You are on page 1of 28

KARSINOMA NASOFARING

I.

PENDAHULUAN Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak

dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia.Hampir 60 % tumor ganas kepala dan leher merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan sinus paranasal (18%) , laring (16%), dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah.Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.1,2 Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based mendapatkan angka prevalensi karsinoma nasofaring 4,7 per 100.000 penduduk atau diperkirakan 7.000 - 8.000

kasus per tahun di seluruh Indonesia. Di Indonesia frekuensi pasien ini hampir merata di setiap daerah. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, Rs. Hasan Sadikin Bandung rata rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Palembang 25 kasus, 15 kasus setahun di Denpasar dan 11 kasus di Padang dan Bukittinggi.1,2 Penanggulangan karsinoma nasofaring sampai sat ini masih merupakan suatu problem, hal ini karena etiologi yang masih belum pasti, gejala dini yang tidak khas serta letak nasofaring yang tersembunyi, sehingga diagnosis sering terlambat.2 Pada stadium dini, radioterapi masih merupakan pengobatan pilihan yang dapat diberikan secara tunggal dan memberikan angka kesembuhan yang cukup tinggi. Pada stadium lanjut, diperlukan terapi tambahan yakni kemoterapi yang dikombinasikan dengan radioterapi. 2

II.

ANATOMI Nasofaring merupakan tabung fibromuskular yang terletak di

belakang hidung pada faring bagian atas. Batas superior nasofaring adalah dasar sinus sphenoid dan clivus, anterior dibatasi choanae, inferior dibatasi orofaring, posterior dibatas muskulature prevertebral dan sebelah lateralnya oleh spasium parapharyngeal.3 Dinding lateral meliputi tuba eustachius, torus tubarius dan fossa Rosemuller. Secara anatomis, nasofaring berhubungan dengan cavum nasi dan berperan sebagai saluran udara saat pernapasan, karena strukturnya yang dibangun dari tulang, nasofaring bersifat paten dalam keadaan normal KNF merupakan karsinoma sel skuamosa yang berasal dari epitel nasofaring. Neoplasma ini dapat berasal dari semua bagian nasofaring. Biasanya KNF dimulai dari fossa Rosenmuller.4,5 Fossa Rosenmuller atau resessus pharyngeus lateral terletak superior dan posterior dari torus tubarius. Konfigurasi J terbalik dari torus tubarius menjadi dasar mengapa fossa Rosenmller tampak posterior pada potongan axial dan superior pada koronal dari orifisium tuba eustachius. Tuba eustachius masuk ke nasofaring melalui sinus Morgagni, sebuah defek pada fascia pharyngobasilar yang merupakan perluasan kranial dari muskulus konstriktor superior. Spasium parapharyngeal memisahkan spasium viseral nasofaringeal dari spasium mastikasi. KNF biasanya meluas menyeberangi Spasium parapharyngeal sehingga dapat menginfiltrasi otot mastikasi dan menyebar perineural ke nervus mandibular dan kavum intrakranial. Selain itu dalam spasium

parapharyngeal retrostyloid juga terdapat spasium karotid yang juga dapat diinvasi KNF.3 Faring menerima aliran darah dari sistem arteri karotis eksterna terutama arteri pharyngeal ascendens. Vena dari faring akan mengalir ke vena jugularis interna. Persarafan dari otot dan mukosa faring didapatkan dari pleksus pharyngeal yang menerima serat dari nervus

glossopharyngeal dan nervus vagus. Plexus itu sendiri terletak diluar dari otot konstriktor pharyngeus medius 6.

Antara nasofaring dengan corpus vertebra terdapat spasium retrofaring dan spasium prevertebralis. Di dalam spasium retropharyngeal ada nodus retropharyngeal lateral Rouviere. Nodus ini merupakan nodus pertama pada aliran limfatik nasofarik dan dapat diidentifikasi sebagai nodul berukuran 3-5 mm akan tetapi, pada 35% pasien dengan KNF, limfadenopati servikal dapat ditemukan tanpa adanya pembesaran nodus retropharyngeal lateral. 3

Gambar 1. Anatomi Nasofaring (dikutip dari kepustakaan nomor 7) Aliran limfatik dari nasofaring mengalir dalam arah anteroposterior menuju ke basis krani dimana nervus IX dan XII berada. Jalur aliran limfatik lainnya meliputi drainase ke limfonodus servikal posterior dan jugulodigastrik. 4 Foramen laserum dan ovale merupakan jalur yang potensial untuk penyebaran tumor ke intrakranial. Foramen laserum terletak superolateral dari fossa Rosenmller dan terletak pada perlekatan fascia

pharyngobasilar pada basis cranii. Kartilago mengisi bagian inferior foramen laserum dan foramen ovale terletak di lateral dari perlekatan fascia pharyngobasilar terhadap basis cranii.3

Hal yang perlu diketahui berikutnya adalah jenis epitel pada mukosa nasofaring. Mukosa nasofaring terdiri dari beberapa baris epotel bersilia dan berbeda dari orofaring dan hipofaring yang tersusun dari epitel skuamosa non keratinisasi bertingkat 6 III. EPIDEMIOLOGI Setiap tahunnya diperkirakan terdapat 11.000 kasus karsinoma nasofaring baru dengan rasio pria berbanding wanita 2,5 : 1. Lebih banyak ditemukan di bagian selatan China3,4 KNF biasanya menyerang anak dan orang dewasa namun sering ditemukan pada usia menengah menurut pemaparan Seow et al di tahun 20043 Karsinoma nasofaring merupakan penyakit keganasan dengan insidensi kurang dari 1 per 100.000 orang pada orang kulit putih
3,5

Penyakit ini banyak ditemukan di Alaska dan China terutama bagian selatan dengan insidensi mencapai 15-30 kasus per 100.000 orang3 Bahkan menurut Parkin et al tahun 1997, insidensi KNF dapat mencapai 50 per 100.000 penduduk di selatan China dan Hongkong, serta Singapura dan China-Amerika. Insidensi yang lebih rendah ditemukan pada suku Eskimo, Polinesia dan Afrika Utara 3. KNF juga ditemukan pada etnis Afrika Timur8 Namun hal yang perlu diperhatikan adalah insidensi KNF tetap tinggi pada etnis China yang berpindah ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara namun lebih rendah pada etnis China yang lahir di Amerika Utara. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh genetik, etnis dan faktor lingkungan dalam etiologi penyakit ini.5 Angka kejadian Kanker Nasofaring (KNF) di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus/tahun/100.000 penduduk atau diperkirakan 7000 8000 kasus per tahun di seluruh Indonesia (Survei yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan pada tahun 1980 secara pathology based). Santosa (1988) mendapatkan jumlah 716 (8,46%) penderita KNF berdasarkan data patologi yang diperoleh di Laboratorium Patologi anatomi FK Unair Surabaya (1973 1976) diantara 8463 kasus keganasan di Seluruh tubuh. Di Bagian THT Semarang mendapatkan 127

kasus KNF dari tahun 2000 2002. Di RSCM Jakarta ditemukan lebih dari 100 kasus setahun, RS. Hasan Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus, Ujung Pandang 25 kasus, Denpasar 15 kasus, dan di Padang dan Bukit tinggi (1977-1979). Dalam pengamatan dari pengunjung poliklinik tumor THT RSCM, pasien karsinoma nasofaring dari ras Cina relatif sedikit lebih banyak dari suku bangsa lainnya.1

IV.

ETIOLOGI Ada tiga faktor yang memungkinkan terjadinya KNF yakni faktor

genetik, lingkungan dan, Epstein Barr Virus3 Pengaruh lingkungan yang dapat menyebabkan KNF dapat berupa zat zat kimia atau bahan makanan yang biasa dimakan. Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma nasofaring yaitu9 a) b) c) d) e) f) g) Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin4,9 gas kimia asap industri asap kayu beberapa ekstrak tumbuhan ramuan herbal cina Merokok4 Konsumsi ikan asin merupakan salah satu faktor penyebab KNF yang sering disebutkan. Hal ini tampaknya berhubungan dengan komponen karsinogenik, nitrosamin yang banyak ditemukan pada ikan asin. Sebuah studi case control menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi ikan asin dalam jumlah sering dimulai saat belum mencapai usia 10 tahun dengan peningkatan resiko KNF5 Seperti halnya kanker pada kepala dan leher, merokok juga berhubungan dengan insidensi KNF yang tinggi terutama pada pria ras Kaukasia4 Epstein-Barr virus (EBV) juga diduga berperan dalam proses onkogenik tumor ini, karena genom EBV sering dideteksi pada spesimen biopsi KNF. Namun karena EBV sering ditemukan dalam jumlah banyak

pada populasi manusia maka peran EBV dalam menimbulkan KNF masih diragukan.5 Pada pasien dengan riwayat keluarga KNF memiliki resiko terkena KNF sebesar 6 kali lipat yang memberikan gambaran bahwa peran genetik ada dalam patogenesis timbulnya KNF.5 Ada dugaan bahwa predisposisi genetik pada keluarga lini pertama pada peranakan China Amerika lebih tinggi daripada Kaukasia Amerika dan yang diduga berperan dalam proses ini adalah Human Leucocyte Antigen terutama HLA-BW46, and HLA-B174 Dalam studi lebih lanjut ditemukan alterasi pada berbagai kromosom misalnya delesi area 14q, 16p, 1p, dan amplifikas 12q dan 4q. Gen tumor supresif diketahui berada pada kromosom 14q5

V.

PATOFISIOLOGI Karsinoma Nasofaring merupakan keganasan berupa tumor yang

berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran KNF dapat berupa : 1. Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen

laserum, kemudian ke sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N.I N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid.

Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal (parese N. II-N.VI).10 2. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll), di mana di dalamnya terdapat N. IX XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII N. XII beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX N. XII disebut Sindrom

Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh.4 3. Penyebaran ke kelenjar getah bening Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter. 10

4. Metastasis jauh Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.10 Pertumbuhan KNF dapat bersifat eksofitik dimana massa dapat memenuhi seluruh area post nasal dan ditandai dengan ulserasi dan pendarahan kontak. Namun pada 10% pasien dengan KNF lesi dapat bersifat submukosa sehingga pada pemeriksaan nasofaring, mukosa dapat terlihat normal dan hanya tampak permukaan yang iregular. Pertumbuhan ini disebut sebagai endofitik. Selain itu pertumbuhan endofitik juga biasanya hanya ditandai dengan perubahan warna mukosa menjadi kemerahan. Pada suatu kajian, pertumbuhan endofitik cenderung lebih agresif dibandingkan eksofitik11

VI.

HISTOPATOLOGI Sel epitel malignan dari KNF adalah sel poligonal raksasa dengan

karakter yang khas. Nukleusnya bulat atau oval dengan kromatin yang tebal dan nukleoli yang dapat dibedakan. Sel biasanya ditemukan bersama dengan sel limfoid sehingga terkadang timbul istilah

limfoepitelioma. Studi mikroskop elektron menunjukkan asal sel ini dari sel skuamosa, termasuk pada karsinoma tidak berdiferensiasi.5 Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi 3 tipe, yaitu: 1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma). Ditemukan jembatan interseluler dan tampak serupa dengan saluran aerodigestif atas5 Tampak diferensiasi skuamosa dan tidak berkaitan dengan EBV, prognosis lebih buruk dan kurang sensitif terhadap radiasi 12

2.

Karsinoma non-keratinisasi (Non-Keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini ada maturasi namun tidak dijumpai diferensiasi squamosa yang jelas5 tipe ini berkaitan dengan EBV, prognosis lebih baik dan sensitif terhadap radiasi12

Gambar 2. KNF Tipe I (dikutip dari kepustakaan nomor 5)

Gambar 3. KNF Tipe II (dikutip dari kepustakaan nomor 5) 3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Tipe ini meliputi limfoepitelioma, anaplastik dan varian clear cell. Tampak tepi sel yang berbatas tegas dengan stroma limfositik. Biasa

ditemukan nuklei hiperkormatik. Tipe ini berkaitan dengan EBV, sensitif terhadap radiasi.12

Gambar 4. KNF Tipe III (dikutip dari kepustakaan nomor 5) Beberapa tipe jarang lain juga ditemukan antara lain, karsinoma adenoid kistik, plasmasitoma, melanoma, rhabdomyosarkoma.
4,12

Limfoma, adenokarsinoma, myeloma sel plasma, dan silindroma.

Di Amerika Utara sekitar 25% pasien memiliki tipe nomor 1, 12% pada tipe nomor 2, 63% tipe nomor 3. Pada pasien dengan ras Cina Selatan, penyebaran histologi berturut turut adalah 3%, 2%, dan 95%5 Klasifikasi alternatif lainnya dibagi menjadi dua jenis tipe histologis yakni squamous cell carcinoma dan undifferentiated carcinomas of the nasopharyngeal type (UCNT). Klasifikasi

berhubungan erat dengan kadar serology EBV. Pasien dengan SCC memiliki titer EBV yang rendah dan sebaliknya pada UCNT5

VII.

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.

10

Anamnesis Anamnesis dan gambaran klinis , yang terdiri dari : Penegakan diagnosis didasarkan pada anamnesis dimana pasien datang berbagai gejala yang dikeluhkan sesuai dengan penjalaran kanker. Gejala-gejala dan tanda dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2 macam berdasarkan metastasenya, yaitu:10 1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa:
a. Gejala

hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh;

epistaksis berulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan lendir hidung sehinga berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah, encer/kental, berbau.
b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh

tumor, sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan dalam kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di telinga sampai otalgia.

2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa: a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N. Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan menimbulkan kebutaan. b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan tanda penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring. c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai saraf-saraf kranialis, antara lain: Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase secara hematogen. Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.

11

Kesukaran pada waktu menelan Afoni Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai N. IX (N. Glossopharyngeus), N. X (N. Vagus), N. XI (N. Accessorius), N. XII (N. Hypoglossus). Dengan tandatanda kelumpuhan pada: lidah, palatum, faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, M. Trapezius.
10

Pemeriksaan Fisis Pemeriksaan Fisis , yang dapat dilakukan yaitu :11 Inspeksi dan palpasi : tampak benjolan pada leher (lateral) dengan berbagai ukuran, biasanya berada di level II-III dengan permukaan rata, terfiksir dan tidak nyeri tekan. Tampak massa di dinding nasofaring berwarna kemerahan dengan permukaan tidak rata yang tampak dengan pemeriksaan rinoskopi posterior. Untuk mengetahui keadaan membran timpani dilakukan pemeriksaan otoskopi sedangkan untuk mengetahui adanya penurunan pendengaran dapat dilakukan tes garpu tala. Untuk mengetahui keadaan kavum nasi, keadaan konka inferior, konka media serta sekret bila ada dapat dilakukan pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan saraf kranial untuk mengetahui adanya perluasan tumor ke jaringan sekitarnya.

Gambar 5. Tampak benjolan pada leher. Pada pasien ini ditemukan pembesaran limfonodus servikal (Dikutip dari kepustakaan nomor 11)
12

Laboratorium Hitung darah lengkap dan fungsi hati juga harus dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan metastasis. Titer EBV perlu diperiksa karena pada tumor nasofaring juga dapat meningkat4. Virus Epstein-Barr tergolong dalam herpes virus dan antigen spesifik EBV dapat digolongkan menjadi antigen replikatif, fase laten, dan antigen fase lanjutan. Pada pasien dengan KNF, imunoglobulin A (IgA) berespon terhadap antigen awal dan viral capsid antigen (VCA) dapat dijadikan dasar untuk diagnostik. IgA anti VCA lebih sensitif tapi kurang spesifik dibandingkan IgA anti EA. Pada orang sehat yang terdeteksi IgA anti VCA dapat memiliki KNF subklinis dan deteksi KNF dapat mencapai 30 kali lebih tinggi dari populasi normal. 5 Immunoglobulin IgA anti-VCA dianggap berhubungan dengan tahapan stadium penyakit dan kadarnya dapat berkurang dengan pemberian terapi, sehingga dapat bernilai sebagai tumor marker dan deteksi rekurensi. Selain itu DNA EBV juga dapat digunakan sebagai tumor makrker namun sensitivitasnya sedang. 5

Pemeriksaan Penunjang Biopsi Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan hasil biopsi.Biopsi nasofaring dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung menyusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.11

13

Gambar 6. Endoskopi nasal, tampak massa yang masuk diantara palatum molle dan dinding posterior faring (kiri) dan massa dilihat dari cavum nasi (Dikutip dari kepustakaan 6) Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas.Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut, massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakukan dengan analgesia topikal dan dalam keadaan tertentu dapat dilakukan dengan anestesi general.11

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan CT Scan sangat membantu untuk menentukan lokasi dan perluasan tumor. MRI juga dilakukan untuk mengevaluasi kepala dan leher. Foto thorax, Pemeriksaan PET Scan dan bone scan juga dilakukan untuk melihat apakah ada tanda metastasis. Endoskopi juga dapat dipertimbangkan4

14

Gambar 7. KNF pada fossa rosenmuller ( gambaran MRI) (dikutip dari kepustakaan nomor 3) Modalitas radiologi dapat dilakukan untuk menilai invasi tumor ke ruangan sekitarnya. Invasi yang dapat terjadi meliputi invasi ruang orbita

Gambar 8. Modalitas CT scan menunjukkan invasi tumor ke fossa pterygopalatina dextra (kiri) fissura orbitalis inferior dextra( tengah) dan cavung orbita dextra (kanan) (dikutip dari kepustakaan nomor (3)

15

Gambar 9. Dengan CT scan kontras potongan axial menunjukkan adanya gambaran tumor (*) dengan penyebaran ke spasium retrofaring dan otot prevertebral (kiri) dan extensi tumor pada dinding faring kanan (kanan) (Dikutip dari kepustakaan nomor 3) Hal yang paling penting diketahui adalah apakah terdapat penyebaran ke daerah yang lebih jauh misalnya ke intrakranial. Modalitas radiologi juga dapat membantu mengungkapkan hal tersebut.

Gambar 10. Dengan MRI (kiri) ditemukan invasi ke otot prevertebral (panah hitam) dan spasium karotid kiri (panah putih) dan fossa cranial posterior (*) pada gambar kanan ditemukan penyebaran tumor melalui foramen magnum ke fossa posterior. (dikutip dari kepustakaan nomor 3)

PENENTUAN STADIUM Stadium ini berdasarkan kriteria dari American Joint Committee On Cancer (AJCC 2002) T = Tumor primer

16

T0 - Tidak tampak tumor. Tis Karsinoma insitu, dimana tumor hanya terdapat pada 1 lapisan jaringan. T1Tumor terbatas pada satu (lateral/posterosuperior/atap dan lain- lain). lokalisasi saja

T2 - Tumor yang sudah meluas kedalam jaringan lunak dari rongga tenggorokan. T3 - Tumor telah keluar dari rongga nasofaring (ke rongga hidung atau orofaring dsb). T4 Tumor telah keluar dari nasofaring dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf-saraf otak.

TX - Tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap. N = Nodule N - Pembesaran kelenjar getah bening regional . NX - Pembesaran kelenjar reginol tidak dapat dinilai N0 - Tidak ada pembesaran. N1 - Terdapat pembesaran tetapi homolateral dan tumor dalam kelenjar limfe berukuran 6 cm atau lebih kecil. N2 - Terdapat pembesaran kontralateral/bilateral dengan ukuran tumor 6 cm atau lebih kecil. N3 - Tumor terdapat di kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm atau tumor telah ditemukan didalam kelenjar limfe pada regio segitiga leher N3A Tumor dalam kelenjar limfe dengan ukuran lebih dari 6 cm. N3B Tumor ditemukan diluar segitiga leher M = Metastasis M = Metastasis jauh M0 - Tidak ada metastesis jauh. M1 Terdapat Metastesis jauh .

17

Berdasarkan TNM tersebut di atas, stadium penyakit dapat ditentukan : Stadium 0 Stadium I Stadium Iia Stadium Iib Tis T1 T2a T1 T2a T2b Stadium III T1 T2a,T2b T3 Stadium Iva T4 Semua T Semua T Tis : Carcinoma in situ No No No N1 N1 No, N1 N2 N2 N2 No, N1, N2 N3 Semua N Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo Mo M1

Stadium 0 :

18

Stadium I :

Stadium IIA :

Stadium IIB :

19

Stadium III :

Stadium IVA :

Stadium IVB :

20

Stadium IVC :

VIII. PENATALAKSANAAN Prinsip pengobatan karsinoma nasofaring meliputi terapi antara lain Radioterapi, Kemoterapi, Kombinasi, Operasi, dan Terapi Gen Dan Imunoterapi. Penatalaksanaan KNF berdasarkan stadiumnya terdiri dari11 Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV : Radioterapi : Radioterapi : Kemoterapi + radiasi : Kemoterapi + radiasi

Radioterapi Karena sulitnya menentukan batas operasi, maka terapi utama untuk KNF adalah terapi radiasi terutama pada stadiym awal. Cakupan radiasi meliputi leher bilateral dan nodus supraklavikular juga nodus retrofaringeal. Dosis profilkasis adalah 5040 cGy yang diberikan ke area nodus dan 20003000 cGy ke tumor primer dan nodus yang terlibat4 Komplikasi radiasi yang dapat timbul adalah xerostomia, otitis externa kronik, otitis media, gangguan pendengaran, gangguan gigi geligi, disfungsi pituitari, trismus dan nekrosis jaringan lunak atau tulang4

21

Kemoterapi Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cisplatinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat Radiosensitisizer10 Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran, dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. 10

Kombinasi Studi acak terbaru menunjukkan pada stadium lanjut T3 dan T4 dapat dilakukan pemberian radiasi dan kemoterapi. Regimen kemoterapi meliputi cisplatin tiga siklus (100 mg/m2) selama radiasi dan tiga siklus cisplatin (80 mg/m2) dan 5-FU (1000 mg/m2) setelah radiasi telah lengkap. Pada KNF yang rekuren, pemberian radiasi 6000 cGy memberikan angka kesuksesan hingga 40%4

Operasi Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring dilakukan untuk kasus rekurensi lokal dan regional. Tiga keadaan kontraindikasi operasi adalah keterlibatan arteri karotis interna, erosi basis krani dan keterlibatan intrakranial. Pendekatan operasi meliputi tindakan transnasal, transmaksila, midfasial atau transpalatal. Untuk penyakit dengan

keterlibatan regional biasanya dilakukan diseksi leher baik radikal ataupun modifikasi.(cumming)

22

Terapi Gen dan Imunoterapi Karena KNF berhubungan erat dengan Virus Epstein-Barr virus maka terbuka suatu kesempatan untuk melakukan terapi molekuler. Terapi Gen menggunakan vektor defisien replikasi adenovirus untuk meningkatkan sitotoksisitas melalui induksi apoptosis. Imunoterapi pada KNF difokuskan pada peningkatan respon sel limfosit T sitotoksis walapun perlu dilakukan studi lebih lanjut5

Gambar 11: Teknik operasi pendekatan lateral rhinotomy (kiri) dan pendekatan swing maxilla (kanan) (dikutip dari kepustakaan nomor 11) IX. DIAGNOSIS BANDING Hiperplasia adenoid Biasanya dewasa.Pada terdapat anak anak pada anak-anak, ini jarang terjadi pada karena orang infeksi

hiperplasia

berulang.Pada foto polos akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring, umumnya berbatas tegas dan simetris serta strukturstruktur sekitarnya tak tampak tanda tanda infiltrasi seperti pada KNF. 9

Angiofibroma Juvenilis Biasanya ditemui pada usia relatif muda dengan gejala-gejala menyerupai KNF yakni epsitaksis dan obstruksi nasal. Tumor ini kaya

23

akan pembuluh darah dan biasanya tidak infiltratif. Tumor ini memiliki lokasi tipikal yang terletak di nasal choana dan di nasofaring dan fossa pterygopalatina. Pada foto polos akan didapatkan suatu massa pada atap nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada penyebaran karsinoma.Walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang melainkan hanya erosi saja karena penekanan tumor misalnya pada fossa subtemporal. Biasanya aliran darah berasal dari arteri pharyngea ascendens. Karena tumor ini kaya akan dinding vaskuler maka arteriografi karotis eksterna sangat diperlukan sebab gambarnya sangat karakteristik.11

X. KOMPLIKASI

Metastasis ke kelenjar limfa dan jaringan sekitar merupakan suatu komplikasi yang selalu terjadi. Pada KNF, sering kali terjadi komplikasi ke arah nervus kranialis yang bermanifestasi dalam bentuk : 1. Petrosphenoid sindrom Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai sinus kavernosus menekan saraf N. III, N. IV, N.VI juga menekan N.II. yang memberikan kelainan : a. Neuralgia trigeminus ( N. V ) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari nervus trigeminus. b. Ptosis palpebra ( N. III ) c. Ophthalmoplegia ( N. III, N. IV, N. VI )

24

2. Retroparidean sindrom Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudian dapat menginfiltrasi ke sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang menuju ke arah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, N. X, N. XI, N. XII dengan manifestasi gejala : a. N. IX : kesulitan menelan karena hemiparesis otot konstriktor superior serta gangguan pengecapan pada sepertiga belakang lidah. b. N. X : hiper / hipoanestesi mukosa palatum mole, faring dan laring disertai gangguan respirasi dan saliva. c. N XI : kelumpuhan / atrofi otot trapezius , otot SCM serta hemiparese palatum mole d. N. XII : hemiparalisis dan atrofi sebelah lidah. Sindrom horner : kelumpuhan N. simpaticus servicalis, berupa penyempitan fisura palpebralis, onoftalmus dan miosis. Penyebaran tumor ke anterior dan inferior dapat menyebabkan obstruksi nasi. Penyebaran ke superior dapat mendestruksi sinus sphenoid hingga destruksi basis cranii. Gangguan pendengaran terutama tuli konduktif merupakan komplikasi yang dapat timbul pada pasien dengan KNF.11

XI. PROGNOSIS Prognosis keseluruhan tidak baik dan angka survival 5 tahunnya hanya 30%. Hal ini biasa terjadi karena terlambat menegakkan diagnosis. Dengan pengenalan tanda dan gejala sedini mungkin maka prognosis dapat membaik8 Stadium T1 dan T2 memiliki angka kontrol lokoregional yang tinggi (> 95%) 5-year locoregional control rates. Angka survival dapat mencapai 7075%. Pada stadium lanjut T3 dan T4, angka kontrol lokoregional
25

mencapai secara berturut-turut 70% dan 50%. Angka survival 5 tahun pasien dengan stadium lanjut yang ditangani kemoterapi adalah 66% dan dengan radiasi 76%.4

26

DAFTAR PUSTAKA

1.

Soepardi, EA. Telinga hidung tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.

2.

Asroel,

HA.

Penatalaksanaan

radioterapi

pada

karsinoma

Nasofaring. Available: 10 Januari 2013 3. Chong VFH, Neoplasm of the nasopharynx In.Hermans R. Head and neck cancer imaging. Springer 2006 p.143-62 4. Lalwani AK. Chapter 22 benign and malignant lesions of the oral cavity, oropharynx and nasopharynx In. Current diagnosis and treatment p.22.1-16 5. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Chapter 117 nasopharyngeal cancer in Head & neck surgery - otolaryngology, 4th edition. William Lipincot. 2006 p.1657-71 6. Probst R, Grevers G, Iro H. Anatomy, physiology and immunology of the pharynx and esophagus In. Basic otorhinolaryngology. Thieme 2006 p 98-103 7. Yokochi, Rohen, Decrof. Color atlas of Thieme 2005 p 140. 8. Bull TR. The pharynx and larynx In Color atlas of ENT diagnosis. Thieme 2003 p 166-235 9. Dhilon RS, East CA. Neoplasia of the nasopharynx In Ear and nose and throat and head and neck surgery, an illustrated colour text. Churcil Livingstone 1999 p.108-9 10. Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50 11. Tan L, Loh T. Chapter 99 Benign and malignant tumors of the nasopharynx In. Flint PW, Haughey BH, Lund VJ. Cummings otolaryngology head and neck surgery 5th ed. Mosby Elsevier 2010 p.1348-61 anatomy 4th edition. otolaryngology.The McGraw-Hill Companies. 2007

27

12.

Pasha R, Yoo GH, Jacobs JR. Chapter 5 head and neck cancer In. Otolarnygology head and neck surgery a clinical reference guide. Thomson Learning 2000 p 259-60

28

You might also like