You are on page 1of 15

HIPOKONDRIASIS

Pembimbing: dr. M. Surya Husada, Sp.KJ Oleh: MICHAEL B WIJAYA 070100132

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT JIWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA RUMAH SAKIT JIWA PROVSU MEDAN 2011

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang pengertian hipokondriasis, cara mendiagnosa, serta tatalaksana pasien dengan hipokondriasis menurut hasil penelitian yang terbaru agar didapatkan hasil yang optimal bagi para penderita. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh staff pengajar Departemen Ilmu Penyakit Jiwa atas segala bantuan yang telah diterima selama penyusunan makalah ini. Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karenanya, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini.

Medan, 1 Desember 2010 Penulis,

ii

Michael B. Wijaya DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang......................................................................................1 1.2. Tujuan Penulisan...................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hipokondriasis......................................................................................3 2.1.1. Definisi..............................................................................................3 2.1.2. Epidemiologi....................................................................................3 2.1.3. Etiologi..............................................................................................4 2.1.4. Diagnosis..........................................................................................5 2.1.5. Gambaran Klinis..............................................................................6 2.1.6. Diagnosa Diferensial.......................................................................7 2.1.7. Terapi................................................................................................8 2.1.8. Prognosis.........................................................................................10
BAB 3 KESIMPULAN & SARAN 11

3.1. Kesimpulan.........................................................................................11 3.2. Saran....................................................................................................11


DAFTAR PUSTAKA 12

iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hipokondriasis merupakan salah satu gangguan dalam psikiatri yang umum dijumpai dengan prevalensi 4-6% pasien rawat jalan. Prevalensi ini tidak meningkat pada orang-orang dengan riwayat keluarga hipokondriasis dan tidak berhubungan dengan status sosioekonomi, tingkat edukasi, ras, maupun jenis kelamin.1 Keluhan hipokondriasis juga dapat ditemukan pada 3% mahasiswa kedokteran yang umumnya terjadi pada 2 tahun pertama pendidikan, namun bersifat sesaat saja.2 Pada sekitar dua pertiga pasien dengan hipokondriasis, dapat juga dijumpai gangguan psikiatri lainnya seperti depresi (pada 40% kasus), gangguan panik (pada 10-20% kasus), gangguan obsesif kompulsif (pada 5-10%) dan gangguan cemas menyeluruh.1 Hipokondriasis merupakan suatu gangguan yang dapat menimbulkan disabilitas dan bersifat kronik. Disabilitas dan gangguan yang ditimbulkan oleh kondisi tersebut menyerupai kondisi yang ditimbulkan gangguan mood, ansietas dan banyak penyakit kronik lainnya. Hipokondriasis ini tidak hanya refrakter terhadap pengobatan tetapi juga dapat menimbulkan berbagai komplikasi berupa efek samping pengobatan dan timbulnya gejala-gejala yang baru. Klinisi umumnya mengalami kesulitan dalam meyakinkan pasien hipokondriasis mengenai kondisinya. Pasien-pasien dengan kondisi tersebut tidak mengakui adanya faktor psikososial sebagai penyebab gejala yang dikeluhkan sehingga mereka cenderung tidak menyukai para klinisi yang berpendapat demikian.1 Pasien dengan hipokondriasis selalu dipenuhi dengan ketakutan ataupun kepercayaan bahwa diri mereka sendiri memiliki sebuah penyakit berat yang tidak terdiagnosa yang bermula dari interpretasi yang salah terhadap sensasi fisik tubuh yang ringan dan bersifat episodik.1,4 Keadaan ini dapat berlanjut meskipun pasien telah diberi bukti bahwa tidak terdapat hal seperti yang dipikirkan pasien.1 Kriteria diagnostik hipokondriasis juga memerlukan

adanya bukti keterbatasan fungsional maupun distres berat yang berlangsung selama 6 bulan.3 Hipokondria dapat juga bersifat ringan maupun persisten dan mengakibatkan disabilitas dalam segi fungsional. Gejala somatik pasienpasien ini umumnya berupa sensasi fisiologik normal ( orthostatic dizziness) ataupun kondisi yang bersifat transient dan self-limiting (tinnitus transien). Meskipun gejala tersebut bukan merupakan gejala tipikal penyakit yang berat, sensasi tersebut dapat menjadi pusat perhatian pasien dan pasien menjadi terpreokupasi dengan penyakit tersebut (illness as a way of life ). Perlu ditekankan bahwa pasien dengan hipokondriasis tidak menciptakan gejalagejala yang dirasakannya.1,3,4 Pasien dengan hipokondriasis umumnya memiliki riwayat pengobatan yang ekstensif namun tidak memuaskan. Selain itu, pasien tersebut juga dapat merasa diacuhkan oleh dokter-dokter yang menanganinya dan pergi berobat ke dokter lainnya.1,3 Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu pola penanganan yang lebih komprehensif terhadap penderita hipokondriasis agar didapatkan hasil yang optimal. 1.2 Tujuan Penulisan Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan di dalam Departemen Ilmu Penyakit Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan. Selain itu, makalah ini juga dapat digunakan sebagai panduan klinisi dalam mengidentifikasi, mendiagnosa, serta merawat pasien yang didiagnosa dengan hipokondriasis.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Istilah hipokondriasis didapatkan dari sitilah medis yang lama hipokondrium, yang berarti di bawah rusuk, dan mencerminkan seringnya keluhan abdomen yang dimiliki pasien dengan gangguan ini. Hipokondriasis disebabkan dari interpretasi pasien yang tidak realistik dan tidak akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, yang menyebabkan preokupasi dan ketakutan bahwa mereka menderita penyakit yang serius, kendatipun tidak ditemukan penyebab medis yang diketahui. Gejala fisik dapat diinterpretasi secara luas sebagai adanya misinterpretasi fungsi tubuh yang normal. Hipokondriasis dapat didefinisikan sebagai seseorang yang berpreokupasi dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius.2,3,4 2.2 Epidemiologi Preokupasi dengan penyakit dapat dijumpai secara umum pada komunitas. Pada 10-20% manusia normal dan 45% pasien neurotik, dapat dijumpai adanya rasa cemas terhadap penyakit yang bersifat intermiten dan tidak didasari alasan yang kuat serta diantara komunitas tersebut, 9% diantaranya tidak mempercayai penjelasan yang telah diberikan oleh klinisi. Banyak pasien dapat menunjukkan gejala hipokondriasis sebagai bagian dari gangguan psikiatri lainnya, dan beberapa memiliki gejala tersebut sebagai respon terhadap penyakit fisik berat yang baru dideritanya namun tidak memenuhi kriteria inklusi dari DSM-IV untuk hipokondriasis. Penilaian insidensi dan prevalensi hipokondriasis memerlukan studi lebih lanjut pada komunitas yang lebih luas dan tidak hanya pada pasien psikiatri, karena pasien dengan hipokondriasis yakin akan penyakit yang dideritanya. Hingga kini, studi populasi tersebut menunjukkan bahwa 4-9% pasien pada komunitas umum yang berobat memiliki gangguan hipokondriasis. Laki-laki dan wanita sama-sama dapat terkena hipokondriasis tanpa adanya perbedaan

kecenderungan. Walaupun onset gejala dapat terjadi pada setiap usia, onset paling sering antara usia 20 dan 30 tahun.3,4 2.3 Etiologi Pasien dengan hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah. Mereka salah menginterpretasikan sensasi fisik. Orang hipokondriakal meningkatkan dan membesarkan sensasi somatik yang dirasakan; mereka memiliki ambang dan toleransi yang lebih rendah dari umumnya terhadap gangguan fisik. Sebagai contoh, seseorang yang secara normal mempersepsikan sebagai rasa kembung, oleh pasien hipokondriasis dirasakan sebagai sakit perut.2,4 Hipokondriasis dapat pula dipandang dari sudut model pembelajaran sosial. Gejala-gejala hipokondriasis dapat dilihat sebagai permintaan untuk mendapatkan peran sakit pada seseorang yang menghadapi masalah berat yang tak dapat diselesaikannya. Peran sakit memberikan peluang bagi seseorang untuk menghindari kewajiban berat, menunda tangtangan yang tak dikehendaki dan mendapatkan permakluman untuk tidak memenuhi tugas dan tanggung jawabnya. 2,4 Teori lainnya tentang penyebab hipokondriasis adalah bahwa gangguan ini adalah bentuk varian dari gangguan mental lain. Gangguan yang paling sering dihipotesiskan berhubungan dengan hipokondriasis adalah gangguan depresif dan gangguan kecemasan. Diperkirakan 80% pasien dengan hipokondriasis mungkin memiliki gangguan depresif atau gangguan kecemasan yang ditemukan bersama-sama. Pasien yang memenuhi kriteria diagnostik untuk hipokondriasis mungkin merupakan subtipe pensomatisasi (somatizing) dari gangguan lain tersebut. 2,4 Menurut teori psikodinamik dorongan agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan (lewat mekanisme represi dan displacement) ke dalam keluhan-keluhan somatik. Kemarahan pasien hipokondriasis berasal dari ketidakpuasan, penolakan dan kehilangan di masa lalu. Namun pasien mengekspresikan kemarahannya di masa sekarang

dengan mencari bantuan dan kepedulian dari orang lain yang kemudian dicampakkannya dengan alasan tersebut tidak efektif. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah, dan sebagai tanda dari kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri. Rasa sakit dan penderitaan somatik menjadi penebusan dan peniadaan yang dihayati sebagai hukuman terhadap kesalahan di masa lalu dan perasaan bahwa dirinya jahat serta berdosa. 2,4 2.4 Diagnosis Kategori diagnostik DSM-IV TRuntuk hipokondriasis mengharuskan bahwa pasien terpreokupasi dengan keyakinan palsu bahwa ia menderita penyakit yang berat dan keyakinan palsu tersebut didasarkan pada misinterpretasi tanda atau sensasi fisik. Kriteria diagnostik untuk hipokondriasis adalah: 2,3,4,5 A. Preokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejala-gejala tubuh. B. Preokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penentraman. C. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti pada gangguan delusional, tipe somatik) dan tidak terbatas pada kekhawatiran yang terbatas tentang penampilan (seperti pada gangguan dismorfik tubuh). D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lain. E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan. F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif, gangguan panik, ganggian depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform lain.

Sebutkan jika: dengan tilikan buruk: jika, untuk sebagian besar waktu selama episode terakhir, orang tidak menyadari bahwa kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius adalah berlebihan atau tidak beralasan. Walaupun DSM-IV menyebutkan bahwa gejala harus ada selama sekurangnya enam bulan, keadaan hipokondriakal sementara (transient) dapat terjadi setelah stres berat, paling sering kematian atau penyakit berat pada seseorang yang penting bagi pasien atau penyakit serius (kemungkinan membahayakan hidup) yang telah disembuhkan tetapi meninggalkan pasien hipokondriakal secara sementara dengan akibatnya. Keadaan hipokondriakal tersebut yang berlangsung kurang dari enam bulan harus didiagnosis sebagai gangguan somatoform yang tidak ditentukan. Hipokondriakal sementara sebagai respons dari stres eksternal biasanya menyembuh jika stres dihilangkan, tetapi dapat menjadi kronis jika diperkuat oleh orang-orang di dalam sistem sosial pasien atau oleh professional kesehatan. 2,3,4,5 2.5 Gambaran Klinis Pasien hipokondriakal percaya bahwa mereka menderita penyakit yang parah yang belum dapat dideteksi, dan mereka tidak dapat diyakinkan akan kebalikannya. Pasien hipokondriakal dapat mempertahankan suatu keyakinan bahwa mereka memiliki satu penyakit tertentu, atau, dengan berjalannya waktu, mereka mungkin mengubah keyakinannya tentang penyakit tertentu. Keyakinan tersebut menetap walaupun hasil laboratorium adalah negatif, perjalanan ringan dari penyakit yang ringan dengan berjalannya waktu, dan penentraman yang tepat dari dokter. Tetapi keyakinan tersebut tidak sangat terpaku sehingga merupakan suatu waham. Hipokondriasis sering kali disertai suatu gangguan depresif atau kecemasan. Perjalanan penyakit hipokondriasis biasanya episodic. Setiap episode berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan dan dipisahkan oleh periode

tenang yang sama lamanya. Terdapat asosiasi yang kuat antara kekambuhan hipokondriasis dengan stresor psikososial. 2,4 2.6 Diagnosa Diferensial Hipokondriasis dapat dibedakan dari gangguan somatoform lainnya seperti nyeri, konversi dan gangguan somatisasi dengan ciri khasnya yaitu adanya preokupasi dengan dan ketakutan pada penyakit yang didasarkan pada misinterpretasi gejala-gejala tubuh, dan bukan pada gejala yang dirasakan. Pasien dengan gangguan somatoform lainnya umumnya dapat juga memiliki ketakutan pada kemungkinan adanya penyakit mendasar namun gejala yang lebih dominan adalah adanya fokus berlebih pada gejala yang dirasakan.3 Selanjutnya, perlu dibedakan apakah kepercayaan yang ada merupakan suatu bentuk delusi. Pasien dengan hipokondriasis, meskipun mengalami preokupasi pikiran, umumnya dapat mengakui bahwa rasa khawatir yang dimilikinya tidak memiliki dasar yang kuat. Pasien yang delusional tidak akan mengakui hal tersebut. Delusi somatik penyakit yang berat dapat dilihat pada beberapa kasus skizofrenia dan gangguan delusional jenis somatik. Secara umum, pasien dengan skizofrenia yang juga memiliki delusi tersebut akan menunjukkan gejala lainnya seperti pembicaraaan yang terdisorganisir, keanehan pikiran maupun tingkah laku, halusinasi dan delusi lainnya. Kepercayaan bahwa penyakit yang diderita disebabkan oleh hal-hal yang aneh juga dapat dijumpai, seperti saat seorang pasien mengakui bahwa ia mencoba untuk tidak defekasi karena hal tersebut dapat menyebabkan otaknya berubah menjadi agar-agar. Pasien skizofrenik juga dapat menunjukkan perbaikan dengan pengobatan neuroleptik. 3,4 Membedakan hipokondriasis dengan gangguan delusional tipe somatik dapat sulit dilakukan karena hanya terdapat perbedaan tipis antara preokupasi pikiran dan ketakutan akan penyakit. Seringkali, cara praktis untuk membedakan kedua kondisi tersebut adalah dengan memastikan apakah pasien dapat mengakui bahwa kepercayaannya tidak memiliki bukti

yang kuat ataupun merupakan kepercayaan yang salah. Jika pasien telah dipastikan tidak delusional, pertimbangan selanjutnya adalah memastikan apakah durasi kondisi tersebut telah mencapai 6 bulan. Sindrom dengan waktu yang belum mencapai 6 bulan didiagnosa dengan gangguan somatoform yang tidak tergolongkan ataupun gangguan penyesuaian jika kondisi tersebut muncul setelah pasien mengalami stres. 3,4 Preokupasi pada hipokondriasis menyerupai obsesi dan pemeriksaan kesehatan serta usaha untuk mendapatkan jawaban menyerupai komponen kompulsi dari gangguan obsesif kompulsif. Namun, jika manifestasi tersebut hanya menyangkut masalah kesehatan, diagnosa gangguan obsesif kompulsif tidak ditegakkan. Jika pada pasien dapat ditemukan obsesi dan kompulsi terhadap hal yang tidak berkaitan dengan medis, maka diagnosa tersebut dapat ditambahkan ke diagnosa hipokondriasis. 3,4 2.7 Terapi Pendekatan manajemen hipokondriasis mencakup: 1 a. Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) CBT merupakan sebuah pendekatan terapi yang beranggapan bahwa kognisi, fisiologi, dan tingkah laku merupakan satu kesatuan yang berkaitan secara fungsional. Konsep ini menekankan bahwa emosi ataupun distress tingkah laku dipengaruhi oleh cara persepsi, manipulasi, dan respon seseorang terhadap informasi yang tercakup didalam sistem kognitifnya. Terapi ditujukan pada identifikasi dan modifikasi proses pikir yang mengalami bias ataupun distorsi, tingkah laku, serta kelakuan bermasalah melalui teknik yang secara aktif melibatkan partisipasi klien, seperti monitoring secara mandiri, restrukturisasi kognitif, dan pengujian hipotesis. Dengan demikian, tujuan terapi adalah untuk mengembangkan sebuah struktur kognitif yang lebih rasional dan adaptif, yang dengan kemudian dipandang sebagai sebuah jalan untuk memperbaiki afek dan pola perilaku maladaptif. 1,6

b.

Terapi psikofarmakologik (antidepresan) Meskipun farmakoterapi untuk hipokondriasis belum secara dalam dievaluasi, farmakoterapi untuk pasien dengan gejala yang tidak dapat dijelaskan secara medis (terutama nyeri kronis) telah dilakukan. Sebuah meta analisis terbaru menyimpulkan bahwa terapi antidepresan jauh lebih efektif dibandingkan placebo pada lebih dari dua pertiga studi pada kelompok pasien dengan nyeri kepala, fibromialgia, irritable bowel syndrome, nyeri kronik, tinnitus, dan fatique. Terdapat pula banyak bukti yang mendukung penatalaksanaan gangguan psikiatrik yang seringkali menyertai hipokondriasis. Gangguan-gangguan ini respon terhadap farmakoterapi, dan jika telah diterapi secara adekuat, gejala hipokondriakal juga akan berkurang. Farmakoterapi standar untuk gangguan psikiatri umum yang sering menyertai hipokondriasis (depresi mayor, serangan panic, gangguan obsesif-kompulsif) mencakup penggunaan obat-obatan seperti fluoxetine, paroxetine, venlafaxine, alprazolam, dll.1-4 Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penggunaan paroxetine yang dikombinasikan dengan CBT dapat memberikan hasil yang optimal dibandingkan dengan placebo. Kedua jenis terapi tersebut (CBT dan paroxetine) juga tidak berbeda jauh dalam hal efikasi.7 Farmakoterapi untuk gangguan tersebut dapat mencakup penggunaan terapi dengan dosis tinggi dan berkepanjangan (selama delapan minggu atau lebih) sebelum respon adekuat dapat ditemukan. Karena berbagai efek samping yang ada, terapi perlu dimulai dengan dosis subterapeutik, yang kemudian dinaikkan secara bertahap. Pasien demikian juga seringkali tidak mengikuti regimen pengobatan yang diberikan karena efek samping yang dialaminya. Efek terapetik yang diberikan tidak boleh dijelaskan ataupun ditekankan secara berlebihan pada pasien hipokondriasis dan berbagai efek samping yang mungkin muncul juga perlu dijelaskan sebelumnya. 1-4

c.

Strategi manajemen medis

Kontrol ulang pengobatan secara rutin Komunikasi diagnostik dan terapeutik Validasi gejala pasien Penjelasan gejala pasien Diagnosa dan terapi kondisi psikiatrik yang menyertai Utamakan perhatian dan bukan penyembuhan (care rather than cure)1-4

2.8 Prognosis Prognosis yang baik pada pasien hipokondriasis berkaitan dengan status sosial-ekonomi yang tinggi, pengobatan terhadap cemas dan depresi yang responsif, awitan dari gejala yang mendadak, tidak adanya gangguan kepribadian, dan tidak ada kondisi medik nonpsikiatrik yang terkait. 2,3 Penderita hipokondriasis sering dijumpai pada usia dewasa muda. Data yang ada menunjukkan bahwa 25% pasien dengan hipokondriasis memiliki prognosa buruk, 65% lainnya menunjukkan perjalanan penyakit yang kronik dan berfluktuasi, dan 10% lainnya sembuh.3

10

BAB 3 KESIMPULAN DAN SARAN 3.1 Kesimpulan Hipokondriasis merupakan salah satu gangguan psikiatri yang umum dijumpai dengan prevalensi 4-6% pasien rawat jalan. Hipokondriasis itu sendiri merupakan suatu preokupasi seseorang dengan ketakutan atau keyakinan menderita penyakit yang serius. Hal ini disebabkan adanya interpretasi pasien yang tidak realistik dan tidak akurat terhadap gejala atau sensasi fisik yang dirasakan. Etiologi dari hipokondriasis ini dapat dijelaskan dengan berbagai teori seperti model pembelajaran sosial, model varian dari gangguan mental lain, dan juga teori psikodinamik. Diagnosis hipokondriasis merujuk kepada kriteria diagnostik yang terdapat didalam DSM-IV TR. Penatalaksaan hipokondriasis menurut penelitian yang ada adalah dengan menggunakan Cognitive Behavioral Therapy, terapi psikofarmakologik untuk gangguan yang menyertai dan juga dengan menggunakan strategi manajemen medis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Prognosa yang baik umumnya dapat dijumpai pada pasien hipokondriasis dengan status sosial-ekonomi yant inggi, pengobatan terhadap cemas dan depresif yang responsif, awitan dari gejala yang mendadak, tidak adanya gengguan kepribadian, dan tidak adanya kondisi medik nonpsikiatrik yang terkait. 3.2 Saran Adapun saran yang dapat diberikan untuk para klinisi yang terkait berupa pentingnya kewaspadaan terhadap pasien-pasien dengan sangkaan hipokondriasis. Pasien-pasien dengan hipokondriasis tersebut cenderung meminta untuk dilakukan berbagai pemeriksaan klinis yang tidak bermanfaat dan cost-effective sehingga jika seorang klinisi dapat mengenali pasien hipokondriasis sejak awal, tatalaksana psikiatri dan psikofarmaka dapat segera diterapkan.

11

DAFTAR PUSTAKA 1. Barsky, A. J., 2011. The Patient With Hypochondriasis. N Engl J Med Vol. 345(19): 1395-1399. 2. Elvira, S. D., dan Hadisukanto, G., 2010. Buku Ajar FK UI. Jakarta: FK UI. 3. Kay, Jerald., dan Tasman, A., 2006. Essentials of Psychiatry. England: John Wiley & Sons Ltd. 4. Kaplan, H. I., Saddock, B. J., dan Grebb, J. A., 2010. Sinopsis Psikiatri Jilid Dua. Tangerang: Binarupa Aksara. 5. American Psychiatric Association, 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Fourth Edition Text Revision. Washington: American Psychiatric Association. 6. Hersen, M., dan Sledge, W., 2002. Encyclopedia of Psychotherapy. USA: Elsevier Science. 7. Greeven, A., et al., 2007. Cognitive Behavior Therapy and Paroxetine in the Treatment of Hypochondriasis: A Randomized Controlled Trial. Am J Psychiatry 164: 91-99.

12

You might also like