You are on page 1of 41

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kolon 2.1.1 Anatomi Kolon merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki yang terbentang dari sekum sampai canalis ani. Kolon dibagi menjadi caecum, appendix vermiformis, colon (ascendens, tranversum, descendens, dan sigmoid) dan rectum. Pada caecum terdapat katup illeocaecal dan appendix yang melekat pada ujung caecum. Caecum menempati 2/3 atau 3 inci pertama dari kolon. Katup illeocaecal mengontrol aliran kimus dari ileum ke caecum (Gambar 2.1) (Snell, 2006).

(Sobotta, 2003)

Gambar 2.1 Anatomi Colon ascendens, Colon descendens, Colon transversum, Colon sigmoid, dan Rectum

2.1.1.1 Caecum a. Lokasi dan Deskripsi Caecum (Gambar 2.2) adalah bagian yang terletak di perbatasan ileum dan intestinum crassum. Caecum merupakan kantong buntu yang terletak pada fossa iliaca dextra. Panjang caecum sekitar 2 inci (6 cm) dan seluruhnya diliputi oleh peritoneum. Seperti pada colon, stratum longitudinale tunica muscularis terbatas pada tiga pita tipis yaitu taenia coli yang bersatu pada dasar appendix vermiformis dan membentuk stratum longitudinale tunica muscularis yang sempurna pada appendix vermiformis. Caecum sering teregang oleh gas dan dapat diraba melalui dinding anterior abdomen pada orang hidup (Snell, 2006).

(Sobotta, 2003)

Gambar 2.2 Caecum tampak ventral, Appendix vermiformis di titik pertemuan taenia omentalis, taenia libera, dan taenia mesocolica

Terdapat hubungan antara caecum dengan jaringan sekitarnya, yaitu: Ke anterior: lengkung-lengkung intestinum tenue, kadangkadang sebagian omentum majus, dan dinding anterior abdomen pada regio iliaca dextra. Ke posterior: musculus psoas major dan musculus iliacus, nervus femoralis, dan nervus cutaneus femoris lateralis. Appendix vermiformis sering ditemukan di belakang caecum (Snell, 2006). b. Pendarahan Arteriae caecalis anterior dan arteriae caecalis posterior merupakan percabangan dari arteriae ileocolica, dimana arteriae ileocolica adalah cabang dari arteria mesenterica superior. Venae mengikuti arteriae yang sesuai dan

mengalirkan darahnya ke vena mesenterica superior (Snell, 2006). c. Persarafan Sarafsaraf berasal dari cabangcabang saraf simpatis dan parasimpatis (nervus vagus) membentuk plexus mesentericus superior (Snell, 2006). 2.1.1.2 Appendix vermiformis a. Lokasi dan Deskripsi Appendix vermiformis adalah organ sempit, berbentuk tabung yang mempunyai otot dan mengandung banyak jaringan limfoid. Panjang appendix vermiformis bervariasi dari 3-5 inci

(8-13 cm). Dasarnya melekat pada permukaan posteromedial caecum, sekitar 1 inci (2,5 cm) di bawah junctura ileocaecalis. Bagian appendix vermiformis lainnya bebas. Appendix vermiformis diliputi seluruhnya oleh peritoneum, yang melekat pada lapisan bawah mesenterium intestinum tenue melalui mesenteriumnya sendiri yang pendek, mesoappendix (Snell, 2006). Appendix vermiformis terletak di regio iliaca dextra, dan pangkal diproyeksikan ke dinding anterior abdomen pada titik sepertiga bawah garis yang menghubungkan spina iliaca anterior superior dan umbilicus (titik McBurney) (Snell, 2006). b. Posisi Ujung Appendix Vermiformis yang Umum Ujung appendix vermiformis mudah bergerak dan mungkin ditemukan pada tempat-tempat berikut ini: 1. Menggantung ke arah bawah masuk ke dalam pelvis berhadapan dengan dinding pelvis dextra, 2. Melengkung di belakang caecum, 3. Menonjol ke atas sepanjang pinggir lateral caecum, dan 4. Di depan atau di belakang pars terminalis ileum. Posisi pertama dan kedua merupakan posisi yang sering ditemukan (Snell, 2006). c. Pendarahan

Arteriae

appendicularis

merupakan

cabang

arteria

caecalis posterior. Arteria ini berjalan menuju ujung appendix vermiformis di dalam meso-appendix. Vena appendicularis mengalirkan darahnya ke vena caecalis posterior (Snell, 2006). d. Persarafan Saraf-saraf bearasal dari cabang-cabang saraf simpatis dan saraf parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior. Serabut saraf aferen yang menghantarkan rasa nyeri visceral dari appendix vermiformis berjalan bersama saraf simpatis dan masuk ke medulla spinalis setinggi vertebra thoracica X (Snell, 2006). 2.1.1.3 Colon ascendens a. Lokasi dan Deskripsi Panjang colon ascendens sekitar 5 inci (13 cm) dan terletak di kuadran kanan bawah. Colon ascendens (Gambar 2.3) membentang ke atas dari caecum sampai permukaan inferior lobus hepatis dextra, lalu colon ascendens membelok ke kiri, membentuk flexura coli dextra, dan melanjutkan diri sebagai colon transversum. Di dalam colon ascendens terdapat plicae semilunares coli. Colon ascendens diliputi oleh tiga pita seperti pada caecum. Peritoneum meliputi bagian depan dan samping colon ascendens serta menghubungkan colon ascendens dengan dinding posterior abdomen (Snell, 2006).

10

(Sobotta, 2003)

Gambar 2.3 Colon ascendens, Ileum, Caecum, dan Appendix vermiformis

Terdapat hubungan antara colon ascendens dengan jaringan sekitarnya, yaitu: Ke anterior: lengkung-lengkung intestinum, omentum majus, dan dinding anterior abdomen. Ke posterior: musculus iliacus, crista iliaca, musculus quadrates lumborum, origo musculus transverses abdominis, dan polus inferior ren dextra. Nervus iliohypogastricus dan nervus ilioinguinalis berjalan di

belakangnya (Snell, 2006). b. Pendarahan Arteria ileocolica dan arteria colica dextra yang merupakan cabang arteria mesenterica superior. Venae mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica superior (Snell, 2006). c. Persarafan Saraf berasal dari cabang saraf simpatis dan saraf parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesentericus superior (Snell, 2006).

11

2.1.1.4 Colon transversum a. Lokasi dan Deskripsi Panjang colon transversum (Gambar 2.4) sekitar 15 inci (38 cm) dan berjalan menyilang abdomen, menempati regio abdominalis. Colon transversum mulai dari flexura coli dextra di bawah lobus hepatis dextra dan tergantung ke bawah oleh mesocolon transversum dari pancreas. Di dalam colon transversum terdapat plicae semilunares coli. Colon

transversum diliputi oleh tiga pita seperti pada caecum (Snell, 2006). Kemudian colon transversum berjalan ke atas sampai flexura coli sinistra di bawah lien. Flexura coli sinistra lebih tinggi daripada flexura coli dextra dan digantung ke diaphragma oleh ligamentum phrenicocolicum (Snell, 2006).

(Sobotta, 2003)

Gambar 2.4 Colon transversum; Omentum majus dilipat ke atas untuk memperlihatkan Taenia libera; lipatan selaput lendir di dalam bagian usus yang tampak terbuka; tampak ventral kaudal

Terdapat hubungan antara colon transversum dengan jaringan sekitarnya, yaitu:

12

Ke anterior: omentum majus, dan dinding anterior abdomen (regio umbilicalis dan hypogastrium). Ke posterior: pars descendens duodenum, caput pancreatic, dan lengkunglengkung jejunum dan ileum (Snell, 2006). b. Pendarahan Dua diperdarahi pertiga oleh bagian arteria proksimal colica colon transversum arteria

media,

cabang

mesenterica superior. Sepertiga bagian distal diperdarahi oleh arteria colica sinistra, cabang arteria mesenterica inferior. Venae mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica superior dan vena mesenterica inferior (Snell, 2006). c. Persarafan Dua pertiga proksimal colon transversum dipersarafi oleh saraf simpatis dan saraf parasimpatis (nervus vagus) melalui plexus mesentericus superior, sepertiga distal dipersarafi oleh saraf simpatis dan parasimpatis nervi splanchnici pelvic melalui plexus mesentericus inferior (Snell, 2006). 2.1.1.5 Colon descendens a. Lokasi dan Deskripsi Panjang colon descendens sekitar 10 inci (25 cm) dan terletak di kuadran kiri atas dan bawah. Kolon ini berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis, disini colon transversum melanjutkan diri menjadi colon sigmoid.

13

Peritoneum meliputi permukaan depan dan sisi-sisinya serta menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen (Snell, 2006). Terdapat hubungan antara colon descendens dengan jaringan sekitarnya, yaitu: Ke anterior: lengkung-lengkung intestinum tenue, omentum majus, dan dinding anterior abdomen. Ke posterior: margo lateralis ren sinistra, origo musculus transversum abdominis, musculus quadratus lumborum, crista iliaca, musculus iliacus, dan musculus psoas major sinistra. Nervus iliohypogastricus dan nervus ilioinguinalis, nervus cutaneus femoris lateralis, serta nervus femoralis juga terletak di belakangnya (Snell, 2006). b. Pendarahan Arteria colica sinistra dan arteriae sigmoideae merupakan cabang arteria mesenterica inferior. Venae mengikuti arteriae yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica inferior (Snell, 2006). c. Persarafan Saraf simpatis dan parasimpatis nervi splanchnici pelvic melalui plexus mesentericus inferior (Snell, 2006).

14

2.1.1.6 Colon sigmoid a. Lokasi dan Deskripsi Colon sigmoid panjangnya sekitar 25-38 cm dan dimulai sebagai kelanjutan dari colon descendens. Batas anterior dari colon sigmoid pada pria berbeda dengan wanita. Pada pria, anteriornya berbatasan dengan vesica urinaria, sedangkan pada wanita berbatasan dengan permukaan posterior uterus dan bagian atas vagina (Snell, 2006). b. Pendarahan Pendarahan colon sigmoid berasal dari rami sigmoideum a. mesenterica inferior. Vena colon sigmoid sesuai dengan arterinya dan dipercabangkan dari sistem vena porta (Snell, 2006). c. Persarafan Persarafan berasal dari plexus hypogastricus inferior (Snell, 2006). 2.1.1.7 Rectum a. Lokasi dan Deskripsi Rectum panjangnya sekitar 13 cm dan dilai dari depan vertebrae sacralis 3 sebagai lanjutan colon sigmoid. Rectum berjalan ke bawah mengikuti lengkungan sacrum dan coccygis dan berakhir 2,5 cm di depan ujung coccygis dengan menembus diaphragma pelvis dan melanjutkan diri sebagai canalis ani, bagian bawah rectum yang terletak tepat di atas diaphragma

15

pelvis melebar membentuk ampulla recti. Lapisan muskular rectum tersusun atas lapisan otot polos longitudinal (luar) dan sirkular (dalam) (Snell, 2006). b. Pendarahan Perdarahan rectum berasal dari a. rectalis superior, a. rectalis media, dan a. rectalis inferior (Snell, 2006). c. Persarafan Persarafan rectum berasal dari plexus hypogastricus inferior (Snell, 2006). 2.1.2 Fisiologi Kolon terdiri dari caecum, colon ascendens, colon transversum, colon descendens, colon sigmoid, dan rectum. Panjang kolon sekitar 1,2 meter dan diameternya antara 6 sampai 9 cm. Kira-kira 1,5 L kimus memasuki kolon setiap harinya melalui sfingter yang disebut sfingter ileocaecal. Distensi bagian akhir ileum menyebabkan menutupnya sfingter, sehingga

mempertahankan laju masuknya kimus tetap optimum untuk memaksimalkan fungsi utama kolon, yaitu untuk mengabsorbsi sebagian besar air dan elektrolit. Dari 1,5 L kimus yang memasuki kolon, akan berkurang sampai sekitar 150 g feses yang terdiri dari 100 mL air dan 50 g solid (Ward, Clarke, Linden, 2009). Pergerakan kimus melalui kolon mencakup pergerakan mencampur dan propulsi. Akan tetapi, karena fungsi utama kolon adalah menyimpan sisa-sisa makanan dan mengabsobrsi air dan elektrolit, maka pergerakannya pelan dan lambat (sekitar 5-10 cm/jam). Kimus biasanya tetap berada di kolon sampai 20

16

jam. Pergerakan mencampur disebut juga haustrasi dan akibat pergerakan ini terbentuk kompartemen-kompartemen dengan bentuk seperti kantung, disebut haustra. Isi haustra seringkali didorong bolak-balik ke haustra lainnya, proses ini disebut haustral shuttling. Proses ini membantu pemajanan kimus ke permukaan mukosa dan membantu reabsorbsi air dan elektrolit. Pada bagian distal kolon, kontraksi lebih pelan dan kurang propulsif, dan akhirnya feses akan terkumpul di colon descendens (Ward, Clarke, Linden, 2009). Beberapa kali dalam sehari, terjadi peningkatan aktivitas dalam kolon, dimana terjadi pergerakan propulsif yang kuat, disebut pergerakan massal (mass movement). Hal ini menyebabkan pengosongan sebagian besar isi kolon proksimal ke bagian yang lebih distal. Pergerakan massal ini diinisiasi oleh serangkaian reflek intrinsik yang kompleks yang dimulai dengan distensi lambung dan duodenum segera setelah mengkonsumsi makanan (Ward, Clarke, Linden, 2009). Jika massa feses yang kritis (yang cukup banyak) didorong ke dalam rectum, maka akan dirasakan dorongan defekasi. Distensi mendadak dinding rectum oleh pergerakan massal akhir ini akan menyebabkan reflek defekasi. Reflek ini terdiri dari kontraksi rectum, relaksasi sfingter analis interna, dan pada awalnya kontraksi sfingter analis eksterna. Kontraksi awal ini kemudian segera diikuti oleh reflek relaksasi sfingter yang diinisiasi oleh peningkatan aktivitas peristaltis pada colon sigmoid dan peningkatan tekanan rectum. Akhirnya feses dikeluarkan. Relaksasi reflek ini dapat dikalahkan oleh aktivitas pusat yang lebih tinggi, menyebabkan kontrol volunter pada sfingter yang bisa menunda pengeluaran feses. Distensi rectum yang terlalu lama bisa

17

menyebabkan peristalsis tebalik, dimana isi rectum dikembalikan ke kolon sehingga dorongan defekasi hilang sampai terjadi pergerakan massal berikutnya dan/ atau sampai waktu yang lebih sesuai (Ward, Clarke, Linden, 2009). Kimus yang memasuki kolon bersifat isotonik, namun demikian pada kolon, air ternyata lebih banyak diabsorbsi daripada elektrolit, sehingga air diabsorbsi melawan gradien konsentrasinya. Proses ini dikontrol oleh Na+-K+ATPase yang terletak di membran basolateral dan membran lateral sel epitel yang melapisi dinding kolon. Permukaan mukosa kolon besar relatif lebih halus dengan tanpa vili (hanya ada mikrovili); namun demikian, terdapat kripta dan sebagian besar sel-sel adalah sel absorb kolumnar dengan banyak sel goblet penyekresi mukus. Na+ dikeluarkan oleh pompa membran ke rongga ekstraseluler. Tight junction (persambungan erat) pada sisi lumen sel akan mencegah difusi Na+ dan Cl- dari ruang ektraseluler ke dalam lumen; hal ini menyebabkan larutan yang dekat lumen bersifat hipertonik, sehingga air berdifusi dari isi lumen. Pada dasarnya, terdapat pergerakan netto ion K+ dan ion bikarbonat dari darah ke kolon yang terjadi karena perbedaan potensial yang muncul akibat absorbsi asimetris Na+ dan Cl- yang melintasi dinding sel (Ward, Clarke, Linden, 2009). Mayoritas bakteri yang terdapat di saluran pencernaan ditemukan di kolon, karena lingkungan yang asam pada bagian lain saluran pencernaan akan menghancurkan sebagian mikroflora ini. Sembilan puluh sembilan persen bakteri ini bersifat anaerob dan mengandung 1011 bakteri. Bakteri ini terlibat dalam sintesis vitamin K, B12, tiamin, dan riboflavin, pemecahan asam

18

empedu primer menjadi sekunder, dan konversi bilirubin menjadi metabolit tidak berpigmen, dimana semuanya menjadi mudah diabsorbsi oleh saluran pencernaan. Bakteri ini juga memecah kolesterol, sejumlah zat aditif dalam makanan dan obat-obatan (Ward, Clarke, Linden, 2009). 2.2 Kanker Kolorektal 2.2.1 Definisi Kanker adalah suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali. Sel-sel kanker akan terus membelah diri. Kanker bisa terjadi dari berbagai jaringan dalam berbagai organ, seperti sel kulit, sel hati, sel darah, sel otak, sel lambung, sel usus, sel paru, sel saluran kencing, dan berbagai macam sel tubuh lainnya. Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangbiakannya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan di dekatnya (invasif) dan bisa menyebar (metastasis) ke seluruh tubuh. Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi, yang terdiri dari tahap inisiasi dan promosi (Dinkes Gorontalo, 2007). Colorectal cancer atau dikenal sebagai kanker usus besar adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di negara maju, kanker ini menduduki peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi penyebab kematian yang utama di dunia barat. Untuk menemukannya diperlukan suatu tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi, sedangkan untuk terapinya adalah melalui pembedahan diikuti kemoterapi (Arief, 2008).

19

2.2.2 Etiologi Walaupun penyebab kanker kolorektal (seperti kanker lainnya) belum diketahui, namun telah dikenali beberapa faktor predisposisi. Salah satu faktor predisposisi yang penting yaitu berkaitan dengan kebiasaan makan (Price, Lorraine, 2005). Burkitt (1971) mengemukakan bahwa diet rendah serat dan tinggi karbohidrat murni mengakibatkan perubahan flora feses dan degradasi garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak, sebagian zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga menyebabkan pemekatan zat berpotensi karsinogenik ini menjadi feses yang bervolume lebih kecil. Selain itu, masa transit feses meningkat. Akibatnya kontak zat berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama (Price, Lorraine, 2005). Selain itu juga terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi meningkatnya terjadinya kanker usus, antara lain: 1. usia: golongan orang tua (berusia diatas 50 tahun) lebih beresiko terkena kanker usus, 2. obesitas atau penderita diabetes, 3. merokok, 4. riwayat kanker usus dalam keluarga, 5. kontak dengan zat-zat kimia tertentu seperti logam berat, toksin, dan ototoksin (Sorra, 2008).

20

2.2.3 Patofisiologi 2.2.3.1 Kelainan genetik Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kolorektal diantaranya sindroma poliposis dan sindroma Lynch. Kanker kolorektal terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang mengontrol pertumbuhan sel. Terdapat dua mekanisme yang

menimbulkan instabilitas genom dan berujung pada kanker kolorektal, yaitu instabilitas kromosom dan instabilitas mikrosatelit (Abdullah, 2006). Instabilitas kromosom merupakan hasil perubahan besar pada kromosom seperti translokasi, amplifikasi, delesi, dan berbagai bentuk kehilangan alel lainnya disertai dengan hilangnya heterozigositas pada DNA (Deoxyribonucleic Acid) yang berdekatan dengan lokasi kelainankelainan tersebut (Abdullah, 2006). Awal dari proses kejadian kanker kolorektal yang melibatkan mutasi somatik terjadi pada gen APC (Agent Presenting Cell ) baik sporadik maupun familial. Gen APC mengatur kematian sel dan mutasi yang terjadi menyebabkan proliferasi selanjutnya berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada proto onkogen seluler K-ras yang biasanya terjadi pada adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan gangguan pertumbuhan sel yang tidak normal (Abdullah, 2006). Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen supresor p53. Mutasi gen p53 menyebabkan sel dengan kerusakan DNA tetap dapat bereplikasi yang menghasilkan sel-sel DNA

21

dengan kerusakan yang lebih parah. Hal ini menyebabkan kehilangan gen supresor tumor yang lain yang merupakan tahap akhir dari transformasi ke arah keganasan (Abdullah, 2006). Pada instabilitas mikrosatelit, terjadi peningkatan resiko mutasimutasi noktah yang mempengaruhi satu atau lebih pasangan basa DNA secara acak sepanjang genom. Gen yang mempengaruhi mutasi tersebut adalah MMR(Mismatch Repair) (Abdullah, 2006). 2.2.3.2 Faktor Lingkungan Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker kolorektal. Risiko mendapat kanker kolorektal meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden yang rendah ke wilayah insiden yang tinggi. Kandungan dari mikronutrien dan makronutrien juga berhubungan dengan kanker kolorektal. Transformasi sel melalui peningkatan konsentrasi empedu dalam kolon telah diketahui sebagai promotor kanker pada masyarakat yang disertai dengan konsumsi rendah serat dan insiden kanker kolorektal yang tinggi (Dinkes Gorontalo, 2007). Secara umum berdasarkan Dinkes Gorontalo, terdapat 3 tahapan karsinogenesis, yaitu: 1. Tahap inisiasi Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik sel yang memancing sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen yang disebut karsinogen, yang dapat berupa bahan kimia, virus, radiasi, atau

22

sinar matahari. Tetapi tidak semua sel memiliki kepekaan yang sama terhadap suatu karsinogen (Dinkes Gorontalo, 2007). 2. Tahap promosi Pada tahap promosi, suatu sel telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi sel ganas. Sel yang belum melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh oleh promosi. Karena itu diperlukan beberapa faktor untuk terjadinya keganasan

(gabungan dari sel yang peka dan karsinogen) (Dinkes Gorontalo, 2007). 3. Tahap keganasan Pada saat sel menjadi ganas, sistem kekebalan tubuh sering merusaknya sebelum sel ganas tersebut berlipat ganda dan menjadi suatu kanker. Namun apabila sistem kekebalan tubuh tidak berfungsi secara normal, maka tubuh cenderung rentan terhadap resiko kanker, seperti yang terjadi pada penderita AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome), orang-orang yang menggunakan obat penekan kekebalan, dan pada penyakit autoimun tertentu. Tetapi sistem kekebalan tubuh pun tidak selalu efektif, sehingga kanker kadangkala masih dapat menembus perlindungan ini meskipun sistem kekebalan berfungsi secara normal. Pada hampir semua jenis kanker, angka keberhasilan terapi sangat berkaitan dengan stadium saat diagnosis dan pengobatan. Semakin tinggi stadium saat diagnosis, maka keberhasilan terapi akan semakin menurun

23

dengan modalitas pengobatan yang semakin agresif (Dinkes Gorontalo, 2007). Kanker kolorektal sporadik salah satunya disebabkan oleh kontak sel-sel mukosa usus besar dengan zat-zat karsinogen, terutama jika kontak tersebut terjadi dalam waktu yang lama dengan konsentrasi senyawa karsinogen yang tinggi. Senyawa karsinogen berasal dari makanan yang mengandung senyawa prekursor (Koswara, 2008). Di dalam sistem pencernaan, senyawa prekursor dapat dirubah menjadi senyawa-senyawa karsinogen oleh enzim pencernaan dan aktivitas flora usus. Kontak senyawa karsinogen dengan sel usus akan merusak keutuhan sel dan intinya sehingga bersifat mutagenik, menyebabkan perubahan sel DNA yaitu sel-sel normal setelah dicemari zat tersebut menjadi sel yang ganas dan berkembangbiak tak terkendali (Koswara, 2008; LP POM MUI, 2008). Pertumbuhan tumor secara tipikal tidak terdeteksi, sehingga menimbulkan beberapa gejala. Saat timbul gejala, penyakit mungkin sudah menyebar ke dalam lapisan lebih dalam dari jaringan usus dan organ-organ yang berdekatan. Kanker kolorektal menyebar dengan perluasan langsung ke sekeliling permukaan usus, submukosa, dan dinding luar usus. Struktur yang berdekatan seperti hepar, curvatura mayor gaster, duodenum, intestinum, pancreas, lien, genitourinary tract, dan dinding abdominal juga dapat dikenai perluasan (Harahap, 2004). Metastasis ke kelenjar getah bening regional sering berasal dari penyebaran tumor. Tanda ini tidak selalu terjadi, bisa saja kelenjar yang

24

jauh sudah dikenai namun kelenjar regional masih normal (Harahap, 2004). Sel-sel kanker dari tumor primer dapat juga menyebar melalui sistem limfatik atau sistem sirkulasi ke area sekunder seperti hati, paruparu, otak, tulang, dan ginjal. Penyebaran tumor ke area lain dari rongga peritoneal dapat terjadi bila tumor meluas melalui serosa (Gambar 2.5) (Harahap, 2004).

(Adams, 2006)

Gambar 2.5 Stadium I, II, dan III Kanker Kolorektal

2.2.4 Gejala Klinis Kebanyakan kasus kanker kolorektal didiagnosis pada usia 50 tahun dan umumnya sudah memasuki stadium lanjut sehingga prognosisnya juga buruk. Keluhan yang paling sering dirasakan pasien di antaranya: perubahan pola buang air besar, perdarahan per anus (hematosezia dan konstipasi) (Abdullah, 2006). Gejala dan tanda penyakit kanker kolorektal bervariasi sesuai dengan letak kanker dan sering dibagi menjadi kanker yang mengenai bagian kanan dan kiri usus besar (Price, Lorraine, 2005).

25

Kanker kolon kiri dan rektum mempunyai gejala dan tanda sebagai berikut: 1. obstruksi 2. nyeri mirip kejang 3. kembung 4. feses kecil dan berbentuk pita 5. terdapat darah segar dan mukus pada feses 6. anemia 7. hemoroid, nyeri pinggang bagian bawah, keinginan defekasi dan berkemih dapat timbul karena tekanan pada kolon (Price, Lorraine, 2005). Kanker kolon kanan (isi kolon berupa cairan) mempunyai gejala dan tanda sebagai berikut: 1. diare 2. anemia akibat perdarahan 3. darah bersifat samar dan hanya dapat diuji dengan uji guaiak 4. mukus jarang terlihat karena bercampur feses 5. pada orang kurus, tumor kolon kanan dapat teraba tetapi tidak khas pada stadium awal 6. perasaan tidak enak pada abdomen dan epigastrium (Price, Lorraine, 2005).

26

2.2.5 Stadium Kanker Kolorektal Terdapat beberapa macam stadium, dibawah ini merupakan stadium kanker kolorektal menurut TNM (Gambar 2.6) (Kelompok Kerja

Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2006).


Tabel 2.1 Stadium Kanker Kolorektal Berdasarkan Kriteria TNM
Stadium T N 0 Tis N0 IA T1 N0 IB T2 N0 IIA T3 N0 IIB T4 N0 IIIA Semua T N1 IIIB Semua T N2 IV Semua T Semua N (Sumber: Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2006) Derajat
Keterangan: T- Tumor primer Tx : tumor primer tidak dapat dinilai T0 : tumor primer tidak ditemukan Tis : karsinoma insitu, intaephitelial atau ditemukan sebatas lapisan mukosa saja T1 : tumor menginvasi submukosa T2 : tumor menginvasi lapisan muskularis propria T3 : tumor menembus muskularis propria hingga lapisan serosa atau jaringan perikolika/ perirektal belum mencapai peritoneum T4 : tumor menginvasi organ atau struktur disekitarnya atau menginvasi sampai peritoneum visceral N- Kelenjar getah bening regional Nx : kelenjar getah bening regional tidak dapat dinilai N0 : tidak ditemukan metastasis pada kelenjar getah bening regional N1 : ditemukan anak sebar pada 1-3 kelenjar getah bening regional N2 : ditemukan anak sebar pada 4 atau lebih kelenjar getah bening M- Metastasis jauh Mx : metastasis jauh tidak dapat dinilai M0 : tidak ditemukan metastasis jauh M1 : ditemukan metastasis jauh

M M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

Dan dibawah ini merupakan stadium kanker kolorektal berdasarkan kriteria Dukes modifikasi Astler Coller (Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2006).

27

Tabel 2.2 Stadium Kanker Kolorektal Berdasarkan Kriteria Dukes Modifikasi Astler Coller
Dukes A B1 B2 C1 C2 D Penyebaran Histopatologi Tumor terbatas pada lapisan mukosa Tumor menginvasi sampai lapisan muskularis propria Tumor menginvasi menembus lapisan muskularis propria Tumor B1 dan ditemukan anak sebar pada kelenjar getah bening Tumor B2 dan ditemukan anak sebar pada kelenjar getah bening Tumor bermetastasis jauh

(Sumber: Kelompok Kerja Adenokarsinoma Kolorektal Indonesia, 2006)

(Adams, 2006)

Gambar 2.6 Stadium Kanker Kolorektal

2.2.6 Pendekatan Diagnosis 2.2.6.1 Prosedur Diagnosis pada Pasien dengan Gejala Keberadaan kanker kolorektal dapat dikenali dari beberapa tanda seperti: anemia mikrositik, hematosezia, nyeri perut, berat badan turun atau perubahan defekasi. Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan neoplasia namun bila tidak ada darah samar tidak dapat menyingkirkan lesi neoplasma (Abdullah, 2006). 2.2.6.2 Laboratorium Pemeriksaan laboratorium meliputi: 1. Tes darah: pengukuran darah pasien untuk peningkatan kadar protein tertentu dapat memberikan indikasi beban tumor. Secara

28

khusus, tingkat tinggi CEA (Carcinoembryonic Antigen) dalam darah dapat menunjukkan metastasis adenokarsinoma. Tes ini sering negatif palsu atau positif palsu, dan tidak

direkomendasikan untuk skrining, dapat berguna untuk menilai kekambuhan penyakit (Marin, 2010). 2. FOBT (Fecal Occult Blood Test): tes darah pada tinja. Dua jenis tes dapat digunakan untuk mendeteksi darah yang tersembunyi pada kotoran manusia, tes ini menggunakan uji kimia tertentu dan immunochemical. Sensitivitas pengujian immunochemical adalah lebih tinggi dari pengujian kimia (nilai spesifisitas-nya dapat diterima) (Marin, 2010). 2.2.6.3 Pemeriksaan Radiologi Enema barium kontras (hanya mendeteksi 50% polip kolon dengan spesifisitas 85%) untuk memeriksa bagian kolon di balik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi (Abdullah, 2006). 2.2.6.4 Kolonoskopi Kolonoskopi merupakan cara pemeriksaan mukosa kolon yang sangat akurat dan dapat sekaligus melakukan biopsi pada lesi yang mencurigakan. Pemeriksaan kolon yang lengkap dapat mencapai 95%. Kolonoskopi mempunyai sensitivitas 95% dan spesifisitas 99% (Abdullah, 2006). 2.2.6.5 Evaluasi Histologi Adenoma diklasifikasikan sesuai dengan gambaran histologi yang dominan. Yang paling sering adalah adenoma tubular (85%), adenoma

29

tubulovilosum (10%), dan adenoma serrata (1%). Temuan sel atipik pada adenoma dikelompokkan menjadi ringan, sedang, dan berat. Gambaran atipik berat menunjukkan adanya fokus karsinomatosus namun belum menyentuh membran basalis. Bilamana sel ganas menembusi membran basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra mukosa (Abdullah, 2006). 2.2.6.6 Macam Skrining Lainnya Selain pemeriksaan tersebut diatas, diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan lain, yaitu: 1. DRE (Digital Rectal Examination): dokter memasukkan jariyang sebelumnya diberi sarung tangan dan dilumasi dengan pelicin-ke dalam rektum untuk mengecek daerah yang abnormal. Cara ini hanya mendeteksi tumor yang sudah tumbuh cukup besar dan dirasakan di bagian distal rektum. Namun cara ini berguna sebagai tes skrining awal. 2. Genetik konseling dan tes genetik untuk keluarga yang mungkin memiliki bentuk turun-temurun kanker usus besar, seperti HNPCC (Hereditary Nonpolyposis Colorectal Cancer) dan FAP (Familial Adenomatous Polyposis). 3. PET (Positron Emission Tomography) adalah teknologi pemindaian 3-dimensi di mana gula radioaktif disuntikkan ke pasien, gula terkumpul dalam jaringan dengan aktivitas metabolik tinggi, dan gambar dibentuk dengan mengukur emisi radiasi dari gula. Karena sel-sel kanker sering memiliki tingkat

30

metabolisme yang sangat tinggi, ini dapat digunakan untuk membedakan tumor jinak dan ganas. PET tidak digunakan untuk skrining dan tidak (belum) memiliki tempat dalam hasil pemeriksaan rutin kasus kanker kolorektal (Marin, 2010). 2.2.7 Penatalaksanaan Empat jenis utama pengobatan untuk kanker kolorektal yaitu

pembedahan, radioterapi, kemoterapi, dan target terapi molekuler (Sorra, 2008). 2.2.7.1 Pembedahan Pembedahan biasanya merupakan pengobatan utama untuk kanker usus stadium awal. Suatu polipektomi adalah suatu metode yang biasa digunakan oleh dokter (ahli endoskopi) untuk mengangkat polip usus yang dianggap berbahaya (mengarah ke pra-kanker) pada saat dilakukannya kolonoskopi. Bila sudah menjadi kanker, maka perlu dilakukan tindakan operasi yang disebut kolektomi atau reseksi segmental. Biasanya dokter akan mengangkat bagian usus yang terkena kanker (termasuk getah bening didekatnya), dan kemudian

menyambungkan kembali bagian usus yang tersisa. Pada operasi ini, dokter mungkin menganggap perlu untuk membuat lumbang

pembuangan tinja sementara (ostomi) di pinggang pasien untuk memberikan waktu ususnya sembuh (Sorra, 2008). Suatu bedah laparoskopi kolostomi (gambar 2.7) menggunakan teknik yang lebih canggih yang tidak memerlukan sayatan panjang seperti pada operasi pembedahan biasa (open surgery). Beberapa

31

manfaat dari metode ini adalah rasa sakit sesudah operasi jauh lebih berkurang dan pasien tidak perlu rawat inap terlalu lama di RS (Sorra, 2008). Pada kasus kanker usus dan kanker rektum stadium II dan III, mungkin memerlukan penanganan/pembedahan yang lebih serius, dengan salah satu metode ini: 1. Reseksi Anterior: metode ini dilakukan bila posisi kanker terletak diatas rektum dekat dengan perbatasan usus besar. Dokter bedah perlu membuat sayatan terbuka pada perut untuk mengangkat bagian yang terkena kanker (beserta kelenjar getah bening terinfiltrasi), tanpa mempengaruhi anus. Pada metode ini, pasien masih dapat BAB (buang air besar) seperti biasa (melalui anus). 2. LAR (Low Anterior Resection): bila letak kanker 1/3 tengah rektum, dengan mengangkat rectum 1/3 tengah dan proksimal serta sebagian distal colon sigmoid yang dianggap bebas massa tumor. Ini adalah operasi yang sulit untuk dilakukan. Untuk itu dokter akan membuat kantong pembuangan tinja sementara (ostomi) hingga ususnya sembuh. Operasi kedua diperlukan untuk menutup pembukaan ostomi. 3. APR (Abdomino Perineal Resection): bila kankernya berada pada bagian bawah rektum dekat dengan anus, maka ahli bedah perlu mengangkat juga anusnya. Akibatnya sebuah lubang

32

pembuangan tinja (ostomi) permanen perlu dibuat untuk mengeluarkan tinja/kotoran dari tubuh pasien selanjutnya. 4. Eksenterasi panggul: jika kanker rektum sudah menyebar ke organ terdekat, maka diperlukan suatu pembedahan radikal, yang mungkin melibatkan pengangkatan usus besar, anus ataupun kandung kemih/prostat/rahim yang terinfiltrasi. Suatu ostomi diperlukan untuk pembuangan tinja permanen. Jika kandung kemih diangkat, sebuah urostomi (pembuka untuk buangan air seni) juga diperlukan (Sorra, 2008). Efek samping dari operasi tergantung pada banyak hal, seperti tingkat operasi dan kesehatan umum seseorang sebelum operasi. Rasa sakit sesudah operasi, umum dirasakan. Efek lain yang mungkin timbul antara lain: pendarahan, pembekuan darah di kaki, dan kerusakan organ terdekat selama operasi (Sorra, 2008). Pembedahan juga bisa berdampak pada kehidupan seksual. Beberapa efek samping yang mungkin timbul antara lain, tidak keluarnya air mani saat orgasme, gangguan ereksi pada pria, serta rasa sakit dan menurunnya gairah seksual pada wanita (Sorra, 2008). 2.2.7.2 Radioterapi Radioterapi dalam mengobati kanker usus terutama digunakan ketika sel-sel kankernya sudah menempel ke organ dalam atau ke lapisan dalam perut. Dalam hal ini radioterapi digunakan setelah operasi pengangkatan untuk memastikan seluruh sel-sel kanker yang tersisa mati. Radiasi jarang digunakan untuk mengobati kanker usus besar yang

33

telah menyebar (metastasis). Untuk kanker rektum, radiasi sering diberikan baik sebelum atau setelah operasi untuk membantu mencegah kankernya kambuh (Sorra, 2008). Brachytherapy adalah terapi radiasi internal dimana pelet kecil atau biji bahan radioaktif ditempatkan langsung ke kankernya dalam jangka pendek dengan tujuan mematikan kankernya tanpa merusak jaringan sehat disekitarnya. Metode ini dilakukan untuk orang-orang yang karena satu dan lain hal tidak dapat menjalani operasi (Sorra, 2008). 2.2.7.3 Kemoterapi Kemoterapi melibatkan penggunaan obat-obatan melalui infus ke dalam aliran darah ataupun tablet minum untuk mematikan sel-sel kankernya. Kemoterapi kadang digunakan sebelum operasi untuk mengecilkan kankernya, atau pada kasus kanker usus yang telah bermetastasis ke hati. Kemoterapi sendiri dapat digolongkan menjadi 2, yaitu: 1. Terapi Adjuvan Kemoterapi ajuvan dimaksudkan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker kolorektal setelah operasi. Pasien dengan stadium Dukes A jarang mengalami rekurensi sehingga tidak perlu terapi ajuvan. Pasien stadium Dukes C mendapat levamisol dan 5-FU (5-flurourasil) secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas tumor. Irinotectan (CPT 11) inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa harapan

34

hidup. Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki respon setelah diberikan 5-FU dan leucovorin. 2. Terapi Neoadjuvan Merupakan terapi kombinasi terbaru yang menjadi prioritas untuk menghindari terjadinya tumor. Terapi neoajuvan ini diberikan sebelum dan sesudah operasi. Terdapat dua macam kombinasi, yaitu FOLFOX dan FOLFIRI. FOLFOX sendiri berisi 5-FU, leucovorin, dan oxaliplatin. Sedangkan FOLFIRI berisi 5-FU, leucovorin, dan irinotectan (Sorra, 2008; Schofield, Jones, 1996). 2.2.7.4 Molecular Target Therapy Target terapi, kadang disebut sebagai smart drugs, yaitu hanya memfokuskan diri untuk mematikan sel-sel kankernya, sehingga tidak mengganggu sel-sel normal lainnya. Contoh obat-obatan target terapi untuk kanker usus, adalah: bevacizumab (Avastin ), panitumumab (Vectibix), dan cetuximab (Erbitux). Obat ini merupakan antibodi monoclonal buatan (versi manusia) untuk menyerang kanker pada akar molekulnya. Molecular target therapy biasanya dilakukan bersamaan dengan kemoterapi untuk meningkatkan peluang keberhasilan

pengobatan (Sorra, 2008). 2.2.8 Prognosis Harapan hidup pasien kanker kolorektal tergantung pada derajat penyebaran saat pasien datang. Faktor yang mempengaruhi prognosis adalah metastasis jauh, penyebaran lokal yang menyebabkan perlekatan dengan

35

struktur yang tak dapat diangkat, derajat keganasan histologi yang tinggi, dan penyebaran ke kelenjar limfe regional (Schofield, Jones, 1996). Untuk semua pasien, hasil kelangsungan hidup adalah sekitar 25%, tetapi pada pasien yang tampaknya dapat diobati dengan reseksi pada saat operasi, lebih baik 50%, dan jika tumor tidak menembus seluruh ketebalan dinding kolon, maka harapan hidupnya hampir normal (Schofield, Jones, 1996). 2.2.9 Pencegahan Upaya pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak terjangkit penyakit kanker kolorektal adalah: 1. hindari makanan tinggi lemak, protein, kalori, serta daging merah. Jangan lupakan konsumsi kalsium dan asam folat. Setelah menjalani polipektomi adenoma disarankan pemberian suplemen kalsium, 2. disarankan pula suplementasi vitamin E dan D, 3. makan buah dan sayuran setiap hari, 4. pertahankan IMT (indeks massa tubuh) antara 18,5- 25,0 kg/m2 sepanjang hidup, 5. lakukan aktivitas fisik, semisal jalan cepat paling tidak 30 menit dalam sehari, 6. hindari kebiasaan merokok, 7. lakukan deteksi dini dengan tes darah samar sejak usia 40 tahun (Pasaribu, 2009).

36

2.3 Anemia 2.3.1 Definisi Anemia adalah berkurangnya volume sel darah merah atau konsentrasi Hb di bawah nilai normal. Anemia sendiri sebenarnya bukan suatu penyakit tetapi merupakan gejala dari suatu kelainan yang sebab-sebabnya harus ditentukan (Digilib-USU, 2005). Anemia yang disebabkan oleh kanker bisa terjadi akibat efek langsung dari keganasan, dapat sebagai produksi zat-zat tertentu yang dihasilkan kanker, atau dapat juga sebagai akibat dari hasil pengobatan (Kar, 2005). 2.3.2 Derajat Anemia Menurut WHO (2001), anemia dalam individu ditentukan sebagai konsentrasi Hb dalam darah dibawah nilai yang diharapkan. Hemoglobin sendiri berfungsi untuk membantu sel darah merah membawa oksigen dari paru-paru ke semua bagian tubuh. Berikut merupakan derajat anemia menurut kriteria WHO dan NCI (Syafei, 2009).
Tabel 2.3 Derajat Anemia Menurut WHO dan NCI
Derajat Normal WHO 11 gr/dl NCI Pr 12.0-16.0 gr/dl Lk 14.0-18.0 gr/dl Derajat 1 (ringan) Pr < 10 gr/dl Lk <11 gr/dl Derajat 2 (sedang) Derajat 3 (berat) (Sumber: Cermin Dunia Kedokteran, 2009) 8.0-9.4 gr/dl 8.0 gr/dl 8.0-10.0 gr/dl 8.0 gr/dl 10.0 gr/dl-nilai normal

2.3.3 Etiologi dan Klasifikasi Anemia Anemia hanyalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh bermacam-macam penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena:

37

1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan); 3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis). Gambaran lebih rinci tentang etiologi anemia dapat dilihat pada tabel 2.4 (Bakta, 2006).
Tabel 2.4 Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis
Klasifikasi Anemia Menurut Etiopatogenesis

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang 1. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit i. Anemia defisiensi besi ii. Anemia defisiensi asam folat iii. Anemia defisiensi vitamin B12 2. Gangguan penggunaan besi i. Anemia akibat penyakit kronik ii. Anemia sideroblastik 3. Kerusakan sumsum tulang i. Anemia aplastik ii. Anemia mieloplastik iii. Anemia pada keganasan hematologi iv. Anemia diseritropoietik v. Anemia pada sindrom mielodiplastik B. Anemia akibat hemoragi 1. Anemia pasca perdarahan akut 2. Anemia akibat perdarahan kronik C. Anemia hemolitik 1. Anemia hemolitik intrakorpuskular i. Gangguan membran eritrosit (membranopati) ii. Gangguan ensim eritrosit (enzinomati): anemia akibat defisiensi G6PD iii. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati) Thalassemia Hemoglobinopati struktural: HbS, HbE,dll 2. Anemia hemolitik ekstrakorpuskuler i. Anemia hemolitik autoimun ii. Anemia hemolitik mikroangiopatik D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks (Sumber: Bakta, 2006)

38

Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini, anemia dibagi menjadi 3 golongan: 1) Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg; 2) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg; 3) Anemia makrositer, bila MCV >95 fl. Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan (Tabel 2.5) akan sangat menolong dalam mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemianya (Bakta, 2006).
Tabel 2.5 Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi
Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi A. Anemia hipokromik mikrositer a. Anemia defisiensi besi b. Thalassemia major c. Anemia akibat penyakit kronik d. Anemia sideroblastik B. Anemia normokromik normositer a. Anemia pasca perdarahan akut b. Anemia aplastik c. Anemia hemolitik didapat d. Anemia akibat penyakit kronik e. Anemia pada gagal ginjal kronik f. Anemia pada sindrom mielodiplastik g. Anemia pada keganasan hematologic C. Anemia makrositer a. Bentuk megaloblastik i. Anemia defisiensi asam folat ii. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa b. Bentuk non-megaloblastik i. Anemia pada penyakit hati kronik ii. Anemia pada hipotiroidisme iii. Anemia pada sindrom mielodiplastik (Sumber: Bakta, 2006)

39

2.3.4 Gejala Klinis Anemia Kira-kira 75% dari semua pasien kanker melaporkan adanya rasa lelah (fatigue) yang dapat dimanifestasikan sebagai rasa lemah, kurang energi, sulit memulai dan mengurangi pekerjaan, serta rasa ingin tidur saja seharian. Rasa lelah merupakan gejala utama pada pasien kanker. Anemia juga menyebabkan berbagai keluhan seperti palpitasi (rasa berdebar), gangguan fungsi kognitif, mual, gangguan fungsi imun, sakit kepala, nyeri dada, nafas pendek, dan depresi (Kar, 2005). 2.3.5 Pemeriksaan Untuk Diagnosis Anemia Terdapat beberapa pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk menegakkan anemia, antara lain: 1. Pemeriksaan Penyaring Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pengukuran kadar Hb, indeks eritrosit dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut. 2. Pemeriksaan Darah Seri Anemia Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit dan LED (Laju Endap Darah). Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.

40

3. Pemeriksaan Sumsum Tulang Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai keadaan sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitive pada beberapa jenis anemia. 4. Pemeriksaan Khusus Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada: a. Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (Total Iron Binding Capacity), saturasi transferin, protoporfirin eritrosit, feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi pada tulang (Perls stain) b. Anemia megaloblastik: folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksiuridin dan tes Schiling c. Anemia hemolitik: bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis Hb d. Anemia aplastik: biopsi tulang (Bakta, 2006). 2.3.6 Terapi Anemia Pada penderita anemia karena kanker, tata laksana yang baik adalah mengatasi penyebab yang merupakan tindakan paling optimal. Beberapa penyebab seperti defisiensi nutrisional, mudah untuk diidentifikasi dan diobati. Keadaan seperti adanya perdarahan samar, infeksi, dan hemolisis eritrosit memerlukan evaluasi yang mendalam (Kar, 2005). 2.3.6.1 Defisiensi Nutrisional Bila kehilangan darah sedikit-sedikit yang terus-menerus tidak merupakan problem utama, tetapi gejala anemia tidak juga teratasi, maka harus dicari/diperiksa kemungkinan adanya defisiensi besi, asam folat, atau vitamin B12, dan terapi suplemen harus diberikan kalau ditemukan

41

tanda-tanda defisiensi. Kalau anemia tidak berat, terapi suplemen cukup untuk menghilangkan gejalanya dan mengembalikan Hb ke batas normal (Kar, 2005). 2.3.6.2 Defisiensi Zat Besi Pemberian zat besi diperlukan sebagai terapi kombinasi yang menstimulasi eritropoesis seperti rHuEPO, untuk mengobati anemia secara efektif. Defisiensi besi fungsional karena adanya gangguan transportasi besi untuk eritropoesis merupakan faktor penting pada anemia kronik pada kanker. Besi dapat diberikan secara oral dan intravena (Kar, 2005). 2.3.6.3 Transfusi Eritrosit Transfusi eritrosit hanya diberikan pada kasus anemia akut setelah terjadi perdarahan akut, pada kasus anemia kronik yang bergejala tetapi tidak berhasil dengan terapi besi, dan pada anemia berat yang tidak cukup waktu untuk menerima rHuEPO (Kar, 2005). 2.4 Patofisiologi Anemia Pada Kanker Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat disebabkan karena aktivasi sistem imun tubuh dan sistem inflamasi yang ditandai dengan peningkatan beberapa petanda sistem imun seperti INF (Interferon), TNF (Tumor Necrosis Factor), dan IL (Interleukin)yang semuanya disebut sitokin (Gambar 2.7) (Kar, 2005). Konsentrasi INF - meningkat pada penyakit kronik. Sedangkan kadar TNF tergantung pada keganasan dan aktivitasnya. Sesuai dengan penemuan dari beberapa studi klinis maupun eksperimental, paparan kronik pada TNF dapat

42

menyebabkan anemia. IL-1 adalah sitokin yang mempunyai peranan luas dalam proses respon imun dan inflamasi. Konsentrasi IL-1 meningkat pada anemia karena penyakit kronik (Kar, 2005). Massa eritrosit secara normal ditentukan oleh umur dari eritrosit tersebut dan dari kecepatan produksinya. Anemia terjadi karena ketidakseimbangan kedua faktor tersebut. Pada anemia karena kanker, kedua faktor tersebut sangat menentukan (Kar, 2005).
Tumor Cells

Erythrocytes Erythrophagocytosis Dyserythropoesis Shortened survival TNF

Activated immune system Macrophages

Anemia

Reduced Eriythropoetin Production

Suppressed BFU-E, CFU-E

Impaired iron utilization

(Kar, 2005)

Gambar 2.7 Pathophysiology of Anemia in Cancer

Berikut mekanisme patogenik yang bertanggung jawab terhadap anemia akibat kanker yang diperantarai oleh INF, TNF, dan IL-1, yaitu (Kar, 2005): 1. Gangguan pemakaian besi 2. Produksi Epo tidak memadai 3. Pemendekan umur eritrosit

43

2.4.1 Gangguan Pemakaian Besi Mekanisme yang bertanggung jawab pada proses ini adalah gangguan pada TFR (Transferin-receptor) pada eritrosit. Eritroblas pada pasien anemia karena penyakit kronik jumlahnya berkurang, dan TFR pada sel-sel tersebut afinitasnya terhadap transferin menurun. Pada keadaan infeksi, keganasan, dan kelainan imunologis, IL-1, IL-6, dan TNF meningkatkan konsentrasi protein fase akut 1-antitripsin yang mampu menahan eritropoesis dengan cara mengganggu pengikatan transferin ke TFR dan internalisasi kompleks TFR-transferin (Kar, 2005). 2.4.2 Produksi Eritropoetin Tidak Memadai Pada penderita anemia karena kanker, sel progenitor eritrosit

memberikan respon yang baik terhadap Epo (Eritropoetin), tetapi respon Epo terhadap anemia mengalami gangguan. Pada pasien kanker, produksi Epo terganggu oleh tumor (Kar, 2005). Gangguan respon Epo yang terlihat pada anemia karena kanker mungkin sebagai hasil adanya efek supresi dari IL-1 atau TNF terhadap sel-sel yang memproduksi Epo. Sitokin ini dapat menginhibisi produksi Epo (Kar, 2005). 2.4.3 Pemendekan Umur Eritrosit Pada penderita anemia karena penyakit kronik, umur eritrosit biasanya 60-90 hari, lebih pendek dari umur eritrosit pada orang normal (120 hari). Secara klinis maupun eksperimental data ini menunjukkan bahwa efek ini diperantarai oleh IL-1 dan TNF. Efek TNF tersebut dapat menurunkan eritropoesis dan memendekkan eritrosit pada pasien anemia karena kanker (Kar, 2005).

44

Saat ini ditemukan bahwa suatu protein yang disebut substansi penyebab anemia (AIS) telah dapat diidentifikasi di dalam plasma penderita kanker. Substansi ini menurunkan resistensi osmotik dari eritrosit, yang juga didapatkan di dalam sitosol dan fraksi dari inti sel kanker. Mekanisme yang mendasari terjadinya peningkatan fragilitas osmotik di dalam eritrosit bergantung pada inhibisi metabolisme (influks glukosa, aktivitas piruvat kinase, dan konsentrasi ATP (Adenosine Tri Phosphate)) dari sel tersebut. AIS spesifik untuk penyakit keganasan (Kar, 2005). Adapun faktor terjadinya anemia selain akibat sitokin yaitu akibat dari keganasan itu sendiri (Tabel 2.6). Kebanyakan adalah tumor ganas solid yang terabaikan sebagai faktor penyebab anemia. Keganasan ini menyebabkan reaksi fibrosis, yaitu terjadinya peningkatan proses fibrosis di dalam sumsum tulang yang akan mengurangi volume rongga sumsum tulang dan matrix sinusoid. Proses ini dapat menyebabkan gangguan pelepasan sel darah yang matang dari tulang (Kar, 2005).

45

Tabel 2.6 Anemia pada Kanker: Efek Langsung Dari Keganasan


Kehilangan darah akut ataupun kronik Keganasan dari saluran cerna Kanker kepala dan leher Kanker urogenital Kanker pada cervix dan vagina Perdarahan dalam tumor sendiri (intratumor) Sakoma Melanoma yang sangat besar Hepatoma Kanker ovarium Tumor cortex adrenal Anemia karena fagositosis dari eritrosit Retikulositosis histiocytic medular Limfoma histiositik Neoplasma histiositik yang lain Penggantian sumsum tulang Leukemia Limoma Myeloma Carcinoma (prostat, payudara) (Sumber: Kar, 2005)

You might also like

  • Subdural
    Subdural
    Document16 pages
    Subdural
    Muhammad Yusuf Arief Akbar
    No ratings yet
  • Glaukoma
    Glaukoma
    Document14 pages
    Glaukoma
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Abses Otak
    Abses Otak
    Document21 pages
    Abses Otak
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Lapsus Vita Mata Katarak
    Lapsus Vita Mata Katarak
    Document14 pages
    Lapsus Vita Mata Katarak
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Bab 2
    Bab 2
    Document41 pages
    Bab 2
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Subdural
    Subdural
    Document16 pages
    Subdural
    Muhammad Yusuf Arief Akbar
    No ratings yet
  • Appendiks
    Appendiks
    Document15 pages
    Appendiks
    Fhienda Yani Lubis
    No ratings yet
  • Abses Otak
    Abses Otak
    Document21 pages
    Abses Otak
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Abses Otak
    Abses Otak
    Document13 pages
    Abses Otak
    Vita Sari
    No ratings yet
  • BA Saluran Nafas
    BA Saluran Nafas
    Document25 pages
    BA Saluran Nafas
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Hematoma Subdural
    Hematoma Subdural
    Document66 pages
    Hematoma Subdural
    Indra Setiawan Harefa
    No ratings yet
  • Vita
    Vita
    Document33 pages
    Vita
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Document2 pages
    Daftar Pustaka
    Vita Sari
    No ratings yet
  • BAB I Vita THT
    BAB I Vita THT
    Document2 pages
    BAB I Vita THT
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Perikondritis
    Perikondritis
    Document12 pages
    Perikondritis
    Vita Sari
    No ratings yet
  • BAB 1 Hidronefross
    BAB 1 Hidronefross
    Document7 pages
    BAB 1 Hidronefross
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Glaukoma
    Glaukoma
    Document14 pages
    Glaukoma
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Furunkel
    Furunkel
    Document7 pages
    Furunkel
    Vita Sari
    No ratings yet
  • Jajanan Sehat
    Jajanan Sehat
    Document12 pages
    Jajanan Sehat
    Vita Sari
    No ratings yet