You are on page 1of 48

LAPORAN KASUS

DIABETES MELITUS TIPE II

DISUSUN OLEH: SUCI DARMAWATI HURIAH MENGGALA PUTRA (070100004) (070100096)

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RSU PTPN TEMBAKAU DELI

MEDAN 2011
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diabetes melitus merupakan penyakit kronik yang akan diderita seumur hidup dan dapat memicu terjadinya komplikasi serius dan kematian. Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit degeneratif yang banyak di derita penduduk dunia dan belum ditemukan pengobatan yang efektif. Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan tingkat prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar 1,5-2,3% pada usia lebih dari 15 tahun. Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM tipe 2 di berbagai penjuru dunia. Diabetes melitus tipe 2 meliputi 90% kasus DM di negara-negara berkembang dan merupakan kasus terbesar pada beberapa negara berkembang. WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 3020 di Indonesia. Indonesia menempati urutan ke 4 terbesar dalam jumlah penyandang DM, sedangkan urutan diatasnya yaitu India, China dan Amerika Serikat. Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar gula darah dan gejala klinis. Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita. Penatalaksanaan DM terdiri dari pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan, meningkatkan aktivitas jasmani, dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit. Kedua adalah terapi farmakologis yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Apabila tidak dilakukan pengontrolan kadar gula darah dan faktor risiko, maka akan mengarah kepada terjadinya komplikasi baik yang bersifat akut maupun kronis pada mikro dan makrovaskular.

3 Anemia penyakit kronis merupakan anemia yang terjadi setelah proses infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 1-2 bulan. Anemia sering dijumpai pada lansia dan meningkatnya insidensi anemia dihubungkan dengan bertambahnya usia setelah menimbulkan spekulasi bahwa penurunan hemoglobin kemungkinan merupakan konsekuensi dari pertambahan usia. Prevelensi anemia pada lansia adalah sekitar 8-44% dengan prevalensi tertinggi pada laki-kali usia 85 tahun atau leibh. Dari beberapa hasil studi lainnya dilaporkan bahwa prevalensi anemia pada laki-laki lansia adalah 27-40% dan wantia lansia sekitar 16-21 dan kebanyakan adalah disebabkan oleh anemia penyakit kronik.

1.2 Rumusan Masalah Yang menjadi rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah : Bagaimana gambaran klinis dan penatalaksanaan serta perjalanan penyakit pasien yang mengalami DM dan anemia penyakit kronis? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan laporan kasus ini diantaranya: a. Untuk memahami teori mengenai diabetes melitus dan anemia penyakit kronis . b. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran terhadap kasus diabetes melitus dan anemia penyakit kronis pada pasien secara langsung. c. Untuk memahami perjalanan diabetes melitus dan anemia penyakit kronis.

1.4 Manfaat Penulisan Beberapa manfaat yang diharapkan dari penulisan laporan kasus ini diantaranya: a. Memperkokoh landasan teoritis ilmu kedokteran di bidang ilmu penyakit dalam, khususnya mengenai diabetes melitus tipe 2 dan anemia penyakit kronis. b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mendalami lebih lanjut topik topik yang berkaitan dengan diabetes melitus tipe 2 dan anemia penyakit kronis.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus Tipe 2 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.1 2.1.2 Epidemiologi Diantara penyakit degeneratif, diabetes adalah salah satu di antara penyakit tidak menular yang akan meningkat jumlahnya dimasa mendatang. Perubahan pola penyakit ini diduga ada hubungannya dengan cara hidup yang berubah. Pola makan di kota-kota telah bergeser dari pola makan tradisional yang mengandung banyak karbohidrat dan serat sayur, ke pola makan barat yang mengandung banyak protein, lemak, gula, garam dan sedikit serat. Di samping itu cara hidup yang sangat sibuk dibelakang meja menyebabkan tidak adanya kesempatan untuk aktivitas fisik dan rekreasi. WHO (World Health Organitation) membuat perkiraan bahwa tahun 2000 jumlah pengidap diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian jumlah itu akan membengkak menjadi 300 juta orang. Prevalensi DM tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Penelitian epidemiologi di Indonesia prevalensi diabetes melitus tipe 2 sebesar 1,5-2,3% pada usia lebih dari 15 tahun. Dan terdapat jelas perbedaan prevalensi didaerah urban dan di daerah rural yang menunjukkan bahwa gaya hidup mempengaruhi kejadian diabetes.1,2,3,4 2.1.3 Klasifikasi Etiologik I. Diabetes tipe 1 (destruksi sel-, biasanya akan menyebabkan defisiensi insulin absolut) A. Mediasi sistem imun B. Idiopatik

5 II. Diabetes tipe 2 (dapat berupa keadaan dimana resistensi insulin lebih predominan dengan defisiensi insulin relatif hingga suatu keadaaan dimana defek sekresi yang predominan dengan resistensi insulin)5 III. Tipe diabetes lain yang spesifik A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Defek genetik fungsi sel- yang dikarakterisasi oleh mutasi pada Faktor transkripsi nuclear hepatosit (HNF) 4 (MODY 1) Glukokinase (MODY 2) HNF-1 (MODY 5) Faktor-1 promoter insulin (PF-1; MODY 4) HNF-1 (MODY 5) Neuro D1 (MODY 6) DNA mitokrondrial Subunit channel kalium sensitif-ATP Proinsulin atau konversi insulin

B. Defek genetik kerja insulin 1. Resistensi insulin tipe A 2. Leprechaunisme 3. Sindroma Rabson-Mendenhall 4. Sindroma Lipodistrofi C. Penyakit pancreas eksokrin pankreatitis, pankreatektomi,

neoplasia, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibrokalkulus, mutasi lipase karboksil ester D. Endrokrinopati akromegali, sindroma Cushing, glukagonoma,

feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma, aldosteronoma

6 E. Reaksi yang diinduksi zat obat atau kimia vakor, pentamidin,

asam nikotinik, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoksid, agonist adrenergik-, thiazid, fenitoin, interferon-, inhibitor protease, klozapin F. G. Infeksi rubella kongenital, cytomegalovirus, cocksakie Diabetes yang dimediasi sistem imun yang tidak umum

sindroma stiff person, antibodi reseptor anti-insulin H. Sindroma genetik lain yang kadang-kadang berhubungan dengan

diabetes Sindroma Down, sindroma Klinefelter, sindroma Turner, sindromaWolfram, ataksia Friedreich, korea Huntington, sindroma Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik, sindroma Prader-Willi IV. Diabetes mellitus gestasional5

2.1.4

Patofisiologi DM tipe 2 biasanya disebabkan oleh gabungan dari faktor genetik yang berhubungan dengan gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin dan faktor lingkungan seperti obesitas, kurang berolahraga, stress dan faktor penuaan. Secara umum, penyakit ini merupakan penyakit multi-faktorial yang melibatkan banyak gen dan faktor-faktor lingkungan yang sangat bervariasi. Terdapat fakta yang dianggap penting untuk patogenesis. Hal ini dapat ditunjukkan pada orang Jepang yang mempunyai insulin secretory capacity yang rendah setelah pemberian glukosa yang mengarahkan bahwa orang Jepang mempunyai pontensial fungsi sel yang lebih rendah jika dibandingkan dengan orang Barat. Ini menunjukkan orang Jepang kemungkinan memiliki banyak gen diabetes sensitive. Selain itu peningkatkan angka penderita DM tipe 2 meningkat secara drastis menunjukkan perubahan gaya hidup seperti terdapat pada gambar dibawah ini.

Gambar: Patofisiologi DM tipe 2 Faktor genetik yang terlibat pada patogenesis DM tipe 2:6 Perkembangan terjadinya DM tipe 2 jelas berhubungan dengan adanya riwayat keluarga DM. Anak kembar monozigot mempunyai kecendurungan keduanya menderita DM dibandingkan dengan anak kembar dizigot, ini memberi petunjuk adanya keterlibatan faktor genetik pada DM. Terdapat asumsi bahwa patogenesis yang melibatkan abnormalitas genetik pada tingkat molekuler memiliki hubungan dengan sistem regulasi metabolime glukosa. Analisis yang dilakukan pada kandidat gen target pada sel pankreas penyekresi insulin yang distimulasi glukosa dan molekular yang terdiri daripada molekul yang terlibat dapat mekanisme terjadinya pelepasan insulin, telah mengindentifikasi abnormalitas genetik yang dapat menyebabkan patogensis secara independen seperti gen glukokinase, gen mitokondrial dan gen reseptor insulin. Belakangan ini, Genome Wide Association Study (GWAS) telah mengindentifikasi mutasi gen KCNQ1 yang berhubungan dengan abnormalitas sekresi insulin sebagai disease-susceptible gene yang penting disertai patogenesis DM pada orang Asia. Namun begitu, hasil hingga sekarang laporan menunjukkan bahwa penderita DM merupakan akibat kombinasi abnormalitas genetik. Peranan faktor lingkungan: Penuaan, obesitas, konsumsi energi yang tidak cukup, peminum alkohol dan merokok adalah faktor risiko independen pada patogenesis DM. Obesitas, terutama obesitas lemak viseral, disebabkan karena kurang berolahraga sering

8 disertai penurunan massa otot, merangsang resistensi insulin dan hal ini juga terkait erat dengan usia penderita. Perubahan sumber energi pada diet terutama pada peningkatan kadar asupan lemak, penurunan asupan tepung, peningkatan konsumpsi monosakarida dan penurunan asupan fiber, mengkontribusi terjadinya obesitas dan penurunan toleransi glukosa. Walaupun obesitasnya ringan, risiko menderita DM meningkat sebanyak 4-5 kali, jika disertai peningkatan massa lemak viseral. Orang Jepang lebih cederung akumulasi lemak akibat hiperalimentasi dan faktor risiko DM berhubungan dengna akumulasi lemak viseral. Gangguan sekresi insulin: Gangguan sekresi insulin adalah penurunan responsif glukosa terhadap insulin yang dapat diperhatikan sebelum terjadinya gejala-gejala DM. Lebih spesifik, toleransi glukosa terganggu disebabkan oleh penurunan responsif glukosa pada fasa awal sekresi insulin dan penurunan sekresi insulin sesudah makan dan menyebabkan hiperglikemia postprandial. Gangguan sekresi insulin ini akan progresif dan progresif ini akan menyebabkan toksisitas glukosa dan toksisitas lipid. Jika tidak diobati, maka toksin ini akan menyebabkan mass selsel prankreas akan berkurang dan jika ini berterus, maka fungsi sel-sel terganggu dan kontrol kadar glukosa darah yang jangka masa panjang. Pasien pada tahap awal sesudah onset penyakit ditandai dengan peningkatan glukosa darah postprandial akibat peningkatan resistance insulin dan penurunan sekresi fasa awal, progesi semakin memburuk pada fungsi sel pankreas terakhirnya menyebabkan elevasi glukosa darah yang permenan. Resistensi insulin: Resistensi insulin merupakan kondisi di mana insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi sesuai dengan proportional konsentrasi kadar glukosa darah. Gangguan fungsi insulin akan pada target organ yang mayor seperti hati dan otot. Faktor genetik seperti reseptor insulin, gen polimorfik insulin receptor substrate(IRS)-1 yang memberi afek sinyal insulin secara langsung, gen reseptor adrenergik 3 dan gen uncoupling protein(UCP) mempromosi resistensi insulin. Glucolipotoxicity dan inflammatory mediators terlibat dalam mekanism gangguan sekresi insulin dan gangguan sinyal insulin.

9 Didapati bahwa leptin, resistin dan asam lemak bebas dapat menyebabkan peningkatan resistensi insulin manakala adiponectin mengurangkan resistensi insulin.

Kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan: (1) polidipsia akibat hiperosmolaritas glukosa, (2) poliuria akibat asupan cairan yang berlebihan dan diuretik osmotik yang diinduksi glukosa, (3) penurunan berat badan oleh karena terjadi kehilangan kalori akibat glukosuria, sehingga terjadi negative calorie balance, (4) polifagia akibat glukosuria dan negative calorie balance.6 2.1.5 Diagnosis Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti tersebut di bawah ini: Keluhan klasik DM berupa: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelakan sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulvae pada wanita. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Pertama, jika keluhan klasik ditemukan, maka pemerikssan glukosa plasma sewaktu 200mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Kedua, dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa yang lebih mudah dilakukan, mudah diterima oleh pasien serta murah, sehingga pemeriksaan ini dianjurkan untuk diagnosis DM. Ketiga dengan TTGO. Meskipun TTGO dengan beban 75g glukosa lebih sensitif dan spesifik dibanding dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa, namun memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan . 3 Kriteria diagnosa DM untuk dewasa tidak hamil.

10 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu 200mg/dL. Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, ATAU 2. 3. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasama puasa 126mg/dL, ATAU Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO 200mg/dL. Apabila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM, maka dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT atau GDPT tergantung dari hasil yang diperoleh: TGT: diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199mg/dL. GDPT: diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100 125mg/dL.3 Pemeriksaan HbA1c: HbA1c adalah glukosa yang terikat dengan molekul hemoglobin A. Dalam darah, glukosa bisa terikat dengan molekul hemoglobin dalam sel darah merah. Proses ini dikatakan glycosylation. Ketika glukosa terikat, glukosa akan tetap berikat dengan sel darah merah sehingga sel darah merah dihancurkan yaitu 6090 hari. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah semakin banyak glukosa berikatan dengan hemoglobin. Tes HbA1c digunakan untuk mengukur kadar glukosa yang berikat dengan hemoglobin di dalam sel darah merah dan tanda dalam persentase glukosa yang terikat dengan hemoglobin dengan jumlah konsentrasi hemoglobin. HbA1c diteskan untuk mengetahui rata-rata glukosa darah yang terkontrol dalam 60-90 hari sebelum pemeriksaan glukosa puasa, sewaktu atau postprandial.6 Anjuran Sangat sehat Sedang, memerlukan perbaikan Tinggi, memerlukan tindakan terapi Sangat tinggi, memerlukan tindakan terapi 2.1.6 Penatalaksanaan Terdapat 4 pilar penatalaksanaan diabetes melitus yaitu: 1. Edukasi HbA1c% 7,0 7,0 8,0 8,0 10,0 >10,0

11 2. Terapi gizi medik 3. Latihan jasmani 4. Intervensi farmakologis Pengelolaan DM setelah edukasi dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2-4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.3,4 1. Edukasi Diabetes melitus biasanya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk dengan mapan. Untuk mencapai keberhasilan perubahan perilaku, dibutuhkan edukasi yang komprehensif dan upaya peningkatan motivasi dan ini membutuhkan partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien. 2. Terapi gizi medik Merupakan salah satu terapi non farmakologis yang sangat

direkomendasikan bagi penyandang diabetes (diabetisi). Terapi gizi medis pada prinsipnya adalah melakukan pengaturan pola makan yang didasarkan pada status gizi diabetisi dan melakukan modifikasi diet berdasarkan kebutuhan individual. Adapun tujuan dari terapi gizi medis ini adalah untuk mencapai dan mempertahankan: kadar glukosa darah mendekati normal tekanan darah < 130/80 mmHg profil lipid: -LDL < 100mg/dl -HDL < 40 mg/dl -Trigliserida < 150 mg/dl

12 Berat badan senormal mungkin Komposisi bahan makanan terdiri dari makronutrien yang meliputi karbohidrat, protein, dan lemak, serta mikronutrien yang meliputi vitamin dan mineral, harus diatur sedemikian rupa sehingga dapat memenuhi kebutuhan diabetisi secara tepat.3 a. Karbohidrat Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasi dengan pemberian MUFA (Monounsaturated Fatty Acids). Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi. Fruktosa tidak boleh lebih dari 60 gr/hr. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.3,4 b. Protein Jumlah kebutuhan protein yang dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacangkacangan, tahu, tempe. Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB/hr atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi. 3 c. Lemak Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi. Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori dan lemak tidak jenuh ganda <10%, selebihnya dari lemak MUFA. Anjuran konsumsi kolesterol <300mg/hr. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk). 3,4 Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%) serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) diantaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya.3

13 Perhitungan jumlah kalori untuk penyandang DM ditentukan oleh status gizi, umur, ada tidaknya stress akut, dan kegiatan jasmani. Perhitungan kebutuhan kalori basal adalah sebesar 25-30 kalori/kg BB ideal dan ditambah atau dikurang oleh faktor-faktor tadi. Perhitungan BBI (berat badan ideal) dengan rumus brocca yang dimodifikasi adalah sbb: BBI = 90% x (tb dalam cm-100) x 1kg Dimana bagi pria dengan tinggi dibawah 160cm dan wanita dibawah 150cm, tidak perlu dikali 90%. Interpretasinya adalah: BB normal BB kurus BB gemuk : BB ideal 10% : <BBI -10% : >BBI + 10%

Selain Broca juga terdapat perhitungan berat badan ideal menurut IMT (indeks massa tubuh). IMT dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/TB (m2). Klasifikasi IMT: BB kurang BB normal BB lebih : <18,5 : 18,5-22,9 : 23,0

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain: Jenis kelamin: kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB. Umur: Untuk pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5%, untuk dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk usia 60 s/d 69 tahun dikurangi 15%, dan dikurangi 20% untuk umur diatas 70 tahun. Aktivitas fisik: Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat. Berat badan: Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% bergantung pada tingkat kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB. 3 3. Latihan jasmani

14 Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Pada diabetisi dengan gula darah tak terkontrol, latihan jasmani akan menyebabkan terjadi peningkatkan kadar glukosa darah dan badan keton yang dapat berakibat fatal. Sebaiknya bila ingin melakukan latihan jasmai, seorang diabetisi harus mempunyai kadar glukosa darah tidak lebih dari 250 mg/dl. Juga dianjurkan agar latihan jasmani dilakukan setelah makan, yaitu pada saat kadar gula darah berada pada puncaknya. Latihan jasmani yang dikerjakan dalam waktu lama dan dalam keadaan metabolik yang tak terkendali, akan menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa darah dari hati, disertai peningkatan produksi benda-benda keton. 4 Ambilan glukosa oleh jaringan otot pada keadaan istirahat membutuhkan insulin, hingga disebut sebagai jaringan insulin-dependent. Sedang pada otot aktif, walau terjadi peningkatan kebutuhan glukosa, tapi kadar insulin tidak meningkat. Mungkin hal ini disebabkan karena peningkatan kepekaan reseptor insulin otot dan penambahan reseptor insulin otot pada saat melakukan latihan jasmani. Hingga, jaringan otot aktif disebut juga sebagai jaringan non-insulin dependent. Kepekaan ini akan berlangsung lama, bahkan hingga latihan telah berakhir. Pada latihan jasmani akan terjadi peningkatan aliran darah, menyebabkan lebih banyak jala-jala kapiler terbuka hingga lebih banyak tersedia reseptor insulin dan reseptor menjadi lebih aktif.4 Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Untuk mereka yang relatif sehat, intensitas latihan jasmani bisa ditingkatkan, sementara yang sudah mendapat komplikasi DM dapat dikurangi. Hindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.3 4. Intervensi Farmakologis Intervensi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani. Dalam melakukan pemilihan intervensi farmakologis perlu diperhatikan titik kerja obat. Pada kegawatan tertentu (ketoasidosis, diabetes dengan infeksi, stres) pengelolaan

15 farmakologi dapat langsung diberikan, umumnya dibutuhkan insulin. Keadaan seperti ini memerlukan perawatan di rumah sakit. a. Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oeh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang, namun masih boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaan seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja panjang. Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan meyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu tentu saja hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Dosis permulaan sulfonilurea tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa puasa <200 mg/dL, sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dL. Bila glukosa darah puasa >200 mg/dL dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari, sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar. Kombinasi sulfonilurea dan insulin lebih baik daripada insulin sendiri dan dosis insulin yang diperlukan pun ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multipel.

16 Glinid: Merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea dengan penekanan pada meningkatkan insulin pada fase pertama. Golongan ini terdiri dari dua macam obat yaitu Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini kedua-duanya diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan dua sampai tiga kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang singkat. Sedang Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa postprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal. Karena sedikit mempunyai efek terhadap glukosa puasa maka kekuatannya untuk menurunkan A1C tidak begitu kuat. b. Penambah sensitivitas terhadap insulin (Insulin Sensitizing) Biguanid: menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2-5 jam. Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Pada pemakaian tunggal metfomin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaan basal juga turun. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat. Bila tidak bisa monoterapi maka kmobinasi dengan sulfonilurea atau obat antidiabetik lain. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia. c. Penghambat Absorpsi Glukosa (Penghambat Glukosidase Alfa)

17 Acarbose: Obat ini bekerja dengan secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase didalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tida berpengaruh pada kadar insulin. Mekanisme kerja acarbose merupakan penghambat kuat enzim alfa glukosidase yang terdapat pada dinding enterosit yang terletak pada bagian proksimal usus halus. Secara klinis akan terjadi hambatan pembentukan monosakarida intraluminal, menghambat dan memperpanjang peningkatan glukosa darah post-prandial, dan mempengaruhi respon insulin plasma. Sebagai monoterapi tidak akan merangsang sekresi insulin dan tidak dapat menyebabkan hipoglikemia. Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja lokal pada saluran cerna. Efek samping berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus, flatulens, dan diare. Untuk mendapatkan efek maksimal, obat ini harus diberikan segera pada saat makanan utama. Hal ini perlu karena merupakan penghambat kompetitif. Obat ini dapat menurunkan rata-rata glukosa postprandial sebesar 40-60 mg/dL dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dL, dan A1C 0,5-1%. 3,4 d. Insulin Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes mellitus tipe 1. Namun demikian, pada pasien DM tipe 2 karena prevalensinya yang jauh lebih banyak dibandingkan DM tipe 1. Terapi insulin pada pasien DM tipe 2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral, endali kadar glukosa darah yang buruk (A1C >7,5% atau kadar glukosa darah puasa >250 mg/dL), riwayat pankreaktomi, atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun, dan penyandang DM lebih dari 10 tahun. Dan sebagai pegangan, jika kadar glukosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1C > 6,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik dan insulin. Pada keadaan tertentu dimana kendali glikemik amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar

18 glukosa darah puasa >250 mg/dL, kadar glukosa darah acak menetap > 300mg/dL A1C .10%, atau ditemukan ketonuria, maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu, terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki gejala nyata (poliuria, polidipsia, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan). Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan. Agar terapi insulin dapat dilaksanakan dengan baik pada pasien hiperglikemia yang dirawat di rumah sakit, harus dipahami tentang pola sekresi insulin pada orang normal. Sekresi insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa atau sebelum makan) dan insulin prandial (setelah makan). Insulin basal adalah jumlah insulin eksogen per unit waktu yang diperlukan untuk mencegah hiperglikemia puasa akibat glukoneogenesis serta mencegah ketogenesis yang tidak terdeteksi. Insulin prandial adalah insulin yang dibutuhkan untuk mengkonversi bahan makanan ke dalam bentuk energi cadangan sehingga tidak terjadi hiperglikemia postprandial. Secara umum, kebutuhann insulin dapat diperkirakan sebagai berikut: insulin basal adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB; insulin prandial adalah 50% dari kebutuhan total insulin per hari; dan insulin koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total insulin per hari. Saat ini tersedia berbagai jenis insulin, mulai dari human insulin sampai insulin analog. Seperti telah diketahui, untuk memenuhi kebutuhan insulin basal dapat digunakan insulin kerja menengah (intermediate-acting insulin) atau kerja panjang (long-acting insulin); sementara untuk memenuhi kebutuhan insulin prandial (setelah makan) digunakan insulin kerja cepat (sering disebut insulin regular/ short-acting insulin) atau insulin kerja sangat cepat (rapid- atau ultra-rapid acting insulin). 4,7 2.1.7 Komplikasi Komplikasi Akut Diabetes Mellitus: 1. Ketoasidosis Diabetik (KAD)8

19 Ciri biokimia kardinal KAD adalah: hiperglikemia, hiperketonemia, asidosis metabolik. Ketoasidosis merupakan suatu kondisi gawat medis yang sering menjadi penyebab serius morbiditas, terutama pada pasien diabetes tipe 1. Hiperglikemia yang terjadi pada KAD menyebabkan suatu diuresis osmotik yang besar sehingga terjadi dehidrasi dan kehilangan elektrolit, terutama sodium dan kalium. Ketosis terjadi akibat defisiensi insulin, dieksaserbasi oleh peningkatan katekolamin dan hormon stres yang lain, sehingga menyebabkan lipolisis dan suplai asam lemak bebas untuk ketogenesis hepatik yang tidak terkontrol. Apabila ini melebihi kapasitas metabolisme keton asam, akan terjadi akumulasi keton dalam darah. Akibatnya, asidosis metabolik memaksa ion hidrogen ke dalam sel lalu mengambil tempat ion kalium, yang mungkin hilang pada urin atau melalui muntah. Secara rata-rata, 6 liter air, 500 mmol natrium, 400 mmol klorida, dan 350 mmol kalium hilang pada pasien KAD yang sedang-berat. Pada kondisi ini, terjadi pengurangan ruang ekstraselular yang signifikan, disertai dengan hemokonsentrasi, penurunan volume darah, dan akhirnya penurunan tekanan darah yang berhubungan dengan iskemia renal dan oliguria. Setiap pasien KAD mengalami deplesi kalium, tetapi konsentrasi plasma kalium memberi indikasi defisit seluruh tubuh yang sangat sedikit. Kalium plasma malah mungkin meningkat sedikit pada awalnya oleh karena kehilangan disproposi air dan katabolisme protein dan glikogen. Walaupun begitu, setelah terapi insulin, kemungkinan besar terjadi penurunan mendadak kalium plasma oleh karena pengenceran kalium ekstraselular dengan pemberian cairan intravena, gerakan kalium ke dalam sel akibat terapi insulin, dan kehilangan kalium yang berterusan di ginjal. Magnitud hiperglikemia tidak berkorelasi dengan keparahan asidosis metabolik; elevasi glukosa darah yang sedang dapat berhubungan dengan ketoasidosis yang mengancam nyawa. Pada sesetengah kasus, predominasinya adalah hiperglikemia dan asidosis hanya minimal, dan pasien dating dalam keadaan hiperosmolar. Simptom KAD termasuk poliuria atau kehausan, penurunan berat badan, kelemahan, mual dan muntah, kaki kebas, pandangan kabur, nyeri daerah abdominal sedangkan tanda KAD termasuk dehidrasi, hipotensi (postural atau

20 supine), ekstremitas dingin/sianosis perifer, takikardia, air hunger (pernafasan Kussmaul), pernapasan berbau seperti aseton, hipotermia, kebingungan, mengantuk, dan koma (10%). Amilase serum mungkin meningkat tetapi ini jarang mengindikasi pancreatitis yang terjadi bersamaan. Walaupun leukositosis kadang-kadang terjadi, ini menunjukkan suatu respons stres dan tidak semestinya memberi indikasi infeksi. Pireksia pada awalnya mungkin tidak muncul karena terjadinya vasodilatsi akibat asidosis. Antara berikut merupakan pemeriksaan untuk KAD tetapi harus dipastikan bahwa ini tidak memperlambat tindakan pemberian cairan dan insulin: urea dan elektrolit; glukosa darah; bikarbonat plasma; gas darah arterial, urinalisis untuk memeriksa adanya keton, elektrokardiografi, dan skrining infeksi yaitu darah lengkap, kultur darah dan urin, protein reaktif C, dan foto toraks. Komponen utama pengobatan KAD adalah: (1) pemberian insulin kerja jangka pendek (terlarut), (2) penggantian cairan, (3) penggantian kalium, (4) pemberian antibiotik jika terdapat infeksi. 1. Koma Diabetik, Hiperosmolar Non-Ketotik (HONK) Kondisi ini dikarakterisasi oleh hiperglikemia berat (>900 mg/dl) tanpa hiperketonemia atau asidosis yang signifikan. Dehidrasi berat dan uremia prerenal biasa terjadi pada HONK. Terapi HONK berbeda dari ketoasidosis pada dua aspek: (1) pasien HONK biasanya mempunyai sensitivitas relatif terhadap insulin dan kira-kira setengah dari dosis insulin yang dianjurkan untuk pengobatan ketoasidosis digunakan pada HONK (3 unit/jam), (2) osmolalitas plasma haruslah diukur, atau dihitung dengan menggunakan formula berikut yang berdasarkan nilai plasma dalam mmol/l: 2[Na+] + 2[K+] + [glukosa] + [urea]. Nilai biasa adalah 280-300 mmol/kg dan tingkat kesadaran akan menurun apabila nilai ini tinggi (>340 mmol/kg). Pasien harus diberi 0,45% saline sehingga osmolalitas hampir mencapai normal, lalu digantikan dengan saline isotonik (0,9%). Kadar penggantian cairan harus diregulasi berdasarkan tekanan vena sentral, dan konsentrasi natrium plasma harus diperiksa secara berkala. Komplikasi tromboembolik sering terjadi, dan profilaksis dengan heparin berat molekul ringan subkutan dianjurkan.

21 Pada koma yang diakibatkan asidosis laktat, pasien tersebut kemungkinan besar mengkonsumsi metformin untuk diabetes tipe 2, dalam keadaan sakit berat dan bernafas berlebihan tetapi tidak dehidrasi seberat seperti koma pada ketoasidosis. Pernafasan pasien tidak berbau seperti aseton,dan ketonuria adalah ringan atau mungkin tidak ada, namun bikarbonat plasma dan pH menurun secara signifikan (H+ > 63 mmol/l, pH<7,2) dan anion gap meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan konsentrasi asam laktat yang tinggi dalam darah (biasanya > 5 mmol/l). Pengobatan adalah dengan sodium bikarbonat intravena yang mencukupi untuk meningkatkan pH arterial sehingga melebihi 7,2, diberi bersamaan insulin dan glukosa. Mortalitas pada kondisi ini adalah >50%, walaupun dengan resusitasi dan tindakan yang cepat. Sodium dikloroasetat dapat diberikan untuk menurunkan laktat darah. 2. Hipoglikemia Apabila hipoglikemia (glukosa darah <3.5 mmol/l (63 mg/dl)) terjadi pada pasien diabetes, ini merupakan kondisi akibat pengobatan dan bukan manifestasi penyakit diabetes. Hipoglikemia sering terjadi pada mereka yang diobati dengan insulin, dan kadang-kadang pada pasien yang mengkonsumsi obat sulfonilurea, dan lebih jarang lagi pada mereka yang mengkonsumsi metformin. Gejala klinis umum hipoglikemia dibagi kepada dua kelompok utama: berhubungan dengan aktivasi akut sistem saraf autonom dan sekunder kepada deprivasi glukosa di otak (neuroglikopenia). Simptom-simptom hipoglikemia idiosinkratik dan berbeda dengan usia. Simptom hipoglikemia autonom termasuk: berkeringat, menggetar, jantung berdebar, kelaparan, anxietas. Simptom hipoglikemia neuroglikopenia termasuk: kebingungan, mengantuk, masalah bercakap, ketidakmampuan berkonsentrasi, tidak dapat koordinasi. Hipoglikemia karena sebab yang tidak spesifik menunjukkan simtptom mual, kelelahan, dan sakit kepala. Faktor resiko hipoglikemia berat termasuk: (1) kontrol glikemia ketat, (2) kurang pengetahuan tentang hipoglikemia, (3) usia sangat muda/lanjut usia, (4) durasi diabetes yang meningkat, (5) tidur, (6) negativitas peptide-C, (7) riwayat hipoglikemia sebelumnya, (8) gangguan ginjal, (9) genotip ACE (angiotensinconverting enzyme).

22 Penyebab hipoglikemia termasuk: (1) tidak makan atau makan terlambat, (2) senaman yang tidak tersangka atau tidak biasa dilakukan, (3) alkohol, (4) kesalahan pada dosis/jadwal/pemberian obat hipoglikemik oral atau insulin, (5) regimen insulin yang tidak didesain dengan baik, terutama apabila terdapat predisposisi hiperinsulinemia nokturnal, (6) lipohipertrofi pada tempat injeksi sehingga menyebabkan absorpsi insulin yang bervariasi, (7) gastroparesis akibat neuropati autonom, (8) malabsorpsi seperti penyakit usus, (9) penyakit endokrin yang tidak terdiagnosa seperti penyakit Addison, (10) factitious dirangsang dengan sengaja, dan (11) pasien diabetes yang menyusui anak. Pengobatan hipoglikemia akut bergantung kepada beratnya hipoglikemia dan kesadaran pasien serta kemampuan pasien untuk menelan. Pengobatan mungkin terdiri hanya dari karbohidrat oral jika hipoglikemia terdeteksi secara dini. Apabila pasien dewasa tidak dapat menelan, glukosa intravena (30-50 ml dektrosa 20-50%) atau glucagon (injeksi 1 ml secara intramuscular) dapat diberikan. Anjuran dosis dekstrosa intravena pada kanak-kanak adalah 0,2g/kg. Solusio gel glukosa yang komersial dapat diberi pada kavitas bukal; selai atau madu juga sama efektivitasnya tetapi tidak harus diberikan pada pasien yang tidak sadar. Apabila pasien sudah dapat menelan, glukosa harus diberi secara oral. Pemulihan penuh mungkin tidak terjadi dengan segera, dan fungsi kognitif mungkin tidak terjadi sehingga 60 menit setelah mencapai normoglikemia. Lagi pula, apabila hipoglikemia terjadi pada pasien yang menggunakan insulin kerja jangka panjang atau sedang atau sulfonilurea kerja jangka panjang seperti glibenklamid, maka kemungkinan kekambuhan harus diantisipasi dan untuk mengelakkan ini dari terjadi, pemberian infus glukosa 10% harus dititrasi kepada glukosa darah pasien mungkin diperlukan. Komplikasi Kronis Diabetes Mellitus Komplikasi Diabetes Mikrovaskular/neuropatik 1. Retinopati/katarak gangguan penglihatan 2. Nefropati Gagal ginjal 3. Neuropati perifer kehilangan sensori, kelemahan motor 4. Neuropati autonom hipotensi postural, masalah gastrointestinal

23 5. Penyakit kaki Ulserasi, artropati Makrovaskular 1. Sirkulasi koroner Iskemia miokard/infark 2. Sirkulasi serebral Transient Ischemic Attack (TIA), Strok 3. Sirkulasi perifer Kladikasio, iskmemia

Retinopati Diabetik: Retinopati diabetik merupakan salah satu penyebab kebutaan yang paling sering pada dewasa antara usia 30-65 tahun di negara maju. Fotokoagulasi retinal merupakan terapi yang efektif, terutama apabila dilakukan pada tingkat awal penyakit ketika pasien masih tidak menunjukkan sebarang simptom. Oleh karena itu, pemeriksaan berkala fundi dengan dilatasi pupil maksimal adalah wajib pada semua pasien diabetes. Patogenesis terjadinya retinopati diabetik adalah seperti berikut: Hiperglikemia meningkatkan aliran darah retinal dan metabolisme dan mempunyai efek langsung terhadap sel endotelial retinal dan kehilangan perisit, yang menyebabkan gangguan pada autoregulasi vaskular. Pengaliran darah tidak terkontrol pada awalnya mengakibatkan dilatasi kapiler tetapi juga meningkatkan produksi bahan vasoaktif dan proliferasi sel endotel, sehingga terjadi penutupan kapiler. Ini menyebabkan hipoksia retinal kronis dan menstimulasi produksi faktor pertumbuhan, termasuk faktor pertumbuhan vaskular endotelial, yang menstimulasi pertumbuhan sel endotelial (menyebabkan pembentukan pembuluh darah baru) dan meningkatkan permeabilitas vaskuler (menyebabkan pembocoran retinal dan eksudasi. Gejala klinis retinopati diabetik termasuk: mikroaneurisme, perdarahan retinal, eksudasi, bercak cotton wool, perubahan vena, neovaskularisasi, perdarahan pre-retinal, perdarahan vitreous, fibrosis, dan rubeosis iridis. Retinopati proliferatif dan non-proliferatif berat diterapi dengan fotokoagulasi retinal, di mana terapi ini telah menunjukkan penurunan kehilangan penglihatan sebanyak 85% (50% pada pasien dengan makulopati). Fotokoagulasi digunakan untuk: (1) mendestruksi area iskemia retinal (karena dianggap bahwa area tersebut memainkan peran penting dalam terjadinya neovaskularisasi), (2) menutup mikroaneurisme yang bocor dan mengurangkan

24 edema macular, (3) untuk gliose pembuluh darah baru secara langsung pada permukaan retinal (tetapi tidak pada diskus optik). Vitrektomi dapat dilakukan pada kasus terpilih dengan penyakit mata diabetik lanjut di mana kehilangan penglihatan disebabkan oleh perdarahan vitreous berulang yang gagal sembuh, atau retinal detachment akibat retinitis proliferans. Rubeosis iridis diterapi dengan fotokoagulasi pan-retinal yang awal. Penyebab Kehilangan Penglihatan Yang Lain Pada Pasien Diabetes: Hampir 50% dari pasien diabetik dengan kehilangan penglihatan itu disebabkan oleh penyebab selain dari retinopati diabetik. Ini termasuk katarak, degenerasi makular berhubungan usia, oklusi vena retinal, oklusi arterial retinal, neuropati optik iskemik non-arteritik, dan glaukoma. Katarak merupakan suatu opasitas lensa yang permanen dan merupakan penyebab penurunan visus yang paling sering pada populasi lanjut usia. Lensa menjadi lebih tebal dan semakin opasifikasi seiring dengan usia yang bertambah, dan proses ini akserelasasi dan terjadi secara prematur pada orang dengan diabetes akibat peningkatan gangguan metabolik. Kadang-kadang, katarak snowflake yang merupakan suatu katarak spesifik diabetes terjadi pada pasien muda dengan diabetes yang tidak terkontrol tetapi ini sangat jarang. Keadaan ini biasanya tidak mempengaruhi visus tetapi cenderung menyebabkan pemeriksaan fundi sulit dilakukan. Indikasi ekstraksi katarak adalah sama dengan populasi non-diabetik dan bergantung kepada derajat gangguan visus. Suatu indikasi tambahan pada diabetes adalah apabila pemeriksaan fundus yang adekuat, atau terapi laser terhadap retina tidak dapat dilakukan. Metode ekstraksi yang umum adalah secara phakoemulsifikasi, dengan implantasi lensa intra-okuler. Nefropati Diabetik Nefropati diabetik merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas, dan pada saat sekarang meupakan salah satu penyebab gagal ginjal stadium akhir (endstage renal failure, ESRF) di negara maju. Oleh karena penyakit ini sering dijumpai bersamaan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular yang lain, tatalaksana sering sulit untuk dilakukan, dan keuntungan pencegahan sangat substansial. Secara patologi, perubahan pertama (yang terlihat sewaktu mikroalbuminuria) adalah penebalan glomerular basement membrane dan akumulasi bahan matriks pada mesangium. Setelah itu, akan terjadi deposit

25 nodular yang merupakan gejala karakteristik, dan glomerulersklerosis menjadi lebih parah (proteinuria berat terjadi) sehingga glomeruli menghilang secara progresif dan fungsi ginjal menurun. Faktor resiko terjadinya nefropati diabetik termasuk: (1) glukosa darah yang tidak terkontrol dengan baik, (2) durasi diabetes yang lama, (3) adanya komplikasi mikrovaskular yang lain, etnisitas (Asia, India Pima), (4) hipertensi yang sudah muncul sebelumnya, (5)riwayat keluarga mengalami nefropati diabetik, dan (6) riwayat keluarga mengalami hipertensi. Walaupun mikroalbuminuria juga terdapat pada penyakit yang lain, keadaan ini adalah indikator resiko terjadi nefropati diabetik yang penting dan oleh karena itu, merupakan indikator yang paling reliabel untuk nefropati diabetik pada sepuluh tahun yang pertama untuk DM tipe 1, dan kurang reliabel pada pasien lanjut usia dengan DM tipe 2, di mana mikroalbuminuria mungkin terjadi akibat penyakit yang lain. Secara khusus, kehadiran mikroalbuminuria pada pasien dengan diabetes tipe 2 berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit makrovaskular. Peningkatan albuminuria yang progresif, atau albuminuria yang terjadi bersamaam hipertensi, kemungkinan lebih terjadi karena nefropati diabetik yang awal. Jika terdapat bukti nefropati yang insidien, usaha kuat harus dilakukan untuk mengurangkan resiko progresi penyakit dengan: (1) control glukosa darah yang lebih baik, (2) penurunan agresif tekanan darah dengan pemberian terapi ACE-inhibitor dan pengurangan faktor resiko kardiovaskular yang agresif. Neuropati Diabetik: Ini merupakan komplikasi yang relatif awal dan umum berlaku pada 30% pasien diabetes. Seperti retinopati, neuropati diabetik terjadi secara sekunder karena gangguan metabolik, dan prevalensi berhubungan dengan durasi diabetes dan derajat kontrol metabolik. Walaupun terdapat bukti bahwa sistem saraf sentral dipengaruhi pada diabetes jangka panjang, impak klinis diabetes terutama dimanifestasi pada sistem saraf perifer. Antara temuan histopatologi neuropati diabetik adalah: (1) degenerasi aksonal kedua myelinated dan unmyelinated fibres, awalnya terdapat pengecutan akson, pada tingkat lanjut terjadi fragmentasi akson dan regenerasi, (2) penebelan basal lamina sel Schwann, (3) demielinasasi segmental, bercak, dan (4) penebalan basement membrane dan mikrotrombi pada kapiler intraneural.

26 Klasifikasi Neuropati Diabetik Somatik Polineuropati Simetris, umumnya sensori dan distal Asimetris, umumnya motor dan proksimal (termasuk amiotrofi)

Mononeuropati (termasuk mononeuritis multipleks Viseral (autonom) Kardiovaskular Gastrointestinal Saluran kemih Sudomotor Vasomotor Pupillary Gejala Klinis Neuropati Autonom Kardiovaskular Hypotensi postural Takikardia istirahat

- Denyut jantung menetap Gastrointestinal Disfagia, oleh karena atoni esofageal Daerah abdomen terasa penuh, mual dan muntah, glisemia yang tidak stabil, oleh karena pengosongan lambung lama (gastroparesis) Diare nokturnal inkontinensia feses - Konstipasi, oleh karena atoni kolon Saluran kemih Sulit miksi, inkontinensia urin, infeksi rekuren, oleh karena kandung kemih atoni - Disfungsi erektil dan ejakulasi retrograd Sudomotor Berkeringat gustatori Keringat malam tanpa hipoglikemia

- Anhidrosis, fisura pada kaki Vasomotor Kaki merasa dingin, oleh karena kehilangan respons vasomotor Edema dependen, oleh karena kehilangan tonus vasomotor dan

27 peningkatan permeabilitas vaskular Pembentukan bula-bula. Pupillary Pengecilan saiz pupil Resistensi terhadap midriatik Refleks cahaya yang lambat atau tidak ada sama sekali

Pilihan penanganan untuk neuropati autonom dan sensorimotor perifer Kondisi Penanganan Nyeri dan parestesia Terapi insulin intensif (kontrol glikemik ketat) dari neuropati Antidepresan trisiklik (amitriptilin, imipramin) Antikonvulsan (gabapentin, karbamazepin, fenitoin, pregabalin) Substans P depleter kapsaikin topical Opiat (tramadol, oksikodon) Stabiliser membran (mexiletin, lidokain intravena) Hipotensi postural Antioksidan (-asam lipoik) Stoking sokongan Fluorokortison gonis -adrenoreseptor Gastroparesis Diare NSAID Antagonis dopamine (metoklopramid, domperidon) Eritromisin Loperamid Antibiotik spektrum luas Klonidin Oktreotid Konstipasi Laksan stimulan (senna) Kandung kemih atoni Self catherization intermiten Berkeringat Obat antikolinergik (propantelin, poldin) berlebihan Disfungsi (impotensi) Klonidin Agen topikal antimuskarinik (krim glikopirolat) erektil Inhibitor fosfoesterase tipe 5 (sildenafil, vardenafil, tadalafil) oral Agonis dopamine (apomorfin) sublingual Prostaglandin E1 (alprostadil) diinjeksi ke korpus kavernosum, atau pemberian pellet intra-urethral somatik perifer

28 Vacumn tumescence devices Implan prostesis penis Konseling psikologis, terapi psikoseksual Kaki Diabetik: Kaki merupakan tempat sering terjadi komplikasi pada pasien dengan diabetes dan oleh karena itu, penjagaan kaki terutama penting pada pasien diabetes. Nekrosis jaringan pada kaki merupakan penyebab sering rawat inap pasien diabetik dan rawatan inap sering diperpanjangkan dan mungkin berakhir dengan amputasi. Ulserasi kaki terjadi akibat trauma (sering trauma kecil yang tidak bermakna pada orang normal) dengan adanya neuropati dan/atau penyakit vaskular perifer, dan terjadi infeksi sebagai fenomena sekunder setelah terjadi gangguan pada epidermis yang bersifat protektif. Pada kebanyakan kasus, ketiga komponen tersebut turut terlibat tetapi kadang-kadang, neuropati atau iskemia predominasi. Iskemia sendiri merupakan penyebab ulkus pedis pada minoritas pasien diabetik, dengan kebanyakan jenis neuropatik atau neuro-iskemik. Gejala Klinis Kaki Diabetik Neuropati Simptom Tidak ada Parestesia Nyeri Kerusakan struktural Kebas Ulkus Sepsis Abses Osteomielitis Gangren digit Sendi Charcot Penanganan untuk ulkus kaki diabetik termasuk: (1) Pengangkatan kulit kalus, (2) merawat infeksi, (3) menghindari weight-bearing, (4) memastikan kontrol glikemik baik, (5) kontrol edema, (6) melakukan angiogram untuk memeriksa kemungkinan rekonstruksi vaskular jika terdapat indikasi, (7) amputasi mungkin tidak dapat dielakkan jika terdapat destruksi jaringan dan/atau Iskemia Tidak ada Klaudikasio Nyeri waktu istirahat Ulkus Sepsis Gangren

29 tulang yang luas atau nyeri iskemik yang tidak dapat dikontrol sewaktu istirahat di mana rekonstruksi vaskular gagal atau tidak bisa dilakukan karena terdapat penyakit pembuluh darah besar.8 2.1.8 Pencegahan Dari sudut pandangan kesehatan awam, cara yang paling kos-efektif untuk menangani diabetes adalah untuk mencegahnya. Diabetes tipe 2 dihubungkan dengan gaya hidup makmur yang kemungkinan besar akan muncul pada individu yang secara genetik mempunyai predisposisi dan makan terlalu banyak dan berolahraga terlalu sedikit. Edukasi kesehatan yang efektif telah menunjukkan hasil yang memuaskan dalam pencegahan primer diabetes tipe 2, sedangkan skrining diabetes (terutama kelompok resiko tinggi seperti mempunyai keluarga kandung yang mengalami diabetes) dan pengobatan yang awal dan agresif untuk pasien dengan toleransi glukosa terganggu dapat mengurangkan insidensi penyakit vaskular serius. Pada diabetes tipe 1, kenyataan bahwa sel islet yang mensekresi insulin didestruksi secara perlahan-lahan dalam jangka beberapa tahun sebelum terjadinya gejala klinis memberi harapan bahwa, pada masa depan, diabetes tipe 1 dapat dicegah. Ini bergantung kepada: (1) ketersediaan petanda yang akurat dan prediktif untuk perkembangan diabetes klinis pada individu yang mempunyai predisposisi genetik, (2) fahaman tentang urutan tepat yang menyebabkan terjadinya destruksi sel- pankreas, (3) perkembangan metode intervensi berdasarkan immunomodulasi yang ditarget secara spesifik dan dapat diaplikasikan dengan awal pada periode pre-diabetik sebelum semua sel yang mensekresi insulin didestruksi.8 2.1.9 Prognosis Senaman dan pengurangan berat badan dapat menyebabkan tubuh menjadi lebih sensitif terhadap kerja insulin dan ini sangat membantu untuk mengontrol kadar glukosa darah. Prognosis adalah baik dengan regulasi kadar glukosa darah yang baik dan kepatuhan pasien dengan regimen self-care yang dianjurkan. Komplikasi pada diabetes mellitus tipe 2 akan memperburuk prognosis. Penyakit mata, ginjal, dan amputasi dapat menyebabkan disabilitas permanen. Walaupun diabetes mellitus tipe 2 merupakan suatu kondisi yang kronis, progresif dan belum diketahui pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit ini, namun

30 kondisi ini dapat dikontrol secara efektif dengan edukasi pasien dan pengobatan yang tepat dan teratur.9

31 2.2 ANEMIA PENYAKIT KRONIS 2.2.1 Definisi Anemia penyakit kronis adalah anemia yang terjadi setelah proses infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 1-2 bulan. Tumor dulunya merupakan salah satu penyebab anemia penyakit kronik, namum dari hasil studi yang terakhir tumor tidak dimasukkan sebagai penyebab anemia penyakit kronik. 2.2.2 Etiologi Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi seperti infeksi(infeksi paru, endokarditis bakterial), inflamasi kronik(artritis reumatoid, demam reumatik), penyakit hati alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik. 2.2.3 Patogenesis Mekanisme terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai dengan sekarang masih bayak yang belum dapat dijelaskan walaupun banyak penelitian telah dilakukan. ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokin-sitokin proses inflamasi seperti tumor nekrosis faktor alfa(TNF ), interleukin 1 dan interferon dan interferon gamma () yang diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan menghambat terjadinya proses eirtropoesis. Pada pasien aritritis reumatoid interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini bukan menghambat proses eritropoesis melainkan meningkatkan volume plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik, eritropoetinnya leibh rendah dibandingkan dengan eritropoetin pasien anemia defisiensi besi. Dari sejumlah penelitian ditemukan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan peranan penting terjadinya anemia pada penyakit kronik antara lain: 1. Menurunya umur hidup eritrosit sekitar 20-30% atau 80 hari. 2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadapanemia pada penyakit kronk. 3. Sering ditemukan sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai dengan deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem. Ini menunjukkan terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang mengakibatkan berkurangnya penyedian untuk eritoblast. 4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Ini terlihat dari terjadinya hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal

32 dari makrofag dan mediator leukosit endogen. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang berespons terhadap pemendekan masa hidup eritosit dan juga menyebabkan berkurangnya produksi eritropoetin yang aktif secara biologis. 5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang disebabkan oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum tulang. 6. Kegagalan produksi transferin 2.2.4 Gambaran klinis Anemia penyakit kronis biasanya bentuk anemia derajat ringan sampai sedangdan terjadi seteleh 1-2 bulan menderita sakit. Anemianya tidak bertambah progresif atau stabil, dan berat ringannya anemia pada seorang penderita tergantung kepada beratnya penyakit dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dan penyakit yang mendasari(asiptomatik). Pada pasien-pasien lansia,oleh karena adanya penyakit vaskular degeneratif kemungkinan juga akan ditemukan gejala-gejala kelelahan, lemah, kladokasio intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi agina pektoris dan gangguan serebral. 2.2.5 Diagnosa Diagnosis anemia penyakit kronik dapadt ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan antara lain: 1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya kelelahan berdebar-debar, pusing dan lain-lain. 2. Pemeriksaan laboratoirum, antara lain: a. Derajat anemia ringan sampai sedang b. Gambaran morfologi darah tepi: biasnya normositik-normokromik atau mikrositik ringan. c. mean corpuscular volume(MCV): normal atau menurun sedikit d. Besi serum: menurun e. Total iron binding capacity(TIBC): menurun f. Jenuh transferin: menurun g. Feritin serum: normal atau meninggi

33 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan konsentrasi protoporfirin eritosit bebas, namun pemeriksaannya jaring dilakukan, oleh karena sulit menginterpretasi hasil pemeriksaan sumsum tulang. Hal ini disebabkan karena bentuk dan struktur sel-sel sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien anemia defisiensi besi. Oleh itu, pemeriksaan konsentrasi protoprofirin eritrosit bebas lebih sering dilakukan pada pasien-pasien anemia defisiensi besi. 2.2.6 Penatalaksanaan Penatalaksanaan anemia penyakit kronik tidak spesifik, biasanya apabila penyakit dasarnya diobati, kondisi anemia akan membaik. Pemberian obatobat hematinik seperti besi, asam folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik tidak bermanfaat. Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain: 1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasien-=pasien anemia penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, acquired immunodeficiency syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat dimuali dari 50-100 unit/kg 3 kali seminggu, pemberian secara intravena(IV) atau subkutan(SC). Bila dalam 2-3 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat dan/ atau feritin serum menurun, mak kita boleh menduga bahwa eritoit repsons. Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, mka dosisnya dapat ditingkatkan sampai 150unit/kg tiga kali seminggu. Bila juga tidak ada respons, makn pemberian eritropoetin dihentikan dan cari kemungkinan penyebab yang lain, misalnya anemia defisiensi besi. Namun ada pula yang mengajurkan dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000-20.000 unit, 3 kali seminggu. 2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila anemianya telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh karena anemianya berat jarang dijumpai.

34 3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka waktu yang panjang. Diberikan pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit didasari artritis temporal, reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejala-gejala polimialgia akan segera hilang dengn cepat. Tetapi bila dalam beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segara dihentikan 4. Koblat klorida bermanfaat untuk memperbaiki anemia penyakit kronik. Cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh kerana efek toksiknya obat ini tidka dianjurkan.

35 BAB 3 KOLEGIUM PENYAKIT DALAM (KPD) CATATAN MEDIK PASIEN No. Reg. RS : 28.04.08 Nama Lengkap : Nursiah Tanggal Lahir : 1944 Alamat : Pekerjaan : IRT Pendidikan : Umur : 67 thn Jenis Kelamin : Wanita No. Telepon : Status: Menikah Jenis Suku :Agama : Islam

Dokter Muda : Huriah Menggala Putra & Suci Darmawati Dokter : dr. H.M. Mazhir D.J, Sp.PD Tanggal Masuk: 3 Juli 2011 ANAMNESIS
Automentesis

Heternomentesis

RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Keluhan Utama Deskripsi : Badan Lemas : Hal dialami os 1 minggu, hal ini semakin memberat 1 hari ini, lemas disertai keringatan(+), sakit kepala(+) pusing(+), pandangan gelap(+) dan penurunan kesadaran(-). Demam (+) 1 minggu ini dialami os, lebih sering pada pagi hari dan turun dengan obat penurunan panas, mengiggil (-), kejang (-) Mual (+) 1 minggu ini, muntah (+), nafsu makan menurun(+) 1 minggu. : DM, dialami sejak tahun 2010, KGD tinggi 475mg/dl : obat anti DM tidak jelas

RPT RPO

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Tanggal Tahun 2010 Penyakit Diabetes mellitus Tempat Perawatan RSTD Pengobatan dan Operasi Tidak jelas

RIWAYAT KELUARGA
Laki-laki Perempuan

36

D= diabetes X= meninggal dunia RIWAYAT PRIBADI Tahun Riwayat Alergi Bahan / obat Gejala Tahun Riwayat imunisasi Jenis imunisasi -

Hobi Olah Raga Merokok Minum Alkohol Hubungan Seks

: tidak ada khusus : tidak ada khusus : (-) : (-) : (+)

Kebiasaan Makanan : Berkurang

37 ANAMNESIS UMUM (Review of System) Berilah Tanda Bila Abnormal Dan Berikan Deskripsi Umum : Abdomen : Tidak ada keluhan Mual (+) dan Muntah (+) Kulit: Alat kelamin pria: Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan Kepala dan leher: Ginjal dan saluran kencing : Kepala pusing Tidak ada keluhan Mata: Hematologi: Padangan gelap Tidak ada keluhan Telinga: Endokrin/metabolik: Tidak ada keluhan Diabetes mellitus Hidung: Musculoskeletal : Tidak ada keluhan Badan lemas Mulut dan Tenggorokan: Sistem saraf: Tidak ada keluhan Badan lemas Pernafasan : Emosi : Tidak ada keluhan Terkontrol Jantung : Vaskuler : Tidak ada keluhan Tidak ada keluhan DISKRIPSI UMUM Kesan Sakit Ringan vV Sedang Berat

Gizi BB : 45 Kg, TB : 153 Cm IMT= 19,223 (normoweight) TANDA VITAL Kesadaran Nadi Tekanan darah Temperatur Pernafasan Compos metis Frekuensi 80 Berbaring: Lengan kanan: 75/40 mmHg Lengan kiri : - mmHg Aksila: 37,5C Frekuensi: 28 x/menit Deskripsi: Bicara dengan lancar Reguler, t/v: cukup Duduk: Lengan kanan: - mmHg Lengan kiri : - mmHg Rektal : tdp Deskripsi: Abdomino-torakal

KULIT : dalam batas normal KEPALA DAN LEHER : simetris, TVJ R-2 cmH20, trakea medial, pembesaran KGB(-)

38 TELINGA: dalam batas normal HIDUNG: dalam batas normal RONGGA MULUT DAN TENGGORAKAN : dalam batas normal MATA : Conjunctiva palp. inf. pucat (+), sclera ikterik (-), RC (+)/(+), Pupil isokor, ki=ka, 3mm, THORAX Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Depan Simetris fusiformis Stem fermitus Sonor pada kedua paru SP: vesikuler ST : Belakang simetris Stem fermitus Sonor pada kedua paru SP: vesikuler ST : -

JANTUNG Batas Jantung Relatif: Atas : ICR III Sinistra Kanan : LSD Kiri : 1 cm medial LMCS, ICR VI Jantung : HR : 98x/i,reguler, M1>M2 ,A2>A1 ,P2>P1 ,A2>P2, desah (-), gallop (-) ABDOMEN Inspeksi : Simetris Palpasi : Soepel Perkusi : Tympani Auskultasi : Peristaltik (+), kesan: normal PINGGANG Tapping pain : tidak dilakukan pemeriksaan, ballotement (-) INGUINAL Pembesaran KGB (-) EKSTREMITAS: Superior: edema (-) Inferior : edema (-) pada kaki dextra terdapat gangren ALAT KELAMIN: Wanita , dalam batas normal NEUROLOGI: Refleks Fisiologis (+) Normal

39 BICARA Lancar PEMERIKSAAN LAB 04/07/2011 Darah rutin WBC: 12,3; LYM:1,8; MID:0,4; GRAN:10,8 RBC: 1,8x106 ; Hb: 5,1 g/dl; HCT:15,8; MCV:85fL; MCH:22,5pg; MHC:31,5g/dL; RDW:15,7 LED: 60mm/jam SEG:81; BAND:0; LYMP:17; MONO:2; EOSIN:0; BASO:0 Kimia darah SGOT: 21U/L SGPT: 25U/L UREA: 64mg/Dl CREATININE: 1.0mg/dL URIC ACID: 6,3mg/dL CHOLESTEROL: 168mg/dL TRIGLYCERIDES: 193mg/dL HDL CHOLESTEROL: 22mg/dL GLUKOSA-PP 327mg/dL GLUKOSA -PUASA: 361mg/dL Foto toraks Kesan: mild cardiomegaly

RESUME DATA DASAR (Diisi dengan Temuan Positif) Oleh dokter : dr. H M Mazhir D J Sp.PD Nama Pasien : Nursiah 1. KELUHAN UTAMA 2. ANAMNESIS : badan lemas : (Riwayat Penyakit Sekarang, Riwayat Penyakit Dahulu, Riwayat Pengobatan, Riwayat Penyakit Keluarga, Dll.) No. RM : 28.04.08

Hal dialami os 1 minggu, hal ini semakin memberat 1 hari ini, lemas disertai keringatan(+), sefalgia(+) vertigo(+), syncope(+) dan penurunan kesadaran(-). Febris(+) 1 minggu ini dialami os, lebih sering pada pagi hari dan turun dengan obat penurunan panas, mengiggil (-), kejang (-) Mual (+) 1 minggu ini, muntah (+), nafsu makan menurun(+) 1 minggu. RPT RPO : DM, dialami sejak tahun 2010, KGD tinggi 475mg/dl : obat anti DM tidak jelas

Darah rutin WBC: 12,3; GRAN:10,8

40

RBC: 1,8x106 ; Hb: 5,1 g/dl; HCT:15,8; MCH:22,5pg; RDW:15,7 LED: 60mm/jam Kimia darah UREA: 64mg/Dl TRIGLYCERIDES: 193mg/dL HDL CHOLESTEROL: 22mg/dL GLUKOSA-PP 327mg/dL GLUKOSA -PUASA: 361mg/dL Foto toraks Kesan: mild cardiomegaly

41 RENCANA AWAL No. RM 2 8 0 4 0 8 Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnose, penatalaksanaan dan edukasi) Rencana Rencana Rencana Rencana Diagnosa Terapi Monitoring Edukasi Lipid profile Tirah baring - Klinis Menerangkan dan KGD puasa O2 2L/i - Laboratorium menjelaskan keadaan, KGD PP Diet DM 1500kkal penatalaksanaan dan Liver function test IVFD NaCl 0,9% komplikasi penyakit Renal function test Ceftriaxone 1gr/12jam pada pasien dan Klindamisin 4x300mg keluarga Darah rutin Aspilet tab 1 x80mg Kultur pus/ST Ketorolac 1amp/8jam(k/p) Darah rutin Dopamin 1 amp dalam 100cc NaCl(15 tetes)

Nama Penderita : Nursiah No 1 DM tipe 2 Masalah

2 3

Ulkus diabetikum Anemia ec penyakit kronis

42

Tgl
04/07/ 2011

S Lemas(+), mual(+), muntah(+), Pusing(+) Sens: CM TD: 60/40 mmHg Pols:89x/i RR: 20x/i T35,3C

A DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis

P Therapi Tirah baring O2 2L/i Diet DM 1500kkal Ivfd NaCl 0,9% Ceftriaxone 2gr/12jam Clindamycin 4x300mg Aspilet tab 1x80mg Ketorolac 1amp/jam Ciprofloxacin 400mg/4jam Metoclopramid 1amp/8jam dopamin mulai 12gtt/i micro tingkat 4gtt/I setiap 30 min bila TD<90mmHg Glukosa 5% 20gtt/i Apidra insulin 8-8-8 Lantus 10 unit Diagnostic KGD N/2j PP Darah rutin RFT/LFT Bilirubin Kultur pus/ST

05/07/ 2011

Lemas (+), mual (+), sulit tidur (+), kaki berdenyut (+)

Sens : CM TD : 80/50 mmHg Pols : 64 x/i RR : 16x/i T : 36 oC

DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis

Tirah baring O2 2L/i Diet DM 1500kkal Ivfd NaCl 0,9% Ceftriaxone 2gr/12jam Clindamycin 4x300mg Aspilet tab 1x80mg Ketorolac 1amp/jam Ciprofloxacin 400mg/4jam Metoclopramid 1amp/8jam Apidra insulin 10-10-10 Lantus 12 unit Drip jayaccin 400mg/hari

Morfologi darah tepi

43
Transfusi PRC 3 bag@175cc Tirah baring Diet DM 1500kkal Ivfd NaCl 0,9% Ceftriaxone 2gr/12jam Clindamycin 4x300mg Aspilet tab 1x80mg Ketorolac 1amp/jam Ciprofloxacin 400mg/4jam Metoclopramid 1amp/8jam Apidra insulin 10-10-10 Lantus 12 unit Drip jayaccin 400mg/hari Tirah baring Diet DM 1500kkal Ivfd NaCl 0,9% Ceftriaxone 2gr/12jam Clindamycin 4x300mg Aspilet tab 1x80mg Ketorolac 1amp/jam Ciprofloxacin 400mg/4jam Metoclopramid 1amp/8jam Apidra insulin 10-10-10 Lantus 12 unit Drip jayaccin 400mg/hari Tirah baring Diet DM 1500kkal Ivfd NaCl 0,9% Clindamycin 4x300mg Aspilet tab 1x80mg Ketorolac 1amp/jam Ciprofloxacin 400mg/4jam KGD N/2j PP Darah rutin Urinalisa Foto thorax

06/07/ 2011

Nyeri pada kaki (+)

Sens : CM TD : 100/60 mmHg Nadi : 80x/menit RR : 20x/menit T : 36,0 oC

DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis

KGD N/2j PP Darah rutin

07/07/ 201109/07/ 2011

Lemas(+)

Sens : CM TD : 120-100/80-70mmHg Pols : 72-76x/i RR : 20-26x/i T : 35,4-36,3 C

DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis

1213/07/ 2011

Pening(+), mual(+), muntah(+)

Sens: CM TD: 110-120/65-70mmHg HR: 72-76x/i RR: 20x/i T: 35,4-36,2 oC

DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis

44
Ceftriaxone 1gr/12jam Metoclopramid 1amp/8jam NaCl 0,9% 100cc + 200g Apidra insulin 10-10-10 Lantus 12 unit
1420/07/ 2011

Mual dan muntah berkurang Lemas(+)

Sens: CM TD: 110-120/70mmHg HR: 72-76x/i RR: 20-24x/i T: 35,5-36,7 oC

DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis

Tirah baring Diet DM 1500kkal Ivfd NaCl 0,9% Clindamycin 4x300mg Aspilet tab 1x80mg Ketorolac 1amp/jam Ciprofloxacin 400mg/4jam Ceftriaxone 1gr/12jam Metoclopramid 1amp/8jam NaCl 0,9% 100cc + 200g Apidra insulin 10-10-10 Lantus 12 unit Tirah baring Diet DM 1500kkal Ivfd NaCl 0,9% Clindamycin 4x300mg Aspilet tab 1x80mg Ketorolac 1amp/jam Ciprofloxacin 400mg/4jam Ceftriaxone 1gr/12jam Metoclopramid 1amp/8jam NaCl 0,9% 100cc + 200g Apidra insulin 10-10-10 Lantus 12 unit

KGD N/2j PP Darah rutin

2128/07/ 2011

Lemas (+)

Sens: CM TD: 110-120/70mmHg HR: 72-84x/i RR: 16-24x/i T: 35,5-36,6 oC

DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis

KGD N/2j PP

45

DAFTAR MASALAH Nama : Nursiah i/d Kasno : No. 1. 2 3. Tanggal Ditemukan 04/07/ 2011 04/07/2011 04/07/2011 No. RM 2 8 0 4 0 8 Masalah Terkontrol/ Tanggal

MASALAH

Selesai/ Tanggal 14/07/2011 Ulkus diabetik post amputasi digiti 2,3 pedis sinstra

Tetap

DM tipe 2 Ulkus diabetikum Anemia ec penyakit kronis

Kesimpulan : Seorang wanita , 67 tahun dengan diagnosis : DM tipe 2 + ulkus diabetikum + anemia ec penyakit kronis Prognosis : -Ad Vitam -Ad Functionam -Ad Sanactionam : bonam : bonam : dubia ad bonam

46 BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Diabetes Melitus tipe 2 merupakan merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) yang terjadi karena kelainan kerja insulin. Perjalanan penyakit diabetes melitus sangat perlahan bermula dari timbulnya gejala klasik dan intoleransi glukosa hingga terjadinya komplikasi pada mikro dan makrovaskular serta neuropati. Diabetes melitus tipe 2 dapat ditangani dengan menggunakan 4 pilar penanganan yaitu : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan pengobatan farmakologi. Tujuan pengobatan penderita diabetes melitus tipe 2 adalah mencegah morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh gangguan akibat kadar glukosa darah yang tinggi dan tidak terkontrol. Anemia penyakit kronis adalah anemia yang terjadi setelah proses infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita mengalami penyakit tersebut selama 1-2 bulan. Penatalaksanaan anemia penyakit kronik tidak spesifik, biasanya apabila penyakit dasarnya diobati, kondisi anemia akan membaik. 4.2. Saran Deteksi dini dan perawatan diabetes melitus yang efektif dapat menurunkan jumlah morbiditas dan mortalitas. Dengan demikian, pemeriksaan kadar gula darah secara teratur disarankan kepada orang-orang yang memiliki faktor risiko diabetes melitus karena hal tersebut mempunyai arti penting dalam perawatan diabetes melitus. Anemia penyakit kronis disebabkan oleh penyakit dasarnya oleh itu, mengobati penyakit dasarnya adalah paling penting. Namun begitu, penatalaksanaan untuk membaiki kondisi anemia juga bisa dilakukan.

47 DAFTAR PUSTAKA 1. Widyagarini, Amrita.,2007. Hubungan antara Konsentrasi Protein Total Saliva Terhadap pH Saliva pada Penyandang DM Tipe2 Terkontrol Buruk. Avaliable from: http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/128192-R19-OM-166-Hubungan%20 konsentrasi-Pendahuluan.pdf . [Accesed : 21 Juli 2011]

2. Nasution, S., 2011. Gambaran Pengetahuan dan Tindakan Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Terhadap Pentingnya Aktivitas Fisik di RSUP H.Adam Malik.Avaliable from : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21752/5/Chapter%20I.pdf . [Accesed: 21 Juli 2011] 3. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI).,2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI; 4-23. 4. Suyono, Slamet., 2006. Metabolik Endokrin. In :Sudoyo Aru W, Setiyohsdi Bambang, Alwi Idrus, K Marcellus S, Setiati S,editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid III. Jakarta : Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 1849-69. 5. Powers, A C.,2005. Diabetes Mellitus. In: Kasper, DL (eds). Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. USA : McGraw-Hill; 323: 2153-83 6. Kaku, K., 2010. Pathophysiology of Type 2 Diabetes and Its Treatment Policy. Avaliable from : http://www.med.or.jp/english/journal/pdf/2010_01/041_046.pdf. [Accesed : 20 Juli 2011]. 7. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI).,2007. Petunjuk Praktis terapi Insulin pada Pasien Diabetes Melitus. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI;1-19. 8. Frier, B.M., Fisher, M., 2006. Diabetes Mellitus. In: Boon, N.A., Colledge, N.R., Walker, B.R.. Davidsons Principles & Practice of Medicine 20th Edition. UK: Elsevier; 21:805-48 9. MD Guidelines., 2011. Prognosis of Diabetes Mellitus. Avaliable from : http://www.mdguidelines.com/diabetes-mellitus-type-ii/prognosis. [Accesed : 21 Juli 2011].

48 10. Panjaitan S,2003. Beberapa Aspek Anemia Penyakit Kronik Pada Lanjut Usia, Sept 2002- Jan 2003. Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Sumatera Juli 2011]. 11. Muhammad A, Sianipar O. Penetuan Defisiensi Besi Anemia Penyakit Kronis Menggunakan Peran Indeks sTfR-F. Indonesian Jornal of Clinical Pathology and Medical Laboratory. Vol 12, No. 1. Nov 2008.. Hal 9-12. Avaliable from: http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf [Accesed : 21 Juli 2011] Utara, Medan. Hlm: 8-14. Avaliable Universitas from:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6338/1/D0300606.pdf [Accesed : 21

You might also like