You are on page 1of 23

1.

Anatomi Respirasi Sistem respirasi dibedakan menjadi dua saluran yaitu, saluran nafas bagian atas dan saluran nafas bagian bawah. Saluran nafas bagian atas terdiri dari: rongga hidung,faring dan laring. Saluran nafas bagiah bawah terdiri dari trakea, bronkus,bronkiolus dan paru-paru.

a. Hidung Hidung atau naso adalah saluran pernafasan yang pertama. Ketika proses pernafasan berlangsung, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan menjalani tiga proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan pelembaban. Hidung terdiri atas bagian- bagian sebagai berikut:

Hidung Luar

Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas, dapat dibedakan menjadi 3 bagian : kubah tulang; yang tak dapat digerakkan, kubah kartilago; yang sedikit dapat digerakkan, dan lobulus hidung; yang mudah digerakkan. Belahan bawah aperture piriformis hanya kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Di sebe;ah superior, struktur tuulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh prosessus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosesus maksolaris medial embrio yang meliputi premaksila anterior, dapat pula diangggap bagian dari hidung luar. Kubah kartilago, dibentuk oleh kartilago lateralis superior yang berfusi di garis tengah serta berfusi dengan tepi atas kartilago septum kuadrangularis. Lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobules menutup vestibulum nasi dan dibatasi disebelah media oleh konumela, di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung. Jaringan subkutan dan kulit juga menyokong hidung luar. Jaringan lunak diantara hidung luar dan hidung dalam dibatasi di sebelah inferior oleh Krista

piriformis dengan kulit penutupnya, di medila oleh septum nasi, dan tepi bawah kartilago lateralis superior sebagai batas superior dan lateral. Hidung Dalam

Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dengan nasofaring. Pada dinding lateral hidung terdapat pula selaput lender yang berlipat-lipat yang dinamakan karang hidung ( konka nasalis ) denggan rongga udara yang tak teratur diantaranya : meatus superior, inferior dan meatus media. meatus

Ductus nasolakriminalis bermuara paa meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus naksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus senoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis.

Dasar rongga hidung dibentuk oleh rahang atas keatas rongga hidung berhubungan dengan rongga yang disebut sinus paranasalis yaitu sinus maksilaris pada rahang atas, sinus frontalis pada tulang dahi, sinus sfenoidalis pada rongga tulang baji, dan sinus etmoidalis pada rongga tulang tapis. Di sebelah konka bagian kiri kanan dan sebelah atas dari langit-langit terdapat satu lubang pembuluh yang menghubungkan rongga tekak dengan rongga pendengaran tengah . Saluran ini disebut tuba auditiva eustachi yang menghubungkan telinga tengah dengan faring dan laring. Hidung juga berhubungan dengan saluran air mata atau tuba lakrimalis. Rongga hidung dilapisi dengan membran mukosa yang sangat banyak mengandung vaskular yang disebut mukosa hidung. Lendir di sekresi secara terus-menerus oleh sel-sel goblet yang melapisi permukaan mukosa hidung dan bergerak ke belakang ke nasofaring oleh gerakan silia. Persyarafan hidung

Persyarafan sensorik dan sekremotorik hidung terdapat pada sinus etmoidalis uang keluar yang menuju ke konka nasalis . Pada konka nasalis terdapat sel-sel penciuman , sel tersebut terutama terdapat pada di 1/3 bagian atas depan mukosa hidung septum dan konka nasalis. Pada hidung di bagian mukosa terdapat serabut saraf atau reseptor dari nervus olfaktorius, yang berasal dari ganglion sfenopalaticum. Nervus olfactorius keluar dari cavum crania melalui lamina cribosa ethmoidalis. Pada daerah nasopharyngx dan konka nasalis mendapat persyarafan sensorik dari cabang ganglion pterygopalatinum.

Suplai Darah Perdarahan hidung berasal dari cabang-cabang a. opthalmica dan a. maksilaris interna. Cabang sfenopalatina dari a. maksilaris interna menyuplai konka, meatus dan septum. Cabang-cabang etmoidalis anterior dan posterior dari arteri oftalmika menyuplai sinus frontalis dan sinus etmoidalis. Sedangkan sinus maksilaris diperdarahi oleh cabang a. labialis superior dan cabang inraorbitalis serta alveolaris dari a. maksilaris interna, dan cabang faringealis dari a. maksilaris interna disebarkan ke dalam sinus sfenoidalis. Vena-vena membentuk suaru fleksus kavarnosus yang rapat di bawah membrane mukosa. Pleksus ini terlihat nyata di atas konka media dan inferior serta dibagian bawah septum. Braincase vena terutama melaui vena oftalmika, fasialis anterior dan sfenopalatina.

Sistem Limfatik Suplai limfatik amat kaya dimana terdapat jaringan pembuluh anterior dan posterior. Jaringan limfatik anterior berukuran kecil dan bermuara di sepanjang pembuluh fasailis yang menuju leher. Jaringan ini mengurus hamper seluruh bagian anterior hidung --- vestibulum dan daerah prekonka. Jaringan limfatik posterior mengurus mayoritas anatomi hidung, menggabungkan ketiga sakuran utama didaerah hidung belakang---salurran superior, media, dan inferior. Bagian superior berasal dari konka media dan superior, berjalan di atas tuba eustakius dan bermuara pada kelenjar limfe retrofaringeal. Bagian media, berjalan dibawah tuba eustakius, mengurus konka inferior, meatus inferior, dan sebagian dasar hidung, dan menuju rantai kelenjar limfe jugularis. Bagian inferior berasal dari septm dan sebagian dasar hidung, berjalan menuju kelenjar limfe di sepanjang pembuluh jugularis interna.

b. Faring

Di belakang mukosa dinding belakang faring terdapat dasar tulang sphenoid dan dasar tulang oksiput disebelah atas, kemudian bagian depan tulang atlas dan sumbuu badan, dan vertebra servikalis lain, nasofaring membuka kearah depan melauli koana posterior. Dibagian superior, adenoid terletak pada mukos atap nasofaring. Dibagian lateral, muara tuba eustakius kartilaginosa terdapat didepan lekukan yang disebut Fossa Rosenmuller. Kedua struktur ini berada diatas batas otot konstriktor faringis superior. Otot tensor veli palatine, merupakan otot yang menengangkan palatum dan membuka tuba eustaki, masuk ke faring melalui fossa rosenmuller. Otot ini membentuk tendon yang melekat sekitar amulus tulang untuk memasuki palatum mole. Otot tensor veli palatni dipersyarafi oleh saraf mandibularis melalui ganglion otic.

Nasofaring terletak tepat di belakang cavum nasi , di bawah basis craniadan di depan vertebrae cervicalis I dan II. Nasofaring membuka bagiandepan ke dalam cavum nasi dan ke bawah ke dalam orofaring. Tubaeusthacius membuka ke dalam didnding lateralnya pada setiap sisi.Pharyngeal tonsil (tonsil nasofaring) adalah bantalan jaringan limfe pada dinding posteriosuperior nasofaring.

Orofaring merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring,terdapat pangkal lidah).Orofaring adalah gabungan sistem respirasi dan pencernaan , makananmasuk dari mulut dan udara masuk dari nasofaring dan paru.

Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan) Laringofaring merupakan bagian dari faring yang terletak tepat di belakang laring, dan dengan ujung atas esofagus.

c. Laring (tenggorok)

Saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk suara. Pada bagian pangkal ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglottis, yang terdiri dari tulang-tulanng rawan yang berfungsi ketika menelan makanan dengan menutup laring.

Terletak pada garis tengah bagian depan leher, sebelah dalam kulit, glandula tyroidea, dan beberapa otot kecila, dan didepan laringofaring dan bagian atas esopagus.

Cartilago / tulang rawan pada laring ada 5 buah, terdiri dari sebagai berikut:

Cartilago thyroidea 1 buah di depan jakun ( Adams apple) dan sangat jelas terlihat pada pria. Berbentuk V, dengan V

menonjol kedepan leher sebagai jakun. Ujung batas posterior diatas adalah cornu superior, penonjolan tempat melekatnya ligamen thyrohyoideum, dan dibawah

adalah cornu yang lebih kecil tempat beratikulasi dengan bagian luar cartilago cricoidea. Cartilago epiglottis 1 buah. Cartilago yang berbentuk daun dan menonjol keatas dibelakang dasar lidah. Epiglottis ini melekat pada bagian belakang V cartilago thyroideum. Plica aryepiglottica, berjalan kebelakang dari bagian samping epiglottis menuju cartilago arytenoidea, membentuk batas jalan masuk laring. Cartilago cricoidea 1 buah yang berbentuk cincin. Cartilago berbentuk cincin signet dengan bagian yang besar dibelakang. Terletak dibawah cartilago tyroidea, dihubungkan dengan cartilago tersebut oleh membrane cricotyroidea. Cornu inferior cartilago thyroidea berartikulasi dengan cartilago tyroidea pada setiap sisi. Membrana cricottracheale menghubungkan batas bawahnya dengan cincin trachea I. Cartilago arytenoidea 2 buah yang berbentuk beker. Dua cartilago kecil berbentuk piramid yang terletak pada basis cartilago cricoidea. Plicavokalis pada tiap sisi melekat dibagian posterio sudut piramid yangmenonjol kedepan.

Laring dilapisi oleh selaput lender , kecuali pita suara dan bagian epiglotis yang dilapisi olehsel epithelium berlapis.

1. ETIOLOGI
Laporan menunjukkan sekitar 14% penduduk di Amerika Serikat mengalami penyakit ini. Dua faktor utama yang dapat menimbulkan manifestasi RA adalah sensitivitas terhadap alergen dan keberadaan alergen di lingkungan. RA dapat bersifat musiman dan tahunan. Alergen inhalan merupakan alasan utama untuk kedua hal tersebut. Sekitar 20% kasus musiman, 40% sepanjang tahun, dan 40% campuran keduanya. Penyebab RA tersebut adalah serbuk sari di udara (biasa terjadi di musim semi), rumput (di awal dan akhir musim panas). Sedangkan pada RA yang bersifat sepanjang tahun dapat dikarenakan tungau debu rumah, jamur, dan bulu hewan.

2. PATOFISIOLOGI

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu: a. Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Munculnya segera dalam 5-30 menit, setelah terpapar dengan alergen spesifik dan gejalanya

terdiri dari bersin-bersin, rinore karena hambatan hidung dan atau bronkospasme. Hal ini berhubungan dengan pelepasan amin vasoaktif seperti histamin.

b. Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktifitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Muncul dalam 2-8 jam setelah terpapar alergen tanpa pemaparan tambahan. Hal ini berhubungan dengan infiltrasi sel-sel peradangan, eosinofil, neutrofil, basofil, monosit dan CD4 + sel T pada tempat deposisi antigen yang menyebabkan pembengkakan, kongesti dan sekret kental.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang berperan sebagai APC akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Kompleks antigen yang telah diproses dipresentasikan pada sel T helper (Th0). APC melepaskan sitokin seperti IL1 yang akan mengaktifkan Th0 ubtuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5 dan IL13. IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi IgE. IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar dengan alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin. Rinitis Alergi melibatkan membran mukosa hidung, mata, tuba eustachii, telinga tengah, sinus dan faring. Hidung selalu terlibat, dan organ-organ lain dipengaruhi secara

individual. Peradangan dari mukosa membran ditandai dengan interaksi kompleks mediator inflamasi namun pada akhirnya dicetuskan oleh IgE yang diperantarai oleh respon protein ekstrinsik. Kecenderungan munculnya alergi, atau diperantarai IgE, reaksi-reaksi pada alergen ekstrinsik (protein yang mampu menimbulkan reaksi alergi) memiliki komponen genetik. Pada individu yang rentan, terpapar pada protein asing tertentu mengarah pada sensitisasi alergi, yang ditandai dengan pembentukan IgE spesifik untuk melawan protein-protein tersebut. IgE khusus ini menyelubungi permukaan sel mast, yang muncul pada mukosa hidung. Ketika protein spesifik (misal biji serbuksari khusus) terhirup ke dalam hidung, protein dapat berikatan dengan IgE pada sel mast, yang menyebabkan pelepasan segera dan lambat dari sejumlah mediator. Mediator-mediator yang dilepaskan segera termasuk histamin, triptase, kimase, kinin dan heparin. Sel mast dengan cepat mensitesis mediatormediator lain, termasuk leukotrien dan prostaglandin D2. Mediator-mediator ini, melalui interaksi beragam, pada akhirnya menimbulkan gejala rinore (termasuk hidung tersumbat, bersin-bersin, gatal, kemerahan, menangis, pembengkakan, tekanan telinga dan post nasal drip). Kelenjar mukosa dirangsang, menyebabkan peningkatan sekresi. Permeabilitas vaskuler meningkat, menimbulkan eksudasi plasma. Terjadi vasodilatasi yang menyebabkan kongesti dan tekanan. Persarafan sensoris terangsang yang menyebabkan bersin dan gatal. Semua hal tersebut dapat muncul dalam hitungan menit; karenanya reaksi ini dikenal dengan fase reaksi awal atau segera.(6) Setelah 4-8 jam, mediator-mediator ini, melalui kompetisi interaksi kompleks, menyebabkan pengambilan sel-sel peradangan lain ke mukosa, seperti neutrofil, eosinofil, limfosit dan makrofag. Hasil pada peradangan lanjut, disebut respon fase lambat. Gejalagejala pada respon fase lambat mirip dengan gejala pada respon fase awal, namun bersin dan gatal berkurang, rasa tersumbat bertambah dan produksi mukus mulai muncul. Respon fase lambat ini dapat bertahan selama beberapa jam sampai beberapa hari. Sebagai ringkasan, pada rinitis alergi, antigen merangsang epitel respirasi hidung yang sensitif, dan merangsang produksi antibodi yaitu IgE. Sintesis IgE terjadi dalam jaringan limfoid dan dihasilkan oleh sel plasma. Interaksi antibodi IgE dan antigen ini terjadi pada sel mast dan menyebabkan pelepasan mediator farmakologi yang menimbulkan dilatasi vaskular, sekresi kelenjar dan kontraksi otot polos.

3. DIAGNOSIS
1. Anamnesis Perlu ditanyakan gejala-gejala spesifik yang mengganggu pasien (seperti hidung tersumbat, gatal-gatal pada hidung, rinore, bersin), pola gejala (hilang timbul, menetap)beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Karena rinitis alergi seringkali berhubungan dengan konjungtivitis alergi, maka adanya gatal pada mata dan lakrimasi mendukung diagnosis rinitis alergi. Riwayat keluarga merupakan petunjuk yang cukup penting dalam menegakkan diagnosis pada anak.

2. Pemeriksaan Fisik Pada muka biasanya didapatkan Garis Dennie-Morgan Dan Allergic Shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Allergic Crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Facies adenoid, mulut sering terbuka dengan lengkung langit-langit yang tinggi, sehingga menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi. Cobblestone appearance, dinding posterior faring tampak granuler dan edema. Geographic tongue, lidah tampak seperti gambaran peta. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan mukosa hidung edema, basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media. 3. Pemeriksaan Penunjang

Hitung eosinofil dalam darah tepi (in vitro)

Dapat normal atau meningkat. Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzym Linked Immuno Sorbent Assay). Meningkatnya eosinofil dalam jumlah banyak dapat menunjukan alergi inhalan. Jika basofil , maka bisa disebabkan oleh alergi makanan, tapi jika sel PMN menunjukan adanya infeksi bakteri.

Uji kulit (in vivo)

Untuk mencari alergen penyebab secara invivo. Jenisnya skin end-point tetration/SET (uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri), prick test (uji cukit), scratch test (uji gores), challenge test (diet eliminasi dan provokasi) khusus untuk alergi makanan (ingestan alergen) dan provocative neutralization test atau intracutaneus provocative food test (IPFT) untuk alergi makanan (ingestan allergen). Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium hanya memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, jadi tidak untuk menetapkan diagnosis. Selain itu, pemeriksaan lab juga dipakai untuk pemantauan pasien, misalnya untuk menilai timbulnya penyulit penyakit dan hasil pengobatan. a. Jumlah leukosit dan hitung jenis sel

Pada penyakit alergi jumlah leukosit normal, kecuali kalau disertai infeksi. Sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung dan sputum. Semasa periode simtomatik sel eosinofil banyak dalam sekret, tetapi kalau ada infeksi, sel neutrofil lebih dominan. b. Serum IgE total Meningkatnya serum IgE total menyokong adanya penyakit alergi, tetapi hanya didapatkan pada sekitar 60-80% pasien. c. IgE Spesifik Dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentu secara in vitro dengan cara RAST (radio allergo sorbent test) atau ELISA ( enzym linked immuno sorbent assay). Keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dibandingkan tes kulit adalah resiko pasien tidak ada dan hasilnya kuantitatif, tidak dipengaruhi obat atau keadaan kulit, alergen lebih stabil. d. Tes Kulit Tes kulit sebagai sarana penunjang diagnosis penyakit alergi, telah dilakukan sejak lebih 100 tahun yang lalu, karena cara pelaksanaannya cukup sederhana dan terbukti mempenyai koralasi yang baik dengan kadar IgE spesifik atau dengan tes provokasi. e. Tes tusuk (prick test) Pembacaan dilakukan setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter bentol dan eritema yang timbul, juga pseupoda yang terjadi. Hasil negatif, didapatkan bila hasil tes sama dengan kontrol negatif. Hasil positif dinilai berdasarkan bantol atau eritema dengan penilaian sebagai berikut : Hasil negatif = sama dengan kontrol negatif. Hasil +1 = 25% dari kontrol positif. Hasil +2 = 50% dari kontrol positif. Hasil +3 = 100% dari kontrol positif. Hasil +4 = 200% dari kontrol positif. f. Tes tempel (patch test) Dilakukan dengan cara menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai penebab dermatitis alergi kontak. Jika pada penempelan bahan kulit menunjukkan reaksi, mungkin pasien alergi terhadap bahan tersebut, ataupun bahan atau benda lain yang mengandung unsur tersebut. Pembacaan dilakukan setelah 48 jam. Kemudian menunggu selama - 1 jam. Reaksi alergi lebih jelas sesudah 96 jam. 0 = tidak ada reaksi

+/- = eritema riingan, meragukan 1+ = reaksi ringan ( eritema dengan edema ringan) 2+ = reaksi kuat (papular eritema dengan edema) 3+ = reaksi sangat kuat (vesikel atau bula) g. Tes Provokasi Tes provokasi adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. h. Tes provokasi nasal Pada tes ini diberikan pada mukosa hidung baik dengan disemprotkan atau menghisap alergen yang kering melalui satu lubang hidung sedang hidung yang lain di tutup. Tes dianggap positif bila dalam beberapa menit timbul bersin-bersin, pilek, hidung tersumbat, batuk, atau pada kasus berat menjadi gejala yang sama. Pada pemeriksaan hidung tampak bengkak sehingga menyumbat rongga hidung. i. Tes provokasi bronkial Digunakan untuk tes pada pasien dengan asma dengan rangsangan yang bersifat alergen maupun non alergen.

3. PENATALAKSANAAN
: Tahap terjadinya kontak antara alergen dengan kulit atau mukosa hidung. Tahapan ini diterapi dengan penghindaran terhadap alergen penyebab. Tahap imunoterapi, cara ini umtuk alergi inhalan dengan gejala berat dan berlangsung lama serta pengobatan cara lain tidak memberikan hasil. Tujuan nya untuk pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode : intradermal dan sublingual. Tahapan ikatan Ag-IgE di permukaan mastosit/basofil, sebagai akibat lebih lanjutreaksi Ag-IgE dimana dilepaskan histamin sebagai mediator. Tahapan ini dinetralisir dengan obat obatan antihistamin yang secara kompetitif memperebutkan reseptor H1dengan histamin. Tahap manifestasi klinis dalam organ target, dimana ditandai dengan timbulnya gejala. Tahapan ini dapat diterapi dengan obat-obatan dekongestan sistematik atau lokal.

Operatif. Konkotomi merupakan tindakan memotong konka nasi inferior yang mengalami hipertrofi berat. Lakukan setelah kita gagal mengecilkan konka nasi inferior menggunakan kauterisasi yang memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.

Secara garis besar penatalaksanaan rinitis terdiri dari 3 cara, yaitu: Menghindari atau eliminasi alergen dengan cara edukasi, farmakoterapi, dan imunoterapi,sedangkan tindakan operasi kadang diperlukan untuk mengatasi komplikasi seperti sinusitis dan polip hidung.

4. KOMPLIKASI
1. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan kekambuhan polip hidung. 2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3. Sinusitis paranasal. 4. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama khususnya pada anak-anak. 5. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar mendapat asma bronkial.

5. PROGNOSIS
Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang menjadi kurang sensitif pada alergen.

6. Terapi Farmakologi
Antihistamin

Terapi simtomatis dilakukan melalui pemberian antihistamin dengan atau tanpa vasokonstriktor atau kortikosteroid peroral atau lokal. Terdapat lima kelas antihistamin, dan mungkin perlu dilakukan uji coba sebelum menentukan mana yang paling efektif dengan efek samping terkecil. Antihistamin kelas H1 adalah obat terpilih dalam penanganan rhinitis alergi. Obat ini mengganggu kerja histamin dengan menghambat tempat histamin H1. Pseudoefedrin dan fenilpropanolamin oral juga dapat digunakan bula gejala utama thinitis alergi berupa kongesti. Obat ini efektif digunakan bersama antihistamin karena memiliki efek samping berupa rangsangan berlebihan dan insomnia. Natrium kromolin intranasal dapat digunakan sebagai profilaksis, karena obat ini dapat menghambat pelepasan histamin dari sel mast paru-paru dan tempat-tempat tertentu. Tabel Klasifikasi Antihistamin Kelas 1 Etanolamin adalah antagonis H1 yang sangat poten dan efektif. ES : terutama sedasi, gangguan pada saluran cerna jarang terjadi

Kelas 2 Etlendiamin adalah antagonis H1 yang sangat efektif. ES : gangguan saluran cerna Kelas 3 Alkilamin merupakan salah satu antagonis H1 yang paling efektif, jarang menimbulkan sedasi. Kelas 4 Piperazin adalah antagonis H1 dengan masa kerja memanjang Kelas 5 Fenotiazin addalah antagonis H1 dengan efek sedatif berat Kortikosteroid

Berdasarkan pemakaiannya, kortikosteroid dibagi menjadi 2 yaitu topikal dan sistemik. Kortikosteroid topikal menjadi pilihan pertama untuk penderita rinitis alergi dengan gejala sedang sampai berat dan persisten (menetap), karena mempunyai efek antiinflamasi jangka panjang. Kortikosteroid topikal efektif mengurangi gejala sumbatan hidung yang timbul pada fase lambat. Efek spesifik kortikosteroid topikal antara lain menghambat fase cepat dan lambat dari rinitis alergi, menekan produksi sitokin Th2, sel mast dan basofil, mencegahswitching dan sintesis IgE oleh sel B, menekan pengerahan lokal dan migrasi transepitel dari sel mast, basofil, dan eosinofil, menekan ekspresi GM- CSF, IL-6, IL-8, RANTES, sitokin, kemokin, mengurangi jumlah eosinofil di mukosa hidung dan juga menghambat pembentukan, fungsi, adhesi, kemotaksis dan apoptosis eosinofil. Studi meta-analisis oleh Weiner JM dkk, seperti dilansir dariBritish Medical Journal 1998, menyimpulkan bahwa kortikosteroid intranasal lebih baik digunakan sebagai terapi lini pertama rinitis daripada antihistamin, ditilik dari segi keamanan dancos t- effectiv e-nya. Kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk terapi jangka pendek pada penderita rinitis alergi berat yang refrakter terhadap terapi pilihan pertama. Dekongestan

Dekongestan dapat mengurangi sumbatan hidung dan kongesti dengan cara vasokonstriksi melalui reseptor adrenergik alfa. Preparat topikal bekerja dalam waktu 10 menit, dan dapat bertahan hingga 12 jam. Efek samping adalah rasa panas dan kering di hidung, ulserasi mukosa, serta perforasi septum. Yang terakhir jarang terjadi. Takifilaksis dan gejala rebound (rinitis medikamentosa) dapat terjadi pada pemakaian dekongestan topikal jangka panjang.Efek terapi dari preparat oral dirasakan setelah 30 menit dan berakhir 6 jam kemudian, atau dapat lebih lama (8-24 jam) bila bentuk sediaanya adalah tablet lepas lambat (sustained release). Efek samping berupa iritabilitas, pusing melayang (dizziness), sakit kepala, tremor, takikardi, dan insomnia. Penstabil Sel Mast

Contoh golongan ini adalah sodium kromoglikat. Obat ini efektif mengontrol gejala rinitis dengan efek samping yang minimal. Sayangnya, efek terapi tersebut hanya dapat digunakan sebagai preventif. Preparat ini bekerja dengan cara menstabilkan membran mastosit dengan menghambat influks ion kalsium sehingga pelepasan mediator tidak terjadi. Kelemahan lain adalah frekuensi pemakaiannya sebanyak 6 kali per hari sehingga mempengaruhi kepatuhan pasien.

Immunoterapi

Mekanisme immunoterapi dalam menekan gejala rinitis adalah dengan cara mengurangi jumlah IgE, neutrofil, eosinofil, sel mast, dan limfosit T dalam peredaran darah. Salah satu contoh preparat ini adalah omalizumab. Omalizumab merupakan antibodi anti-IgE monoklonal yang bekerja dengan mengikat IgE dalam darah. Penelitian menunjukkan, omalizumab berhasil menurunkan kadar IgE bebas dan memperbaiki gejala rinitis. Uji klinis fase II memaparkan, dosis omalizumab adalah 300 mg secara subkutan, 1 kali setiap 3-4 minggu. Secrist H dkk dalam Journal of Experimental Medicine 2006 memaparkan, immunoterapi dapat mengurangi IL-4 yang diproduksi oleh limfosit T CD4+. Dengan demikian, produksi IgE pun akan berkurang.

7. PENCEGAHAN
1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen. Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi.Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itukontrol lingkungan dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan. 2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupa alergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit. 3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan penghindaran alergen dan pengobatan.

8. Memahami Anatomi Pernafasan Menurut Agama Islam


Berwudhu dapat melindungi seseorang dari kuman penyakit. Penelitian membukatikan bahwa jumlah kuman pada orang yang berwudhu lebih sedikit dibanding orang yang tidak berwudhu. Para ilmuwan membuktikan bahwa wudhu dapat mencegah lebih dari 17 penyakit seperti influenza, batuk rejan, radang amandel, penyakit- penyakit telinga, penyakit-penyakit kulit. Dalam berwudhu ada istilah istinsyaq dan istintsar. Istinsyaq adalah menghirup air ke dalam hidung sedangkan istintsar adalah mengeluarkan air nafasnya. Rasulullah sangat menyempuranakan kedua perbuatan tersebut. Jumlah kuman di dalam hidung akan berkurang setengahnya setelah istinsyaq pertama lalu berkurang menjadi seperempatnya setelah istinsyaq kedua dan menjadi sangat sedikit setelah istinsyaq ketiga. Penelitian menyebutkan, hidung manusia setelah bersih dari kuman setelah istinsyaq akan tetap bersih selama 5 jam sebelum akhirnya tercemar lagi. Oleh karena itu manusia perlu membersihkannya lagi dengan cara wudhu yang disertai istinsyaq. Istinsyaq berulang kali setiap akan sholat adalah cara efektif untuk membersihkan, mensterilkan, dan mengurangi kuman-kuman yang bersembunyi di dalamnya. Rasulullah SAW bersabda, Sempurnakanlah wudhu, ratakanlah air di antara jarijemari, bersunguhlah dalam istinsyaq kecuali kamu berpuasa (HR Bukhari dan Muslim).

You might also like