You are on page 1of 45

Bronkitis

February 9, 2010 by keperawatankita 1 Comment

1. Pengertian Secara harfiah bronkitis adalah suatu penyakit yang ditanda oleh inflamasi bronkus. Secara klinis pada ahli mengartikan bronkitis sebagai suatu penyakit atau gangguan respiratorik dengan batuk merupakan gejala yang utama dan dominan. Ini berarti bahwa bronkitis bukan penyakit yang berdiri sendiri melainkan bagian dari penyakit lain tetapi bronkitis ikut memegang peran.( Ngastiyah, 1997 ) Bronkitis berarti infeksi bronkus. Bronkitis dapat dikatakan penyakit tersendiri, tetapi biasanya merupakan lanjutan dari infeksi saluran peranpasan atas atau bersamaan dengan penyakit saluran pernapasan atas lain seperti Sinobronkitis, Laringotrakeobronkitis, Bronkitis pada asma dan sebagainya (Gunadi Santoso, 1994) Sebagai penyakit tersendiri, bronkitis merupakan topik yang masih diliputi kontroversi dan ketidakjelasan di antara ahli klinik dan peneliti. Bronkitis merupakan diagnosa yang sering ditegakkan pada anak baik di Indonesia maupun di luar negeri, walaupun dengan patokan diagnosis yang tidak selalu sama.(Taussig, 1982; Rahayu, 1984) Kesimpangsiuran definisi bronkitis pada anak bertambah karena kurangnya konsesus mengenai hal ini. Tetapi keadaan ini sukar dielakkan karena data hasil penyelidikan tentang hal ini masih sangat kurang. 2. Review Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan Pernapasan adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Fungsi dari sistem pernapasan adalah untuk mengambil

O2 yang kemudian dibawa oleh darah ke seluruh tubuh untuk mengadakan pembakaran, mengeluarkan CO2 hasil dari metabolisme . a. Hidung Merupakan saluran udara yang pertama yang mempunyai dua lubang dipisahkan oleh sekat septum nasi. Di dalamnya terdapat bulu-bulu untuk menyaring udara, debu dan kotoran. Selain itu terdapat juga konka nasalis inferior, konka nasalis posterior dan konka nasalis media yang berfungsi untuk mengahangatkan udara. b. Faring Merupakan tempat persimpangan antara jalan pernapasan dan jalan makanan. Terdapat di bawah dasar pernapasan, di belakang rongga hidung, dan mulut sebelah depan ruas tulang leher. Di bawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga di beberapa tempat terdapat folikel getah bening. c. Laring Merupakan saluran udara dan bertindak sebelum sebagai pembentuk suara. Terletak di depan bagian faring sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk ke dalam trakea di bawahnya. Laring dilapisi oleh selaput lendir, kecuali pita suara dan bagian epiglottis yang dilapisi oleh sel epitelium berlapis. d. Trakea Merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16 20 cincin yang terdiri dari tulang rawan yang berbentuk seperti tapal kuda yang berfungsi untuk mempertahankan jalan napas agar tetap terbuka. Sebelah dalam diliputi oleh selaput lendir yang berbulu getar yang disebut sel bersilia, yang berfungsi untuk mengeluarkan benda asing yang masuk bersama-sama dengan udara pernapasan. e. Bronkus Merupakan lanjutan dari trakea, ada 2 buah yang terdapat pada ketinggian vertebra thorakalis IV dan V. mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi oleh jenis sel yang sama. Bronkus kanan lebih besar dan lebih pendek daripada bronkus kiri, terdiri dari 6 8 cincin dan mempunyai 3 cabang. Bronkus kiri terdiri dari 9 12 cincin dan mempunyai 2 cabang. Cabang bronkus yang lebih kecil dinamakan bronkiolus, disini terdapat cincin dan terdapat gelembung paru yang disebut alveolli. f. Paru-paru Merupakan alat tubuh yang sebagian besar dari terdiri dari gelembung-gelembung. Di sinilah tempat terjadinya pertukaran gas, O2 masuk ke dalam darah dan CO2 dikeluarkan dari darah.

3. Klasifkasi a. Bronkitis Akut Bronkitis akut pada bayi dan anak biasanya juga bersama dengan trakeitis, merupakan penyakit saluran napas akut (ISNA) yang sering dijumpai. b. Bronkitis Kronik dan atau Batuk Berulang Bronkitis Kronik dan atau berulang adalah kedaan klinis yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan gejala batuk yang berlangsung sekurang-kurangnya selama 2 minggu berturut-turut dan atau berulang paling sedikit 3 kali dalam 3 bulan dengan atau tanpa disertai gejala respiratorik dan non respiratorik lainnya (KONIKA, 1981). Dengan memakai batasan ini maka secara jelas terlihat bahwa Bronkitis Kronik termasuk dalam kelompok BKB tersebut. Dalam keadaan kurangnya data penyelidikan mengenai Bronkitis Kronik pada anak maka untuk menegakkan diagnosa Bronkitis Kronik baru dapat ditegakkan setelah menyingkirkan semua penyebab lainnya dari BKB. 4. Etiologi Penyebab utama penyakit Bronkitis Akut adalah adalah virus. Sebagai contoh Rhinovirus Sincytial Virus (RSV), Infulenza Virus, Para-influenza Virus, Adenovirus dan Coxsakie Virus. Bronkitis Akut selalu terjadi pada anak yang menderita Morbilli, Pertusis dan infeksi Mycoplasma Pneumonia. Belum ada bukti yang meyakinkan bahwa bakteri lain merupakan penyebab primer Bronkitis Akut pada anak. Di lingkungan sosio-ekonomi yang baik jarang terdapat infeksi sekunder oleh bakteri. Alergi, cuaca, polusi udara dan infeksi saluran napas atas dapat memudahkan terjadinya bronkitis akut.

Sedangkan pada Bronkitis Kronik dan Batuk Berulang adalah sebagai berikut : a. Spesifik

1) Asma 2) Infeksi kronik saluran napas bagian atas (misalnya sinobronkitis). 3) Infeksi, misalnya bertambahnya kontak dengan virus, infeksi mycoplasma, hlamydia, pertusis, tuberkulosis, fungi/jamur. 4) Penyakit paru yang telah ada misalnya bronkietaksis. 5) Sindrom aspirasi. 6) Penekanan pada saluran napas 7) Benda asing 8)Kelainan jantung bawaan 9) Kelainan sillia primer 10) Defisiensi imunologis 11) Kekurangan anfa-1-antitripsin 12) Fibrosis kistik
13) Psikis b. Non-spesifik 1. Asap rokok 2. Polusi udara

5.Patofisiologi

Virus (penyebab tersering infeksi) Masuk saluran pernapasan Sel mukosa dan sel silia Berlanjut Masuk saluran pernapasan(lanjutan) Menginfeksi saluran pernapasan Bronkitis Mukosa membengkak dan menghasilkan lendir Pilek 3 4 hari Batuk (mula-mula kering kemudian berdahak) Riak jernih Purulent Encer Hilang Batuk Keluar Suara ronchi basah atau suara napas kasar Nyeri subsernal Sesak napas Jika tidak hilang setelah tiga minggu Kolaps paru segmental atau infeksi paru sekunder (pertahanan utama) (Sumber : dr.Rusepno Hasan, Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak, 1981) 6. Tanda dan gejala Menurut Gunadi Santoso dan Makmuri (1994), tanda dan gejala yang ada yaitu : - Biasanya tidak demam, walaupun ada tetapi rendah - Keadaan umum baik, tidak tampak sakit, tidak sesak - Mungkin disertai nasofaringitis atau konjungtivitis - Pada paru didapatkan suara napas yang kasar Menurut Ngastiyah (1997), yang perlu diperhatikan adalah akibat batuk yang lama, yaitu : - Batuk siang dan malam terutama pada dini hari yang menyebabkan klien murang istirahat - Daya tahan tubuh klien yang menurun - Anoreksia sehingga berat badan klien sukar naik - Kesenangan anak untuk bermain terganggu - Konsentrasi belajar anak menurun 7. Komplikasi a. Bronkitis Akut yang tidak ditangani cenderung menjadi Bronkitis Kronik b. Pada anak yang sehat jarang terjadi komplikasi, tetapi pada anak dengan gizi kurang dapat terjadi Othithis Media, Sinusitis dan Pneumonia c. Bronkitis Kronik menyebabkan mudah terserang infeksi d. Bila sekret tetap tinggal, dapat menyebabkan atelektasisi atau Bronkietaksis 8. Pemeriksaan Penunjang a. Foto Thorax : Tidak tampak adanya kelainan atau hanya hyperemia b. Laboratorium : Leukosit > 17.500. 1. Penatalaksanaan 1. Tindakan Perawatan Pada tindakan perawatan yang penting ialah mengontrol batuk dan

mengeluarakan lendir - Sering mengubah posisi - Banyak minum - Inhalasi - Nebulizer - Untuk mempertahankan daya tahan tubuh, setelah anak muntah dan tenang perlu diberikan minum susu atau makanan lain 2. Tindakan Medis - Jangan beri obat antihistamin berlebih - Beri antibiotik bila ada kecurigaan infeksi bakterial - Dapat diberi efedrin 0,5 1 mg/KgBB tiga kali sehari - Chloral hidrat 30 mg/Kg BB sebagai sedatif 2. Pencegahan Menurut Ngastiyah (1997), untuk mengurangi gangguan tersebut perlu diusahakan agar batuk tidak bertambah parah. - Membatasi aktivitas anak - Tidak tidur di kamar yang ber AC atau gunakan baju dingin, bila ada yang tertutup lehernya - Hindari makanan yang merangsang - Jangan memandikan anak terlalu pagi atau terlalu sore, dan mandikan anak dengan air hangat - Jaga kebersihan makanan dan biasakan cuci tangan sebelum makan - Menciptakan lingkungan udara yang bebas polusi Dengan begitu sebaiknya anda terbebas dari polutandiatas dan mencegah lebih baik daripada mengobati. (KK) Filed under Penyakit Tagged with askep, batuk, bronchitis, bronkitis, bronkus, dahak, fisiologi, ilmu, keperawatan, paru, Penyakit, sesak

Mengenal Lebih Jauh dengan Paru-paru


December 7, 2009 by keperawatankita 2 Comments ANATOMI DAN FISIOLOGI PARU-PARU Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain dalam mediastinum. Masing-masing paruparu berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan

tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis.7 Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior. 7 Setiap bronkus lobaris, yang berjalan ke lobus paru-paru, mempercabangkan bronkus segmentalis. Setiap bronkus segmentalis yang masuk ke lobus paru-paru secara struktural dan fungsional adalah independen, dan dinamakan segmen bronkopulmonalis. Segmen ini berbentuk piramid, mempunyai apeks yang mengarah ke radiks pulmonalis dan basisnya mengarah ke permukaan paru-paru. Tiap segmen dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain bronkus juga diisi oleh arteri, vena, pembuluh limfe dan saraf otonom. 7 Asinus adalah unit respiratori fungsional dasar, meliputi semua struktur dari bronkhiolus respiratorius sampai ke alveolus. Dalam paru-paru manusia, terdapat kira-kira 130.000 asini, yang masing-masing terdiri dari tiga bronkhiolus respiratorius, tiga duktus alveolaris dan 17 sakus alveolaris.7 Alveolus adalah kantong udara terminal yang berhubungan erat dengan jejaring kaya pembuluh darah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi anatomisnya, semakin negatif tekanan intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar. Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa, bertanggungjawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah yang memproduksi surfaktan, yang melapisi alveolus dan memcegah kolapnya alveolus.7 Sirkulasi pulmonal memiliki aliran yang tinggi dengan tekanan yang rendah (kira-kira 50 mmHg). Paru-paru dapat menampung sampai 20% volume darah total tubuh, walaupun hanya 10% dari volume tersebut yang tertampung dalam kapiler. Sebagai respon terhadap aktivitas, terjadi peningkatan sirkulasi pulmonal.7 Yang paling penting dari sistem ventilasi paru-paru adalah upaya terus menerus untuk memperbarui udara dalam area pertukaran gas paru-paru. Antara alveoli dan pembuluh kapiler paru-paru terjadi difusi gas yang terjadi berdasarkan prinsip perbedaan tekanan parsial gas yang bersangkutan.8 Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah pertukaran gas, tetapi tetap berada dalam saluran napas di mana pada tempat ini tidak terjadi pertukaran gas, seperti pada hidung, faring dan trakea. Udara ini disebut udara ruang rugi, sebab tidak berguna dalam proses pertukaran gas. Pada waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah udara ruang rugi, sebelum udara di alveoli sampai ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan kerugian dari gas ekspirasi paru-paru. Ruang rugi dibedakan lagi menjadi ruang rugi anatomik dan ruang rugi fisiologik. Ruang rugi anatomik meliputi volume seluruh ruang sistem pernapasan selain alveoli dan daerah pertukaran gas lain yang berkaitan erat. Kadang-kadang, sebagian alveoli sendiri tidak berungsi atau hanya sebagian berfungsi karena tidak adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru-paru yang berdekatan. Oleh karena itu, dari segi

fungsional, alveoli ini harus juga dianggap sebagai ruang rugi dan disebut sebagai ruang rugi fisiologis. 8 EMFISEMA BULOSA // Pembagian klinis emfisema paru-paru pertama kali diajukan oleh Dikjman (1986), yang membedakan tiga jenis kelainan, yaitu emfisema kompensasi, emfisema obstruktif difusa dan emfisema bulosa.4 Emfisema kompensasi bukanlah emfisema yang sesungguhnya, karena tidak terjadi kerusakan asinus. Yang terjadi pada kelainan ini adalah hiperinflasi bagian tertentu dari paru-paru yang mengisi ruang hemitoraks besar yang terjadi karena atelektasis atau pembedahan reseksi paru-paru. Emfisema obstruktif difusa lebih dikenal dengan sebutan penyakit paru-paru obtruktif kronik. Emfisema bulosa ditandai oleh dilatasi dan kerusakan ruang udara terminal paru-paru, dapat terjadi kongenital tanpa kelainan paru-paru yang mendasari, namun dapat pula terjadi sebagai komplikasi dari penyakit paru-paru obstruktif kronik dengan atau tanpa penyakit paru-paru lain. Dalam upaya menegakkan diagnosis, gejala-gejala emfisema bulosa harus dapat dibedakan dengan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh emfisema kronik maupun bronkitis kronik.4

Gambar 1. Gambar 1. Bula paru-paru (diadaptasi dari http://www.som.tulane.edu/classware/pathology/medical_pathology/McPath/GR_Lung/Lung13. html) // Bleb adalah pengumpulan udara di subpleura, di antara lapisan-lapisan pleura viseral, yang disebabkan oleh rupturnya alveolus.4 Udara masuk melalui jaringan interstitial ke dalam lapisan fibrosa tipis pleura visera. Biasanya timbul di bagian apikal paru-paru. Bleb-bleb kecil dapat bersatu membentuk bleb yang lebih besar, atau tidak jarang bleb dapat pula multiple dan tersebar merata di permukaan atas paru-paru. Sementara bula adalah ruang berisi udara (diameter mulai dari 1 cm sampai sangat besar) dalam parenkim paru-paru yang terjadi karena adanya deteriorasi

jaringan alveola.4,5 Secara histopatologis, bula tampak mempunyai dinding fibrosa dengan trabekulasi yang dibentuk oleh sisa-sisa septum alveolar. Bula paru-paru hampir selalu multiple, tetapi berada dalam satu segmen atau lobus. Lokasi bula tersering adalah di lobus atas paru-paru. Bula berukuran besar (lebih dari 50% hemitoraks) di lobus kanan paru-paru, yang biasa dijumpai pada pria usia muda atau setengah baya, biasa disebut giant bullous emphysema atau vanishing lung syndrome6, terutama bila bula memenuhi hampir seluruh hemitoraks. Baik bleb maupun bula, sama-sama dapat menyebabkan pneumotoraks spontan.4,5 //

Gambar 2. Gambaran Histopatologis Bula Paru-paru (diadaptasi dari http://www.uhrad.com/ctarc/ct073.htm) // Klasifikasi bula Klasifikasi pada pasien dengan bula bertujuan untuk memudahkan evaluasi pasien yang menjadi kandidat pembedahan dan meramalkan fungsi pernapasan pasca tindakan. Klasifikasi penyakit bulosa oleh DeVries dan Wolfe (1980) membagi kelainan ini menjadi empat kategori seperti tampak pada tabel 1.4 Tabel 1. Klasfikasi Emfisema Bulosa Kategori I II III IV Bula Besar, single Multiple Multiple Multiple Penyakit paru-paru yang mendasari Normal Normal Emfisema difusa Penyakit paru-paru lain (skleroderma, histoplasmosis, fibrosis paru-paru, granuloma

eusinofilik, pneumokoniosis) //

Gambar 3. Bula paru-paru intraoperatif: (A) Kategori I; (B) kategori III (diadaptasi dari Venuta F, deGiacomo T. Giant Bullous Emphysema. www. CTSNET.com) // PATOFISIOLOGI DAN PATOGENESIS BULA PARU-PARU Penjelasan mengenai patofisiologi terjadinya bula paru-paru pertama kali diajukan oleh Cooke dan Blades (1952), sebagai berikut : awalnya, mekanisme katup bola (ball-valve) antara bula dan bronkus menyebabkan bula membesar secara progresif. Kemudian, bula yang membesar karena peningkatan tekanan intra bula akan membuat jaringan paru-paru di sekitarnya kolaps. Selanjutnya, inflamasi dan oklusi parsial saluran napas kecil menyebabkan kerusakan bula disertai pembesaran progresif dan oklusi lanjutan pada saluran napas tersebut. Akhirnya, bula akan menghasilkan space occupying lesion yang besar dengan ventilasi yang baik tetapi tanpa disertai perfusi yang baik, sehingga timbul hambatan gerak difragma dan dinding dada, pergeseran mediastinum dan penekanan pada sisi paru-paru yang sehat di sekitarnya dan pada paru-paru kontralateralnya.4 Baldwin dkk (1950) menemukan bahwa bula besar dapat bertindak sebagai space occupying lesion yang merelaksasi dan menekan jaringan paru-paru yang terkena. Dengan toraks yang terbuka, baik pada operasi maupun otopsi, bula seperti ini akan mengembang dan kolaps secara instan dengan ventilasi tekanan positif. Reid (1967) mengklasifikasikan lesi semacam ini sebagai emfisema non-obstruktif. Kapasitas residu fungsional tetap besar, pengeluaran nitrogen dari bula berjalan lambat, ruang rugi fisiologi berkurang dan pertukaran udara dalam bula berjalan lambat seperti dilaporkan oleh Hugh-Jones dkk (1966). Pada saat toraks terbuka, tekanan positif akan menyebabkan mengembangnya paru-paru di belakang bula disertai kembalinya tegangan radial pada jalan napas. Akibatnya, hubungan antara bronkus dan bula menjadi terbuka lebar. Pada saat toraks tertutup, jaringan paru-paru di sekitarnya akan mengalami relaksasi saat tekanan positif, disertai penurunan tegangan radial jalan napas dan seluruh jalan napas memiliki resistensi aliran yang tinggi. Setelah eksisi bula, tegangan paru-paru akan kembali dan lesi hilang.4 Emfisema ditandai oleh kerusakan dinding alveolar distal dari bronkiolus terminalis. Proses ini akan berlanjut menjadi pembesaran ruang udara distal disertai terbentuknya blebs, kista dan bula. Karena dinding alveolar yang kaya kapiler turut rusak pada daerah emfisema, ruang udara yang

membesar ini memiliki rasio ventilasi perfusi (V/Q) yang tinggi yang menyebabkan terbentuknya ruang rugi fisiologis. Peningkatan ruang ruang rugi pernafasan ini akan menurunkan efisiensi bernapas, dan menyebabkan peningkatan kerja napas dan gangguan pertukaran udara. 9 Kerusakan dinding alveolar juga menyebabkan penurunan kemampuan rekoil elastis paru-paru dan penurunan traction support dari lumen jalan napas kecil yang menyebabkan gangguan proses ekshalasi. Penurunan kemampuan rekoil elastik disertai kolapsnya jalan napas ekspirasi menghasilkan hiperinflasi dan adanya udara yang terperangkap (air-trapping) pada daerah emfisema. Hiperinflasi ini dapat menekan jaringan paru-paru disekitarnya sehingga rasio V/Q akan menurun pada daerah paru-paru yang mengalami penekanan, yang lama kelamaan menyebabkan ganggauan pertukaran udara dan hipoksemia. 9 Kesulitan bernapas pada pasien-pasien dengan bula paru-paru terjadi karena dinding dada mengembang secara maksimal sepanjang waktu, dengan diafragma yang mendatar pada saat inspirasi maksimal. Karenanya, setiap upaya inspirasi hanya menghasilkan pergerakan udara yang minimal. Itulah sebabnya, reseksi bagian paru-paru yang mengalami kerusakan akan memungkinkan dinding dada untuk berupaya kembali ke kondisi normalnya dan mengembalikan mobilitas diafragma seperti semula. 10 Mekanisme terbentuknya bula belum diketahui dengan pasti. Salah satu penjelasan yang menjadi perdebatan adalah terjadinya degradasi serat elastik paru-paru yang dipicu oleh peningkatan masuknyaa netrofil dan makrofag terkait dengan kebiasaan merokok. Degradasi ini menyebabkan ketidakseimbangan sistem protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan. Setelah terbentuk bula, terjadi obstruksi saluran napas kecil yang disebabkan oleh proses inflamasi berkepanjangan sehingga terjadi peningkatan tekanan alveolar, yang menyebabkan udara merembes ke ruang instertitial paru-paru. Kemudian udara akan bergerak ke hilus, terjadilah pneumomediastinum. Dengan meningkatkan tekanan intra-mediastinum, timbul ruptur pleura parietal di daerah mediastinum dan mengakibatkan terjadinya pneumotoraks. Pemeriksaan histopatologi dan mikroskop elektron pada jaringan yang diambil intraoperatif tidak menunjukkan adanya defek pada pleura viseral yang memungkinkan terjadinya perembesan udara dari bula ke ruang pleura.2 Penyebab emfisema bula belum sepenuhnya diketahui, walaupun ditemukan adanya kaitan antara merokok dan difisiensi a1-antitripsin dengan terbentuknya bulla.4,11 Defisiensi a1antitripsin merupakan faktor risiko berkembangnya gejala-gejala pada saluran napas, munculnya emfisema dini dan obstruksi saluran napas. Faktor lingkungan seperti rokok dan paparan terhadap debu menjadi faktor risiko tambahan dan berhubungan dengan cepatnya penurunan kondisi pasien. Faktor penderita juga seperti genetik dan usia juga mempengaruhi berkembangnya penyakit ini. 12 Johnson dkk (2000) melaporkan kasus-kasus bula paru-paru yang terkait dengan kebiasaan merokok mariyuana. Namun pada pasien-pasien yang diamati pada laporan ini juga memiliki riwayat merokok yang cukup lama, sehingga hubungan signifikan antara kebiasaan merokok mariyuana saja tanpa riwayat merokok yang lama terhadap terjadinya bula paru-paru masih perlu diteliti lebih lanjut.13

Kadangkala penting untuk membagi pasien dengan bula paru-paru ke dalam dua grup besar, yaitu (1) pasien PPOK (penyakit paru-paru obstruktif kronis) dan (2) pasien dengan parenkim paru-paru di antara bula yang relatif normal tanpa obstruksi aliran udara. Kelompok kedua ini biasanya memiliki riwayat munculnya penyakit yang sama pada keluarga (familial occurence).14 Insiden bula paru-paru meningkat pada pasien dengan sindrom Marfan dan sindrom EhlersDanlos, yang menunjukkan hubungan antara kelainan jaringan ikat dengan penyakit bula. Karenanya, kemungkinan adanya diagnosis penyakit jaringan ikat semacam ini harus juga dipikirkan.15 Koivisto dan Mustonen (2001) melaporkan dua kasus saudara kembar dengan pneumotoraks spontan dengan penyebab yang kemungkinan diturunkan secara autosomal resesif. Pada kedua kasus ditemukan bula.16 Pneumotoraks yang terjadi sangat mungkin disebabkan oleh rupturnya bula ini. Penyebab non genetik lain, seperti endometriosis yang dapat menimbulkan pneumotoraks katamenial juga perlu disingkirkan.15 DIAGNOSIS Klinis Diagnosis bula paru-paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologis. Pada anamnesis perlu ditanyakan mengenai kebiasaan merokok dan riwayat penyakit dahulu, seperti asma, kelainan kongenital dan PPOK. Gejala klinis yang paling menonjol pada pasien bula paru-paru adalah sesak napas, mulai dari derajat ringan sampai derajat berat, sesuai kriteria dari Hugh Jones.4 Tidak jarang, bila bula cukup besar, pasien juga merasakan rasa nyeri lokal di bagian dada tertentu, sesuai lokasi bula.17 Baik sesak napas maupun nyeri ini berhubungan dengan aktifitas. Tabel 2. Kriteria dispneu menurut Hugh-Jones Derajat 0 I II III IV V Definisi Tidak ada dispneu pada saat aktifitas Dispneu saat berlari atau naik tangga Dispneu saat berjalan atau bersepeda melawan arah angin Tidak mampu berjalan lebih dari 1000 m Tidak mampu berjalan lebih dari 100 m Dispneu saat berjalan dalam rumah, memakai pakaian atau mencuci tangan

Namun demikian, terkadang pasien tidak merasakan adanya keluhan yang berarti, terutama jika bagian paru-paru lain tidak mengalami kelainan. Adanya bula paru-paru seringkali baru diketahui setelah pemeriksaan penunjang, atau bahkan tidak jarang ditemukan intra operatif pada kelainan paru-paru lain.

Yang menjadi kendala dalam pemeriksaan fisik pasien dengan bula paru-paru adalah apabila bula yang dideritanya sudah mengalami komplikasi berupa pneumotoraks spontan.2,3,4,16 Dalam hal ini, sesak napas yang terjadi pada pasien sulit dibedakan apakah disebabkan oleh pneumotoraks atau karena perburukan fungsi paru-paru akibat bertambah besarnya bula. Anamnesis yang mendalam mengenai urut-urutan terjadinya sesak napas dan progresifitasnya sangat penting untuk membantu membedakan kedua entitas penyakit ini. Di samping juga, penggunaan pemeriksaan penunjang yang tepat dan akurat. Radiologi Dalam hal ini pemeriksaan radiologi digunakan untuk mengidentifikasi ukuran, lokasi dan penyebaran space occupying lession.4 Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menilai kondisi parenkim paru-paru di sekitar bula yang bermanfaat untuk memprediksi meningkatnya fungsi paru-paru setelah operasi. Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan dalam diagnosis bula paru-paru antara lain adalah foto polos toraks, bronkografi, angiografi, payaran CT dan payaran ventilasi-perfusi (ventilation-perfusion scanning). 1. Foto Polos Toraks Pada foto polos toraks, diagnosis bula paru-paru dapat ditegakkan apabila ditemukan daerah hiperlusens, avaskular, berbatas tegas dengan dinding tipis.14,17,18 Dinding bula menunjukkan gambaran khas seperti helai rambut, tetapi terkadang hanya sebagian dinding saja yang dapat terlihat.17 Karena bula akan memerangkap udara pada saat ekpirasi, ukurannya akan relatif lebih membesar selama ekspirasi. 17 Gambaran toraks pada saat inspirasi dan ekspirasi seringkali juga diperlukan untuk membedakan emfisema difusa dengan bula paru-paru yang lebih terlokalisasi.4,17 Pada emfisema difusa, ekspirasi tidak meningkatkan volume hemitoraks secara bermakna, sedangkan pada bula, ekspirasi secara dramatis meningkatkan volume hemitoraks sebagai akibat dari deflasi yang terjadi di paru-paru normal di sekitar bula. 4

Gambar 4. // Pemeriksaan foto toraks pada bula. (A) bula paru-paru pada hemitoraks kanan, hiperinflasi, dan kolaps lobus bawah paru-paru kanan disertai pergeseran mediastinum; (B) bula paru-paru pada hemitoraks kiri dengan pergeseran mediastinum ke arah kontralateral. (diadaptasi dari Safdar S, OSullivan M, Shapiro JM. Emergent bullectomy for acute respiratory failure in

Ehlers-Danlos syndrome. J Intensive Care Med 2004;19:349-351 dan Ng CS, Yim AP. Videoassisted thoracoscopic surgery(VATS) bullectomy for emphysematous/bullous lung disease. MMCTS 2004; 265: 1-6) // Pada foto polos juga dapat dijumpai penekanan jaringan paru-paru oleh bula disertai penekanan pada diafragma. Penekanan diafragma ini bersifat terlokalisir, dengan permukaan atas diafragma yang sedikit cekung ke bawah. Garis batas dinding bula dapat terlihat di sisi lateral dari cekungan diafragma tersebut. Bula amat jarang menekan trakea dan jantung walau terkadang dapat melebar sampai ke ruang retrosternal dan membentuk cekungan di paru-paru sisi kontralateralnya. 18 2. Payaran CT Kriteria diagnosis radiologi giant bullous emphysema seperti disampaikan oleh Roberts dkk (1987) meliputi ditemukannya bula raksassa di salah satu atau kedua lobus atas paru-paru, yang memenuhi setidaknya sepertiga hemitoraks sisi yang terkena disertai penekanan pada jaringan paru-paru normal di sekitarnya. Stern dkk (1994) mengemukakan gambaran khas payaran CT giant bullous emphysema yang meliputi bula besar multiple, berdiameter antara 1 20 cm, tanpa adanya salah satu bula yang dominan.19 Seiring dengan bertambahnya usia dan berlanjutnya kebiasaan merokok, kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan foto toraks juga akan bertambah banyak, seperti dilaporkan oleh Kilburn dkk (1995): pada 497 pekerja galangan kapal yang menjalani pemeriksaan foto toraks, dijumpai bula pada 10.3% perokok dan hanya 1,3% pada yang tidak merokok.20 Angka ini akan semakin besar apabila dilanjukan dengan pemeriksaan payaran CT, karena dengan payaran CT yang memiliki resolusi tinggi, kelainan struktural paru-paru akan terlihat dengan lebih jelas. Beberapa pasien dengan bula yang terlihat pada payaran CT, sebelumnya tidak terdeteksi dengan pemeriksaan radiologi konvensional.21 Penggunaan pertama payaran CT untuk evaluasi bula dilakukan oleh Fiore dkk (1982), yang menunjukkan bahwa payaran CT dapat digunakan untuk (1) membedakan bula paru-paru dari pneumotoraks; (2) melihat keberadaan bula paru-paru di tempat lain; dan (3) menilai kondisi paru-paru secara umum. Gambaran yang diperoleh dari payaran CT ini dapat menunjukkan ukuran, lokasi dan perluasan bula yang lebih baik dibandingkan jenis pemeriksaan lain.4 Karenanya, sampai saat ini pemeriksaan payaran CT dianggap sebagai pemeriksaan radiologis bula paru-paru yang paling ideal. // Pasien-pasien dengan giant bullous emphysema rentan terhadap terjadinya pneumotoraks spontan. Tanda-tanda spesifik yang dijumpai pada payaran CT sangat membantu dalam upaya membedakan kedua kelainan ini. Namun demikian, pada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan dilakukannya pemeriksaan payaran CT, pemeriksaan foto polos tetap memegang peranan penting. Diagnosis pneumotoraks pada pemeriksaan foto polos dapat ditegakkan apabila terlihat gambaran garis pleura viseral.18 Bila gambaran ini sulit ditemukan, dapat dilakukan prosedur tambahan.17,18 Prosedur pertama, pasien difoto pada posisi tegak dan ekspirasi maksimal. Dengan cara ini, volume paru-paru akan berkurang tetapi volume udara dalam rongga

pleura tetap sehingga permukaan pleura viseral yang berkontak dengan udara lebih kecil. Prosedur lain adalah dalam posisi lateral dekubitus dan arah sinar dari lateral. Pada prosedur ini, udara akan berada pada titik tertinggi dari hemitoraks sehingga dapat terlihat pada bagian atas jika dilihat dari sisi lateral dinding dada dan bukan di bagian atas dari apeks. Pada bula, lokasi area hiperlusen avaskular tetap pada posisi foto apapun, dan justru mengalami pembesaran relatif pada saat ekspirasi maksimal. Diharapkan, kedua prosedur ini dapat membantu membedakan pneumotoraks dan bula paru-paru.

Gambar 5. (A) Payaran CT pada bagian bawah toraks menunjukkan area lusens pada lobus bawah yang menyulitkan interpretasi adanya bula. (B) payaran CT lebih superior dari A menunjukkan udara dalam bula dan adanya gambaran double wall sign (tanda panah). (diadaptasi dari Waitches FM, Stern EJ, Dubinsky TJ. Usefulness of the Double-Wall Sign in Detecting Pneumotoraks in Patients with Giant Bullous Emphysema) // Sedangkan jika menggunakan payaran CT, perlu diperhatikan beberapa tanda berikut: penekanan dan konsolidasi paru-paru di sekitar bula, hiperlusensi nonanatomik dan penurunan atau hilangnya gejala segera setelah chest tube terpasang. Tanda lain yang penting adalah tanda dinding ganda (double-wall sign) pada hasil payaran CT, yaitu gambaran udara di ke dua sisi dinding bula yang paralel dengan dinding dada. Tidak ditemukannya tanda ini menunjukkan tidak adanya pneumotoraks pada pasien dengan bula, sehingga mencegah pemasangan chest tube yang tidak perlu. Tanda dinding ganda ini mungkin tidak langsung dapat ditemukan pada pemeriksaan payaran CT, terutama apabila terjadi penekanan oleh bula. Namun dengan pemeriksaan yang teliti pada beberapa potongan gambar, tanda ini dapat ditemukan dan menjadi penanda adanya pneumotoraks.19 Kendala lain dalam penggunaan tanda dinding ganda untuk deteksi pneumotoraks pada pasien dengan bula paru-paru adalah bila ada pneumotoraks kronik. Pasien-pasien dengan pneumotoraks jenis ini, pada paru-parunya sudah timbul sekat-sekat pleura atau perlekatan yang mirip dengan gambaran tanda dinding ganda. Karena manfaatnya yang besar dalam upaya diagnosis bula dan pneumotoraks, seyogyanya payaran CT menjadi pemeriksaan rutin pada pasien dengan emfisema bula yang mengalami sesak napas akut.19 Pemeriksaan densitometri dengan payaran CT resolusi tinggi (High Resolution Computed Tomography) dilaporkan oleh Smit dkk (2004) bermanfaat untuk mendiagnosis air trapping yang juga menjadi salah satu penanda pneumotoraks spontan. 22 Pemeriksaan ini dapat melihat penyebaran emfisema secara kualitatif dan kuantitatif, sehingga bermanfaat untuk membedakan apakah pasien hanya mengalami perburukan kondisi emfisema bula atau sudah mengalami

pneumotoraks spontan, baik sebagai akibat dari bula maupun sebagai komorbiditas.22 Pada pemeriksaan dengan HRCT, bula paru-paru paling sering ditemukan berlokasi di sub-pleural, disertai emfisema paraseptal atau sentrilobular. HRCT juga sangat berharga untuk membedakan bula besar terisolasi yang potensial untu direseksi, dari bula yang disertai emfisema generalisata yang tidak bisa direseksi.23 Sebelum payaran CT digunakan secara luas di kalangan medis, bronkografi banyak dipakai pada kasus-kasus bula dalam evaluasi pre-operatif. Yaitu untuk mengenali adanya bronkhiektasis atau kompresi pada bronkus oleh bula di dekatnya. 4 3. Angiografi // Pemeriksaan lain yang juga bermafaat apabila tidak ada payaran CT adalah angiografi, karena dengan alat ini area jaringan paru-paru yang masih berfungsi dapat diidentifikasi dengan baik. Adanya blush alveolar pada bagian perifer dari paru-paru adalah indikator utama masih adanya sirkulasi kapiler di paru-paru, yang menandakan bahwa bagian paru-paru tersebut masih fungsional. Dengan adanya payaran CT, maka gambaran angiografi ini lebih disempurnakan, yaitu menggunakan payaran CT dengan kontras. 4

Gambar 6. Contoh gambaran angiografi paru-paru yang menunjukkan area tanpa pembuluh darah di dua per tiga inferior hemitoraks kiri. Pembuluh-pembuluh darah ini mengalami kompresi dan terdorong ke atas. (diadaptasi dari Venuta F, deGiacomo T. Giant Bullous Emphysema. www. CTSNET.com) // 4. Pemeriksaan Rasio Ventilasi-Perfusi // Pemeriksaan Rasio Ventilasi-Perfusi adalah jenis pemeriksaan yang digunakan terutama pada kasus-kasus dengan kelainan bilateral.4 Payaran ventilasi-perfusi memberikan gambaran fungsi sirkulasi paru-paru yang akan menambah informasi mengenai gambaran struktur paru-paru yang didapat dari payaran CT. Payaran ventilasi perfusi ini dapat membantu menunjukkan area hipoperfusi relatif yang menjadi kandidat reseksi pada pembedahan Lung Volume Reduction.24 Jika reseksi yang direncanakan melibatkan bagian paru-paru yang memiliki sedikit pembuluh darah (hipoperfusi), fungsi paru-paru pascaoperasi tidak akan mengalami perbaikan yang bermakna.10 Semakin besar area hipoperfusi, semakin buruk fungsi paru-paru pascaoperasi.

Gambar 7. Contoh gambaran pemeriksaan ventilasi-perfusi paru-paru yang menunjukkan area tanpa uptake di area kanan atas paru-paru (diadaptasi dari Venuta F, deGiacomo T. Giant Bullous Emphysema. www. CTSNET.com) // Asimetri fungsi kedua belahan paru-paru mengindikasikan dilakukan tindakan bedah pada sisi yang lebih parah dengan risiko yang lebih rendah dan kemungkinan perbaikan yang lebih tinggi. Gaensler dkk (1983) menunjukkan bahwa pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan perbedaan fungsi kedua belahan paru-paru, tetapi tidak terlalu bermanfaat dalam lokalisasi dan penentuan besarnya lesi, karena informasi semacam itu telah diperoleh dari pemeriksaan radiologi yang lain. 4 KOMPLIKASI Keganasan Tsutsui dkk (1988) telah merumuskan tiga gambaran radiologi yang sering ditemukan pada pasien dengan bula dan keganasan, yaitu4: 1. opasitas nodular di dalam atau di sekitar bula 2. penebalan parsial atau difus dinding bula 3. tanda sekunder dari bula (perubahan diameter, cairan yang tertahan dan pneumotoraks). Insiden bula yang terkait dengan keganasan bronkogenik adalah sekitar 2,5% dan paling tinggi pada dekade ke-6 kehidupan. Namun Casey dkk (2003) melaporkan kasus bayi perempuan (20 bulan) dengan sesak napas yang pada payaran CT-nya ditemukan bula di bagian basal paru-paru kanan dengan bagian yang padat di posteriornya. Hasil pemeriksaan histologi bula pasca reseksi bula per torakotomi menunjukkan gambaran blastoma pleuro-pulmonal tipe 2.25 Infeksi4 Bula dapat dengan mudah terkena infeksi karena terhubung dengan saluran trakeobronkial. Untungnya, sebagian besar kasus infeksi ini dapat ditangani secara konservatif, dan pembedahan hanya dilakukan pada kasus-kasus yang sulit sembuh yang memerlukan drainase atau eksisi. Llyod pada tahun 1949 telah melaporkan adanya bula yang berisi cairan. Infeksi pada bula ini akan mengakibatkan berkurangnya ukuran bula dan terjadinya kontraksi fibrotik. Produksi cairan

akan menyebabkan tertutupnya hubungan antara bula dan saluran napas, sehingga lamakelamaan udara akan diserap dan ruang udara akan hilang. Setelah infeksi semacam ini, biasanya bula akan ikut hilang. Hemoptisis4 Pasien yang memiliki kelainan bula dengan komplikasi hemoptisis harus menjalani bronkhoskopi untuk menyingkirkan kemungkinan adanya lesi endobronkhial. Demikian pula kemungkinan diagnosis superinfeksi Aspergillus juga harus dapat disingkirkan terlebih dahulu. Kebanyakan hemoptisis yang terjadi terkait dengan bula yang terinfeksi dan dapat diobati secara konservatif. Dengan hilangnya infeksi, hemoptisis biasanya akan berhenti dengan sendirinya. Fitzgerald dkk (1974) dan Berry dan Ochsner (1972) menganjurkan dilakukannya pembedahan pada pasien yang mengalami hemoptisis berkepanjangan, berulang atau ekstensif, yaitu dengan bulektomi. Pneumotoraks Bula paru-paru merupakan faktor predisposisi terjadinya pneumotoraks. 2,3,4,21 Pneumotoraks pada pasien dengan bula terjadi karena ruptur bula.4 Pneumotoraks jenis ini tidak boleh hanya diterapi dengan pemasangan chest tube saja, karena biasanya akan menyebabkan terbentuknya fistula bronkopleural yang menyebabkan paru-paru sulit mengembang sepenuhnya. Karenanya, reseksi bula disertai penutupan celah kebocoran udara seringkali adalah satu-satunya solusi. Angka rekurensi pneumotoraks spontan dari berbagai studi berkisar antara 16-52 persen. Sebagian besar terjadi dalam periode 6 bulan sampai 2 tahun setelah pneumotoraks pertama.2 Bukti radiologis berupa ditemukannya fibrosis paru-paru, habitus pasien yang astenikus, riwayat kebiasaan merokok dan usia muda dilaporkan sebagai faktor risiko independen rekurensi pneumotoraks spontan ini.2 Namun demikian, ditemukannya bula paru-paru bersamaan dengan pneumotoraks ternyata tidak dapat dipakai untuk memprediksi kemungkinan terjadinya rekurensi pneumotoraks. Studi yang dilakukan oleh Smith dkk (2000) tidak berhasil mengumpulkan cukup bukti bahwa bula adalah faktor predisposisi terjadinya pneumotoraks berulang26, walaupun penelitian lain oleh Sihoe dkk (2000) justru menunjukkan adanya hubungan antara ditemukannya bula pada pneumotoraks pertama dengan kejadian pneumotoraks berikutnya. Schramel dkk (2001) menyatakan bahwa temuan Sihoe dkk tersebut tidak bermakna secara statistik. 27 Sebuah studi kasus oleh Sato dkk (2000) melaporkan satu kasus pneumotoraks berulang pada pasien dengan bula. Namun demikian, pada pasien ini dijumpai penyakit lain yaitu poliomielitis juvenilis yang berhubungan dengan terjadinya kelainan jaringan insterstitial paru-paru.28 PEMBEDAHAN Tujuan pembedahan pada bula paru-paru adalah merubah status fungsional sisi paru-paru yang terkena, yaitu dengan: 1. menghilangkan gangguan restriksi paru-paru 2. meningkatkan komplians paru-paru dan diameter jalan napas

3. meningkatkan rasio ventilasi perfusi 4. mengurangi ruang rugi fisiologi Keempat tujuan ini lebih mudah dicapai pada pasien dengan bula yang besar dan kelainan paruparu minimal. Pembedahan juga diindikasikan pada bula yang sudah mengalami komplikasi, berupa infeksi, pneumotoraks, hemoptisis, keganasan atau nyeri. 29 Pembedahan akan memberikan manfaat pada pasien dengan space occupying lesion atau parenkim non fungsional terlokalisasi yang menekan jaringan paru-paru yang normal. Eksisi untuk mengangkat space occupying lesion akan dapat mengembangkan paru-paru yang tadinya tertekan, sehingga ventilasi dan perfusi bagian paru-paru yang sehat dapat berjalan kembali, dan terjadi penurunan ruang rugi serta volume residual. Pembedahan yang dilakukan harus sedapat mungkin menpertahankan jaringan paru-paru yang masih berfungsi, antara lain dengan menghindari reseksi mayor seperti lobektomi. Prinsip ini penting, terutama pada pasien-pasien dengan penyakit paru-paru yang mendasari terjadinya bula. 4 Indikasi umum dilakukannya tindakan pembedahan pada pasien dengan bula paru-paru adalah4: 1. Kesulitan bernafas sedang sampai berat 2. Bula yang meliputi lebih dari 1/3 hemitoraks 3. Gambaran payaran CT atau angiografi yang menunjukkan penurunan aliran darah ke daerah paru-paru yang terkena 4. Ditemukannya komplikasi bula, seperti pneumotoraks, infeksi, keganasan atau hemoptisis. Pasien dengan kategori I dan II merupakan kandidat yang ideal untuk pembedahan dengan hasil yang memuaskan. Sedangkan pasien-pasien dengan kategori III dan IV harus diseleksi dengan ketat sebelum diputuskan untuk untuk dilakukan pembedahan, karena pasien dalam kategori ini memiliki hasil akhir berupa fungsi pernapasan dan penurunan gejala yang lebih sulit diramalkan. Bula yang disertai kerusakan jaringan paru-paru yang berat juga menjadi kendala dalam tindakan pembedahan karena jenis terapi yang dapat dilakukan lebih terbatas, salah satu diantaranya adalah transplantasi paru-paru. 4 Sedangkan yang menjadi kontraindikasi tindakan bedah pada pasien dengan bula paru-paru antara lain30: 1. Berat badan yang tidak normal (<70% atau >130% BB ideal) 2. Penyakit penyerta yang meningkatkan risiko pembedahan 3. Tidak bersedia ikut dalam upaya rehabilitasi fisik pra dan pascaoperasi 4. Tidak bersedia menerima risiko morbiditas dan mortalitas dari pembedahan 5. Merokok dalam 6 bulan sebelum operasi

6. Pernah atau sedang menderita keganasan 7. Usia tua (>70 tahun untuk LVRS) 8. Instabilitas psikologis Waktu Operasi Tindakan bedah pada bula seyogyanya dilakukan elektif dengan persiapan yang matang, untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Evaluasi pre-operatif harus mampu mengidentifikasi pasien-pasien risiko tinggi dan melihat kelainan-kelainan paru-paru lain yang ada bersama dengan bula secara akurat.31 Studi oleh Palla dkk (2005) menunjukkan bahwa operasi elektif meningkatkan kondisi klinis dan fungsional pasien yang bertahan dalam jangka waktu lama.32 Pada pembedahan elektif, pasien terlebih dahulu menjalani terapi rehabilitasi paru-paru yang walaupun tidak secara signifikan bermakna dalam meningkatkan parameter-parameter fungsional paru-paru pascaoperasi, tetap berguna untuk mempersiapkan pasien secara fisik dan psikologis.3 Kasus-kasus tertentu terkadang mengharuskan dilakukannya tindakan darurat. Safdar dkk (2004) melaporkan tindakan bulektomi darurat yang pada pasien sindroma Ehler-Danlos yang mengalami gagal napas akut.1 Biasanya tindakan bulektomi dikerjakan terutama jika bula memenuhi lebih dari setengah hemitoraks, tetapi pada kasus ini, bulektomi dikerjakan untuk mengatasi kegawatan napas. Pada pasien-pasien dengan bula yang besar tetapi memiliki toleransi operasi yang buruk, dapat dilakukan drainase bula dipandu payaran CT seperti dilaporkan oleh Takizawa dkk (2003).33 Selama tindakan, pasien tidak mengalami nyeri yang bermakna dan tidak ada penurunan fungsi paru-paru. Pasca tindakan, bula kolaps dan terjadi reduksi bula menetap setelah drain diangkat. Namun demikian, drainase seperti ini mungkin gagal karena kebocoran cairan, seperti juga dilaporkan dalam kasus ini. Teknik Operasi Pembedahan dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu torakotomi terbuka (open thoracotomy) dan Video Assisted Thoracotomy Surgery (VATS). 4,11,34,35,36 VATS vs open Berbagai penelitian terus dilakukan untuk membandingkan efektifitas VATS dibadingkan torakotomi terbuka, namun sampai kini belum ada penelitian yang berhasil menunjukkan superioritas dari salah satu teknik dibandingkan yang lain, terutama terkait dengan biaya yang diperlukan.35 Dalam beberapa dekade terakhir, VATS mengalami perkembangan yang pesat, didukung dengan perkembangan tekhnologi dan semangat untuk mengembangkan tindakan operasi yang minimal invasif. Dibandingkan dengan rongga lain dalam tubuh, dada adalah rongga yang paling cocok untuk dilakukannya tindakan bedah dengan akses minimal, karena segera setelah paru-paru sisi yang akan dioperasi kolaps (dengan bantuan tekhnik ventilasi satu paru-paru), akan dijumpai

ruangan yang cukup luas untuk manuver alat-alat operasi.11 Dari sisi lain, pelepasan sitokin proinflamasi dan anti-inflamasi pasca VATS lebih rendah dibandingkan torakotomi. Selain itu, penggunaan analgesik pada VATS juga lebih sedikit dibandingkan dengan pada pasien-pasien yang menjalani torakotomi.37 Tabel 3. Perbandingan torakotomi konvensional dan VATS Torakotomi konvensional Lama Lama Lebih murah VATS Cepat Cepat Lebih mahal

Keuntungan Masa perawatan/pemulihan Kembali bekerja pascaoperasi Biaya Kerugian Komplikasi pascaoperasi

>>

minimal

Namun demikian, biaya yang diperlukan untuk VATS, terutama di negara berkambang, masih terlalu besar. Karenanya, perlu dikembangkan beberapa strategi khusus untuk mengurangi biayabiaya ini, antara lain dengan modifikasi instrumen pembedahan, pembatasan penggunaan alatalat khusus dan penggunaan teknik penjahitan per endoskopik yang baik sebagai alternatif penggunaan stapler per endoskopik. 35 Satu hal yang penting dalam mengembangkan VATS, adalah bahwa teknik ini bukanlah pengganti torakotomi, tetapi lebih sebagai pelengkap yang diperlukan oleh ahli bedah dalam menangani kasus-kasus bedah toraks. Karenanya VATS harus dilakukan oleh ahli bedah yang sudah mahir melakukan operasi torakotomi.38 Penggunaan VATS lebih ditujukan untuk pneumotoraks spontan primer.3,11 Sedangkan untuk pneumotoraks spontan sekunder3 (disertai kondisi patologis paru-paru lain) dan pasien-pasien yang pernah menjalani torakotomi sebelumnya (dikhawatirkan telah terjadi perlekatan-perlekatan) lebih baik menjalani terapi dengan torakotomi. Tindakan bedah untuk bula antara lain adalah drainase intrakaviter (Brompton), bulektomi dan reseksi paru-paru. Drainase intrakaviter (Brompton)4 Prosedur ini pertama kali diperkenalkan oleh Monaldi sebagai tekhnik dua tahap, untuk mengurangi risiko terjadinya pneumotoraks dan perlekatan pleura. Dilakukan dengan memasukkan iodine pack ekstrapleura, dilanjutkan dengan drainase bula tiga minggu kemudian. Kemudian McArthur (1977) mengembangkan tekhnik satu tahap atau tekhnik Brompton. Sebagian kecil tulang iga di atas bula dieksisi, dilakukan penjahitan purse-string di pleura parietal, mencakup pleura viseral dan dinding bula. Setelah itu, pleura dan bula dibuka di antara jahitan dan kateter Foley dimasukkan. Balon kateter dikembangkan dengan udara, jahitan

diperketat, kemudian ujung kateter dimasukkan ke water sealed. Sebagai tambahan, chest tube dipasang di ruang interkostal lain. Pleurodesis pada isi bula dan rongga pleura dapat dilakukan untuk membantu terapi. Tekhnik Brompton ini sederhana, aman dan efektif apabila dilakukan pada pasien yang tepat. Lokasi bula yang tepat dapat diketahui dengan payaran CT sehingga dapat dilakukan perencanaan tindakan yang matang. Selain itu, tekhnik ini mengurangi kecenderungan untuk mengangkat jaringan paru-paru di sekitar bula yang mungkin masih bermanfaat. Pleurodesis memungkinkan bula yang mungkin timbul di kemudian hari untuk dilakukan drainase per kutan dengan risiko terjadinya pneumotoraks yang rendah. Bulektomi Bulektomi dipilih apabila ditemukan adanya bula substansial yang ditemukan pada pemeriksaan radiologi. Sebagian besar bulektomi dikerjakan pada kasus simtomatik dengan dispnue, nyeri dan/atau pneumotoraks. Pada kasus asimtomatik, bulektomi dikerjakan jika bula membesar sampai melebihi setengah volume rongga toraks.30 Bulektomi pada kasus-kasus dengan atau tanpa emfisema mengurangi hiperinflasi dan meningkatkan aliran ekpirasi serta konduktansi jalan napas dengan meiningkatkan kemampuan rekoil elastis paru-paru. Hampir semua bulektomi dikerjakan dengan pendekatan torakotomi posterolateral melalui ruang interkostal lima atau enam4, dan belakangan VATS juga telah dikembangkan sebagai terapi alternatif pengganti torakotomi terbuka. Bula yang berpedunkulasi dapat dengan mudah diligasi dan dieksisi. Terlebih dengan telah berkembangnya stapler bedah, yang memudahkan tindakan penjahitan dan mengurangi kemungkinan kebocoran udara.4,19 Pada torakotomi terbuka, bula yang paling besar dibuka secara longitudinal, kemudian rongga dieksplorasi. Sekat-sekat fibrosa dieksisi dan forseps panjang dipasang dari dalam sehingga memegang pleura pada refleksi dari parenkim yang relatif normal. Pleura viseral dibalik ke arah atas dan dipasang stapler di bagian basal bula. Stapler dipasang berkali-kali sampai seluruh permukaan yang terbuka di bagian basal bula tertutup. Dua lapis pleura ini bertindak sebagai landasan stapler dan mencegah terjadinya kebocoran udara. Metode pencegahan kebocoran udara dengan menggunakan dinding bula yang telah dieksisi sebagai penutup untuk mencapai pneumostasis ini telah dilaporkan oleh Adlure dan Parmar (2003) dengan hasil yang memuaskan. 36

Gambar 8. Gambar 8. Bulektomi (diadaptasi dari Goldberg M. Bullous Disease. In: Pearson FG, Cooper JD, Deslauriers J, Ginsberg RJ, Hiebert CA, Patterson GA, et al., editors. Thoracic Surgery. 2nd Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2002. P.697-715) Bulektomi unilateral dapat dikerjakan dengan torakotomi posterolateral konvensional, dengan nyeri pascaoperasi yang ringan dan fungsi paru-paru yang baik sebagai akibat dari tindakan pemisahan otot-otot dada (seratus anterior, latisimus dorsi). Untuk bulektomi bilateral, dilakukan pendekatan sternotomi mediana, torakosternotomi transversal atau torakotomi anterior bilateral secara simultan maupun bertahap. Namun demikian, pendekatan transmediastinal kontralateral dengan torakotomi satu sisi tampaknya lebih tidak invasif dan cukup efektif untuk lesi-lesi bilateral dibandingkan teknik-teknik yang telah disebutkan diatas. Pendekatan ini juga mencegah terjadinya pnemotoraks pada penyakit bula bilateral pasca pendekatan unilateral atau selama masa masa pascaoperasi.39 Bulektomi dengan VATS yang banyak dikerjakan adalah dengan teknik 3 portal. Pasien dibaringkan dalam posisi lateral dekubitus dengan fleksi meja operasi tepat di bawah areola mamae. Portal torakoskop dipasang pada ruang interkostal 7 atau 8 di garis mid-aksilaris. Portal kedua diletakkan di depan ujung skapula pada garis aksilaris posterior, dan portal ketiga diletakkan di ruang interkostal 5 atau 6 di garis aksilaris anterior. Setelah instrumen siap, hemitoraks diperiksa dengan seksama untuk mencari bula yang menjadi target. Instrumen tumpul seperti forsep dapat digunakan untuk membantu kolaps-nya paru-paru atau untuk membantu tindakan eksplorasi. Semua tindakan harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari cedera pada paru-paru yang dapat menyebabkan kebocoran udara. Bula kemudian ditusuk sampai kolaps dengan diatermi untuk memberikan visualisasi yang lebih baik dari batas-batas bula dan

jaringan paru-paru yang masih sehat. Terkadang dijumpai pula perlekatan pleura yang memerlukan tindakan adesiolisis. Setelah itu, pada batas pinggir bula dipasang stapler endoskopik atau bisa juga dengan menjahit tepi batas pemotongan bula.11 //

Gambar 9. Diagram yang menunjukkan perbedaan pendekatan geometris antara (A)VATS standar dengan tiga portal dan (B) VATS dengan satu portal. (diadaptasi dari: Rocco G, Martin-Ucar A, Passera E. Uniportal VATS Wedge Pulmonary Resection. Ann Thorac Surg 2004;77:726-8) // VATS standar dengan menggunakan tiga portal mengakibatkan nyeri dan parestesia yang berkepanjangan. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya komplikasi, dikembangkan metode baru dengan satu portal.40 Teknik satu portal ini memungkinkan pemaparan yang baik untuk reseksi yang adekuat pada daerah yang patologis. Penelitian oleh Rocco et al (2004) menunjukkan bahwa teknik VATS dengan satu portal cukup aman dan efektif untuk tindakan bedah pada paru-paru.41 Yang masih menjadi masalah adalah modifikasi peralatan yang memakan biaya besar sehingga masih memberatkan bagi pasien dari sisi finansial. Studi lain oleh Jutley et al (2005) menunjukkan bahwa teknik satu portal dapat ditoleransi, aman dan efisien dalam pengobatan pneumotoraks spontan. Lebih lanjut, karena teknik ini hanya melibatkan satu ruang interkostal saja, maka nyeri pascaoperasi dan parestesia yang ditimbulkan juga lebih ringan jika dibandingkan metode tiga portal.40 Dengan demikian, waktu perawatannya pun dapat dipersingkat.41 Reseksi Paru-paru 4 Reseksi paru-paru berupa lobektomi atau segmentektomi jarang dilakukan pada bula paru-paru, tetapi mungkin menjadi prosedur pilihan apabila seluruh lobus atau segmen sudah diganti oleh bula. Lobektomi dapat mengurangi risiko kebocoran udara pascaoperasi30 namun seringkali

bagian paru-paru yang setengah sehat pun masih bermanfaat untuk fungsi pernapasan paru-paru pascaoperasi. Tindakan ini dikenal juga dengan istilah Lung Volume Reduction Surgery (LVRS). LVRS telah menjadi terapi yang efektif sebagai tambahan pada penatalaksanaan pasien dengan emfisema berat. LVRS dilakukan sebagai upaya untuk mengembalikan hubungan antara volume paru-paru dan ukuran dinding dada, yang akan meningkatkan mekanika pernapasan, kerja pernapasan dan keseimbangan ventilasi perfusi (Ventilation Perfusion Matching/ V/Q) pada bagian paru-paru yang tersisa. LVRS dilakukan dengan beberapa reseksi nonsegmental yang bertujuan mengurangi volume total paru-paru sebanyak 20-30%.42 LVRS yang dilakukan dengan mengangkat daerah hiperinflasi yang perfusinya buruk dapat memperbaiki kondisi pasien. Namun demikian, sebagai salah satu jenis operasi mayor, LVRS memiliki angka morbiditas dan mortalistas yang tinggi. Untuk itu, dikembangkan berbagai metode LVRS yang invasif minimal tanpa perlu melakukan torakotomi. 9 Pasien yang menjalani LVRS bilateral pada lobus atas tanpa bula menunjukkan peningkatan kapasitas paru-paru total paksa, FEV1, aliran ekspirasi, konduktansi jalan napas, dan penurunan hiperinflasi pada TLC, yang semuanya terjadi karena peningkatan kemampuan rekoil elastik paru-paru. Pasca LVRS ditemukan peningkatan kemampuan rekoil elastik paru-paru yang terjadi karena meningkatnya fungsi paru-paru yang tersisa. Pasca LVRS juga terjadi perbaikan dispneu dan toleransi terhadap aktifitas. Hal ini terkait dengan berkurangnya hiperinflasi dan peningkatan tekanan transdiafragmatik karena otot-otot pernapasan turut bekerja.44 Pasien-pasien dengan emfisema bulosa berat mengalami peningkatan yang bermakna dari toleransi terhadap aktifitas setelah eksisi bula, mekanisme yang mendasari peningkatan ini adalah mengembangnya paru-paru yang semula tertekan oleh bula.45 Lung Volume Reduction Surgery tidak memiliki efek samping pada hemodinamik paru-paru baik pada saat istirahat maupun beraktifitas. Efek yang mungkin timbul karena berkurangnya vascular bed pasca LVRS dapat diatasi dengan turunnya resistensi pembuluh darah pulmonal, peningkatan kemampuan elastic recoil dan peningkatan kemampuan mekanik paru-paru dengan berkurangnya kompresi fungsional pembuluh-pembuluh darah pulmonal.45 Komplikasi Pembedahan dan Penanganannya Pembedahan pada emfisema bulosa tidak sulit dilakukan apabila indikasinya tepat, disertai pemilihan teknik operasi yang sesuai dan penatalaksanaan pascaoperasi yang baik. Namun demikian, jika dikerjakan dengan serampangan, dapat timbul komplikasi-komplikasi yang serius.4 Komplikasi yang terkait dengan tindakan bulektomi dengan VATS antara lain adalah kebocoran udara dari garis eksisi bula, terutama pada pasien yang menderita emfisema difusa. Kebocoran udara pascaoperasi dilaporkan 4,5 20% pasca pneumonektomi dan 0,5% pasca lobektomi.46 Upaya pencegahan kebocoran udara pascaoperasi paru-paru merupakan salah satu tantangan dalam bidang bedah toraks. Berbagai operasi yang melibatkan reseksi bagian-bagian paru-paru meningkatkan risiko terjadinya kebocoran udara, yang berakibat pada lamanya pemasangan

chest tube dan lamanya waktu perawatan.47 Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi masalah ini, antara lain dengan penjahitan, pemasangan stapler, kauterisasi, dan aplikasi lem biologis atau bahan perekat lainnya. Penelitian oleh Massone PPG et al menunjukkan bahwa penggunaan fibrin glue dapat menurunkan terjadinya kebocoran udara pascaoperasi.47 Sebuah studi yang dilakukan oleh Kjaergard et al (2000) menunjukkan efektifitas fibrin glue dalam mencegah kebocoran udara pasca reseksi paru-paru pada babi, meskipun dalam kondisi tekanan inspirasi yang besar besar.48 Keuntungan penggunaan fibrin glue pada pembedahan paru-paru jelas terlihat pada penutupan kebocoran udara ringan sampai sedang, disertai pengembangan paru-paru yang menempel pada dinding dada, sehingga mencegah kolaps. Kerugian teknik penutupan kebocoran tradisional dengan penjahitan atau pemasangan stapler adalah rusaknya parenkim paru-paru yang normal di sekitar tempat penjahitan. Dengan menggunakan fibrin glue, jaringan paru-paru di lokasi kebocoran terkonservasi dengan baik. Konservasi jaringan paru-paru yang masih normal ini sangat penting untuk menjamin perbaikan fungsional paru-paru dari pasien. Fibrin glue selain berfungsi sebagai bahan penyambung, juga dapat mempercepat penyembuhan dan merangsang pertumbuhan fibroblas serta mengurangi terjadinya perlekatan.48 Jika fibrin glue tidak tersedia, dapat pula dilakukan penutupan dengan menggunakan perikardium. Komplikasi lain yang mungkin terjadi pasca tindakan bedah untuk bula paru-paru adalah Reexpansion pulmonary edema. Edema paru-paru ipsilateral dapat terjadi segera setelah mengembangnya paru-paru pasca pengangkatan bula (baik dengan bulektomi maupun drainase bula). Walaupun kelainan ini jarang terjadi, namun tetap perlu diwaspadai setiap kali dilakukan upaya re-inflasi paru-paru (mis: pada pengangkatan bula atau pemasangan chest tube pada pneumotoraks). Gejala sesak napas akan timbul dalam 15 menit sampai 2 jam pasca tindakan, disertai takipnue dan takikardia. Produksi sputum merah muda memperkuat dugaan adanya edema paru-paru ini. Penting untuk diingat, bahwa sesak napas dan hipoksia yang terjadi pada kasus-kasus seperti ini tidak membaik dengan pemberian oksigen melalui masker atau kanula. Dasar terapi pada kasus ini adalah oksigenasi adekuat, biasanya dengan PEEP. Mengingat konsekuensi tindakan terapi yang tidak ringan ini, adalah lebih baik untuk melakukan upaya pencegahan terjadinya edema paru-paru pada saat tindakan dilakukan.49 TERAPI NON BEDAH Penatalaksanaan paripurna untuk bula paru-paru adalah dengan pembedahan. Kasus-kasus yang asimtomatik memang belum membutuhkan tindakan bedah. Pada keadaan semacam ini dilakukan terapi konservatif (non bedah). Terapi konservatif juga dilakukan pada pasien-pasien yang menolak untuk menjalani pembedahan atau yang mempunyai kontraindikasi terhadap tindakan bedah. Pasien-pasien yang termasuk dalam kategori ini harus menjalani pemantauan berkala disertai perawatan profilaksis paru-paru yang ketat. Perawatan itu meliputi menghilangkan kebiasaan merokok, dan jika memungkinkan menghilangkan paparan terhadap bahan iritan paru-paru lain, pencegahan infeksi paru-paru, dan fisioterapi untuk meningkatkan kapasitas fungsional paruparu. Jika gejala muncul, atau jika besar bula sudah mencapai lebih dari 1/3 hemitoraks, perlu segera dilakukan evaluasi ulang untuk menilai perlunya dikerjakan terapi bedah.

SIMPULAN Bula pada paru-paru banyak dihubungkan dengan pneumotoraks spontan, tetapi perannya sebagai faktor predisposisi pneumotoraks berulang masih belum terungkap dengan jelas. Banyak faktor yang terkait dengan bula paru-paru, namun karena kasus bula paru-paru ini masih cukup jarang, perlu dilakukan upaya penyeledikian lebih lanjut untuk lebih mengetahui hubungan antara faktor-faktor ini dengan bula. Diagnosis bula dengan memperhatikan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologi yang sesuai diperlukan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pembedahan. Saat ini telah berkembang berbagai pilihan pembedahan yang dapat dilakukan pada bula paruparu. Pemilihan tindakan operasi disesuaikan dengan kebutuhan klinis, ketersediaan alat, dan kebiasaan operator. Penanganan yang baik tentu saja akan memberikan hasil yang memuaskan, terutama dari segi peningkatan kualitas hidup pasien. DAFTAR PUSTAKA 1. Safdar S, OSullivan M, Shapiro JM. Emergent bullectomy for acute respiratory failure in Ehlers-Danlos syndrome. J Intensive Care Med 2004;19:349-51. 2. Sahn SA, Heffner JE. Spontaneous pneumothorax. N Engl J Med 2003; 342: 868-74. 3. Henry M, Arnold T. BTS guidelines for the management of spontaneous pneumothorax. Thorax 2003; 58(Suppl II): ii39-ii52. 4. Goldberg M. Bullous Disease. In: Pearson FG, Cooper JD, Deslauriers J, Ginsberg RJ, Hiebert CA, Patterson GA, et al., editors. Thoracic Surgery. 2nd Edition. Philadelphia: Churchill Livingstone; 2002. P.697-715. 5. Friedberg JS. Pleura: Anatomy, Physiology, and Disorders. In: Norton JA, Bollinger RA, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, et al., editors. Surgery: Basic science and clinical evidence. 1st edition. New York: Springer-Verlag; 2001. p.1243-264 6. Hasan G, Malik JA, Khan GQ, JaelaniRomshoo F, Fahmeeda S. Vanishing lung syndrome. JK-practitioner 2001; 8(1):248-9. 7. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian I Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1986. p89-154. 8. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1996. 9. Maxfield RA. New and Emerging Minimally Invasive Techniques for Lung Volume Reduction. CHEST 2004; 125:777-83. 10. Moulton AL, Greenburg AG. The Pulmonary System. In: OLeary JP, Capote LR, editors. The Physiologic Basis of Surgery 2nd Edition. Williams and Wilkins: Philadelphia, 1996. p3:76-405.

11. Ng CS, Yim AP. Video-assisted thoracoscopic surgery(VATS) bullectomy for emphysematous/bullous lung disease. MMCTS 2004; 265: 1-6. 12. Needham M, Stockley RA. a1-antitripsin deficiency, clinical manifestations and natural history. Thorax 2004;59:441-5. 13. Johnson MK, Smith RP, Morrison D, Laszlo G, White RJ. Large lung bullae in marijuana smokers. Thorax 2000; 55: 340-2. 14. Fraser RS, Pare JAP, Fraser RG, Pare PD. Synopsis of Disease of the Chest 2nd Edition. W.B. Saunders Company: Philadelphia, 1994. 15. Alifano M, et al. Catamenial pneumothorax: A Prospective Study. Chest 2003; 124:10048. 16. Koivisto PA, Mustonen A. Primary spontaneous pneumothorax in two siblings suggest autosomal recessive inheritance. Chest 2001; 119:1610-1612. 17. Guenter CA, Welch MH. Pulmonary Medicine 2nd Edition. J.B. Lippincott Company: Philadelphia, 1982. 18. Seaton A, Seaton D, Leitch AG. Crofton and Douglass Respiratory Disease 4th Edition. Oxford: Blackwell Scientific Publications: London, 1989. 19. Waithces Gm, Stern EJ, Dubinsky TJ. Usefulness of the Double-Wall Sign in detecting pneumothorax in patient with giant bullous emphysema. AJR 2000; 174: 1765-8. 20. Millar IL. Should computed tomography of the chest be recommended in the medical certification of professional divers?. Br J Sports Med 2004; 38:2-3. 21. Godden D, Currie G, Denison D, Farrell P, Ross J, Stephenson R, et al., British Thoracic Society guidelines on respiratory aspects of fitness for diving. Thorax 2003; 58:3-13. 22. Smit HJ, et al. Lung density measurement in spontaneous pneumothorax demonstrate airtrapping. Chest 2004; 125:2083-90. 23. Webb WR. Radiology of Obstructive Pulmonary Disease. AJR 1997;169:637-47. 24. Thurnheer R, Engel H, Weder W, Stammberger U, Laube I, Russi EW, Bloch KE. Role of lung perfusion scintigraphy in relation to chest computed tomography and pulmonary function in the evaluation of candidates for lung volume reduction surgery. Am J Respir Crit Care Med 1999;159:301-10. 25. Casey MC, Rafferty D, ONeill M. An anusual cause of respiratory symptoms in a toddler. Brit J Rad 2003; 76:921-2. 26. Smit HJ, Wienk MA, Schreurs AJM, Schramel FMNH, Postmus PE. Do bullae indicate a predisposition to recurrent pneumothorax ? Br J Rad 2000; 73: 356-9.

27. Schramer FMNH, Zanen P. Blebs and/or Bullae are of no importance and have no predictive value for recurrences in patients with primary spontaneous pneumothorax. Chest 2001; 119: 1976- 7. 28. Sato M, Bando T, Hasegawa S, Kitaichi M. Reccurent spontaneous pneumothorax with juvenile polymyositis. Chest 2000; 118: 1509-11. 29. Schnater JM, Plaisier PW, van den Berg PM, Schutte PR. A remarkable outcome after video-assisted thoracoscopic resection of a giant bulla. Interactive Cardiovasular and Thoracic Surgery 2003; 2:589-91. 30. Meyers BF, Patterson GA. Chronic obstructive pulmonary disease: Bullectomy, lung volume reduction surgery, and transplantation for patients with chronic obstructive pulmonary disease. Thorax 2003; 58:634-8. 31. DeGiacomo T, Venuta F, Rendina EA, Rocca GD, Ciccone AM, Ricci C, Coloni GF. Video-assisted thoracoscopic treatment of giant bullae associated with emphysema. Eur J Cardio-thorac Surg 1999;15:753-7. 32. Palla A, et al. Elective Surgery for Giant Bullous Emphysema: A 5-year clinical and functional follow-up. Chest 2005; 128:2043-50. 33. Takizawa H, Kondo K, Sakiyama S, Monden Y. Computed tomography-guided drainage for large pulmonary bullae. Interactive Cardiovasular and Thoracic Surgery 2004; 3:2835. 34. LoCicero J. Video-assisted thoracic surgery. In: Norton JA, Bollinger RA, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, Pass HI, et al., editors. Surgery: Basic science and clinical evidence. 1st edition. New York: Springer-Verlag; 2001. p.1231-42. 35. Van Schil P. Cost analysis of video-assisted thoracic surgery versus thoracotomy: critical review. Eur Respir J 2003; 22: 735-8. 36. Adlure K, Parmar JM. Use the bulla for pneumostasis. Interactive Cardiovasular and Thoracic Surgery 2004; 3: 19-20. 37. Yim AP, Wan S, Lee TW, Arifi AA. VATS lobectomy reduces cytokine responses compared with conventional surgery. Ann Thorac Surg 2000;70:243-7. 38. Moghissi K. Video-assisted thoracoscopic surgery of the lung (VATS) comes of age where to next? Eur J Cardio-thorac Surg 1996; 10:159-60 39. Yavuzer S, Enon S, Kumbasar U. Anterior transmediastinal contralateral access. Interactive Cardiovasular and Thoracic Surgery 2004; 3: 331-2. 40. Jutley RS, Khalil MW, Rocco G. Uniportal vs standard three-port VATS technique for spontaneous pneumothorax: comparison of post-operative pain and residual paraesthesia. Eur J Cardio-thorac Surg 2005; 28:43-6.

41. Rocco G, Martin-Ucar A, Passera E. Uniportal VATS Wedge Pulmonary Resection. Ann Thorac Surg 2004;77:726-8. 42. Hunsaker AR, Ingenito EP, Reilly JJ, Costello P. Lung Volume Reduction Surgery for Emphysema: Correlation of CT and V/Q Imaging with Physiologic Mechanism of Improvement in Lung Function. Radiology 2002; 222;2:491-8. 43. Benditt JO, Lewis S, Wood DE, Klima L, Albert RK. Lung Volume Reduction Surgery Improves Maximal O2 Consumpstion, Maximal Minute Ventilation, O2 Pulse, and Dead Space to Tidal Volume Ratio during Leg Cycle Ergometry. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156: 561-6. 44. Gelb AF, McKenna FJ, Brenner M, Schein MJ, Zamel N, Fischel R. Lung Function 4 Years After Lung Volume Reduction Surgery for Emphysema. CHEST 1999: 116:160815. 45. Oswald-Mammoser M, Kessler R, Massard G, Wihlm J, Weitzenblum E, Lonsdorfer J. Effect of Lung Volume Reduction Surgery on Gas Exchange and Pulmonary Hemodynamics at Rest and during Exercise. Am J Respir Crit Care Med 1998; 158: 1020-25 46. Takanami I. Closure of bronchopleural fistula using a fibrin-glue coated collagen patch. Int Cardio Thorac Surg 2003;2:387-8. 47. Massone PPG, Magnani B, Conti B, Lequaglie C, Cataldo I. Cauterization versus fibrin glue for aerostasis in precision resection for secondary lung tumors. Ann Surg Oncol 2002; 10(4):441-6 48. Kjaergard HK, Pedersen JH, Krasnik M, Weis-Fogh S, Fleron H, Griffin E. Prevention of Air Leakage by Spraying Vivostat Fibrin Sealant After Lung Resection in Pigs. CHEST 2000;117:1124-1127 49. McCoskey EH, McKinney LM, Byrd RP, Roy TM. Re-expansion pulmonary edema following puncture of a giant bulla. JAOA 2000; 100:788-91. 50. Venuta F, deGiacomo T. Giant Bullous Emphysema. [cited 2006 Jan 2]. Available from: URL: http://www.ctsnet.org/doc/6761. 51. Anonim. Emfisema[cited 2006 Feb 20] Available from: URL: http://www.uhrad.com/ctarc/ct073.htm. Filed under Anatomi tubuh, Makalah Dan Ebook Gratis Tagged with anatomi, fisiologi, manusia, paru paru, Penyakit, tubuh

ASKEP JANTUNG REMATIK (PJR) PADA ANAK


December 6, 2009 by keperawatankita 3 Comments

TINJAUAN TEORI Defenisi Penyakit jantung rematik merupakan gejala sisa dari Demam Rematik (DR) akut yang juga merupakan penyakit peradangan akut yang dapat menyertai faringitis yang disebabkan oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A. Penyakit ini cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab penyakit jantung didapat pada anak dan dewasa muda di seluruh dunia. Etiologi Infeksi Streptococcus beta-hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun serangan ulang. Telah diketahui bahwa dalam hal terjadi demam rematik terdapat beberapa predisposisi antara lain : 1. Terdapat riwayat demam rematik dalam keluarga 2. Umur DR sering terjadi antara umur 5 15 tahun dan jarang pada umur kurang dari 2 tahun. 3. Kedaan social Sering terjadi pada keluarga dengan keadaan sosial ekonomi kurang, perumahan buruk dengan penghuni yang padat serta udara yang lembab, dan gizi serta kesehatan yang kurang baik. 4. Musim Di Negara-negara dengan 4 musim, terdapat insiden yang tinggi pada akhir musim dingin dan permulaan semi (Maret-Mei) sedangkan insiden paling rendah pada bulan Agustus September. 5. Dsitribusi daerah 6. Serangan demam rematik sebelumnya. Serangan ulang DR sesudah adanya reinfeksi dgn Streptococcus beta hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang sebelumnya pernah mendapat DR. Patofisiologi Menurut hipotesa Kaplan dkk (1960) dan Zabriskie (1966), DR terjadi karena terdapatnya proses autoimun atau antigenic similarity antara jaringan tubuh manusia dan antigen somatic streptococcus. Apabila tubuh terinfeksi oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A maka terhadap antigen asing ini segera terbentuk reaksi imunologik yaitu antibody. Karena sifat antigen ini sama maka antibody tersebut akan menyerang juga komponen jaringan tubuh dalam hal ini sarcolemma myocardial dengan akibat terdapatnya antibody terhadap jaringan jantung dalam serum penderiat DR dan jaringan myocard yang rusak. Salah satu toxin yang mungkin berperanan dalam kejadian DR ialah stretolysin titer 0, suatu produk extraseluler Streptococcus beta-hemolyticus grup A yang dikenal bersifat toxik terhadap jaringan myocard. Beberapa di antara berbagai antigen somatic streptococcal menetap untuk waktu singkat dan yang lain lagi untuk waktu yang cukup lama. Serum imunologlobulin akan meningkat pada penderita sesudah mendapat radang streptococcal terutama Ig G dan A. Manifestasi Klinik Dihubungkan dengan diagnosis, manifestasi klinik pada DR akut dibedakan atas manifestasi mayor dan minor. a. Manifestasi Mayor Karditis. Karditis reumatik merupakan proses peradangan aktif yang mengenai endokardium, miokardium, dan pericardium. Gejala awal adalah rasa lelah, pucat, dan anoreksia. Tanda klinis

karditis meliputi takikardi, disritmia, bising patologis, adanya kardiomegali secara radiology yang makin lama makin membesar, adanya gagal jantung, dan tanda perikarditis. Artritis. Arthritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik, berupa gerakan tidak disengaja dan tidak bertujuan atau inkoordinasi muskuler, biasanya pada otot wajah dan ektremitas. Eritema marginatum. Eritema marginatum ditemukan pada lebih kurang 5% pasien. Tidak gatal, macular, dengan tepi eritema yang menjalar mengelilingi kulit yang tampak normal.tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, serta tidak melibatkan wajah. Nodulus subkutan. Ditemukan pada sekitar 5-10% pasien. Nodul berukuran antara 0,5 2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Umumnya terdapat di permukaan ekstendor sendi, terutama siku, ruas jari, lutut, dan persendian kaki. b. Manifestasi Minor Manifestasi minor pada demam reumatik akut dapat berupa demam bersifat remiten, antralgia, nyeri abdomen, anoreksia, nausea, dan muntah. Pemeriksaan Diagnostik/peninjang a. Pemeriksaan darah LED tinggi sekali Lekositosis Nilai hemoglobin dapat rendah b. Pemeriksaan bakteriologi Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus. Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti hyaluronidase. c. Pemeriksaan radiologi Elektrokardoigrafi dan ekokardiografi untuk menilai adanya kelainan jantung. Diagnosis Diagnosis demam reumatik akut ditegakkan berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi. Karena patologis bergantung pada manifestasi klinis maka pada diagnosis harus disebut manifestasi kliniknya, misalnya demam rematik dengan poliatritis saja. Adanya dua kriteria mayor, atau satu mayor dan dua kriteria minor menunjukkan kemungkinan besar demam rematik akut, jika didukung oleh bukti adanya infeksi sterptokokus grup A sebelumnya. Komplikasi a. Dekompensasi Cordis Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan, biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut. Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan digitalis dan obatobat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan gejala (simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer. b. Pericarditis Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard.

Pengobatan/penatalaksanaan Karena demam rematik berhubungan erat dengan radang Streptococcus beta-hemolyticus grup A, maka pemberantasan dan pencegahan ditujukan pada radang tersebut. Ini dapat berupa : a. Eradikasi kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A Pengobatan adekuat harus dimulai secepatnya pada DR dan dilanjutkan dengan pencegahan. Erythromycin diberikan kepada mereka yang alergi terhadap penicillin. b. Obat anti rematik Baik cortocisteroid maupun salisilat diketahui sebagai obat yang berguna untuk mengurangi/menghilangkan gejala-gejala radang akut pada DR. c. Diet Makanan yang cukup kalori, protein dan vitamin. d. Istirahat Istirahat dianjurkan sampai tanda-tanda inflamasi hilang dan bentuk jantung mengecil pada kasus-kasus kardiomegali. Biasanya 7-14 hari pada kasus DR minus carditis. Pada kasus plus carditis, lama istirahat rata-rata 3 minggu 3 bulan tergantung pada berat ringannya kelainan yang ada serta kemajuan perjalanan penyakit. e. Obat-obat Lain Diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada kasus dengan dekompensasi kordis diberikan digitalis, diuretika dan sedative. Bila ada chorea diberikan largactil dan lain-lain. KONSEP KEPERAWATAN Pengkajian Lakukan pengkajian fisik rutin Dapatkan riwayat kesehatan, khususnya mengenai bukti-bukti infeksi streptokokus antesenden. Observasi adanya manifestasi demam rematik. Diagnosa Keperawatan 1. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium 2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit. 3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia. 4. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi. Rencana Keperawatan 1. Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi myocardium Tujuan : Pasien dapat menunjukkan perbaikan curah jantung. Intervensi & Rasional Beri digoksin sesuai instruksi, dengan menggunakan kewaspadaan yang sudah ditentukan untuk mencegah toksisitas. Kaji tanda- tanda toksisitas digoksin (mual, muntah, anoreksia, bradikardia, disritmia) Seringkali diambil strip irama EKG Jamin masukan kalium yang adekuat Observasi adanya tanda-tanda hipokalemia Beri obat-obatan untuk menurunkan afterload sesuai instruksi dapat meningkatkan curah jantung

Untuk mencegah terjadinya toksisitas Mengkaji status jantung Penurunan kadar kalium serum akan meningkatkan toksisitas digoksin 2. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan proses infeksi penyakit. Tujuan : Suhu tubuh normal (36 37 C) Intervensi & Rasional Kaji saat timbulnya demam Observasi tanda-tanda vital : suhu, nadi, TD, pernafasan setiap 3 jam Berikan penjelasan tentang penyebab demam atau peningkatan suhu tubuh Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang hal-hal yang dilakukan Jelaskan pentingnya tirah baring bagi klien dan akibatnya jika hal tersebut tidak dilakukan Anjurkan klien untuk banyak minum kurang lebih 2,5 3 liter/hari dan jelaskan manfaatnya Berikan kompres hangat dan anjurkan memakai pakaian tipis Berikan antipiretik sesuai dengan instruksi Dapat diidentifikasi pola/tingkat demam Tanda-tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadan umum klien Penjelasan tentang kondisi yang dilami klien dapat membantu mengurangi kecemasan klien dan keluarga Untuk mengatasi demam dan menganjurkan klien dan keluarga untuk lebih kooperatif Keterlibatan keluarga sangat berarti dalam proses penyembuhan klien di RS Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan cairan tubuh meningkat sehingga perlu diimbangi dengan asupan cairan yang banyak Kompres akan dapat membantu menurunkan suhu tubuh, pakaian tipis akan dapat membantu meningkatkan penguapan panas tubuh Antipiretika yang mempunyai reseptor di hypothalamus dapat meregulasi suhu tubuh sehingga suhu tubuh diupayakan mendekati suhu normal 3. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia. Tujuan : Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, klien mampu menghabiskan makanan yang telah disediakan. Intervensi Rasional Kaji faktor-faktor penyebab Jelaskan pentingnya nutrisi yang cukup Anjurkan klien untuk makan dalam porsi kecil dan sering, jika tidak muntah teruskan Lakukan perawatan mulut yang baik setelah muntah Ukur BB setiap hari Catat jumlah porsi yang dihabiskan klien Penentuan factor penyebab, akan menentukan intervensi/ tindakan selanjutnya Meningkatkan pengetahuan klien dan keluarga sehingga klien termotivasi untuk mengkonsumsi makanan Menghindari mual dan muntah dan distensi perut yang berlebihan Bau yang tidak enak pada mulut meningkatkan kemungkinan muntah

BB merupakan indikator terpenuhi tidaknya kebutuhan nutrisi Mengetahui jumlah asupan / pemenuhan nutrisi klien 4. Nyeri berhubungan dengan proses inflamasi. Tujuan : Nyeri berkurang atau hilang Intervensi Rasional Kaji tingkat nyeri yang dialami klien dengan memberi rentang nyeri (1-10), tetapkan tipe nyeri dan respon pasien terhadap nyeri yang dialami Kaji factor-faktor yang mempengaruhi reaksi pasien terhadap nyeri Berikan posisi yang nyaman, usahakan situasi ruangan yang tenang Berikan suasana gembira bagi pasien, alihkan perhatian pasian dari rasa nyeri (libatkan keluarga) Berikan kesempatan pada klien untuk berkomunikasi dengan teman/ orang terdekat Berikan obat-obat analgetik sesuai instruksi Untuk mengetahui berapa tingkat nyeri yang dialami Reaksi pasien terhadap nyeri dapat dipengaruhi oleh berbagai factor begitupun juga respon individu terhadap nyeri berbeda dab bervariasi Mengurangi rangsang nyeri akibat stimulus eksternal Dengan melakukan aktifitas lain, klien dapat sedikit melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang dialami Tetap berhubungan dengan orang-orang terdekat/teman membuat pasien gembira / bahagia dan dapaty mengalihkan perhatiannya terhadap nyeri Mengurangi nyeri dengan efek farmakologik DAFTAR PUSTAKA Arief Mansjoer,dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Ed. 3. Penerbit Media Aesculapius FKUI. Jakarta. Smeltzer Bare, dkk. 2000. Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta. Filed under Askep Anak, Askep Jantung Tagged with dokter, Jantung, klinik, oksigen, Penyakit, perawat, rematik, rumah sakit, teumatik

Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)


September 3, 2009 by keperawatankita 2 Comments Buat para teman-teman yang ingiin mengetahui mengenai ISPA silahkan baca artikel di bawah ini : Definisi Menurut DepKes RI (1998) Istilah ISPA mengandung 3 unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan, dan akut. Pengertian atau batasan masing-masing unsur adalah sebagai berikut :

a. Yang dimaksud dengan infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. b. Yang dimaksud dengan saluran pernafasan adalah organ yang mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. Dengan demikian ISPA secara anatomis mencakup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini maka jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract). c. Yang dimaksud dengan infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari ini diambil untuk menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari (DepKes. RI, 1998 : 3 dan 4). Berdasarkan definisi-definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ISPA adalah suatu keadaan dimana kuman penyakit berhasil menyerang alat-alat tubuh yang dipergunakan untuk bernafas yaitu mulai dari hidung, hulu kerongkongan, tenggorokan, batang tenggorokan sampai ke paru-paru, dan berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Etiologi Etiologi ISPA terdiri dari lebih dari 300 jenis penyakit bakteri, virus, dan riketsia. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenvirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain (DepKes.RI, 1998 : 5). Tanda dan Gejala Tanda dan gejala penyakit infeksi saluran pernafasan dapat berupa : a. Batuk b. Kesulitan bernafas c. Sakit tenggorokan d. Pilek e. Demam f. Sakit kepala (DepKes.RI, 1993 : 1) Patofisiologi Terjadinya infeksi antara bakteri dan flora normal disaluran nafas. Infeksi oleh bakteri, virus dan jamur dapat merubah pola kolonisasi bakteri. Timbul mekanisme pertahanan pada jalan nafas seperti filtrasi udara inspirasi di rongga hidung, refleksi batuk, refleksi epiglottis, pembersihan mukosilier dan fagositosis. Karena menurunnya daya tahan tubuh penderita maka bakteri pathogen dapat melewati mekanisme sistem pertahanan tersebut Akibatnya terjadi invasi di daerah-daerah saluran pernafasan atas maupun bawah. Bahaya Infeksi Saluran Pernafasan Akut

Salah satu bahaya atau akibat terburuk dari ISPA adalah kematian. Berdasarkan data-data dari Departemen Kesehatan maka angka kematian bayi di Indonesia adalah 90,3 per 1.000 kelahiran hidup berarti dari 1.000 bayi yang dilahirkan hidup lebih dari 90 orang di antaranya meninggal sebelum mencapai 1 tahun. Angka kematian balita di Indonesia adalah 17,8 per 1.000 balita. Berarti dari 1.000 balita yang ada di Indonesia lebih dari 17 orang diantaranya akan meninggal sebelum usia 5 tahun oleh berbagai sebab. Menurut penelitian yang dilakukan tahun 1980, 22,1% sebab kematian bayi di Indonesia adalah akibat ISPA. Sedangkan data tahun 1983 menunjukkan bahwa hampir 40% kematian anak berumur 2 tahun sampai 12 bulan adalah disebabkan oleh ISPA (DepKes.RI, 1985 : 8). Sebab keparahan penyakit pada anak yang menderita ISPA adalah : a. Pertolongan medis yang terlambat : Banyak anak yang meninggal tidak lama setelah tiba di rumah sakit karena pada waktu itu keadaan mereka sudah payah baru dibawa oleh orang tuanya ke rumah sakit. b. Kekurangan gizi : Banyak penderita ISPA yang menderita kekurangan gizi. c. Adanya penyakit lain : Banyak anak yang disamping menderita ISPA juga menderita penyakit-penyakit lain pada waktu yang bersamaan. Bahaya lain dari ISPA adalah terjadinya gangguan pernafasan masa dewasa jika pada usia anakanak sering mendapat serangan ISPA. a. Sumbatan pada saluran nafas di paru-paru sehingga sering menderita sesak nafas. b. Serangan penyakit asma jika mempunyai bakat alergi. Jelaslah bahwa disamping kematian, ISPA dapat pula berakibat gangguan pernafasan hingga orang tersebut tidak dapat bekerja keras dan bekerja berat, sehingga mungkin dapat menjadi beban masyarakat atau keluarganya. Pembagian ISPA a. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Bagian Atas Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran nafas disebelah atas laring. Kebanyakan penyakit saluran nafas mengenai bagian atas dan bawah secara bersamasama atau berurutan, tetapi beberapa di antaranya melibatkan bagian-bagian spesifik saluran nafas secara nyata. Yang tergolong Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA) bagian atas diantaranya adalah :

Nasofaringitis akut (selesma), Faringitis Akut (termasuk Tonsilitis dan Faringotosilitis) dan rhinitis. b. Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Bawah Adalah infeksi-infeksi yang terutama mengenai struktur-struktur saluran nafas bagian bawah mulai dari laring sampai dengan alveoli. Penyakit-penyakit yang tergolong Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bagian bawah : Laringitis, Asma Bronchial, Bronchitis akut maupun kronis, Broncho Pneumonia atau Pneumonia (suatu peradangan tidak saja pada jaringan paru tetapi juga pada bonkioli) (Pusdiknakes, 1993 : 105). Dan menurut Pusdiknakes (1990 : 20) tentang perawatan bayi dan anak ISPA dibagi dalam tiga macam, yaitu : a. Ringan Bila timbul batuk tidak mengganggu tidur, dahak encer, tidak ada anoreksia, panas tidak begitu tinggi, misalnya rhinitis, rhinofaringitis. b. Sedang Dahak kental, ingus kental, panas tinggi (38oC), anoreksia, sesak, sakit saat menelan, misalnya tonsilofaringitis, laringo traceobronchitis. c. Berat Panas tinggi disertai nafas ngorok, stridor, kadang-kadang disertai penurunan kesadaran, misalnya pada pneumonia. Pengobatan dan Perawatan ISPA Ringan Pengobatan dan perawatan penderita ISPA ringan dilakukan di rumah. Jika anak menderita ISPA ringan maka yang harus dilakukan adalah hal-hal sebagai berikut (DepKes.RI, 1985 : 6 dan 7) : a. Demam 1) Bila demam dilakukan kompres. Cara mengompres adalah sebagai berikut : Ambillah secarik kain yang bersih (saputangan atau handuk kecil). Basahi atau rendam kain tersebut dalam air dingin yang bersih atau rendam kain tersebut dalam air dingin yang bersih atau air es, kemudian peras. Letakkan kain di atas kepada atau dahi anak tapi jangan menutupi muka. Jika kain sudah tidak dingin lagi basahi lagi dengan air, kemudian peras lalu letakkan lagi di atas dahi anak.

Demikian seterusnya sampai demam berkurang. 2) Berikan obat penurun panas dari golongan parasetamol. b. Pilek Jika anak tersumbat hidungnya oleh ingus maka usahakanlah membersihkan hidung yang tersumbat tersebut agar anak dapat bernafas dengan lancar. Membersihkan ingus harus hati-hati agar tidak melukai hidung. c. Hal-hal lain yang perlu diperhatikan Suruhlah anak beristirahat atau barbaring di tempat tidur. Berikan cukup minum tapi jangan berikan air es atau minuman yang mengandung es. Dapat diberikan teh manis, air buah atau pada bayi dapat diberikan air susu ibu. Berikan makanan yang cukup dan bergizi. Anak jangan dibiarkan terkena hawa dingin atau hawa panas. Pakaian yang ringan hendaknya dikenakan pada anak tersebut. Hindarkanlah orang merokok dekat anak yang sakit dan hindarkan asap dapur atau asap lainnya mengenai anak yang sakit. Perhatikan apakah ada tanda-tanda ISPA sedang atau ISPA berat yang memerlukan bantuan khusus petugas kesehatan. Pencegahan ISPA a. Mengusahakan agar anak mempunyai gizi yang baik b. Mengusahakan kekebalan anak dengan imunisasi c. Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan d. Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA e. Pengobatan segera Filed under Askep Pernafasan, Penyakit Tagged with akut, alergi, anatomis, batuk, definisi, depkes, efek, flu, ispa, jaringan, jasmani, kesehatan, lingkungan, manusia, organ, Penyakit, pernafasan, RI, rohani, saluran, samping, sehat

Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM)


September 1, 2009 by keperawatankita Leave a Comment

Pada saat saya bekerja di Klinik, ada pasien dengan gejala

mungkin mirip dengan TB. Ia mengeluh batuk, sesak, pegalpegal, nyeri dada. Pas di konsulin ke Spesialis Paru ternyata PPOM, berikut saya sampaikan makalah ringan untuk ada
DEFINISI

Penyakit Paru Obstruktif Menahun /PPOM (Chronic Obstructive Pulmonary Disease/COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada saluran pernafasan yang disebabkan olehemfisema atau bronkitis kronis. PPOM lebih sering menyerang laki-laki dan sering berakibat fatal. PPOM juga lebih sering terjadi pada suatu keluarga, sehingga diduga ada faktor yang dirurunkan. Bekerja di lingkungan yang tercemar oleh asap kimia atau debu yang tidak berbahaya, bisa meningkatkan resiko terjadinya PPOM. Tetapi kebiasaan merokok pengaruhnya lebih besar dibandingkan dengan pekerjaan seseorang, dimana sekitar 10-15% perokok menderita PPOM. Angka kematian karena emfisema dan bronkitis kronis pada perokok sigaret lebih tinggi dibandingkan dengan angka kematian karena PPOM pada bukan perokok. Sejalan dengan pertambahan usia, perokok sigaret akan mengalami penurunan fungsi paru-paru yang lebih cepat daripada bukan perokok. Semakin banyak sigaret yang dihisap, semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru-paru.
PENYEBAB

Ada 2 (dua) penyebab dari penyumbatan aliran udara pada penyakit ini, yaitu emfisema dan bronkitis kronis. Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru, yang disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal, sekumpulan alveoli yang berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli), membentuk struktur yang kuat dan menjaga saluran pernafasan tetap terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan, sehingga bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap. Bronkitis kronis adalah batuk menahun yang menetap, yang disertai dengan pembentukan dahak dan bukan merupakan akibat dari penyebab yang secara medis diketahui (misalnya kanker paruparu). Pada saluran udara kecil terjadi pembentukan jaringan parut, pembengkakan lapisan, penyumbatan parsial oleh lendir dan kejang pada otot polosnya. Penyempitan ini bersifat sementara. Adanya bahan-bahan iritan menyebabkan peradangan pada alveoli. Jika suatu peradangan berlangsung lama, bisa terjadi kerusakan yang menetap. Pada alveoli yang meradang, akan terkumpul sel-sel darah putih yang akan menghasilkan enzimenzim (terutama neutrofil elastase), yang akan merusak jaringan penghubung di dalam dinding alveoli. Merokok akan mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada pertahanan paru-paru, yaitu dengan cara merusak sel-sel seperti rambut (silia) yang secara normal membawa lendir ke mulut dan

membantu mengeluarkan bahan-bahan beracun. Tubuh menghasilkan protein alfa-1-antitripsin, yang memegang peranan penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil estalase. Ada suatu penyakit keturunan yang sangat jarang terjadi, dimana seseorang tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit alfa-1-antitripsin, sehingga emfisema terjadi pada awal usia pertengahan (terutama pada perokok).
GEJALA

Gejala-gejala awal dari PPOM, yang bisa muncul setelah 5-10 tahun merokok, adalah batuk dan adanya lendir. Batuk biasanya ringan dan sering disalah-artikan sebagai batuk normal perokok, walaupun sebetulnya tidak normal. Sering terjadi nyeri kepala dan pilek. Selama pilek, dahak menjadi kuning atau hijau karena adanya nanah. Lama-lama gejala tersebut akan semakin sering dirasakan. Bisa juga disertai mengi/bengek. Pada umur sekitar 60 tahun, sering timbul sesak nafas waktu bekerja dan bertambah parah secara perlahan. Akhirnya sesak nafas akan dirasakan pada saat melakukan kegiatan rutin sehari-hari, seperti di kamar mandi, mencuci baju, berpakaian dan menyiapkan makanan. Sepertiga penderita mengalami penurunan berat badan, karena setelah selesai makan mereka sering mengalami sesak yang berat sehingga penderita menjadi malas makan. Pembengkakan pada kaki sering terjadi karena adanya gagal jantung. Pada stadium akhir dari penyakit, sesak nafas yang berat timbul bahkan pada saat istirahat, yang merupakan petunjuk adanya kegagalan pernafasan akut.
DIAGNOSA

Pada PPOM yang ringan, mungkin tidak ditemukan kelainan selama pemeriksaan fisik, kecuali terdengarnya beberapa mengi pada pemeriksaan dengan menggunakan <>I>stetoskop. Suara pernafasan pada stetoskop juga terdengar lebih keras. Biasanya foto dada juga normal. Untuk menunjukkan adanya sumbatan aliran udara dan untuk menegakkan diagnosis, dilakukan pengukuran volume penghembusan nafas dalam 1 detik dengan menggunakanspirometri. Pada penderita PPOM akan terjadi penurunan aliran udara selama penghembusan nafas. Jika PPOM terjadi pada usia muda, dicurigai adanya kekurangan alfa-1-antitripsin, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah untuk mengetahui kadar afa-1-antitripsin dalam darah.

PENGOBATAN

Karena merokok sigaret merupakan penyebab paling penting dari PPOM, maka pengobatan utama adalah berhenti merokok. Menghentikan kebiasaan merokok pada saat penyumbatan airan udara masih ringan atau sedang, akan memperlambat timbulnya sesak nafas. Tetapi, berhenti merokok pada stadium manapun dari penyakit ini, pasti akan memberikan banyak keuntungan. Penderita juga harus mencoba untuk menghindari pemaparan terhadap bahan iritan lainnnya di udara. Unsur-unsur dari penyumbatan aliran udara yang bisa diperbaiki adalah kejang otot, peradangan dan peningkatan jumlah lendir. Perbaikan dari unsur-unsur tersebut akan mengurangi gejalagejala. Kejang otot bisa dikurangi dengan memberikan bronkodilator, termasuk agonis reseptor betaadrenergik (albuterol inhaler) dan theophylline per-oral (melalui mulut) yang diserap lambat. Peradangan bisa dikurangi dengan memberikan corticosteroid, tetapi hanya 20% penderita yang memberikan respon terhadap corticosteroid. Tidak ada pengobatan terpercaya yang dapat mengurangi kekentalan lendir sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk. Tetapi menghindari dehidrasi bisa mencegah pengentalan lendir. Minum cairan yang cukup untuk menjaga air kemih tetap encer dan bening. Pada PPOM yang berat, terapi pernafasan bisa membantu menghilangkan lendir di dada. Terapi oksigen jangka panjang akan memperpanjang hidup penderita PPOM yang berat dan penderita dengan kadar oksigen darah yang sangat rendah. Oksigen diberikan 12 jam/hari. Hal ini akan mengurangi kelebihan sel darah merah yang disebabkan menurunnya kadar oksigen dalam darah, memperbaiki fungsi mental dan memperbaiki gagal jantung akibat PPOM. Terapi oksigen juga bisa memperbaiki sesak nafas selama beraktivitas. Program latihan bisa dilakukan di rumah. Program ini bisa meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian penderita, menurunkan frekuensi dan lamanya perawatan di rumah sakit dan meningkatkan kemampuan berlatih meskipun fungsi paru-parunya belum pulih sempurna. Untuk melatih kaki bisa dilakukan latihan sepeda statis, naik-turun tangga dan berjalan. Untuk melatih lengan bisa dilakukan latihan angkat beban. Untuk penderita dengan kekurangan alfa-1-antitripsin yang berat, bisa diberikan protein pengganti melalui pemberian protein melalui infus setiap minggu.

Pencangkokan paru-paru bisa dilakukan pada penderita dibawah usia 50 tahun. Pada penderita dengan emfisema yang berat, bisa dilakukan pembedahan yang disebutoperasi reduksi volume paru-paru. Prosedurnya rumit dan penderita harus berhenti merokok setidaknya 6 bulan sebelum pembedahan dan menjalani program latihan intensif. Pembedahan akan memperbaiki fungsi paru-paru dan kemampuan berlatih. PROGNOSIS 30% penderita PPOM dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu 1 tahun, dan 95% meninggal dalam waktu 10 tahun. Kematian bisa disebabkan oleh kegagalan pernafasan, pneumonia, pneumotoraks (masuknya udara ke dalam rongga paru), aritmia jantung atau emboli paru (penyumbatan arteri yang menuju ke paru-paru). Penderita PPOM juga memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kanker paru.
PENCEGAHAN

Jika penderita mengalami influenza atau pneumonia, PPOM akan semakin memburuk dengan jelas. Karena itu, penderita PPOM harus mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun dan vaksinasi pneumokokus setiap 6 tahun atau lebih. Filed under Penyakit Tagged with 2, air, batuk, kosong, kp, liter, menahun, menular, paru, Penyakit, sesak, TBC

Herpes Zoster .. Definisi dan Askepnya


February 11, 2009 by keperawatankita 2 Comments

You might also like