You are on page 1of 16

REFERAT

DEMAM TIFOID

DISUSUN OLEH : ADISYARI PURI HANDINI 1102008007

PEMBIMBING : dr. Ariadi Humardhani, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PASAR REBO PERIODE 4 FEBRUARI 13 APRIL 2013

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. S. typhi masuk ketubuh manusia melalui makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus. Setelah mencapai usus, Salmonella typhosa menembus ileum ditangkap oleh sel mononuklear, disusul bakteriemi I. Setelah berkembang biak di RES, terjadilah bakteriemi II. Interaksi Salmonella dengan makrofag memunculkan mediator-mediator. Lokal (patch of payer) terjadi hiperplasi, nekrosis dan ulkus. Sistemik timbul gejala panas, instabilitas vaskuler, inisiasi sistem beku darah, depresi sumsum tulang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. Pencegahan demam tifoid diupayakan melalui berbagai cara: umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain adalah peningkatan higiene dan sanitasi karena perbaikan higiene dan sanitasi saja dapat menurunkan insidensi demam tifoid. (Penyediaan air bersih, pembuangan dan pengelolaan sampah). Menjaga kebersihan pribadi dan menjaga apa yang masuk mulut (diminum atau dimakan) tidak tercemar Salmonella typhi. Pemutusan rantai transmisi juga penting yaitu pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan.

DEMAM TIFOID - Definisi Demam Tifoid Demam tifoid ( enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya sore hingga malam hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.1 - Epidemiologi Demam Tifoid Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 30 tahun, laki laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2 tahun maupun diatas 60. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. 2,3 Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering adalah pasien karier (pasien karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun). Di daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Di daerah nonendemik penyebaran terjadi melalui tinja.2,3

Gambar 1. Distribusi Demam Tifoid di Dunia6

Gambar 2. Indonesia Termasuk Wilayah Kasus Demam Tifoid Tertinggi Di dunia, diperkirakan terdapat 22 juta kasus demam tifoid dengan 200.000 kematian pada tahun 2002. Insidensi tertinggi terdapat di Asia selatan-tengah dan tenggara. Strain resisten banyak obat muncul pertama kali tahun 1989 di Cina dan Asia Tenggara dan telah menyebar luas. Obat-obat yang resisten di antaranya adalah kloramfenikol, ampisilin, dan trimetoprim.6 - Etiologi Demam Tifoid Demam tifoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi, atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri anaerob fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi memiliki antigen H yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang terletak pada envelope, serta komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding sel.2

Gambar 3. Bakteri Salmonella Typhi

Gambar 4. Infeksi Salmonella Typhi dalam tubuh manusia Patogenesis Demam Tifoid

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial 3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal. Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2) banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang biak dalam peyer patch dalam usus.Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria, post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton Pump Inhibitor. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejnum danileum.Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan selanjutnya ke lamina propria.Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.

Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam makrofag inmasuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang sifatnyaasimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial tubuh terutama hati danLimpa. Di organorgan RES ini kuman meninggalkan sel- sel fagosit dan kemudianberkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya kembali masuk kesirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia kedua dengan disertai tanda- tanda dangejala infeksi sistemik. Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari berturut- turut. Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi jaringan S.typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat, hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus. Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya. Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang tidak stabiil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologis.

Gambar 5. Patogenesis Demam Tifoid Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.3 - Diagnosis Demam Tifoid Diagnosis tifoid karier dapat ditegakkan berdasarkan ditemukannya kuman S.typhi pada biakan feses ataupun urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang yang telah satu tahun paska demam tifoid. Saat ini, kultur darah langsung yang diikuti dengan identifikasi mikrobiologi adalah standar emas untuk mendiagnosa demam tifoid. 4,5

- Manifestasi klinis Demam Tifoid Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian. 3,5 Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia relatif (bradikardi realtif adalah peningkatan suhu 1C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali permenit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor) , hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis. 3,5,6 Sekitar 10-15% pasien menjadi demam tifoid berat. Faktor yang mempengaruhi keparahan meliputi durasi penyakit sebelum terapi, pilihan terapi antimikroba, tingkat virulensi, ukuran inokulum, paparan sebelumnya atau vaksinasi, dan faktor host lain seperti jenis HLA, AIDS atau penekanan kekebalan lain, atau konsumsi antasida.7 Pada pengidap tifoid (karier) tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus menyangkal bahwa pernah ada riwayat sakit demam tifoid. Pada beberapa penelitian menyebutkan bahwa tifoid karier disertai dengan infeksi kronik traktus urinarius serta terdapat peningkatan terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal dan lain-lain. Sedangkan patofisiologi tifoid karier belum sepenuhnya diketahui. 3 - Pemeriksaan Labortorium Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah perifer; (2) pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara molekuler. (1)Pemeriksaan darah perifer Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. Pemeriksaan SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh.3 (2)Pemeriksaan bakteriologis KULTUR DARAH Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.3

Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai berikut : 3 Telah mendapat terapi antibiotik. Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah ). Riwayat vaksinasi. Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 7 (3)Uji serologi UJI WIDAL Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid. Akibat infeksi oleh S.typhi, 3 pasien membuat antibodi( aglutinin ) yaitu: Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman) Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman ) Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman) Dari ketiga agglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal, yaitu: Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid Gangguan pembentukan antibodi. Saat pengambilan darah Daerah endemik atau non-endemik Riwayat vaksinasi Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan demamtifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi. Faktor teknik ,akibat aglutinasi silang,strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen TES TUBEX Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam

diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.8

Tubex TF adalah pemeriksaan diagnostik in vitro semikuantitatif yang cepat dan mudah untuk deteksi demam tifoid akut. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgM terhadap antigen 09 LPS Salmonella typhi. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan adalah > 95% dan > 93%. - Prinsip Pemeriksaan Metode pemeriksaan yang digunakan adalah Inhibition Magnetic Binding Immunoassay (IMBI). Antibodi IgM terhadap antigen 09 LPS dideteksi melalui kemampuannya untuk menghambat interaksi antara kedua tipe partikel reagen yaitu indikator mikrosfer lateks yang disensitisasi dengan antibodi monoklonal anti 09 (reagen berwarna biru) dan mikrosfer magnetik yang disensitisasi dengan LPS Salmonella typhi (reagen berwarna coklat). Setelah sedimentasi partikel dengan kekuatan magnetik, konsentrasi partikel indikator yang tersisa dalam cairan menunjukkan daya inhibisi. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan konsentrasi antibodi IgM Salmonella typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna. Interpretasi Hasil : < 2 3 : Negatif Borderline Tidak menunjukkan infeksi Demam Tifoid Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Lakukan pengambilan darah ulang 3-5 hari kemudian 4-5 : Positif. Indikasi infeksi Demam Tifoid > 6 : Positif. Indikasi kuat infeksi Demam Tifoid Pemeriksaan Tubex sangat sensitif dan spesifik untuk deteksi demam tifoid. Hal ini disebabkan karena penggunaan antigen 09 LPS yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut: 1. Immunodominan dan kuat 2. Antigen 09 (atau LPS secara umum) bersifat thymus independent type 1, imunogenik pada bayi (antigen Vi dan H kurang imunogenik), dan merupakan mitogen yang sangat kuat terhadap sel B. 3. Antigen 09 dapat menstimulasi sel-sel B tanpa bantuan sel T (tidak seperti antigenantigen protein) sehingga respon anti-09 dapat terdeteksi lebih cepat. 4. LPS dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor lain (Toll like receptor 4) 5. Spesifisitas yang tinggi (>90%) karena antigen 09 yang sangat jarang ditemukan baik di alam ataupun di antara mikroorganisme.

Gambar 6. Respon Antibodi Salmonella Typhi METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP (outer membrane protein) S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.7,14 METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA.2 PEMERIKSAAN DIPSTIK Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. Pemeriksaan ini juga sangat dipengaruhi hasilnya oleh penggunaan antibiotik. 7,9 (4)Pemeriksaan kuman secara molekuler Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara Polymerase Chain Reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. 7

- Diagnosis Banding Demam Tifoid Paratifoid A, B, dan C, Infeksi virus Dengue, malaria, influenza. 10,11 - Komplikasi Demam tifoid Komplikasi intestinal Perdarahan Intestinal Pada plak peyeri usus yang terinfeksi (terutama ileum terminalis) dapat terbentuk tukak / luka berbentuk lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila luka menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah maka terjadi perdarahan. Selain karena faktor luka perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (KID) atau gabungan kedua faktor. Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi hingga pasien mengalami syok.3,10 Perforasi usus Biasanya timbul pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama. Selain gejala umum demam tifoid yang biasa terjadi maka penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar ke seluruh perut dan disertai dengan tanda-tanda ileus. Bising usus melemah pada 50 % penderita dan pekak hati terkadang tidak ditemukan karenaadanya udara bebas di abdomen. Tanda-tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat,tekanan darah turun, dan bahkan dapat syok. Leukositosis dengan pergeseran ke kiridapat menyokong adanya perforasi. Bila pada gambaran foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga peritoneum, maka hal ini merupakan nilai yang cukup untuk menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid.3 Komplikasi ekstra-intestinal Kardiovaskular : miokarditis Hepatitis tifosa: dapat terjadi pada pasien dengan system imun yang kuarang dan malnutrisi. Biasanya pada demam tifoid kenaikanenzim tranaminasse tidak relevan dengan kenaikan serum bilirubin (untuk membandaingkan dengan hepatitis akibat virus) Tifoid toksik Tatalaksana Demam Tifoid dan Tifoid Karier Tatalakasana Demam Tifoid Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu : 3 Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penye m uhan. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
-

Istirahat dan perawatan Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, buangair kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan.

Dalam perawatan perlu sekali di jaga kebersihan tempat tidur,pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta higiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. Diet dan terapi penunjang Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.3 Pemberian antimikroba Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah : 3,12 1. Kloramfenikol Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak di anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. 2. Tiamfenikol Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol,akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4 x 500 mg, demamrata-rata menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6. 3. Kotrimoksazol Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80 mg trimetoprim) diberikan selama 2 minggu. 4. Ampisilin dan amoksisilin Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50-150 mg/KgBB dan digunakan selama 2 minggu. 5. Sefalosporin generasi ketiga Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif untuk demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc diberikan selama jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari. 6. Golongan fluorokuinolon Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang hari ke 4. Hasil penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.

7. Kombinasi obat antimikroba Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara laintoksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella. 8. Kortikosteroid Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg. Pemberian antimikroba menurut sumber lain : Tabel 1. Tatalaksana Demam tifoid 13

Tatalaksana Pengidap Tifoid (Karier) Tabel 2. Terapi Antibiotik Tifoid Karier 3 Tidak Disertai dengan kasus kolelitiasis Pilihan regimen terapi selama 3 bulan : - Ampisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30 mg/kgBB/hari - Amoksisilin 100mg/kgBB/hari + probenesid 30mg/kgBB/hari - Trimetoprin-sulfametoksazol 2 tablet/2 kali/hari Disertai dengan kasus kolelitiasis Kolesistektomi + regimen tersebut di atas selama 28 hari, kesembuhan 80% atau kelosistektomi + salah satu regimen terapi di bawah ini: - Siprofloksasin 750 mg/2 kali/hari - Norfloksasin 400mg/2 kali/hari Disertai infeksi Schistosoma Haematobium pada traktus urinarius

Lakukan eradikasi S. Haematobium -Prazikuantel 40mg/kgBB dosis tunggal -metrifonat 7,5 10mg/kgBB bila diberikan 3 dosis, interval 2 minggu. - Pencegahan Demam Tifoid Preventif dan kontrol penularan Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid : 3 1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien asimptomatik, karier ataupun akut. 2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun karier yang dapat dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.typhi 3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi terinfeksi dengan cara vaksinasi Vaksinasi Indikasi vaksinasi : 3 Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid semakin tinggi untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika) Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid Petugas laboratorium / mikrobiologi kesehatan Jenis vaksin : Vaksin oral Ty21a ( vivotif Berna ), belum beredar di Indonesia Vaksin parenteral VICPS ( Typhim Vi / Pasteur Merieux ), vaksin kapsul polisakarida Kontraindikasi : Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran alergi atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat antimalarial dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya. Efek samping : Pada vaksin oral Ty21a : demam dan sakit kepala. Pada vaksin parenteral ViCPS : demam, malaise, sakit kepala, rush , nyeri lokal. Efek samping terbesar pada parenteral adalah heatphenol inactivated, yaitu demam, nyeri kepala, dan reaksi local nyeri dan edema bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok. Efektivitas : Serokonversi ( peningkatan titer antibodi 4 kali ) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari 3 minggu dan 90 % bertahan selama 3 tahun.Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik ( Nepal ) dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik. - Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.

DAFTAR PUSTAKA

1) Darmowandowo W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &

Penyakit Tropis, edisi 1. 2006. Jakarta : BP FKUI. 2) Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002 ; 347(22): 1770-82 3) Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FKUI Jilid III. 2006. Jakarta : IPD FKUI 4) Baker et al. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC Infectious Diseases 2010, 10:45 5) Lifshitz, Edward I. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and review. Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3 6) Antony S.Fauci t al. Harrisons Manual of Medicine 17th Edition. 2008. McGraw Hill 7) Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18 8) http://www.kesad.mil.id/content/diagnosis-demam-tifoid 9) Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002;51:173-7 10) Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. 2000. Jakarta : Media Aesculapius FKUI 11) Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM. 2007 . Jakarta : RSUP.Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo 12) Setiabudy, R dkk. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. 2007. Jakarta : Balai Penerbit FKUI 13) MK Bhan,et al. Typhoid and paratyphoid fever . All India Institute of Medical Sciences, New Delhi 110029, India. Lancet 2005; 366: 74962 14) Begum Zohra, et al. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early Diagnosis of Typhoid Fever. Bangladesh J Med Microbiol 2009; 03 (01): 10-13

You might also like