You are on page 1of 31

BAB 1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Dialisa adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya. Prinsip dasar teknik tersebut yaitu difusi solute dan air dari plasma ke larutan dialisa sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu (Price dan Wilson, 1995). Hemodialisa memerlukan sebuah mesin dialisa dan sebuah filter khusus yang dinamakan dializer (suatu membran semipermeabel) yang digunakan untuk member-sihkan darah, darah dikeluarkan dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin diluar tubuh. Hemodialisa memerlukan jalan masuk ke aliran darah, maka dibuat suatu hubungan buatan antara arteri dan vena melalui pembedahan (NKF, 2006). Pasien-pasien dialisis kebanyakan menjalankan terapi ini di rumah sakit. Akan tetapi, tidak sedikit dari pasien tersebut yang menjalankan terapi ini di rumah. Terdapat sekitar 354.754 pasien di Amerika yang menjalani terapi dialisis, 325.229 diantaranya menja-lankan terapi hemodialisis di rumah sakit, 2.455 menjalankan terapi hemodialisis di rumah mereka, dan 26.114 sisanya menjalankan terapi peritoneal dialisis (NKUDIC, 2009). Meskipun pasien bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin hemodialisis, namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari penyakit dan hemodialisis. Diperkirakan 50%-70% penderita dialisis menunjukkan tanda dan gejala malnutrisi. Gejala malnutrisi tergantung pada petanda nutrisi yang digunakan dan faktor-faktor yang mempengaruhi, antara lain kurangnya asupan nutrisi, peningkatan nutrisi yang hilang, dan katabolisme yang meningkat (Nerscomite, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, perlulah disusun makalah mengenai pentingnya hemodialisis, mengingat pentingnya terapi ini bagi penderita gagal ginjal dan banyaknya komplikasi yang dapat terjadi dari hemodialisis ini. 1.2 Tujuan Tujuan pembuatan makalah asuhan keperawatan pada pasien hemodialisa adalah : 1. Mengerti dan memahami tentang proses hemodialisa.
2. Mengerti indikasi, kontraindikasi dan komplikasi yang mungkin terjadi

pada saat hemodialisa.


3. Mengetahui masalah keperawatan yang muncul pada saat hemodialisa.

4. Mengetahui asuhan keperawatan yang digunakan pada pasien hemodialisa.

BAB 2. KONSEP TEORI

2.1 Pengertian Hemodialisis berasal dari dua kata yaitu hemo yang berarti darah dan dialisis yang berarti difusi partikel larut satu kompartemen cairan ke kompartemen lain melewati membrane semipermeabel (Brunner & Suddarth, 2002:1039). Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membrane berpori dari suatu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya (Sylvia & Lorraine, 1995). Jadi, hemodialisis merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut (Brunner & Suddarth, 2002). 2.2 Tujuan Hemodialisis
1. Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan

asam urat.
2. Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah

dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat.
3. Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh. 4. Mempertahankan

atau

mengembalikan

kadar

elektrolit

tubuh.

2.3 Indikasi dan Kontraindikasi Hemodialisis Indikasi: 1. Gagal ginjal akut


2. Gagal ginjal kronik, bila laju filtrasi gromelurus kurang dari 5 ml/menit 3. Hiperkalemia (kalium serum lebih dari 6 mEq/l) 4. Uremia (ureum lebih dari 200 mg/dl)

5. PH darah kurang dari 7,1


6. Anuria berkepanjangan, lebih dari 5 hari 7. Intoksikasi obat dan zat kimia 8. Sindrom Hepatorenal (Brunner & Suddhart, 2000:1430)

Kontraindikasi: 1. Hipertensi Berat (TD > 200 mmhg) 2. Hipotensi (TD < 100 mmhg) 3. Adanya pendarahan hebat
4. Demam tinggi. (Hudak, 1999:43)

2.4 Bentuk atau Gambaran Peralatan 1. Dialiser atau Ginjal Buatan Terdiri dari membran semipermeabel yang memisahkan kompartemen darah dan dialisat. 2. Dialisat atau Cairan Dialisis Yaitu cairan yang terdiri dari air dan elektrolit utama dari serum normal. Dialisat ini dibuat dalam sistem bersih dengan air kran dan bahan kimia saring. Bukan merupakan sistem yang steril, karena bakteri terlalu besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi pirogenik, khususnya pada membran permeabel yang besar, maka air untuk dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya disediakan oleh pabrik komersil dan umumnya digunakan oleh unit kronis. 3. Sistem Pemberian Dialisat Yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi otomatis dan alat mengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-air. 4. Aksesori Peralatan
a. Perangkat Keras, terdiri dari : 1)

Pompa darah, pompa infus untuk mendeteksi heparin


4

2)

Alat pemonitor suhu tubuh apabila terjadi ketidakamanan

konsentrasi dialisat, perubahan tekanan udara dan kebocoran darah.


b. Perangkat Disposibel yang digunakan selain ginjal buatan: 1)

Selang dialisis yang digunakan untuk mengalirkan darah Transfer tekanan untuk melindungi alat monitor dari Kantong cairan garam untuk membersihkan sistem sebelum

antara dialiser dan pasien.


2)

pemajanan terhadap darah. 3) digunakan. 5. Komponen Manusia/Pelaksana Tenaga pelaksana hemodialisa harus mempunyai keahlian dalam menggunakan teknologi tinggi, tercapai melalui pelatihan teoritis dan praktikal dalam lingkungan klinik. Aspek yang lebih penting adalah pemahaman dan pengetahuan yang akan digunakan perawat dalam memberikan asuhan pada pasien selama dialisis berlangsung.

2.5 Jenis/Macam Dialisis Jenis dialisis dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a. Hemodialisis Hemodialysis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit gagal ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanent. Sehelai membrane sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu. Darah dialirkan melalui ginjal buatan (dialiser) untuk membuang toksin atau kelebihan cairan dan kemudian dikembangkan ke sirkulasi vena.

b. Dialisis peritoneal Dialysis peritoneal merupakan alternatif dari hemodialisis pada penanganan gagal ginjal akut dan kronik. Kira-kira 15% pasien penyakit ginjal tahap akhir menjalani dialysis peritoneal (Health Care Financing Administration, 1986). Dialysis peritoneal sangat mirip dengan hemodialsis, dimana pada teknik ini peritoneum berfungsi sebagai membrane semi permeable. Akses terhadap rongga peritoneal dicapai melalui perisintesis memakai trokar lurus, kaku untuk dialysis peritoneal yang akut dan lebih permanent, sedangkan untuk yang kronik dipakai kateter Tenckoff yang lunak. Macam-macam dialysis peritoneal:
-

Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) Memungkinkan pasien untuk menangani prosedur dirumah dengan kantung dan aliran gravitasi, memerlukan waktu lama pada malam hari, dan total 3-5 siklus harian/ 7 hari seminggu.

Automated Peritoneal Dialysis (APD) APD sama dengan CAPD dalam melanjutkan proses dialysis tetapi berbeda pada tambahan mesin siklus peritoneal. APD dapat dilanjutkan dengan siklus CCPD, IPD dan NPD.

Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD) CCPD merupakan variasi dari CAPD dimana suatu mesin siklus secara otomatis melakukan pertukaran beberapa kali dalam semalam dan satu siklus tambahan pada pagi harinya. Di siang hari, dialisat tetap berada dalam abdomen sebagai satu siklus panjang.

Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD) IPD bukan merupakan lanjutan prosedur dialisat seperti CAPD dan CCPD. Dialysis ini dilakukan selama 10-14 jam, 3 atau 4 jam kali per minggu, dengan menggunakan mesin siklus dialysis yang sama pada CCPD. Pada pasien hospitalisasi memerlukan dialysis 24-48 jam kali jika katabolis dan memerlukan tambahan waktu dialisat.
6

Nightly Peritoneal Dialysis (NPD) Dilakukan mulai dari 8-12 jam misalnya dari malam hingga siang hari.

2.6 Manifestasi Klinis a. Hemodialisis Penurunan aliran darah akan mengakibatkan kedinginan pada akses vascular. Penurunan tekanan hemodinamik menunjukkan kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan terjadi hipotensi dan takikardi. Kelebihan cairan atau hipervolemia dapat berpotensi terjadinya edema serebral (sindrom disekuilibrasi), hipertensi dan takikardi. Destruksi sel darah merah (hemolisis) oleh dialysis mekanikal dapat mengakibatkan anemia berat atau progesif. b. Dialisis Peritoneal Adanya keluhan nyeri dikarenakan pemasukan kateter melalui dinding abdomen atau iritasi kateter dan penempatan kateter yang tidak tepat. Takipnea, dispnea, nafas pendek dan nafas dangkal selama dialysis diduga karena tekanan disfragmatik dari distensi tongga peritoneal. Penuruna area ventilasi dapat menunjukkan adanya atelektasis. Berikut ini gejala-gejala lainnya : Peritonitis Penurunan tekanan darah (hipotensi) Takikardi Hiponatremia atau intoksikasi air Turgor kulit buruk, dll. 2.7 Patofisiologi Dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis adalah dialysis peritoneal dan hemodialysis. Hemodialisis dan dialysis peritoneal merupakan dua teknik utama yang digunakan dalam dialysis dan prinsip dasar kedua teknik itu sama yaitu difusi solute dan air dari plasma kelarutan dialysis sebagai respon terhadap perbedaan konsentrasi atau tekanan tertentu.
7

a. Hemodialysis Hemodialysis merupakan suatu proses yang digunakan pada pasien dalam keadaan sakit akut dan memerlukan terapi dialysis jangka pendek (beberapa hari sampai beberapa minggu) atau pasien dengan penyakit gagal ginjal stadium terminal yang membutuhkan terapi jangka panjang atau terapi permanent. Sehelai membrane sintetik yang semipermeabel menggantikan glomerulus serta tubulus renal dan bekerja sebagai filter bagi ginjal yang terganggu fungsinya itu. Darah dialirkan melalui ginjal buatan (dialiser) untuk membuang toksin atau kelebihan cairan dan kemudian dikembangkan ke sirkulasi vena. Hemodialisis adalah metode yang lebih cepat dan lebih efisien dari pada dialysis peritoneal untuk membuang area dan produk toksin lain, tetapi memerlukan akses AV permanen (Doenges, 1999). Akses vaskuler hemodialisis merupakan aspek yang paling peka pada hemodialisis oleh karena adanya banyak komplikasi dan kegagalannya. Untuk melakukan dialysis intermiten jangka panjang, maka perlu ada jalan masuk ke system vaskular penderita yang dapat diandalkan. Pada akses vascular dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1) Akses vaskular eksternal (sementara)

Keteter subklavikula dan femoralis Akses segera ke dalam sirkulasi darah pasien pada hemodialisis darurat dicapai melalui kateterisasi subklavia untuk pemakaian sementara. Kateter dwi-lumen atau multi lumen dimasukan kedalam vena subklavia. Meskipun metoda akses veskular ini bukanya tanpa resiko, namun metoda tersebut biasanya dapat digunakan selama beberapa minggu. Kateter femoralis dapat dimasukan ke dalam pembuluh darah femoralis, dan digunakan selama beberapa minggu, jika pasien sudah tidak memerlukan karena akibat kondisi pasien yang sudah membaik atau terdapat cara akses yang lain.
8

Karena pasien mayoritas hemodialisis jangka panjang yang harus dirawat dirumah sakit merupakan pasien dengan kegagalan akses siskulasi yang permanent, maka salah satu prioritas dalam perawatan pasien hemodialisis adalah perlindungan terhadap akses sirkulasi tersebut.
2) Akses vaskular internal (permanen)

Fistula Fistula yang lebih permanent dibuat melalui pembedahan dengan cara menyambung atau menghubungkan pembuluh arteri dengan vena secara side to side atau end to side. Fistula tersbut memerlukan waktu 4 sampai 6 minggu untuk menjadi matang sebelum siap digunakan. Waktu ini diperlukan untuk memberi kesempatan agar fistula pulih dan segmenvena fistula berdilatasi dengan baik sehingga dapat menerima jarum berlumen besar dengan ukuran 14 sampai 16. Jarum tersebut ditusukan kedalam pembuluh darah . Segmen arteri fistula digunakan untuk memasukan kembali darah yang sudah didialisis, untuk menampung aliran darah ini segmen arteri dan vena fistula tersebut harus lebih besar daripada pembuluh darah normal. Kepada pasien dianjurkan untuk melakukan latihan guna meningkatkan ukuran pembuluh ukuran pembuluh darah, yaitu dengan cara meremas-remas bola karet untuk melatih fistula yang dibuat dilengan bawah, dan dengan demikian pembuluh darah yang sudah lebar dapat menerima jarum berukuran besar yang digunakan dalam proses hemodialisis. Tandur Dalam penyediaan lumen sebagai tempat penusukan jarum dialysis, sebuah tandur dapat dibuat dengan cara menjahit sepoptong pembuluh arteri atau vena dari sapi, material Gore-Tex atau tandur vena safena dari pasien sendiri. Biasanya tandur tersebut dibuat bila pembuluh darah pasien

sendiri tidak cocok untuk dijadikan fistula. Tandur biasanya dipasang pada lengan bawah, lengan atas paha bagian atas. b. Dialysis Peritoneal Dialysis peritoneal merupakan alternatif dari hemodialisis pada penanganan gagal ginjal akut dan kronik. Kira-kira 15% pasien penyakit ginjal tahap akhir menjalani dialysis peritoneal (Health Care Financing Administration, 1986). Dialysis peritoneal sangat mirip dengan hemodialsis, dimana pada teknik ini peritoneum berfungsi sebagai membran semi permeable. Akses terhadap rongga peritoneal dicapai melalui perisintesis memakai trokar lurus, kaku untuk dialysis peritoneal yang akut dan lebih permanent, sedangkan untuk yang kronik dipakai kateter Tenckoff yang lunak. Dialysis peritoneal dilakukan dengan menginfuskan 1-2 L cairan dialysis kedalam kavum peritoneal menggunakan kateter abdomen. Ureum dan kreatinin yang merupakan hasil akhir metabolisme yang diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan dari darah melalui difusi dan osmosis. Ureum dikeluarkan dengan kecepatan 15-20 ml/ menit, sedangkan kreatinin dikeluarkan lebih lambat. Dialysis peritoneal kadang-kadang dipilih karena menggunakan tehnik yang lebih sederhana dan memberikan perubahan fisiologis lebih bertahap dari pada hemodialisis. Dialysis peritoneal ada 2 yaitu : Dialysis pertitoneal merupakan terapi pilihan bagi pasien gagal ginjal yang tidak mampu atau tidak mau menjalani hemodialsis atau transplantasi ginjal. Pasien yang rentan terhadap perubahan cairan, elektrolit dan metabolic yang cepat terjadi pada hemodialisis akan sedikit mengalami hal ini karena dialysis peritoneal kecepatan kerjanya lebih lambat.

10

Oleh karena itu, pasien diabetes atau penyakit kardiovaskuler, pasien lansia dan pasien yang beresiko mengalami efek samping dari pemberian heparin secara sistemik merupakan calon yang sesuai untuk tindakan dialysis peritoneal guna mengatasi gagal ginjal. Disamping itu, hipertensi berat, gagal jantung kongestif dan edema pulmonary yang tidak responsive terhadap terapi dapat juga diatasi dengan dialysis peritoneal. Penatalaksanaan a. Penatalaksaan Pasien yang Menjalani Hemodilisis Jangka-Panjang 1) Diet dan masalah cairan Diet merupakan faktor penting bagi pasien yang menjalani hemodialisis. Apabila ginjal yang rusak tidak dapat mengekskresikan produk akhir metabolisme, substansi yang bersifat sebagai racun atau toksik (gejala uremik). Lebih banyak toksin yang menumpuk, semakin berat gejala yang timbul. Diet rendah protein akan mengurangi penumpukan limbah nitrogen dan dengan demikian meminimalkan gejala. 2) Pertimbangan medikasi Banyak obat yang diekskresikan seluruhnya atau sebagian melalui ginjal. Pasien yang memerlukan obat-obatan (preparat glikosida jantung, antibiotic, antiaritmia, antihipertensi) harus dipantau untuk memastikan agar kadar obat dalam darah dan jaringan dapat dipertahankan tanpa menimbulkan akumulasi toksik. Beberapa obat akan dikeluarkan dari darah pada saat dialysis. Oleh karena itu, penyesuaian dosis oleh dokter diperlukan. Apabila seorang pasien menjalani dialysis, semua jenis obat dan dosisnya harus dievaluasi dengan cermat, karena komunikasi, pendidikan dan evaluasi dapat memberikan hasil yang berbeda-beda. Pasien harus mengetahui kapan minum obat dan kapan menundanya.

11

b. Penatalaksanaan Pasien yang Menjalani Dialisis Peritoneal

1) Persiapan Proses persiapan pasien dan keluarganya yang dilaksanakan oleh perawat adalah penjelasan prosedur dialysis peritoneal, surat persetujan (Informed Consent) yang sudah ditandatangani, data dasar mengenai tanda-tanda vital, berat badan dan kadar elektrolit serum, pengosongan kandung kemih dan usus. Selain itu perawat juga mengkaji kecemasan pasien dan memberikan dukungan serta petunjuk mengenai prosedur yang akan dilakukan. 2) Peralatan Perawat harus berkonsultasi dengan dokter untuk menentukan konsentrasi dialisat yang akan digunakan dan obat-obatan yang akan ditambahkan, misalnya dalam penambahan heparin untuk mencegah pembekuan fibrin yang dapat menyumbat kateter peritoneal, penambahan antibiotic untuk mengobati peritonitis. Sebelum penambahan obat, larutan dialisat dihangatkan hingga mencapai suhu tubuh untuk mencegah gangguan rasa nyaman, nyeri abdomen, serta menyebabkan dilatasi pembuluh-pembuluh darah peritoneum. Sebelum dialysis dilakukan, peralatan dan selang dirakit. Selang tersebut diisi dengan cairan dialisat untuk mengurangi jumlah udara yang masuk kedalam kateter serta kavum peritoneal. 3) Pemasangan kateter Kateter peritoneal dipasang di dalam kamar operasi untuk mempertahankan asepsis operasi dan memperkecil resiko kontaminasi. Kateter stylet dapat digunakan jika dialysis peritoneal tersebut diperkirakan akan dilaksanakan dalam waktu singkat. Sebelum prosedur pemasangan kateter dilakukan, kulit abdomen dipersiapkan dengan larutan antiseptic local dan dokter melakukan penyuntikan infiltrasi preparat anastesi local kedalam kulit dan jaringan

12

subcutan. Insisi kecil atau sebuah tusukan dibuat pada 3-5 cm dibawah umbilicus. Sebuah trokar (alat berujung tajam) digunakan untuk menusuk peritoneum sementara pada pasien mengencangkan otot abdomennya dengan cara mengangkat kepalanya. Kateter disisipkan lewat trokar dan kemudian diatur posisinya. Cairan dialisat yang dipersiapkan diinfuskan kedalam kavum peritoneal dengan mendorong omentum (lapisan peritoneal yang membentang dari organ-organ abdomen) menjauhi kateter. Sebuah jahitan purse-string dapat dibuat untuk mengikat kateter pada tempatnya. 4) Prosedur Untuk dialisat peritoneal intermiten, larutan dialisat dialirkan dengan bebas kedalam kavum peritoneal dan dibiarkan selama waktu retensi (dwell time) atau waktu ekuilibrasi yang ditentukan dokter. Waktu itu berfungsi untuk memungkinkan terjadinya difusi dan osmosis. Pada waktu akhir retensi, klem selang drainase dilepas dan larutan dialisat dibiarkan mengalir keluar dari kavum peritoneal melalui sebuah sistem yang tertutup dengan bantuan gaya berat. Cairan drainase biasanya berwarna seperti jerami atau tidak berwarna. Cairan dari botol yang baru kemudian ditambahkan, diinfusikan dan dialirkan keluar. Jumlah siklus atau pertukaran dan frekuensinya ditentukan oleh dokter sesuai kondisi fisik pasien serta kondisi akut penyakit. 2.9 Komplikasi a. Komplikasi hemodialisis Hemodilisis dapat memperpanjang usia tapi tidak akan mengubah perjalanan alami penyakit ginjal yang mendasari dan juga tidak akan mengembalikan seluruh fungsi ginjal. Salah satu penyebab kematian diantara pasien-pasien yang menjalani hemodialisis kronis adalah penyakit kardiovaskuler
13

arteriosklerotik.

Gangguan

metabolisme

lipid

(hipertrigliseridemia)

tampaknya semakin diperberat dengan tindakan hemodilisis. Gagal jantung kongestif, penyakit jantung koroner serta nyeri angina pectoris, stroke dan insufisiensi vaskuler perifer juga dapat terjadi. Anemia dan rasa letih dapat menyebabkan penurunan kesehatan fisik maupun mental, berkurangnya tenaga serta kemauan, dan kehilangan perhatian. Gangguan metabolisme kalsium akan menimbulkan osteodistropi renal yang menyebabkan nyeri tulang dan fraktur. Komplikasi dialysis dapat mencakup hal-hal sebagai berikut : -

Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialysis ketika cairan dikeluarkan. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika udara memasuki sistem vaskuler pasien. Nyeri dada dapat terjadi karena PCO2 menurun bersamaan dengan terjadinya sirkulasi darah diluar tubuh. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialysis ketika produk-akhir metabolisme meninggalkan kulit. Gangguan keseimbangan dialysis terjadi karena perpindahan cairan serebral dan muncul sebagai serangan kejang. Komplikasi ini kemungkinan terjadinya lebih besar jika terdapat gejala uremia yang berat.

Kram otot yang nyeri terjadi ketika cairan dan elektrolit dengan cepat meninggalkan ruang ekstrasel. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang serius terjadi.

b. Komplikasi Dialysis Peritoneal Peritonitis Peritonitis merupakan komplikasi yang paling sering dijimpai dan paling sering serius 60% sampai 80% pasien. Sebagian besar disebabkan oleh kontaminasi Staphylococcus epidermidis yang bersifat aksidental.

14

Manifestasi peritonitis mencangkup cairan drainase (effluent) dialisat yang keruh dan nyeri abdomen yang difus. Hipotensi dan tanda-tanda syok lainnya dapat terjadi jika Staphylococcus aureus merupakan penyebab dari peritonitis. Peritonitis ditangani di rumah sakit jika pasien parah dan tidak memungkinkan untuk melakukan terapi pertukaran dirumah, biasanya pasien menjalani dialysis peritoneal intermiten selama 48 jam atau lebih, atau terapi dialysis dihentikan dan memberikan suntikan antibiotic. Pada infeksi persisten di tempat keluarnya kateter yang biasanya disebabkan oleh S. aureus. Pelepasan kateter permanent diperlukan untuk mencegah terjadinya peritonitis. Selain mikroorganisme, pasien peritonitis akan kehilangan protein melalui perotonium dalam jumlah besar, malnutrisi akut dan kelambatan penyembuhan dapat terjadi sebagai akibatnya. Kebocoran

Kebocoran cairan dialysis melalui luka insisi atau luka pada pemasangan kateter dapat diketahui sesudah kateter dipasang. Kebocoran akan berhenti spontan jika terapi dialysis tertunda selama beberapa hari untuk menyembuhkan luka insisi dan tempat keluarnya kateter. Kebocoran melalui tempat pemasangan kateter atau kedalam abdomen dapat terjadi spontan beberapa bulan atau tahun setelah pemasangan kateter tersebut. Kebocoran sering dapat dihindari dengan melalui infuse cairan dialysis dengan volume kecil (100-200 ml) dan secara bertahap meningkatkan cairan tersebut hingga mencapai 2000 ml. Perdarahan

Cairan drainase (effluent) dialysis yang mengandung darah kadang-kadang dapat terlihat khususnya pada pasien wanita yang sedang haid (cairan hipertonik menarik darah dari uterus lewat orifisium tuba falopi yang bermuara ke dalam kavum peritoneal). Pada banyak kasus penyebab
15

terjadinya perdarahan tidak ditemukan. Pergeseran kateter dari pelvis kadangkadang disertai dengan perdarahan. Perdarahan selalu berhenti setelah satu atau dua hari sehingga tidak memerlukan intervensi yang khusus. Komplikasi lain yang mencakup hernia abdomen yang mungkin terjadi akibat peningkatan tekanan intra abdomen yang terus menerus. Tipe hernia yang pernah terjadi adalah tipe insisional, inguinal, diafragmatik, dan umbilical.

16

BAB 3. ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian a. Identitas Nama pasien, umur, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, suku, agama, nama orang tua, alamat rumah, nomor telepon. b. Keluhan utama Nyeri yang menyebar sampai ke punggung, edema, muncul tanda/gejala gagal ginjal akut/kronis. c. Riwayat penyakit sekarang Pasien mengalami gagal ginjal akut atau kronik. d. Riwayat penyakit dahulu Pasien pernah mengalami gagal ginjal akut sebelumnya, pernah dilakukan dialisis sebelumnya.
e. Pola aktivitas-istirahat

Gejala:
-

Keletihan, kelemahan, malaise. Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau somnolen)

Tanda: kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak. f. Sirkulasi Gejala (pada GGK): -

Riwayat hipertensi lama atau berat. Palpitasi; nyeri dada (angina). Hipotensi/hipertensi (termasuk hipertensi malignan, eklampsia/hipertensi akibat kehamilan. Diritmia jantung. Nadi lemah, hipotensi ortostatik (hipovolemia). DVJ, nadi kuat (hipervolemia). Edema jaringan umum (termasuk area periorbital, mata kaki, sacrum).
17

Tanda:
-

Pucat, kecenderungan perdarahan.

g. Pola eliminasi Gejala: Perubahan pola berkemih biasanya: peningkatan frekuensi, poliuria, (kegagalan dini), atau penurunan frekuensi/oliguria (fase akhir). Disuria, ragu-ragu, dorongan, dan retensi (inflamasi/obstruksi, infeksi). Abdomen kembung, diare, atau konstipasi. Riwayat BPH, batu/kalkuli. Perubahan warna urine (kuning pekat, merah, coklat,berawan). Oliguria (biasanya 12-21 hari), poliuria (2-6 L/hari).

Tanda:

h. Makanan/cairan Gejala: Peningkatan berat badan (edema), penurunan berat badan (dehidrasi). Mual, muntah, anorekia, nyeri ulu hati. Pengguaan diuretic. Perubahan turgor kulit/kelembaban. Edema (umum, bagian bawah).

Tanda:

i. Neurosensori Gejala: -

Sakit kepala, penglihatan kabur. Kram otot/kejang; sindrom kaki gelisah. Gangguan status mental (penurunan lapang perhatia, ketidakmampuan berkonsentrasi, hilang memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran), azotemia, ketidakseimbangan elektrolit/asam/basa.

Tanda:

Kejang, faskikulasi otot, aktivitas kejang.

j. Nyeri/kenyamanan Gejala: nyeri tubuh, sakit kepala. Tanda: perilaku berhati-hati, distraksi, gelisah.
18

k. Pernafasan Gejala: nafas pendek. Tanda:


-

Takipnea,

dipsnea, peningkatan

frekuensi, kedalaman

(pernafasan

Kusmaul); nafas ammonia. Batuk produktif dengan sputum kental merah muda (edema paru). l. Keamanan Gejala: adanya reaksi tranfusi. Tanda: Demam (sepsis, dehidrasi). Ptekie, area kulit ekimosis. Pruritus, kulit kering.

m. Pemeriksaan penunjang Urine: -

Volume: bisanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada (anuria). Warna: secara abnormal urine keruh atau mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat atau urat, sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin.

Berat jenis: kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat). Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum 1:1. Klirens kreatinin: mungkin agak menurun. Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorpsi natrium.

Darah: BUN/kreatinin: meningkat. Kadar kreatinin 10 mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5). Hitung darah lengkap: Ht: menurun pada adanya anemia. Hb: kurang dari 7-8 g/dL.
19

SDM: waktu hidup menurun pada defisiensi eritropoetin seperti pada azotemia. GDA: pH: penurunan asidosis metabolic (kurang dari 7,2) terjadi karea kehilangan kemampuan ginjal untuk mengekskresi hidroge dan ammonia atau hasil akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun. PCO2 menurun.

Natrium serum: mungkin rendah (bila ginjal kehabisan natrium atau normal, menunjukkan status delusi hipernatremi). Kalium: peningkatan sehubungan retensi sesuai dengan perpindahan selular (asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir, perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEq atau lebih besar.

Magnesium/fosfat: meningkat. Kalsiu: menurun. Protein (khususnya albumin): kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena kurang asam amino esensial

Osmolalitas serum: lebih besar dari 285 mOsm/kg; sering sama dengan urine. KUB foto: enunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi (batu). Pielogram retrogard: menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter. Arteriogram ginjal: mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskuler, massa. Sistoaretrogram berkemih: menunjukkan ukuran kaandung kemih, refluks dalam ureter, retensi. Ultrasono ginjal: menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas. Biopsy ginjal: mungkin dilakukan secara endoskopi untuk menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologist. Endoskopi ginjal, nefroskopi: dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuri, dan pengangkatan tumor selektif.
20

EKG: mungkin abnormal menunjukkan ketidakseombangan elektrolit dan asam basa.

3.2 Diagnosa 1. Ansietas berhubungan dengan krisis situasional; ancaman pada konsep diri; perubahan status kesehatan.
2. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, kebutuhan perawatan dan

pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan informasi. 3. Nyeri akut berhubungan dengan prosedur invasive; pemasukan kateter malalui dinding abdomen/iritasi kateter; penempatan kateter yang tidak tepat. 4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembatasan, prosedur dialisis yang lama.
5. Resiko cidera dengan faktor resiko kehilangan akses vaskuler akibat

pembekuan; perdarahan karena lepasnya sambungan secara tidak sengaja.


6. Resiko kelebihan volume cairan dengan faktor resiko tidak adekuatnya

gradient osmotic dialisat; retensi cairan (malposisi kateter); pemasukan oral/IV berlebihan.
7. Resiko kekurangan volume cairan dengan faktor resiko penggunaan

dialisat hipertonik dengan pembuangan cairan berlebihan dari volume sirkulasi.


8. Resiko

infeksi dengan faktor resiko kontaminasi kateter selama

pemasangan, kontaminasi kulit pada sisi pemasangan kateter.

21

3.3 Rencana Tindakan Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional Diagnosa keperawatan: Ansietas berhubungan dengan krisis situasional; ancaman pada konsep diri; perubahan status kesehatan. 1. Menyatakan perasaan 1. Kaji tingkat ansietas klien. Perhatikan 1. Membantu menentukan jenis intervensi waspada adan penurunan tanda pengingkaran depresi, atau yang akan diberikan. ansietas sampai pada tingkat penyempitan focus perhatian. yang dapat diatasi. 2. Jelaskan prosedur/asuhan yang akan 2. Meningkatkan pengetahuan klien 2. Menunjukkan diberikan. terhadap prosedur tindakan. keterampilan pemecahan 3. Akui kenormalan perasaan klien saat 3. Mengetahui penyebab ansietas pada masalah dan penggunaan ini. klien. sumber secara efektif. 4. Dorong klien untuk mengajukan 4. Membuat perasaan terbuka dan 3. Tampak rileks, dapat pertanyaan dan menyatakan masalah. bekerjasama serta memberikan informasi tidur/istirahat dengan tepat yang akan membantu dalam identifikasi/mengatasi masalah. 5. Ajarkan klien teknik relaksasi nafas 5. Menurunkan kecemasan pada klien. dalam. 6. Dorong orang terdekat berpartisipasi 6. Meningkatkan perasaan berbagi, dalam asuhan. menguatkan perasaan berguna, memberikan kesempatan untuk mengakui kemampuan individu, dan dapat mengurangi kecemasan. 7. Berikan petunjuk mengenai sumber7. Meningkatkan/menyokong mekanisme sumber penyokong yang ada, seperti koping pasien. keluarga, konselor, dan sebagainya. 8. Berikan obat penenang sesuai order. 8. Untuk menghilangkan ansietas pada klien. Diagnosa keperawatan: Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, kebutuhan perawatan dan pengobatan
22

berhubungan dengan kurang terpajan informasi. 1. Menyatakan pemahaman 1. Kaji tingkat pengetahuan klien. tentang kondisi dan 2. Dorong dan beri kesempatan klien untuk hubungan tanda/gejala dan bertanya. proses penyakit. 2. Secara benar melakukan 3. Berikan penjelasan dengan sederhana prosedur yang diperlukan dan sesuai kebutuhan klien. menjelaskan alasan tindakan. 4. Diskusikan pentingnya mempertahankan kebiasaan makan nutrisi; pencegahan fluktuasi cairan/keseimbangan elektrolit. 5. Beritahu pasien/keluarga tentang dialisis di rumah sesuai indikasi.

1. Mengetahui tingkat pengetahuan klien. 2. Meningkatkan proses belajar, meningkatkan pengetahuan untuk pengambilan keputusan. 3. Memudahkan klien menerima informasi yang dibutuhkan. 4. Meningkatkan pengetahuan klien terhadap pola diet, intake nutrisi dan cairan. 5. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman klien dan keluarga dalam melakukan terapi di rumah.

Diagnosa keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan prosedur invasif; pemasukan kateter malalui dinding abdomen/iritasi kateter; penempatan kateter yang tidak tepat. 1. Menyatakan penurunan 1. Kaji skala nyeri pada pasien, intensitas 1. Membantu dalam mengidentifikasi nyeri/ketidaknyamanan. dan faktor pencetus. sumber nyeri dan intervensi yang tepat. 2. Menunjukkan 2. Jelaskan bahwa ketidaknyamanan 2. Penjelasan dapat menurunkan ansietas, postur/ekspresi wajah rileks, awal biasanya hilang setelah pertukaran dan meningkatkan relaksasi selama mampu untuk tidur/istirahat pertama prosedur. dengan tepat. 3. Awasi nyeri yang mulai selama aliran 3. Nyeri akan terjadi pada waktu ini jika dan berlanjut selama fase ekuilibrasi. dialisat asam menyebabkan iritasi kimia terhadao membrane peritoneal. 4. Perhatikan keluhan nyeri pada area 4. Masuknya udara ke dalam abdomen bahu. Cegah udara masuk ke rongga dapat mengiritasi diafragma dan peritoneum selama infuse. mengakibatkan nyeri pada bahu. 5. Tinggikan kepala tempat tidur pada 5. Perubahan posisi dapat menghilangkan
23

interval tertentu. Berikan perawatan punggung dan masase jaringan. 6. Hangatkan dialisat pada suhu tubuh sebelum diinfuskan. 7. Awasi nyeri abdomen berat/terus menerus, dan peninggian suhu (khususnya setelah dialisis dihentikan). 8. Dorong penggunaan teknik relaksasi (nafas dalam, distraksi).

ketidaknyamanan abdomen dan otot umum. 6. Meningkatkan kecepatan pembuangan urea melalui dilatasi pembuluh darah. 7. Indikasi terjadinya peritonitis.

8. Mengembalikan perhatian, meningkatkan rasa nyaman.

Diagnosa keperawatan: Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan terapi pembatasan, prosedur dialisis yang lama. 1. Mempertahankan 1. Kaji keterbatasan aktivitas, perhatikan 1. Mempengaruhi pilihan intervensi. mobilits/fungsi optimal. adanya/derajat keterbatasan/kemampuan. 2. Menunjukkan 2. Ubah posisi secara sering bila tirah 2. Mempertahankan kekuatan peningkatan kekuatan dan baring; dukung bagian tubuh yang otot/mobilitas sendi, meningkatkan bebas dari komplikasi sakit/sendi dengan bantal, gulungan sirkulasi, mencegah kerusakan kulit. (kontraktur, dekubitus) sesuai indikasi. 3. Berikan pijatan kulit. Pertahankan 3. Merangsang sirkulasi, mencegah iritasi kebersihan dan kekeringan kulit. kulit. Pertahankan linen tetap kering dan bebas kerutan. 4. Dorong nafas dalam dan batuk. 4. Memobilisasi sekresi, memperbaiki Tinggikan kepala tempat tidur sesuai yang ekspansi paru, menurunkan komplikasi diperbolehkan. Ubah satu sisi ke sisi yang paru. lain. 5. Berikan pengalihan dengan tepat pada 5. Menurunkan kebosanan, meningkatkan kondisi pasien (music, tv). relaksasi. 6. Bantu dalam latihan rentang gerak 6. Mempertahankan kelenturan sendi,
24

aktif/pasif.
7. Buat rencana program aktivitas

dengan masukan dari pasien.

mencegah kontraktur, membantu menurunkan tegangan otot. 7. Meningkatkan energy pasien dan perasaan sejahtera dan terkontrol.

Diagnosa keperawatan: Resiko cidera dengan faktor resiko kehilangan akses vaskuler akibat pembekuan; perdarahan karena lepasnya sambungan secara tidak sengaja. 1. Mempertahankan jalan 1. Awasi potensi aliran AV internal pada 1. Getaran disebabkan oleh turbulen darah masuk vaskuler paten. interval sering: Palpasi getaran distal. arterial tekanan aliran yang masuk ke sistem tekanan vena yang lebih rendah dan harus dipalpasi di atas sisi keluarnya vena. 2. Perhatikan warna darah dan/atau 2. Perubahan warna dari merah sedang pemisahan sel dan serum sebelumnya. sampai merah gelap keunguan menunjukan aliran darah lembam/pembekuan dini. Pemisahan dalam selang indikatif pembekuan. Darah merah gelap kemudian cairan kuning jernih menunjukan pembentukan bekuan lengkap. 3. Evaluasi keluhan nyeri, 3. Mengindikasikan ketidakadekuatan kebas/kesemutan; perhatikan suplai darah. Menurunkan risiko pembengkakan ekstremitas distal pada pembekuan/pemutusan. jalan masuk. 4. Dari beberapa bukti yang didapati pada 4. Hindari trauma pada pirau; contoh pemeriksaan, dapat dengan segera menangani selang dengan perlahan, tindakan/intervensi penanggulangan pertahankan posisi kanula. Batasi aktivitas selanjutnya. ekstremitas. 5. Mencegah kehilangan darah masif bila 5. Pasang dua klem kanula pada balutan kanula terpisah atau pirau berubah posisi pirau, sediakan torniket. Bila kanula sambil menunggu bantuan medik.
25

terpisah, klem pertama pada arteri kemudian kanula vena. Bila selang lepas dari vena, klem kanula yang masih ditempatnya lakukan tekanan langsung pada sisi perdarahan. Pasang torniket diatasnya atau kembangkan balon pada tekanan diatas TD sistolik pasien. 6. Hindari kontaminasi pada sisi akses. Gunakan teknik aseptik dan masker bila memberikan perawatan pirau, mengganti balutan, dan bila melakukan proses dialisa.

6. Tanda infeksi/sepsis yang memerlukan

intervensi medik cepat

Diagnosa keperawatan: Resiko kelebihan volume cairan dengan faktor resiko tidak adekuatnya gradient osmotic dialisat; retensi cairan (malposisi kateter); pemasukan oral/IV berlebihan. 1. Mempertahankan berat 1. Ukur semua sumber pemasukan dan 1. Membantu mengevaluasi status cairan badan kering dalam batas pengeluaran. Timbang dengan rutin. khususnya bila dibandingkan dengan berat normal, pasien tidak edema, badan. Peningkatan berat badan antara bunyi nafas jelas dan kadar pengobatan harus tidak lebih dari 0,5 natrium dalam batas normal. kg/hari. 2. Awasi TD, nadi. 2. Hipertensi dan takikardia antara hemodialisis dapat diakibatkan oleh kelebihan cairan dan/atau gagal jantung. 3. Perhatikan adanya edema perifer/sakral. 3. Kelebihan cairan karena tidak efisiennya Pernapasan gemericik, dispnea, ortopnea, dialisa atau hipervolemia berulang diantara distensi vena leher, perubahan EKG pengobatan dialisa dapat menunjukan hipertrofi ventrikel. menyebabkan/eksaserbasi gagal jantung, seperti diindikasi oleh tanda/gejala kongesti
26

4. Awasi kadar natrium serum. Batasi pemasukan natrium sesuai indikasi. 5. Batasi pemasukan peroral cairan indikasi, pemberian jangka waktu memungkinkan cairan sepanjang periode 24 jam.
6. Perhatikan perubahan mental.

vena sistemik dan/atau pernafasan. 4. Kadar natrium tinggi dihubungkan dengan kelebihan cairan, edema, hipertensi, dan komplikasi jantung 5. Hemodialisa intermiten mengakibatkan retensi/kelebihan cairan antara prosedur dan dapat memerlukan pembatasan cairan. Jarak cairan membantu mengurangi haus. 6. Kelebihan cairan /hipervolemia, berpotensi untuk edema serebral (sindrom disekuilibrium).

Diagnosa keperawatan: Resiko kekurangan volume cairan dengan faktor resiko penggunaan dialisat hipertonik dengan pembuangan cairan berlebihan dari volume sirkulasi. 1. Mempertahankan 1. Ukur sama sumber pemasukan dan 1. Membantu mengevaluasi status cairan, keseimbangan cairan pengeluaran. khususnya bila dibandingkan dengan berat dibuktikan oleh berat badan badan. dan tanda vital stabil, turgor 2. Awasi TD, nadi, dan tekanan 2. Hipotensi, takikardia, penurunan kulit baik, membran mukosa hemodinamik bila tersedia selama dialisa. tekanan hemodinamik menunjukan lembab, tidak ada perdarahan kekurangan cairan. 3. Tempatkan pasien pada posisi 3. Memaksimalkan aliran balik vena bila telentang/trandelenburg sesuai kebutuhan. terjadi hipotensi. 4. Kaji adanya perdarahan terus menerus 4. Heparinisasi sistemik selama dialisa atau perdarahan besar pada sisi akses, meningkatkan waktu pembekuan dan membran mukosa, insisi/luka. menempatkan pasien pada resiko Hematemesis/guaiak feses, drainase perdaahan, khususnya selama 4 jam gaster. pertama setelah prosedur.
27

5. Berikan cairan IV (contoh garam

5. Cairan garam faal/dekstrosa, elektrolit,

faal)/volume ekspander (contoh albumin) selama dialisa sesuai indikasi.

6. Penurunan kecepatan ultrafiltrasi selama dialisa sesuai indikasi. 7. Berikan protamin sulfat bila diindikasikan.

dan NaHCO3 mungkin diinfuskan dalam sisi vena hemofolter CAV bila kecepatan ultrafiltrasi tinggi digunakan untuk membuang cairan ekstraseluler dan cairan toksik. 6. Menurunkan jumlah air selama dibuang dan dapat memperbaiki hipotensi/hipovolemia. 7. Mungkin dilakukan untuk mengembalikan waktu pembekuan ke normal atau bila terjadi pelepasan heparin (sampai 16 jam setelah hemodialisasi).

Diagnosa keperawatan: Resiko infeksi dengan faktor resiko kontaminasi kateter selama pemasangan, kontaminasi kulit pada sisi pemasangan kateter. 1. Mengidentifikasi 1. Observasi teknik aseptic dan gunakan 1. Mencegah introduksi organisme dan intervensi untuk masker selama pemasangan kateter, ganti kontaminasi lewat udara yang dapat mencegah/menurunkan baluta dan kapan pun system dibuka. menyebabkan infeksi. resiko infeksi. Ganti selang sesuai indikasi. 2. Tidak mengalami 2. Ganti balutan sesuai indikasi dengan hati- 2. Lingkungan yang lembab meningkatkan tanda/gejala infeksi. hati tidak mengubah posisi kateter. pertumbuhan bakteri. Drainase purulen Perhatikan karakter, warna, bau drainase pada sisi insersi menunjukkan adanya dari sekitar sisi pemasangan. infeksi local. 3. Observasi warna dan kejernihan keluaran. 3. Keluaran keruh diduga infeksi peritoneal. 4. Berikan pelindung betadine pada distal, 4. Menurunkan resiko masuknya bacterial klem bagian kateter bila terapi dialisis melalui kateter antara tindakan dialisis bila intermitten digunakan. kateter dihentikan dari system tertutup.
28

5. Kolaborai untuk pemberian antibiotic profilaksis.

5. Antibiotic profilaksis digunakan untuk mencegah infeksi.

29

BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan Hemodialisis merupakan suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membrane berpori dari suatu kompartemen cair menuju kompartemen cair lainnya yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. Tujuan hemodialisis adalah untuk membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam urat, membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam kompartemen dialisat, mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh serta mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh. Secara umum, dialisis dibedakan menjadi dua macam yaitu hemodialisis dan dialisis peritoneal. Prinsip dari kedua tindakan ini adalah menggunakan prinsip difusi, osmosis, dan utrafiltrasi sebagai pengganti dari fungsi ginjal yang rusak. Meskipun pasien bisa bertahan hidup dengan bantuan mesin hemodialisis, namun masih menyisakan sejumlah persoalan penting sebagai dampak dari penyakit dan hemodialisis. Oleh karena diperlukan suatu asuhan keperawatan yang komprehensif untuk meminimalkan terjadinya komplikasi dari tindakan ini. 4.2 Saran Adanya makalah ini diharapkan dapat menjadi tambahan referensi khususnya bagi mahasiswa keperawatan, serta dapat memberikan masukan bagi tenaga medis khususnya kepada perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang komperhensif pada pasien dengan hemodialisis.

30

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah (Alih bahasa: Agung Waluyo). Jakarta: EGC. Doenges, Marilynn, E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3 (Alih bahasa: I Made Kariasa, dkk). Jakarta: EGC. Sylvia & Lorraine. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 4. Jakarta: EGC. Soepaman, dkk. 2001. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. NKF. 2001. Guidelines For Hemodialysis Adequacy. http://www.nkf.com. [diakses pada 18 Mei 2011]

31

You might also like