You are on page 1of 29

BAB I

TINJAUAN KLINIS CROHNS DISEASE


1.1. DEFINISI
Crohns disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada saluran cerna dengan etiologi yang tidak diketahui. Crohns disease dapat melibatkan setiap bagian dari saluran cerna mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus dan colon ([1]).

1.2. ASPEK SEJARAH CROHNS DISEASE


Kasus Crohns disease pertama kali didokumentasikan dan dideskripsikan oleh Morgagni pada tahun 1761. Pada tahun 1931, Dalziel, seorang ahli bedah berkebangsaan Skotlandia, mendeskripsikan sembilan kasus penyakit inflamasi saluran cerna. Deskripsi mengenai gambaran klinis dan patologis yang terperinci mengenai penyakit ini dilakukan oleh Crohn, Ginzburg, dan Oppenheimer pada tahun 1932 (1). Meskipun penyakit ini akhirnya diberi nama Crohns disease, namun masih belum dibedakan secara sempurna dari penyakit colitis ulcerativa hingga tahun 1959 ( [2]). Saat ini, diagnosis Crohns disease mencakup aspek klinis, radiologis, endoskopis, patologis, dan pemeriksaan spesimen faeces. Radiografi dengan menggunakan zat kontras dapat menentukan luasnya kelainan, tingkat keparahan dan perjalanan penyakit. Pencitraan computed tomography (CT scanning) memungkinkan pencitraan potong lintang untuk menentukan keterlibatan mural dan ekstramural. Endoskopi memungkinkan visualisasi langsung ke mukosa dan memungkinkan pengambilan spesimen biopsi untuk kepentingan pemeriksaan histologis. Ultrasonografi and MRI memberikan alternatif pencitraan potong lintang terhadap individu-individu yang tidak memungkinkan menerima paparan radiasi (2).

1.3. EPIDEMIOLOGI
Secara umum Crohns disease merupakan penyakit bedah

primer usus halus, dengan insidens sekitar 100.000 kasus per tahun. Insidens tertinggi didapatkan di Amerika Utara dan Eropa Utara (1). Di Amerika Serikat, dan Eropa Barat insidens Crohns disease mencapai 2 kasus per 100.000 populasi, dengan prevalensi sekitar 20 40 kasus per 100.000 populasi (2). Dilaporkan bahwa telah terjadi peningkatan insidens Crohns disease secara dramatis di Amerika Serikat antara tahun 1950-an hingga 1970-an, untuk selanjutnya menjadi stabil pada tahun 1980-an ([3]). Menurut jenis kelamin, insidens Crohns disease lebih tinggi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, dengan rasio 1,1 1,8 : 1. Beberapa ahli percaya bahwa distribusi jenis kelamin ini berhubungan dengan proses-proses autoimun yang terjadi pada Crohns disease (2). Crohns disease mempunyai 2 puncak insidens berdasarkan kelompok usia. Puncak insidens pertama adalah pada 18 25 tahun. Puncak usia berikutnya adalah antara 60 80 tahun. Pada pasien yang berusia lebih muda dari 20 tahun Crohns disease lebih banyak menyerang usus halus, sedangkan pada yang berusia diatas 40 tahun Crohns disease lebih banyak menyerang colon. Penyebab perbedaan lokasi penyakit ini tidak diketahui (2,3). Meskipun Crohns disease dapat menyerang setiap bagian dari saluran cerna, namun terdapat tiga lokasi primer baik secara klinis maupun anatomis yang paling sering, yaitu hanya usus halus saja (30%), usus halus bagian distal dan colon (45%), dan hanya colon saja (25%). 30% dari seluruh kasus Crohns disease terjadi bersamaan dengan penyakit rektal, dan 33 50% terjadi bersamaan dengan penyakit perianal seperti fisura ani, abses perianal, dan fistula perianal (1,2).

1.4. ETIOLOGI DAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO


Etiologi dari Crohns disease masih belum diketahui [4] . Terdapat beberapa penyebab potensial yang diperkirakan secara bersama-sama menimbulkan Crohns disease, yang paling mungkin adalah infeksi, imunologis, dan genetik. Kemungkinan
(1,2,3, )

lain adalah faktor lingkungan, diet, merokok, penggunaan kontrasepsi oral, dan psikososial. (1,2,3,[5]). 1.4.1. Faktor Infeksi Meskipun terdapat beberapa agen-agen infeksi yang diduga merupakan penyebab potensial Crohns disease, namun terdapat dua agen infeksi yang paling menarik perhatian yaitu mycobacteria, khususnya Mycobacterium paratuberculosis dan virus measles (1). Infeksi lain yang diperkirakan menjadi penyebab Crohns disease adalah Chlamydia, Listeria monocytogenes, Pseudomonas sp, dan retrovirus (3). 1.4.2. Faktor Imunologis Kelainan-kelainan imunologis yang telah ditemukan pada pasien-pasien dengan Crohns disease mencakup reaksi-reaksi imunitas humoral dan seluler yang menyerang sel-sel saluran cerna, yang menunjukkan adanya proses autoimun. Faktor-faktor yang diduga berperanan pada respons inflamasi saluran cerna pada Crohns disease mencakup sitokin-sitokin, seperti interleukin (IL)1, IL-2, IL-8, dan TNF (tumor necroting factor). Peranan respons imun pada Crohns disease masih kontroversial, dan mungkin timbul sebagai akibat dari proses penyakit dan bukan merupakan penyebab penyakit (1). 1.4.3. Faktor Genetik Faktor genetik tampaknya memegang peranan penting dalam patogenesis Crohns disease, karena faktor risiko tunggal terkuat untuk timbulnya penyakit ini adalah adanya riwayat keluarga dengan Crohns disease (1). Sekitar 1 dari 5 pasien dengan Crohns disease (20%) mempunyai setidaknya satu anggota keluarga dengan penyakit yang sama (3). Pada berbagai penelitian didapatkan bahwa Crohns disease berhubungan dengan kelainan pada gen-gen HLA-DR1 dan DQw5 (2). 1.4.4. Faktor-faktor Lain Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian ASI merupakan faktor proteksi terhadap timbulnya Crohns disease (3). Merokok dan penggunaan kontrasepsi oral meningkatkan risiko timbulnya Crohns disease dan risiko ini meningkat sejalan dengan

lamanya penggunaan (2).

1.5. PATOLOGI
Stadium dini Crohns disease ditandai dengan limfedema obstruktif dan pembesaran folikel-folikel limfoid pada perbatasan mukosa dan submukosa. Ulserasi mukosa yang menutupi folikelfolikel limfoid yang hiperplastik menimbulkan pembentukkan ulkus aptosa. Pada pemeriksaan mikroskopis, ulkus aptosa terlihat sebagai ulkus-ulkus kecil yang berbatas tegas dan tersebar, dengan diameter sekitar 3 mm dan dikelilingi oleh daerah eritema. Sebagai tambahan, lapisan mukosa menebal sebagai akibat dari inflamasi dan edema, dan proses inflamasi tersebut meluas hingga melibatkan seluruh lapisan usus (3,5). Ulkus aptosa cenderung membesar atau saling bersatu, menjadi lebih dalam dan sering menjadi bentuk linear. Sejalan dengan makin buruknya penyakit, dinding usus menjadi semakin menebal dengan adanya edema dan fibrosis, dan cenderung menimbulkan pembentukkan striktura. Karena lapisan serosa dan mesenterium juga mengalami inflamasi, maka lengkunganlengkungan usus menjadi saling menempel. Akibatnya, ulkusulkus yang telah meluas hingga keseluruhan dinding usus akan membentuk fistula antar lengkungan usus yang saling menempel. Tetapi lebih sering terjadi saluran sinus yang berakhir buntu ke dalam suatu cavitas abses di dalam ruang peritoneal, mesenterium, atau retroperitoneum (5).

1.6. DIAGNOSIS
1.6.1. Anamnesis Gambaran klinis umum pada Crohns disease adalah demam, nyeri abdomen, diare, dan penurunan berat badan. Diare dan nyeri abdomen merupakan gejala utama keterlibatan colon. Perdarahan per rectal lebih jarang terjadi. Keterlibatan usus halus dapat berakibat nyeri yang menetap dan terlokalisasi pada kuadran kanan bawah abdomen (2,3,5). 1.6.2. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik didapatkan nyeri pada kuadran

kanan bawah abdomen yang dapat disertai rasa penuh atau adanya massa. Pasien juga dapat menderita anemia ringan, leukositosis, dan peningkatan LED (2). Obstruksi saluran cerna merupakan komplikasi yang paling sering terjadi. Pada stadium dini, obstruksi pada ileum yang terjadi akibat edema dan inflamasi bersifat reversibel. Sejalan dengan makin memburuknya penyakit, akan terbentuk fibrosis, yang berakibat menghilangnya diare yang digantikan oleh konstipasi dan obstruksi sebagai akibat penyempitan lumen usus (2). Pembentukkan fistula sering terjadi dan menyebabkan abses, malabsorpsi, fistula cutaneus, infeksi saluran kemih yang menetap, atau pneumaturia. Meskipun jarang, dapat terjadi perforasi usus sebagai akibat dari keterlibatan transmural dari penyakit ini (2,3). 1.6.3. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang disarankan adalah x-foto polos, x-foto kontras tunggal saluran cerna bagian atas dengan follow-though usus halus atau enteroclysis dengan CT, dan pemeriksaan kontras ganda usus halus. USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang jika terdapat masalah dengan penggunaan kontras. Hingga saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium spesifik yang berguna dalam diagnosis Crohns disease, atau yang berhubungan dengan aktivitas klinis penyakit. Pemeriksaan radiologi pada Crohns disease akan dibahas lebih lanjut pada Bab II.

1.7. DIAGNOSIS BANDING


Penyakit-penyakit yang harus dipikirkan sebagai doagnosis banding Crohns disease antara lain (2): Cholangitis Colitis iskemik Colitis pseudomembranosa Diverticulitis colon Tuberculosis gastrointestinalis

Colitis ulserativa Enteritis infeksiosa Colitis infeksiosa

1.8. PENATALAKSANAAN
1.8.1. Terapi Medikamentosa Penatalaksanaan medikamentosa Crohns disease dapat dibagi menjadi terapi terhadap kekambuhan akut dan terapi pemeliharaan. Dalam terapi terhadap kekambuhan akut, pemicupemicu seperti infeksi yang mendasari, fistula, perforasi, dan proses patologi lainnya harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum dilakukannya terapi glukokortikoid intravena (2). Obat-obatan yang digunakan dalam terapi terapi Crohns disease mencakup antibiotika, aminosalisilat, kortikosteroid, dan imunomodulator (3). Sebagai terapi utama pada kondisi akut, hidrokortison atau metilprednisolon intravena sering digunakan sebagai tambahan terhadap metronidazole dan pengistirahatan usus. Penggunaan terapi steroid terbatas untuk mencapai respons yang cepat dalam waktu singkat karena pada penggunaan jangka lama mempunyai berbagai efek samping, seperti osteonekrosis, myopati, osteoporosis, dan gangguan pertumbuhan. Dapat pula digunakan inhibitor imunitas yang diperantarai sel yaitu cyclosporine secara intravena jika pasien menunjukkan respons yang buruk terhadap terapi kortikosteroid (2,3). Tujuan dari terapi kronis adalah menghilangkan inflamasi usus. Aminosalisilat merupakan terapi pilihan karena aktivitas antiinflamasinya. Berbagai obat telah digunakan, yang masingmasing mempunyai target lokasi yang berbeda pada usus. Sulfasalazine dan balsalazide terutama dilepaskan di colon. Dipentum dan Asacol terutama dilepaskan di ileum distal dan colon. Pentasa dapat dilepaskan di duodenum hingga colon bagian distal, sementara Rowasa secara spesifik digunakan untuk rectum dan colon bagian distal (2,3). Methotrexate, azathioprine, dan 6-mercaptopurine adalah

modulator sistem imun non-steroid yang dapat ditoleransi dengan baik. Azathioprine, yang secara non-enzymatis dikonversi di dalam tubuh menjadi 6-mercaptopurine, selanjutnya dimetabolisme menjadi asam thioinosinic, yang merupakan zat inhibitor sintesa purin. Efek samping dari azathioprine and 6-mercaptopurine jarang terjadi dibandingkan dengan steroid (2,3). Methotrexate, efektif untuk pasien-pasien yang tidak memberikan respons terhadap azathioprine dan 6-mercaptopurine. Efek samping utamanya mencakup leukopenia, nyeri pada saluran cerna, dan pneumonitis hipersensitivitas (2,3). Terapi yang baru adalah Infliximab, Etanercept dan CDP571 yang merupakan anti TNF-, yang semakin luas dipergunakan dan menunjukkan hasil yang menjanjikan, dengan adanya peningkatan tingkat remisi hingga 48% setelah 4 minggu terapi dan dengan penutupan fistula secara sempurna pada 55% pasien setelah 80 hari pemberian infliximab. Obat-obat lain seperti mycophenolate telah dikembangkan untuk menghambat sintesa nukleotida guanin dan oleh karena itu menghambat limfosit B dan T (2,3). 1.8.2. Terapi Bedah Antara 70 80% pasien dengan Crohns disease membutuhkan terapi bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohns disease mencakup kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi, seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna, komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit perianal (1,2). Terapi bedah pada pasien dengan Crohns disease harus ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat dalam komplikasi saja yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk menghindari terjadinya short bowel syndrome (1). Anak-anak penderita Crohns disease dengan gejala-gejala sistemik seperti gangguan tumbuh-kembang, akan mendapatkan keuntungan dengan menjalani terapi bedah reseksi usus. Meskipun komplikasi ekstraintestinal Crohns disease bukan merupakan

indikasi utama terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi usus (1). Reseksi segmental usus yang terbukti terlibat penyakit yang diikuti dengan anastomosis merupakan prosedur pilihan dalam terapi bedah Crohns disease. Alternatif prosedur lain dari reseksi segmental dari lesi-lesi yang mengobstruksi adalah stricturoplasty. Teknik ini memungkinkan ditinggalkannya daerah permukaan usus dan terutama cocok untuk pasien dengan penyakit yang menyebar luas dan telah mengalami striktura fibrotik yang mungkin telah pernah menjalani operasi sebelumnya dan dalam risiko timbulnya short bowel syndrome. Namun teknik stricturoplasty mempunyai risiko kekambuhan yang cukup tinggi. Prosedur-prosedur bypass usus kadang-kadang perlu dilakukan jika telah terjadi abses-abses intramesenterial atau jika usus yang sakit telah bersatu membentuk massa inflamasi yang padat, yang tidak memungkinkan dilakukannya mobilisasi usus. Prosedur bypass (gastrojejunostomy) juga digunakan jika telah terjadi striktura duodenum, dimana prosedur stricturoplasty maupun reseksi segmental sulit dilakukan. Sejak tahun 1990-an, telah dilakukan prosedur operasi laparoskopik terhadap pasien-pasien dengan Crohns disease, namun hasilnya masih belum memuaskan dan teknik operasinya sulit (3).

1.9. KOMPLIKASI
Manifestasi ekstraintestinal Crohns disease mencakup aptosa oral, ulkus, eritema nodosum, osteomalacia dan anemia sebagai akibat dari malabsorpsi kronis; osteonekrosis sebagai akibat terapi steroid kronis; pembentukkan batu empedu sebagai akibat keterlibatan ileus yang menyebabkan gangguan reabsorpsi garam empedu; batu oksalat ginjal sebagai akibat dari penyakit colon; pancreatitis sebagai akibat dari terapi sulfasalazine, mesalamine, azathioprine atau 6-mercaptopurine; pertumbuhan bakteri yang berlebihan rebagai akibat reseksi bedah; dan manifestasi-manifestasi lainnya seperti amyloidosis, komplikasi tromboembolik, penyakit hepatobiliaris, dan kolangitis sklerosis primer (1,2,3,5).

1.9.1. Abses Abses terbentuk pada sekitar 15 20% pasien dengan Crohns disease sebagai akibat dari pembentukkan saluran sinus atau sebagai komplikasi pembedahan. Abses dapat ditemukan di mesenterium, cavum peritoneal, atau retroperitoneum, atau di lokasi ekstraperitoneal. Lokasi tersering abses retroperitoneal adalah fossa ischiorectal, ruang presacral, dan regio iliopsoas. Ileum terminal merupakan lokasi tersering sumber abses. Abses merupakan salah satu penyebab utama kematian pada Crohns disease (2). 1.9.2. Obstruksi Obstruksi terjadi pada 20 30% pasien dengan Crohns disease. Pada awal perjalanan penyakit, terlihat adanya obstruksi yang reversibel dan hilang timbul pada saat setelah makan, yang disebabkan oleh edema dan spasme usus. Setelah beberapa tahun, inflamasi yang menetap ini akan secara bertahap memburuk hingga terjadi penyepitan dan striktur lumen akibat fibrostenotik (2). 1.9.3. Fistula Pembentukkan fistula merupakan komplikasi yang sering dari Crohns disease pada colon. Komplikasi fistula yang disertai abses atau penyakit berat paling sulit ditangani. Hal ini terjadi pada pasien dengan Crohns disease. Peranan terapi medikamentosa hanyalah untuk mengontrol obstruksi, inflamasi, atau proses-proses supuratif sebelum dilakukannya terapi definitif, yaitu pembedahan. Perlu dilakukan operasi untuk meng-evakuasi abses dan, jika tidak ada kontraindikasi berupa sepsis, dilanjutkan dengan reseksi usus yang sakit. Fistula dapat berakibat perforasi usus spontan pada 1 2% pasien (2). 1.9.4. Keganasan Keganasan saluran cerna merupakan penyebab utama kematian pada Crohns disease. Adenocarcinoma biasanya timbul pada daerah-daerah dimana terjadi penyakit kronis. Sayangnya, sebagian besar kanker yang berhubungan dengan Crohns disease tidak terdeteksi hingga tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Selain keganasan saluran cerna, keganasan

ekstraintestinal (misalnya, squamous cell carcinoma pada pasien dengan penyakit kronis di daerah perianal, vulva atau rectal) dan limfoma Hodgkin atau non-Hodgkin juga terbukti lebih sering terjadi pada pasien-pasien dengan Crohns disease (2).

1.10. PROGNOSIS
Rata-rata timbulnya komplikasi pada pasien dengan Crohns disease yang sudah menjalani terapi bedah adalah antara 15 30%. Komplikasi bedah yang paling sering terjadi adalah infeksi luka operasi, pembentukkan abses-abses intraabdominal, dan kebocoran anastomosis (1,3). Sebagian besar pasien yang telah menjalani reseksi usus mengalami kekambuhan penyakit, yaitu 70% dalam waktu 1 tahun setelah operasi dan 85% dalam waktu 3 tahun setelah operasi. Kekambuhan klinis ditandai dengan berulangnya gejala-gejala Crohns disease. Sekitar pasien membutuhkan operasi ulang dalam waktu 5 tahun setelah operasi yang pertama (1,3).

BAB II PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA CROHNS DISEASE


2.1. X-FOTO
Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohns disease adalah terbatas. Dua keunggulan utama x-foto polos adalah (1) untuk memastikan adanya obstruksi usus dan (2) untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis lanjutan. Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis atau batu ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita Crohns disease (1,2). Pemeriksaan barium enema kontras ganda bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit inflamasi usus dan untuk membedakan antara Crohns disease dengan colitis ulcerativa, khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan kontras ganda, Crohns disease tahap dini ditandai dengan adanya ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik barium

yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-ulkus aptosa seringkali terpisah oleh jaringan usus yang normal dan terlihat sebagai skip lesions (2,5). Gambar 2. 1. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohns disease menunjukkan sejumlah ulkus aptosa Gambar 2. 2. Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada Crohns disease menunjukkan ulserasi, inflamasi, dan penyempitan lumen colon kanan. Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus yang kecil akan membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang, berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering terlihat di daerah ileum terminal disepanjang perbatasan mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari Crohns disease. Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan muskularis, ulkus-ulkus tersebut terpisah satu sama lain oleh edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras terlihat gambaran pola-pola cobblestone atau nodular, yaitu pengisian kontras pada lekukan ulkus yang terlihat radioopaque dikelilingi mukosa usus yang radiolusen (2,5). Gambar 2. 3. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis memperlihatkan ulserasi linear, longitudinal dan transversal yang membentuk cobblestone appearance. Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang berakibat pengecilan diameter lumen usus dan distensinya menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai string sign (2,5).

Gambar 2. 4. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis memperlihatkan beberapa penyempitan dan striktura, yang memberikan gambaran string sign. Gambar 2. 5. Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan fokus pada ileum terminalis memperlihatkan gambaran string sign. Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium enema pada 25 50% pasien dengan Crohns disease. Secara umum, didapatkan hasil negatif palsu sebanyak 18 20% kasus. Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar 95% dalam membedakan antara Crohns disease dengan colitis ulserativa (2).

2.2. CT-SCAN
Peranan pencitraan CT dalam evaluasi Crohns disease telah diterima secara luas. Kemampuan CT untuk mencitrakan keterlibatan usus dan patologi ekstraluminal (misalnya, abses, obstruksi, fistula) membuatnya menjadi cara pencitraan yang penting. Hasil pencitraan CT pada Crohns disease tahap dini adalah penebalan dinding usus, yang biasanya melibatkan usus halus bagian distal dan colon, meskipun setiap segmen pada saluran cerna dapat terlibat. Biasanya, penebalan dinding usus mencapai 5 15 mm (2,5). Gambar 2. 6. Gambaran CT Scan pada pasien dengan Crohns disease, tampak penebalan dinding ileum dan inflamasi mesenterium. Ulserasi pada mukosa dapat terdeteksi pada potongan tipis CT. dapat pula terlihat adanya lilitan mesenterium, penebalan lapisan lemak mesenterium, adenopati lokal, fistula, dan abses (2,5).

Gambar 2. 7. CT scan pada Crohns disease menunjukkan penebalan dinding usus halus, dan inflamasi dan adenopati pada mesenterium. Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium menimbulkan peningkatan hilangnya densitas lemak, yang disebut hazy fat pada CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan lemak yang lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas pita linear jaringan lunak yang melintasi mesenterium. Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau tahap dini pembentukan abses. Pembesaran kelenjar limfe biasanya terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi mesenterium (2,5). Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa berbentuk bulat atau oval dengan densitas rendah, berbatas jelas, dan seringkali multilokus. Terlihatnya gambaran gelembunggelembung gas menunjukkan adanya hubungan fistula dengan usus atau, lebih jarang, timbul dari infeksi oleh mikroorganisme yang menghasilkan gas (2). Gambar 2. 8. CT scan pada Crohns disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan dengan inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan.

Gambar 2. 9. CT scan pada Crohns disease fase kronis menunjukkan penebalan dinding colon kanan tanpa inflamasi pada jaringan lemak mesenterium yang berhubungan, dan sejumlah besar proliferasi lemak disekeliling colon kanan yang memisahkan colon dari keseluruhan usus, sehingga disebut creeping

fat. CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan pertama pada pasien-pasien dengan gejala-gejala akut Crohns disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan dinding usus, organorgan abdomen yang lokasinya berdekatan dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi konvensional dengan kontras barium dalam mendiagnosis komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohns disease. CT Scan dapat secara langsung menunjukkan penebalan dinding usus, edema mesenterika, limfadenopati, phlegmon dan abses. Sensitivitas CT Scan untuk Crohns disease adalah sekitar 71% (2). CT Scan tidak hanya merupakan prosedur diagnostik terpilih, tetapi dapat pula digunakan dalam penatalaksanaan abses, yaitu melalui prosedur CT-guided percutaneous abscess drainage, yang telah menampakkan hasil yang sangat memuaskan (2).

2.3. MRI
Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang terbatas dalam pemeriksaan abdomen karena banyaknya artefak yang bergerak. Dengan adanya peningkatan gradien dan pencitraan dengan menahan napas telah memungkinkan pencitraan MRI terhadap abdomen dan pelvis pada sebagian besar pasien. Serbagai tambahan, untuk mencapai pencitraan yang optimal dengan MRI seringkali membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras positif atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui selang nasojejunal atau rectal. Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin tidak dapat men-toleransi pemberian sejumlah besar cairan per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan terjadi gangguan dalam mendeteksi segmensegmen usus yang ter-inflamasi (2). Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi komplikasikomplikasi anorectal Crohns disease dengan baik. MRI dengan teknik regular fast spin-echo,dapat mendeteksi adanya fistula,

saluran sinus, dan abses pada regio anorectal (2,5). Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense pada pencitraan T1-weighted dan hiperintense pada T2-weighted karena kandungan cairannya. Dengan supresi lemak, sinyal cairan dapat di-intensifikasi dan dengan mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-weighted. Suatu abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari daerah-daerah dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-intensity areas) pada pencitraan T2weighted, khususnya pada fossa ischioanal (2) Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan dinding, proliferasi fibrosa dan lemak, dan enhancement dinding usus dengan zat kontras gadolinium-based. Selama fase inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula terlihat pada pencitraan T2-weighted, dan dapat dengan mudah dibedakan dari usus yang normal. Pola enhancement dideskripsikan oleh Koh et al sebagai berlapis-lapis dan spesifik untuk Crohns disease (2,) Gambar 2. 10. Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohns disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan dengan peningkatan sinyal intramural pada pencitraan T1-weighted. Hal ini dipercaya sebagai gambaran adanya deposisi lemak intramural. Gadolinium-enhanced spoiled gradient-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 85 89%, spesifisitas sekitar 96 94%, dan akurasi sekitar 94 91% untuk mendeteksi penyakit akut. Sementara single-shot fast spin-echo MRI mempunyai sensitivitas sekitar 51 52%, spesifisitas sekitar 98 96%, dan akurasi sekitar 83 84%. Hasil positif palsu paling sering terjadi jika terdapat enhancement gadolinium tanpa adanya penebalan usus. Hasil negatif palsu paling sering terjadi jika terdapat distensi usus yang suboptimal (2)

2.4. USG
Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang tinggi, yang tergantung pada keahlian pemeriksa dalam mendeteksi perubahan-perubahan pada dinding usus. USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam mengevaluasi manifestasi-manifestasi intra dan ekstra luminal dari Crohns disease. Dinding saluran cerna yang normal terlihat sebagai 5 konsentris dari lapisan-lapisan echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini dikenal sebagai the gut signature. Dinding saluran cerna yang normal mempunyai ketebalan kurang dari 5 mm (2,) Pada kasus Crohns disease aktif, ketebalan dinding usus berkisar antara 5 mm hingga 2 cm dengan gambaran lapisanlapisan yang menghilang sebagian atau seluruhnya, yang merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang hebat, dinding usus akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic ditengahnya yang berhubungan dengan penyempitan lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan segmen usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan hilangnya haustra (2).

Gambar 2. 11. A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan Crohns disease, terlihat adanya penebalan dinding usus yang hypoechoic, hilangnya gut signature, dan garis hyperechoic yang menunjukkan penyempitan lumen usus. USG dapat mencitrakan adanya ballooning dari segmensegmen yang tidak terlibat, yang terlihat sebagai kantung-kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini merefleksikan skip lesions pada Crohns disease. Akurasi USG dapat ditingkatkan dengan menggunakan pencitraan berwarna Doppler, yang dapat bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang hiperemis atau

terinflamasi selama fase aktif penyakit (2). Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and fibrosis dari mesenterium yang berhubungan, berakibat adanya proyeksi jaringan lemak mesenterium yang terlihat seperti jari-jari yang mencengkram permukaan serosa usus. Pada ultrasonogram, gambaran ini tampak sebagai massa yang hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic ileum terminal. Dengan penyakit yang telah berlangsung lama, gambaran ini akan terlihat lebih heterogen atau bahkan hypoechoic (2).

2.5. RADIONUKLIR
Leukosit yang diberi penanda technetium-99m-HMPAO atau indium-111 dapat digunakan untuk menentukan inflamasi aktif usus pada inflammatory bowel disease. Dibandingkan dengan penanda 111In, penanda 99mTc HMPAO mempunyai karakteristik pencitraan yang lebih baik dan dapat lebih cepat dicitrakan segera setelah injeksinya. Akan tetapi, biasanya pencitraan harus dilakukan dalam waktu beberapa jam setelah injeksi leukosit berlabel 99mTc HMPAO sebagaimana telah terjadi ekskresi normal ke usus, tidak seperti leukosit berlabel 111In, yang tidak mempunyai ekskresi ke usus (2). Molnar dkk menemukan bahwa pencitraan leukosit berlabel 99mTc HMPAO pada Crohns disease yang aktif mempunyai sensitivitas 76,1% dan spesifisitas 91,0%, dan lebih baik dalam mendeteksi aktivitas inflamasi segmental dibandingkan dengan CT Scan, sementara CT Scan lebih unggul dalam mendeteksi adanya komplikasi (2). Positif palsu dapat terlihat pada perdarahan saluran cerna, tertelannya leukosit (misalnya, dari uptake yang berhubungan dengan sinusitis atau nasogastric tubes), atau aktivitas yang berhubungan dengan pelepasan enteric tubes. Sebagai tambahan, uptake leukosit tidak spesifik untuk Crohns disease dan akan terlihat pada sebagian besar proses-proses infeksius atau inflamasi usus (2).

DAFTAR PUSTAKA
[1]. Sabiston. Textbook of Surgery. 17th ed. Ch. 43. WB Saunders. Philadelphia. 2002. pp 888 95. [2]. Yung-Hsin C. Crohn Disease. 2004. http://www.emedicine.com/radio/topic197.htm [ONLINE] [3]. Kodner IJ, Fry RD, Fleshman JW, Birnbaum EH, Read TE. Colon, Rectum, and Anus. Schwartz Principles of Surgery. 7th Ed. Vol. 2. Ch. 26. McGraw-Hill. Singapore. pp 1318 28. [4]. Crohns Disease. http://seniorhealth.about.com/cs/digestivetract/a/crohns.htm [ONLINE] [5]. Taveras JM, Kelvin FM. Crohns Disease. Radiology on CDROM. Lippincott-Raven. Philadelphia-Pennsylvania.

Crohns Disease U.S. Department of Health and Human Services

What is Crohns disease? Crohns disease is an ongoing disorder that causes inflammation of the digestive tract, also referred to as the gastrointestinal (GI) tract. Crohns disease can affect any area of the GI tract, from the mouth to the anus, but it most commonly affects the lower part of the small intestine, called the ileum. The swelling extends deep into the lining of the affected organ. The swelling can cause pain and can make the intestines empty frequently, resulting in diarrhea. Crohns disease is an inflammatory bowel disease, the general name for diseases that cause swelling in the intestines. Because the symptoms of Crohns disease are similar to other intestinal disorders, such as irritable bowel syndrome and ulcerative colitis, it can be difficult to diagnose. Ulcerative colitis causes inflammation and ulcers in the top layer of the lining of the large intestine. In Crohns disease, all layers of the intestine may be involved, and normal healthy bowel can be found between sections of diseased bowel. Crohns disease affects men and women equally and seems to run in some families. About 20 percent of people with Crohns disease have a blood relative with some form of inflammatory bowel disease, most often a brother or sister and sometimes a parent or child. Crohns disease can occur in people of all age groups, but it is more often diagnosed in people between the ages of 20 and 30. People of Jewish heritage have an increased risk of developing Crohns disease, and NATIONAL INSTITUTES OF HEALTH

The digestive system African Americans are at decreased risk for developing Crohns disease. Crohns disease may also be called ileitis or enteritis. What causes Crohns disease? Several theories exist about what causes Crohns disease, but none have been proven. The human immune system is made from cells and different proteins that protect people from infection. The most popular theory is that the bodys immune system reacts abnormally in people with Crohns disease, mistaking bacteria, foods, and other National Digestive Diseases Information Clearinghouse

substances for being foreign. The immune systems response is to attack these invad ers. During this process, white blood cells accumulate in the lining of the intestines,

producing chronic inflammation, which leads to ulcerations and bowel injury. Scientists do not know if the abnormality in the functioning of the immune system in people with Crohns disease is a cause, or a result, of the disease. Research shows that the inflammation seen in the GI tract of people with Crohns disease involves several factors: the genes the patient has inherited, the immune system itself, and the environment. Foreign substances, also referred to as antigens, are found in the environment. One possible cause for inflammation may be the bodys reaction to these antigens, or that the antigens themselves are the cause for the inflammation. Scientists have found that high levels of a protein produced by the immune system, called tumor necrosis factor (TNF), are present in people with Crohns disease. What are the symptoms? The most common symptoms of Crohns disease are abdominal pain, often in the lower right area, and diarrhea. Rectal bleed- ing, weight loss, arthritis, skin problems, and fever may also occur. Bleeding may be seri- ous and persistent, leading to anemia. Chil- dren with Crohns disease may suffer delayed development and stunted growth. The range and severity of symptoms varies. How is Crohns disease diagnosed? A thorough physical exam and a series of tests may be required to diagnose Crohns disease. Blood tests may be done to check for ane- mia, which could indicate bleeding in the intestines. Blood tests may also uncover a high white blood cell count, which is a sign of inflammation somewhere in the body. By testing a stool sample, the doctor can tell if there is bleeding or infection in the intestines. The doctor may do an upper GI series to look at the small intestine. For this test, the person drinks barium, a chalky solu- tion that coats the lining of the small intes- tine, before x rays are taken. The barium shows up white on x-ray film, revealing inflammation or other abnormalities in the intestine. If these tests show Crohns disease, more x rays of both the upper and lower digestive tract may be necessary to see how much of the GI tract is affected by the disease. The doctor may also do a visual exam of the colon by performing either a sigmoidoscopy or a colonoscopy. For both of these tests, the doctor inserts a long, flexible, lighted tube linked to a computer and TV monitor into the anus. A sigmoidoscopy allows the doctor to examine the lining of the lower part of the large intestine, while a colonoscopy allows the doctor to examine the lining of the entire large intestine. The doctor will be able to see any inflammation or bleeding during either

2 Crohns Disease

of these exams, although a colonoscopy is usually a better test because the doctor can see the entire large inte involves taking a sample of tissue from the lining of the intes- tine to view with a microscope. What are the complications of Crohns disease?

The most common complication is blockage of the intestine. Blockage occurs because the disease tends to th tissue, narrow ing the passage. Crohns disease may also cause sores, or ulcers, that tunnel through the affec bladder, vagina, or skin. The areas around the anus and rectum are often involved. The tunnels, called fistulas

a common complication and often become infected. Sometimes fistulas can be treated with medicine, but in s addition to fistulas, small tears called fissures may develop in the lining of the mucus membrane of the anus.

Nutritional complications are common in Crohns disease. Deficiencies of proteins, calories, and vitamins are caused by inad- equate dietary intake, intestinal loss of protein, or poor absorption, also referred to as malabs

Other complications associated with Crohns disease include arthritis, skin problems, inflammation in the eye diseases of the liver and biliary system. Some of these prob- lems resolve during treatment for disease in the digestive system, but some must be treated separately. What is the treatment for Crohns disease?

Treatment may include drugs, nutrition supplements, surgery, or a combination of these options. The goals o correct nutri- tional deficiencies, and relieve symptoms like abdominal pain, diarrhea, and rectal bleeding. At disease by lowering the num- ber of times a person experiences a recur rence, but there is no cure. Treatme and severity of disease, complications, and the persons response to previous medical treat ments when treat Some people have long periods of remission, sometimes years, when they are free of symp- toms. However, a persons lifetime.

This changing pattern of the disease means one cannot always tell when a treatment has helped. Predicting w will return is not possible.

Someone with Crohns disease may need medical care for a long time, with regular doctor visits to monitor th Drug Therapy

Anti-inflammation drugs. Most people are first treated with drugs containing mesala- mine, a substance tha the most commonly used of these drugs. Patients who do not benefit from it or who cannot tolerate it may be

generally known as 5-ASA agents, 3 Crohns Disease

such as Asacol, Dipentum, or Pentasa. Pos- sible side effects of mesalamine-containing drugs include nausea, vomiting, heartburn, diarrhea, and headache. Cortisone or steroids. Cortisone drugs and steroidscalled corticosteriods provide very effective results. Prednisone is a common generic name of one of the drugs in this group of medications. In the beginning, when the disease is at its worst, prednisone is usually prescribed in a large dose. The dosage is then lowered once symptoms have been controlled. These drugs can cause serious side effects, includ- ing greater susceptibility to infection. Immune system suppressors. Drugs that suppress the immune system are also used to treat Crohns disease. Most commonly prescribed are 6-mercaptopurine or a related drug, azathioprine. Immunosuppressive agents work by blocking the immune reac- tion that contributes to inflammation. These drugs may cause side effects like nausea, vomiting, and diarrhea and may lower a per sons resistance to infection. When patients are treated with a combination of corticoster- oids and immunosuppressive drugs, the dose of corticosteroids may eventually be lowered. Some studies suggest that immunosuppressive drugs may enhance the effectiveness of corticosteroids. Infliximab (Remicade). This drug is the first of a group of medications that blocks the bodys inflammation response. The U.S. Food and Drug Administration approved the drug for the treatment of moderate to severe Crohns disease that does not respond to standard therapies (mesalamine substances, corticosteroids, immunosuppressive agents) and for the treatment of open, draining fistu- las. Infliximab, the first treatment approved specifically for Crohns disease, is an anti- TNF substance. Additional research will need to be done in order to fully understand the range of treatments Remicade may offer to help people with Crohns disease. Antibiotics. Antibiotics are used to treat bacterial overgrowth in the small intestine caused by stricture, fistulas, or prior surgery. For this common problem, the doctor may prescribe one or more of the following antibiotics: ampicillin, sulfonamide, cephalosporin, tetracycline, or metronidazole. Antidiarrheal and fluid replacements. Diarrhea and crampy abdominal pain are often relieved when the inflammation subsides, but additional medication may also be necessary. Several antidiarrheal agents could be used, including diphenoxylate, loper- amide, and codeine. Patients who are dehydrated because of diarrhea will be treated with fluids and electrolytes. Nutrition Supplementation

The doctor may recommend nutritional supplements, especially for children whose growth has been slowed. Special high- calorie liquid formulas are sometimes used for this purpose. A small number of patients may need to be fed intravenously for a brief time through a small tube inserted into the vein of the arm. This procedure can help patients who need extra nutrition tem- porarily, those whose intestines need to rest, or those whose intestines cannot absorb enough nutrition from food. There are no known foods that cause Crohns disease. However, when people are suffering a flare in disease, foods such as bulky grains, hot spices, alcohol, and milk products may increase diarrhea and cramping. 4 Crohns Disease

Surgery

Two-thirds to three-quarters of patients with Crohns disease will require surgery at some point in their lives. medications can no longer control symptoms. Surgery is used either to relieve symptoms that do not respond such as blockage, perforation, abscess, or bleeding in the intestine. Surgery to remove part of the intestine c not a cure. Surgery does not eliminate the disease, and it is not uncom mon for people with Crohns disease inflammation tends to return to the area next to where the diseased intestine was removed.

Some people who have Crohns disease in the large intestine need to have their entire colon removed in an op made in the front of the abdominal wall, and the tip of the ileum, which is located at the end of the small int opening, called a stoma, is where waste exits the body. The stoma is about the size of a quarter and is usually near the beltline. A pouch is worn over the opening to collect waste, and the patient empties the pouch as nee to live normal, active lives.

Sometimes only the diseased section of intes- tine is removed and no stoma is needed. In this operation, the i area and reconnected.

Because Crohns disease often recurs after surgery, people considering surgery should carefully weigh its ben treatments. Surgery may not be appropriate for everyone. People faced with this decision should get as much who work with colon surgery patients, called enterostomal therapists; and other patients. Patient advocacy or

gest support groups and other information resources. (See For More Information on page 7 for the names of s

People with Crohns disease may feel well and be free of symptoms for substantial spans of time when their d medication for long periods of time and occasional hospitaliza tions, most people with Crohns disease are a successfully at home and in society. 5 Crohns Disease

Can diet control Crohns

disease? People with Crohns disease often experi ence a decrease in appetite, which can affect their ability to receive the daily nutrition needed for good health and healing. In addition, Crohns disease is associated with diarrhea and poor absorption of necessary nutrients. No special diet has been proven effective for preventing or treating Crohns disease, but it is very important that people who have Crohns disease follow a nutritious diet and avoid any foods that seem to worsen symptoms. There are no consistent dietary rules to follow that will improve a persons symptoms. People should take vitamin supplements only on their doctors advice. Can stress make Crohns disease worse? There is no evidence showing that stress causes Crohns disease. However, people with Crohns disease sometimes feel increased stress in their lives from having to live with a chronic illness. Some people with Crohns disease also report that they experience a flare in disease when they are experiencing a stressful event or situation. There is no type of person that is more likely to experience a flare in disease than another when under stress. For people who find there is a connection between their stress level and a worsening of their symptoms, using relaxation techniques, such as slow breathing, and taking special care to eat well and get enough sleep, may help them feel better. Is pregnancy safe for women with Crohns disease? Research has shown that the course of preg- nancy and delivery is usually not impaired in women with Crohns disease. Even so, women with Crohns disease should discuss the matter with their doctors before preg nancy. Most children born to women with Crohns disease are unaffected. Children who do get the disease are sometimes more severely affected than adults, with slowed growth and delayed sexual development in some cases. Hope through Research The National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) conducts and supports research into many kinds of digestive disorders, including Crohns disease. Several clinical trials are currently evaluating the efficacy and safety of different therapies for the treatment of Crohns disease. Participants in clinical trials can play a more active role in their own health care, gain access to new research treatments before they are widely available, and help others by contributing to medical research. For information about current studies, visit www.ClinicalTrials.gov.

6 Crohns Disease

For More Information Crohns & Colitis Foundation of America

386 Park Avenue South, 17th Floor New York, NY 10016 Phone: 18009322423 or 2126853440 Em Internet: www.ccfa.org Reach Out for Youth with Ileitis and Colitis, Inc. P.O. Box 857 Bellmore, NY 11710 Phone: 6312933102 Email: info@reachoutforyouth.org Internet: www.reachoutforyouth.org United Ostomy Associations of America, Inc.

P.O. Box 512 Northfield, MN 550570512 Phone: 18008260826 Email: info@ostomy.org Internet: ww Acknowledgments

Publications produced by the Clearinghouse are carefully reviewed by both NIDDK scientists and outside ex Crohns & Colitis Foundation of America.

You may also find additional information about this topic by visiting MedlinePlus at www.medlineplus.gov.

This publication may contain information about medications. When prepared, this publication included the m or for questions about any medications, contact the U.S. Food and Drug Administration toll- free at 1888IN www.fda.gov. Consult your health care provider for more information.

The U.S. Government does not endorse or favor any specific commercial product or company. Trade, proprietary are used only because they are considered necessary in the context of the information provided. If a product is not imply that the product is unsatisfactory. 7 Crohns Disease

This publication is not copyrighted. The Clearinghouse encourages users of this publication to duplicate and distribute as many copies as desired. This publication is available at www.digestive.niddk.nih.gov. National Digestive Diseases Information Clearinghouse 2 Information Way Bethesda, MD 208923570 Phone: 18008915389 TTY: 1 8665691162 Fax: 7037384929 Email: nddic@info.niddk.nih.gov Internet: www.digestive.niddk.nih.gov The National Digestive Diseases Information Clearinghouse (NDDIC) is a service of the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK). The NIDDK is part of the National Institutes of Health of the U.S. Department of Health and Human Services. Established in 1980, the Clearinghouse provides information about digestive diseases to people with digestive disorders and to their families, health care professionals, and the public. The NDDIC answers inquiries, develops and distributes publications, and works closely with professional and patient organizations and Government agencies to coordinate resources about digestive diseases.

By Gugum Indra Firdaus Crohns disease atau kalau dalam bahasa Indonesia disebut Penyakit Crohns adalah sebuah penyakit di mana terjadi inflamasi (peradangan) pada saluran cerna sehingga mempengaruhi saluran cerna. Penyakit Crohns ini menyebabkan peradangan dan pembengkakan pada saluran pencernaan dan paling umum mempengaruhi ileum (bagian dari usus kecil), namun, pennyakit ini dapat pula terjadi pada seluruh saluran pencernaan dari mulut samapi ke anus. Walaupun dikatakan dalam beberapa literatur bahwa Crohns Disease merupakan penyakit yang dapat diderita seumur hidup dan tidak jelas sebabnya, namun terdapat berbagai macam metode penanganan dan terapi yang efektif bagi kebanyakan orang dalam mengendalikan gejala yang mereka rasakan. Gejala dan Penyebab Penyakit Crohns (Crohns Disease) Terjadinya inflamasi (peradangan) dari saluran cerna karena Crohns disease mengakibatkan banyak gejala yang tidak mengenakan penderita, seperti rasa nyeri di daerah perut dan diare yang sering menyebabkan dehidrasi berat sehingga membahayakan. Penyakit ini juga dapat menyebabkan malnutrisi yang dapat disebabkan malabsorbsi yang mana terjadi ketidakmampuan dalam menyerap nutrisi. Bahkan hal ini juga dapat menyebabkan kehilangan protein usus. Seseorang dengan Crohns disease sering mengalami kehilangan nafsu makan dan kebiasaan makan yang tidak baik sehingga mereka kekurangan gizi. Sementara itu penyebab pasti dari Crohns disease ini masih merupakan misteri yang belum terpecahkan di kalangan ilmuan dan peneliti khususnya di bidang kesehatan. Ada suatu hasil penelitian empiris yang mengatakan bahwa mungkin saja reaksi abnormal dari sistem kekebalan tubuh manusia itu sendiri yang salah

menginterpretasikan atau merespon secara berlebihan terhadap apa yang dialami tubuhnya. Respon sistem kekebalan tubuh ini menyebabkan peningkatan kadar sel-sel radang (dalam hal ini sel darah putih) di usus, sehingga terjadi proses peradangan yang bersifat kronik yang akhirnya mengakibatkan kerusakan dari mukosa usus dan ulserasi usus, akan tetapi, penelitian tersebut juga belum memastikan apakah reaksi abnormal dari sistem kekebalan tubuh itulah yang menyebabkan crohns disease atau justru sebaliknya inflamasi tersebutlah yang disebabkan oleh penyakit crohns. Beberapa penelitian juga mengatakan bahwa kondisi ini dapat disebabkan kelaina genetik atau herediter di mana banyak penderita yang mempunyai orang tua dengan keluhan serupa.

Penatalaksanaan Crohn Disease Sampai saat ini belum ada terapi definitif dari penyakit crohns, lha orang penyebabnya aja belum diketahui pasti, heheTapi pengobatan dapat dilakukan untuk meringankan gejala yang dialami pasien. Namun, tentunya sesuai dengan derajat keparahan dari penyakit itu sendiri. Dalam beberapa kasus, seseorang dapat mengalami remisi jangka panjang dari penyakit ini setelah perawatan medis yang biasanya terdiri dari pengobatan medis dan operasi (jika diperlukan). Obat-obatan yang digunakan biasanya adalah obat-obat anti inflamasi guna mengurangi proses inflamasi yang notabene bertanggung jawab terhadap gejala yang dialami penderita. Akan tetapi, karena banyaknya pertimbangan yang harus dipikirkan dan juga banyaknya macam-macam obat ini, maka dokterlah yang paling tepat untuk memutuskannya. Selain itu, obat-obat yang dipakai juga memungkinkan menyebabkan efek serius dan berisiko serta harus dipertimbangkan antara perbandingan keuntungan dan kerugian memilih obatobat tertentu. Dengan demikian, mungkin antara dokter satu dengan dokter lainnya memiliki pertimbangan khusus yang berbeda untuk menentukan obat

mana yang dipilih. Dalam kasus Crohns disease yang lebih berat atau ketika usaha pengobatan gagal, maka tindakan bedah dapat merupakan pilihan untuk memperbaiki atau menghilangan bagian yang rusak pada saluran cerna. Kira-kira tiga dari empat penderita membutuhkan tindakan bedah, tapi biasanya ini juga merupakan usaha untuk mengurangi gejala yang dirasa sangat mengganggu, jadi ada kemungkinan penderita akan membutuhkan operasi ke dua bahkan mungkin ke tiga atau lebih. Bagi penderita Crohns disease ini, sangat penting bagi anda untuk mengikuti seluruh rencana pengobatan oleh dokter anda. Selain itu hendaklah anda melakukan check up secara rutin untuk mencegah komplikasi yang lebih serius yang dapat mengancam kehidupan. Semoga bermanfaat, saya telah berusaha menghindari istilah medis yang terlalu berat, semata agar dapat dipahami juga oleh khalayak ramai. Terima kasih.

You might also like