You are on page 1of 21

Tinjauan Kasus PENATALAKSANAAN PENDERITA ASMA BRONKIALE Jovyta Augustine Cecilia Young, Sang Ayu Putu Gandhitri, Made

Bagiada Bagian / SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unud/ RSU Sanglah Denpasar, April 2008

1. PENDAHULUAN Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Episode tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.1 Di Indonesia, asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian. Hal tersebut tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) diberbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan empisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan empisema sebagai penyebab kematian (mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000 dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI ASMA Asma bronkial dapat terjadi pada semua umur namun sering dijumpai pada awal kehidupan. Sekitar setengah dari seluruh kasus diawali sebelum berumur 10 tahun dan sepertiga bagian lainnya terjadi sebelum umur 40 tahun. Pada usia anak-anak, terdapat perbandingan 2:1 untuk laki-laki dibandingkan wanita, namun perbandingan ini menjadi sama pada umur 30 tahun. Angka ini dapat berbeda antara satu kota dengan kota yang lain dalam negara yang sama. Di Indonesia prevalensi asma berkisar antara 5 7 %.3,4

Atopi merupakan faktor terbesar yang mempengaruhi perkembangan asma. Asma alergi sering dihubungkan dengan riwayat penyakit alergi pribadi maupun keluarga seperti rinitis, urtikaria, dan eksema. Keadaan ini dapat pula disertai dengan reaksi kulit terhadap injeksi intradermal dari ekstrak antigen yang terdapat di udara, dan dapat pula disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan atau respon positif terhadap tes provokasi yang melibatkan inhalasi antigen spesifik.4 2.2 PATOFISIOLOGI ASMA Patofisiologi asma merupakan proses yang sangat kompleks, dan melibatkan beberapa komponen yaitu inflamasi saluran nafas, obstruksi aliran udara, dan hiperaktivitas bronkus.4 2.2.1 Penyempitan Saluran Napas Penyempitan saluran napas merupakan hal yang mendasari timbulnya gejala dan perubahan fisiologis asma. Ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya penyempitan saluran napas yaitu kontraksi otot polos saluran napas, edema pada saluran napas, penebalan dinding saluran napas dan hipersekresi mukus. 2 Kontraksi otot polos saluran napas yang merupakan respon terhadap berbagai mediator bronkokonstiktor dan neurotransmiter adalah mekanisme dominan terhadap penyempitan saluran napas dan prosesnya dapat dikembalikan dengan bronkodilator. Edema pada saluran napas disebabkan kerena adanya proses inflamasi. Hal ini penting pada eksaserbasi akut. Penebalan saluran napas disebabkan karena perubahan struktural atau disebut juga remodelling.2 Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-sel yang mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan parut. Pada asma kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang komplek yang dikenal dengan airway remodelling.1 2.2.2 Hiperreaktivitas saluran napas Penyempitan saluran respiratorik secara berlebihan merupakan patofisiologis yang secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggungjawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum diketahui dengan pasti tetapi 2

mungkin berhubungan dengan perubahan otot polos saluran napas (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder yang menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran respiratorik terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran respiratorik selama kontraksi otot polos.7,8 2.3 FAKTOR PENCETUS ASMA Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu ( host factor) dan faktor lingkungan. 1 a. Faktor host Genetik Obesitas Jenis kelamin b. Faktor lingkungan 2.4 GAMBARAN KLINIS ASMA Gejala klinis asma klasik terdiri dari trias sesak nafas, batuk, dan mengi. Gejala lainnya dapat berupa rasa berat di dada, produksi sputum, penurunan toleransi kerja, nyeri tenggorokan, dan pada asma alergik dapat disertai dengan pilek atau bersin. Gejala tersebut dapat bervariasi menurut waktu dimana gejala tersebut timbul musiman atau perenial, beratnya, intensitas, dan juga variasi diurnal. Timbulnya gejala juga sangat dipengaruhi oleh adanya faktor pencetus seperti paparan terhadap alergen, udara dingin, infeksi saluran nafas, obat-obatan, atau aktivitas fisik. Faktor sosial juga mempengaruhi munculnya serangan pada pasien asma, seperti karakteristik rumah, merokok atau tidak, karakteristik tempat bekerja atau sekolah, tingkat pendidikan penderita, atau pekerjaan.4 2.5 DIAGNOSIS ASMA1,2 Rangsangan alergen. Rangsangan bahan-bahan di tempat kerja. Infeksi. Merokok Obat. Penyebab lain atau faktor lainnya.

Diagnosis asma ditegakkan bila dapat dibuktikan adanya obstruksi jalan nafas yang reversibel. Dari anamnesis didapatkan adanya riwayat penyakit/gejala : - bersifat episodik, reversibel dengan atau tanpa pengobatan. - gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada, dan berdahak. - gejala timbul/memburuk di malam hari. - respons terhadap pemberian bronkodilator. Selain itu melalui anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat keluarga (atopi), riwayat alergi/atopi, penyakit lain yang memberatkan, perkembangan penyakit dan pengobatan. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda-tanda obstruksi saluran nafas dan tanda yang khas adalah adanya mengi pada auskultasi. Namun pada sebagian penderita dapat ditemukan suara nafas yang normal pada auskultasi walaupun pada pengukuran faal paru telah terjadi penyempitan jalan nafas. Pengukuran faal paru dilakukan untuk menilai obstruksi jalan nafas, reversibiliti kelainan faal paru, variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiper-responsif jalan nafas. Pemeriksaan faal paru yang standar adalah pemeriksaan spirometri dan peak expiratory flow meter (arus puncak ekspirasi). Pemeriksaan lain yang berperan untuk diagnosis antara lain uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau pengukuran IgE spesifik serum, namun cara ini tidak terlalu bernilai dalam mendiagnosis asma, hanya membantu dalam mengidentifikasi faktor pencetus. 2.6 KLASIFIKASI ASMA1,2
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Berat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis (Sebelum Pengobatan)1 Derajat asma Gejala Gejala malam I. Intermiten Bulanan Gejala < 1x/minggu 2x/bulan Tanpa gejala diluar serangan Serangan singkat II. Persisten Ringan Mingguan Gejala > 1x/minggu, tapi < > 2x/bulan 1x/hari Serangan dapat mengganggu

Faal paru APE 80% VEP1 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik Variabilitas APE < 20% APE 80% VEP1 80% nilai prediksi APE 80% nilai terbaik Variabilitas APE 20-30%

aktivitas dan tidur Membutuhkan bronkodilator setiap hari III. Persisten Sedang Harian Gejala setiap hari >1x/minggu APE 60-80% VEP1 60-80% nilai prediksi APE 60-80% nilai terbaik Variabilitas APE > 30% bronkodilator

Serangan menggangu aktivitas


dan tidur Membutuhkan setiap hari IV. Persisten Berat Kontinyu Gejala terus menerus Sering kambuh Aktivitas fisik terbatas

Sering

APE 60% VEP1 60% nilai prediksi APE 60% nilai terbaik Variabilitas APE > 30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Asma pada Penderita dalam Pengobatan1 Tahapan pengobatan yang digunakan saat penilaian Tahap 1 Tahap 2 Gejala dan faal paru dalam pengobatan Intermiten Pesisten ringan Tahap I: Intermiten Gejala < 1x/mggu Serangan singkat Gejala malam < 2x/bln Faal paru normal diluar serangan Tahap II: Persisten Ringan Gejala >1x/mggu, tapi <1x/hari Gejala malam >2x/bln, tapi <1x/mggu Faal paru normal diluar serangan Tahap III: Persisten Sedang Gejala setiap hari Serangan mempengaruhi tidur dan aktivitas Gejala malam >1x/mggu 60%<VEP1<80% nilai prediksi 60%<APE<80% nilai terbaik Tahap III: Persisten Berat Gejala terus menerus Serangan sering Gejala malam sering VEP160% nilai prediksi, atau APE60% nilai terbaik Intermiten Persisten ringan

Tahap 3 Persisten sedang Persisten sedang

Persisten ringan

Persisten sedang

Persisten berat

Persisten sedang

Persisten berat

Persisten berat

Persisten berat

Persisten berat

Persisten berat

2.7 PENATALAKSANAAN ASMA1-10

Menurut pedoman diagnosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia tahun 2004, ada 7 komponen program penatalaksanaan asma dimana 6 di antaranya menyerupai komponen pengobatan yang dianjurkan oleh GINA dan ditambah satu komponen yaitu pola hidup sehat.1 EDUKASI Edukasi yang diberikan antara lain adalah pemahaman mengenai asma itu sendiri, tujuan pengobatan asma, bagaimana mengidentifikasi dan mengontrol faktor pencetus, obat-obat yang digunakan berikut efek samping obat, dan juga penanganan serangan asma di rumah. PENILAIAN DERAJAT BERATNYA ASMA Penilaian klinis berkala antara 1-6 bulan dan monitoring asma oleh penderita sendiri mutlak dilakukan pada penatalaksanaan asma. A. Pemantauan tanda gejala asma. B. Pemeriksaan faal paru IDENTIFIKASI DAN PENGENDALIAN FAKTOR PENCETUS Sebagian penderita dengan mudah mengenali fakor pencetus, akan tetapi sebagian lagi tidak dapat menegtahui faktor pencetus asmanya. MERENCANAKAN DAN MEMBERIKAN PENGOBATAN JANGKA PANJANG Asma terkontrol adalah kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan. Dalam menetapkan atau merencanakan pengobatan jangka panjang untuk mencapai atau mempertahankan keadaan asma yang terkontrol, terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan: 1. Medikasi (obat-obatan) 2. Tahapan pengobatan 3. Penanganan asma mandiri (pelangi asma) Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan nafas, terdiri atas pengontrol dan pelega. A. Pengontrol Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol adalah: a. Glukokortikosteroid inhalasi 6

Adalah medikasi jangka panjang yang paling efektif untuk mengontrol asma. Berbagai penelitian menunjukkan penggunaan steroid inhalasi menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki kualitas hidup. Efek samping adalah efek samping lokal seperti kandidiasis orofaring, disfonia dan batuk karena airitasi saluran nafas atas. b. Glukokortikosteroid sistemik Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Kemungkinan digunakan sebagai pengontrol pada keadaan asma persisten berat, tetapi penggunaannya terbatas mengingat risiko efek sistemik. Untuk jangka panjang, lebih efektif menggunakan steroid inhalasi daripada steroid oral selang sehari. Jika steroid oral terpaksa harus diberikan, maka dibutuhkan selama jangka waktu tertentu. Efek samping jangka panjang adalah osteoporosis, hipertensi, diabetes, supresi aksis adrenal pituitari hipotalamus, katarak, glaukoma, obesitas, penipisan kulit, striae, dan kelemahan otot. c. Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium) Mekanisme yang pasti belum sepenuhnya dipahami, tetapi diketahui merupakan antiinflamasi nonsteroid, menghambat pelepasan mediator dari sel mast melalui reaksi yang diperantarai IgE yang bergantung pada dosis dan seleksi serta supresi pada sel inflamasi tertentu (makrofag, eosinofil, monosit), selain juga kemungkinan menghambat saluran kalsium pada sel target. Pemberiannya secara inhalasi, digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Efek samping umumnya minimal seperti batuk atau rasa tidak enak obat saat melakukan inhalasi. d. Metilsantin Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Sebagai pelega, teofilin/aminofilin oral diberikan bersama/kombinasi dengan agonis 2 kerja singkat, sebagai alternatif bronkodilator jika dibutuhkan. Teofilin atau aminofilin lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, dimana pemberian jangka panjang efektif mengontrol gejala dan memperbaiki faal paru. Preparat lepas lambat mempunyai aksi/waktu kerja yang lama sehingga digunakan untuk mengontrol gejala asma malam dikombinasi dengan antiinflamasi yang lazim. Efek samping berpotensi terjadi pada dosis tinggi (10 mg/kgBB/hari 7

atau lebih) dengan gejala gastrointestinal seperti nausea, muntah adalah efek samping yang paling dulu dan sering terjadi. Efek kardiopulmoner seperti takikardi, aritmia dan kadangkala merangsang pusat nafas. Intoksikasi teofilin dapat menyebabkan kejang bahkan kematian. e. Agonis 2 kerja lama Termasuk agonis 2 kerja lama inhalasi adalah salmoterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>12 jam). Agonis 2 memiliki efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Pada pemberian jangka lama mempunyai efek antiinflamasi, walau kecil dan mempunyai efek protektif terhadap rangsang bronkokonstriktor. Pemberian inhalasi agonis 2 kerja lama menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik dibandingkan preparat oral. Karena pengobatan jangka panjang dengan agonis 2 kerja lama tidak mengubah inflamasi yang sudah ada, maka sebaiknya selalu dikombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, dimana penambahan agonis 2 kerja lama inhalasi akan memperbaiki gejala, menurunkan asma malam, memperbaiki faal paru, menurunkan kebutuhan agonis 2 kerja singkat (pelega) dan menurunkan frekuensi serangan asma. Agonis 2 kerja lama inhalasi dapat memberikan efek samping sistemik (rangsangan kardiovaskuler, tremor otot rangka dan hipokalemia) yang lebih sedikit atau jarang daripada pemberian oral. f. Leukotriene modifiers Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerjanya menghambat 5-lipoksigenase sehingga memblok sintesis semua leukotrien (contohnya zileuton) atau memblok reseptor-reseptor leukotrien sisteinil pada sel target (contohnya montelukas, pranlukas, zafirlukas). Mekanisme kerja tersebut menghasilkan efek bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga mempunyai efek antiinflamasi. B. Pelega a. Agonis 2 kerja singkat 8

Mempunyai waktu mulai kerja singkat (onset) yang cepat. Formoterol mempunyai onset cepat dan durasi yang lama. Pemberian dapat secara inhalasi atau oral, pemberian inhalasi mempunyai onset yang lebih cepat dan efek samping minimal/tidak ada. Mekanisme kerja sebagaimana agonis 2 yaitu relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, menurunkan permeabilitas pembuluh darah dan memodulasi pelepasan mediator dari sel mast dan basofil. Efek sampingnya rangsangan kardiovaskular, tremor otot rangka dan hipokalemia. Pemberian secara inhalasi jauh lebih sedikit menimbulkan efek samping. b. Metilsantin Termasuk dalam bronkodilator walaupun efek bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis 2 kerja singkat. Teofilin kerja singkat tidak menambah efek bronkodilatasi agonis 2 kerja singkat dosis adekuat, tetapi mempunyai manfaat untuk respiratory drive, memperkuat fungsi otot pernafasan dan mempertahankan respon terhadap agonis 2 kerja singkat diantara pemberian satu dengan berikutnya. c. Antikolinergik Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya memblok efek pelepasan asetilkolin dari saraf kolinergik dari jalan nafas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks bronkokonstriksi yang disebabkan iritan.. Efek samping berupa rasa kering di mulut dan rasa pahit. d. Adrenalin Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai berat, bila tidak tersedia agonis 2, atau tidak respon dengan agonis 2 kerja singkat. C. Tahapan penanganan asma Pengobatan jangka panjang berdasarkan derajat berat asma, agar dapat tercapai tujuan pengobatan dengan menggunakan medikasi seminimal mungkin. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) menyarankan stepdown therapy. D. Pengobatan berdasarkan derajat berat asma Tabel 3. Pengobatan Sesuai Berat Asma1
Semua tahapan : ditambahkan agonis 2 kerja singkat untuk pelega bila dibutuhkan, tidak > 3-4x/hari

Berat Asma Asma Intermiten Asma Persisten Ringan

Medikasi Pengontrol Harian Tidak perlu Glukokortikosteroid inhalasi (200-400ug BD/hari atau equivalennya) Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis 2 kerja lama -

Alternatif/Pilihan Lain -

Alternatif Lain

Teofilin lepas lambat Kromolin Leukotrien modifiers Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah teofilin lepas lambat, atau

Asma Persisten Sedang

Ditambah agonis
Ditambahkan teofilin lepas lambat

2 kerja lama oral, atau

Kombinasi inhalasi

glukokortikosteroid (400800ug BD/hari atau equivalennya) ditambah agonis 2 kerja lama oral, atau inhalasi dosis tinggi (>800ug BD atau equivalennya) atau

Glukokortikosteroid

Glukokortikosteroid

inhalasi (400-800ug BD atau equivalennya) ditambah leukotriene modifiers

Asma Persisten Berat

Kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (>800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis 2 kerja lama, ditambah 1 dibawah ini: - teofilin lepas lambat - leukotriene modifiers - glukokortikosteroid oral

Prednisolon/ metil prednisolon oral selang sehari 10 mg ditambah agonis 2 kerja lama oral, ditambah teofilin lepas lambat

Semua tahapan : bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3 bulan, kemudian diturunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol

MENETAPKAN PENGOBATAN PADA SERANGAN AKUT Kunci awal dalam penanganan serangan akut adalah penilaian berat serangan.

10

Tabel 4. Klasifikasi Berat Serangan Asma Akut1


Gejala dan Tanda Sesak nafas Posisi Cara berbicara Kesadaran Berat Serangan Akut Ringan Berjalan Dapat tidur terlentang Satu kalimat Mungkin gelisah Sedang Berbicara Duduk Beberapa kata Gelisah Berat Istirahat Duduk membungkuk Kata demi kata Gelisah Mengantuk, gelisah, kesadaran menurun Keadaan Mengancam Jiwa

Frekuensi nafas Nadi Pulsus paradoksus

< 20/menit < 100 10 mmHg -

20-30/menit 100-120 10-20 mmHg +

> 30 menit > 120 + > 25 mmHg + Bradikardia kelelahan otot Torakoabdo minal paradoksal Silent chest

Otot bantu nafas dan retraksi suprasternal Mengi APE PaO2 PaCO2 SaO2

Akhir ekspirasi paksa > 80% > 80 mmHg < 45 mmHg > 95%

Akhir ekspirasi 60-80% 80-60 mmHg < 45 mmHg 91-95%

Inspirasi dan ekspirasi < 60% < 60 mmHg > 45 mmHg < 90%

Tabel 5. Rencana Pengobatan Serangan Asma Berdasarkan Berat Serangan dan Tempat Pengobatan1
Serangan Pengobatan Ringan Terbaik: Aktivitas relatif normal Inhalasi agonis 2 Berbicara satu kalimat dalam 1 Alternatif: nafas Kombinasi oral agonis 2 dan Nadi < 100 teofilin APE > 80% Tempat pengobatan Di rumah Di praktek dokter/ klinik/ puskesmas

11

Sedang Jalan jarak jauh timbulkan gelaja Berbicara beberapa kata dalam 1 nafas Nadi 100-120 APE 60-80%

Terbaik: Nebulasi agonis 2 @ 4 jam Alternatif: - Agonis 2 subkutan - Aminofilin iv - Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc Oksigen bila mungkin Kortikosteroid sistemik

Darurat gawat/RS Klinik Praktek dokter Puskesmas

Berat Terbaik: Sesak saat istirahat Nebulasi agonis 2 @ 4 jam Berbicara kata perkata dalam 1 Alternatif: nafas - Agonis 2 sc/iv Nadi > 120 - Adrenalim 1/1000 0,3 mL sc APE < 60% atau 100 L/dtk Aminofilin bolus dilanjutkan drip Oksigen Kortikosteroid iv Mengancam jiwa Kesadaran berubah /menurun Gelisah Sianosis Gagal nafas Seperti serangan akut berat Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik

Darurat gawat/RS Klinik

Darurat gawat/RS ICU

KONTROL SECARA TERATUR Dua hal penting yang harus diperhatikan dokter dalam penatalaksanaan asma jangka panjang adalah melakukan tindak lanjut/follow up teratur dan merujuk ke ahli paru pada keadaan-keadaan tertentu. POLA HIDUP SEHAT Pola hidup sehat yang dianjurkan antara lain adalah meningkatkan kebugaran fisik melalui olahraga, penderita dianjurkan untuk berhenti atau tidak pernah merokok karena rokok merupakan oksidan yang dapat menimbulkan inflamasi dan menyebabkan ketidakseimbangan protease antiprotease serta penderita asma dianjurkan untuk tidak bekerja di tempat kerja yang merupakan faktor pencetus asma. 3. KASUS Seorang wanita usia 24 tahun suku Bali datang ke IRD Penyakit Dalam RSUP Sanglah dengan keluhan sesak nafas. Sesak dirasakan tiba-tiba saat pasien berbaring saat akan tidur malam, 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Sesak bertambah berat saat pasien duduk atau 12

beraktivitas. Sesak dirasakan seperti rasa penuh dan berat di dada. Sesak nafas sebenarnya sudah dirasakan kurang lebih 2 minggu yang lalu dan semakin hari semakin memberat. Pada saat sesak nafas, penderita juga merasakan rasa tidak nyaman di dada. Selain itu, penderita juga mengeluarkan suara ngik-ngik pada saat mengalami serangan sesak. Sesak juga membuat penderita sukar berbicara dan hanya dapat berbicara terputus-putus. Saat pemeriksaan sesak nafas tidak dikeluhkan. Penderita mengalami batuk kurang lebih sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit. Batuk hilang timbul dan semakin memberat. Batuk tidak disertai dahak maupun darah. Batuk lebih sering dirasakan pada malam hari dan pada saat melakukan aktivitas. Saat ini batuk masih dialami penderita namun sudah berkurang dibanding sebelumnya. Selain itu penderita juga mengeluh keluar cairan dari hidungnya secara spontan, berwarna putih jernih yang disertai dengan gatal-gatal pada hidung sejak 2 minggu SMRS. Saat ini keluhan keluar cairan dari hidung masih dirasakan oleh penderita namun sudah membaik. Pada saat ini penderita tidak dalam keadaan hamil maupun menstruasi. Penderita sebelumnya juga tidak ada mengkonsumsi makanan yang mengandung banyak pengawet seperti snack ringan, makanan ataupun minuman kaleng. Penderita tidak memiliki keluhan meskipun sedang berada di sekitar orang yang sedang merokok. Penderita tidak pernah mengkonsumsi udang karena penderita tidak menyukainya. Sebelum serangan sesak, penderita tidak melakukan aktivitas yang berat maupun sedang dalam keadaan emosional. Penderita menyatakan tidak memiliki riwayat alergi terhadap makanan maupun debu. Mual tidak ada, muntah tidak ada, nafsu makan menurun, BAK & BAB dirasakan biasa, tidak ada keluhan. Penderita mulai merasakan sesak sejak ia kecil, tetapi tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya. Selama dua minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien hampir setiap hari merasakan sesak napas. Untuk mengatasinya, penderita membeli obat di warung (Neonafazin). Selama dua minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita sudah 2 kali berobat ke puskesmas karena sesak mengganggu, tetapi ia lupa jenis obat yang diberikan. Tetapi sesak yang dirasakan sebelumnya tidak pernah seberat ini. Dari riwayat keluarga, ayah penderita menderita asma sejak kecil namun tidak mengkonsumsi obat asma secara teratur karena dikatakan asma ayahnya tidak pernah kambuh lagi. 13

Penderita adalah seorang ibu rumah tangga, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit pakaian. Gatal-gatal pada hidung sering dirasakan pada saat bekerja sebagai penjahit. Penderita bekerja dari pukul 08.00-16.00 wita. Gejala sesak, pilek dan batuk sering mengganggu aktivitasnya. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik kesadaran pasien Compos Mentis (E4V5M6), tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 88 x/menit, teratur, & isi cukup, pernafasan spontan 20 kali/menit, temperatur axila 36,70C, tinggi badan 155 cm, berat badan 50 kg. Pemeriksaan fisik mata tidak didapatkan anemia, juga tidak ada ikterus pada mata kanan dan kiri, refleks pupil positif pada mata kanan dan kiri, isokor. THT dalam batas normal, leher: JVP PR 0cm H20. Pada inspeksi thoraks didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis maupun dinamis, pada palpasi fremitus vokal normal pada kedua paru, perkusi sonor pada kedua paru, auskultasi didapatkan suara nafas tipe vesikuler, tidak ada ronki dan didapatkan wheezing pada kedua paru. Pemeriksaan fisik jantung, inspeksi iktus kordis tidak tampak, palpasi iktus kordis teraba dua jari sebelah medial dari garis pertengahanan klavikula kiri ruang sela iga IV, pada perkusi didapatkan batas-batas jantung yaitu batas atas: ruang sela iga II, batas kanan: garis parasternal kanan, batas kiri : garis pertengahan klavikula kiri, pada auskultasi didapatkan bunyi jantung pertama dan kedua tunggal, teratur, tidak ada suara tambahan. Pada pemeriksaan abdomen, secara inspeksi tidak terdapat distensi, pada auskultasi bising usus positif normal, dari palpasi hepar dan lien tidak teraba. Traube space timpani. Tidak terdapat nyeri tekan pada perut. Pada pemeriksaan ballotement tidak didapatkan pembesaran ginjal. Perkusi perut didapatkan timpani, tidak ditemukan adanya ascites, serta nyeri ketok Costo Vertebral Angle negatif. Pada pemeriksaan fisik ekstremitas, secara inspeksi terlihat warna kulit tangan dan kaki normal. Tidak ditemukan adanya oedem pada kedua tangan maupun kaki. Pada palpasi didapatkan akral yang hangat pada kedua tangan dan kaki. Pemeriksaan penunjang didapatkan: Pemeriksaan WBC (K/uL) RBC (M/Ul) HGB (g/dl) HCT (%) PLT (K/uL) 25-02-2008 13,1 4,64 13,6 39,9 347 Neu Lym Mono Eosi Baso 10,41 1,36 0,61 0,70 0,0

14

Pemeriksaan

25-02-2008

BUN Crea Glu AST ALT Ureum HCO3 act HCO3 std BE (ect) BE(B) 19,4 mmol/l 21,3 mmol/l -5,6 mmol/l -4,7 mmol/l

10,2 0,88 98 18 12 21,8

AGD (25-02-2008) pH pCO2 pO2 O2 sat 7,39 32 mmHg 157 mmHg 99%

Hasil foto Rontgen Thorax PA (25 Februari 2008) didapatkan: Po Cor : apex bersih, infiltrate tidak ada, sudut costofrenikus tajam : CTR 48 %, pinggang jantung (+)

Kesan : Normal thorax Dari data tersebut disimpulkan penderita dengan : Serangan asma akut pada asma persisten sedang Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini untuk serangan asma dan pengobatan di MRS adalah O2 2 liter/menit, nebulizer combivent @ 4 jam, aminofilin i.v 5 mg/kgBB (bolus) dilanjutkan dengan IVFD drip aminofilin 1 ampul (24 mg) dalam D5% 20 tts makro/mnt, metil prednisolon injeksi 62,5 mg iv dan bromhexin 3 x C1. Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan Spirometri dan IgE total. Monitoring yang dilakukan pada kasus ini adalah keluhan sesak nafas dan vital sign. Prognosis pasien ini adalah dubius ad bonam. 4. PEMBAHASAN Menurut literatur yang ada, keluhan sesak nafas dapat disebabkan oleh kelainan paru dan di luar paru seperti penyakit jantung, anemia berat, asites dan sebagainya. Sesak yang disebabkan oleh penyakit jantung biasanya terjadi ketika penderita beraktivitas (dyspneu on effort) dan membaik dengan beristirahat terutama dengan posisi setengah duduk (orthopneu). Selain itu ada disertai dengan tanda-tanda kelainan jantung yang lainnya. Apabila sesak dikarenakan anemia berat, sebagian besar penderita datang dengan keluhan utama sindrom anemia dan disertai tanda-tanda anemia lainnya. Sesak yang dialami pada pasien ini 15

kemungkinan besar mengarah ke kelainan paru dimana penyebab sesak karena kelainan di paru itu sendiri bisa berasal dari penyakit saluran nafas, penyakit parenkimal, penyakit vaskular paru, penyakit pleura, dan penyakit dinding paru. Pada pasien ini, keluhan sesak nafas mengarah ke kelainan pada saluran nafas karena keluhan sesak nafas pada pasien ini disertai dengan adanya bunyi ngik pada saat mengeluarkan nafas (expiratory wheezing); dalam hal ini jelas ada penyempitan dari saluran nafas perifer yang dapat disebabkan oleh spasme dan/atau edema dan/atau mukus atau benda asing (corpus alienum). Serangan sesak nafas yang timbulnya mendadak dapat terjadi pada beberapa kasus antara lain asma akut dan pneumothorak, sementara bila timbulnya secara perlahan-lahan dapat terjadi pada bronkitis kronik serta karsinoma paru. Pada kasus ini, serangan sesak nafas yang terjadi timbulnya secara mendadak/akut, sehingga kemungkinan besar merupakan suatu serangan asma akut. Saat pemeriksaan sesak napas sudah tidak dikeluhkan, kemungkinan karena pasien sudah mendapatkan pengobatan. Ini menandakan bahwa gejala pasien berespons terhadap pengobatan. Dari keluhan batuk dapat dipikirkan beberapa kelainan yang menyebabkan batuk antara lain penyakit saluran nafas akut, penyakit saluran nafas kronis, penyakit parenkimal, penyakit kardiovaskular, iritan lingkungan, benda asing, neoplasma, dan alergi. Batuk yang dialami penderita sejak 1 bulan menandakan proses ini merupakan proses kronis ( menurut literatur, batuk kronis berlangsung 3 minggu atau lebih ). Batuk yang tidak disertai dahak maupun darah menandakan tidak adanya proses infeksi disana. Batuk yang dirasakan hilang timbul dan muncul sewaktu-waktu serta lebih sering dirasakan pada malam hari dan pada saat melakukan aktivitas. menandakan batuk dipengaruhi oleh keadaan-keadaan khusus, seperti udara dingin dan aktivitas fisik. Dari keluhan keluar cairan dari dari hidung dapat dipikirkan mengenai infeksi saluran napas atas maupun rhinitis alergi. Karena cairan yang keluar berwarna putih jernih disertai dengan gatal-gatal pada hidung maka rhinitis alergi yang menjadi kemungkinan terbesar. Menurut kepustakaan, mayoritas pasien asma memiliki riwayat atau bukti-bukti rhinitis dan lebih dari 30% pasien dengan rhinitis persisten akan berkembang menjadi asma. Rhinitis dapat menjadi faktor resiko munculnya gejala asma. Rhinitis dan asma memiliki beberapa faktor resiko yang sama seperti alergen didalam dan diluar rumah seperti debu rumah dan kutu, serbuk bunga, dan faktor tidak spesifik seperti aspirin. Oleh karena itu, Allergic 16

Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA) merekomendasikan dimana ada asma harus dipikirkan kemungkinan pada pasien tersebut mengalami rhinitis. Dari riwayat penyakit sebelumnya didapatkan bahwa penderita mulai merasakan sesak sejak ia kecil, tetapi tidak pernah masuk rumah sakit sebelumnya. Selama dua minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien hampir setiap hari merasakan sesak napas. Keterangan penderita ini dapat mencerminkan beratnya penyakit, dimana dalam kasus ini asma yang diderita penderita termasuk dalam derajat asma persisten sedang. Dari riwayat keluarga, ayah penderita menderita asma sejak kecil namun tidak mengkonsumsi obat asma secara teratur karena dikatakan asma ayahnya tidak pernah kambuh lagi. Data ini menunjukkan adanya riwayat atopi di keluarga penderita, dimana riwayat atopi berperan besar terhadap terjadinya penyakit asma. Penderita adalah seorang ibu rumah tangga, yang sehari-hari bekerja sebagai penjahit pakaian. Gatal-gatal pada hidung sering dirasakan pada saat bekerja sebagai penjahit. Jika dilihat dari lingkungan kerja penderita yang jauh dari polusi, hal ini menunjukkan bahwa pekerjaan penderita tidak berhubungan dengan asap rokok atau polusi udara dimana beberapa hal tersebut merupakan faktor-faktor tersering yang mencetuskan asma. Tetapi penderita juga mengatakan gatal-gatal pada hidung sering dirasakan pada saat bekerja sebagai penjahit, sehingga bisa dipikirkan bahwa ada faktor dari pekerjaannya yang dapat mencetuskan asma, terutama debu. Dari jam kerja penderita dan jenis pekerjaannya dapat dipikirkan bahwa bukan aktivitas fisik yang berlebihanlah yang mencetuskan asmanya. Kesimpulan yang dapat diambil dari anamnesis di atas yaitu adanya beberapa data yang mengarahkan diagnosis ke asma antara lain : Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada Sesak nafas mendadak, disertai suara ngiik Sesak nafas bersifat episodik, membaik dengan pengobatan Gejala memburuk di malam hari Didapatkan adanya riwayat atopi di keluarga

Kesimpulan anamnesis tersebut kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisik yang dilakukan tanggal 27 Februari 2008, dimana didapatkan kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/70 mmHg, denyut nadi 80 x/menit (ketika serangan asma terjadi (25/2/2008), denyut nadi pasien 122 x / menit), Laju pernafasan 24 x/mnt (ketika serangan 17

asma terjadi (25/2/2008), laju pernafasan penderita 32 x/menit) reguler, ekspirasi memanjang. Temperatur axilla 36,8C (ketika serangan asma terjadi (25/2/2008), temperatur axilla penderita adalah 36,8 C), tinggi badan 155 cm, berat badan 50 kg. Hal-hal ini merupakan komponen penting yang berperan dalam menentukan klasifikasi derajat serangan asma akut. Pada pemeriksaan paru : inspeksi didapatkan dada simetris kanan dan kiri saat statis maupun dinamis, pada palpasi vokal fremitus normal pada kedua paru, perkusi sonor pada kedua paru, auskultasi didapatkan suara nafas tipe vesikuler, tidak dipatkan rhonki, didapatkan wheezing pada kedua paru. Pada pemeriksaan fisik jantung, inspeksi tidak tampak ictus cordis; palpasi teraba ictus cordis pada ruang sela iga V midclavicular line kiri; pada perkusi didapatkan batas atas jantung pada sela iga II kiri, batas kanan pada parasternal kanan, batas kiri pada midclavicular line kiri; pada auskultasi terdengar bunyi jantung S1S2 tunggal reguler tanpa adanya murmur. Pada pemeriksaan fisik ekstremitas didapatkan akral yang hangat pada kedua tangan dan kaki dan tidak ditemukan adanya edema maupun sianosis pada keempat ekstremitas. Data yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang untuk semakin menguatkan diagnosis dan melihat apakah ada komplikasi akibat penyakit dasar. Pemeriksaan hematologi rutin menunjukkan adanya leukositosis yaitu 13,1 K/uL. Hal ini menunjukkan adanya proses infeksi. Pemeriksaan kimia darah, AGD dan rontgen toraks dalam batas normal. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, penderita didiagnosis dengan : Serangan asma akut pada asma persisten sedang Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini untuk serangan asma dan pengobatan di MRS adalah O2 2 liter/menit, nebulizer combivent @ 4 jam, aminofilin i.v 5 mg/kgBB (bolus) dilanjutkan dengan IVFD drip aminofilin 1 ampul (240 mg) dalam D5% 20 tts makro/mnt dan metil prednisolon injeksi 62,5 mg iv. 1. Pemberian O2 bertujuan untuk mencapai kadar saturasi oksigen 92%. 2. Pemberian nebulizer combivent telah sesuai dengan pengobatan serangan asma berat berfungsi untuk relaksasi otot polos saluran nafas, meningkatkan pembersihan mukosilier, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah, memodulasi pelepasan mediator sel mast dan basofil. Kombinasi dengan 18

ipratropium bromide adalah untuk meningkatkan respon bronkodilatasi dengan cara memblok pelepasan asetilkolin saraf kolinergik jalan nafas. 3. Pada penderita asma serangan berat diberikan aminofilin bolus yang dilanjutkan drip. Penderita ini mendapat aminofilin i.v 5 mg/kgBB (bolus). Sedangkan untuk drip penderita mendapat dosis 1 ampul (240 mg) aminofilin dalam D5% 20 tts makro/mnt. Dosis tersebut sudah mendekati dosis yang disarankan yaitu sebesar 0,5-0,9 mg/kgBB/jam. Aminofilin disini berfungsi sebagai bronkodilator. 4. Glukokortikosteroid sistemik diberikan untuk mempercepat resolusi pada serangan asma, terutama jika pemberian agonis 2 kerja singkat inhalasi pada pengobatan awal tidak memberikan respon, serangan terjadi walau penderita sedang dalam pengobatan, serangan asma berat. Dosis yang didapat penderita sebesar 62,5 mg intravena, sesuai dengan analisis meta yang menunjukkan glukokortikosteroid sistemik metil prednisolon 60-80 mg atau 300-400 mg hidrokortison atau equivalennya adalah adekuat untuk penderita dalam perawatan. Sebagai obat pengontrol asma persisten sedang yaitu kombinasi antara inhalasi glukokortikosteroid (>800ug BD/hari atau equivalennya) dan agonis 2 kerja lama, ditambah teofilin lepas lambat atau leukotriene modifiers atau glukokortikosteroid oral. Pada pasien ini direncanakan pemeriksaan Spirometri dan IgE total. Monitoring yang dilakukan pada kasus ini adalah keluhan sesak nafas dan vital sign. Prognosis pasien ini adalah dubius ad bonam.

19

DAFTAR PUSTAKA 1. Mangunegoro, H. Widjaja, A. Sutoyo, DK. Yunus, F. Pradjnaparamita. Suryanto, E. et al. (2004), Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Balai Penerbit FKUI, Jakarta. 2. OByrne, P. Bateman, ED. Bosquet, J. Clark, T. Otha, K. Paggiaro, P. et al. (2006), Global Initiative for Asthma Global Strategy for Asthma Management and Prevention, Ontario Canada. 3. Sundaru, H. Sukamto. (2006), Asma Bronkial, In: Sudowo, AW. Setiyohadi, B. Alwi, I. Simadibrata, M. Setiati, S. (eds), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, pp: 247-252. 4. McFaden, ER. (2005), Asthma, In: Kasper, DL. Pauci, AS. Longo, DL. Draunwald, E. Hauser, SL. Jameson, JL. (eds), Harrisons Principal of Medicine, 16th ed, Vol 2, McGraw-Hill, Philladelphia, pp:1508-1515. 5. Chesnutt, MS. Prendergast, TJ. (2007), Lung, In: McPhee, SJ. Papadakis, MA. (eds) Current Medical Diagnosis and Treatment, 46th ed, McGrawHill, Philadelphia, pp: 230241. 6. Rani, AA. Soegondo, S. Nasir, UAZ. Wijaya, IP. Nafrialdi. Mansjoer, A. (2006), Panduan Pelayanan Medik Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, PB PAPDI, Jakarta. 7. Gross KM, Ponte DC. New Strategies in The Medical Management in Asthma. American February 19th 2008 Family Physician. Available at : http://www.aafp.org/afp/980700ap/gross.html Last update: July 1st 1998. Accessed:

20

8. Kavuru

MS,

Lang

DM,

Erzarum

SC.

Asthma.

Available

at: Last

www.clevelandclinicmedical.com/medicalpubs/diseasemanagemen/asthma.htm. update : March 2007. Accessed: February 18th 2008

9. Boushey HA. (2001), Drugs Used in Asthma, In: Katzung BG (eds), Basic and Clinical Pharmacology, 8th ed, Lange Medical Book/McGraw-Hill, Philadelphia, pp: 333-349 10. Trevor AJ, Katzung BG, Masters SB. (2005), Katzung&Trevors Pharmacology, 7th ed, McGraw Hill, Philadelpia, pp 172-177

21

You might also like