noneksudatif yang ditandai dengan adanya drusen, yang merupakan endapan putih kuning, bulat, diskret, dengan ukuran bervariasi di belakang epitel pigmen dan tersebar di seluruh makula dan kutub posterior. Sedangkan 10 % lainnya adalah makula degenersi eksudatif yang sering ditandai dengan adanya neovaskularisasi dari koroid. 5,6,8 Degenerasi makula dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinis seperti pandangan mata kabur, skotoma, metamorphosia, kehilangan ketajaman penglihatan, kehilangan kemampuan membaca dan pada degenerasi makula eksudatif kehilangan penglihatan dapat terjadi secara tiba-tiba. Pemeriksaan tambahan yang mungkin berguna adalah Amsler grid, angiografi flouresen, Indocyanine green angiography (ICGA), dan Optical coherence tomography. 2,6,8,9,12,15 Tatalaksana pada degenerasi makula tergantuk dari klasifikasi noneksudatif maupun eksudatif. Tatalaksana AMD noneksudatif meliputi edukasi dan follow up, mikronutrien, perubahan gaya hidup, dan laser fotokoagulasi. Berbeda dengan tatalaksana AMD noneksudatif,
26

pada AMD eksudatif diterapi dengan medikamentosa, thermal laser photocoagulation, photodynamic therapy, dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa yang menjadi sorotan sekarang adalah anti VEGF seperti Pegaptanib sodium, Ranibizumab, Bevacizumab, Aflibercept
2,6,8,9.

Prognosis untuk AMD noneksudatif secara signifikan lebih baik daripada prognosis untuk

AMD eksudatif. Pasien mungkin mengalami perburukan ketajaman penglihatan tapi terjadi secara perlahan-lahan.9

27

DAFTAR PUSTAKA 1. Jenny, Rahmalita. 2011. Prevalensi Kebutaan Akibat Kelainan Retina Di Kabupaten Langkat. Available at: http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/22961 [Accesed on August, 10] 2. Regillo, Carl D. 2011-2012. Retina and Vitreous : Age Related Macular Degeneration. American Academy of Ophtalmology. 3. Elvioza, dkk. Prevalensi dan Karakteristik Faktor Risiko Pada Kejadian Age Related Macular Degeneration di Jakarta Timur. Available at: http://mru.fk.ui.ac.id/index.php?uPage=profil.profil_detail&smod=profil&sp=public&idp enelitian=1498[Accesed on August, 10] 4. American Academy of Ophtalmology. 2008. Age Related Macular Degeneration PPP. Available at: http://one.aao.org/CE/PracticeGuidelines/PPP_Content.aspx?cid=f413917a8623-4746-b441-f817265eafb4[Accesed on August, 10] 5. Flethcer, Emily dan Victor Chong. 2007. Retina. In Oftalmologi Umum Vaughan dan Asbury. Mc Graw Hill. 6. Lim, Jenifer. 2008. Age Related Macular Degeneration Second Edition. New York: Informa Healthcare USA, Inc. 7. Lang K, Gerrald. 2000. Ophtalmology : Age Related Macular Degeneration. New York: Georg Thieme Verlag. 8. Maturi, Raj K. 2012. Nonexudative ARMD. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1223154-overview. [Accesed on August, 10] 9. Prall, Ryan. 2012. Exudative ARMD. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1226030-clinical. [Accesed on August, 10] 10. Effendi, Raden Gunawan. 2008. Idiophatic Macular Hole. Jurnal Oftalmologi Indonesia 6(3): 158-168. 11. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: EGC. 12. Cavallerano, Anthony, John P.Cummings, Paul B.Freeman, dkk. 2004. Care of the Patient wih Age Related Macular Degeneration. American Optometric Association. 13. Erry.2009. Karakteristik Klinik Penderita ARMD di Rumah Sakit Mata Cicendo Bandung. CDK 36(1): 28-30. 14. Holz G., Frank, Danielle Pauleikhoff, Richard.F. Spaide, dan Alan.C.Bird.2004. Age Related Macular Degeneration. Germany: Springer. 15. James, Bruce, Chris Chew, Anthony Bron. Lecture Note: Ophtalmology. Blackwell Publishing. 16. American Macular Degeneration Foundation. Amsler Chart to Test Your Sight. Available at: http://www.macular.org/chart.html [Accesed on August, 10] 17. Kanski, Jack J dan Brad Bowling. 2011.Clinical Ophthalmology, A Systematic Approach. China: Elsevier.

28

You might also like