You are on page 1of 5

A.

PENDAHULUAN Kegoyahan gigi merupakan salah satu gejala penyakit periodontal dapat disebabkan adanya kerusakan tulang yang mendukung gigi, trauma dari oklusi, dan adanya perluasan peradangan dari gingiva ke jaringan pendukung yang lebih dalam, serta proses patologik rahang (Strassler and Brown, 2001; Strassler, 2004) seringkali terjadi pada pasien dengan trauma karena oklusi disertai periodontitis kronis (Caputo and Wylie, 2009). Periodontitis kronis merupakan penyakit pada jaringan periodontal yang disebabkan terutama oleh bakteri spesifik pada subgingiva, yang dapat menimbulkan respon inflamasi gingiva menuju struktur periodontal pendukung dan berlanjut dengan hilangnya perlekatan jaringan pendukung hingga resorpso tulang alveolar sekitar gigi. Keadaan ini dapat mengakibatkan hilangannya perlekatan gingiva, pembentukan poket periodontal lalu terjadi kerusakan tulang alveolar sehingga meningkatkan kegoyahan gigi dan berakibat tanggalnya gigi (Carranza dkk., 2006). Salah satu perawatan yang dapat dilakukan untuk stabilisasi kegoyahan gigi akibat penyakit periodontal adalah splinting, setelah sebelumnya dilakukan perawatan scaling dan root planning atau kuretase. Menurut Fedi dkk (Fedi dkk., 2000) kegoyahan gigi diklasifikasikan menjadi tiga derajat. Derajat 1 yaitu kegoyahan sedikit lebih besar dari normal. Derajat 2 yaitu kegoyahan sekitar 1 mm, dan derajat 3 yaitu kegoyahan > 1 mm pada segala arah dan/atau gigi dapat ditekan ke arah apikal. Salah satu perawatan untuk stabilisasi kegoyahan gigi adalah splinting. Splinting diindikasikan pada keadaan kegoyahan gigi derajat 3 dengan kerusakan tulang berat (Fedi dkk., 2000; Kegel dkk., 1979) Adapun indikasi utama penggunaan splint dalam mengontrol kegoyahan yaitu imobilisasi kegoyahan yang menyebabkan

ketidaknyamanan pasien serta menstabilkan gigi pada tingkat kegoyahan yang makin bertambah (Mc-Guire, 1996) Ditambahkan oleh Strassler dan Brown (Strassler and Brown, 2001) splinting juga digunakan untuk mengurangi gangguan oklusal dan fungsi mastikasi.

B. LAPORAN KASUS Seorang pria berumur 32 tahun datang ke RSGM Prof Soedomo bagian periodonsia dengan keluhan gigi bawah bagian depan goyah sehingga mengganggu saat pengunyahan, hasil pemeriksaan subjektif pasien tidak menderita kelainan sistemik dan tidak ada alergi. Hasil pemeriksaan klinis menunjukkan OHI pasien buruk, indeks plak >50%, terdapat resesi hampir di semua gigi dan poket periodontal sebesar__ pada gigi _________, gigi 41 mengalami kegoyahan derajat 2, dan pemeriksaan radiografi menunjukkan adanya horizontal alveolar boneloss pada mesial gigi 32 sampai mesial gigi 42 lebih dari apeks gigi.

Diagnosis klinis dari kasus ini adalah periodontitis kronis pada gigi 41. Prognosis baik karena pasien tidak memiliki penyakit sistemik, usia yang masih muda, dan memiliki motivasi tinggi serta kooperatif. C. PENATALAKSANAAN Kunjungan awal dilakukan fase inisial berupa kontrol plak dan skaling. Pada kunjungan satu minggu terlihat poket periodontal pada gigi 41 berkurang namun derajat kegoyahan tidak berkurang, Tindakan awal splinting adalah membersihkan daerah kerja yaitu dengan skaling dan polishing gigi 41 42 dan 43. Setelah polishing, dilakukan pengukuran panjang daerah splint dengan menggunakan wire, fiber dipotong sesuai panjang wire kemudian diletakkan diatas glassplate. Isolasi daerah kerja dengan cotton roll. Permukaan lingual gigi 41 42 dan 43 dietsa dengan asam phosporik 30% selama 15 detik, bilas dengan air dan keringkan. Lalu aplikasi bahan bonding dan disinari 10 detik. Aplikaso selapis resin komposit flowable ke area lingual gigi 41 42 dan 43. Fiber yang telah dipotong dibasahi dengan bonding lalu diletakkan diatas resin komposit flowable dan diratakan. Penyinaran dilakukan bertahap masing-masing gigi yang displinting. Kemudian resin komposit flowable diaplikasikan diatas fiber dan dibentuk sesuai kontur yang diperlukan. Dilakukan penyinaran masing-masing 20 detik. Pada daerah diastema dilakukan penambalan dengan komposit dan dibentuk. Pemolesam dilakukan bila diperlukan. Kontrol satu minggu setelah pemasangan splinting pasien tidak ada keluhan sakit, merasa lebih nyaman, tidak goyah. Pemeriksaan objektif menunjukkan poket periodontal 41 berkurang.

D. PEMBAHASAN Terapi inisial disebut juga terapi fase I atau terapi higienik. Terapi inisial bertujuan untuk membuang semua faktor lokal yang menyebabkan peradangan gingiva serta pemberian instruksi dan motivasi pasien dalam melakukan kontrol plak. Terapi inisial juga disebut sebagai fase etiotropik karena bertujuan untuk menghilangkan faktor etiologi penyakit periodontal. Terapi inisial mencakup kontrol plak yang meliputi motivasi, edukasi dan instruksi dari pasien, skaling. Pencapaian perawatan melalui bedah periodontal dapat dilakukan bilamana terapi inisial berhasil dengan baik (Carranza, 2006). Dari pemeriksaan klinis dapat disimpulkan etiologi disebabkan karena periodontitis kronis. Penatalaksanaan gigi goyah dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu menghilangkan faktor penyebab dan faktor pengaruh (terutama traumatik oklusi) dan menstabilkan gigi yang masih goyah (Prayitno, 1997). Pada kasus ini, tahap menghilangkan

faktor penyebab dan faktor pengaruh dilakukan untuk mengurangi keparahan kegoyahan yang diakibatkan keadaan mulut yang kurang bersih. Setelah 1minggu pasca skaling, kegoyahan gigi tidak berkurang sehingga perlu dilakukan splinting. Splint yang dipilih pada kasus ini adalah fiber reinforced composite resin yang dipasang ekstrakoronal Splinting adalah suatu alat yang bertujuan untuk imobilisasi atau stabilisasi kegoyangan gigi. Splinting biasanya dilakukan pada fase I, sebelum fase bedah, baik berupa splinting sementara maupun splinting permanen. Beberapa penelitian menunjukkan splinting dapat meningkatkan resistensi jaringan terhadap kerusakan periodontal lebih lanjut dan mempercepat respon penyembuhan (Noyan dkk., 1997). Dahulu splinting pada gigi depan menggunakan wire splinting, kombinasi wirekomposit atau meshkomposit. Terkadang wire splinting menimbulkan rasa sakit bagi pasien, mudah kendor atau patah. Material tersebut hanya dapat secara mekanik terkunci di sekitar resin, dan secara kemis tidak bersatu dengan resin. Kegagalan klinis disebabkan karena muatan beban hanya ditempatkan pada splint dalam keadaan normal dan parafungsi, serta menyulitkan dalam pembersihan dan mendorong terjadinya retensi plak, serta menimbulkan rasa sakit dan ketidaknyamanan (Lie dkk., 1998). Adanya kelemahan pada bahan tersebut, maka pada dekade terakhir dikembangkan penggunaan Fiber Reinforce Composite (FRC) yaitu material berbahan dasar resin yang mengandung fibre yang bertujuan untuk meningkatkan stabilitas gigi (Ganesh and Tandon, 2006). Fiber Reinforce Composite dapat digunakan untuk palatal atau lingual splinting, labial splinting atau occlusal splinting dan dapat digunakan untuk menutup diastema. Keuntungan dari bahan ini adalah mudah pemeliharaan, bebas logam, transparan, estetik dan tampak natural. FRC Splinting merupakan suatu terobosan baru, modern, efektif, estetik, dan memberikan kenyamanan bagi pasien serta memudahkan dalam pembersihan, sehingga dapat menjadi alternatif sebagai pengganti wire splinting baik dalam hal kekuatan maupun estetik (Strassler and Brown, 2001). Kontrol satu minggu setelah pemasangan splinting pasien tidak ada keluhan sakit, merasa lebih nyaman, tidak goyang, gingiva bagian lingual terasa membengkak. Pemeriksaan intra oral terlihat gingiva pada labial dan lingual gigi 41 kemerahan dan bengkak. Tindakan yang dilakukan adalah melakukan skaling untuk menghilangkan deposit yang berupa plak, kalkulus maupun endotoksin pada subgingiva yang menyebabkan kerusakan jaringan periodontal dan berperan pada rekolonisasi mikroorganisme yang bersifat patogen. Pasien dianjurkan untuk konsultasi dengan dokter gigi spesialis periodonsia untuk dilakukan terapi

tambahan berupa aplikasi bahan antibiotik dan bone graft agar perlekatan jaringan periodontal meningkat dan menurunkan kedalaman poket sehingga terapi lebih maksimal.

KESIMPULAN Kegoyahan gigi pada kasus ini disebabkan oleh iritasi lokal dari plak dan kalkulus sehingga menjadi periodontitis kronis. Kegoyahan gigi dapat diatasi dengan perawatan splint. Pada kasus ini digunakan splint ekstrakoronal fiber reinforced composite yang dipasangkan secara permanen untuk menstabilkan gigi yang goyah. Diperlukan perawatan tambahan oleh dokter spesialis periodonsia agar perlekatan jaringan periodontal meningkat dan menurunkan kedalaman poket

DAFTAR PUSTAKA Carranza FA. 2006. Clinical diagnosis dalam Carranza FA, Newman MG, (eds). Clinical periodontology. 8th ed. Philadelphia: WB Saunders Company Noyan U, Yilma S, Kuru B. 1997. A clinical and microbiological evaluation of sistemic and local metronidazole delivery in adult periodontitis patients. J Clin Periodontol ., 24: 158-65. Strassler HE., Brown C. 2001. Periodontal splinting with a thinhigh modulus polyethylene ribbon. Compend Contin Educ Den., 22: 610-20. Strassler HE. 2004. Periodontal splinting with fiber reinforced composite resin. Compend Contin Educ Dent., 25: 53-9. Fedi PF, Vernini AR, Gray JL. 2000. The Periodontics syllabus. Lippincott : Williams and Wilkins. Kegel W, Kelsinki H., Philip C. 1979. The Effect of splinting on tooth mobility during initial therapy. J Clin Periodontol., 6: 45-58 Mc-Guire MK. 1996. Periodontal-restorative interrelationships. Dalam: Carranza FA, Newman MG, (eds). Clinical periodontology. 8th ed. Philadelphia: WB Saunders Company. Lie T, Bruun G, Boe OE. 1998. Effect of topical metronidazole and tetracycline in the treatment of adult Perioidontitis. J Periodontol., 69: 819-27.

Ganesh M, Tandon S. 2006. Versatility of ribbond in contemporary dental practice. Trend Biometer Artif Organs., (1): 53-8. Prayitno SW. 1997. Penatalaksanaan Gigi Goyang Akibat Kelainan Jaringan Periodontium, Cermin Dunia Kedokteran., 115 : 56-9.

You might also like