You are on page 1of 21

REFERAT DEMAM TIFOID

Oleh: Ovi Rizky Astuti J500080039

Pembimbing: dr. I Wayan Mertha, Sp. PD

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR. HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013
1

REFERAT DEMAM TIFOID

Diajukan Oleh: Ovi Rizky Astuti J500080039

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. Pada hari Sabtu, tanggal 16 Februari 2013. Pembimbing: dr. I Wayan Mertha, Sp. PD Dipresentasikan dihadapan: dr. I Wayan Mertha, Sp.PD Disahkan Ka. Program Profesi: dr. Hj. Yuni Prasetyo, M. M. Kes ( ) ( ) ( )

KEPANITRAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR. HARJONO PONOROGO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013
2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Salah satu penyakit infeksi sistemik akut yang banyak dijumpai di berbagai belahan dunia saat ini adalah demam tifoid yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi. Di Indonesia demam tifoid lebih dikenal oleh masyarakat dengan istilah penyakit tifus. Dalam 4 dekade terakhir demam tifoid menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan insidensi penyakit ini mencapai 13-17 juta kasus di seluruh dunia dengan angka mortalitas mencapai 600 ribu jiwa per tahun. Daerah endemik demam tifoid tersebar di berbagai benua mulai dari Asia, Afrika, Amerika Selatan, Karibia, hingga Oceania. Sebagian besar kasus (80%) ditemukan di negara berkembang seperti Bangladesh, Laos, Nepal, Pakistan, India, Vietnam, dan Indonesia. Indonesia merupakan wilayah endemik demam tifoid dengan mayoritas angka insidensi terjadi pada kelompok umur 3-19 tahun (91% kasus). 1, 2, 3 Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti laju pertumbuhan penduduk yang tinggi, peningkatan urbanisasi, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan, kurangnya suplai air, buruknya sanitasi, dan tingkat resistensi antibiotik yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi seperti kloramfenikol, ampisilin, trimetoprim, dan siprofloksasin. 1 B. Tujuan Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis dari demam tifoid.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia. Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah. 4 Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran. 5 B. Epidemiologi Pada beberapa dekade terakhir demam tifoid jarang terjadi di negara industri. Namun, tetap menjadi masalah kesehatan serius di sebagian wilayah dunia seperti Uni Soviet, India, Asia Tenggara, Amerika Selatan, dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu berakhir kematian. Sekitar 70% dari seluruh kasus kematian itu menimpa penderita demam tifoid di Asia. 6 Pada tahun 2000 insidensi demam tifoid di Amerika Latin sebesar 53 per 100 ribu penduduk dan di Asia Tenggara sebesar 110 per 100 ribu penduduk. Di Indonesia demam tifoid dapat ditemukan sepanjang tahun. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella subspesies enterika serovar typhi dan paratyphi A. CDC Indonesia melaporkan insidensi demam tifoid mencapai 358-810 per 100 ribu populasi pada tahun 2007 dengan 64% ditemukan pada usia 3-19 tahun dan angka mortalitas antara 3,1-10,4% pada pasien rawat inap. 6, 7 Demam tifoid dapat menginfeksi semua orang dan tidak ada perbedaan nyata antara insidensi pada laki-laki maupun perempuan. Insidensi penderita

demam tifoid dengan usia 12-30 tahun sekitar 70-80%, usia 31-40 tahun sekitar 10-20%, dan usia > 40 tahun sekitar 5-10%. 7 C. Etiologi Demam tifoid disebabkan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi dari genus Salmonella. Kuman ini berbentuk batang, gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul, dan mempunyai flagela (rambut getar). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif anaerob pada suhu 15-41o C (suhu pertumbuhan optimal 37o C) serta pH pertumbuhan 6-8. Kuman ini bertahan hidup beberapa minggu di alam bebas seperti di air, es, sampah, dan debu serta hidup subur pada medium yang mengandung garam empedu. Kuman ini mati dengan pemanasan (suhu 60o C) selama 15-20 menit, pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinisasi. 8 Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen yaitu: 1. Antigen O (antigen somatik) terletak pada lapisan luar kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap formaldehid. 2. Antigen H (antigen flagela) terletak pada flagela, fimbria, atau fili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol. 3. Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Antigen tersebut di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin. 7, 9 D. Patogenesis Penularan demam tifoid adalah secara feko-oral dan banyak terdapat di masyarakat dengan higien dan sanitasi yang kurang baik. Bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk ke tubuh manusia melalui makanan atau minuman yang tercemar dan dapat juga melalui kontak langsung dengan jari penderita yang terkontaminasi feses, urin, sekret saluran napas, atau pus. 5

Selain itu, transmisi juga dapat terjadi secara transplasental dari ibu hamil ke janin. Sebagian kuman dihancurkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan berkembang biak. 4, 7 Di usus diproduksi IgA sekretorik sebagai imunitas humoral lokal yang berfungsi untuk mencegah melekatnya kuman pada mukosa usus. Sedangkan untuk imunitas humoral sistemik diproduksi IgM dan IgG untuk memudahkan fagositosis kuman oleh makrofag. Imunitas seluler sendiri berfungsi untuk membunuh kuman intraseluler. 10 Jika respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik, kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag. Selanjutnya dibawa ke plaque peyeri ileum distal dan ke kelenjar limfe mesenterika. Melalui duktus torasikus, kuman yang terdapat di dalam makrofag masuk ke sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia ke-1 yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hepar, lien, dan sumsum tulang. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid kemudian masuk ke sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia ke-2 dengan disertai tanda dan gejala klinis. 4, 7 Namun, sebagian lagi masuk ke kandung empedu dan berkembang biak kemudian disekresikan secara intermiten bersama cairan empedu ke lumen usus, sebagian keluar bersama feses, dan sebagian lagi menembus usus kembali dan difagosit oleh makrofag yang sudah teraktivasi dan hiperaktif sehingga melepaskan sitokin reaksi inflamasi sistemik. Oleh karena itu timbul demam, sakit kepala, sakit perut, mialgia, malaise, instabilitas vaskuler, gangguan koagulasi, dan gangguan kesadaran. Setelah sampai di plaque peyeri, makrofag hiperaktif sehingga timbul reaksi hiperplasia jaringan dan perdarahan saluran cerna (erosi vaskuler di sekitar plaque peyeri). Jika kuman terus menembus lapisan usus hingga lapisan otot dan serosa usus, dapat mengakibatkan perforasi. 4

Kuman juga mengeluarkan endotoksin yang dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler sehingga dapat timbul komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernapasan, dan lain-lain. Kuman dapat menetap atau bersembunyi pada 1 tempat dalam tubuh penderita. Hal ini mengakibatkan terjadinya relaps atau karier. 4
PATHWAY bakteri Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi masuk ke saluran cerna

sebagian dimusnahkan asam lambung peningkatan asam lambung mual, muntah intake kurang gangguan nutrisi

sebagian masuk usus halus di ileum terminalis membentuk limfoid plaque peyeri

sebagian hidup dan menetap perdarahan perforasi

sebagian menembus lamina propria masuk aliran limfe masuk ke kelenjar limfe mesenterikus menembus aliran darah masuk hepar dan lien hepatomegali, splenomegali infeksi Salmonella typhi, paratypi, dan endotoksin dilepasnya zat pirogen oleh leukosit DEMAM TIFOID

PERITONITIS nyeri tekan

E. Manifestasi Klinis Masa inkubasi demam tifoid sekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas disertai diare sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik, ensefalopati, atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi usus. Hal ini mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan gambaran klinisnya. 1, 3 Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada 1 penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis. Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus. 4 Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 oC), nyeri kepala, epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut, nyeri otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas berwarna putih (lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali, meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau psikosis). 4, 10 Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama minggu ke-1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2 dan ke-3 demam terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan kadang disertai epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering dan pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri tekan. Pada awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian menjadi obstipasi. 4, 10 8

F. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi molekuler. Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan prognosis, serta memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya komplikasi. 1. Hematologi a. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi perdarahan atau perforasi usus. b. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi. c. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif. d. Laju endap darah (LED) meningkat. e. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia). 13 2. Urinalisis a. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam). b. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi. 7 3. Kimia klinis Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang sampai hepatitis akut. 7 4. Imunoserologi a. Widal Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah terhadap antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji ini hasil positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi yang disebut aglutinin. Oleh karena itu, antibodi jenis ini dikenal sebagai febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain (Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan sudah mendapatkan terapi antibiotik, 9

waktu pengambilan darah kurang dari 1 minggu sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain. 3, 13 Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4 serta tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O dan diikuti aglutinin H. Orang yang sembuh, aglutinin O masih dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama 9-12 bulan. 3, 13 Jika titer O sekali periksa 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 kali, diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkan Vi untuk deteksi pembawa kuman (karier). 13 b. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau di daerah endemik. 7 5. Mikrobiologi (kultur) Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 27 hari, jika belum ada ditunggu 7 hari lagi). Spesimen yang digunakan

10

pada awal sakit adalah darah kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan feses. 1, 3, 10 6. Biologi molekular PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas) dan spesifisitas tinggi. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lain, dan jaringan biopsi. 6 G. Diagnosis Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi. 7 Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari jika peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2 dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya bakteri Salmonella. 3, 13 Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke10 dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN, berarti terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita yang setelah terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman langsung sakit, tergantung dari

11

banyaknya kuman dan imunitas seseorang. Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna, dapat langsung dimatikan oleh sistem imun. 7 H. Diagnosis Banding Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat menjadi diagnosis banding seperti influenza, bronkitis, bronkopneumonia, dan gastroenteritis. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Demam tifoid yang berat dapat didiagnosis banding dengan sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin.
2, 7, 13

I. Tatalaksana Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan aspek penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Tatalaksana demam tifoid meliputi: 1. Tirah baring Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti makan, minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat mempercepat penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai juga perlu dijaga. 5 Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus. Mobilisasi pasien dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien. 5 Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang terjadi obstipasi dan retensi urin. 5 12

2.

Managemen nutrisi Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan mengikuti petunjuk diet berikut: a. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein. b. Tidak mengandung banyak serat. c. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas. d. Makanan lunak diberikan selama istirahat. Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus. 11

3. Managemen medis Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam, diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari, perlu dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia atau enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkan perdarahan maupun perforasi usus. 11 Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan cairan. Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid (disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau demam tifoid yang mengalami syok septik. Regimen yang digunakan adalah deksametason dengan dosis 3 x 5 mg. Pada anak digunakan deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam 30 menit sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6 jam hingga 48 jam. 3, 11, 12 Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu: a. Kloramfenikol. Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena sampai 7 hari bebas demam. Suntik intramuskuler tidak dianjurkan karena dapat terjadi hidrolisis ester dan tempat suntikan terasa nyeri. 13

Tingginya angka kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang, karier kronis, depresi sumsum tulang (anemia aplastik), dan angka mortalitas yang tinggi merupakan perhatian yang perlu terhadap kloramfenikol. Kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi pada hari ke-5. 11, 12 b. Tiamfenikol Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi seperti anemia aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol 4 x 500 mg. Demam menurun pada hari ke-6. 11, 12 c. Ampisilin dan kotrimoksazol Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis orang dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu. Diberikan karena meningkatnya angka mortalitas akibat resistensi kloramfenikol. Munculnya strain Salmonella typhi MDR menjadikan ampisilin dan kotrimoksazol resisten. 11, 12 d. Kuinolon Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadap Salmonella in vitro serta mencapai konsentrasi tinggi di usus dan lumen empedu. Siprofloksasin mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella typhi MDR dan tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat digunakan untuk demam tifoid meliputi: 1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari. 2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari. 3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari. 4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari. 5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari. Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin. 11, 12

14

e. Sefalosporin generasi III Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakan selama 3 hari dan memberi efek terapi sama dengan obat yang diberikan 10-14 hari. Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan 3-5 hari. 11, 12 f. Antibiotik lainnya Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif daripada kloramfenikol. Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis 1 x 1 gram per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisin dapat digunakan anak-anak, ibu hamil, dan menyusui. 11, 12 g. Kombinasi antibiotik Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik di mana pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain bakteri Salmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap antibiotik yaitu: 1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai kepekaan 95,12%. 2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12 Tabel 3. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid

15

Tabel 4. Rekomendasi DOC Pengobatan Antibiotik untuk Demam Tifoid demam tifoid tanpa komplikasi demam tifoid dengan komplikasi J. Komplikasi Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid yaitu: 1. Intestinal a. Perdarahan usus Pada plaque peyeri yang terinfeksi (ileum terminalis) dapat terbentuk tukak. Jika tukak menembus lumen usus dan mengenai pembuluh darah, terjadi perdarahan. Jika tukak menembus dinding usus, terjadi perforasi. Perdarahan juga dapat terjadi karena gangguan koagulasi darah (DIC). Sekitar 25% penderita mengalami perdarahan minor yang tidak membutuhkan transfusi darah. Namun, perdarahan hebat dapat terjadi hingga penderita mengalami syok. Jika transfusi dapat mengimbangi perdarahan yang terjadi, biasanya perdarahan ini merupakan suatu proses self limiting yang tidak perlu bedah. 1, 3, 10 b. Perforasi usus 16 sensitif fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari MDR fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari sensitif fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari MDR fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul pada minggu ke-3 tetapi dapat juga terjadi pada minggu ke-1. Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut hebat terutama di kuadran kanan bawah yang menyebar ke seluruh perut dan disertai tanda ileus. Peristaltik melemah pada 50% penderita dan pekak hepar kadang tidak ditemukan karena adanya udara bebas di abdomen. Tanda perforasi lain adalah nadi cepat, tekanan darah turun, dan bahkan syok. 1, 3, 10 Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dapat menyokong adanya perforasi. Jika pada foto polos abdomen 3 posisi ditemukan udara pada rongga peritoneum, hal ini merupakan nilai yang cukup menentukan terdapatnya perforasi usus pada demam tifoid. 1, 3, 10 c. Ileus paralitik d. Pankreatitis 2. Ekstraintestinal a. Kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer, miokarditis, trombosis, dan tromboflebitis. b. Darah: anemia hemolitik, trombositopenia, dan DIC. c. Paru: pneumonia, empiema, dan pleuritis. d. Hepatobilier: hepatitis dan kolesistitis. e. Ginjal: glomerulonefritis dan pielonefritis. f. Neuropsikiatrik atau toksik tifoid. 1, 3, 10 K. Prognosis Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status imunitas, jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan. Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis, peritonitis, bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan terapi antibiotik yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang 17

angka mortalitas > 10%, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan. Angka mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% dengan rata-rata 5,7%. 6, 7 Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri Salmonella typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidensi penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis. 7, 13

BAB III KESIMPULAN


18

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi dan paratyphi. Kuman bersama makanan atau minuman masuk ke tubuh melalui saluran cerna. Walaupun gejala demam tifoid bervariasi, secara garis besar gejala yang muncul adalah demam > 7 hari, gangguan saluran cerna, dan gangguan kesadaran. Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi biakan kuman dari spesimen penderita (darah, sumsum tulang, urin, feses, cairan duodenum, dan rose spot), uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari kuman, serta pemeriksaan dengan melacak DNA kuman. Antibiotik kloramfenikol yang digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid sekarang mulai resisten. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menjaga higien pribadi, imunisasi, dan vaksinasi aktif sehingga dapat menekan angka insidensi demam tifoid.

DAFTAR PUSTAKA

19

1. Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of Internal Medicine: Harrison 16th Ed. 897-900.

2. Brusch, J.L. 2010. Typhoid Fever. www.emedicine.medscape.com.

3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis 2nd Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

4. Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

5. Mansjoer, A. 2000. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK UI.

6. Lentnek, A.L. 2007. Typhoid Fever: Division of Infection Disease. www.medline.com.

7. Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta: Infomedika.

8. Jawetz, Melnick, & Adelberghs. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: Salemba Medika.

9. Soedarmo, P., dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi II. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.

10. Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.

20

11. Alan, R.T. 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid: Pediatrics Update. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

12. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.

13. Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II. Jakarta: EGC.

21

You might also like