You are on page 1of 19

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Gangguan Stres Pascatraumatik merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan atau penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan stres. Setelah suatu peristiwa traumatik, seseorang dapat merasakan sesuatu yang mengganggu kehidupannya, dapat juga diikuti stres, ketakutan, dan kemarahan. Mereka juga sering mendapati bahwa mereka sulit untuk tidak memikirkan apa yang telah terjadi. Merasakan reaksi stres adalah hal yang sering terjadi pada kebanyakan orang dan tidak ada hubungannya dengan kelemahan pribadinya. Banyak orang juga akan menunjukkan kewaspadaan yang berlebihan. Yang paling sering, jika gejala ikutannya muncul, akan menurun seiring berjalannya waktu. Bila gejala-gejala gangguan stres pasca trauma menjadi parah, gangguan tersebut menimbulkan ketidakmampuan. Apakah sebabnya beberapa orang dari mereka akan berubah menjadi gangguan stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa yang sama adalah tidak jelas. Resiko akan mengalami gangguan stres pasca trauma meningkat oleh karena banyak faktor, termasuk intensitas beratnya peristiwa yang dialami, sejauh mana seseorang terlibat didalamnya, dan seberapa hebatnya seseorang bereaksi. Seseorang beresiko tinggi menderita gangguan stres pasca trauma jika seseorang mempunyai riwayat keluarga yang mengalami depresi.

BAB 2 ISI 2.1 Definisi Post-traumatic stress disorder (PTSD) adalah suatu kondisi kesehatan mental yang dipicu oleh peristiwa yang menakutkan. Gejala mungkin termasuk flash back (mengingat kejadian yang membuatnya trauma), mimpi buruk dan kecemasan yang parah, serta pikiran yang tak terkendali tentang kejadian tersebut. Banyak orang yang mengalami peristiwa traumatis akan mengalami kesulitan menyesuaikan dan mengatasinya untuk sementara waktu. Tapi dengan seiring berjalannya waktu dan merawat diri, reaksi traumatis seperti yang biasanya dapat menjadi lebih baik. Dalam beberapa kasus, meskipun, gejala-gejala dapat menjadi lebih buruk atau berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Kadang-kadang peristiwa tersebut benar benar dapat mengguncang hidup orang tersebut.1 2.2 Epidemiologi PTSD merupakan gangguan yang agak umum di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, 60% pria dan 50% wanita mengalami peristiwa traumatis selama hidup mereka. Diagnosis PTSD dibuat dengan mempelajari para tentara sehabis masa perperangan, awalnya disebut "shell shock syndrome." Kita juga bisa mendapatkan gangguan PTSD jika mengalami trauma atau menyaksikan hal hal yang bersifat traumatis. PTSD juga dapat disebabkan oleh karena trauma jangka panjang seperti pelecehan seksual terhadap anak-anak atau memiliki penyakit medis yang serius. Gangguan ini dapat mempengaruhi hampir 8 juta orang dewasa di Amerika, menurut Asosiasi Kesehatan Mental Nasional, Pusat Nasional untuk PTSD memberitahu kita jika gangguan PTSD secara umum adalah kalangan warga sipil dan tentara: Tingkat tertinggi untuk tentara. Pada prajurit yang bertempur dalam perang Irak pada tahun 2008, RAND (Research And Development) Corporation menemukan bahwa prevalensi PTSD saat ini adalah 13,8%. 2

NCS-R (National Comorbidity Survey Replication) memperkirakan prevalensi PTSD di kalangan orang dewasa Amerika menjadi 6,8%. Prevalensi PTSD antara lakilaki adalah 3,6% dan pada wanita sebesar 9,7%. Wanita (10,4%) dua kali lebih mungkin dari pada laki-laki (5%) untuk memiliki gangguan PTSD di dalam hidup mereka. Survei Nasional Remaja, yang meneliti dari rumah tangga terhadap probabilitas dari 4.023 remaja berusia antara 12 dan 17 tahun, menemukan bahwa pada mereka terdapat kriteria diagnostik untuk PTSD, diperkirakan 3,7% untuk anak laki-laki dan 6,3% untuk anak perempuan.2 2.3 Etiologi 2.3.1 Stresor Seseorang dapat mengalami PTSD adalah akibat respon terhadap suatu trauma yang ekstrem atau sebuah kejadian yang mengerikan yang seseorang alami, saksikan, atau dipelajari, terutama yang mengancam hidup atau yang menyebabkan penderitaan fisik. Pengalaman tersebut menyebabkan seseorang merasakan takut yang sangat kuat, atau perasaan tidak berdaya 1. Stressor Stressor yang menyebabkan stress akut dan PTSD cukup hebat untuk mempengaruhi setiap orang. Stressor tersebut dapat timbul dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan serius. Meskipun demikian, tidak semua orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatik. Secara Klinis harus mempertimbangkan faktor psikososial dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudah trauma. Contohnya, seorang anggota suatu kelompok yang bertahan hidup pada bencana kadang-kadang dapat menangani trauma karena anggota yang lainnya juga mengalami pengalaman yang sama. Arti subjektif suatu stressor pada seseorang juga penting. Contohnya, orang yang selamat dari bencana dapat mengalami rasa bersalah yang dapat menjadi predisposisi atau memperberat PTSD.

2. Faktor Risiko Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahkan ketika mengalami trauma yang hebat, sebagian besar orang tidak mengalami gejala PTSD. National Comorbidity Study menemukan bahwa 60% laki-laki dan 50% perempuan mengalami sejumlah trauma yang signifikan tetapi prevalensi PTSD yang dilaporkan hanya 6,7%. Demikian juga peristiwa yang mungkin tampak biasa atau kurang dianggap sebagai bencana besar bagi sebagian orang dapat menimbulkan PTSD pada sejumlah orang lainnya. Adapun faktor risiko yang berperan antara lain : o Biologis 2.3.2 Kerentanan genetik. Kepribadian borderline, paranoid,dependent atau antisosial. Perempuan

o Psikososial Kejadian traumatis sebelumnya (terutama saat anak-anak). Perubahan hidup penuh stress yang baruterjadi. Sistem pendukung yang tidak adekuat(Dukungan keluarga atau kelompok yang kurang). Konsumsi alkohol yang berlebihan.

Faktor Psikodinamik Model psikoanalitik gangguan ini menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tenang tetapi tidak terselesaikan. Penghidupan kembali trauma masa kanak-kanak dapat menimbulkan regresi, penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Konflik yang sebelumnya telah ada secara simbolis dibangkitkan kembali oleh traumatik yang baru.

2.3.3

Faktor Perilaku Kognitif 4

Model kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak mampu memproses dan merasionalisasikan trauma yang mencetuskan gangguan ini. Mereka terus mengalami stress dan berupaya menghindari hal tersebut dengan teknik penghindaran. Model perilaku PTSD menekankan ada 2 fase, yang pertama adalah trauma yang menimbulkan respon takut dengan stimulus yang dipelajari. Yang kedua adalah melalui pembelajaran instrumental melalui stimulus yang tidak dipelajari.

2.3.4

Faktor Biologis 1. Sistem Noradrenergik Pada PTSD menunjukkan gejala gugup, peingkatan tekanan darah, dan denyut jantung, palpitasi, berkeringat, rona merah diwajah, dan tremor. Gejala-gejala tersebut berkaitan dengan gejala adrenergik. Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada tetara veteran dengan PTSD dan peningkatan konsentrasi katekolamin urin pada anak perempuan yang mengalami penyiksaan seksual. 2. Sistem Opioid Pada PTSD ditemukan adanya abnormalitas sistem opioid yaitu penurunan konsentrasi -endorfin plasma. 3. Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA) Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas yang rendah di dalam plasma dan urin pada PTSD. Terdapat peningkatan reseptor glukokortikoid pada limfosit dan faktor pelepas kortikotropin eksogen yang menunjukkan respon hormon adreno-kortikotropin yang tumpul. Selain itu, supresi kortisol meningkat pada PTSD, hal ini menunjukkan hiperregulasi aksis HPA pada PTSD. Sejumlah studi juga telah menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan pasien yang 5

terpajan trauma tapi tidak mengalami PTSD sehinggga mungkin hipersupresi ini secara spesifik berkaitan dengan PTSD bukan hanya dengan trauma.2-5 2.4 Patofisiologis Fisiologi respon stress Setiap makhluk hidup pernah mengalami stres dalam hidupnya. Stimulus yang diberikan oleh stres ikut berperan dalam perubahan dan pertumbuhan individu. Manusia merupakan makhluk yang selalu berespon dan beradaptasi terhadap stres. Respon stres bersifat adaptif dan protektif. Peristiwa fisiologis yang terjadi pada individu saat terjadi stres pertama kali dikembangkan oleh Hans Selye. Seyle mengidentifikasikan dua respon fisiologis terhadap stres, yaitu Local Adaptation Syndrome (LAS) dan General Adaptation Syndrome (GAS). LAS adalah respon dari jaringan, organ, atau bagian tubuh lainnya terhadap stres karena trauma, penyakit, atau perubahan fisiologis lainnya. Sedangkan GAS adalah respon pertahanan dari keseluruhan tubuh terhadap stres. Berikut penjelasan lebih mendetailmengenai LAS dan GAS: - Local adaptation syndrome (LAS) Local Adaptation Syndrome (LAS) memiliki karakter yaitu hanya terjadi setempat,adaptif. Diperlukan stresor untuk menstimulasi, berjangka pendek, serta restoratif/membantu memulihkan homeostasis region. Contoh LAS yang banyak ditemui dalam lingkungan kesehatan yaitu respon refleks nyeri dan respon inflamasi. Respon refleks nyeri adalah respon setempat dari sistem saraf pusat terhadap nyeri. Respon ini bersifat adaptif dan melindungi jaringan dari kerusakan lebih lanjut. Respon ini melibatkan reseptor sensoris, saraf sensoris yang menjalar ke medulla spinalis, neuron penghubung dalam medulla spinalis, saraf motorik yang menjalar dari medulla spinalis, serta otot efektor. Contoh respon refleks nyeri yaitu refleks tangan dari permukaan panas dan keram otot. Contoh lain dari LAS yaitu respon inflamasi. Respon inflamasi distimulasi oleh trauma dan infeksi dimana respon ini menghambat penyebaran inflamasi dan meningkatkanpenyembuhan dengan tanda-tanda calor, tumor, rubor, dan dolor. 6

Respon inflamasi terjadi dalam tiga fase yaitu perubahan dalam sel dan sistem sirkulasi, pelepasan eksudat dari luka, dan perbaikan jaringan oleh regenerasi dan pembentukan jaringan parut. - General adaptation syndrome (GAS) General adaptation syndrome (GAS) melibatkan sistem tubuh seperti sistem saraf otonom dan sistem endokrin. GAS dikenal sebagai respon neuroendokrin. GAS terdiri dari tiga tahap yaitu: 1. Reaksi alarm/ reaksi peringatan Reaksi alarm melibatkan pengerahan mekanisme pertahanan dari tubuh dan pikiran untuk menghadapi stresor. Secara fisiologi, respons stres adalah pola reaksi saraf dan hormon yang bersifat menyeluruh dan tidak spesifik terhadap setiap situasi apapun yang mengancam homeostasis. Berikut adalah gambar efek stresor pada tubuh

STRESSOR

RESPON SPESIFIK YANG KHAS UNTUK JENIS STRESSOR RESPON MENYELURUH UNTUK APAPUN JENIS STRESSOR

TUBUH

Tabel perubahan hormone utama selama respon stress (Sherwood) HORMON Epinefrin PERUBAHAN Naik TUJUAN Memperkuat sistem saraf simpatis untuk mempersiapakan tubuh fight on flight Memobilisasi simpanan karbohidrat dan lemak; meningkatkan kadar glukosa dan asam lemak darah

CRH-ACTHkortisol

Naik

Memobilsasi simpanan energi dan bahanpembangun metabolik untuk digunakan jikadiperlukan; meningkatkan glukosa, asam aminodarah, dan asam lemak darah ACTHmempermudah proses belajar dan perilaku

Glukagon Insulin Renin Angiotensin Aldosteron Vasopressin

Naik Turun Naik

Bekerja bersama untuk mengatur kadar glukosa darah Menahan Garam dan plasma; darah jika H2O untuk membantu terjadi

meningkatkanvolume mempertahankantekanan Naik

pengeluaran akut plasma Vasopresin dan angiostensin II menyebabkan vasokontriksi arteriol untuk meningkatkan tekanan darah.

Terjadi peningkatan hormonal yang luas dalam reaksi ini sehingga cenderung pada respon melawan dan menghindar, seperti curah jantung, ambilan oksigen, dan frekuensi pernapasan meningkat; pupil mata berdilatasi untuk menghasilkan bidang visual yang lebih besar; dan frekuensi jantung meningkat untuk menghasilkan energy lebih banyak. Namun, jika stresor terus menetap setelah reaksi alarm maka individu tersebut akan masuk pada tahap resisten 2. Tahap resisten Dalam tahap ini tubuh kembali stabil, kadar hormon, frekuensi jantung, tekanan darah, dan curah jantung kembali ke tingkat normal. Individu terus berupaya untuk menghadapi stresor dan memperbaiki kerusakan. Akan tetapi jika stresor terus menetap seperti pada kehilangan darah terus menerus, penyakit melumpuhkan, penyakit mental parah jangka panjang, dan ketidakberhasilan mengadaptasi maka invidu masuk ke tahap kehabisan energi. 3. Tahap kehabisan tenaga Tahap kehabisan tenaga terjadi ketika tubuh tidak dapat lagi melawan stres dan ketika energi yang diperlukan untuk mempertahankan adaptasi sudah habis. Jika 8

tubuh tidak mampu untuk mempertahankan dirinya terhadap dampak stresor, regulasi fisiologis menghilang, dan stres tetap berlanjut, maka akan terjadi kematian. Beberapa penelitian menunjukan bahwa bagian otak amigdala adalah kunci dari PTSD, ditunjukan bahwa pengalaman yang traumatik dapat merangsang bagian tersebut untuk menimbulkan rasa takut yang dalam terhadap kondisi-kondisi yang mungkin menyebabkan kembalinya pengalaman traumatic tersebut. Amigdala dan berbagai struktur lainnya seperti hipotalamus, bagian abuabu otak dan nucleus, mengaktifkan neurotransmitter dan endokrin untuk menghasilkan hormone-hormon yang berperan dari berbagai gejala PTSD. Bagian otak depan (frontal) sebenarnya berfungsi untuk menghambat aktivasi rangkaian ini, walaupun begitu pada penelitian terhadap orang-orang yang mengalami PTSD, bagian ini mengalami kesulitan untuk menghambat aktivasi system amigdala. Aktivasi neurotransmiter otonom dan aktivitas endokrin menghasilkan banyak gejala PTSD. Hippocampus juga mungkin memiliki efek modulasi di amigdala. Korteks orbitoprefrontal sebenarnya dapat menambah efek inhibisi pada aktivasi PTSD. Namun, pada orang yang menderita PTSD, korteks orbitoprefrontal kurang mampu menghambat aktivasi ini, mungkin karena stres akibat atrofi pada daerah hipocampus. Dalam kasus PTSD, ingatan terus-menerus akan peristiwa traumatik yang terjadi telah mengganggu proses akuisisi informasi baru dan mengingat informasi yang tidak ada kaitannya dengan trauma yang dialami. Yang menjadi persoalan adalah terjadinya stres serius yang terus-menerus ini mendorong diproduksinya hormon kortisol, yang pada akhirnya merusak struktur otak yang penting bagi ingatan, yaitu pada hipokampus dan sistem limbik.6 2.5 Tanda dan Gejala Ada tiga kelompok dari gejala yang diperlukan untuk mendiagnosis suatu PTSD, yaitu: 1. Gejala re-experience misalnya ingatan mengenai masalah, kilas balik yang biasanya disebabkan oleh hal-hal yang mengingatkan pada peristiwa traumatik,

mimpi buruk yang sering muncul mengenai trauma atau peristiwa yang berhubungan dengan trauma. 2. Gejala avoidance yaitu menghindari tempat-tempat yang, orang-orang, dan pengalaman yang mengingatkan penderita pada trauma, kehilangan ketertarikan pada aktivitas yang disukai, memiliki masalah dengan mengingat peristiwa yang berbahaya. 3. Gejala hyperaurosal, termasuk masalah tidur, masalah dalam konsentrasi, iritabilitas, kemarahan,sulit mengingat sesuatu, peningkatan tendensi, untuk terjaga dan hypervigilance terhadap ancaman. Sedikitnya 1 gejala re-experience, 3 gejala avoidance dan 3 gejala hyperaurosal harus ada selama paling sedikit 1 bulan dan harus disebabkan oelh distress yang signifikan atau kekurangan fungsional untuk mendiagnosis suatu PTSD. PTSD menjadi kronik jika terjadi lebih dari 3 bulan. Ada lain gejala terkait PTSD: Serangan panik : perasaan takut yang intens, yang dapat disertai dengan sesak napas, pusing, berkeringat, mual, dan berdebar - debar. Gejala fisik : nyeri kronis, sakit kepala, sakit perut, diare, sesak atau rasa terbakar di dada, kram otot, atau nyeri pinggang Perasaan ketidakpercayaan: kehilangan kepercayaan orang lain dan berpikir dunia adalah tempat yang berbahaya Permasalahan dalam kehidupan sehari-hari: mengalami masalah dalam pekerjaan, di sekolah, atau dalam situasi sosial Penyalahgunaan zat: menggunakan obat-obatan atau alkohol untuk mengatasi rasa sakit emosional Masalah dalam Hubungan : mengalami masalah dengan keintiman atau dengan keluarga dan teman-teman Depresi: sedih, suasana hati cemas, atau kosong, kehilangan minat dalam melakukan kegiatan, perasaan bersalah dan malu, atau keputusasaan tentang masa depan. Gejala lain dari depresi juga dapat terjadi. Bunuh diri : pikiran tentang mengambil kehidupan sendiri.2-5,7-10 10 reaksi

2.6 Diagnosis Berikut adalah kriteria diagnostic untuk Gangguan Stres Pascatraumatik menurut DSM-IV: A. Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana ada dari kedua bagian berikut ini: 1) Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera yang serius, atau ancaman kepada integritas fisik diri sendiri atau orang lain. 2) Respon orang tersebut merasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya, atau horror. Catatan: pada anak-anak hal ini dapat diekspresikan dengan perilaku yang kacau atau teragitasi. B. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam satu (atau lebih) cara berikut: 1) Rekuren dan mengganggu akibat terkumpulnya pengalaman

pengalaman yang membuatnya trauma, termasuk bayangan, pikiran, atau persepsi. Catatan: pada anak kecil, dapat menunjukkan kejadian berulang dengan tema atau aspek trauma. 2) Mimpi menakutkan yang berulang tentang kejadian. Catatan: pada anakanak, mungkin terdapat mimpi menakutkan tanpa isi yang dapat dikenali. 3) Berkelakuan atau merasa seakan-akan kejadian traumatik terjadi kembali (termasuk perasaan penghidupan kembali pengalaman traumatik, ilusi, halusinasi, dan episode kilas balik disosiatif, termasuk yang terjadi selama terbangun atau saat terintoksikasi). Catatan: pada anak kecil, dapat terjadi penghidupan kembali yang spesifik dengan trauma.

11

4) Penderitaan psikologis yang kuat saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. 5) Reaktivitas psikologis saat terpapar dengan tanda internal atau eksternal yang menyimbolkan atau menyerupai suatu aspek kejadian traumatik. C. Penghindaran stimulus yang persisten yang berhubungan dengan trauma dan kaku karena responsivitas umum (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditujukan oleh tiga (atau lebih) berikut ini: 1) Usaha untuk menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang berhubungan dengan trauma. 2) Usaha untuk menghndari aktivitas, tempat, atau orang yang menyadarkan rekoleksi dengan trauma. 3) Tidak mampu untuk mengingat aspek penting dari trauma. 4) Hilangnya minat atau peran serta yang jelas dalam aktivitas yang bermakna. 5) Perasaan terlepas atau asing dari orang lain. 6) Rentang afek yang terbatas (misalnya, tidak mampu untuk memiliki perasaan cinta) 7) Perasaan bahwa masa depan menjadi pendek (misalnya, tidak berharap memiliki karir, menikah, anak-anak, atau panjang kehidupan normal) D. Gejala menetap adanya peningkatan kesadaran (tidak ditemukan sebelum trauma), seperti yang ditunjukkan oleh dua (atau lebih) berikut: 1) Kesulitan untuk tidur atau tetap tertidur. 2) Iritabilitas atau ledakan kemarahan. 3) Sulit berkonsentrasi. 4) Kewaspadaan berlebihan. 12

5) Respon kejut yang berlebihan. E. Lama gangguan (gejala dalam kriteria A, B, C, dan D) adalah lebih dari satu bulan. F. Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.5 Sementara itu kriteria diagnostik untuk gangguan stres pascatraumatik menurut PPDGJ III (F 43.1) adalah sebagai berikut: 1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya. 2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashbacks). 3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas. 4. Suatu sequelae menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).2,3,4,7 2.7 Diagnosis banding Pertimbangan utama dalam diagnosis banding gangguan stress pascatraumatik adalah kemungkinan bahwa pasien juga mengalami cedera kepala selama trauma. Pertimbangan organik lainnya yang dapat menyebabkan atau mengeksaserbasi gejala adalah epilepsi, gangguan penggunaan alkohol, dan gangguan berhubungan zat 13

lainnya. Intoksikasi akut atau putus dari suatu zat mungkin juga menunjukkan gambaran klinis yang sulit dibedakan dari gangguan stres pascatraumatik sampai efek zat menghilang.3 Pada umumnya, gangguan stres pascatraumatik dapat dibedakan dari gangguan mental lain dengan mewancarai pasien tentang peristiwa traumatik sebelumnya dan melalui sifat gejala sekarang ini. Gangguan kepribadian ambang, gangguan disosiatif, gangguna buatan, dan berpura-pura juga harus dipertimbangkan. Gangguan kepribadian ambang mungkin sulit dibedakan dengan gangguan stress pascatraumatik. Dua gangguan tersebut dapat terjadi bersama-sama atau bahkan saling berhubungan sebab akibat. Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memilikiderajat perilaku menghindar, kesadaran berlebih (hiperaurosal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publisitas yang telah diterima gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan kemungkinan suatu gangguan buatan dan berpura-pura.3 2.8 Tatalaksana Pendekatan terapi pada PTSD adalah dukungan, dorongan untuk mendiskusikan peristiwa tersebut, dan edukasi mengenai mekanisme koping (contohnya relaksasi). Penggunaan obat hipnotik-sedatif juga dapat membantu. Ketika pasien mengalami peristiwa traumatik masa lalu dan sekarang memiliki PTSD, penekanan harus pada edukasi mengenai gangguan dan terapinya baik farmakologis maupun psikoterapinya. Berbagai teknik untuk meredakan kecemasan dapat dilakukan seperti relaksasi, teknik-teknik mengatur pernafasan serta mengontrol pikiran-pikiran perlu dilatih dan terbukti bermanfaat untuk individu dengan gangguan stress pascatraumatik. Modifikasi pola hidup seperti diet yang sehat, mengatur konsumsi kafein, alkohol, rokok dan obat-obatan lainnya, perlunya olahraga yang teratur, dll. Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah pemberian antidepresan golongan SSRI (penghambat selektif ambilan serotonin) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200mg/hr atau Fluvoxamine 50-300mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah Amiltriptilin 50-300mg/hr dan juga imipramin 50300mg/hr.2,4,5,8,9 14

Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pascatraumatik sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek di bawah ini: 1. Gangguan stress pascatraumatik merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya. 2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini. 3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan. 4. Exposure therapy (terapi pemaparan) merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama 6 bulan.2,4,5,8,9 Benzodiazepin (obat penenang) seperti diazepam (valium) dan alprazolam(Xanax) sayangnya telah dikaitkan dengan sejumlah masalah efek samping, termaksud gejala withdrawal dan resiko overdosis, dan belum ditemukan secara signifikan efektif untuk membantu individu dengan PTSD. Selektif Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) seperti Sertraline dan Paroxetine dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama untuk PTSD karena efektivitas dan tingkat keamanannya. SSRI mengurangi gejala PTSD dan efektif memperbaiki gejala PTSD yang khas. Efektivitas Imipramine dan Amitriptilin untuk terapi PTSD secara klinis terkontrol baik. Dosis Imipramine dan Amitriptilin harus sama dengan dosis yang digunakan untuk mengobati gangguan depresif dan lama minum untuk pengobatan adalah 8 minggu. Pasien yang memberikan respon baik, mungkin harus melanjutkan farmakoterapi sedikitnya 1 tahun sebelum dicoba penghentian obat. Obat lain yang dapat berguna dalam terapi PTSD adalah Monoamine Oksidase Inhibitor (MAOI) contohnya Fenelzine, Trazodon, dan Antikonvulsan contohnya Karbamazepine dan Valproat. 15

Hampir tidak ada data positif mengenai penggunaan antipsikotik sehingga penggunaan obat ini, contohnya Haloperidol harus dicadangkan untuk mengatasi agresi dan agitasi berat.2,4,5,8,9

2.8.1 Psikoterapi Intevensi psikoterapi PTSD mencakup terapi perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis. Banyak klinisi menyarankan psikoterapi dengan waktu terbatas pada korban trauma. Terapi seperti ini memerlukan pendekatan kognitif, memberikan dukungan, dan rasa aman. Sifat psikoterapi jangka pendek dapat meminimalkan resiko ketergantungan dan menjadi kronis. Terapis harus menghadapi penyangkalan pasien mengenai peristiwa traumatik sehingga terapis menyarankan mereka bersantai dan menjauhkan mereka dari sumber stress. Pasien harus disarankan tidur, menggunakan obat jika perlu. Dukungan dari orang sekitar harus diberikan. Pasien harus diminta mengingat kembali dan melakukan abreaksi (mengalami emosi yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang dapat membantu pasien) perasaan emosional yang berkaitan dengan peristiwa traumatik dan merencanakan pemulihan masa mendatang. Ketika timbul PTSD, ada 2 pendekatan psikoterapik utama, yang pertama adalah teknik membayangkan terhadap peristiwa tersebut. Pajanan ini bertahap seperti pada desensitisasi sistematik. Pendekatan kedua adalah mengajari pasien metode penatalaksaanaan stress termasuk teknik relaksasi dan pendekatan kognitif untuk menghadapi strss. Sejumlah data menunjukkan bahwa penatalaksanaan stress lebih cepat daripada teknik pemajanan. Akan tetapi, hasil teknik pemajanan lebih bertahan lama. Terapi psikoterapi yang relatif baru dan kontroversial adalah Eye Movement Desensitization and Reprocessing disini pasien berfokus pada gerakan lateral jari klinisi sambil mempertahankan bayangan mental tentang pengalaman trauma. Keyakinan umum adalah bahwa gejala dapat dipulihkan jika pasien mengingat peristiwa traumatik sambil berada dalam keadaan relaksasi dalam.Disamping teknik terapi individu, terapi kelompok dan keluarga sering dilaporkan efektif pada kasus PTSD.

16

Eye-movement desensitization and reprocessing (EMDR) adalah bentuk terapi kognitif di mana panduan praktisi orang dengan PTSD dalam berbicara tentang trauma yang diderita dan perasaan negatif yang terkait dengan peristiwa, sambil memfokuskan pada jari profesional bergerak cepat. Sementara beberapa penelitian menunjukkan pengobatan ini mungkin efektif, tidak jelas apakah ini adalah setiap lebih efektif daripada terapi kognitif yang dilakukan tanpa menggunakan gerakan mata yang cepat. Keluarga individu PTSD, serta penderita, dapat mengambil manfaat dari konseling keluarga, konseling pasangan, orang tua kelas, dan resolusi konflik pendidikan. Anggota keluarga juga mungkin dapat memberikan sejarah yang relevan tentang dicintai mereka satu (misalnya, tentang emosi dan perilaku, penyalahgunaan narkoba , kebiasaan tidur, dan sosialisasi) bahwa orang dengan penyakit tidak mampu atau tidak ingin berbagi. Langsung menangani masalah tidur yang dapat menjadi bagian dari PTSD telah ditemukan tidak hanya membantu meringankan masalah tersebut tetapi dengan demikian membantu mengurangi gejala PTSD pada umumnya. Secara khusus, melatih cara-cara adaptif mengatasi mimpi buruk (citra terapi latihan), pelatihan dalam teknik relaksasi, self-talk positif, dan skrining untuk masalah tidur lainnya telah ditemukan untuk menjadi sangat membantu dalam mengurangi masalah tidur yang terkait dengan PTSD.2 2.9 Prognosis Prognosis yang baik diramalkan oleh onset gejala yang cepat, durasi gejala yang singkat (kurang dari enam bulan), dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatrik, medis, atau berhubungan zat lainnya.2 Pada umumnya, orang yang sangat muda atau sangat tua memiliki lebih banyak kesulitan dengan peristiwa traumatik dibandingkan mereka yang dalam usia paruh baya. Kemungkinan, anak-anak belum memiliki mekanisme mengatasi kerugian fisik dan emosional akibat trauma. Demikian juga dengan orang lanjut usia, jika dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih muda, kemungkinan memiliki mekanisme mengatasi yang lebih kaku dan kurang mampu melakukan pendekatan 17

fleksibel untuk mengatasi efek trauma. Kecacatan psikiatrik yang ada sebelumnya, apakah suatu gangguan kepribadian atau suatu kondisi yang lebih serius, juga meningkatkan efek stresor tertentu. Tersedianya dukungan sosial juga mempengaruhi perkembangan, keparahan, dan durasi gangguan stres pascatraumatik. Pada umumnya, pasien yang memiliki jaringan dukungan sosial yang baik, kemungkinan tidak menderita gangguan atau tidak mengalami gangguan dalam bentuk yang parahnya.2

BAB 3 PENUTUP DAFTAR PUSTAKA 1. Mayo Foundation for Medical Education and Research, 2009. Post-traumatic Stress Disorder. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Available from: http://www.mayoclinic.com/health/post-traumatic-stressdisorder/DS00246/METHOD=print 2. Edwards, R. D., 2010. Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). MedicineNet. Available from: http://www.emedicinehealth.com/posttraumatic_stress_disorder_ptsd/article_em.html 3. Kaplan, Sadock, Grebb, MD, 2010. Sinopsis Psikiatri. Jilid ke-2, Binapura Angkasa, Jakarta: 68-75. 4. National Institute of Mental Health. 2008. Post-traumatic Stress Disorder. National Institute of Mental Health. Available from: http://www.nimh.nih.gov/health/publications/post-traumatic-stress-disorderptsd/what-is-post-traumatic-stress-disorder-or-ptsd.shtml 18

5.

Mental Health America, 2007. Post-traumatic Stress Disorder. Mental Health America. Available from: http://mentalhealthamerica.net/index.cfm? objectid=C7DF91D3-1372-4D20-C8E6CFE1B56A38AB

6. 7.

Sherwood L. Hormon. Edisi 2. Jakarta : Penerbit buku kedokteran EGC.2002 Maslim, Rusdi, 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya, Jakarta: 79

8.

Utama, Hendra, 2010. Buku Ajar Psikiatri. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 254-264.

9.

Joseph G, MD. PTSD. Mental health 2012. Diunduh dari: http://www.webmd.com/mental-health/post-traumatic-stress-disorder-ptsd

19

You might also like