You are on page 1of 4

Sebaran Akuifer dan Pola Aliran Air Tanah di Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda Kota Tangerang, Propinsi

Banten
Mohamad Sapari Dwi Hadian*, Undang Mardiana*, Oman Abdurahman**, dan Munib Ikhwatun Iman*** *Jurusan Geologi Unpad, Jln. Raya Bandung - Sumedang KM 21, Jatinangor Sumedang, Indonesia **Badan Geologi, Jln. Diponegoro No. 57 Bandung, Indonesia ***Pusat Lingkungan Geologi, Jln. Diponegoro No. 57 Bandung, Indonesia

RESUME
Kecamatan Batuceper dan Benda, Kota Tangerang memiliki kondisi geologis yang tersusun atas endapan aluvium pantai, endapan delta dan material vulkanik. Daerah Tangerang berada pada suatu tinggian struktur yang dikenal dengan sebutan Tangerang High. Tinggian ini dicirikan oleh kelurusan bawah permukaan berupa lipatan dan patahan nomal, berarah utara-selatan. Di bagian timur patahan normal tersebut terbentuk cekungan pengendapan yang disebut dengan Subcekungan Jakarta. Daerah Tangerang dan sekitarnya telah banyak diteliti. Namun demikian, pada umumnya penelitian yang sudah dilakukan masih bersifat regional, sedangkan untuk kebutuhan suatu konservasi air tanah yang komprehensif diperlukan suatu kajian yang rinci mengenai model hidrogeologi (wadah). Oleh karena itu, kajian akuifer dan pola pengaliran air tanah pada akuifer tak tertekan (akuifer bebas) dan akuifer tertekan di Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda, Kotamadya Tangerang, menjadi sangat penting dan menarik untuk dilakukan. Tulisan ini mencoba mengungkap sebaran dan pola aliran air tanah di kedua kecamatan tersebut, sehingga diperoleh kejelasan akan geometri akuifer dan potensinya. Pengolahan dan analisis data, baik yang berasal dari lapangan maupun data sekunder, dilakukan untuk memperoleh gambaran sebaran akuifer, serta pola pengaliran air tanah dangkal maupun dalam. Analisis data dengan memakai beberapa penampang hasil geolistrik dan pemboran menghasilkan model akuifer air tanah. Kompilasi model akuifer air tanah ini dapat dipakai untuk menentukan zone konservasi air tanah. Berdasarkan pendugaan geolistrik, akuifer yang berkembang di daerah berlitologi pasir tufan ini dibagi menjadi 2, yaitu akuifer dangkal (di atas kedalaman 50m bmt) dan akuifer dalam (di bawah kedalaman 50m bmt). Ketebalan akuifer di kawasan Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda mulai dari 5-25m untuk akuifer dangkal, hingga ketebalan 4-80m untuk akuifer dalam. Akuifer dangkal adalah akuifer tak tertekan dan pada tempat

DEVITA FISAS RIYANTI - 0910930004

yang semakin dalam berubah menjadi akuifer semitertekan. Sedangkan akuifer dalam merupakan akuifer tertekan yang dibatasi oleh dua lapisan kedap air (impermeable layer) pada bagian atas dan bawahnya. Tipologi akuifer yang berkembang adalah sistem endapan aluvium Pantai dengan batuan penyusun umumnya berupa lempung, pasir, dan kerikil hasil erosi dan transportasi batuan di bagian hulunya. Pola pengaliran air tanah pada dua kecamatan tersebut relatif ke arah timur, dan terbentuk depresi konus aliran air tanah, terutama di kota Tangerang. Kondisi demikian menunjukkan dua penyebab yang memungkin, yaitu perkembangan lensa-lensa yang secara alamiah terbentuk pada daerah tersebut, atau pengambilan air tanah yang berlebihan di zone tersebut. Akuifer dangkal dan dalam yang berkembang pada kecamatan ini merupakan akuifer produktif dengan aliran melalui ruang antarbutir. Akuifer dangkal yang merupakan akuifer bebas ini memiliki daerah resapan (recharge area) di atas akuifer itu sendiri. Akuifer dalam (akuifer tertekan) ini memiliki daerah resapan (recharge area) di luar wilayah daerah pengamatan. Untuk mendukung kesinambungan akuifer ini perlu ditelaah lebih lanjut demi menunjang langkah kebijakan terkait dengan konservasi air tanah di Kota Tangerang, seperti menambah seluas mungkin lahan hijau, penutupan lahan dengan beton supaya dibatasi, dan sebanyak mungkin dibuat sumur serta parit resapan.

DEVITA FISAS RIYANTI - 0910930004

TOPIK TERBUKA
Pada metode penelitian dari jurnal dengan judul Sebaran Akuifer dan Pola Aliran Air Tanah di Kecamatan Batuceper dan Kecamatan Benda Kota Tangerang, Propinsi Banten kurang memuat secara spesifik metode geolistrik apa yang digunakan serta teorinya secara singkat dalam landasan teori. Selain itu perangkat lunak yang digunakan untuk melakukan pengolahan data dan analisis data tidak disebutkan dengan jelas sehingga pembaca tidak memperoleh referensi mengenai itu. Tahapan pemodelan yang dilakukan penulis jurnal tersebut juga belum ditampilkan sehingga dapat membuka wawasan mengenai konsep pembuatan model akuifer.

SOLUSI
Penulis seharusnya memaparkan metode geolistrik yang digunakan apakah 2D atau 3D seperti: Metode Sounding Metode Mapping Konfigurasi Schlumberger konfigurasi Wenner konfigurasi Dipole dipole

Dengan konfigurasi sebagai berikut.

Landasan teori mengenai metode pengukuran yang dilakukan juga seharusnya dijelaskan sesuai dengan metode pengukuran yang dilakukan. Teori tentang pembuatan model juga perlu dicantumkan agar memudahkan pembaca mendapatkan wawasan mengenai pembuatan model bukan hanya model akuifer. Berikut merupakan kerangka pembuatan model menurut Anderson dan Woessner (1992). Menentukan kegunaan dari model. Membuat model konsep. Pemilihan persamaan matematika dan pembuatan propgram computer. Kedua pekerjaan ini harus diuji. Persamaan matematis yang dipilih harus dapat menggambarkan harus dapat menggambarkan proses fisika, kimia dan biologi yang terjadi. Sedangkan hasil pemrograman computer diuji dengan membandingkan dengan penyelesaian analitik. Perancangan model.
DEVITA FISAS RIYANTI - 0910930004

Pekerjaan yang termasuk dalam tahap ini adalah pemilihan rancangan grid, parameter waktu, kondisi awal dan batas, dan membuat estimasi parameterparameter model.

Kalibrasi rancangan model. Kalibrasi ditujukan agar model yang dibuat dapat menghasilkan nilai yang mendekati data lapangan. Menentukan efek ketidaktentuan dari hasil model. Hal ini kadang-kadang disebut dengan analisis sensitivitas. Parameter-parameter model bervariasi dalam selang nilai yang mungkin, dan efek dari hasil model dievaluasi.

Pemeriksaan terhadap model yang telah dirancang dan dikalibrasi. Pada tahap ini termasuk pengujian kemampuan model dalam menghasilkan serangkaian pengukuran lapangan dengan menggunakan parameter-parameter model yang telah ditentukan dalam proses kalibrasi.

Memprediksi hasil model yang telah dikalibrasi. Menentukan efek ketidaktentuan dari hasil prediksi model. Menampilkan rancangan model dan hasilnya. Melakukan pemeriksaan terakhir dan rancang ulang model yang sesuai. Seperti pembandingan hasil prediksi model dengan data baru yang diperoleh selama pembuatan model sedang berlangsung. Hal ini memungkinkan untuk melakukan modifikasi lebih lanjut dari model yang telah dibuat.

Referensi: Naryanto, Heru Sri. 2008. Potensi Air Tanah di Daerah Cikarang dan Sekitarnya, Kabupaten Bekasi Berdasarkan Analisis Pengukuran Geolistrik. Pusat Teknologi Sumberdaya Lahan, Wilayah dan Mitigasi Bencana (PTLWB)-BPPT. Anderson, M.P. dan W.W. Woessner. 1992. Applied Groundwater Modelling Simulation Flow and Advective Transpor. Academic Press, Inc., California.

DEVITA FISAS RIYANTI - 0910930004

You might also like