You are on page 1of 20

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI

Mata adalah struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga lapisan. Dari yang paling luar ke paling dalam, lapisan lapisan itu adalah (1) sklera/ kornea; (2) koroid/badan siliar/iris; dan (3) Retina. 10

Gambar 1. Struktur mata

Retina adalah selapis tipis sel yang terletak pada bagian belakang bola mata. Retina merupakan bagian mata yang mengubah cahaya menjadi sinyal saraf. Retina memiliki sel fotoreseptor (sel batang dan sel kerucut) yang menerima cahaya. Ketika retina menyerap cahaya, molekul fotopigmen berdisosiasi menjadi komponen retinen dan opsin menyebabkan penutupan saluran-saluran Na+ gerbang zat perantara kimiawi sehingga terjadi hiperpolarisasi membran (potensial reseptor) yang mana menurunkan pengeluaran transmitter inhibitorik sehingga neuron bipolar tidak mengalami inhibisi atau, dengan kata lain, mengalami eksitasi, mengakibatkan terjadinya potensial aksi di sel ganglion yang merambat sampai ke korteks pengelihatan di lobus oksipitalis otak untuk persepsi penglihatan. 10,13

Retina manusia terdiri atas sepuluh lapis12. Urutan lapisan-lapisan tersebut adalah: 1.
2.

Epitel pigmen retina Lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar. (sel batang dan sel kerucut) Membran limitans eksterna - Lapisan yang membatasi bagian dalam Lapisan inti luar sel fotoreseptor, merupakan susunan lapis inti sel kerucut dan

3.
4.

fotoreseptor dari inti selnya sel batang. Ketiga lapis diatas avaskular dan mendapatkan metabolisme dari kapiler koroid.
5.

Lapisan pleksiform luar, pada bagian makula ini dikenal sebagai "Lapisan

serat Henle" (Fiber layer of Henle), merupakan lapisan aseluler dan tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan horizontal.
6.

Lapisan inti dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aseluler tempat sinaps sel bipolar, Lapisan sel ganglion merupakan lapisan yang terdiri dari inti sel ganglion dan Lapisan serabut saraf, merupakan lapisan akson sel ganglion menuju ke arah Membran limitans interna, merupakan membran hialin antara retina dan badan

Lapisan ini mendapatkan metabolisme dari arteri retina sentralis.


7.

sel amakrin dan sel ganglion.


8.

merupakan asal dari serabut saraf optik.


9.

saraf optik.
10.

kaca.

Gambar 2. Lapisan-lapisan retina

Warna retina biasanya jingga dan kadang-kadang pucat pada anemia dan iskemia dan merah pada hiperemia. Pembuluh darah dalam retina merupakan cabang arteri oftalmika, arteri retina sentral masuk ke dalam retina melalui papil saraf optik yang akan memberikan nutrisi pada retina dalam. Lapisan luar retina atau sel kerucut dan sel batang mendapatkan nutrisi dari lapisan koroid.12

Gambar 3. Layar belakang mata, Fundus okuli.

BAB III RETINOPATI DIABETIK

III.1 Definisi Retinopati diabetik adalah Komplikasi diabetes mellitus pada pembuluh darah retina yang diklasifikasikan menjadi retinopati diabetes nonproliferatif dan retinopati diabetes proliferatif.14

III.2 Epidemiologi

Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang perlu diwaspadai di Indonesia. Gambar 4 memperlihatkan proyeksi epidemi diabetes sedunia untuk tahun 2010. Terlihat berdasarkan benua, proyeksi angka penyandang diabetes paling tinggi diantara empat benua lainya. Di Indonesia sendiri telah dilakukan beberapa penelitian kuantitatif tentang penderita diabetes, antara lain di Padang, Jakarta, dan Manado. Hasil penelitian menunjukan kisaran penderita diabetes antara 1,4-2,3%. Penelitian di Koja tahun 1982 mendapatkan angka 1,7% , di Kayuputih (Jakarta Timur) pada tahun 1992 sebesar 5,7% dan daerah Abadijaya (Depok I) terdapat penderita diabetes sebesar 13,6% pada tahun 2001. Dengan demikian terlihat angka prevalensi diabetes selalu meningkat dati waktu-waktu.15

Gambar 4. Global Project for Diabetic Epidemic: 2000-2010

Prevalensi diabetes melitus untuk Indonesia cukup besar menurut RISKESDAS; sebesar 14,7% populasi di kawasan urban terancam diabetes dan 7,2% populasi rural
6

terancam diabetes. Jika diproyeksikan sebanyak 8,2 juta penduduk di kawasan kota dan 5,5 juta penduduk di kawasan desa di Indonesia mengalami diabetes yang artinya terjadi penambahan jumlah retinopati diabetik yang signifikan.15

Sekitar 40% dari kasus DM berisiko mengalami retinopati diabetes dan 8% diantaranya terancam mengalami risiko kebutaan. Di Amerika Serikat, retinopati diabetes merupakan penyebab utama dalam beberapa kasus legal blindness di usia produktif. Prevalensi retinopati diabetes adalah 3,4% atau diproyeksikan sekitar 4,1 juta orang terancam retinopati diabetes dengan 0,75% terancam kebutaan.15

Diabetes melitus tipe 1 (Insulin-Dependent Diabetes Melitus;IDDM). Juvenile onset, biasanya terjadi sebelum usia 30 tahun. Mayoritas pasien belum terkena retinopati selama 5 tahun pertama setelah terdiagnosis; 95% pasien diabetes tipe 1 menderita retinopati setelah 15 tahun). 72 % akan berkembang menjadi retinopati diabetes proliferatif.14

Diabetes mellitus tipe 2 ( Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus; NIDDM). adult onset, biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Sekitar 60% pasien dengan diabetes tipe 2 sudah mengalami retinopati diabetes saat penyakit diabetes terdiagnosis. 30% diantaranya akan berkembang menjadi retinopati diabetes dalam 5 tahun mendatang.14

III.3 Etiologi

Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi dinyakini bahwa hiperglikemia kronis yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. 16 Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang muda paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini. Hasil serupa diperoleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan lama penyakit sulit ditentukan secara tepat.17

Perubahan abnormalitas pada sebagian besar hematologi dan biokimiawi telah dihubungkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:16
7

1. Adhesi trombosit yang meningkat. 2. Agregasi eritrosit yang meningkat. 3. Abnormalitas lipid serum. 4. Fibrinolisis yang tidak sempurna 5. Abnormalitas dari sekresi hormon pertumbuhan 6. Abnormalitas serum dan viskositas darah

Beberapa faktor risiko penyebab retinopati diabetik antara lain: lamanya menderita diabetes, kadar gula darah tidak tekontrol, hipertensi, nefropati diabetik, kehamilan, dan faktor lain seperti merokok, obesitas, dan kadar kolesterol tinggi.

III.4 Klasifikasi

Retinopati diabetik dikelompokan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) yang tampak pada tabel 1.25

Tabel 1. Sistem Klasifikasi Retinopati DM berdasarkan ETDRS. Klasifikasi Retinopati DM Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3 Tanda pada pemeriksaan mata Tidak terdapat retinopati DM Hanya terdapat mikroaneurisma Retinopati DM nonproliferatif dengan derajat ringan sedang yang ditandai oleh mikroaneurisma dan satu atau lebih tanda: dilatasi vena, perdarahan, hard exudates, soft exudates, intraretinal microvascular
8

abnormalities (IRMA) Derajat 4 Retinopati DM nonproliferatif dengan derajat sedang-berat yang ditandai oleh : perdarahan derajat sedang-berat, mikroaneurisma, IRMA Derajat 5 Retinopati DM proliferatif yang ditandai oleh neovaskularisasi dan perdarahan vitreous.

III.5 Patofisiologi

Hiperglikemia kronis mengawali perubahan patologis pada retinopati DM dan terjadi perubahan fisiologi dan biokimiawi melalui beberapa jalur. Pertama, hiperglikemia memicu terbentuknya reactive oxygen intermediates ( ROIs), dan advanced glycation endproducts ( AGEs), ROIs dan AGEs merusak perisit dan endotel pembuluh darah serta merangsang pelepasan faktor vasoaktif seperti nitrit oxide (NO), prostasiklin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), dan endotelin.

Kedua hiperglikemia kronik mengaktivasi jalur poliol yang mengikat glikosilasi dan ekspresi aldolase reduktase sehingga terjadi akumulasi sorbitol. Glikosilasi dan akumulasi sorbitol kemudian mengakibatkan kerusakan endotel pembuluh darah dan disfungsi endotel.

Ketiga Hipergilkemia mengaktivasi transduksi sinyal protein kinase C intraseluler yang akan mengaktifkan vascular endothelial growth factor (VEGF) dan faktor pertumbuhan lain diaktivasi oleh protein kinase C intraseluler. VEGF menstimulasi ekspresi intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang memicu terbentuknya ikatan antara leukosit dan endotel pembuluh darah. Ikatan tersebut menyebabkan kerusakan sawar darah retina, serta trombosis dan oklusi kapiler retina. Keseluruhan jalur tersebut mengakibatkan gangguan sirkulasi, hipoksia, inflamasi pada retina. Hipoksia menyebabkan ekspresi faktor angiogenik yang berlebihan sehingga merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang lemah membran

basalisnya, defisiensi taut kedap antarsel endotelnya, dan kekurangan jumlah perisit. Akibatnya terjadi kebocoran protein plasma dan perdarahan di dalam retina dan vitreous.9

1. Retinopati diabetik nonproliferatif

Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk yang paling umum dijumpai,18 cerminan klinis dari hiperpermeabilitas dan inkompetensi pembuluh yang terkena.17 Disebabkan oleh penyumbatan dan kebocoran kapiler. Mekanisme perubahannya adanya perubahan endotel vaskular ( penebalan membran basalis dan hilangnya perisit) dan gangguan hemodinamik pada sel darah merah dan agregasi trombosit.17 Disini perubahan mikrovaskular pada retina terbatas pada lapisan dalam retina, tidak melebihi membran dalam.16

Karakterikstik pada jenis ini adalah dijumpai mikroaneurisma multipel yang dibentuk oleh kapiler-kapiler yang membentuk kantung-kantung kecil menonjol seperti titik-titik, vena retina mengalami dilatasin dan berkelok-kelok, bercak perdarahan dalam retina.16,17 Perdarahan dapat terjadi pada semua lapisan dan berbentuk nyala api karena lokasi didalam lapisan serat saraf yang berorientasi horizontal. Sedangkan perdarahan berbentuk titik-titik atau bercak terletak di lapisan retina yang lebih dalam tempat sel-sel akson yang berorientasi vertikal.17

Retinopati diabetik prepoliferatif merupakan stadium paling berat dari retinopati diabetik nonproliferatif. Pada keadaan ini terdapat penymbatan kapiler mikrovaskular dan kebocoran plasma yang berlanjut, disertai iskemik pada dinding retina ( cotton wool spot, infark pada lapisan serabut saraf). Hal ini menimbulkan area nonperfusi yang luas dan kebocoran darah atau plasma melalui endotel yang rusak. Ciri khas dari stadium ini adalah cotton wool spot, perdarahan bercak, intraretinal microvaskular abnormal (IRMA), dan rangkain vena yang seperti manik-manik. Bila satu dari keempatnya dijumpai ada kecenderungan untuk menjadi progresif, dan bila keempatnya dijumpai maka berisiko untuk menjadi retinopati proliferatif dalam satu tahun.19

10

Edema makula pada retinopati diabetik nonproliferatif merupakan penyebab tersering timbulnya gangguan penglihatan.18 Edema ini terutama disebabkan oleh rusaknya sawar darah-retina bagian dalam endotel kapiler retina sehingga terjadi kebocoran cairan dan plasma. Edema ini bersifat difus dan lokal. Edema ini tampak sebagai retina yang menebal dan keruh disertai mikroaneurisma dan eksudat retina sehingga terbentuk eksudat kuning kaya lemak berbentuk bundar disekitar mikroaneurisma dan paling sering berpusat di bagian temporal makula.17

2. Retinopati diabetik proliferatif

Retinopati diabetik proliferatif merupakan penyulit mata yang paling parah pada diabetes melitus. Pada jenis ini iskemia retina yang progresif akhirnya merangsang pembentukan pembuluh-pembuluh halus (neovaskularisasi) yang sering terletak pada permukaan diskus dan tepi posterior zona perifer disamping itu neovaskularisasi iris atau rubeosis iridis juga dapat terjadi. Pembuluh-pembuluh baru yang rapuh ini berproliferasi dan menjadi meninggi apabila korpus vitreum mulai bekontraksi menjauhi retina dan darah yang keluar dari pembuluh tersebuh menyebabkan terjadinya perdarahan masif sehingga menimbulkan penurunan pengelihatan mendadak.17

Di samping itu jaringan neovaskularisasi yang meninggi ini dapat mengalami fibrosis dan membentuk pita-pita fibrovaskular rapat yang menarik retina dan menimbulkan kontraksi terus-menerus pada kopus vitreum. Hal ini dapat menyebabkan pelepasan retina akibat traksi progresif, ablasio retina traksi atau apabila terjadi robekan retina terjadi ablasio retina regmentogenosa. Pelepasan retina dapat didahului atau ditutupi perdarahan korpus vitreum. Apabila kontraksi korpus vitreum telah sempurna pada mata, maka retinopati proliferatif cenderung masuk ke stadium involusional. 17

III. 6 Manifestasi klinis

11

a. Gejala klinis subjektif yang dijumpai dapat berupa:20-21

1. Sukar membaca 2. Penglihatan kabur


3. Penglihatan menurun tiba-tiba pada satu mata

4. Melihat lingkaran-lingkaran cahaya 5. Melihat bintik gelap dan cahaya kelap-kelip

Gambar 5. Perbedaan penglihatan normal dengan penglihatan pada retinopati diabetik

b. Gejala klinis objektif yang ditemukan pada retina.21

1. Mikroaneurisma, merupakan penonjolan dinding kapiler terutama daerah vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat pembuluh darah terutama pada polus posterior.

12

Gambar 6. Mikroaneurisma pada retinopati diabetik( garis merah).

2. Perdarahan dapat dalam bentuk titik, garis, bercak yang biasanya terletak dekat mikroaneurisma di polus posterior.

Gambar 7. Perdarahan pada retinopati diabetik

3. Hard exudate merupakan infiltrasi lipid ke dalam retina. Gambaranya khusus yaitu

ireguler, kekunung-kuningan. Pada permulaan eksudat pungtata membesar dan bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang dalam beberapa minggu.

13

Gambar. 8. Hard exudate

4.

Soft exudate yang sering disebut cotton wool patches merupakan gambaran iskemik pada retina. Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan terlihat bercak berwarna kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak dibagian tepi daerah nonperfusi.

Gambar 9. Soft exudate 5. Neovaskularisasi terletak pada permukaan retina. Tampak sebagai pembuluh darah yang berkelok-kelok, berkelompok, dan ireguler. Mula-mula terletak pada jaringan retina, kemudian berkembang ke daerah preretinal dan badan kaca. Pecahnya neovaskularisasi pada daerah-daerah ini dapat menimbulkan perdarahan retina, perdarahan preretinal dan perdarahan badan kaca.

14

Gambar 10. Neovaskularisasi

6. Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah makula sehingga mengganggu tajam pengelihatan.

III.7 Deteksi Dini Retinopati DM

Pada tahun 2010, The American Diabetes Association7 menetapkan beberapa rekomendasi pemeriksaan untuk deteksi dini retinopati DM. Pertama, orang dewasa dan anak berusia lebih dari 10 tahun yang menderita DM tipe I harus menjalani pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata dalam waktu lima tahun setelah diagnosis DM ditegakkan. Kedua, penderita DM tipe II harus menjalani.pemeriksaan mata lengkap oleh dokter spesialis mata segera setelah didiagnosis DM. Ketiga, pemeriksaan mata penderita DM tipe I dan II harus dilakukan secara rutin setiap tahun oleh dokter spesialis mata. Keempat, frekuensi pemeriksaan mata dapat dikurangi apabila satu atau lebih hasil pemeriksaan menunjukkan hasil normal dan dapat ditingkatkan apabila ditemukan tanda retinopati progresif. Kelima, perempuan hamil dengan DM harus menjalani pemeriksaan mata rutin sejak trimester pertama sampai dengan satu tahun setelah persalinan karena risiko terjadinya dan/atau perburukan retinopati DM meningkat, dan ia harus menerima penjelasan menyeluruh tentang risiko tersebut.7,9

III.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan awal untuk mendeteksi retinopati diabetik yaitu, pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop, menggunakan slitlamp dengan lensa kontak atau lensa +78 dioptri. Untuk membantu mendeteksi awal edema makula pada retinopati diabetik nonproliferatif dapat digunakan stereoscopic biomicroscopic menggunakan lensa +90
15

dioptri.18 Disamping itu angiografi fluoresens juga sangat bermanfaat dalam mendeteksi kelainan mikrovaskular pada retinopati diabetik. Dijumpai kelainan pada elektroretinografik juga memiliki hubungan dengan keparahn dan dapat membantu memperkirakan perkembangan retinopati.23

III.8 Penatalaksanaan

Terapi terkini yang baik untuk retinopati diabetik ada dua macam, yaitu terapi sistemik dan terapi okuler. Terapi sistemik dapat dilakukan dengan mengontrol gula darah , pengendalian tekanan darah, mengatur lipid. Terapi okuler terdiri atas terapi laser fotokoagulasi, vitrektomi, dan terapi farmakologis.15

Fokus pengobatan bagi retinopati diabetes nonproliferatif tanpa edema makula adalah dengan pengobatan terhadap hiperglikemia, penyakit sistemik lain, dan pemeriksaan rutin tiap 6 -12 bulan. Terapi laser argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien yang secara klinis menunjukan edema makula bermakna dapat memperkecil risiko penurunan penglihatan. Sedangkan mata dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna biasanya hanya dipantau secara ketat tanpa laser.17 Namun demikian pada penderita retinopati DM nonproliferatif berat dapat dianjurkan menjalani fotokoagulasi panretina laser, jika berisiko tinggi untuk berkembang menjadi retinopati DM proliferatif, kemudian penderita dievaluasi tiap 3-4 bulan pascatindakan.

Untuk retinopati diabetik proliferatif biasanya diindikasikan untuk pengobatan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan kemungkinan perdarahan masif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara menimbulkan regresi dan pada sebagian kasus menghilangkan pembuluh-pembuluh darah baru tersebut. Kemungkinan fotokoagulasi panretina laser argon ini bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari
16

retina yang mengalami iskemik. Teknik ini berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam jumlah sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur di seluruh retina, tidak mengenai bagian sentral yang dibatasi oleh diskus dan pembuluh darah retina bagian temporal utama.
17,22

Fotokoagulasi panretina laser argon membutuhkan 1200-1500 laser spot dan dapat dilakukan dalam dua hingga empat sesi. Masing- masing sesi mempunyai waktu 10-20 menit dan masing-masing sesi diulang hingga 2-4 minggu sehingga terapi ini sangat memakan waktu dan rasa nyeri pada pasien, selain itu perlu dilakukan evaluasi tiap 2-4 bulan setelah tindakan. Efek samping lainnya adalah timbulnya jaringan parut retina yang permanen sehingga menimbulkan skotoma dan menurunkan lapang pandang perifer, gangguan pengelihatan warna, dan gangguan pengelihatan malam.15

Namun, laser fotokoagulasi mempunyai keterbatasan, yaitu tidak dapat menjamin bahwa tidak terjadi penurunan visus lebih lanjut ( biasanya perbaikan visus tidak begitu sering terjadi, paling tidak menetap), dapat menyebabkan komplikasi yang menimbulkan kerusakan permanen pada jaringan retina . Dibutuhkan strategi terapi lain karena pendekatan sistemik dengan mengendalikan metabolik cukup sulit dilakukan. Selain itu, sekalipun terapi laser ini dilakukan pada banyak pasien, namun pasien tetap mengalami penurunan visus sehingga perlu dipikirkan terapi lain yang kurang invasif dan dapat ditoleransi oleh pasienpasien diabetes, khususnya retinopati diabetes.15

Peran bedah vitrektomi untuk retinopati diabetik proliferatif masih tetap berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan atau memulihakan pengelihatan yang baik. Disamping itu, saat ini berkembang terapi dengan injeksi anti-VEGF intravitreal. Peranan penting VEGF dalam retinopati diabetik adalah sebagai mediator dari neovaskularisasi dan merusak dari sawar darah-retina. Mengingat peran penting tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai pemakaian anti-VEGF, yaitu ranibizumab, pada terapi edema makula diabetik dan retinopati diabetik. 15

III. 9 Prognosis

17

Pada mata yang mengalami edema makular dan iskemik yang bermakna memiliki prognosis yang lebih buruk dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan perfusi yang baik.17

BAB IV RINGKASAN

Retinopati diabetik adalah komplikasi diabetes mellitus pada pembuluh darah retina yang diklasifikasikan menjadi retinopati diabetes nonproliferatif dan retinopati diabetes proliferatif.14 Penyebab pasti retinopati diabetik belum diketahui. Tetapi dinyakini bahwa hiperglikemia kronis menyebabkan perubahan fisiologi dan biokimiawi yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.16 Retinopati diabetik dikelompokan sesuai dengan standar Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS).25 Gejala klinis yang ditemukan dapat berupa subjektif dan objektif, dimana pada gejala subjektif terdapat penglihatan kabur, sukar membaca, penglihatan menurun tiba-tiba pada satu mata, melihat bintik gelap, dab cahaya kelap-kelip.20-21 Sedangkan pada gejala subjektif

18

di temukan mikroaneurisma, perdarahan pada retina, dilatasi pembuluh darah, hard exudate, soft exudate, neovaskularisasi, dan edema retina.23

Pemeriksaan penunjang untuk dapat mendeteksi awal retinopati diabetik adalah pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop, menggunakan slitlamp dengan lensa kontak atau lensa 78 dioptri. Sedangkan untuk deteksi awal edema makula dapat menggunakan stereoscopic biomicroscopic. Angiografi fluoresens juga bermanfaat utuk deteksi kelainan mikrovaskular.17

Terapi terkini yang baik untuk retinopati diabetik ada dua macam, yaitu terapi sistemik dan terapi okuler. Terapi sistemik dapat dilakukan dengan mengontrol gula darah , pengendalian tekanan darah, mengatur lipid. Terapi okuler terdiri atas terapi laser fotokoagulasi, vitrektomi, dan terapi farmakologis.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wild s, Roglic G, Green A, Sicree R, King H. Global prevalance of diabetes: estimates

for the year 2000 and projections for 2030. Diabetes Care. 2004;2007;27: 1047-53. 2. Noble J, Chaudray V. Diabetic retinopathy. CMAJ. 2010;182(15): 1646. 3. Fong DS, Aiello L, Gardner TW, King GL, Blankenship G, Cavallerano JD. Diabetic retinopathy. Diabetes care. 2003;26(Suppll): S99-102. 4. Wong Ty, Yau J, Rogers S, Kawasaki R, Lamourex EL, Kowalski J. Global prevalence of diabetic retinopathy. Diabetes care: Pooled data from population studies from the United States, Australia, Europe, and Asia. Prosiding The Association for Research in Vision and ophlatmologi Annual Meeting; 2011.
19

5. Soewondo P, Soegondo S, Suastika K, Pranoto A, Soeatmadji DW, Tjokroprawiro A.The DiabCare Asia 2008 study Outcomes on control and complications of type 2 diabetic patients in Indonesia. Med J Indones. 2010;19(4):235-43. 6. Paulus YM, Gariano RF. Diabetic retinopathy: A growing concern in an aging opulation. Geriatrics. 2009;64(2):16-26.
7. American Diabetes Association. Standards of medical care in diabetes - 2010. iabetes

Care. 2010;33(Suppl1):S11-61.
8. Fong DS, Aiello L, King GL, Blankenship G, Cavallerano JD, Ferris FL. Retinopathy

in diabetes. Diabetes Care. 2004;27(Suppl1):S84-7.


9. Garg S, Davis RM. Diabetic retinopathy screening update. Clinical Diabetes.

2009;27(4):140-5.
10. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2001. Penerbit EGC: Jakarta. hal

161.
11. Anatomi mata. http://id.wikipedia.org/wiki/Retina.

12. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. 2003. Penerbit Fakultas kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta. Hal 9-10, 218-9.
13. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 2001. Penerbit EGC: Jakarta. hal

171. 14. Friedman, Kaiser. The Massachussets Eye and Ear Infirmary Illustrated Manual of Ophtalmology.2004.Saunders.Pensylvania. 15. Andayani G. Pengangan Terkini Retinopati Diabetik: Retina dari Pedriatik hingga Geriatrik. 2011. Penerbit Info JEC. hal 155-7 16. Basic and Clinical Science Course. Retina and Vitreous. Section 12. AmericaAcademy of Opthalmologi. United States.1997. page 71-86.
17. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi Umum. Edisi 14. 2000. Penerbit Widya

Medika: Jakarta. Hal 211-4 18. Nema HV. Textbook of Opthalmology. Edition 4. 2002. Medical Publisher. New Delhi. Page 249-51. 19. Freeman WR. Practical Atlas of Retinal Disease and Therapy. Edition 2. Hongkong Lippincott-Raven. 1998. Page 199-213.
20

20. Diabetic Retinopathy. http:// www. Kellog.umich.edu/patientcare/conditions/ diabetic.

Retinopathy.html.
21. Diabetic Retinopati. http://www. Apagrafix.com/patiented/DiabeticRetinopathy 22. Elkington AR, Khaw PT. Petunjuk Penting Kelainan Mata. 1995. Penerbit Buku

Kedokteran EGC.hal 162-165.


23. Viswanath

K, McGavin DM. Diabetic Retinopathy: Clinical Findings and

Management. Community Eye Health [internet] 2003 [cited 2012 Des 29]; 16(46):2123. Available from: http:// www.cehjournal.org/0953-6833/16 24. The Diabetes Control and Complication Trial/Epidemiology of Diabetes Intervension and Complication Research Group. Retinopathy and Nephropathy in Patient with tipe 1 diabetes for four years after a trial of intervensive therapy. N Eng J Med 2000; 342, 381-9. 25. Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) Research Group. Fundus photograhic risk factor for progresion diabetic retinopathy: report number 12. Opthalmology. 1991;98:823-33.

21

You might also like