You are on page 1of 37

CASE REPORT Dampak Kekerasan Rumah Tangga terhadap Anak

DISUSUN OLEH: FITRIYAH SABRINA 1102008107

BLOK ELEKTIF DOMESTIC VIOLENCE KELOMPOK 5 PEMBIMBING : dr. TRI AGUS HARYONO Sp.M

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI 2012 2013

ABSTRAK
Background : Domestic violence had increased rates of him every which most of the victims were the wife and son of the actor who has done both physical violence, psychological, sexual, violent or economically. Case description: There was a commotion between Tn. With Ny., Then Tn. also do violence on their children, the Nn. Ms. threats that followed. Feeling depressed at the time of his mother's testimony for the defense attorney Ny Ny suspect injustice has occurred during the trial and sentencing. Methods :Qualitative methods with case studies. Subjects in the study were victims of domestic violence who had joined theLembaga Penegak Hukum (LBH ) APIK at Jakarta.Discussion: A child who is made the object of violence by the father will feel pressured plus the event the child is threatened when trying to defend the truth about his mother who had been abused by her father in front of his eyes. The child was frightened, insecure, tense, so behave like someone who is mentally deranged. Conclusion: the psychological impact will cause psychological trauma, fear, insecurity, resentment, decreased enthusiasm for learning, concentration, creativity, loss of initiative, and endurance (mental) students, decreased self-esteem, inferiority, stress, depression. In the long run, the impact can be seen from the decline in achievement, behavior change is settled. Physical impacts can result from how hard maltreatment to the child. there are several levels, but noticeable impact is the psychological impact that is generally quite heavy and require the intervention of professionals both in health, psychology and law. Religion teaches us to be good parents to their children and vice versa.

LATAR BELAKANG Tindak kekerasan di dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan jenis kejahatan yang kurang mendapatkan perhatian dan jangkauan hukum. Tindak kekerasan di dalam rumah tangga pada umumnya melibatkan pelaku dan korban diantara anggota keluarga di dalam rumah tangga, sedangkan bentuk tindak kekerasan bisa berupa kekerasan fisik dan kekerasan verbal (ancaman kekerasan). Pelaku dan korban tindak kekerasan didalam rumah tangga bisa menimpa siapa saja, tidak dibatasi oleh strata, status sosial, tingkat pendidikan, dan suku bangsa.Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2004 tentang PKDRT pada pasal 1 butir 1 menyebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, 4 dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Demikian juga pada pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (a) Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri); (b) Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf a karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau (c) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga). 4,5

Tabel Jenis kekerasan dalam KDRT tahun 2010 16

N o 1 2 3 4 5 6 7 8

Jenis Kekerasan Fisik,Psikis Fisik,Psikis dan Ekonomi Fisik,Psikis,Ekonomi dan Seksual Fisik,Psikis dan Seksual Psikis Psikis,Ekonomi Psikis,Ekonomi dan Seksual Psikis,Seksual Total

Jumlah (Persentase) 41 (13.05%) 59 (18.78%) 13 (4.14%) 4 (1.27%) 85 (27.07%) 105 (33.43%) 5 (1.59%) 3 (0.95%) 314 (100%)

Pada saat ini di Indonesia berbagai masalah seakan tidak pernah berhenti, mulai dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, krisis politik yang berkelanjutan, kerusuhan hingga perseteruan di antara kelompok, golongan maupun aparat negara yang saat ini sedang marak. Masalah sosial sudah menjadi topik yang hangat dibicarakan, misalnya masalah kemiskinan, kejahatan dan juga kesenjangan sosial, begitu pula dengan berbagai kasus kekerasan yang kerap terjadi belakangan ini. Setiap bulannya terdapat 30 kasus kekerasan yang diadukan oleh korbannya kepada lembaga konseling Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Sebanyak 60% merupakan korban kekerasan ringan, berupa kekerasan verbal atau caci maki, sedangkan 40% sisanya mengalami kekerasan fisik hingga seksual. Kasus kekerasan terhadap pria, wanita bahkan anakpun sering menjadi headline di berbagai media. Namun, banyak kasus yang belum terungkap, karena kasus kekerasan ini dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting, terutama masalah kekerasan yang terjadi pada anak-anak. Begitu banyak kasus kekerasan yang terjadi pada anak tetapi hanya sedikit kasus yang ditindaklanjuti. Padahal, seorang anak merupakan generasi penerus bangsa kehidupan masa kecil anak sangat berpengaruh terhadap sikap mental dan moral anak ketika dewasa nanti. Kenyataannya, masih banyak anak Indonesia yang belum memperolehjaminan terpenuhi hak-haknya, antara lain banyak yang menjadi korban kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah, diskriminasi, dan perlakuan tidak manusiawi. Semua tindakan kekerasan kepada anak-anak direkam dalam bawah sadar mereka dan dibawa sampai kepada masa dewasa, dan terus sepanjang hidupnya. Tindakan-tindakan di atas dapat dikategorikan sebagai child abuse atau perlakuan kejam terhadap anak-anak. Child abuse itu sendiri berkisar sejak pengabaian anak sampai kepada perkosaan dan pembunuhan. Terry E. Lawson, psikiater anak membagi child abuse menjadi 4 (empat) macam, yaitu emotional abuse, terjadi ketika si ibu setelah mengetahui anaknya meminta perhatian, mengabaikan anak itu. Si ibu membiarkan anak basah atau lapar karena ibu terlalu sibuk atau tidak ingin diganggu pada waktu itu. Si ibu boleh jadi mengabaikan kebutuhan anak untuk dipeluk atau dilindungi. Untuk meminimalisir angka kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, yang sering menjadi korban adalah pihak yang lemah, dalam hal ini perempuan dan anak-anak. Sebenarnya pemerintah juga sudah turut serta dalam menekan angka kekerasan dalam

rumah tangga, diantaranya dikeluarkan Peraturan Perundang-undangan yang berupaya memberikan jaminan hukum kepada para korban. Yaitu diantaranya adalah 1: 1.UU No: 4/1974: Kesejahteraan Anak. 2.UU No: 23/2002: Perlindungan Anak. 3.UU No: 3/1997: Pengadilan Anak. 4.Keppres No:36/1990: Ratifikasi Konversi Hak Anak. 5.UU No:23/2004: Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Secara yuridis-formal undang-undang tersebut telah memiliki legitimasi hukum yang cukup kuat, dalam hal ini untuk meminimalisir dan member kepastian hukum, jika di dalam masyarakat masih ditemukan adanya tindak kekerasan dalam rumah tangga, yang dalam hal ini sering menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. DISKUSI 1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Definisi Undang-Undang no. 23 tahun 2004 adalah undang-undang yang mengatur mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dalam undangundang ini disebutkan bahwa Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan yang melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Undang-undang ini menjelaskan beberapa istilah penting seperti 5: 1. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh Negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. 2. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga. 3. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. 4. Perlindungan sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. 5. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan untuk memberikan perlindungan kepada korban. Adapun pengertian rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi: 1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri). 2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud dalam huruf (1) karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan).

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (pekerja rumah tangga). Menurut WHO (WHO,1999), yang dimaksud dengan kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman, atau tindakan terhadap diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang mengakibatkan atau kemungkinan besar mengakibatkan memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekuatan fisik dan kekuasaan harus dilihat dari segi pandang yang luas mencakup tindakan atau penyiksaan secara fisik, psikis/emosi, seksual dan kurang perhatian (neglected) 2. Menurut BPKP 2004, Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau Domestic Violence adalah suatu penyalahgunaan secara fisik, seksual, ekonomi, atau psikologis terhadap seseorang, pasangan, atau anggota keluarga yang lain dalam suatu rumah tangga. Pola sikap ini ditandai oleh adanya penyalahgunaan kekuatan dan kontrol/pengawasan oleh seseorang kepada orang lain yang masih memiliki hubungan yang dekat. Dapat terjadi dalam hubungan dalam gender yang sama dan berlainan.8 CDC Atlanta dan Komite Nasional (1998) pencegahan trauma di Amerika Serikat menggunakan istilah kekerasan oleh mitra dekat (Intimate partner violence) yang mencakup di dalamnya kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan oleh mitra dekat adalah ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap mitra dekat yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan kematian, trauma dan hal-hal yang berbahaya yang mencakup kekerasan fisik, psikologis/emosional dan seksual. Yang dimaksud dengan mitra adalah suami atau istri, dating partner/pacar, bekas istri dan bekas pacar.2

Insiden Catatan awal tahun 2004 yang dilansir oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), memperlihatkan pada tahun 2003 telah terjadi 5.934 kasus kekerasan terhadap perempuan. Sebanyak 2.703 di antaranya adalah kasus KDRT, dengan korban terbanyak adalah istri, yaitu 2.025 kasus (75%).3 Dibandingkan tahun 2009, kasus KDRT pada tahun 2010 ini meningkat sekitar 6,25%. Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) umumnya dilakukan oleh suami. Lembaga non pemerintah Mitra Perempuan mencatat sepanjang tahun 2005, 86,81% kasus kekerasan yang dialami perempuan adalah KDRT dan 77,36% dari kasus itu pelakunya adalah para suami. Selain suami, KDRT juga dilakukan oleh mantan suami (3,08%), orang tua atau mertua serta saudara (6,15%), majikan (0,22%), dan pacar/teman dekat (9,01%).2 Tindakan kekerasan terhadap perempuan terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Selama tahun 2004, kekerasan terhadap perempuan meningkat hamper 100% yaitu menjadi 14.020 kasus dibanding tahun sebelumnya yang cuma

7.787 kasus. Angka-angka di atas harus dilihat dalam konteks fenomena gunung es, dimana kasus yang tampak hanyalah sebagian kecil saja dari kejadian yang sebenarnya. Apalagi angka-angka tersebut hanya didapatkan dari jumlah korban yang melaporkan kasusnya ke 303 organisasi peduli perempuan. Data juga mengungkapkan, rata-rata mereka adalah penduduk perkotaan yang memiliki akses dengan jaringn relawan dan memiliki pengetahuan memadai tentang KDRT. 6,7

Faktor Pencetus Kekerasan dalam rumah tangga dapat timbul sebagai akibat dari kombinasi dan interaksi multifaktorial antara faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi dan politis seperti riwayat kekerasan, kemiskinan, komflik bersenjata, namun dipengaruhi pula oleh beberapa faktor risiko dan faktor protektif. Kekerasan terhadap perempuan sebagai korban terbanyak dari tindak kekerasan dalam rumah tangga sangat dipengaruhi oleh ketimpangan gender. Budaya yang mempunyai peran gender yang kaku, yang mengaitkan keperkasaan pria dengan dominasi dan kendalinya terhadap wanita. Kunci utama untuk memahami KDRT dari perspektif gender adalah untuk memberikan apresiasi bahwa akar masalah dari kekerasan tersebut terlrtak pada kekuasaan hubungan yang tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan yang terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh pihak laki-laki. Adapun faktor pencetus terjadinya kekerasan adalah4,5: a) Faktor individu: Menurut survey di Amerika Serikat mereka yang mempunyai risiko lebih besar mengalami kekerasan dalam rumah tangga adalah:
1) Wanita yang single, bercerai atau ingin bercerai.

2) Berumur 17 28 tahun. 3) Mempunyai partner dengan sifat memiliki dan cemburu berlebihan. 4) Ketergantungan obat atau alkohol atau riwayat ketergantungan kedua zat itu. 5) Sedang hamil. b) Faktor keluarga: 1) Kehidupan keluarga yang kacau tidak saling mencintai dan menghargai, serta tidak menghargai peran wanita. 2) Kurang ada keakraban dan hubungan jaringan sosial pada keluarga. 3) Sifat kehidupan keluarga inti bukan keluarga luas. c) Faktor masyarakat: 1) Urbanisasi dan kesenjangan pendapatan di antara penduduk kota. 2) Kemiskinan. 3) Lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas tinggi. 4) Masyarakat keluarga ketergantungan obat.

Menurut Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Erlangga Masdiana, kekerasan itu sangat dipengaruhi ideologi dan pemahaman budaya masyarakat setempat. Di hampir sebagian besar masyarakat Indonesia, perempuan dianggap orang nomor dua dalam rumah tangga sehingga memiliki hak yang kurang dibanding lakilaki. Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh multifactor. Faktor terpenting adalah soal ideologi dan culture (budaya), dimana perempuan cenderung dipersepsikan sebagai orang nomor dua dan bisa diperlakukan dengan cara apa saja. Ideologi dan kultur itu juga muncul karena transformasi pengetahuan yang diperoleh dari masa lalu. Sebagai contoh, zaman dulu, anak diwajibkan tunduk pada orang tua, tidak boleh mendebat sepatah katapun, sehingga kekerasan terhadap anak kerap terjadi. 8

Siklus KDRT Kekerasan dalam rumah tangga biasanya terjadi mengikuti suatu siklus tertentu. Hal ini dikarenakan pada umumnya korban KDRT menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya merupakan kekhilafan sesaat. Sehingga KDRT biasanya terjadi dalam pola berikut ini: 1) Tindak kekerasan/pemukulan: pelaku melakukan kekerasan terhadap pasangannya. 2) Permintaan maaf: pelaku menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada korban. 3) Bulan madu: pelaku menunjukkan sikap mesra kepada pasangannya, seolah-olah tidak pernah melakukan kekerasan. 4) Konflik: periode mesra akan berakhir ketika terjadi konflik yang kemudian membawa pelaku untuk melakukan kekerasan lagi, dan seterusnya. Dari pola ini dapat diperhatikan bahwa hubungan antara perempuan dan pasangannya selalu diliputi oleh rasa cinta, harapan dan teror. Rasa cinta dan sayang kepada pasangan, berusaha memaklumi dan mencoba untuk mengerti, serta berusaha menganggap bahwa kekerasan timbul akibat kekhilafan yang bersifat sesaat. Korban juga berharap bahwa pasangannya akan berubah menjadi baik, sehingga ketika pelaku meminta maaf dan bersikap mesra lagi harapan tersebut terpenuhi untuk sementara waktu. Hal inilah yang menyebabkan KDRT biasanya berulang, sehingga hal ini menimbulkan rasa terancam pada korban bahwa setiap saat ia mungkin dianiaya lagi, ketakutan ditinggal dan sakit hati atas perlakuan pasangannya.8

Bentuk-Bentuk KDRT Menurut UU No 23 tahun 2004, beberapa bentuk kekerasan dalam rumah tangga, yaitu:3

1) Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.

2) Kekerasan psikis Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. 3) Kekerasan seksual Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang berupa pemaksaan hubungan seksual, pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar dan/atau tidak disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual meliputi: Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. 4) Penelantaran rumah tangga Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Menurut Munin A (1997), kekerasan rumah tangga dapat terjadi dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi.4,5 1) Secara Fisik Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada tubuh istri hingga menyebabkan kematian. Kekerasan dalam rumah tangga mencakup: menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya. 2) Secara Psikologis Kekerasan psikologis adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan untuk bertindak dan tidak berdaya. Kekerasan psikis ini, apabila sering terjadi maka dapat mengakibatkan istri semakin tergantung pada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Di sisi lain, kekerasan psikologis juga dapat memicu dendam dihati istri.Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga termasuk penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan,

melarang istri mengunjungi saudara maupun teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan lain-lain. 3) Secara Seksual Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang berhubungan dengan memaksa istri untuk melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau bahkan tidak memenuhi kebutuhan seksual istri.Kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan hubungan seksual. 4) Secara Ekonomi Kekerasan ekonomi adalah suatu tindakan yang membatasi istri untuk bekerja di dalam atau di luar rumah untuk menghasilkan uang dan barang, termasuk membiarkan istri yang bekerja untuk dieksploitasi, sementara suami tidak memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian suami juga tidak memberikan gajinya pada istri karena istrinya berpenghasilan, suami menyembunyikan gajinya,mengambil harta istri, tidak memberi uang belanja yang mencukupi, atau tidak memberi uang belanja sama sekali, menuntut istri memperoleh penghasilan lebih banyak, dan tidak mengijinkan istri untuk meningkatkan karirnya. Kekerasan terjadi berupa tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja atau membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.

Pemeriksaan Fisik Pada Korban KDRT Banyak wanita menganggap kekerasan dalam rumah tangga sebagai suatu hal yang tabu. Itulah mengapa mereka cenderung menutupi penderitaan fisik dan psikologis yang dilakukan pasangannya. Adanya sikap posesif terhadap korban ataupun perilaku mengisolasi korban dari dunia luar dapat dilihat sebagai tanda awal KDRT. Korban biasanya tampak depresi, sangat takut pada pengunjung/pasien lainnya dan yang merawatnya, termasuk pegawai rumah sakit. Perhatikan perubahan sikap korban. Mereka akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Mereka umumnya tak ingin orang sekitarnya melihat tanda-tanda kekerasan pada diri mereka. Kontak mata biasanya buruk. Korban menjadi pendiam. Korban harus diperiksa secara menyeluruh untuk memeriksa dengan teliti tanda-tanda kekerasan yang pada umumnya tersembunyi. Sebagai contoh, kulit kepala dapat menunjukkan tanda-tanda kekerasan. Korban juga akan mencoba untuk menyembunyikan atau menutupi lukalukanya dengan memakai riasan wajah tebal, leher baju yang tinggi, rambut palsu atau perhiasan.

Karakteristik Luka Orang yang mendapat siksaan fisik dari pasangannya tak jarang mengalami cedera. Hanya saja mereka cenderung menutupinya dengan mengatakan bahwa luka tersebut

akibat terjatuh, atau kecelakaan umum. Untuk membedakannya, perlu diketahui cirriciri khusus luka akibat kekerasan yang dilakukan dalam rumah tangga.Karakteristik luka yang disebabkan oleh adanya KDRT, biasanya menunjukkan gambaran sebagai berikut: 1) Luka bilateral, terutama pada ekstremitas. 2) Luka pada banyak tempat. 3) Kuku yang tergores, luka bekas sundutan rokok yang terbakar, atau bekas tali yang terbakar. 4) Luka lecet, luka gores minimal, bilur. 5) Perdarahan subkonjungtiva yang diduga karena adanya perlawanan yang kuat antara korban dengan pelaku. Distribusi Luka Luka-luka pada KDRT biasanya mempunyai distribusi tertentu, sebagai berikut:
1. Luka pada domestic violence biasanya sentral.

2. Tempat luka yang umum adalah daerah yang biasanya tertutup oleh pakaian (misalnya dada, payudara dan perut). 3. Wajah, leher, tenggorokan dan genitalia juga tempat yang sering mengalami perlukaan. 4. Lebih dari 50% luka disebabkan karena kekerasan pada kepala dan leher. Pelaku laki-laki menghindari untuk menyerang wajah, tetapi kemudian memukul kepala bagian belakang. 5. Luka pada wajah dilaporkan pada 94% korban domestic violence. 6. Trauma pada maxillofacial termasuk luka pada mata dan telinga, luka pada jaringan lunak, kehilangan pendengaran, dan patah pada mandibula, patah tulang hidung, orbita dan zygomaticomaxillary complex. Luka karena perlawanan, misalnya patah tulang, dislokasi sendi, keseleo, dan atau luka memar dari pergelangan tangan atau lengan bawah dapat mendukung adanya tanda dari korban untuk menangkis pukulan pada wajah atau dada. Termasuk luka pada bagian ulnar dari tangan dan telapak tangan (yang mungkin digunakan untuk menahan serangan). Luka lain yang umum ada termasuk luka memar pada punggung, tungkai bawah, bokong, dan kepala bagian belakang (yang disebabkan karena korban membungkuk untuk melindungi diri). Luka lecet yang banyak atau luka memar pada tempat yang berbeda sering terjadi memperkuat kecurigaan adanya domestic violence. Peta tubuh dapat membantu penemuan fisik adanya kekerasan termasuk dengan memperhatikan kemungkinan tanda-tanda kekerasan pada daerah-daerah yang tersembunyi. Terdapatnya luka yang banyak dengan tahap penyembuhan yang bervariasi memperkuat dugaan adanya KDRT yang berulang.

Kekerasan Selama Kehamilan

Kekerasan umumnya meningkat selama kehamilan. Luka-luka kekerasan yang terjadi selama kehamilan biasanya terdapat pada bagian payudara atau perut. Pasien juga dapat memperlihatkan trauma pada genitalia, nyeri yang tidak dapat dijelaskan, serta kekurangan gizi. Kekerasan selam kehamilan dapat membawa dampak yang fatal bagi ibu maupun janin, seperti aborsi spontan yang tidak dapat dijelaskan, keguguran, atau kelahiran prematur. Penganiayaan Seksual Penganiayaan seksual merupakan salah satu bentuk KDRT yang kerap terjadi. Penganiayaan seksual dilaporkan oleh 33% - 46% wanita yang mengalami kekerasan fisik. Bagi korban penganiayaan seksual perlu dilakukan pemeriksaan untuk menemukan bukti penganiayaan seksual jika diindikasikan oleh gambaran klinik. Beberapa bukti dari luka genital seperti hematom vagina, luka lecet kecil pada vagina, atau benda asing pada rectovagina, dapat diajukan untuk menentukan kekerasan seksual. Adanya darah yang mengering dan semen juga harus dicatat. Perlu diindentifikasi pula adanya penyakit menular seksual yang dapat diduga akibat kekerasan seksual. Akibat Kekerasan Kekerasan terhadap perempuan menimbulkan berbagai dampak yang merugikan. Dampak kekerasan terhadap perempuan itu sendiri adalah: mengalami sakit fisik, tekanan mental, menurunnya rasa percaya diri dan harga diri, mengalami rasa tidak berdaya, mengalami ketergantungan pada suami yang sudah menyiksa dirinya, mengalami stres pasca trauma, mengalami depresi, dan keinginan untuk bunuh diri. Dampak kekerasan terhadap pekerjaan perempuan adalah kinerja menjadi buruk, lebih banyak waktu dihabiskan untuk mencari bantuan psikolog ataupun psikiater, dan merasa takut kehilangan pekerjaan. Dampaknya bagi anak adalah: kemungkinan kehidupan anak akan dibimbing dengan kekerasan, peluang terjadinya perilaku yang kejam pada anak-anak akan lebih tinggi, anak dapat mengalami depresi, dan anak berpotensi untuk melakukan kekerasan pada pasangannya apabila telah menikah karena anak mengimitasi perilaku dan cara memperlakukan orang lain sebagaimana yang dilakukan oleh orang tuanya.15 Selain itu, KDRT juga menambah resiko jangka panjang untuk terjadinya gangguan kesehatan lainnya sebagai dampak dari KDRT itu sendiri. Berbagai akibat kekerasan tersebut dikelompokkan sebagai berikut :7 1. Akibat Fisik a) Kematian akibat kekerasan fisik, pembunuhan atau bunuh diri. b) Trauma fisik berat: memar berat luar/dalam, patah tulang, kecacatan. c) Trauma fisik dalam kehamilan, yang beresiko terhadap ibu dan janin (abortus, kenaikan berat badan ibu tidak memadai, infeksi, anemia, BBLR). d) Kehamilan yang tak diinginkan dan kehamilan dini akibat perkosaan atau kebebasan dalam mengikuti KB, yang dapat diikuti dengan tindakan aborsi, tertular PMS, HIV/AIDS atau komplikasi kehamilan, termasuk sepsis, aborsi spontan, dan kehamilan prematur.

e) Meningkatnya resiko terhadap kesakitan, misalnya gangguan ginekologis, perdarahan pervaginam berat, PMS, infeksi saluran kencing, dan gangguan pencernaan. 2. Akibat Nonfisik a) Gangguan mental, misalnya depresi, ketakutan dan cemas, rasa rendah diri, kelelahan kronis, sulit tidur, mimpi buruk, disfungsi seksual, gangguan makan, ketagihan alkohol dan obat, atau mengisolasikan dan menarik diri. b) Pengaruh psikologis terhadap anak karena menyaksikan kekerasan, misalnya kelak cenderung melakukan kekerasan terhadap pasangannya. 3. Pengaruh Terhadap Masyarakat a) Bertambahnya biaya pemeliharaan kesehatan untuk akibat fisik/nonfisik dari kekerasan terhadap perempuan. b) Efek terhadap produktivitas, misalnya mengakibatkan berkurangnya kontribusi kepada masyarakat, kemampuan realisasi dan cuti sakit bertambah. c) Kekerasan terhadap perempuan di lingkungan sekolah dapat mengakibatkan putus pendidikan karena terpaksa keluar sekolah. Undang-Undang yang Berkaitan dengan KDRT Dengan telah disahkan Undang-Undang No.23 tahun tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, diharapkan adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan dalam rumah tangga. 5 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga, sebagai berikut : 14
1) Pasal 351 356 KUHP mengatur penganiassyaan, yang berarti hanya terbatas pada

kekerasan fisik. Pasal-pasal ini hanya mengatur sanksi pidana penjara atau denda dan sanksi lebih ditujukan untuk penjeraan (punishment). Padahal bentuk kekerasan dalam rumah tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam, terutama bila dilihat dari dampak kekerasan terhadap korban yang semestinya dikenakan penerapan sanksi yang berbeda. 2) Pasal 285 296 yang mengatur perkosaan dan perbuatan cabul, belum sepenuhnya mengakomodir segala bentuk kekerasan seksual. KUHP tidak mengenal lingkup rumah tangga. KUHP tidak mengatur alternatif hukuman kecuali hanya pidana penjara, yang mana membuat dilema tersendiri bagi korban. KUHP tidak mengatur hak-hak korban, layanan-layanan darurat bagi korban serta kompensasi. Hak-Hak Korban Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis. c. Penganganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban. d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

e. Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban: a. Tenaga kesehatan. b. Pekerja sosial. c. Relawan pendamping. d. Pembimbing rohani. Kewajiban Pemerintah Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus: a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga. c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang sensitive gender. Selain itu, untuk pengelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya: a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian. b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani. c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban. d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban. Kewajiban Masyarakat Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: 15 a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana. b. Memberikan perlindungan kepada korban. c. Memberikan pertolongan darurat. d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. Namun, untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Namun, korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian. Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan.

Ketentuan Pidana pada Pelaku Ketentuan pidana penjara atau denda diatur dalam BAB VIII mulai dari pasal 44 53. Lama waktu penjara dan juga besarnya denda berbeda-beda sesuai dengan tindak kekerasan yang dilakukan. Dalam proses pengesahan UU ini, bab mengenai ketentuan pidana sempat dipermasalahkan karena tidak menentukan batas hukuman minimal, melainkan hanya mengatur batas hukuman maksimal. Sehingga dikhawatirkan seorang pelaku dapat hanya dikenai hukuman percobaan saja. Meskipun demikian, ada 2 pasal yang mengatur mengenai hukuman minimal dan maksimal yakni pasal 47 dan pasal 48. Kedua pasal tersebut mengatur mengenai kekerasan seksual.12,13 1. Pasal 47: Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan pidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp. 12.000.000 atau denda paling banyak Rp. 300.000.000 2. Pasal 48: Dalam hal perbuatan kekerasan seksual yang mengakibatkan korban mendapatkan luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 minggu terus-menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000 dan denda paling banyak Rp. 500.000.000 Selain itu, pelaku KDRT dapat juga dijerat dengan KUHP terutama tentang penganiayaan. Dalam hal ini, penganiayaan yang menimbulkan luka, baik ringan, sedang, maupun berat. Korban dengan luka ringan dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan ringan (pasal 352 KUHP), sedangkan korban dengan luka sedang dapat merupakan hasil dari tindak penganiayaan (pasal 351 (1) atau 353 (1)). Korban dengan luka berat (pasal 90 KUHP) dapat merupakan hasil dari tindak pidana penganiayaan dengan akibat luka berat (pasal 351 (2) atau 353 (2)) atau akibat penganiayaan berat (pasal 354 (1) atau 355 (1)). Pasal 351 1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,00 2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selamalamanya lima tahun. (KUHP 90). 3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, dia dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun. (KUHP 338). 4) Dengan penganiayaan disamakan merusak kesehatan orang dengan sengaja. 5) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum (KUHP 37, 53, 184, 353, 356, 487).

Pasal 352 1) Selain daripada apa yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500,00. Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada di bawah perintahnya. 2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum. (KUHP 37, 53, 70, 184). Pasal 353 1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. 2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, si tersalah dihukum penjara selamalamanya tujuh tahun. (KUHP 90). 3) Jika perbuatan itu menjadikan mati orangnya, ia dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. (KUHP 37, 338, 340, 352, 355, 487). Pasal 354 1) Barang siapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena menganiaya berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun. (KUHP 90, 351-2). 2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya sepuluh tahun. (KUHP 37, 90, 338, 351-2, 356, 487). Pasal 355 1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. 2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, si tersalah dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun. (KUHP 35, 37, 336, 340, 351-3, 353, 356, 487). Pasal 356 Hukuman yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah sepertiganya: 1) Jika si tersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapaknya yang sah, istrinya (suaminya) atau anakanya. (KUHP 91, 307). 2) Jika kejahatan itu dilakukan kepada seorang pegawai negeri pada waktu atau sebab ia menjalankan pekerjaan yang sah. (KUHP 92, 211, 316). 3) Jika kejahatan itu dilakukan dengan memakai bahan yang merusakkan jiwa atau kesehatan orang. (KUHP 35, 37, 357). Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan tanpa luka atau dengan luka lecet atau memar kecil di lokasi yang tidak berbahaya/yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Lukaluka tersebut dimasukkan ke dalam kategori luka ringan atau luka derajat satu. KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang luka berat, yaitu: jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang

menimbulkan bahaya maut; yang menyebabkan seseorang terus-menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Dengan demikian keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat adalah keadaan yang dimaksud dengan luka sedang. 10 Pembuktian Kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai dengan suatu alat yang sah lainnya. Adapun alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yang diatur dalam pasal 184 adalah sebagai berikut: 11,12,13 1) Keterangan saksi Menurut pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan pengertian umum keterangan saksi, dicantumkan dalam pasal 1 butir 27 KUHAP yang menyatakan: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa yang ia dengar, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu 2) Keterangan ahli Pengertian umum dari keterangan ahli ini dicantumkan dalam pasal 1 butir 28 KUHAP, yang menyebutkan Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlakukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. 3) Surat Surat sebagaimana dimaksud pada pasal 187 KUHAP dimaksudkan adalah suratsurat yang dibuat oleh pejabat-pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat yang lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. 4) Petunjuk Alat bukti petunjuk dalam KUHAP ditentukan dalam pasal 188, disebutkan bahwa petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. 5) Keterangan terdakwa Alat bukti keterangan terdakwa didapatkan pada urutan terakhir dari alat-alat bukti yang ada dan uraiannya terdapat dalam pasal 189 KUHAP. Dinyatakan bahwa

keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di siding tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri. Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah yang termasuk ke dalam keterangan ahli sebagaimana tertulis dalam pasal 184 KUHAP. Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai pengganti benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang dalam bagian kesimpulan.

Kendala dalam KDRT Menghadapi kasus KDRT yang insidennya makin meningkat dari tahun ke tahun masih memiliki berbagai hambatan. Hambatan muncul dari berbagai pihak termasuk korban, masyarakat, dan penyelenggara hokum itu sendiri. Belum tersosialisasinya UU No. 23 tahun 2004 terhadap para penegak hukum dan masyarakat menyebabkan pengertian akan perlindungan terhadap korban KDRT masih sangat minimal. Korban kurang paham bahwa perbuatan pelaku adalah merupakan tindak pidana.5 Di samping itu, mengingat kekerasan terjadi di dalam rumah tangganya sendiri,korban sering merasa ragu-ragu untuk melaporkan ke polisi. Adanya dilemma batin pada korban antar keinginan untuk melapor dengan rasa sayang terhadap pelaku sering menyebabkan tenggang waktu antara kejadian dengan saat korban melakukan ke polisi cukup lama, sehingga bekas luka atau hasil Visum et repertum tidak mendukung. KDRT masih dianggap sebagai suatu hal yang privat dan korban sering merasa malu untuk melaporkan karena dianggap merupakan aib keluarga. Korban juga merasa pelaku adalah tulang punggung keluarga, sehingga apabila dilaporkan maka tidak ada yang membiayai korban/keluarga untuk kelangsungan hidupnya. 6 2. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Anak Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak - Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv, bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar. - Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu lugu - Kemiskinan keluarga (banyak anak). - Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam jangka panjang. - Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child)atau anak lahir diluar nikah. - Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering memperlakukan anakanaknya dengan pola yang sama

- Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan - Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi pemicu kekerasan terhadap anak - Kurangnya pendidikan anak terhadap anak.16 Jenis-jenis Kekerasan yang Sering Diterima Anak 1.Kekerasan Fisik Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase tertinggi usia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun (16.2%). Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik, menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak dari kekerasan seperti ini selain menimbulkan luka dan trauma pada korban, juga seringkali membuat korban meninggal 2. Kekerasan secara Verbal Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar, tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak menjadi rendah diri. 3. Kekerasan secara Mental Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian, teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya menjadi lemah. Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas, menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu untuk bangkit. 4. Pelecehan Seksual Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah dikenal anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (33%) dan terendah usia 0-5 tahun (7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka secara fisik.

Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Proses Kegiatan Belajar Anak.

Untuk memelihara keutuhan atau keharmonisan keluarga memang tidaklah mudah, karena banyak faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal (dalam keluarga itu sendiri), maupun faktor eksternal. Ketidaksiapan atau ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan atau menghadapi faktor-faktor tersebut akan menjerumuskannya ke lembah keretakan (broken home) atau ketidakberfungsian keluarga. Faktor internal terkait dengan sikap dan perlakuan orang tua, atau keberfungsian keluarga. Sehubungan dengan hal itu, Djawal Dahlan (1989) mengemukakan bahwa termanifestasikannya rasa cinta dalam tingkah laku setiap anggota keluarga ang tanpa pamrih akan dirasakan anak didik sebagai contoh atau teladan dari orang tuanya yang memberi arti bagi kehidupan pribadi anak yang mandiri. Keluarga seperti ini akan memperlihatkan pamornya sehingga anak akan merasa aman hidup bersama orangtuanya yang berwibawa. Kekerasan adalah sebuah keadaan yang sangat tidak menguntungkan bagi keberadaan anak yang memiliki posisi paling lemah dan tidak berdaya terutama dalam lingkup keluarga atau rumah tangga. Terlebih jika dikaitkan dengan kebutuhan belajar anak. Skinner, seperti yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychologi: The Teaching-Learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif. Pendapat ini diungkapkan dalam pernyataan ringkasnya a Process of progressive behavior adaptation. Berdasarkan eksperimennya, B.F. Skinner percaya bahwa proses adaptasi tersebut akan mendatangkan hasil yang optimal apabila ia diberi penguat (reinforcer). Skinner, seperti juga Pavlov dan Guthrie, adalah seorang pakar teori belajar berdasarkan proses conditioning yang pada prinsipnya memperkuat dugaan bahwa timbulnya tingkah laku itu lantaran adanya hubungan antara stimulus (rangsangan), dengan respons. Dari uraian tersebut diatas, sangat jelas bahwa proses kegiatan belajar anak, khusunya dalam lingkungan keluarga, disamping perhatian dan bimbingan dari orang tua, Susana yang tenang, dan kondisi ang mendukung mutlak dibutuhkan, (termasuk kekerasan dan suasana yang menimbulkan kekerasan). Adanya tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, ada beberapa alasan kecenderungan orang melakukan kekerasan secara berkelanjutan antara lain : 1. Budaya patriarki 2. Stereotip negatif 3. Interprestasi agama bias gender 4. Tumpang tindih dengan legitimasi budaya Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga, sering yang menjadi korban adalah perempuan dan anak. Kekerasan terhadap anak juga menjadi masalah yang serius. Anak merupakan makhluk ciptaan Allah yang wajib dilindungi dan dijaga kehormatan, martabat dan harga dirinya secara wajar, baik secara hukum, ekonomi, politik, sosial, maupun budaya tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Segala bentuk perlakuan yang mengganggu dan merusak hak-hak anak dalam berbagai bentuk kekerasan, diskriminasi dan eksploitasi yang tidak berperikemanusiaan harus dihapus tanpa kecuali, termasuk kekerasan yang ditimbulkan oleh adanya ketidakharmonisan dalam rumah tangga seperti pertengkaran orang tua yang acap kali memberikan suguhan kekerasan. (suami memukul istri), dimana kondisi seperti itu akan mengganggu jiwa perkembangan anak, terlebih jika diakitkan dengan proses kegiatan belajar anak. Kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dalam hal ini, ada kekerasan yang langsung dialami oleh anak didik, seperti dipukul ayah, dimarahi ibu dengan kata-kata kasar, atau kekerasan yang diakibatkan oleh adanya pertengkaran orang tua (suami memukul istri di depan anak-anak) dimana situasi tersebut akan

mempengaruhi anak dalam proses kegiatan belajarnya dirumah. Baik dalam hal ini anak mendapat bantuan bimbingan belajar dari orang tuanya atau belajar dengan sendiri/autodidak, kalau kekerasan, baik yang langsung dialami oleh anak atau suasana kekerasan masih menyelimuti dalam keluarga tersebut, maka dapat dipastiakan anak akan mengalami berbagai macam kesulitan. Di bawah ini akan diuraikan beberapa dampak dari adanya kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak, diantaranya 1. Dampak kekerasan dalam rumah tangga yang berhubungan dengan akademik (proses kegiatan belajar anak). Keberhasilan belajar juga sangat dipengaruhii oleh faktor-faktor di luar diri siswa, baik faktor fisik maupun sosial-psikologis yang berada pada lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam pendidikan, memberikan landasan dasar bagi proses kegiatan belajar pada lingkungan sekolah dan masyarakat. Faktor-faktor fisik dan sosial psikologis yang ada dalam keluarga sangat berpengaruh terhadap perkembangan belajar anak. Termasuk faktor fisik dalam lingkungan keluarga adalah: keadaan rumah dan ruangan tempat belajar,sarana dan prasarana belajar yang ada, suasana dalam rumah, apakah tenang atau banyak kegaduhan, termasuk dalam hal ini pertengkaran orang tua yang sering menyuguhkan kekerasan (seperti ayah memukul ibu), juga suasana lingkungan disekitar rumah (slum area). Suasana lingkungan rumah di sekitar pasar atau terminal atau tempattempat hiburan berbeda dengan di daerah khusus pemukiman. Suasana lingkungan rumah di lingkungan pemukiman yang padat dan kurang tertata, juga berbeda dengan pemukiman yang jarang dan tertata.Tak kalah pentingnya dengan lingkungan fisik adalah kondisi dan suasana sosial psikologis dalam keluarga. Kondisi dan suasana ini menyangkut keutuhan keluarga, iklim psikologis, iklim belajar dan hubungan antar anggota keluarga. Keluarga yang tidak utuh, baik secara structural maupun fungsional, kurang memberikan dukungan yang positif terhadap perkembangan belajar. Adanya kekerasan yang terjadi dalam keluarga secara otomatis, akan mempengaruhi kelancaran dan menganggu konsentrasi anak dalam proses kegiatan belajarnya di rumah, baik itu dengan bantuan bimbingan belajar yang diberikan oleh orang tua maupun tanpa bimbingan belajar, atau belajar dengan sendiri. Gangguan suasana belajar dan ketidak utuhan dalam keluarga akan menimbulkan kekurangseimbangan baik dalam pelaksanaan tugas-tugas keluarga maupun dalam memikul beban-beban sosial psikologis keluarga. Hal-hal di atas akan menimbulkan efek negatif terhadap pemahaman anak tentang kekerasan dan membentuk citra dalam diri anak, melalalui kekerasan yang sering dialaminya serta pertengkaran orang tua yang sering dilihatnya kedalam pola pikir anak tentang konsep kekerasan, terlebih jika dikaitkan dengan perkembangan mental serta proses kegiatan belajar anak. Iklim psikologis berkenaan dengan suasana afektif atau perasaan yang meliputi keluarga. Iklim psikologis yang sehat akan diwarnai oleh adanya rasa kasih sayang, percaya mempercayai, keterbukaan, keakraban, rasa saling memiliki dan sebagainya antar anggota keluarga. Ketidak adaan ciri-ciri di atas menunjukkan iklim psikologis yang kurang sehat. Iklim psikologis yang sehat akan mendukung kelancaran dan keberhasilan belajar, sebab suasana yang demikian dapat memberikan ketenangan, kegembiraan, rasa percaya diri, dorongan untuk berprestasi dan lain-lain. Iklim belajar berkenaan dengan gairah untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan

pendidikan di antara anggota keluarga. Keluarga yang memiliki banyak sumber bacaan dan anggota-anggota keluarganya gemar belajar dan membaca akan memberikan dukungan yang positif terhadap perkembangan belajar dari anak. Sebaliknya keluarga yang miskin dengan sumber bacaan dan tidak senang membaca tidak akan mendorong anak-anaknya untuk senang belajar. Hubungan antar anggota keluarga juga memegang peranan penting dalam belajar. Hubungan yang akrab, dekat, penuh rasa sayang-menyayangi, saling mempercayai, saling membantu, saling tenggang rasa, salingmengerti dan sebagainya. 2. Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap fisik anak. Disamping anak mengalami cedera dan trauma karena mengalami kekerasan fisik, seperti pemukulan, penganiayaan, penganiayaan berat yang menyebabkan jatuh sakit, bahkan kematian. Kekerasan yang sering dialami oleh anak dalam lingkungan keluarga akan mengakibatkan pembentukan perilaku buruk pada anak sebagai fase identifikasi dalam proses sosialisasi anak, terutama dalam lingkungan keluarga. Sebagaian anak berperilaku buruk pernah menjadi korban tindakan kekerasan atau agresif, baik dari orang tua, saudara, teman, maupun pengasuhnya sehingga anak kadang-kadang meniru perbuatan tersebut. Kekerasan bisa dilakukan dalam bentuk yang bermacam-macam. Diantaranya kekerasan dapat dilakukan secara fisik maupun verbal (kata-kata). Anak korban kekerasan akan membuat anak lain menjadi korbannya, meskipun tidak selamanya anak yang berperilaku buruk merupakan korban tindak kekerasan. Kekerasan dari keluarga dapat berupa sikap orang tua merendahkan anak, mengucapkan kata-kata kasar, atau memukul anak. Atau kekerasan yang tidak langsung dialami oleh anak, akan tetapi situasi tersebut sangat mempengaruhi perkembangan mental anak. Seperti kekerasan yang ditimbulkan dari adanya pertengkaran orang tua, dimana sering kita jumpai ayah dengan sewenang-wenang memukul ibu didepan anak-anaknya. Perlakuan kasar yang setiap hari diterima dari anggota keluarga bisa memicu anak untuk berperilaku buruk karena ia mengalami tragedi yang traumatis dan ingin membalas dendam dengan masa-masa yang menyakitkan itu. 3. Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap psikis anak. Banyak orang tua beranggapan bahwa mendisiplinkan anak adalah mendidik mereka dengan kekerasan. Namun kekerasan tidak sama dengan disiplin. Disiplin dilandasi dengan ketegasan dalam menentukan sikap dan ketaatan berperilaku sesuai dengan rencana, namun ketegasan serta ketaatan tersebut tidak didasari rasa takut adanya ancaman melainkan didasari adanya kesadaran bahwa hal tersebut membawa manfaat besar bagi dirinya. Kekerasan juga mencakup ketaatan, namun ketaatan ini dilandasi perasaan takut. Karena jika seseorang berlaku tidak taat maka ia akan terkena perlakuan keras yang meyakitkan dirinya baik secara fisik, verbal, ataupun emosional. Kekerasan belum tentu disertai kesadaran adanya manfaat suatu perilaku tertentu. Bahkan kekerasan cenderung menimbulkansikap keras pula pada individu yang diperlakukan dengan keras. Karena perilaku kekerasan itulah yang dijadikan contoh atau model perilaku yang dipelajari oleh individu yang bersangkutan. Seorang anak yang diperlakukan dengan keras oleh orang tuanya akan belajar bahwa dengan cara itulah ia jelas akan meminta orang lain untuk berperilaku, jika sikap orang tua kepadanya demikian keras. Kelak sikap keras itu pula yang akan ditirunya. Kekerasan yang sering dialami oleh si anak (baik pada

laki-laki maupun permpuan). Dapat membawa akibat secara mental atau psikis yaitu anak merasa rendah diri, minder. Perilaku minder pada anak selain hal tersebut diatas, secara keseluruhan juga akan membawa beberapa akibat baik saat ini maupun saat dewasa nanti. Antara lain sebagai berikut : 1.Anak cenderung menggunakan kekerasan saat dia menjumpai masalah. Anak menjadi tidak terampil dalaam menyelesaikan masalah. Jika, ia berkonflik dengan orang lain. Karena pengalaman yang ia dapatkan adalah jika ada masalah selalu ditangani dengan kekerasan. 2.Saat dia menjadi orang tua nanti, ada kemungkinan anak juga akan menggunakan cara kekerasan pada anaknya. Samata-mata karena saat masa kecilnya model yang dilihatnya terbatas hanya pada kekerasan. Bila ini terjadi maka kekerasan kembali terulang dan kita kembali melahirkan generasi yang terluka akibat kekerasan. 3.Kekerasan pada umumnya menimbulkan kecemasan padaanak. Hal ini kemudian dapat mempengaruhi anak, dalam berbagai hal, misalnya prestasi belajarnya. Kecemasan yang terus-menerus ternyata dapat mengurangi kemamapuan anak menagkap stimulasi dari luar karena rusaknya sel-sel di otak. 4.Kecemasan dan kondisi yang selalu mendudukkan anak dalam posisi yang salah dapat membentuk konsep dirinya yang buruk sehingga ia cenderung minder dan menarik diri dari teman-temannya. Agar anak tumbuh dengan rasa percaya diri, anak butuh merasa aman dan nyaman, hal ini dapat diperoleh bila anak diterima apa adanya dan dilimpahi kasih sayang. Bila ada permasalahan biasakan untuk mengajak anak berdiskusi. Diperlukan pula konsistensi kedua orang tua untuk mendidik anak dengan pola asuh yang sama agar anak tidak mengalami kebingungan. Selain hal tersebut diatas, dampak psikis yang diakibatkan oleh adanya kekerasan dalam rumah tangga adalah sering menangis, sering melamun, tidak bisa bekerja, sulit konsentrasi, gamgguan makan, gangguan tidur, mudah lelah, tidak bersamangat, takut/trauma, membenci setiap laki-laki, panic, mudah marah,resah dan gelisah, bingung, menyalahkan diri sendiri, malu, perasaan ingin bunuh diri, merasa tidak berguna, menutup diri, menarik diri dari lingkungan dan pergaulan sosial, melampiaskan dendam pada orang lain termasuk anak, melakukan usaha bunuh diri, depresi atau menjadi gila. 4. Dampak tindak kekerasan dalam rumah tangga terhadap proses sosialisasi anak, (hubungan sosial bermasyarakat). Kekerasan yang tidak langusung dialami oleh anak dalam rumah tangga diantaranya kekerasan yang diakibatkan oleh adanya pertengkaran orang tua karena ketidakharmonisan dalam keluarga tersebut. Pertengkaran orang tua adalah kondisi yang tidak menguntungkan bagi perkembangan anak. Orang tua yang frustasi terhadap pasangan sering melampiaskan kemarahan kepada anak dengan alasan untuk mendisiplinkannya. Akibatnya, anak merasa cemas dan menganggap dunia tempat tinggalnya bukan tempat yang aman sehingga anak bertindak berlebihan agar tampil sempurna atau sebaliknya bersikap melawan dengan sikap tidak disiplin. Sebaiknya orang tua menghindari pertengkaran di depan anak, karena kata- kata dan perbuatan kadang-kadang dapat menimbulkan trauma yang mengerikan dalam memori sang anak sehingga menghambat perkembangannya. Anak-anak yang pemalu biasanya, mengerti bahwa tingkah lakunaya lebih banyak merugikan daripada menguntungkan. Namun, umumnya mereka tidak bisa

mengatasi perasaannya karena sering takut, curiga, segan, dan ragu-ragu. Akibatnya, mereka cenderung menghindar untuk berhubungan dengan orang lain. Rasa malu dalam diri anak bisa disebabkan, antaara lain, perasaan tidak aman sebagai akibat pola-asuh yang keliru, pemberian label sebagai pemalu, dan merasa berbeda dari anak yang lain (cacat atau sebab lain). Umumnya anak-anak senang bergaul, anak-anak memerlukan kebersamaan, petunjuk, dan cinta dari orang tua atau pengasuhnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut, misalnya broken home atau ketidakhadiran orang tua dalam waktu lama, membuat anak berpaling dan mencari sendiri tempat yang dapat memenuhi kebutuhannya tersebut. Hubungan penting menjadi terputus, dan anak tidak tahu cara menagatasinya, kecuali melawan masyarakat. Anak tidak mampu menoleransi rasa sedih dan putus asa sehingga melakukan hal-hal yang melawan masyarakat atau norma untuk menutupi perasaan. Menurut ahli, rasa sedih atau depresi merupakan dasar dari berbagai permasalahan anak, dari tindakan memaki, mengamuk, sampai bolos sekolah Rasa malu dalam diri anak bisa disebabkan, antaara lain, perasaan tidak aman sebagai akibat pola-asuh yang keliru, pemberian label sebagai pemalu, dan merasa berbeda dari anak yang lain (cacat atau sebab lain). Umumnya anak-anak senang bergaul, anak-anak memerlukan kebersamaan, petunjuk, dan cinta dari orang tua atau pengasuhnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan tersebut, misalnya broken home atau ketidakhadiran orang tua dalam waktu lama, membuat anak berpaling dan mencari sendiri tempat yang dapat memenuhi kebutuhannya tersebut. Hubungan penting menjadi terputus, dan anak tidak tahu cara menagatasinya, kecuali melawan masyarakat. Anak tidak mampu menoleransi rasa sedih dan putus asa sehingga melakukan hal-hal yang melawan masyarakat atau norma untuk menutupi perasaan. Menurut ahli, rasa sedih atau depresi merupakan dasar dari berbagai permasalahan anak , dari tindakan memaki, mengamuk, sampai bolos sekolah. Marianne James, Senior Research pada Australian Institute of Criminology (1994), menegaskan bahwa KDRT memiliki dampak yang sangat berarti terhadap perilaku anak, baik berkenaan dengan kemampuan kognitif, kemampuan pemecahan masalah, maupun fungsi mengatasi masalah dan emosi. Adapun dampak KDRT secara rinci akan dibahas berdasarkan tahapan perkembangannya sebagai berikut: 1. Dampak terhadap Anak berusia bayi Usia bayi seringkali menunjukkan keterbatasannya dalam kaitannya dengan kemampuan kognitif dan beradaptasi. Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa anak bayi yang menyaksikan terjadinya kekerasan antara pasangan bapak dan ibu sering dicirikan dengan anak yang memiliki kesehatan yang buruk, kebiasaan tidur yang jelek, dan teriakan yang berlebihan. Bahkan kemungkinan juga anakanak itu menunjukkan penderitaan yang serius. Hal ini berkonsekuensi logis terhadap kebutuhan dasarnya yang diperoleh dari ibunya ketika mengalami gangguan yang sangat berarti. Kondisi ini pula berdampak lanjutan bagi ketidaknormalan dalam pertumbuhan dan perkembangannya yang sering kali diwujudkan dalam problem emosinya, bahkan sangat terkait dengan persoalan kelancaran dalam berkomunikasi. 2. Dampak terhadap anak kecil

Dalam tahun kedua fase perkembangan, anak-anak mengembangkan upaya dasarnya untuk mengaitkan penyebab perilaku dengan ekspresi emosinya. Penelitian Cummings dkk (1981) menilai terhadap expresi marah dan kasih sayang yang terjadi secara alamiah dan berpura-pura. Selanjutnya ditegaskan bahwa ekspresi marah dapat menyebabkan bahaya atau kesulitan pada anak kecil. Kesulitan ini semakin menjadi lebih nampak, ketika ekspresi verbal dibarengi dengan serangan fisik oleh anggota keluarga lainnya. Bahkan banyak peneliti berhipotesis bahwa penampilan emosi yang kasar dapat mengancam rasa aman anak dalam kaitannya dengan lingkungan sosialnya. Pada tahun ketiga ditemukan bahwa anak-anak yang merespon dalam interaksinya dengan kemarahan, maka yang ditimbulkannya adalah adanya sikap agresif terhadap teman sebayanya. Yang menarik bahwa anak laki-laki cenderung lebih agresif daripada anak-anak perempuan selama simulasi, sebaliknya anak perempuan cenderung lebih distress daripada anak laki-laki. Selanjutnya dapat dikemukakan pula bahwa dampak KDRT terhadap anak usia muda (anak kecil) sering digambarkan dengan problem perilaku, seperti seringnya sakit, memiliki rasa malu yang serius, memiliki selfesteem yang rendah, dan memiliki masalah selama dalam pengasuhan, terutama masalah sosial, misalnya : memukul, menggigit, dan suka mendebat. 3. Dampak terhadap Anak usia pra sekolah Cumming (1981) melakukan penelitian tentang KDRT terhadap anak-anak yang berusia TK, pra sekolah, sekitar 5 atau 6 tahun. Dilaporkannya bahwa Anakanak yang memperoleh rasa distress pada usia sebelumnya dapat diidentifikasi tiga tipe reaksi perilaku. Pertama, 46%-nya menunjukkan emosi negatif yang diwujudkan dengan perilaku marah yang diikuti setelahnya dengan rasa sedih dan berkeinginan untuk menghalangi atau campur tangan. Kedua, 17%nya tidak menunjukkan emosi, tetapi setelah itu mereka marah. Ketiga, lebih dari sepertiganya, menunjukkan perasaan emosional yang tinggi (baik positif maupun negatif) selama berargumentasi. Keempat, mereka bahagia, tetapi sebagian besar di antara mereka cenderung menunjukkan sikap agresif secara fisik dan verbal terhadap teman sebayanya. Berdasarkan pemeriksaan terhadap 77 anak, Davis dan Carlson (1987) menemukan anak-anak TK yang menunjukkan perilaku reaksi agresif dan kesulitan makan pada pria lebih tinggi daripada wanita. Hughes (1988) melakukan penelitian terhadap ibu dan anak-anak yang usia TK dan non-TK, 10 baik dari kelompok yang tidak menyaksikan KDRT maupun yang menyaksikan KDRT. Disimpulkan bahwa kelompok yang menyaksikan KDRT menunjukkan tingkat distress yang jauh lebih tinggi, dan kelompok anakanak TK menunjukkan perilaku distres yang lebih tinggi daripada anak-anak nonTK. deLange (1986) melalui pengamatannya bahwa KDRT berdampak terhadap kompetensi perkembangan sosial-kognitif anak usia prasekolah. Ini dapat dijelaskan bahwa anak-anak prasekolah yang dipisahkan secara sosial dari teman sebayanya, bahkan tidak berkesempatan untuk berhubungan dengan kegiatan atau minat teman sebayanya juga, maka mereka cenderung memiliki beberapa masalah yang terkait dengan orang dewasa.

4. Dampak terhadap Anak usia SD Jaffe dkk (1990) menyatakan bahwa pada usia SD, orangtua merupakan suatu model peran yang sangat berarti. Baik anak pria maupun wanita yang menyaksikan KDRT secara cepat belajar bahwa kekerasan adalah suatu cara yang paling tepat untuk menyelsaikan konflik dalam hubungan kemanusiaan. Mereka lebih mampu ,mengekspresikan ketakutan dan kecemasannya berkenaan dengan perilaku orangtuanya. Hughes (1986) menemukan bahwa anak-anak usia SD seringkali memiliki kesulitan tentang pekerjaan sekolahnya, yang diwujudkan dengan prestasi akademik yang jelek, tidak ingin pergi ke sekolah, dan kesulitan dalam konsentrasi. Wolfe et.al, 1986: Jaffe et.al, 1986, Christopoulus et al, 1987 menguatkan melalui studinya, bahwa anak-anak dari keluarga yang mengalami kekerasan domistik cenderung memiliki problem prilaku lebih banyak dan kompetensi sosialnya lebih rendah daripada keluarga yang tidak mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Sementara studi yang dilakukan terhadap anak-anak Australia, (Mathias et.al, 1995) sebanyak 22 anak dari usia 6 sd 11 tahun menunjukkan bahwa kelompok anak-anak yang secara historis mengalami kekerasan dalam rumah tangganya cenderung mengalami problem perilaku pada tinggi batas ambang sampai tingkat berat, memiliki kecakapan adaptif di bawah rata-rata, 11memiliki kemampuan membaca di bawah usia kronologisnya, dan memiliki kecemasan pada tingkat menengah sampai dengan tingkat tinggi. 5. Dampak terhadap Anak remaja Pada usia ini biasanya kecakapan kognitif dan kemampuan beradaptasi telah mencapai suatu fase perkembangan yang meliputi dinamika keluarga dan jaringan sosial di luar rumah, seperti kelompok teman sebaya dan pengaruh sekolah. Dengan kata lain, anak-anak remaja sadar bahwa ada cara-cara yang berbeda dalam berpikir, merasa, dan berperilaku dalam kehidupan di dunia ini.Misalnya studi Davis dan Carlson (1987) menyimpulkan bahwa hidup dalam keluarga yang penuh kekarasan cenderung dapat meningkatkan kemungkinan menjadikan isteri yang tersiksa, sementara itu Hughes dan Barad (1983) mengemukakan dari hasil studinya bahwa angka kejadian kekerasan yang tinggi dalam keluarga yang dilakukan oleh ayah cenderung dapat menimulkan korban kekerasan, terutama anak-anaknya. Tetapi ditekankan pula oleh Rosenbaum dan OLeary (1981) bahwa tidak semua anak yang hidup kesehariannya dalam hubungan yang penuh kekerasa akan mengulangi pengalaman itu. Artinya bahwa seberat apapun kekerasan yang ada dalam rumah tangga, tidak sepenuhnya kekerasan itu berdampak kepada semua anak remaja, tergantung ketahanan mental dan kekuatan pribadi anak remaja tersebut. Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa konflik antar kedua orangtua yang disaksikan oleh anak-anaknya yang sudah remaja cenderung berdampak yang

sangat berarti, terutama anak remaja pria cenderung lebih agresif, sebaliknya anak remaja wanita cenderung lebih depresif. Kehadiran anak dirumah tidak membuat laki-laki atau suami tidak menganiyaya istrinya. Bahkan dalam banyak kasus, lelaki penganiya memaksa anaknya menyaksikan pemukulan ibunya sebagian menggunakan perbuatan itu sebagai cara tambahan menyiksa dan menghina pasangannya. Menyaksikan kekerasan merupakan pengalaman yang sangat traumatis bagi anak-anak. Mereka seringkali diam terpaku, ketakutan, dan tidak mampu berbuat sesuatu ketika sang ayah menyiksa ibu mereka. Sebagian berusaha menghentikan tindakan ayah atau meminta bantuan orang lain. Menurut data yang terkumpul dari seluruh dunia ada anak-anak yang sudah besar akhirnya membunuh ayahnya setelah bertahun-tahun diperlakukan kejam. Kekerasan dalam rumah tangga ternyata merupakan pelajaran kepada anak bahwa kekejaman dalam bentuk penganiyayaan adalah bagian yang wajar dari sebuah kehidupan. Anak akan belajar bahwa menghadapi tekanan adalah dengan melakukan kekerasan. Menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan persoalan adalah sesuatu yang biasa dan baik-baik saja. Kekerasan dalam rumah tangga memberi pelajaran kepada anak lelaki untuk tidak menghormati kaum perempuan. Solusi Mencegah Terjadinya Kekerasan pada Anak Agar anak terhindar dari bentuk kekerasan seperti diatas perlu adanya pengawasan dari orang tua, dan perlu diadakannya langkah-langkah sebagai berikut: - orang tua menjaga agar anak-anak tidak menonton / meniru adegan kekerasan karena bisa menimbulkan bahaya pada diri mereka. Beri penjelasan pada anak bahwa adegan tertentu bisa membahayakan dirinya. Luangkanlah waktu menemani anak menonton agar para orang tua tahu tontonan tersebut buruk atau tidak untuk anak. - Jangan sering mengabaikan anak, karena sebagian dari terjadinya kekerasan terhadap anak adalah kurangnya perhatian terhadap anak. Namun hal ini berbeda dengan memanjakan anak. - Tanamkan sejak dini pendidikan agama pada anak. Agama mengajarkan moral pada anak agar berbuat baik, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut tidak menjadi pelaku kekerasn itu sendiri. - Sesekali bicaralah secara terbuka pada anak dan berikan dorongan pada anak agar bicara apa adanya/berterus terang. Hal ini dimaksudkan agar orang tua bisa mengenal anaknya dengan baik dan memberikan nasihat apa yang perlu dilakukan terhadp anak, karena banyak sekali kekerasan pada anak terutama pelecehan seksual yang terlambat diungkap. - Ajarkan kepada anak untuk bersikap waspada seperti jangan terima ajakan orang yang kurang dikenal dan lain-lain. - Sebaiknya orang tua juga bersikap sabar terhadap anak. Ingatlah bahwa seorang anak tetaplah seorang anak yang masih perlu banyak belajar tentang kehidupan dan karena kurangnya kesabaran orang tua banyak kasus orang tua yang menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya sendiri.

Psikologi Anak Sejak lahir sampai saat kematian, manusia itu tumbuh mekar , mengalami banyak proses perubahan dan perkembangan. Karena itu prinsip perkembangan itu sifatnya progresif. Lagipula prinsip perkembangan tersebut ada di dalam diri anak itu sendiri. Proses perkembangan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor , yaitu :17 a. Hereditas/warisan sejak lahir misalnya: bakat, pembawaan, konstitusi, potensipotensi psikis dan fisik. b. Faktor-faktor lingkungan ada hukum konvergensi, dimana faktor intern dan ekstern saling bertemu dan saling mempengaruhi. Tujuan dari perkembangan adalah menjadi manusia dewasa yang sanggup bertanggung jawab sendiri dan mandiri. Oleh karena individualitas anak adalah unik (bakat pembawaan, potensialitas dan sifat-sifat yang karakteristik), maka setiap perkembangan individu itu punya pola yang khas; tidak pernah ada yang identik sama. Masing-masing anak akan tumbuh berkembang menjadi pribadi yang unik. Lagipula setiap anak yang tumbuh berkembang itu selalu mengalami perubahan pada setiap tingkat perkembangannya. Setiap anak juga merupakan subyek aktif, yang bebas menentukan tujuan hidupnya sendiri, yaitu kebahagiaan lahir batin di dunia dan di akhirat, walaupun kebahagiaan itu sendiri berlainan arti dan bentuknya bagi setiap pribadi. Demikian pula cara untuk mencapai kebahagiaan itu pastilah berbeda. Sehingga bisa dikatakan bahwa tujuan akhir dari hidup setiap orang itu pasti berbeda juga. Dengan demikian tugas utama setiap orang tua adalah : (a) memberikan fasilitas bagi perkembangan anak dan (b) membantu memperlancar perkembangan anak menurut irama dan temponya sendiri-sendiri. Sejak lahir anak-anak menampilkan ciri-ciri karakteristik yang individual, berbeda satu dengan yang lainnya. Semua cirri individual ini cenderung untuk terus tumbuh dan berkembang sampai pada masa pubertas, adolensi dan dewasa. Oleh karena itu individu itu merupakan pribadi yang unik, serta tiada duanya dan berusaha merealisasikan diri dalam satu lingkungan sosial. Maka tidak mungkin seorang anak hidup tanpa satu lingkungan sosial tertentu, jika anak itu mau tumbuh normal dan mengalami proses manusiawi atau proses pembudayaan dalam suatu lingkungan kultural. Selanjutnya kondisi itu menjadi menguntungkan dan positif sifatnya, bila kombinasi dari pengaruh sosial dan potensi hereditas bisa saling mendukung (hukum konvergensi); bisa bekerjasama secara akrab, dan membantu proses realisasi diri dan proses sosialisasi anak. Sebaliknya, kondisi jadi tidak sehat bila perkembangan anak menjadi terhambat ataupun rusak karenanya. Psikologi Orang Tua Pengaruh Sikap Orang Tua terhadap Anak Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak, tempat ia belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Segala sesuatu yang dibuat anak mempengaruhi keluarganya, begitu pula sebaliknya. Keluarga memberikan dasar pembentukan tingkah laku, watak, moral dan pendidikan kepada anak. Pengalaman interaksi di dalam keluarga akan menentukan pula pola tingkah laku anak terhadap orang lain dalam masyarakat. Di samping keluarga sebagai tempat awal bagi proses sosialisasi anak, keluarga juga merupakan tempat sang anak mengharapkan dan mendapatkan pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan akan kepuasan emosional telah dimiliki bayi yang baru lahir. Peranan dan tanggung jawab yang harus dimainkan orang tua dalam membina anak adalah besar . Namun, kenyataannya dalam melakukan peran tersebut, baik secara sadar maupun tidak sadar , orang tua dapat membangkitkan rasa ketidakpastian dan rasa bersalah pada anak. Sejak bayi

masih dalam kandungan, interaksi yang harmonis antara ayah dan ibu menjadi faktor amat penting. Bila suami kurang memberikan dukungan dan kasih saying selama kehamilan, sadar atau tidak sadar sang ibu akan merasa bersalah atau membenci anaknya yang belum lahir . 15 Anak yang tidak dicintai oleh orang tua biasanya cenderung menjadi orang dewasa yang membenci dirinya sendiri dan merasa tidak layak untuk dicintai, serta dihinggapi rasa cemas. Perhatian dan kesetiaan anak dapat terbagi karena tingkah laku orang tuanya. Timbul rasa takut yang mendalam pada anak-anak di bawah usia enam tahun jika perhatian dan kasih saying orang tuanya berkurang, anak merasa cemas terhadap segala hal yang bisa membahayakan hubungan kasih saying antara ia dan orang tuanya. Dr . Halim G Ginott memperingatkan orang tua akan besarnya pengaruh ancaman yang dilontarkan kepada anak. Ia mengatakan Yang paling ditakuti anak-anak ialah tidak dicintai atau ditinggalkan oleh orang tuanya. Jadi jangan sekali-kali mengancam akan meninggalkan anak, secara bergurau maupun dengan marah . Sikap otoriter sering dipertahankan oleh orang tua dengan dalih untuk menanamkan disiplin pada anak. Sebagai akibat dari sikap otoriter ini, anak menunjukkan sikap pasif (hanya menunggu saja), dan menyerahkan segalanya kepada orang tua. Di samping itu, menurut Watson, sikap otoriter , sering menimbulkan pula gejala-gejala kecemasan, mudah putus asa, tidak dapat merencanakan sesuatu, juga penolakan terhadap orang lain, lemah hati atau mudah berprasangka. Tingkah laku yang tidak dikehendaki pada diri anak dapat merupakan gambaran dari keadaan di dalam keluarga. Hal yang paling penting adalah bahwa kehidupan seorang anak hendaknya tidak diatur oleh kebutuhan orang tua dan menjadikan anak sebagai obyek untuk kepentingan orang tua. Efisiensi menurut konsep orang tua ini akan mengeringkan potensi anak, menghambat perkembangan emosional anak, serta menelantarkan minat anak.Astrid Lindgern, seorang penulis wanita dari Swedia yang banyak menulis buku tentang anak mengatakan : Seorang anak yang diperlakukan dengan kasih sayang oleh orang tuanya dan mencintai orang tuanya, akan menghasilkan suatu hubungan yang penuh kasih saying dalam lingkungannya. Si anak akan memupuk sikap ini selama hidupnya. Otoriter Orang Tua terhadap Anak Beberapa orang tua membenarkan penggunaan kekuasan dengan beranggapan bahwa hal tersebut cukup efektif dan tidak berbahaya. Tetapi hal itu bukan berarti bahwa penggunaan kekuasaan dan otoritas itu tidak merugikan; penggunaan kekuasan dan otoritas itu akan lebih berbahaya apabila orang tua tidak konsisten. Apabila orang tua merasa bahwa mereka perlu menggunakan otoritas, maka konsistensi di dalam penerapannya akan memberikan kesempatan yang lebih banyak pada anak untuk mengenali tingkah laku mana yang baik atau tidak baik. Terlihat jelas bahwa orang tua yang memiliki masalah berat dalam hubungannya dengan anak-anak mereka adalah orang-orang yang memiliki konsepkonsep yang sangat kuat dan kaku mengenai apa yang benar dan apa yang salah. Semakin yakin orang tua atas kebenaran nilai-nilai dan keyakinan mereka, semakin cenderung orang tua itu memaksakannya pada anak mereka. Orang tua semacam itu biasanya juga cenderung untuk tidak dapat menerima tingkah laku yang nampaknya menyimpang dari nilai-nilai dan keyakinanmereka.15

Pandangan Orang Tua terhadap Anak Ada beberapa pandangan mengenai keyakinan orang tua bahwa anak pada dasarnya jahat. Beberapa tindakan kekerasan dilakukan oleh orang tua dengan keyakinan bahwa anak tidak dapat dipercaya karena mereka nakal sejak lahir . Sikap yang demikian terhadap anak telah lama berpengaruh kuat terhadap filsafat membesarkan anak dalam kebudayaan Barat. Karena sikap itu adalah praktek mengusir setan dari dalam diri anak dan keyakinan mematahkan kemauan anak. Pandangan negatif orang tua yang luar biasa tentang sifat anak-anak berakar kuat dalam sejarah kita. John Wesley, dalam khotbahnya tahun 1742 berjudul On Obidience to Parents, mengutip sebuah surat kabar dari ibunya yang mengatakan: Untuk membentuk pikiran anak, hal pertama yang harus dilakukan adalah menundukkan kemauannya. Lakukan pekerjaan ini sebelum mereka dapat lari sendiri, sebelum mereka sama sekali bisa bicara.17 Meskipun menyakitkan, taklukkan kekerasan kepala mereka, patahkan kemauannya apabila engkau tidak ingin menggagalkan anak. Karena itu biarkan anak, sejak usia satu tahun diajari takut kepada cambuk dan menangis pelan-pelan . Ide yang sama muncul dalam pelajaran John Calvin tentang anak-anak. Menurutnya, pengendalian diri, kepatuhan, pengakuan otoritas dan hormat kepada yang lebih tua adalah semua hasil pelatihan tahun pertama, yaitu masa kanak-kanak. Sekalipun sebagian besar orang tua sekarang tidak keterlaluan menganggap anak jahat , banyak yang masih tetap cenderung yakin bahwa anak-anak akan selalu berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya, bila mereka dapat, mereka akan bertingkah mementingkan diri sendiri. Peter Cook, seorang psikolog Selandia Baru, mengganggap bahwa anak-anak sebagai hina, suka melawan, bahkan jahat, yang disebutnya orientasi ketidakpercayaan dasar . Teori orientasi ketidakpercayaan dasar ini cenderung menjadi ramalan pemenuhan diri sendiri. Bila kenakalan dianggap sebagai hasil kegagalan mengawasi kecenderungan alam yang dianggap primitif, liar dan jelek, keyakinan orang tua mungkin harus diperkuat bahwa kenakalanharus dilenyapkan dengan pelatihan yang tepat, bila mungkin dengan kasih saying; tetapi penggunaan kekerasan atau ancaman mungkin diperlukan bila dijumpai penolakan. Ini bisa dinyatakan sebagai kekerasan dibenarkan bila bisa dianggap sebagai alasan yang baik . Kematangan Emosional Orang Tua dan Pengaruhnya Kematangan emosional orang tua sangatlah mempengaruhi keadaan perkembangan anak. Keadaan dan kematangan emosional orang tua mempengaruhi serta menentukan taraf pemuasan kebutuhan-kebutuhan psikologis yang penting pada anak dalam kehidupannya dalam keluarga. Taraf pemuasan kebutuhan psikologis itu akan pula mempengaruhi dan menentukan proses pendewasaan anak tersebut. Emosi orang tua yang telah mencapai kedewasaan yaitu yang telah mencapai kematangan akan menyebabkan perkembangan yang sehat pada anak-anak mereka. Sebaliknya, emosi orang tua yang belum mencapai taraf kedewasaan yang sungguhsungguh yaitu orang tua yang secara emosional belum stabil akan menimbulkan kesukaran-kesukaran dalam usaha anak-anak itu untuk mendewasakan diri secara emosional atau membebaskan dirinya secara emosional dari orang tua. Ketidakmatangan emosional orang tua mengakibatkan perlakuan-perlakuan orang tua yang kurang terhadap anak-anak, misalnya sangat menguasai anak secara otokratis dan memperlakukan anak dengan keras. Kalau orang tua bereaksi terhadap emosi negatif anak dengan emosi negatif pula, tidak akan membuat anak merasa aman

untuk mengekspresikan emosinya. Emosi orang tua yang kuat membuat anak takut sehingga mereka menjadi tidak peka terhadap perasaan-perasaannya karena baginya tidak aman mengekspresikan perasaannya itu. Menciptakan kesempatan yang aman bagi anak-anak untuk mengekspresikan dan merasakan kemarahan, kesedihan, ketakutan menghubungkan kembali anak-anak dengan kebutuhan dasar dalam diri mereka akan cinta orang tua.15 Membina Hubungan Baik antara Orang Tua dan Anak Ada beberapa faktor penting dalam mengusahakan terbinanya hubungan baik antara orang tua dengan anaknya: a. Akuilah dan hargailah anak. Anak adalah anak; mereka memiliki pikiran, perasaan, sikap dan minat yang berbeda dari orang dewasa. Dan setiap anak merupakan pribadi yang unik, yang berbeda dengan anak lain. Jadi jelas tidak dapat dibenarkan, bila orang tua membandingkan kemampuan dan sifat-sifat satu anak dengan yang lain, karena setiap anak adalah unik. 1. Rumuskan peraturan secara jelas tepat dan mudah dimengerti anak. Dr . Halim G. Ginott dalam bukunya Between Parents and Child, membagi tiga daerah disiplin: a) Daerah hijau, yang melingkupi tingkah laku yang diperbolehkan, bahkan diinginkan. b) Daerah merah, melingkupi tingkah laku yang sama sekali tidak dapat diizinkan bahkan harus dicegah. c) Daerah kuning , melingkupi tingkah laku yang sebenarnya tidak ideal, tetapi karena alasan-alasan tertentu ditolerir . 2. Laksanakan peraturan-peraturan secara konsisten dan uniform (tetap dan seragam). Peraturan harus konsisten, artinya tetap (tidak gampang berubah). Dalam proses pendidikan, orang tua dituntut untuk tetap menegakkan disiplin dengan sikap yang tenang serta ramah tetapi tegas. 3. Hati-hatilah dalam memilih cara untuk menegakkan disiplin. Orang tua dengan mudah bisa menimbulkan rasa benci, takut dan tidak aman bila kurang hati-hati pada waktu memilih cara dalam rangka menegakkan disiplin. Maka dalam menegakkan disiplin orang tua harus selalu mementingkan tujuan disiplin itu dan tidak semata-mata disiplin itu sendiri. 4. Perbaiki secepatnya bila terjadi kesalahan-kesalahan. Bila orang tua melihat anaknya berbuat kesalahan, perbaikilah secepat mungkin; jangan menunda atau mengumpulkan beberapa kesalahan terlebih dulu baru menegurnya. Jika demikian anak akan melupakan kesalahannya dan mungkin memungkirinya. 5. Bina hubungan baik dengan semua anggota keluarga. Membina hubungan baik antara anggota keluarga sangatlah penting. Interaksi yang pertama kali dialami seorang anak adalah interaksi dengan orang tuanya, kemudian dengan anggota keluarga yang lain. Hubungan baik antara orang tua dan anggota keluarga yang lain dapat dicapai dengan cara sebagai berikut: a) Mendengarkan apa yang diutarakan anak, baik itu berwujud cerita, kesukaran ataupun pertanyaan-pertanyaan. Orang tua harus menyediakan waktu untuk mendengarkan anaknya. b) Menceritakan pengalaman-pengalaman yang dialami orang tua, sehingga anak bisa mengetahui dan belajar bagaimana cara orang tua mengatasi kesulitannya.

c) Tunjukkan tanda-tanda kasih antara lain dengan membelai, mencium, menepuk bahu dan lain-lain. d) Hubungan orang tua dan anak tidak boleh dibiarkan terlalu lama tegang. Secepatnya orang tua harus melupakan kesalahan anaknya dan menciptakan kembali hubungan yang baik.17 3. Kekerasan pada Anak di Mata Islam Anak sebagai buah hati. Allah Yang Maha Suci memiliki rasa kasih sayang yang begitu besar dan agung dan Ia limpahkan rasa kasih sayang di hati semua makhluknya. Dengan demikian, kasih sayang kepada anak adalah sesuatu yang fitrah. Sangat tepat apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, Anak adalah buah hati (bagi orangtua), ia selalu membuat orangtua khawatir, membikin orangtua jadi kikir, membikin orangtua jadi susah. (HR. Abu Yala). Dalam riwayat Thabrani dikatakan: Bau anak itu dari bau sorga. (HR. at-Thabrani). Di sinilah manusia berkewajiban mempersiapkan generasi penerus sebagai pemilik masa depan bangsa. Rasulullah SAW. dengan tegas mengatakan ; Didiklah anak-anak kalian, sebab sesungguhnya mereka diciptakan untuk zaman mereka, bukan zaman kalian. Ada dua isyarat singkat dari hadits tersebut, yakni: (1) Kewajiban memenuhi hak anak, yaitu pendidikan, (2) Anak adalah pemilik masa depan. Pada dasarnya Islam mengajari untuk mengutamakan kelemahlembutan sebagaimana teladan nabi Muhammad SAW. yang mengagumkan dalam mendidik anak.Pada suatu hadist diriwayatkan : Suatu hari Rasul didatangi oleh seorang Ibu (Saidah binti Jazi) yang membawa serta anaknya yang baru berumur satu setengah tahun. Kemudian anak tersebut diminta oleh Rasulullah. Anak tersebut mengompol/kencing. Karena mungkin segan anaknya telah mengotori Rasul maka ibu tersebut dengan agak kasar menarik anaknya dari pangkuan Rasul. Seketika itu Rasul menasihati Ibu tersebut, Dengan satu gayung bajuku yang najis karena kencing anakmu bisa dibersihkan, tetapi luka hati anakmu karena renggutanmu dari pangkuanku tidak bisa kamu obati dengan bergayung-gayung air. Dalam riwayat lain dikemukakan: Suatu hari Rasul sedang memimpin shalat berjamaah dengan para Sahabatnya, Salah satu sujud dalam shalat yang dia lakukan cukup lama waktunya sehingga mengundang keheranan para Sahabat. Setelah shalat berjamaah selesai, salah seorang Sahabat bertanya, Mengapa begitu lama Rasul bersujud? Jawab Rasul, Di atas punggungku sedang bermain cucuku Hasan dan Husain. Kalau aku tegakkan punggungku maka mereka akan terjatuh. Karena itu, aku menunggu mereka turun dari punggungku, baru aku cukupkan sujudku.

Dari hadis di atas Islam/Nabi saw. memberi pelajaran bagi orangtua/pendidik agar dalam melakukan pendidikan mengedepankan sikap lemah-lembut serta penuh cinta, kasih dan sayang. Perlakuan keras/tegas kepada anak akan membawa pengaruh buruk yang luar biasa pada perkembangan kepribadiannya di kemudian hari. Pengaruh tersebut antara lain anak akan pandai berperilaku kasar kepada yang lain, pemarah, tumpul hati nuraninya (menghambat perkembangan moral anak, merusak kesehatan jiwa anak), anak dapat terlibat perbuatan kriminal, anak gemar melalukan teror dan ancaman (anak akan mencari target untuk melampiaskan rasa dendamnya), anak menjadi pembohong, anak jadi rendah diri, menimbulkan kelainan perilaku seksual, mengganggu pertumbuhan otak anak, terhambat prestasinya di sekolah, sering ngompol, takut, tidak mau makan dan lain-lain. Dengan kasih-sayang Rasul bukan berarti kehilangan kewibawaan dan kehilangan ketegasan atau lembek ketika memang harus tegas. Tegas tidak identik dengan kasar. Sebagai contoh, Rasul pernah menjewer telinga anak karena tidak amanah. Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dari Abdullah bin Basr al-Mazni ra. yang berkata, Aku pernah diutus ibuku dengan membawa beberapa biji anggur untuk disampaikan kepada Rasul. Kemudian aku memakannya sebelum aku sampaikan kepada Beliau. Ketika aku mendatangi Rasul, Beliau menjewer telingaku sambil berseru, Wahai Penipu.

Anak-anak memang perlu kedisiplinan. Kedisiplinan bisa diraih tanpa adanya kekerasan, namun bukan berarti terlarang melakukan tindakan fisik. Kedisiplinan diperlukan untuk mendidik anak terbiasa terikat dengan standar-standar Islam dalam berbagai aspek kehidupan sehingga mereka pada saatnya dapat bertanggung jawab di hadapan Allah Swt. Kedisiplinan dibentuk dengan memberikan pemahaman yang melahirkan kesadaran untuk menerapkannya dan semua itu memerlukan proses. Penanaman disiplin pada anak bisa berhasil jika orangtua mengenal karakteristik anak dan mampu membangun komunikasi serta hubungan yang harmonis dengan anak. Dalam mendidik anak diperlukan sanksi (hukuman). Pemberian hukuman merupakan salah satu cara dalam mendidik anak jika pendidikan tidak bisa lagi dilakukan dengan memberi nasihat, arahan, petunjuk, kelembutan ataupun suri teladan. Islam membolehkan melakukan tindakan fisik sebagai tadb (tindakan mendidik) terhadap anak. Ibnu Amr bin al-Ash menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

Perintahlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat ketika mereka berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika sampai berusia sepuluh tahun mereka tetap enggan mengerjakan shalat. (HR Abu dawud dan al-Hakim). Dalam hadis ini Rasul menggunakan ungkapan murruu (perintahkanlah) untuk anak usia di bawah 10 tahun dan idhribuu (pukullah) untuk usia 10 tahun. Dengan demikian, sebelum seorang anak menginjak usia 10 tahun, tidak diperkenankan menggunakan kekerasan dalam masalah shalat, apalagi dalam masalah selain shalat, yaitu dalam proses pendidikan. Mendidik mereka yang berusia belum 10 tahun hanya dibatasi dengan pemberian motivasi dan ancaman. Kebolehan memukul bukan berarti harus/wajib memukul. Maksud pukulan/tindakan fisik di sini adalah tindakan tegas bersyarat, yaitu: pukulan yang dilakukan dalam rangka tadb (mendidik, yakni agar tidak terbiasa melakukan pelanggaran yang disengaja); pukulan tidak dilakukan dalam keadaan marah (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak sampai melukai atau (bahkan) membunuh; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh melebihi 10 kali, diutamakan maksimal hanya 3 kali; tidak menggunakan benda yang berbahaya (sepatu, bata dan benda keras lainnya). Memukul adalah alternatif terakhir. Karena itu, tidak dibenarkan memukul kecuali jika telah dilakukan semua cara mendidik, memberi hukuman lainnya serta menempuh proses sesuai dengan umur anak. Rasulullah saw. pernah bersabda, Nafkahilah keluargamu dengan hartamu secara memadai. Janganlah engkau angkat tongkatmu di hadapan mereka (gampang memukul) untuk memperbaiki perangainya. Namun, tanamkanlah rasa takut kepada Allah. (HR Ahmad, Ibnu Majah dan al-Bukhari dalam kitab Al-Adab al-Mufrad).15

KESIMPULAN DAN SARAN KESIMPULAN Bentuk kekerasan pada anak (KPA) dilihat dari sisi medis dapat digolongkan terutama kedalam kekerasan fisik dan seksual. Ditinjau dari pelaku kekerasan bisa dari orang tuasendiri, kerabat, orang yang sehari-dekat dengan anak maupun orang lain yang tidak dikenal. Alasan perlakuan kekerasan bisa karena unsur ketaksengajaan yang biasanya berlatar belakang upaya untuk mendidik anak-, kecelakaan maupun unsur sengaja yang mengarah kepada kriminal. Dampak kekerasan pada anak bisa terjadi pada jangka pendek maupun panjang, dari luka ringan hingga depresi mentalmaupun kematian. Pengetahuan mengenai upaya-upaya untuk menghindari KPA amat diperlukan agar anak dapat menjalani masa perkembangannya dengan baik. Agama manapun sangat tidak menganjurkan mendidik anak dengan cara kekerasan, karena dapat menimbulkan presepsi yang tidak baik bagi anak tersebut SARAN Upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak jelas menjadi kewajiban pemerintah,yang didukung oleh keluarga dan masyarakat. Masyarakat Indonesia modern ternyatabelum sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk diperlakukan secara manusiawi.Anak harus mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dan perkembangannya dibawah naungan ketetapan hukum yang pasti, yang harus dijalankan semua pihak, baik keluarga masyarakat maupun pemerintah (negara). Sehingga anak bisa tumbuh danberkembang dengan baik serta jauh dari berbagai tindak kekerasan. Kita menyadaribahwa kekerasan telah meremukkan kekayaan imajinasi, keriangan hati, kreatifitas,bahkan masa depan anak-anak kita.

UCAPAN TERIMAKASIH Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum Wr. Wb Alhamdullillahirobbilalamin segala puja dan puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan segala nikmat kepada hamba-Nya. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasululloh SAW. Saya sangat bersyukur telah dapat menyelesaikan tugas laporan kasus atau case report dalam kekerasan dalam rumah tangga yang berjudul dampak status pendidikan pada kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk psikis di tinjau dari agama islam sebagai slaah satu syarat untuk mencapai kelulusan pada Blok Eleketif 2012 2013 Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Terwujudnya tugas ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. DR.Drh. Hj. Titiek Djannatun selaku koordinator penyusun Blok Elektif 2012 2. dr.Hj.RW. Susi Susilowati, M.kes selaku koordinator pelaksana Blok Elektif 2012 3. dr.Hj.Riyani Wikaningrum, DMM.Msc selaku koordinator penelitian dan pengembangan pendidikan 4. dr.Erlita Donanti, Mbiomed selaku koordinator KBK 5. dr. Ferryal Basbeth, SPF.DFM selaku koordinator bidang kepeminatan kekerasan dalam rumah tangga
6. dr. Tri selaku dosen pembimbing yang telah membantu dan memberikan

kesempatan dalam menyelesaikan tugas laporan kasus atau case report.


7. dr. Rizqan anugerah Sp An selaku dosen pakar dan pembimbing akademik 8. Mitra dan Pengurus LBH APIK Jakarta yang telah memberikan kesempatan

untuk mendapatkan contoh kasus demi kelancaran dalam pembuatan tugas laporan kasus atau case report ini
9. Teman temana kelompok Domestic Violence 5 yang tidak bisa saya sebutkan

satu persatu, terimakasih atas saran dan kerjasamanya selama tugas di lapangan sampai terselesaikannya tugas laporan kasus atau case report ini. 10.Penulisan ini saya dedikasikan untuk kedua orang tua yang telah banyak membantu dan mendukung penyelesaian penulisan ini dan memberikan pandangan yang luas.

Saya menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga penyusunan dapat lenih baik untuk kedepannya. Akhir kata saya berharap semoga hasil laporan ini dapat berguna bagi semuanya. Wassalamualaikum Wr.Wb DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Perlindungan Anak

2. http://www.who.int/violenceprevention/approach/definition/en/index.html, akses 18 Agustus 2010 3. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga 4. www.jurnalperempuan.com, akses 20 Agustus 2010 5. www.komnasperempuan.com, akses ,akses 20 Agustus 2010 6. Pangemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca SarjanaUniversitas Indonesia, 1998 7. Ratna Batara Munti (ed.), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan: Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: LBH APIK, 2000 8. Tim Kalyanamitra, Menghadapi Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalyanamitra, Pusat Komunikasi dan Informasi Perempuan, 1999 9. Konsiderans Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan 10. Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 11. www.hukumonline.com/berita/R_U_U_Perlindungan_saksi_dan_korban,akses 19 Agustus 2010 12. UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 Tahun 2006
13. http://aeaila.blogspot.com/2010/04/macam-macam-delik.html 14. http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20080513052045AA54tXL 15. http://www.scribd.com/doc/55869294/Kekerasan-Pada-Anak-Dilihat-Dari-Perspektif-

Hukum-Nasional-Indonesia-Dan-Agama-Islam 16. Sumber data : Mitra yang datang secara langsung ke LBH APIK Jakarta dan Paralegal LBH APIK Jakarta

17. Sutrisna 2011.Dampak psikologi anak yang terlibat. http://sckomaka.blogspot.com.

Diakses tanggal 19 april 2012

You might also like