You are on page 1of 11

BAB 1 Pendahuluan Meningitis tuberculosis adalah salah satu infeksi sistem saraf pusat yang terbanyak dan memiliki

tantangan dari diagnostik dan managemen yang signifikan terutama di Negara berkembang. Meskipun dengan pemberian kemoterapi obat anti tuberculosis (OAT) , 20-50% pasien meninggal dan pasien yang masih hidup menderita defisit neurologis yang signifikan. Kematian akibat meningitis tuberculosis mempunyai hubungan dengan keterlambatan dalam diagnosis dan terapi. Meningitis adalah suatu radang pada meningens (selaput yang melindungi otak dan batang otak), disebabkan oleh bakteri dan virus yang dapat terjadi secara akut atau kronik. Berdasarkan perubahan pada cairan otak , meningitis dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Pada meningitis serosa, ditemukan cairan otak berwarna jernih sampai xantokrom sedangkan pada meningitis purulenta, cairan otak berwarna opalesen sampai keruh. Meningitis serosa dibagi menjadi dua yaitu,meningitis serosa viral yang disebabkan oleh infeksi virus dan meningitis tuberculosis yang merupakan meningitis yang paling sering dijumpai dan paling berbahaya kerane berbeda dengan meningitis lainnya dari perjalanan penyakit yang lambat dan progresif. Meningitis tuberculosis sendiri terjadi akibat komplikasi dari penyebaran tuberculosis primer yang biasanya berasal dari paru.

BAB 2 Pembahasan I. Definisi Meningitis adalah inflamasi/radang pada meningens , suatu lapisan otak dan saraf tulang belakang akibat penyebaran infeksi bakteri atau virus. Pembengkakan yang disebabkan meningitis biasanya mencetuskan tanda dan gejala sepeti nyeri kepala, demam dan kekakuan leher. Kebanyakan kasus meningitis disebabkan oleh infeksi virus, tetapi infeksi fungal dan bakteria boleh menyebabkan meningitis. Berdasarkan penyebab infeksi, meningitis boleh sembuh dengan sendiri.

II.

Epidemiologi Meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan di Indonesia karenamorbiditasnya selain bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh ses eorang j u g a d i p e n g a r u h i o l e h f a k t o r s o s i a l e k o n o m i , t i n gk a t k e s a d a r a n k e s e h a t a n masyarakat, status gizi dan faktor genetik tertentu yang berhubungan dengan faktor imun.

III.

Etiologi Meningitis tuberculosis pertama kali dideskripsi sebagai entiti patologi yang jelas pada tahun 1836 dan Robert Koch mendemonstrasikan bahawa tuberculosis disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis pada tahun 1882. M. Tuberkulosis adalah bakteri anerob gram positif berbentuk batang dan tidak dapat diwarnakan dengan baik disebabkan dinding sel yang tebal yang terdiri dari lipud, peptidoglikan dan arabiinomannans. Pewarnaan Ziehl-Neelsen menggunakan semua property dari dinding sel untuk membentuk kompleks yang mencegah dekolorisasi oleh asam atau alcohol. Karekteristik dari M. Tuberkulosis membolehkan ia menyebabkan penyakit yang kompleks dan masih belum dipahami sepenuhnya. Telah diterima bahwa individu yang mempunyai infeksi paru yang aktif mempunyai kemampuan untuk mengtransmisi penyakit kepada orang lain. Bukti eksperimental menunjukkan virulensi dari strain individual juga signifikan dan mutasi gene tertentu menunjukkan virulensi.. Strain yang menyebabkan penyakit pada sistem saraf pusat tidak diketahui.

Mycobacterium Tuberculosis pada pewarnaan Ziehl- Neelsen

IV.

Patogenesis(3) Pada perbahasan mengenai patogenesis meningitis tuberculosis dapat dibagi menjadi dua bagian, pertama pada tahap makroskopik dan kedua pada tahap mikroskopik. Perkembangan meningitis tuberculosis melibatkan dua tahapan proses; M. Tuberkulosis masuk kedalam host melalui inhalasi droplet , tempat infeksi yang pertama adalah makrofag alveolar, peningkatan lokalisasi infeksi pada paru dengan penyebaran ke kelenjar getah bening regional menghasilkan kompleks primer. Pada tahap ini, terjadi bakteriemia yang singkat tetapi signifikan yang dapat menyebarkan tuberkel basili pada organ tubuh yang lain. Pada individu dengan meningitis tuberculosis, basili tuberkel menyebar ke meninges atau parenkim otak, membentuk subpial kecil atau fokus subependimal. Ini dikenali sebagai fokus Rich. Pada sekitar 10% kasus, terutama pada anak, kompleks primer tidak sembuh tetapi berlanjut secara progresif. Pneumonia tuberculosis berkembang dengan berat dan bakteremia berlangsung lebih lama.Penyebaran ke sistem saraf pusat terutama jika terjadinya TB miliar. Tahap kedua pada pembentukan meningitis tuberkulosis adalah ruptur fokus Rich ke ruang subarachnoid atau ventrikel. Ini menandakan mulai meningitis dan jika tidak dirawat akan menyebabkan patologi neurologi yang berat dan irreversible. Pada 75 % anak onset meningitis tuberculosis kurang dari 12 bulan setelah infeksi primer. Secara klasik, meningitis tuberkulosis adalah penyakit pada anak-anak dan terjadi akibat komplikasi dari tuberkuosis miliar. Onset dari penyakit ini adalah beberapa minggu atau bulan setelah infeksi primer. Tiga proses utama yang menyebabkan patologi neurologi adalah : pembentukan adhesi, vaskulitis obliteratif dan myelitis. Adhesi disebabkan oleh eksudat basal meningeal yang padat yang terbentuk setelah inokulasi basili ke dalam ruang subaraknoid. Eksudat mengandung limfosit, sel plasma dan makrofag, serta terjadi peningkatan kuantiti dari fibrin. Sumbatan melalu pembentukan adhesi, menyebabkan obstruksi cairan serebrospinal dan hidrosefalus. Adhesi disekitas fossa interpendicular dan struktur sekitarnya dapat mengenai saraf kranialis, II, IV dan VI serta arteri carotis interna. Vaskulitis obliteratif pada pembuluh darah besar dan kecil

terbentuk yang boleh menyebabkan infark dan sindroma stroke. Ini biasanya terjadi pada kawasan arteri carotis interna, arteri cerebri media proximal dan pembuluh darah ke ganglia basalis.Mekanisme kelainan neurologi pada meningitis tuberculosis paling banyak disebabkan oleh vaskulitis akibat infark dan bisa menyebabkan kelainan sequel neurologis yang reversible. Ensefalopati tuberculosis adalah satu komplikasi meningitis tuberculosis yang jarang ditemukan. Kelainan ini biasanya terjadi pada anak dengan TB primer yang progresif, gejalanya adalah penurunan kesadaran dengan beberapa tanda focal dan meningitis minimal.Secara patologi didapatkan edema menyeluruh dan white matter yang pucat dengan demyelinisasi. Patogenesis secara pasti belum diketahui, tetapi diduga suatu reaksi imun. Patogenesis meningitis tuberculosis pada tahap seluler tidak difahami secara jelas. Pengetahuan tentang pathogenesis infeksi paru terbatas , tetapi terdapat beberapa prinsip yang dapat menerangkan tentang proses di sistem saraf pusat. Pemebentukan inflamasi granulomatous kaseosa adalah sangat penting. Teori immunopatogenesis yang terbaru menerangkan peran dan interaksi antara makrofag, sel T helper dan organisme. Cell mediated imunity adalah pusat untuk mengawal infeksi dan produksi kerusakan jaringan. Suatu eksperimen yang dilakukan Lurie pada kelinci dengan tuberculosis menjelaskan tahap asas tentang penyakit ini. Tahap inisial infeksi adalah ingesti basilus tuberculosis yang diinhalasi oleh makrofag alveolar. Bergantung kepada keupayaan makrofag untuk mencegah infeksi , basili akan bermultifikasi dan memusnahkan makrofag. Pada tahap kedua, basili akan tumbuh secara logaritmik dalam makrofag yang direkrut. Setelah 2 minggu kadar CD4 sel T spesifk untuk peptide mycobacterial muncul. Produksi dari gamma interferon mengaktivasi makrofag untuk memboleh basili tuberculosis dibunuh secara efisien didalam intrasel. Makrofag yang teraktivasi akan memproduksi interleukin 1- beta dan tumor nekrosis faktor (TNF) yang akan mempromosi pembentukan granuloma. Inflamasi eksudat pada basal adalah patogenesis utama pada meningitis tuberculosis. Kompleks primer menyebabkan perkembangan sel mediated immunity, jadi, rupture dari focus Rich dengan pelepasan basili ke ruang subarachnoid akan menyebabkan respons local T cell yang dependen. Respons ranuloma nekrosis adalah penting untuk patologi. Dannenberg membuat suatu hipotesis dimana nekrosis adlah reaksi hipersensitivitas tipe lambat akibat terpapar tuberculoprotein. Studi pada meningitis bacterial menunjukkan konsentrasi TNF- alfa cairan LCS ada berkolerasi dengan keparahan penyakit. Konsentrasi TNF-alfa pada meningitis tuberculosis lebih rendah dibanding meningitis bacterial. Intervensi dengan antibiotic dan thalidomide, suatu anti TNF menunjukkan suatu perbaikan dalam survival dan prognosis neurologinya. Fungsi protektif dari TNF alda harusnya tidak dilupakan, dengan mempromosi pembentukan granuloma dan meningkatkan

pembenuhan sel yang terinfeksi in vitro. Model studi ini menyediakan suatu bukti tentang kepentingkan sitokin; TNF pada pathogenesis meningitis tuberculosis.

Patogenesis Meningitis Tuberculosis

V.

Gejala Klinis Onset dari meningitis tuberkulosis biasanya subakut dan bisa terjadi fulminan seperti pada meningitis bakterial akut. Kebanyakan pasien menunjukkan simptom dalam jangka waktu dua hingga tiga minggu setelah onset. Pada anak, kondisi ini bermanifestasi sebagai mual, muntah, nyeri kepala dan perubahan status mental. Bisa terjadi misdiagnosis dengan penyakit lain seperti otitis media dan berbagai keluhan abdomen. Dalam perjalanan klinis penyakit ini,walaupun kejang terjadi lebih 50% pada anak , kejang hanya merupakan gejala yang muncul pada 10%20% kasus. Pada orang dewasa, gejala yang sering muncul adalah nyeri kepala, malaise dan kadang-kadang terjadi perubahan tingkah laku. Pada tahun 1947,British Medical Research Council telah memperkenalkan sebuah sistem berdasarkan stadium yang telah diguna pakai secara meluas. 1. Stadium I (stadium inisial / stadium non spesifik / fase prodromal) Prodromal, berlangsung 1 - 3 minggu Biasanya gejalanya tidak khas, timbul perlahan- lahan, tanpa kelainan neurologis dan tidak akan gangguan kesadaran. Gejala: demam (tidak terlalu tinggi), rasa lemah,nafsu makan menurun (anorexia), nyeri perut,sakit kepala,tidur terganggu ,mual, muntah,konstipasi. Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering ditemukan; sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai demam

dan timbul kejang intermiten. Kejang bersifat umum dan didapatkan sekitar 10-15%. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang subarachnoid maka stadium I akan berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III. 2. Stadium II (stadium transisional / fase meningitik) Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak / meningen. Ditandai oleh adanya kelainan neurologik, akibat eksudat yang terbentuk diatas lengkung serebri. Pemeriksaan kaku kuduk (+), refleks Kernig dan Brudzinski (+) kecuali pada bayi. Dengan berjalannya waktu, terbentuk infiltrat (massa jelly berwarna abu) di dasar otak menyebabkan gangguan otak / batang otak. Pada fase ini, eksudat yang mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan hidrosefalus, gangguan kesadaran, papiledema ringan serta adanya tuberkel di koroid. Vaskulitis menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Hemiparesis yang timbul disebabkan karena infark/ iskemia, quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau edema otak yang berat. Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya, sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun. Gejala:Akibat rangsang meningen :sakit kepala berat dan muntah (keluhan utama),Akibat peradangan / penyempitan arteri di otak:disorientasi, bingung, kejang, tremor, hemibalismus / hemikorea, hemiparesis / quadriparesis penurunan kesadaran. Gangguan otak / batang otak / gangguan saraf kranial:Saraf kranial yang sering terkena adalah saraf otak III, IV, VI, dan VII strabismus,diplopia, ptosis ,reaksi pupil lambat, gangguan penglihatan kabur 3. Stadium III (koma / fase paralitik) Terjadi percepatan penyakit, berlangsung selama 2-3 minggu Gangguan fungsi otak semakin jelas. Terjadi akibat infark batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi. Gejala: * pernapasan irregular * demam tinggi * edema papil

* hiperglikemia * kesadaran makin menurun, irritable dan apatik, mengantuk, stupor, koma, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme, opistotonus, pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. * nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur * hiperpireksia * kematian

Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebit berlangsung selama 1 minggu. Hidrosefalus dapat terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3 minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Kebanyakan pasien dengan meningitis tuberkulosa menunjukkan gejala- gejala dari stadium kedua, tetapi pada beberapa pasien perjalanan penyakit yang sangat cepat sehingga jatuh ke stadium tiga. Tanda rangsang meningeal pada pasien dengan meningitis tuberkulosis boleh ditemukan dan boleh juga tidak ditemukan. Pada kebanyakkan kasus, riwayat infeksi tuberkulosis tidak didapatkan. Begitu juga dengan riwayat paparan sebelumnya infeksi tuberkulosis. Secara karekteristik, M. Tuberkulosis menyebabkan meningitis basilar. Terjadi tiga konsekuensi : hidrosefalus akibat obstruksi foramina Luschka dan Magendie atau aquaductus Slyvius ; vaskulitis dengan oklusi arteri atau vena , sebagai akibat keterlibatan pembuluh darah didalam meningens yang meradang ; palsi nervus kranialis. Nervus Kranialis (NK) IV yang paling sering terkena diikuti NK III, IV, VII dan VIII. Pada meningitis tuberkulosa tidak selalu terjadi gejala meningitis, dapat terjadi iskemik akut dan tanda fokal seperti hemiparesis, korea, hemiballismus dan serebelar ataxia.

VI.

Diagnosis(1)(3)(4)

a) Manifestasi Klinis Mendiagnosa meningitis tuberculosis sulit karena ciri klinis yang tidak spesifik dan sangat bervariasi, dan biasa terdiagnosa setelah kerusakan otak telah terjadi. Triad klasik pada meningitis adalah demam (40-80% pada dewasa ; 98% pada anak), nyeri kepala (50-80% pada dewasa, 25% pada anak), dan tanda meningitis ( dewasa 40-80%, anak 98%), dan mungkin tidak muncul pada semua pasien. Perubahan status mental adalah satu ciri yang paling banyak ditemukan pada anakanak dibanding orang dewasa. Pada orang dewasa , tanda-tanda meningitis mungkin tidak ada dan kejang lebih banyak terjadi. Pasien dengan infeksi HIV, jarang mengalami demam, nyeri kepala dan meningismus, pasien dengan HIV biasanya terjadi gangguan status mental. Pada anak-anak variable klinis untuk predileksi meningitis tuberculosis termasuk symptom yang lebih dari 6 hari, atrofi optic, defisit neurologi fokal, pergerakan abnormal, hitung jenis leukosit dalam cairan serebrospinal kurang 50% neutrofil. Sensitiviti 98% dan specificity 44% apabila salah satu kriteria diatas ada, dan sensitivity 55% dan spesifisiti 98% apabila tifa atau lebih kriteria ada. Pada dewasa, satu studi yang di Vietnam mengindentifikasi lima prediksi variable klinis untuk diagnosis meningitis tuberculosis : umur (<36 tahun :2, >36 tahun:0), leukosit (>15,000:4. <15000:0), riwayat penyakit (>6 hari : 5, <6 hari :0), Leukosit LCS(>750:3, <750:0) dan persen neutrofil LCS (>90:4, <90:9). Skor 4 atau lebih adalah diagnostik untuk meningitis tuberculosis. Sensitivitas adalah 68% dan specifisitas 79%. b) Tes Tuberkulin Pada pemeriksaan tes tuberculin atau Mantoux test didapatkan hasil positif pada lebih 85 % hingga 90% anak tetapi hanya 35%-65% positif pada orang dewasa.

c) Pungsi Lumbal Seringkali diagnosis bergantung kepada pungsi lumbar dan cairan serebrospinal. Cairan serebrospinal pada meningitis tuberculosis yang belum diterapi biasanya menunjukkan pleositosis limfotik sedang,peningkatan konsentrasi protein sedang dan glukosa rendah.Kadar glukosa rata-rata adalah 18-40mg/dl ; kadar protein adalah 150-250 mg/dl. Profil cairan serebrospinal meningitis tuberculosis menyerupai kebanyakan penyakit meningitis infeksi dan non infeksi. Cairan serebrospinal aselular dilaporkan pada pasien usia lanjut dan HIV. Diagnosis bakteriologis dengan cara pewarnaan Ziehl- Neesen didapatkan bakteri tahan asam dari M,. Tuberkulosis dimana sensitivitas adalah 25%. Pada kultur sensitivitas adalah 18-83% dan sangat spesifik, 100%. Asam tuberculostearic adalah komponen asam lemak dari dinding sel M.tuberkulosis yang dapat dideteksi dalam cairan serenrospinal pasien dengan

tuberculosis meningitis dan metode ini sangat sensitive (95-100%) dan spesifik (9199%) tetapi memerlukan alatan yang mahal dan memerlukan ahli. Tes untuk mendeteksi antibodi spesifik M. Tuberkulosis dan antigen dalam cairan LCS lebih cepat dan lebih murah. Tetapi teknik ini terbatas untuk membedakan infeksi akut dari infeksi sebelumnya dan bermasalah dengan reaktiviti-silang, sebagai tambahan untuk variable dan biasanya sensitivitas dan spesifisitas buruk. Untuk antibodi assay , sensitiviti dan specifisiti yang dilaporkan 52-935 dan 58-99%..PCR bisa menyediakan suatu alat skrining. d) Neuroradiologi Neuroimaging, CT- Scan dan MRI dengan kontras dapat menunjukkan patologi dan komplikasi meningitis tuberculosis. Karekteristik foto tidak spesifik dan bisa menunjukkan enhancement basal meningela, hidrosefalus, tuberkuloma dan infark tetapi apabila dikolerasi dengan gejala klinis, dapat member suatu tanda untuk diagnosis.

VII.

PENGOBATAN(4)

Rekomendasi terbaru dari WHO (World Health Organization) merekomendasikan kasus dengan meningitis tuberkulosis diterapi dengan INH, Rifampicin , Pirazinamid dan Ethambutol selama 2 bulan diikuti dengan INH dan Rifampicin selama 6-7 bulan. Pertimbangan untuk terapi jangka panjang (12-24 bulan) bergantung kepada keparahan penyakit pada saat itu. Apabila multi drug resistance dicurigai, digunakan empat hingga tujuh rejimen obat dan streptomisin mungkin ditambah. Kortikosteroid (prednisone atau dexamethasone) mungkin ditambah pada kasus yang bermanifestasi dengan stupor, koma dan defisit neurologi. Operasi termasuk shunting ventrikel, mungkin diperlukan untuk terapi hidrosefalus obstruktif atau untuk pengelolaan tuberkuloma intraparekimal. VIII. PROGNOSIS (3)

Beberapa studi yang dijalankan menunjukkan prognosis dapat di jangka melalui pemeriksaan klinis dan laboratorium. Dari studi yang dijalankan ini, terdapat beberapa indikator prognosis yang buruk ; usia yang extreme, penyakit yang di tahap akhir, extrameningeal TBC dan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Satu studi yang dijalankan pada anak menunjukkan umur pasien dan tahap penyakit adalah dua faktor yang independen yang menentuka prognosis. Pasien anak dengan penyakit yang sudah lanjut dengan komplikasi neurologi mempunyai prognosis yang buruk. Mortalitas rendah pada pasien dengan stadium I , pada pasien dengan stadium II, 30%. Mortalitas lebih tinggi pada usia muda, usia sangat tua, dan pasien

dengan penyakit miliaris. Studi juga menunjukkan mortalitas lebih tinggi ada ibu hamil . kultur CSF yang positif , peningkatan protein dan kadar glukosa yang sangat rendah. IX. KOMPLIKASI Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia, gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.

BAB III DAFTAR PUSTAKA 1. Murthy J.M.K.Tuberculosis Meningitis : The Challange.Neurology India. 2010, October 28. 2012. Vol 58. 716- 722. 2. Rahajoe, Nastiti N., dkk, Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak . UKK Pulmonologi PP IDAI,Juni, 2005. 3. Thaiwts. G et al.Tuberculosis Meningitis. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry with Practical Neurology. 2000;68:289299 doi:10.1136/jnnp.68.3.289 4. Schapira. A.H.v. Meningitis Tuberculosis. Neurology and Clinical Neuroscience. Elsevier. Philadelphia 2007. 5. Lindsay K.W et al. Neurology and neurosurgery illustrated. Meningitis Tuberculosis.2nd ed. Oxford. ELBS with Churchill Livingstone. 1991. 6. Ramachandran. T.S. Tuberculos meningitis. March 9,2011. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview

You might also like