You are on page 1of 14

Koalisi Reformasi Pendidikan

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

|2

Mengapa Kami Mempetisi Kemdikbud


Ujian Nasional yang diadakan oleh pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak tahun 2001 dari tahun ke tahun terus menuai kontroversi. Fungsinya sebagai satu alat seragam bagi penentu kelulusan peserta didik, alat penilaian terhadap tenaga pendidik dan kependidikan, satuan pendidikan dan daerah, serta diperparah dengan mutunya yang hanya menguji kognitif rendah, telah menyebabkan berbagai masalah turunan dalam pendidikan nasional Indonesia. Berbagai masalah yang ditimbulkan antara lain: hilangnya hasrat belajar, penyempitan kurikulum, pengkastaan mata pelajaran, pengajaran berbasis soal ujian, pembelajaran yang bersifat hapalan, perilaku jalan-pintas, usaha kecurangan masif dan sistematis dari satuan pendidikan, perilaku kecurangan kolektif, kecanduan pada bimbingan tes dan latihan soal, serta berbagai tindakan ritual keagamaan maupun klenik yang tidak proporsional dan mengasingkan rasionalitas. Keberatan dan kritisi terhadap permasalahan Ujian Nasional ini terus disuarakan oleh berbagai pihak, mulai dari tokoh dan pakar pendidikan sampai anggota DPR dan Dewan Pertimbangan Presiden. Gugatan terhadap Ujian Nasional juga telah digulirkan mulai dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sampai dengan Mahkamah Agung yang menolak kasasi pemerintah pada tahun 2009. Namun pemerintah melalui Kemdikbud tetap bergeming melaksanakan Ujian Nasional dari tahun ke tahun serta membelanya dengan berbagai argumen yang terkesan absurd. Kami percaya Ujian Nasional dibuat dengan tujuan yang baik. Ketika sudah dilaksanakan, mutlak harus dilakukan evaluasi secara periodik. Dalam kenyataannya, sejak diberlakukannya Ujian Nasional dengan model seperti yang selama ini djialankan, telah terjadi berbagai dampak yang mengandung daya rusak yang besar dan mengancam budaya bernalar dan tegaknya kerangka keIndonesiaan. Empat pilar pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, masyarakat dan media, selalu menjadi terpontang-panting diharu biru oleh masalah Ujian Nasional. Karena kondisi tidak semakin baik, maka dengan dilandasi niatan yang tulus untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan melaksanakan amanat yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, yaitu "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa", kami sekelompok masyarakat yang peduli terhadap arah dan mutu pendidikan Indonesia, berkumpul pada hari ini, Hari Guru Nasional, 25 November 2012, untuk mengajukan Petisi Reposisi Ujian Nasional - Hapus Penggunaan UN untuk Kelulusan sebagai bentuk protes keras kepada pemerintah. Kami harap petisi ini diperhatikan dan ditindaklanjuti dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah, serta menjadi perhatian masyarakat luas.

Jakarta, 25 November 2012

Koalisi Reformasi Pendidikan

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

|3

Petisi Reposisi Ujian Nasional


Hapuskan Penggunaan UN untuk Syarat Kelulusan

Dengan berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, Kami warga masyarakat yang peduli pada arah dan mutu pendidikan nasional, menyatakan keprihatinan kami yang mendalam atas tetap dilaksanakannya kebijakan Ujian Nasional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Petisi untuk Perbaikan Mutu Pendidikan Nasional ini ditujukan sebagai penyikapan terhadap semakin buruknya dampak Ujian Nasional bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Belenggu Ujian Nasional telah secara signifikan mereduksi pendidikan nasional menjadi sekadar pabrik pencetak generasi pekerja yang nirnalar dan beriman pragmatis. Petisi ini kami tekankan pada butir-butir berikut: 1. Penempatan Ujian Nasional sebagai ujian kelulusan berisiko tinggi bagi siswa, guru, sekolah dan Dinas Pendidikan daerah telah menyepelekan proses pendidikan dasar dan menengah menjadi hanya berfokus pada kelulusan Ujian Nasional semata. Berbagai permasalahan dan perilaku negatif yang timbul sebagai konsekuensi logis penempatan Ujian Nasional ini antara lain: penyempitan kurikulum, pengkastaan mata pelajaran, pengajaran berbasis soal ujian, pembelajaran yang bersifat hapalan, dan perilaku jalan-pintas. 2. Fokus berlebihan pada Ujian Nasional yang ditempatkan sebagai ujian kelulusan berisiko tinggi telah melunturkan hasrat dan suasana kesenangan dalam proses belajar mengajar, serta menggantinya dengan suasana keterpaksaan dan ketakutan. Berbagai permasalahan yang nyata timbul di lapangan akibat hal ini antara lain: usaha kecurangan masif dan sistematis dari satuan pendidikan, perilaku kecurangan kolektif, kecanduan pada bimbingan tes dan latihan soal, serta berbagai tindakan ritual keagamaan maupun klenik yang tidak proporsional dan mengasingkan rasionalitas. 3. Pemberlakuan satu ujian kelulusan standar di seluruh Indonesia yang bersifat menghukum pelaku pendidikan adalah bentuk ketidakadilan dan penyederhanaan permasalahaan secara berlebihan di saat sebaran mutu layanan pendidikan masih penuh ketimpangan. Penilaian dan pengawasan justru harus diterapkan terhadap pemerintah sebagai penyedia layanan pendidikan. 4. Mutu soal Ujian Nasional bersifat kognitif rendah dan mendorong proses belajar yang bersifat hapalan dan keterampilan hitungan rutin, telah menyuburkan perilaku nirnalar dan sikap pragmatis, tidak mengajarkan kecakapan yang benar-benar dibutuhkan siswa agar menjadi manusia abad ke-21 yang sukses dan berkontribusi

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

|4

pada masyarakat luas. Kualitas soal Ujian Nasional yang buruk itu menyebabkan Indonesia semakin tertinggal dari negara lain dalam berbagai evaluasi kualitas pendidikan internasional. 5. Kengototan Kemdikbud meneruskan Ujian Nasional dan mengabaikan putusan kasasi Mahkamah Agung tahun 2009 yang memperkuat putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terkait Ujian Nasional, dengan alasan "tidak ada kata 'menghentikan' dalam amar putusan dan hanya ada perintah meningkatkankan kualitas layanan pendidikan yang memang telah menjadi tugas rutin Kemdibkud", adalah merupakan suatu upaya manipulasi dan korupsi semantik yang sangat tidak layak dilakukan oleh penguasa dan pengelola pendidikan nasional. Pembangkangan hukum seperti ini merupakan preseden buruk bagi para pelaku pendidikan terutama pendidikan buruk bagi siswa. 6. Ujian Nasional telah menghabiskan waktu, tenaga dan biaya yang sangat besar dari seluruh pelaku pendidikan nasional sehingga menyebabkan hilangnya kesempatan untuk melakukan berbagai hal yang lebih utama bagi kemajuan pendidikan nasional kita, seperti: perhatian yang lebih besar pada peningkatan mutu guru sebagai elemen yang paling mempengaruhi mutu pendidikan, mendorong pemerataan distribusi layanan pendidikan, mendorong inovasi dan pemutakhiran proses persekolahan yang masih terjebak pada paradigma revolusi industri, serta mendorong berbagai model pendidikan alternatif sebagai pilihan bagi kebutuhan masyarakat yang beragam. Dengan mempertimbangkan butir-butir keprihatinan tersebut, maka kami menuntut agar pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan secara serius dan bersungguh-sungguh: 1. Melakukan reposisi terhadap Ujian Nasional kembali ke fungsi seharusnya, yaitu sebagai salah satu uji diagnostik untuk pemetaan kualitas layanan pendidikan dengan menaati kaidah-kaidah uji diagnostik yang tepat [dilakukan dengan pengambilan sampel, periodik 3-5 tahunan, mendalam, mencandra spektrum kecakapan yang benar-benar penting untuk kehidupan di abad 21], serta tidak dikaitkan dengan kelulusan peserta didik maupun penghakiman terhadap guru dan satuan pendidikan. 2. Mengembalikan proses kelulusan peserta didik kepada satuan pendidikan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan roh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, sembari meningkatkan kemampuan satuan pendidikan dalam melakukan evaluasi pembelajaran yang bersifat menyeluruh dan berorientasi pada proses tumbuh kembang berkelanjutan dari peserta didik. 3. Memperhatikan penempatan berbagai evaluasi pendidikan secara strategis dan berhati-hati sebagai bagian integral yang akan memperkaya dan mengarahkan proses pembelajaran, terutama dalam menyambut perubahan kurikulum yang akan

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

|5

dijalankan pada tahun 2013, agar tidak mengulangi kesalahan penerapan kurikulum yang dinafikan oleh Ujian Nasional. 4. Berfokus pada upaya penjaminan layanan pendidikan bermutu bagi setiap insan di setiap penjuru nusantara yang dilandasi oleh kajian seksama dan perencanaan strategis dalam satu dekade ke depan, agar setiap insan mampu mengembangkan kecakapan dan sikap yang relevan dengan kehidupan di abad 21 dengan tetap berlandaskan dan tidak mengabaikan nilai-nilai kebudayaan nasional Indonesia.

Petisi ini dimulai dan didukung oleh:


Prof. H.A.R. Tilaar Prof. Iwan Pranoto Prof. Soegiono Prof. Muhammad Ansjar Prof. Bambang Sutjiatmo Prof. Mudjisutrisno Prof. J. Sudarminto Prof. Bambang Pranowo Prof. Gempur Santoso Prof. Soedigdo Adi Prof. Zainuddin Maliki Prof. B.S. Kusbiantoro Prof. Tommy F. Awuy Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro Prof. Daniel Mohammad Rosyid Prof. Mayling Oey-Gardiner Prof. Sarlito Wirawan Sarwono Prof. Ahmad Erani Yustika Prof. B.S. Mardiatmadja Prof. Muhammad Bisri Prof. Evirzal A.M. Zuhud Prof. Sentot M. Soeatmadji Prof. Saut Sahat Pohan Prof. Sam Abede Pareno Prof. Luthfiyah Nurlaela Prof. Hendra Gunawan

K.H. Zawawi Imron Alissa Wahid Peter J. Manoppo Satria Dharma Moh. Abduhzen Ahmad Baedowi Suparman Semino Hadisaputra Heru Widiatmo Retno Listyarti Saiful Mahdi A. Muzi Marpaung S. Agung Wibowo

Utomo Dananjaya Najelaa Shihab Romo Baskoro Habe Arifin Sulistyanto Soejoso Biyanto Eko Purwono Moko Darjatmoko Aulia Wijiasih Elin Driana Ahmad Baharuddin Acep Iwan Saidi Gigay Citta Acikgenc

Darmaningtyas Imam B. Prasodjo Rohmani Ahmad Rizali Itje Chodidjah Munif Chatib Achmad Muchlis Dhitta P. Sarasvati Jasmin Sophianti Edi Guring Syamsir Latif Ifa H. Misbach Kreshna Aditya

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

|6

Petisi Online Reposisi Ujian Nasional


Petisi Reposisi Ujian Nasional juga kami buka kepada masyarakat luas yang ingin berpartisipasi melalui situs petisi online Change.org. Setiap satu orang menandatangani petisi secara online maka secara otomatis akan terkirim satu email petisi kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Standar Nasional Pendidikan. Para penandatangan juga bisa meninggalkan komentar dan opininya terhadap Ujian Nasional. Sampai tanggal 17 April 2014, lebih dari 11.500 orang telah menandatangani petisi secara online. Penandatangan berasal dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Jakarta sampai Timika, dan juga ditandatangani oleh warga negara Indonesia yang berdomisili di luar negeri namun tetap memperhatikan dan peduli terhadap situasi, kondisi dan arah pendidikan bangsa. Petisi Reposisi Ujian Nasional ini akan tetap disebarkan dan dibuka bagi masyarakat luas untuk ikut menandatangani secara online pada laman http://bit.ly/petisiUN. Komentar lengkap dari para pendukung juga dapat dilihat pada laman tersebut.

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

|7

Nukilan Komentar Penggagas Petisi


Anak hanya menghafal dan tidak memahami. Saya mengajar di Perguruan Tinggi yang perlu pemahaman. Sekarang UN diturunkan sampai anak SD juga harus jalankan. Bagaimana kita bisa mengajar anak-anak yang tidak biasa berpikir? ~ Prof. Mayling Oey-Gardiner UN adalah batu besar penghambat budaya bernalar. Sangat tidak logis menggunakan UN sebagai ujian kelulusan untuk anak-anak di Papua yg berjalan dua hari ke sekolah, hanya punya satu guru ajar di seluruh sekolah untuk 12 kelas dan seluruh pelajaran, lalu dibandingkan dengan anak di Menteng diantar dari Pondok Indah pakai mobil bagus dan guru S2 khusus Matematika dan Bahasa Inggris. Yang diuji pun kadaluarsa. UN mengajarkan kecakapan yg sudah ketinggalan jaman, yaitu low order thinking. Padahal di luar negeri, kecakapan yang diminta sudah meliputi analisis lebih kompleks (high order thinking). Anak seperti diminta untuk memanjat pohon yg salah demi memetik buah busuk. Learning for the test is bad, but learning for the bad test is the worst. ~ Prof. Iwan Pranoto Dari aturan harusnya pemetaan, tapi sampai sekarang tidak jelas hasilnya dan tidak jelas mana sekolah yang perlu dibantu, mana sekolah yang sudah mencapai hasil bagus. Langkah dan intervensi setelahnya juga tidak jelas. Dari puluhan tahun lalu target tidak jelas. Kesenjangan ini dipertahankan. Harusnya bisa pakai sampling saja, tidak perlu sampai semua harus diuji. Performance anak Indonesia dalam reading dan science sangat memprihatinkan, stagnan di bawah. ~ Elin Driana, Education Forum Pemerintah menyodorkan 20 variasi soal untuk UN dan tidak tahu ada penelitiannya atau tidak, yang jelas mereka memainkan ketegangan siswa agar betul-betul siswa belajar. Ini teori dari mana? Karena saya belajar teori motivasi di mana-mana tidak ada tentang ketegangan. Saya sudah kehabisan kata-kata di dewan, karena itu ketika ditawarkan petisi ini saya setuju 200%. Saya setuju kita tidak anti UN tapi kita hanya ingin pemetaan saja. Pemerintah maunya pemetaan juga, kelulusan juga. Akhirnya kemudian kita tidak dapat dua-duanya. ~ Rohmani, Komisi X DPR RI Dari pengadilan sampai Mahkamah Agung proses diabaikan. Komnas HAM juga diabaikan. KPAI, DPR dan Wantimpres juga diabaikan. Dari kebijakan kalau ada pengabaian-pengabaian maka Mendikbud dan pemerintah tidak patuh hukum. Ini bentuk perlawanan terhadap pembangunan karakter itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan meneruskan kebijakan Ujian Nasional tanpa melihat kritik dan masukan. Kita harus kembalikan lagi fungsi guru seperti orangtua di sekolah. ~ Suparman, Education Forum

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

|8

Nukilan Komentar Pendukung Petisi Online


Sebagai seorang guru mata pelajaran UN, saya merasa sedih karena siswa banyak yang malas belajar hanya karena ketika UN mereka pasti akan mendapatkan kunci jawaban dari bimbel yg mereka ikuti. Sedang siswa yang rajin belajar, nilai UN nya selalu lbh rendah dr yang mendapatkan kunci jawaban. UN telah mendidik siswa sbg org yg curang, spt sedang mempersiapkan generasi koruptor. ~ Dwi Yuniarti, Jakarta Masa depan anak bangsa Indonesia tidak bisa ditentukan hanya dengan UN. Mereka bukan robot yang dapat disamaratakan. Mereka punya keahlian dan kecakapan masing-masing. Mohon Bapak/Ibu yang berwenang agar mereposisi UN demi anak bangsa Indonesia. ~ Dinar Ardantia, Tangerang

Saya ibu tiga anak, yg sulung sedang sibuk di gojlok di sekolahnya untuk mempersiapkan diri UN SD. Saya sangat sangat sangat tidak setuju dengan padatnya jadwal membahas soal UN. Saya harap Kemdikbud sungguh-sungguh memperhatikan petisi ini, untuk masa depan pendidikan indonesia. ~ Seftirina Evina, Medan Tidak ada alasan logis bagi seorang guru Bahasa Inggris menjadikan Ujian Nasional sebagai model evaluasi kompetensi. Dari sekian banyak temuan rekan-rekan di bidang assessment pendidikan Bahasa Inggris, hampir semua menunjukkan bahwa UN Bahasa Inggris jauh dari valid dan reliabel. Belum lagi washback effect seperti pemasungan proses belajar mengajar. Semoga tujuan petisi ini terpenuhi. Amin. ~ Ahmad Junaidi, Australia

Akibat ketakutan sekolah, guru, orang tua terhadap tes penentuan kelulusan yaitu UN akhirnya sekolah tidak lagi menyenangkan. Sekolah tidak lagi berbasis kebutuhan dan minat siswa dan sekolah tidak lagi memberikan proses pendidikan, tapi malah penuntasan target dan kurikukulum semata agar dapat lulus 100%. UN diperlukan tapi tidak sebagai penentu kelulusan melainkan sebagai pemetaan distribusi kualitas sebagaimana roh sesungguhnya dari UN. ~ Benny Sudjono, Jember Ujian Nasional selama ini dalam arti tertentu telah merusak nilai-nilai yang di ajarkan di sekolah. Saya sebagai guru mengalami dan melihat bagaimana ketakutan tidak lulus UN telah membuat pihak-pihak yang bekepentingan mulai dari kepala dinas, kepala

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

|9

sekolah, guru, siswa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kelulusan. Satu hal yang mencolok adalah sikap kejujuran dalam kehidupan siswa dalam mengembangkan sikap akademis rusak karena lingkungan yang memberi kelonggaran untuk mencontek, berbagi jawaban kepada orang lain. Selanjutnya, proses belajar mengajar di kelas tidak berjalan sebagaimana mestinya dengan memperhatikan proses yang benar, tetapi diisi drilling soal, sehingga anak tidak diajar penalaran lagi. ~ Agustinus Marjito, Manila Sebagai guru, walaupun volunteer, saya merakasan tekanan luar biasa bagi muridmurid saya setiap akan menjelang ujian nasional. Kelulusan lebih dari sekedar lulus dan mendapat ijazah. Ijazah itu kesempatan bagi mereka untuk bekerja, untuk mendapat hidup lebih baik, untuk bisa memberi makan keluarga bahkan. Dengan kualitas pendidikan yang beragam, menjadikan UN sebagai syarat kelulusan sangat tidak bijak. ~ Sulaiman Sujono, Cianjur Saya percaya bahwa pendidikan yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah pendidikan yang mampu memerdekakan pikiran dan jiwa. ~ Nisa Felicia Faridz, New York Saya merasa pendidikan formal telah salah arah. Kualitas kompetensi dan konsentrasi hanya diarahkan untuk lulus ujian yang belum tentu juga teruji. Pendidikan sudah sepantasnya mengasah talenta yang beragam dan memunculkan karakter yang baik pada peserta didik. ~ Ganjar Ramadhan, Jakarta Satu tahun mengajar di pelosok negeri (Sumba Timur, NTT) telah membuka mata saya bahwa UN sangat tidak adil jika harus diterapkan di seluruh Indonesia dg standar yang sama. Tidak semua siswa sekolah (terutama di pelosok negeri) siap menjalani ujian dg standar yg sama. Saya mengajar di SMP dimana masih banyak dari siswa kami masih belum lancar membaca. Belum lagi kondisi psikologis dan sosial masyarakat yg masih memprihatinkan dan sangat berpengaruh terhadap anak didik kami. ~ Abdul Hamid, Ngawi Menteri Pendidikan perlu secara realistis melihat situasi di lapangan dan mengakui bahwa standardisasi dalam kesempatan guru mendapatkan akses pada sumber belajar, mengembangan diri dan memiliki sarana pembelajaran memadai, sama sekali belum terjadi. Padahal itulah yang seharusnya diutamakan. ~ Henny Supolo, Jakarta

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

| 10

Model dan trategi evaluasi pendidikan melalui UN nasional hanya menjadikan guru (pelaku utama sistem pembelajaran) sebagai pelengkap penyerta dalam sistem pendidikan nasional. Sejatinya evaluasi pendidikan mesti dilakukan di setiap satuan pendidikan sesuai dengan semangat ontomi pendidikan. Tampaknya Kemdikbud telah menyimpang jauh dari filosofi dasar pendidikan, dengan mengabaikan karakteristik peserta didik dan konteks kewilayahan di Indonesia. Pola penyusunan Instrumen UN sangat tidak sesuai dengan landasan filosofis dan psikologi pendidikan. Variabel konteks juga diabaikan karena pola penyusunan instumen yang diproyekkan dan dikerjakan hanya oleh segelintir orang yang ditunjuk. ~ Agus Maniyeni, Malang Sebagai pendidik di PT, saya menjumpai sampah mentalitas hasil bentukan sistem ini di mahasiswa-mahasiswa baru saya dalam taraf yang memprihatinkan. Selain itu, pengakuan kolega-kolega guru SMP dan SMU tentang ketidak jujuran berjamaah karena tekanan sistem ini juga sangat mencengangkan. Stop sistem ini karena hanya akan menghasilkan generasi dan sistem pendidik yang hipokrit dan penuh tipu daya. Hasil lulusannya pun memiliki mentalitas kolutif dan korup, dengan sedikit saja kapasitas akademik yang memadai. ~ Ahmad Mughni, Sidoarjo Dasar pendidikan itu adalah setiap orang, baik guru atau murid, dapat mengembangkan dirinya secara MERDEKA dengan berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam suasana kebersamaan. Semoga petisi ini bisa membukakan 'jendela' arah pendidikan kita. ~ Cicilia Maharani, Yogyakarta Non scholae, sed vitae discimus. Kita belajar bukan demi sekolah, tapi untuk hidup ~ Emanuel Wicaksono, --Ini saatnya pemerintah mendengarkan seruan masyarakat sebagai pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia. ~ Frieda Mangunsong, Jakarta

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

| 11

Peran Kepala Daerah


Sudah ada beberapa kepala daerah yang menyuarakan secara terbuka di media mengenai ketidaksetujuannya terhadap sistem Ujian Nasional saat ini, di antaranya Bupati Purwakarta, Bupati Yahukimo, Walikota Solo dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Namun para kepala daerah di seluruh Indonesia perlu bertindak lebih jauh dengan menyadari kewenangan otonominya dalam merancang dan mengelola sistem pendidikan di daerahnya. Sebagai bahan pertimbangan dan perbandingan bagi para kepala daerah, usaha membuat alternatif sistem pendidikan yang menafikan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan sudah dilakukan oleh Bupati Gowa, Ichsan Yasin Limpo, dengan menciptakan Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan. Berikut ini kami sertakan berita mengenai SKTB yang ditampilkan pada laman Fajar Online pada Senin, 29 Oktober 2012.

SKTB, Bukan Pendidikan Gratis Biasa


SUNGGUMINASA, FAJAR -- Pendidikan gratis selalu diartikan dengan pembebasan biaya bagi para pelajar, terutama di sekolah-sekolah negeri. Namun di Gowa, program pendidikan gratis mungkin telah melampaui bayangan sebagian besar orang. Program pendidikan gratis di Gowa sudah tidak lagi sebatas bebas biaya. Tanpa seragam sekolah pun, pelajar dibolehkan masuk kelas. Pemerintah juga sangat ketat dalam mengawasi pungutan di sekolah-sekolah. Yang paling krusial adalah penjualan buku yang sangat "diharamkan" oleh pemkab. Jika kedapatan, sanksinya tidak mainmain. Sejumlah guru, bahkan kepala sekolah, sudah dinonjobkan karena terbukti menjual buku kepada siswa. Boleh jadi, di beberapa daerah juga melakukan hal sama. Namun di Gowa, ada satu program yang belum dilakukan di kabupaten/kota lain. Program itu disebut Sistem Kelas Tuntas Berkelanjutan (SKTB). Penjelasan singkat dari SKTB adalah, tidak ada lagi pelajar yang akan tinggal kelas. Begitu bersekolah di Gowa, maka pelajarnya akan terus mengenyam pendidikan tanpa hambatan. Yang menarik, Ujian Akhir Nasional atau UAN sama sekali tidak berpengaruh. Betapa pun buruknya nilai UAN, sang pelajar tetap saja diluluskan. Namun memang ada syaratnya. Kehadiran di sekolah harus melebihi 80 persen. Jika malas masuk sekolah, pelajar bersangkutan akan tetap tinggal kelas. SKTB ini secara resmi diberlakukan di Gowa pada Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2012 lalu. Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo menandatangani naskah kerja sama dengan sepuluh rektor/pembantu rektor perguruan tinggi negeri mau pun swasta. Di Kota Makassar mau pun di luar Sulsel. Dalam kerja sama tersebut, kesepuluh perguruan tinggi itu mendukung SKTB dengan memberikan kuota khusus kepada para siswa Gowa. Sepuluh perguruan tinggi tersebut adalah Universitas Negeri Makassar (UNM), Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Universitas Muhammadiyah Makassar (Unismuh), Universitas Muslim Indonesia (UMI) khusus Fakultas Hukum yang menerima 100 lulusan siswa Gowa, Universitas 45 Makassar, dan Universitas Indonesia Timur (UIT). Sementara universitas lain di luar Sulsel yang bersedia menerima lulusan siswa Gowa

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

| 12

adalah Universitas Pendidikan Bandung, Universitas Negeri Malang (UNM) Jatim, Universitas Jember Jatim dan Institut Teknologi Nasional (ITENAS) Malang. Kesepuluh perguruan tinggi ini tidak saja menerima lulusan Gowa dengan mudah, tetapi juga siswa SMA yang tidak lulus ujian nasional. Ichsan Yasin Limpo mengatakan SKTB merupakan solusi bagi dunia pendidikan di Indonesia yang masih dinilai bermasalah. Terutama dalam UAN, di mana sering terjadi ketidakadilan serta tekanan mental para siswa secara massal. Menurut Ichsan, sangat tidak adil jika siswa yang telah menghabiskan waktu, tenaga dan biaya selama tiga tahun, kelulusannya harus ditentukan ujian dengan mata pelajaran tertentu saja. "Boleh jadi, ada memang yang tidak pintar dalam pelajaran eksak. Namun dia punya keahlian dalam bidang olahraga. Tapi karena pelajaran eksakta yang menentukan, siswa yang mahir dalam bidang olahraga ini akhirnya tidak lulus," kata Ichsan. Karena itu, SKTB yang diterapkan di Gowa mengadopsi sistem satuan kredit semester seperti di bangku kuliah. Dengan SKS tersebut, seorang siswa bisa saja menyelesaikan bangku sekolahnya lebih cepat dari rata-rata siswa yang lain. Normalnya, seorang pelajar menempuh pendidikan selama 12 tahun. Tapi dengan sistem SKS, seorang pelajar bisa menamatkan SMA-nya setahun atau bahkan dua tahun lebih cepat. Menurut Ichsan, sistem pendidikan di negara-negara maju sudah tidak mengenal lagi yang namanya tinggal kelas. Jika ada siswa yang lamban memahami pelajaran, maka gurunya yang bertanggung jawab untuk membuatnya paham. Bukan hanya itu, guru juga bertanggung jawab mengawasi dan mengembangkan potensi sang siswa. Meski tidak sama dengan pakem pendidikan nasional, namun SKTB tidak berjalan begitu saja. Ichsan meyakinkan, SKTB tetap mengacu pada peraturan. Dalam pasal 31 ayat 2, UUD 1945, penyelenggaraan pendidikan adalah kewajiban pemerintah dan rakyat mendapatkan haknya untuk menikmati pendidikan. UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengamanatkan seperti itu. "Saya juga melihat PP no 17 tahun 2010, yang memang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengatur sistem dan penyelenggaran pendidikan untuk pendidikan dasar (SD - SMA) di daerahnya," kata Ichsan. Bupati berharap SKTB mendapatkan restu dari Kementerian Pendidikan RI. Untuk mengegolkan tujuannya itu, Pemkab Gowa menggandeng sekitar seratus guru besar pendidikan dari berbagai perguruan tinggi. Para guru besar inilah yang akan terus bekerja menyempurnakan formulasi SKTB tersebut. Tahun ini, dinas pendidikan bahkan mengalokasikan anggaran hampir Rp 1 miliar khusus untuk penelitian dan sosialisasi SKTB di Gowa. Kendala Meski demikian, SKTB ini juga tidak berjalan dengan mulus. Banyak siswa dari luar Gowa, utamanya Kota Makassar dan Kabupaten Takalar yang mendaftarkan diri di sekolah-sekolah Gowa. Akibatnya, Gowa mengalami kelebihan pendaftar. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Gowa, Idris Faisal Kadir menyebut kelebihan jumlah pendaftar itu hingga 12.000 siswa. Yang jadi masalah adalah akan ditempatkan di mana mereka. Pemkab juga tidak mungkin menolak karena mereka pasti akan kesulitan mendapatkan sekolah di tempat lain.

Petisi Reposisi Ujian Nasional

Koalisi Reformasi Pendidikan

| 13

Untuk mengatasi masalah tersebut, Pemkab Gowa pun memberlakukan sekolah sore. Namun itu saja tidak cukup. Bagaimana pun, sekolah sore juga membutuhkan tenaga pengajar. Tentu sangat sulit meminta guru yang mengajar di pagi hari, juga mengajar di sore hari. Sebagai solusi, Ichsan menawarkan kesempatan menjadi guru kepada para PNS di bagian umum. Pada kesempatan pertama, dibuka pendaftaran sebanyak 200 orang. Dengan iming-iming gaji guru yang tinggi, sebagian PNS pun menyatakan kesediaannya. Sebelum menjadi guru, para PNS itu akan menjalani pendidikan Akta IV di UNM. Tak hanya itu, Pemkab Gowa juga menawarkan kesempatan itu kepada pensiunan guru. Hingga saat ini, SKTB masih terus disempurnakan. Namun setidaknya, para pelajar tahun ini sudah menikmati bebas tinggal kelas. (aha) Sumber: http://www.fajar.co.id/read-20121028205712-sktb-bukan-pendidikan-gratisbiasa

Koalisi Reformasi Pendidikan


Kontak: Kreshna Aditya | kreshna.aditya@gmail.com Habe Arifin | habearifin@yahoo.com

You might also like