You are on page 1of 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan Otosklerosis adalah penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami spongiosis di daerah kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin yang baik.1 Otosklerosis merupakan gangguan autosomal dominan yang terjadi pada pria maupun wanita, dan mulai menyebabkan tuli konduktif progresif pada awal masa dewasa.2 Pada tahun 1881 Von Troltsch menemukan ketidaknormalan dimukosa telinga tengah pada penyakit ini dan beliau yang pertama kali memberi istilah penyakit ini dengan otosklerosis. Politzer pada tahun 1893, menjelaskan dengan benar mengenai otosklerosis sebagai penyakit primer dari kapsul otik bukan hanya sebagai peristiwa inflamasi penyakit telinga saja.4 Insiden penyakit ini paling tinggi pada bangsa kulit putih (8 10 %). 1 % pada bangsa Jepang, dan 1 % pada bangsa kulit hitam. Angka insiden di Indonesia belum pernah dilaporkan, tetapi telah dibuktikan penyakit ini ada pada seluruh suku bangsa di Indonesia, termasuk warga keturunan Cina, India dan Arab.1 Etologi dari penyakit ini masih belum diketahui, tetapi penelitian epidemiologis meninjukkan pengaruh keturunan pada penyebaran penyakit ini. Penyakit ini pada bangsa kulit putih mempunyai faktor herediter tetapi dari pasien pasien yang ada di Indonesia belum pernah ditemukan.1,3 Penelitian mutakhir menemukan 3 locus autosomal dominan untuk sclerosis : OTSC1 pada kromosom 15q25-26, OTSC2 pada kromosom 7q34-36, dan OTSC3 pada kromosom 6p21-22.3 Manifestasi klinis baru timbul bila penyakit sudah cukup luas mengenai ligament annulus kaki stapes. Pada awal perjalanan penyakit akan timbul tuli

konduktif dan dapat menjadi tuli campuran atau tuli saraf bila penyakit telah menyebar ke koklea.1

B. Tujuan Penulisan Penulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang penyakit Otosclerosis sebagai salah satu kasus yang dijumpai pada pelayanan kesehatan, sehingga mampu memberikan penatalaksanaan yang sesuai kepada pasien.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. Anatomi dan Fisiologi Telinga Anatomi telinga dibagi atas telinga luar,telinga tengah,telinga dalam: 4,5,6 1. Telinga Luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani. Telinga luar merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian luar kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami modifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.1,2,5

Gambar : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga

2. Telinga Tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan : Batas luar Batas depan : Membran timpani : Tuba eustachius

Batas Bawah Batas belakang Batas atas Batas dalam

: Vena jugularis (bulbus jugularis) : Aditus ad antrum, kanalis fasialis pars vertikalis. : Tegmen timpani (meningen / otak ) : Kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis

fasialis,tingkap lonjong (oval window), tingkap bundar (round window) dan promontorium. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah Pars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. Dalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius

termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.

Gambar : Membran Timpani

Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui tuba eustachius, yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane tympani. Tuba eustachius akan membuka ketika mulut menganga atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membran tympani.

3.

Telinga Dalam Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua

setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut holikotrema,

menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa, sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissners membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membran tektoria, dan pada membran basal melekat sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.

4. Fisiologi pendengaran Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke

dalam sinapsis yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.

Gambar : Fisiologi Pendengaran

B. Definisi Otosklerosis adalah penyakit pada kapsul tulang labirin yang mengalami spongiosis di daerah kaki stapes, sehingga stapes menjadi kaku dan tidak dapat menghantarkan getaran suara ke labirin yang baik.1

C. Etiologi Penyebab otosklerosis belum diketahui pasti tetapi ada kemungkinan beberapa fakta di bawah ini: 1. Berdasarkan anatomi. Tulang labirin terbuat dari enchondral dimana terjadi sedikit perubahan selama kehidupan, tapi terkadang pada tulang keras ini terdapat area kartilago yang oleh karena faktor non spesifik tertentu diaktifkan untuk membentuk tulang spongios baru. Salah satu area tersebut adalah fissula ante fenestram yang berada di depan oval window yang merupakan predileksi untuk otospongiosis tipe stapedium.

2. Herediter. Terdapat faktor keturunan pada 50 60 % pasien.5 Penelitian pada satu buah keluarga besar menunjukkan penyakit otosclerosis terdapat pada keempat generasi berturut turut keluarga tersebut.3 3. Ras. Kulit putih lebih banyak dari pada kulit hitam.3 4. Genetik. Penelitian menunjukkan penyakit otosclerosis ditemukan factor genetic yaitu gen OTSC1 pada kromosom 15q25-26, OTSC2 pada kromosom 7q34-36, OTSC3 pada kromosom 6p21-22, dan OTSC5 pada kromosom 3q22-24.3 5. Pagets Disease. Secara histologi sama dengan otosklerosis namun untuk membedakannya penyakit paget ini bermula dari lapisan periosteal dan melibatkan tulang endokondral. Keterlibatan tulang temporal dapat mengakibatkan tuli sensorineural, namun keterlibatan stapes jarang dijumpai. 6. Gangguan metabolisme tulang dan hormon. Kehamilan memperburuk progresifitas penyakit pada setengah pasien perempuan.5

D. Patologi Secara histologi proses otosklerosis terdiri dari dua fase. Fase awal ditandai oleh resorbsi tulang dan peningkatan vaskularisasi. Bila kandungan dari maturasi kolagen berkurang, tulang menjadi kelihatan spongios (otospongiosis). Pada fase lanjut, tulang yang telah diresorbsi digantikan oleh tulang sklerotik yang tebal, sehingga dinamakan otosklerosis. Pada pemeriksaan dengan pewarnaan hematoksilin eosin didapatkan warna kebiruan yang disebut dengan mantel biru Manasse.6

E. Klasifikasi Dhingra mengklasifikasikan tipe otosklerosis sebagai berikut: 1. Otosklerosis stapedial

Otosklerosis stapedial disebabkan karena fiksasi stapes dan tuli konduktif umumnya banyak dijumpai. Lesi ini dimulai dari depan oval window dan area ini disebut fissula ante fenestram. Lokasi ini menjadi predileksi (fokus anterior). Lesi ini bisa juga dimulai dari belakang oval window (fokus posterior), disekitar garis tepi footplate stapes (circumferential), bukan di footplate tetapi di ligamentum annular yang bebas (tipe biskuit). Kadang-kadang bisa menghilangkan relung oval window secara lengkap (tipe obliteratif). 2. Otosklerosis koklear Otosklerosis koklear melibatkan region sekitar oval window atau area lain di dalam kapsul otik dan bisa menyebabkan tuli sensorineural, kemungkinan disebabkan material toksik di dalam cairan telinga dalam. 3. Otosklerosis histologi Tipe otosklerosis ini merupakan gejala sisa dan tidak dapat menyebabkan tuli konduktif dan tuli sensorineural.

Lokasi predileksi untuk keterlibatan otosklerotik adalah: 1. Anterior oval window (80-90%) 2. Tepi dari round window (30-50%)

F. Gejala Klinik Penyakit otosklerosis mempunyai gejala klinis sebagai berikut: 1. Penurunan pendengaran Gejala ini timbul dan biasanya dimulai pada usia 20-an, tidak terasa sakit dan progresif dengan onset yang lambat. Biasanya terjadi pada satu telinga yang lambat laun menjalar ke telinga yang lain. Tuli konduksi terjadi pada 80 % pasien. Tuli sensorineural dan campuran terdapat apda 15 % pasien. Dan tuli sensorineural murni terdapat pada 5 % pasien.5 2. Paracusis willisii.

Seorang pasien otosklerotik mendengar lebih baik di keramaian dari pada di lingkungan yang sepi. Hal ini disebabkan oleh karena orang normal akan meningkatkan suara di lingkungan yang ramai. 3. Tidak pernah menyebabkan otalgia, othorrea, pusing berputar atau gangguan keseimbangan.5

G. Diagnosis Diagnosis otosklerosis berdasarkan pada riwayat penyakit,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan audiometri. Diagnosis pasti dengan eksplorasi telinga tengah. Pendengaran terasa berkurang secara progresif dan lebih sering terjadi bilateral. Otosklerosis khas terjadi pada usia dewasa muda. Setelah onset, gangguan pendengaran akan berkembang dengan lambat. Penderita perempuan lebih banyak dari laki-laki, umur penderita antara 11-45 tahun, tidak terdapat riwayat penyakit telinga dan riwayat trauma kepala atau telinga sebelumnya. 5 Pada pemeriksaan ditemukan membran timpani utuh, kadang-kadang tampak promontorium agak merah jambu, terutama bila membran timpaninya transparan. Gambaran tersebut dinamakan tanda Schwartze yang menandakan adanya fokus otosklerosis yang sangat vaskuler. 5 Pada pemeriksaan dengan garpu tala menunjukkan uji Rinne negatif. Uji Weber sangat membantu dan akan positif pada telinga dengan otosklerosis unilateral atau pada telinga dengan ketulian konduktif yang lebih berat. Gelles Test negatif.5 Pemeriksaan audiometri menunjukkan tipikal tuli konduktif ringan sampai sedang yang menunjukkan adanya penurunan hantaran udara pada frekuensi rendah. Hantaran tulang normal. Air-bone gap lebih lebar pada frekuensi rendah. Dalam beberapa kasus tampak adanya cekungan pada kurva hantaran tulang. hal ini berlainan pada frekuensi yang berbeda namun maksimal pada 2000 Hz yang disebut dengan Carharts notch (5 dB pada 500

Hz, 10 dB pada 1000 Hz, 15 dB pada 2000 Hz dan 5dB pad 4000 Hz) Pada otosklerosis dapat dijumpai gambaran Carharts notch. 5

Secara klinis, pemeriksaan

High-resolution computed tomography

(CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan 74% ketepatan diagnosis otosclerosis dengan ketebalan kurang dari 1 mm masih mmampu menunjukkan gambaran visual dan terdapat gambaran spongiosis.

Rekontruksi multiplanar meningkatkan deteksi otosklerosis sepesar 11% (dari 74% menjadi 85%). Penelitian terkini menunjukkan besar otosklerosis dengan tuli konduksi, tapi tidak ada korelasi antara otosklerosis koklea dengan tuli sensorineural.7

H. Diagnosis Banding 1. Anomali telinga tengah congenital. 2. Post trauma dislokasi atau fraktur tulang ossikula. 3. Proses adhesi timpanosklerosis.5

H. Penatalaksanaan 1. Medikamentosa

Shambaugh dan Scott memperkenalkan penggunaan sodium fluoride sebagai pengobatan dengan dosis 30-60 mg/hari salama 2 tahun, berdasarkan keberhasilan dalam terapi osteoporosis. Sodium fluoride ini akan meningkatkan aktivitas osteoblast dan meningkatkan volume tulang. Efeknya mungkin berbeda, pada dosis rendah merangsang dan pada dosis tinggi menekan osteoblast. Biphosphonat yang bekerja menginhibisi aktivitas osteoklastik dan antagonis sitokin yang dapat menghambat resorbsi tulang mungkin bisa memberi harapan di masa depan. Saat ini, tidak ada rekomendasi yang jelas terhadap pengobatan penyakit ini.6 Indikasi pemberian sodium fluoride Pasien otosklerosis yang tidak dapat dilakukan tindakan bedah memperlihatkan tuli saraf progresif yang tidak sebanding dengan usianya. Pasien dengan tuli saraf di mana menunjukkan otosklerosis koklea. Pasien yang secara politomografi memperlihatkan perubahan

spongiotik pada kapsul koklea. Pasien dengan tanda Schwartze positif. Kontraindikasi pemberian sodium fluoride. Pasien dengan nefritis kronis yang disertai retensi nitrogen Pasien dengan rheumatoid arthritis kronis Pada anak-anak yang pertumbuhan tulangnya belum sempurna Pasien yang alergi dengan fluoride Pasien dengan fluorosis tulang

Efek samping sodium floride. Gangguan gastrointestinal adalah efek samping yang paling sering ditemukan namun bisa dicegah dengan mengkonsumsinya setelah makan. Peningkatan pada gejala-gejala pada persendian dapat timbul pada penderita.

2. Operasi Penatalaksanaan operasi dengan stapedektomi dan stapedotomi telah digunakan secara luas sebagai prosedur pembedahan yang dapat meningkatkan pendengaran pada penderita dengan gangguan pendengaran akibat otosklerosis. a. Stapedektomi Stapedektomi merupakan operasi dengan membuang seluruh footplate. Operasi stapedektomi pada otosklerosis disisipkan protesis di antara inkus dan oval window. Protesis ini dapat berupa sebuah piston teflon, piston stainless steel, piston platinum teflon atau titanium teflon. Piston teflon, merupakan protesis yang paling sering digunakan saat ini. 80% pasien mengalami kemajuan pendengaran setelah dilakukan operasi dengan stapedektomi.5,6

b. Stapedotomi Pada teknik stapedotomi, dibuat lubang di footplate, dilakukan hanya untuk tempat protesis. Sebuah lubang setahap demi setahap dibesarkan dengan hand-held drill sampai diameter 0,6 mm. Stapes digantikan dengan protesis yang dipilih kemudian ditempatkan pada lubang dan dilekatkan ke inkus.5

Langkah-langkah stapedektomi yaitu: a. Insisi meatal dan elevasi dari flap timpanomeatal b. Area stapes dibuka, hal ini mungkin memerlukan pengangkatan dari tulang bagian posterosuperior yang mengantung di liang telinga c. Pengangkatan bagian atas stapes d. Dilakukan pembuatan lubang pada footplate dari stapes

(stapedotomi) atau pengangkatan sebagian dari footplate ( stapedektomi) e. Protesis dipasang f. Mereposisi flap timpanomeatal. Komplikasi stapedektomi a. Perforasi membran timpani b. Paralisis nervus fasialis c. Hematotimpanum d. Fistula perilimf e. Tuli sensorineural f. Labirinitis g. Otitis media akut

c. Alat Bantu Dengar Alat bantu dengar dapat digunakan apabila pasien menolak untuk dilakukan operasi atau keadaan umum yang tidak memungkinan

untuk dilakukan tindakan operasi. Hal ini merupakan penatalaksanaan alternatif yang efektif.

I. Prognosis Tingkat keberhasilan pasien yang menjalani operasi stapedektomi adalah 80% dan hanya 2 % dari pasien yang menjalani operasi stapedektomi mengalami penurunan fungsi pendengaran tipe sensorineural hearing loss. Satu dari 200 pasien kemungkinan dapat mengalami tuli total.5,6

BAB III KESIMPULAN

1.

Otosklerosis merupakan kelainan genetik pada kapsul tulang labirin yang disebabkan oleh perubahan metabolisme tulang yang menyebabkan penebalan tulang pada fisula ante fenestrum sehingga terjadi fiksasi pada footplate stapes.

2.

Gejala klinis dari penyakit otosklerosis adalah penurunan pendengaran secara progresif, biasanya tipe konduktif dan bilateral, paracusis willisii, tinnitus.

3.

Diagnosis otosklerosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, audiometri dan radiologi. Diagnosis pasti dengan eksplorasi telinga tengah.

4.

Penatalaksanaan otosklerosis secara medikamentosa dengan sodium floride dosis 30-60 mg/hari salama 2 tahun, operasi dengan stapedektomi maupun stapedotomi dan alat bantu dengar.

DAFTAR PUSTAKA
1. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD, dalam Soepardi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. 2010. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher, edisi keenam. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 2. Paparella MM, Adams GL, Lebine SC, dalam Adams GL, Boies LR, Higler PA. 1997. Boeis : Buku Ajar Penyakit THT, edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 3. Van Den Bogaert K, De Leenheer EMR, Chen W, Lee Y, Numberg P, Pennings RJE, et al. A Fifth Locus for Otosclerosis, OTSC5, Maps to Chromosome 3q22-24. J Med Genet 2004;41:450-453. 4. Roland PS & Samy RN. Otosclerosis. In : Bailey BJ. Head and Neck Surgery Otolaryngology. Volume two. Philadelphia: J.B Lipincott Company; 2006.p. 2126-37. 5. Becker W, Nauman HH, Platz CR. 1994. Ear, Nose, and Tharoad Diseases : A Pocket Referance. Stuttgart : Thieme Medical Publisher 6. Dhingra PL. Otosclerosis. In: Diseases of Ear,Nose and Throat. 5th Ed. New Delhi: Elsevier; 2010. 7. Naumann IC, Porcellini B, Fisch U. Otosclerosis: Incidence of Positive Findings on High Resolution Computed Tomography and Their to Audiological Test Data.

You might also like