You are on page 1of 29

BAB I PENDAHULUAN Diabates Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum daoat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomic dan kimiawi akibat dari sejumlah factor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Perubahan dalam diagnosis dan klasifikasi DM terus menerus terjadi baik oleh WHO maupun American Diabetes Association (ADA). Para pakar di Indonesia pun bersepakat melalui PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) pada tahun 1993 untuk membicarakan standar pengelolaan diabetes mellitus, yang kemudian juga melakukan revisi consensus tersebut pada tahun 1998 dan 2002 yang menyesuaikan dengan perkembangan baru. Secara epidemiologic diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini, penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi DM tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Factor resiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani, dan hiperinsulinemia. Semua factor ini berinteraksi dengan beberapa factor genetic yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2. Selain itu karena diabetes sudah merupakan suatu penyakit global dan malahan menurut P. Zimmet sudah merupakan suatu epidemi, banyak penelitian dilakukan untuk mencoba mengatasinya. Saat ini terdapat berbagai penelitian yang bertujuan untuk memperbaiki kehidupan orang dengan diabetes, ada yang berusaha untuk mencari obat untuk menyembuhkannya dan ada pula yang mempelajari dampak diabetes pada beberapa populasi di dunia.

BAB II DIABETES MELITUS II.1. DEFINISI Menurut WHO 1980 dikatakan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang merupakan akibat dari sejumlah faktor di mana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin. Diabetes Melitus (DM) sering juga dikenal dengan nama kencing manis atau penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih merupakan kumpulan gejala yang timbul pada diri seseorang yang disebabkan oleh adanya peningkatan glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes Melitus adalah suatu penyakit kronik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa didalam darah. Penyakit ini dapat menyerang segala lapisan umur dan sosial ekonomi. Menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. II.2. KLASIFIKASI Klasifikasi lainnya membagi diabetes melitus atas empat kelompok yaitu diabetes melitus tipe-1, diabetes melitus tipe-2, diabetes melitus bentuk khusus, dan diabetes melitus gestasional. American Diabetes Association (ADA) dalam standards of Medical Care in Diabetes (2009) memberikan klasifikasi diabetes melitus menjadi 4 tipe yang disajikan dalam : 1. Diabetes melitus tipe 1, yaitu diabetes melitus yang dikarenakan oleh adanya destruksi sel pankreas yang secara absolut menyebabkan defisiensi insulin.

2. Diabetes melitus tipe 2, yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin yang progresif dan adanya resistensi insulin. 3. Diabetes melitus tipe lain, yaitu diabetes yang disebabkan oleh beberapa faktor lain seperti kelainan genetik pada fungsi sel pankreas, kelainan genetik pada aktivitas insulin, penyakit eksokrin pankreas (cystic fibrosis), dan akibat penggunaan obat atau bahan kimia lainnya (terapi pada penderita AIDS dan terapi setelah transplantasi organ). 4. Diabetes melitus gestasional, yaitu tipe diabetes yang terdiagnosa atau dialami selama masa kehamilan. Tabel 1. Klasifikasi diabetes menurut etiologinya. Sumber : PERKENI, 2006

II. 3. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI 1. Diabetes Melitus Tipe 1 Faktor genetik dan lingkungan sangat berperan pada terjadinya DM tipe 1 walaupun 80% penderita DM tipe 1 tidak mempunyai riwayat keluarga dengan penyakit serupa. Faktor genetik dikaitkan dengan pola HLA tertentu, tetapi sistem HLA berperan sebagai suatu susceptibility gene atau faktor kerentanan. Kerentanan yang meningkat terhadap sejumlah penyakit telah dikaitkan dengan satu atau lebih antigen HLA yang dikenali. Pewarisan antigen HLA halotipe DR-3 arau DR-4

menyebabkan peningkatan risiko dua atau tiga kali terhadap perkembangan DM tipe 1. Bila DR3 maupun DR4 diwariskan, risiko relatif untuk perkembangan diabetes meningkat 7-10 kali lipat. Faktor pemicu yang berasal dari lingkungan (infeksi virus, toksin, dll) diperlukan untuk menimbulkan gejala-gejala klinis DM tipe 1 pada seseorang yang rentan. Proses ini akan berlangsung dalam beberapa bulan sampai tahun sebelum manifestasi klinisnya timbul. Infeksi enterovirus berhubungan berhubungan dengan timbulnya autoantibodi pada populasi dan enterovirus telah ditemukan di dalam sel islet anak diabetes. Awalnya kerusakan sel pankreas dispicu melalui mekanisme makrofag yang teraktivasi, limfosit T sitotoksik dan supresor, dan limfosit B yang menimbulkan insulitis destrukstif yang sangat selektif terhadap populasi sel . Sekitar 70-90% sel hancur sebelum timbul gejala klinis. 85-90% anak dengan hiperglikemia puasa akan ditemukan petanda autoantibodi terhadap sel beta pankreas seperti sel islet, GAD (Glutamic Acid Decarboxylase), IA-2, IA-2B, atau autoantibodi insulin.

Environme nt

Susceptib ility Imunologi cal Priming

Genet ic

Autoimune Disease Islet Cell Destruction Insulin Deficiency Cilinic al Diabe tes Gambar 1. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 1. dikutip dari William HL. Pediatric Type 1 Diabetes Mellitus. Available at:http//emedicine.medscape.com

Pada DM tipe 1, makin menurunnya insulin pasca makan akan mempercepat proses katabolisme. Insulopenia menyebabkan penggunaan glukosa oleh otot dan lemak berkurang mengakibatkan hiperglikemia postprandial. Bila insulin makin menurun maka tubuh akan berusaha memproduksi lebih banyak glukosa melalui glikogenolisis dan glukoneogenesis. Akan tetapi karena kadar glukosa dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel maka hepar akan berusaha lebih keras lagi, sebagai aibatnya adalah timbulnya hiperglikemia puasa, menimbulkan diuresis osmotik disertai glukosuria bila ambang ginjal sudah terlampaui (180 mg/dl). Akibatnya tubuh kehilangan kalori, elektrolit, dan cairan, terjadi rehidrasi yang selanjutnya menimbulkan stres fisiologis dengan hipersekresi hormon stres dan makin menurunnya kadar insulin yang menyebabkan peningkatan glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis, dan ketogenesis serta ketoasidosis diabetik. 2. Diabetes Melitus Tipe 2 Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu 1. Resistensi insulin 2. Disfungsi sel pancreas Akhir-akhir ini banyak juga dibahas mengenai peran sel pancreas, amilin dan sebagainya. Resistensi insulin adalah keadaan dimana insulin tidak dapat bekerja optimal pada sel-sel targetnya seperti sel otot, sel lemak dan sel hepar. Keadaan resisten terhadap efek insulin menyebabkan sel pancreas mensekresi insulin dalam kuantitas yang lebih besar untuk mempertahankan homeostasis glukosa darah ,sehingga terjadi hiperinsulinemia kompensatoir untuk mempertahankan keadaan euglikemia. Pada fase tertentu dari perjalanan penyakit DM tipe 2, kadar glukosa darah mulai meningkat walaupun dikompensasi dengan hiperinsulinemia; disamping itu juga terjadi peningkatan asam lemak bebas dalam darah. Keadaan glukotoksistas dan lipotoksisitas akibat kekurangan insulin relatif (walaupun telah dikompensasi dengan hiperinsulinemia) mengakibatkan sel pankreas mengalami disfungsi dan terjadilah gangguan metabolisme glukosa berupa Glukosa Puasa Terganggu, Gangguan Toleransi Glukosa dan akhirnya DM tipe 2. Akhir-akhir ini diketahui juga bahwa pada DM tipe 2 ada peran sel pankreas yang menghasilkan glukagon. Glukagon berperan pada produksi glukosa di hepar pada keadaan puasa. Diabetes tipe 2 merupakan keadaan yang ditandai oleh resistensi insulin

disertai defisiensi insulin relatif. Hal tersebut akibat adanya hiperinsulinemia yang berkepanjangan hingga menyebabkan terjadinya defisiensi insulin. Faktor-faktor yang menyebabkan menurunnya respon jaringan terhadap insulin yaitu: 1. Inhibitor prareseptor: antibodi terhadap insulin 2. Inhibitor reseptor: down regulation reseptor akibat hiperinsulinisme, hiperinsulinisme primer (adenoma sel alfa), hiperinsulinisme sekunder terhadap defek pasca reseptor (obesitas, sindrom Cushing, akromegali, kehamilan), dan hiperglikemia yang lama (diabetes melitus dan pasca uji toleransi glukosa) 3. Kelainan pasca reseptor: respon yang jelek terhadap organ sasaran akibat obesitas, penyakit hepatik, dan inaktivitas otot. 4. Kelebihan hormon: glukokortikoid, hormon pertumbuhan, kontrasepsi oral, progesteron, katekolamin, tirosin. II. 4. DIAGNOSIS Diagnosis diabetes melitus harus berdasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis diabetes melitus, pemeriksaan glukosa darah sebaiknya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh, vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini: 1. Keluhan klasik DM berupa : poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. 2. Keluhan lain dapat berupa : lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk acuan diagnosis diabetes melitus. Untuk

kelompok tanpa keluhan khas diabetes melitus, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl. Tabel 2. Kriteria diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dengan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasikan mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko diabetes melitus. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. Pemeriksaan penyaring bertujuan untuk menemukan pasien dengan Dibetes melitus, toleransi glukosa terganggu (TGT) maupun glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai intoleransi glukosa, merupakan tahapan sementara menuju diabetes melitus. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa

darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai standar penyaring dan diagnosis diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

Diperlukan anamnesis yang cermat serta pemeriksaan yang baik untuk menentukan diagnosis diabetes melitus, toleransi glukosa terganggu dan glukosa darah puasa tergagnggu. Berikut adalah langkah-langkah penegakkan diagnosis diabetes melitus, TGT, dan GDPT.

Gambar 2. Langkah-langkah diagnostik diabetes melitus dan toleransi glukosa terganggu. Sumber : Sudoyo, Aru W, 2006. II. 5. PENATALAKSANAAN

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus. Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu: 1. Jangka pendek, hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. 2. Jangka panjang, tercegah dan terhambatnya progresifitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neyropati. Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus adalah turunnya morbiditas dan mortalitas diabetes melitus. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan dan profil lipid, melalu pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan tingkah laku. Langkah pertama dalam mengelola diabetes melitus selalu dimulai dengan pendekatan non farmakologis, yaitu berupa perencanaan makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani dan penurunan berat badan bila didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah tesebut sasaran pengendalian belum tercapai, maka dilanjutkan dengan penggunaan obat atau intervensi farmakologis. Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia seperti yang tertera pada (Gambar3).

Gambar 3. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar glukosa darah. Sumber: Sudoyo, Aru W, 2006. Untuk penatalaksanaan diabetes melitus, di Indonesia, pendekatan yang digunakan adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus yang sesuai dengan konsensus penatalaksanaan diabetes melitus menurut PERKENI tahun 2006. Adapun pilar penatalaksanaan diabetes melitus sebagai berikut : II. 5. 1. Edukasi Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlikan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi.

II. 5. 2. Terapi Gizi Medis. Terapi Gizi Medis (TGM) merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes secara total. Kunci keberhasilan TGM adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain dan pasien itu sendiri). Setiap penyandang diabetes sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi kerbohidrat, protein dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat. Adapun komposisi bahan makanan yang direkomendasikan untuk diabetisi menurut konsensus penatalaksanaan diebetes melitus di Indonesia menurut PERKENI tahun 2006 adalah sebagai berikut : 1. Karbohidrat, sebagai sumber energi, diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi dalam sehari, atau tidak boleh lebih dari 70%jika dikombinasi dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori. 2. Protein, jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori per hari. Pada penderita dengan kelainan ginjal dimana diperlukan pembatasan asupan protein sampai 40 gram perhari, maka perlu ditambahkan suplementasi asam amino esensial. Protein mengandung energi sebesar 4 kilokalori/gram. 3. Lemak, mempunyai kandungan energi sebesar 9 kilokalori per gramnya. Bahan makanan ini sangat penting untuk membawa vitamin yang larut dalam lemak seperti vitamin A, D, E, dan K. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dibedakan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol disarankan bagi diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering tidak normal dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (monounsaturated fatty acid = MUFA), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian

MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (polyunsaturated fatty acid = PUFA) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktifitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL. 4. Serat, seperti halnya masyarakat umum penyandang diabetes dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral, serat dan bahan lain yang baik untuk kesehatan. Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/1000 kkal/hari. 5. Kebutuhan kalori, Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll. II. 5. 3. Aktivitas fisik Pengelolaan diabetes yang meliputi empat pilar, aktivitas fisik merupakan salah satu dari keempat pilar tersebut. Aktivitas minimal otot skeletal lebih dari sekedar yang diperlukan untuk ventilasi basal paru, dibutuhkan untuk semua orang termasuk diabetisi sebagai kegiatan sehari-hari. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti: jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalasmalasan. II. 5. 4. Intervensi Farmakologis Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani.

Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia. Obat hipoglikemik oral (OHO) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan : 1. pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue): sulfonilurea dan glinid Sulfonilurea, obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada meningkatkan sekresi insulin fase pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu: Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini diabsorpsi dengan cepatsetelah pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. 2. penambah sensitivitas terhadap insulin: metformin, tiazolidindion Tiazolidindion (rosiglitazon dan pioglitazon) berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu reseptor inti di sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung klas IIV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. 3. penghambat glukoneogenesis: metformin Metformin, obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin > 1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien-pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan.

4. penghambat glukosidase alfa (acarbose) Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens. Tabel 4. Mekanisme kerja, efek samping utama, dan pengaruh terhadap penurunan A1C (Hb-glikosilat). Sumber : PERKENI, 2006.

Insulin Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian asam amino, dihasilkan oleh sel beta pankreas. Dalam keadaan normal, bila ada rangsangan pada sel beta, insulin disintesis dan kemudian disekresikan kedalam darah sesuai kebutuhan tubuh untik keperluan regulasi glukosa darah. Insulin diperlukan pada keadaan : 1. Penurunan berat badan yang cepat 2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis 3. Ketoasidosis diabetik 4. Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik 5. Hiperglikemia dengan asidosis laktat 6. Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal

7. Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke) 8. Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional 9. yang tidak terkendali dengan perencanaan makan 10. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat 11. Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yakni : 1. insulin kerja cepat (rapid acting insulin) 2. insulin kerja pendek (short acting insulin) 3. insulin kerja menengah (intermediate acting insulin) 4. insulin kerja panjang (long acting insulin) 5. insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed insulin) Tabel 5. Farmakokinetik insulin berdasarkan waktu kerja. Sumber : PERKENI, 2006

II. 5. 5. Pemeriksaan kadar glukosa darah Tujuan pemeriksaan glukosa darah: a) Untuk mengetahui apakah sasaran terapi telah tercapai

b) Untuk melakukan penyesuaian dosis obat, bila belum tercapai sasaran terapi Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa dan glukosa 2 jam posprandial secara berkala sesuai dengan kebutuhan. II. 5. 6. Pemeriksaan A1C Tes hemoglobin terglikosilasi, yang disebut juga sebagai glikohemoglobin, atau hemoglobin glikosilasi disingkat sebagai A1C, merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Tes ini tidak dapat digunakan untuk menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan A1C dianjurkan dilakukan minimal 2 kali dalam setahun. II. 5. 7. Kriteria pengendalian DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan pengendalian DM yang baik yang merupakan sasaran terapi. Diabetes terkendali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah. Kriteria keberhasilan pengendalian DM dapat dilihat pada (Tabel 6). Tabel 6. Kriteria pengendalian diabetes melitus. Sumber : PERKENI, 2006.

II. 5. 8. Komplikasi II. 5. 8. A. Komplikasi akut Ketoasidosis diabetik Ketoasidosis diabetik adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai dengan trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat bahkan sampai menyebabkan syok. Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik Sindrom koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik (HHNK) ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguanneurologis dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi, dan penurunan berat badan. Koma hanya ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori : infeksi, pengobatan, noncompliance, DM tak terdiagnosis, penyalahgunaan obat, dan penyakit penyerta. Infeksi merupakan penyebab tersering (57,1%). Compliance yang buruk terhadap pengobatan DM juga sering menyebabkan HHNK (21%). Hipoglikemia Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,

mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama. Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma. II. 5. 8. B. Komplikasi kronik Komplikasi kronis ini berkaitan dengan gangguan vaskular, yaitu: Komplikasi mikrovaskular Komplikasi makrovaskular Komplikasi neurologis 1. Komplikasi Mikrovaskular Timbul akibat penyumbatan pada pembuluh darah kecil khususnya kapiler. Komplikasi ini spesifik untuk diabetes melitus. Retinopati diabetika Kecurigaan akan diagnosis DM terkadang berawal dan gejala berkurangnya ketajaman penglihatan atau gangguan lain pada mata yang dapat mengarah pada kebutaan. Retinopati diabetes dibagi dalam 2 kelompok, yaitu Retinopati non proliferatif dan Proliferatif. Retinopati non proliferatif merupkan stadium awal dengan ditandai adanya mikroaneurisma, sedangkan retinoproliferatif, ditandai dengan adanya pertumbuhan pembuluh darah kapiler, jaringan ikat dan adanya hipoksia retina. Pada stadium awal retinopati dapat diperbaiki dengan kontrol gula darah yang baik, sedangkan pada kelainan sudah lanjut hampir tidak dapat diperbaiki hanya dengan kontrol gula darah, malahan akan menjadi lebih buruk apabila dilakukan penurunan kadar gula darah yang terlalu singkat. Nefropati diabetika Diabetes mellitus tipe 2, merupaka penyebab nefropati paling banyak, sebagai penyebab terjadinya gagal ginjal terminal. Kerusakan ginjal yang spesifik pada DM mengaikibatkan perubahan fungsi penyaring, sehingga molekul-molekul besar seperti protein dapat lolos ke dalam kemih (mis. Albuminuria). Akibat nefropati diabetika dapat timbul kegagalan ginjal yang progresif. Nefropati diabetic ditandai dengan adanya proteinuri persisten ( > 0.5 gr/24 jam), terdapat retinopati dan hipertensi. Dengan demikian upaya preventif pada nefropati adalah kontrol metabolisme dan

kontrol tekanan darah. 2. Komplikasi Makrovaskular Timbul akibat aterosklerosis dan pembuluh-pembuluh darah besar, khususnya arteri akibat timbunan plak ateroma. Makroangioati tidak spesifik pada diabetes, namun pada DM timbul lebih cepat, lebih seing terjadi dan lebih serius. Berbagai studi epidemiologis menunjukkan bahwa angka kematian akibat penyakit ,kardiovaskular dan penderita diabetes meningkat 4-5 kali dibandingkan orang normal. Komplikasi makroangiopati umumnya tidak ada hubungannya dengan kontrol kadar gula darah yang balk. Tetapi telah terbukti secara epidemiologi bahwa hiperinsulinemia merupakan suatu faktor resiko mortalitas kardiovaskular, dimana peninggian kadar insulin menyebabkan risiko kardiovaskular semakin tinggi pula. kadar insulin puasa > 15 mU/mL akan meningkatkan risiko mortalitas koroner sebesar 5 kali lipat. Hiperinsulinemia kini dikenal sebagai faktor aterogenik dan diduga berperan penting dalam timbulnya komplikasi makrovaskular. Penyakit Jantung Koroner Berdasarkan studi epidemiologis, maka diabetes merupakan suatu faktor risiko koroner. Ateroskierosis koroner ditemukan pada 50-70% penderita diabetes. Akibat gangguan pada koroner timbul insufisiensi koroner atau angina pektoris (nyeri dada paroksismal serti tertindih benda berat dirasakan didaerah rahang bawah, bahu, lengan hingga pergelangan tangan) yang timbul saat beraktifitas atau emosi dan akan mereda setelah beristirahat atau mendapat nitrat sublingual. Akibat yang paling serius adalah infark miokardium, di mana nyeri menetap dan lebih hebat dan tidak mereda dengan pembenian nitrat. Namun gejala-gejala ini dapat tidak timbul pada pendenita diabetes sehigga perlu perhatian yang lebih teliti. Stroke Aterosklerosis serebri merupakan penyebab mortalitas kedua tersering pada penderita diabetes. Kira-kira sepertiga penderita stroke juga menderita diabetes. Stroke lebih sering timbul dan dengan prognosis yang lebih serius untuk penderita diabetes. Akibat berkurangnya aliran atrteri karotis interna dan arteri vertebralis timbul gangguan neurologis akibat iskemia, berupa: - Pusing, sinkop - Hemiplegia: parsial atau total - Afasia sensorik dan motorik

- Keadaan pseudo-dementia Penyakit pembuluh darah Proses awal terjadinya kelainan vaskuler adalah adanya aterosklerosis, yang dapat terjadi pada seluruh pembuluh darah. Apabila terjadi pada pembuluh darah koronaria, maka akan meningkatkan risiko terjadi infark miokar, dan pada akhirnya terjadi payah jantung. Kematian dapat terjadi 2-5 kali lebih besar pada diabetes disbanding pada orang normal. Risiko ini akan meningkat lagi apabila terdapat keadaan keadaan seperti dislipidemia, obes, hipertensi atau merokok. Penyakit pembuluh darah pada diabetes lebih sering dan lebih awal terjadi pada penderita diabetes dan biasanya mengenai arteri distal (di bawah lutut). Pada diabetes, penyakit pembuluh darah perifer biasanya terlambat didiagnosis yaitu bila sudah mencapai fase IV. Faktor factor neuropati, makroangiopati dan mikroangiopati yang disertai infeksi merupakan factor utama terjadinya proses gangrene diabetik. Pada penderita dengan gangrene dapat mengalami amputasi, sepsis, atau sebagai factor pencetus koma, ataupun kematian. 3. Neuropati Umumnya berupa polineuropati diabetika, kompikasi yang sering terjadi pada penderita DM, lebih 50 % diderita oleh penderita DM. MAnifestasi klinis dapat berupa gangguan sensoris, motorik, dan otonom. Proses kejadian neuropati biasanya progresif di mana terjadi degenerasi serabut-serabut saraf dengan gejala-gejala nyeri atau bahkan baal. Yang terserang biasanya adalah serabut saraf tungkai atau lengan. Neuropati disebabkan adanya kerusakan dan disfungsi pada struktur syaraf akibat adanya peningkatan jalur polyol, penurunan pembentukan myonositol, penurunan Na/K ATP ase, sehingga menimbulkan kerusakan struktur syaraf, demyelinisasi segmental, atau atrofi axonal.

BAB III

DIABETES MELITUS DENGAN KETOASIDOSIS DIABETIK III. 1. Definisi Ketoasidosis diabetikum (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.1 KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus (DM) yang serius yang membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat menyebabkan syok. III. 2. Epidemiologi Data komunitas di Amerika serikat, Rochester menunjukkan bahwa insidens KAD sebesar 8 per 1000 pasien, sedangkan untuk kelompok usia di bawah 30 tahun sebesar 13,4 per 1000 pasien DM per tahun. Walaupun data komunitas di Indonesia tidak sebanyak di negara barat, mengingat prevalensi DM tipe I yang rendah. Laporan insidens KAD di Indonesia umumnya berasal dari data rumah sakit, terutama pada pasien DM tipe II. III. 3. Faktor Pencetus Ada sekitar 20 % pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kalinya. Pada pasien KAD yang sudah diketahui sebelumnya, 80 % dikenali adanya faktor pencetus. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20 % pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus. III. 4. Patofisiologi KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan peningkatan hormon kontra regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi gula hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan derajat beratringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu:1

Akibat hiperglikemia Akibat ketosis Walaupun sel tubuh tidak dapat menurunkan glukosa, sistem homeostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan kadar hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormon lipase sensitif pada jaringan lemak. Akibatnya lipolisis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi benda keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama adalah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal 3HB meliputi 75-85 % dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskupin sudah tersedia bahan bakar tersebut, sel-sel tubuh masih tetaplapar dan terus menerus produksi glukosa. Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolisis lemak, menghambat glukoneogenesis pada sel hati serta mendorong oksidasi melalui siklus krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan ATP yang merupakan energi utama sel.1 Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif. Meningkatnya hormon kontra regulator insulin, meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa dapat mengganggu sensitivitas insulin. Peranan Insulin Pada KAD terjadi defisiensi insulin absolut atau relatif terhadap hormon kontra regulasi yang berlebihan (glucagon, epinefrin, kortisol, dan hormon pertumbuhan). Defisiensi insulin dapat disebabkan oleh resistensi insulin atau suplai insulin endogen atau eksogen yang berkurang. Defisiensi aktivitas insulin tersebut, menyebabkan 3 proses patofisiologi yang nyata pada 3 organ, yaitu sel-sel lemak, hati, dan otot. Perubahan yang terjadi terutama melibatkan metabolisme lemak dan karbohidrat. Peranan Glukagon Di antara hormon-hormon kontraregulator, glukagon yang paling berperan dalam patogenesis KAD. Glukagon menghambat proses glikolisis dan menghambat pembentukan malonyl CoA. Malonyl CoA adalah suatu penghambat caarnitine acyl transferases (CPT 1 dan 2) yang bekerja pada transfer asam lemakbebas ke dalam mitokondria. Dengan demikian peningkatan glukagon akan meransang oksidasi beta

asam lemak dan ketogenesis. Pada pasien DM tipe 1, kadar glukagon darah tidak teregulaasi dengaan baik. Bila kadar insulin rendah, maka kadar glukagon darah sangat meningkat serta mengakibatkan reaksi kebalikan respons insulin pada sel-sel lemak dan hati. Hormon kontraregulator insulin lain Kadar epinefrin dan kortisol darah meningkat pada KAD. Hormon pertumbuhan (GH) pada awal terapi KAD kadarnya kadang-kadang meningkat dan lebih meningkat lagi dengan pemberian insulin. Keadaan stress sendiri meningkatkan hormon kontra regulasi yang pada akhirnya aklan menstimulasi pembentukan benda-benda keton, glukoneogenesis serta potensial sebagai pencetus KAD. Sekali proses KAD terjadi maka akan terjadi stress yang berkepanjangan. III. 5. Gejala Klinis Sekitar 80 % pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan segera mengatasinya. Sesuai dengan patofisiologi KAD, maka pada pasien KAD dijumpai pernafasan cepat dan dalam (kussmaul), berbagaia derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa nafas tidak terlalu mudah tercium. Areataeus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuria dan polidipsia sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastro-paresis-dilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Infeksi yang paling sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih, dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolestitis, iskemia usus,

apendisitis, divertikulitis, atau perforasi usus. Bila ternyata pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu dicari kemungkinan infeksi tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirektal). III. 6. Diagnosis Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia hiperosmolar nonketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai kriteria diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Langkah pertama yang harus diambil pada paasien dengan KAD terdiri dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cepat dan teliti dengan terutama memperhatikan patensi jalan nafas, status mental, status ginjal dan kardiovaskular, dan status hidrasi. Langkah-langkah ini harus dapat menentukan jenis pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan, sehingga penatalaksanaan dapat segera dimulai tanpa adanya penundaan. Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dilakukan setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi kadar HCO3-, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan kadar AcAc dan laktat serta 3HB. Kriteria diagnosis KAD: a. kadar glukosa > 250 mg% b. pH < 7,35 c.HCO3- rendah d.Anion gap yang tinggi e. Keton serum positif

III. 7. Prinsip Pengobatan Begitu masalah diagnosis KAD ditegakkan, segera pengelolaan dimulai.

Pengelolaan KAD tentunya berdasarkan patofisiologi dan patogenesis penyakit, merupakan terapi titerasi, sehingga sebaiknya dirawat di ruang perawatan intensif. Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah: a. Penggantian cairan dan garam yang hilang b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin. c. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD d. Mengembalikan keadaan fisiologis normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan. Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Ada 6 hal yang harus diberikan; 5 di antaranya ialah: cairan, garam, insulin, kalium, dan glukosa. Sedangkan yang terakhir tetapi sangat menentukan adalah asuhan keperawatan. Di sini diperlukan kecermatan dalam evaluasi sampai keadaan KAD teratasi dan stabil. Cairan Untuk mengatasi dehidrsi digunkaan larutan garam fisiologis. Berdasarkan perkiraan hilangnya cairan pada KAD mencapai 100 ml per kg berat badan, maka pada jam pertama diberikan 1 sampai 2 liter, jam kedua diberikan 1 liter. Ada dua keuntungan rehidrasi pada KAD: memperbaiki perfusi jaringan dan menurunkan hormon kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5 % atau 10 %). Insulin Teaoi insulin harus segera dimulai segera setelah diagnosis KAD dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan menurunkan konsentrasi hormon glucagon, sehingga dapat menekan produksi benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan lemak, pelepasan asam amino dari jaringan otot dan meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Sampai tahun 1970-an penggunaan insulin umumnya secara bolus melalui intravena, intramuscular, ataupun subkutan. Sejak pertengahan tahun 1970-an protocol pengelolaan KAD dengan drip insulin intravena dosis rendah mulai digunakan dan menjadi popular. Cara ini dianjurkan oleh karena lebih mudah mengontrol dosis insulin, menurunkan konsentrasi glukosa lebih lambat, efek insulin cepat menghilang, masuknya kalium ke intrasel lebih lambat, komplikasi hipoglikemia dan hipokalemia lebih sedikit. Pemberian insulin kontinu secara intravena terbukti lebih jarang menyebabkan hipoglikemia dibandingkan dengan cara

bolus. Sedangkan untuk hipokalemia tidak berbeda. Efek kerja insulin terjadi dalam beberapa menit setelah insulin berikatan dengan reseptor. Kemudian reseptor yang telah berikatan akan mengalami internalisasi dan insulin akan mengalami dekstruiksi. Dalam keadaan hormon kontraregulator masih tinggi dalam darah, dan untuk mencegah terjadinya lipolisis dan ketogenesis, pemberian insulin tidak boleh diberikan tiba-tiba dan perlu dilanjutkan beberapa jam setelah koreksi hiperglikemia tercapai bersamaan dengan pemberian larutan mengandung glukosa untuk mencegah hipoglikemia. Kesalahan yang sering terjadi ialah penghentian drip insulin lebih awal sebelum klirens benda keton darah cukup adekuat tanpa konversi ke insulin kerja panjang. Tujuan pemberian insulin d sini bukan untuk mencapai glukosa normal, tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia. Oleh karena itu, bila konsentrasi glukosa kurang dari 200mg%, insulin diteruskan untuk mencegah hipoglikemia diberi cairan mengandung glukosa sampai asupan kalori oral pulih kembali. Kalium Pada awal KAD biasanya konsentrasi ion K serum meningkat. Hiperkalemia yang fatal sangat jarang dan bila terjadi harus segera diatasi dengan pemberian bikarbonat. Bila pada elektrokardiogram ditemukan gelombang T yang tinggi, pemberian cairan dan insulin dapat segera mengatasi keadaan hiperkalemia tersebut. Yang perlu menjadi perhatian adalah terjadinya hipokalemia yang dapat fatal selama pengobatan KAD. Ion kalium terutama terdapat intraselular. Pada keadaan KAD, ion K bergerak keluar sel dan selanjutnya dikeluarkan melalui urin. Total defisit K yang terjadi selama KAD diperkirakan mencapai 3-5 mEq/kgBB. Selama terapi KAD ion K kembali ke dalam sel. Untuk mengantisipasi masuknya ion K ke dalam sel serta mempertahankan konsentasi K serum dalam batas normal, perlu pemberian kalium. Pada pasien tanpa gagal ginjal serta tidak ditemukannya gelombang T yang lancip dan tinggi pada elektrokardiogram, pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urin adekuat. Glukosa Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/jam. Bila kadar glukosa mencapai < 200 mg% maka dapat dimulai infus mengandung glukosa. Perlu dditekankan di sini bahwa tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa tetapi untuk menekan ketogenesis.

Bikarbonat Terapi bikarbonat pafda KAD menjadi topik perdebatn selama beberapa tahun. Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. Adapun alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah: a.Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat. b. Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan c. Hipertonis dan kelebihan natrium d. Meningkatkan insidens hipokalemia e. Gangguan fungsi serebral f. Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton Saat ini bikarbonat hanya diberikan bila pH kurang dari 7,1 walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat. Pengobatan Umum Di samping hal tersebut di atas pengobatan umum yang tak kalah penting. Pengobatan umum KAD, terdiri atas: 1.Antibiotika yang adekuat 2.Oksigen bila PO2 < 80 mmHg 3. Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/l) Pemantauan Pemantauan merupakan bagian yang terpenting dalam pengobatan KAD mengingat penyesuaian terapi perlu dilakukan selama terapi berlansung. Untuk itu perlu dilaksanakan pemeriksaan: 1. kadar glukosa darah tiap jam dengan glukometer 2. elektrolit tiap 6 jam selama 24 jam selanjutnya tergantung keadaa. 3.Analisis gas darah, bila pH <7 waktu masuk periksa setiap 6 jam sampai pH >7,1, selanjutnya setiap hari sampai Keadaan stabil 4. Vital Sign tiap jam 5. Keadaan hidrasi, balance cairan 6. Waspada terhadap kemungkinan DIC Agar hasil pemantauan efektif dapat digunakan lembar evaluasi penatalaksanaan ketoasidosis yang baku. III. 8. Komplikasi

Komplikasi KAD dapat berupa edema paru, hipertrigliseridemia, infark miokard akut dan komplikasi iatrogenik. Komplikasi iatrogenik tersebut ialah hipoglikemia, hiperkloremia, hipokalemia, edema otak, dan hipokalsemia. III. 9. Pencegahan Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk pilek, diare, demam, luka). Upaya pencegahan merupakan hal penting pada penatalaksanaan DM secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik. Khusus mengenai pencegahan KAD dan hipoglikemia, program edukasi perlu menekankan pada cara-cara pemberian insulin kerja cepat, target konsentrasi glukosa darah pada saat sakit, mengatasi demam dan infeksi, memulai pemberian makanan cair mengandung karbohidrat dan garam yang mudah dicerna. Yang paling penting adalah agar tidak menghentikan pemberian insulin atau obat hipoglikemia oral dan sebaiknya segera mencari pertolongan atau nasihan tenaga kesehatan yang professional. Pasien DM harus didorong untuk perawatan mandiri terutama saat mengalami masa-masa sakit, dengan melakukan pemantauan konsentrasi glukosa darah dan keton urin sendiri. Di sinilah pentingnya educator diabetes yang dapat membantu pasien dan keluarga, terutma pada keadaan sulit.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo, A. W, Setiyohadi, B, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing, 2009. 2. Fauci, K. B, Jameson, H. L. Harrisons Principle of Internal Medicine. USA: McGrawHill, 2005. 3. PERKENI. Konsensus Nasioanl Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1 di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI, 2000. 4. PERKENI. Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Jakarta: Interna Publishing, 2008. 5. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta: PB PERKENI, 2008. 6. Rani, A. Aziz, dkk. Panduan Pelayanan Medik. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: Interna Publishing, 2009. 7. Sherwood, Lauralee. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2001. 8. German MS, Masharani U. Pancreatic hormones and diabetes mellitus. Greenspans basic and clinical endocrinology. Edisi ke-8. USA: The McGrawHill Companies, Inc.; 2007. 9. Fauci, et al. Harrison's : Principles of Internal Medicine. 17th edition. USA : McGraw-Hill, inc.,2008. 10. Maitra A, Abbas AK. The endocrine system. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. Edisi ke-7. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005.

You might also like