You are on page 1of 24

TUMOR KEPALA DAN LEHER

Distribusi keganasan di bidang telinga hidung dan tenggorokan terdapat kira-kira 42% tumor ganas rongga mulut, 25% laring, 15% orofaring dan hipofaring, 7% kelenjar liur besar, 4% nasofaring, 4% hidung dan sinus paranasal, dan 3% tiroid dan jaringan ikat lainnya. 1. Klasifikasi tumor ganas Klasifikasi tumor ganas leher dan kepala yang digunakan di seluruh dunia adalah system TNM. Sistem TNM ini ditujukan untuk mengetahui perluasan tumor secara anatomi dengan pengertian: T N M : perluasan dari tumor primer : status terdapatnya kelenjar limfe regional : ada atau tidak adanya metastasis jauh

Tabel 1. Klasifikasi klinis TNM T (tumor primer) TX T0 Tis T1, T2, T3, T4 N (kelenjar limfa regional) NX Tidak regional N0 N1, N2, N3 M (metastasis jauh) MX M0 M1 Tidak ditemukan metastasis jauh Tidak ada metastasis jauh Terdapat metastasis jauh Tidak ada metastasis kelenjar limfa regional Besarnya kelenjar limfa regional dapat ditemukan kelenjar limfa Tumor primer tidak dapat ditemukan Tidak ada tumor primer Karsinoma in situ Besarnya tumor primer

Tabel 2. Klasifikasi pembesaran kelenjar limfa regional NX N0 N1 N2 Kelenjar limfa regional tidak ditemukan Tidak ada metastasis kelenjar limfa regional Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran 3 cm atau kurang Metastasis pada satu sisi, tunggal, ukuran lebih dari 3 cm, kurang dari 6 cm atau multiple, pada satu sisi dan tidak lebih dari 6 cm atau bilateral/kontralateral juga tidak lebih dari 6 cm N2a N2b N2c N3 Metastasis pada satu sisi, tunggal, lebih dari 3 cm dan tidak lebih dari 6 cm Metastasis pada satu sisi, multiple tidak lebih dari 6 cm Metastasis bilateral/kontralateral, tidak lebih dari 6 cm Metastasis, ukuran lebih dari 6 cm

Stadium tumor ganas leher dan kepala kecuali tumor kelenjar liur dan tiroid Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 T1 N0 M0 T2 N0 M0 T3 N0 M0 T1 atau T2 atau T3 N1 M0 Stadium 4 T4 N0 atau N1 M0 Tiap T N2 atau N3 M0 Tiap T tiap N M1

A. Sistem aliran limfa leher System aliran limfa leher penting untuk dipelajari, karena hampir semua bentuk radang atau keganasan kepala dan leher akan terlihat dan bermanifestasi ke kelenjar limfa leher. Sekitar 75 buah kelenjar limfa terdapat pada setiap sisi leher, kebanyakan berada pada rangkaian jugularis interna dan spinalis asesorius. Kelenjar limfa yang selalu terlibat pada metastasis tumor adalah kelenjar limfa pada rangkaian jugularis interna, yang terbentang antara klavikula sampai dasar tengkorak. Rangkaian jugularis interna ini dapat dibagi dalam kelompok superior, media, dan inferior. Kelompok kelenjar yang lain adalah submental, submandibula, servikalis supervisial, retrofaring, paratrakeal, spinalis asesorius, skelenus anterior dan supraklavikula.
2

Kelenjar limfa jugularis interna superior menerima aliran limfa yang berasal dari daerah palatum mole, tonsil, bagian posterior lidah, dasar lidah, sinus piriformis dan supraglotik laring. Juga menerima aliran limfa dari kelenjar limfa retrofaring, spinalis asesorius, parotis, servikalis superficial, dan submandibula. Kelenjar limfa jugularis interna media menerima aliran limfa yang berasal dari subglotik laring, sinus piriformis bagian inferior, dan daerah krikoid posterior. Juga menerima dari kelenjar limfa jugularis interna superior dan retrofaring bagian bawah. Kelenjar limfa jugularis interna inferior meneria aliran limfa dari glandula tiroid, trakea, esophagus bagian servikal. Juga menerima dari kelenjar limfa jugularis interna superior dan media, dan kelenjar limfa paratrakea. Kelenjar limfa submental, terletak pada segitiga submental di antara plastima dan m.omohioid di dalam jaringan lunak. Pembuluh aferen menerima aliran dari dagu, bibir bawah bagian tengah, pipi, gusi, dasar mulut bagian depan dan 1/3 bagian bawah lidah. Pembuluh eferen mengalirkan ke kelenjar limfa submandibula sisi homolateral atau kontra lateral, kadang-kadang dapat langsung ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna. Kelenjar limfa submandibula, terletak di sekitar kelenjar liur submandibula dan di dalam kelenjar liurnya sendiri. Pembuluh aferen menerima dari kelenjar liur submandibula, bibir atas, bagian lateral bibir bawah, rongga hidung, bagian anterior rongga mulut, bagian medial kelopak mata, palatum mole dan 2/3 depan lidah. Pembuluh aferen mengalirkan ke kelenjar jugularis interna superior. Kelenjar limfa servikal superficial, terletak di sepanjang vena jugularis eksterna, menerima aliran limfa dari kulit muka, sekitar kelenjar parotis, daerah retroaurikula, kelenjar parotis dan kelenjar limfa oksipital. Pembuluh eferen mengalirkan limfa ke kelenjar limfa jugularis interna superior. Kelenjar limfa retrofaring, terletak di antara faring dan fasia prevertebra, mulai dari dasar tengkorak sampai ke perbatasan leher dan toraks. Pembuluh aferen menerima aliran limfa dari nasofaring, hipofaring, telinga tengah dan tuba eustachius. Pembuluh eferen mengalirkan ke kelenjar limfa jugularis interna dan kelenjar limfa spinal asesorius bagian superior.

Kelenjar limfa paratrakea, menerima aliran limfa dari laring bagian bawah, hipofaring, esophagus bagian servikal, trakea bagian atas dan tiroid. Pembuluh eferen mengalirkan ke kelenjar limfa jugularis interna inferior atau kelenjar limfa mediastinum superior. Kelenjar limfa spinal asesoris, terletak di sepanjang saraf spinal asesoris, menerima aliran limfa yang berasal dari kulit kepala bagian parietal dan bagian belakang leher. Kelenjar limfa parafaring menerima aliran dair nasofaring, orofaring dan sinus paranasal. Pembuluh eferen mengalirkan ke kelenjar limfa supraklavikula. Rangkaian kelenjar limfa jugularis interna mengalirkan limfa ke trunkus jugularis dan selanjutnya masuk ke duktus torasikus untuk sisi sebelah kiri, dengan untuk sisi sebelah kanan masuk ke duktus limfatikus kanan atau langsung ke system vena pada pertemuan vena jugularis interna dan vena subklavia. Juga duktus torasikus dan duktus lifatikus kanan menerima aliran limfa dari kelenjar limfa supraklavikula.

Letak kelenjar limfa leher menurut Sloan Kattering Memorial Cancer Center Classification dibagi dalam lima daerah penyebaran kelompok kelenjar, yaitu daerah: I. II. Kelenjar yang terletak di segitiga submental dan submandibula Kelenjar yang terletak di 1/3 atas dan termasuk kelenjar limfa jugularis superior, kelenjar digastrik dan kelenjar servikal posterior superior III. Kelenjar limfa jugularis di antara bifurkasio karotis dan persilangan m.omohioid dengan m. sternokleidomastoid dan batas posterior m.sternokleidomastoid. IV. V. Grup kelenjar di daerah jugularis inferior dan supraklavikula Kelenjar yang berada di segitiga posterior servikal. Metastasis dari tumor ganas yang primernya berada di kepala dan leher lebih dari 90% primernya dapat ditemukan dengan pemeriksaan fisik. Insiden tertinggi metastasis dari karsinoma sel skuamosa di rongga mulut, orofaring, hipofaring, laring dan nasofaring adalah ke rangkaian kelenjar limfa jugularis interna superior.

Adanya massa tumor yang berada di preaurikula umumnya disebabkan oleh tumor primer dari kelenjar parotis atau metastasis tumor ganas dari kulit muka, kepala dan telinga homolateral. Massa tumor pada kelenjar yang berada di bawah m.sternokleidomastoid bagian atas dan atau pada kelenjar servikal superior posterior biasanya berasal dari tumor ganas di nasofaring, orofaring dan bagian posterior sinus maksila. Pada kelenjar submental dapat berasal dari tumor ganas di kulit hidung atau bibir, atau dasar mulut bagian anterior. Pada segitiga submandibula dapat disebabkan oleh tumor primer pada kelenjar submandibula atau metastasis tumor yang berasal dari kulit muka homolateral, bibir, rongga mulut atau sinus paranasal. Pada daerah kelenjar jugularis interna superior, dapat berasal dari tumor ganas di rongga mulut, orofaring posterior, nasofaring, dasar lidah atau laring. Tumor yang tunggal pada daerah jugularis media biasanya berupa tumor primer pada laring, hipofaring atau tiroid. Tumor di daerah jugularis bagian bawah umumnya berupa tumor pada subglotis, laring, tiroid atau esophagus bagian servikal. Tumor pada kelenjar limfa suboksipital biasanya berupa metastasis tumor yang berasal dari kulit kepala bagian posterior atau tumor primer di aurikula. Massa tumor di supraklavikula, biasanya oleh karena tumor primer di infraklavikula, tumor esophagus bagian servikal atau tumor tiroid. A. Tumor Hidung dan Sinonasal Hidung dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulangtulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Asal tumor juga sulit ditentukan, apakah berasal dari hidung atau sinus karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah lanjut dan tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.

Jenis histology Hampir seluruh jenis histopatologi tumor jinak dan ganas dapat tumbuh di daerah

sinonasal. Termasuk tumor jinak epithelial yaitu adenoma dan papiloma, yang non epithelial yaitu fibroma, angiofibroma, hemangioma, neurilemoma, osteoma, dysplasia fibrosa dan lainlain. Adapula tumor odontogenik seperti ameloblastoma atau adamantinoma. Tumor ganas epithelial adalah karsinoma sel skuamosa, kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma tanpa diferensiasi dan lain-lain. Jenis non-epitelial ganas adalah hemangioperisitoma, aneka sarcoma seperti rhabdomiosarkoma dan osteogenik sarcoma ataupun keganasan limfoproliferatif seperti limfoma maligna. Beberapa jenis tumor jinak ada yang mudah kambuh atau secara klinis bersifat ganas karena tumbuh agresif mendestruksi tulang, misalnya papiloma inverted, dysplasia fibrosa ataupun ameloblastoma. Pada jenis ini tindakan operasi harus radikal. Gejala dan tanda Gejala tergantung dari asal tumor serta arah dan perluasannya. Tergantung dari perluasan tumor, gejala dapat dikategorikan sebagai berikut: a. Gejala nasal. Berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Sekretnya sering bercampur darah atau terjadi epistaksis. Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas hidung. Khas pada tumor ganas, ingusnya berbau karena mengandung jaringan nekrotik. b. Gejala orbital. Perluasan tumor ke arah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora. Perhatikan arah proptosis, jika mata terdorong ke atas berarti tumor berasal dari sinus maksila, jika ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari sinus frontal atau etmoid. c. Gejala oral. Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh walau gigi yang sakit dicabut. d. Gejala fasial. Perluasan tumor ke depan akan menyebabkan penonjolan pipi. Disertai nyeri, anesthesia atau parestesia muka jika mengenai nervus trigeminus. e. Gejala intracranial. Perluasan tumor ke intracranial menyebabkan nyeri kepala hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan
7

otak yang keluar melalui hidung. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka saraf cranial lainnya juga akan terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anesthesia dan parestesi daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis. Saat pasien berobat biasanya tumor sudah dalam stadium lanjut. Gejala dini yang mirip dengan rhinitis atau sinusitis kronis menyebabkan diagnosis yang terlambat. Pemeriksaan penunjang yang dapat digunakan antara lain foto polos sebagai diagnosis awal terutama jika ada erosi tulang dan perselubungan padat unilateral, harus dicurigai keganasan dan dilakukan CT scan karena lebih jelas memperlihatkan perluasan tumor dan destruksi tulang. MRI dapat membedakan jaringan tumor dari jaringan normal. Foto polos paru diperlukan untuk melihat adanya metastase tumor di paru. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan melakukan biopsy. Jika curiga tuor vaskuler, jangan dilakukan biopsy karena akan sulit untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan angiografi. 1. Tumor jinak Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis mirip dengan polip, tetapi lebih vascular, padat dan tidak mengkilat. Ada 2 jenis papiloma, pertama eksofitik atau fungiform dan endofitik atau papiloma inverted. Papiloma inverted bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan di sekitarnya. Cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas. Lebih sering pada laki-laki usia tua. Terapi adalah bedah radikal seperti rinotomi lateral atau maksilektomi medial. Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi rongga sinus paranasal dan mendorong bolamata ke anterior. Pada tumor jinak dilakukan ekstirpasi tumor sebersih mungkin. Bila perlu dilakukan dengan cara pendekatan rinotomi lateral atau degloving (peningkapan). 2. Tumor ganas Tumor ganas tersering adalah karsinoma sel skuamosa (70%), disusul oleh karsinoma tanpa diferensiasi dan tumor asal kelenjar.
8

Sinus maksila adalah yang tersering terkena (65-80%), disusul sinus etmoid (1525%), hidung sendiri (24%), sedangkan sinus sphenoid dan sinus frontal jarang terkena. Metastasis ke kelenjar leher jarang terjadi (<5%) karena rongga sinus sangat miskin dengan system limfa kecuali jika tumor sudah menginfiltrasi jaringan lunak hidung dan pipi yang kaya akan system limfatik. Metastasis jauh juga jarang terjadi (<10%) dan organ yang sering terkena adalah hati dan paru. Perluasan tumor primer dikategorikan dalam T1, T2, T3 dan T4. Paling ringan T1, tumor masih terbatas di mukosa sinus, paling berat T4, tumor sudah meluas ke orbita, sinus sphenoid dan frontal dan/atau rongga intracranial. Dengan TNM ini dapat ditentukan stadium yaitu stadium dini (stadium I dan II) stadium lanjut (stadium III dan IV). Lebih dari 90% pasien datang dalam stadium lanjut. Penatalaksanaannya dapat berupa pembedahan atau lebih sering dengan modalitas terapi lain seperti radiasi dan kemoterapi. Pembedahan masih diindikasikan walaupun menyebabkan morbiditas yang tinggi bila terbukti dapat mengangkat tumor secara lengkap. Pembedahan dikontraindikasikan bila sudah terdapat metastasis jauh, sudah meluas ke sinus kavernosus bilateral atau tumor sudah mengenai kedua orbita. Kemoterapi bermanfaat pada tumor ganas dengan metastasis atau residif atau jenis yang sangat baik dengan kemoterapi seperti limfoma maligna. Tindakan operasi harus seradikal mungkin. Biasanya dilakukan maksilektomi, dapat berupa maksilektomi medial, total, atau radikal. Maksilektomi radikal dilakukan misalnya pada tumor yang sudah mengenai seluruh dinding sinus maksila dan sering juga masuk ke rongga orbita, sehingga pengangkatan maksila dilakukan secara en bloc disertai eksenterasi orbita. Jika tumor sudah masuk ke rongga intracranial dilakukan reseksi kraniofasial atau hingga kraniotomi. Sesudah maksilektomi total, harus dilakukan prosthesis maksila sebagai tindakan rekonstruksi dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan fungsi menelan dan berbicara dengan baik, di samping perbaikan kosmetik melalui bedah plastic. Pada umumnya prognosis tumor ini kurang baik. Banyak factor yang mempengaruhi prognosis di antaranya adalah gambaran histologist, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi ajuvan yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan lain-lain. Walaupun demikian pengobatan yang agresif secara multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor
9

primer dan akan meningkatkan angka bertahan hidup selama 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor. B. Karsinoma Nasofaring Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia (60%). Oleh karena letak nasofaring tidak mudah diperiksa oleh yang bukan ahlinya, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasofaring adalah virus Epstein-Barr, karena pada semua pasien nasofaring didapatkan titer antivirus EB yang cukup tinggi. Titer ini lebih tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lain, dan bahkan pada kelainan nasofaring lainnya sekalipun. Tumor ini lebih sering ditemukan pada laki-laki. Gejala dan tanda Gejala karsinoma nasofaring dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf, serta metastasis atau gejala di leher. i. Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung, kalau perlu lakukan pemeriksaan nasofaringoskop, karena seringkali gejala belum ada sedangkan tumor sudah tumbuh atau tidak tampak karena masih terdapat di bawah mukosa (creeping tumor). ii. Gangguan pada telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat muara tuba eustachius (fosa Rosenmuller). Gangguan dapat berupa tinnitus, rasa tidak nyaman di teling hingga otalgia. iii. Gangguan mata dan saraf terjadi karena penjalaran melalui foramen laserum sehingga akan mengenai saraf otak III, IV, VI dan dapat pula ke V, sehingga timbul diplopia. Neuralgia trigeminal juga dapat terjadi. iv. Proses karsinoma yang lanjut akan mengenai saraf otak ke IX, X, XI, XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat yang relative jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan destruksi tulang tengkorak yang menyebabkan prognosisnya buruk. Metastasis ke kelenjar leher dalam bentuk benjolan di leher.
10

Suatu kelainan nasofaring yang disebut lesi hiperplastik nasofaring yaitu 3 bentuk mencurigakan pada nasofaring seperti pembesaran adenoid pada orang dewasa, pembesaran nodul dan mukosistis berat pada daerah nasofaring bila diikuti bertahun tahun akan menjadi karsinoma nasofaring. Diagnosis Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsy nasofaring yang dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: dari hidung atau dari mulut. Biopsy dari hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya. Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy. Biopsy dari mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam mulut ditarik keluar dan diklem, demikian pula dengan kateter dari hidung sebelahnya. Sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring, lalu nasofaringoskop dimasukkan untuk melihat massa tumor lebih jelas. CT scan daerah kepala dan leher dapat digunakan untuk melihat tumor primer yang tersembunyi sekalipun. Dapat pula dilakukan pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus EB. Histopatologi Telah disetujui WHO bahwa hanya ada 3 bentuk karsinoma (epidermoid) pada nasofaring yaitu karsinoma sel skuamosa, karsinoma tidak berkeratinisasi dan karsinoma tidak berdiferensiasi. Semua yang kita kenal selama ini dengan limfoepitelioma, sel

11

transisional, sel spindle, sel clear, anaplastik dan lain-lain dimasukkan dalam kelompok tidak berdiferensiasi. Stadium Untuk stadium dipakai system TNM menurut UICC (2002). T0 T1 T2 : tumor tidak tampak : tumor terbatas di nasofaring : tumor meluas ke jaringan lunak T2a: perluasan tumor ke orofaring dan/atau rongga hidung tanpa perluasan parafaring (perluasan parafaring menunjukkan infiltrasi tumor ke arah posterolateral melebihi fasia faringobasilar) T2b: disertai perluasan ke parafaring T3 T4 : tumor menginvasi struktur tulang dan/atau sinus paranasal : tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf cranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang masticator N0 N1 N2 N3 : tidak ada pembesaran : metastasis KGB unilateral, ukuran 6 cm, di atas fossa supraklavikula : metastasis KGB bilateral, ukuran 6 cm, di atas fossa supraklavikula : metastasis KGB bilateral, ukuran > 6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula N3a: ukuran > 6 cm N3b: di dalam fossa supraklavikula Mx M0 M1 : metastasis jauh tidak dapat dinilai : tidak ada metastasis jauh : terdapat metastasis jauh

12

Stadium 0 Stadium I Stadium IIA Stadium IIB

T1s T1 T2a T1 T2a T2b

N0 N0 N0 N1 N1 N0, N1 N2 N2 N2 N0, N1, N2 N3 Semua N

M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M0 M1

Stadium III

T1 T2a, T2b T3

Stadium IVA Stadium IVB Stadium IVC

T4 Semua T Semua T

Penatalaksanaan : radioterapi : kemoradiasi : kemoradiasi : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

Stadium I Stadium II dan III Stadium IV dengan N < 6 cm Stadium IV dengan N > 6 cm Terapi

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama. Pengobatan tambahan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, factor transfer, interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus. Kemoterapi Cis-platinum, bleomycin, dan 5-fluorouracil hasilnya cukup memuaskan. Demikian pula dengan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-platinum, meskipun efek sampingnya cukup berat tapi memberikan harapan kesembuhan lebih baik. Kombinasi kemoradioterapi dengan mitomycin C dan 5-florouracil oral setiap hari sebelum diberi radiasi memperlihatkan adanya harapan sembuh total. Diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak hilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah penyinaran, dengan syarat tumor induk sudah hilang, serta tidak ada metastasis jauh.
13

Tidak seperti keganasan kepala dan leher lainnya, karsinoma nasofaring mempunyai risiko terjadinya rekurensi. Kekambuhan tersering terjadi < 5 tahun, 5-15% terjadi 5-10 tahun. Sehingga perlu follow up setidaknya 10 tahun. C. Angiofibroma Nasofaring Belia Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di nasofaring yang secara histology jinak, tapi secara klinis bersifat ganas, karena dapat mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan. Pathogenesis Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor tubuh besar dan meluas di bawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung posterior. Perluasan ke anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum dan memipihkan konka. Perluasan ke lateral ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan mendesak dinding posterior sinus maksila. Apabila mendorong salah satu atau kedua bola mata akan tampak gambaran muka kodok. Perluasan ke intracranial melalui fosa infratemporal dan pterigomaksila masuk ke fosa serebri media. Dari sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus sphenoid ke sinus kavernosus dan fosa hipofise. Diagnosis Diagnosis biasanya hanya ditegakan dari gejala klinis. Gejala yang paling sering ditemukan (> 80%) adalah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis berulang yang masif. Obstruksi hidung memudahkan penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang diikuti gangguan penciuman. Tuba eustachius menimbulkan ketulian atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjukan tumor sudah meluas ke intracranial. Pada pemeriksaan fisik rinoskopi posterior terlihat masa tumor dengan konsistensi kenyal warna bervariasi dari abu-abu sampai merah muda. Pada usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan karena lebih banyak komponen fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan ulserasi. Pada pemeriksaan radiologi akan terlihat gambaran Holman Miller yaitu pendorongan prosessus pterigoideus ke belakang sehingga fisura pterigopalatina melebar.
14

Terlihat pula gambaran massa di nasofaring yang mengerosi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring. Dari CT scan dengan kontras tampak perluasan massa tumor serta destruksi tulang sekitar. Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna terlihat vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang arteri maksila interna homolateral. Arteri maksilaris interna terdorong ke depan karena pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke fossa pterigimaksila. Stadium

Untuk menentukan derajat atau stadium tumor saat ini digunakan klasifikasi Session dan Fisch. Klasifikasi menurut Session : Stadium IA Stadium IB : tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult : tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult dengan eluas sedikitnya satu sinus paranasal. Stadium IIA Stadium IIB : tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila. : tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang orbita.

Stadium IIIA : tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sediki ke intracranial. Stadium IIIB : tumor telah meluas ke intrakraial dengan atau tanpa meluas ke sinus kavernosus. Klasifikasi menurut Fisch : Stadium I Stadium II tulang. Stadium III Stadium IV pituitari.
15

: tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa mendestruksi tulang. : tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal dengan destruksi

: tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau regio paraselar. : tumor menginvasi sinus kavernosus, regio kiasma optic, dan atau fossa

Pengobatan Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal dan radioterapi.

Operasi yang dilakukan disesuaikan dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal. Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat dilakukan. Sebelum operasi, selain embolisasi banyak dilakukan ligasi arteri karotis eksterna dan anestesi dengan teknik hipotensi. Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan radioterapi dilakukan dengan stereotaktik radioterapi atau jika sudah meluas ke intracranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi. Untuk tumor yang sudah meluas ke jaringan sekitar dan mendestruksi dasar tengkorak sebaiknya diberikan radioterapi prabedah atau dapat pula diterapi hormonal selama 6 minggu sebelum operasi. D. Tumor Ganas Rongga Mulut Tumor ganas rongga mulut ialah tumor ganas yang terdapat di daerah yang terletak mulai dari perbatasan kulit-selaput lendir bibir atas dan bawah sampai ke perbatasan palatum durum-palatum mole di bagian atas dan garis sirkumvalat di bagian bawah, dengan kata lain meliputi bibir atas dan bawah, selaput lendir mulut, mandibula dan bagian atas trigonum retromolar, lidah bagian 2/3 depan, dasar ulut dan palatum durum. Keganasan di rongga mulut akan menjalar ke organ lain melalui aliran limfa. Umumnya ke kelenjar limfa di daerah submental dan submandibula. Kelenjar limfa pada ujung lidah mengalir ke kelenjar limfa di jugulodigastrikus bagian atas dan kelenjar limfa di retrofaring bagian lateral yang selanjutnya ke daerah submental. Bagian lateral 2/3 depan lidah mempunyai aliran limfa ke kelenjar limfa submandibula dan kelenjar limfa jugulodigastrikus.

16

Diagnosis Umumnya keluhan yang terjadi adalah seperti rasa nyeri pada telinga, nyeri saat

menelan (disfagia). Terkadang pasien tidak dapat membuka mulut (trismus). Terkadang juga terlihat adanya bercak keputihan (leukoplakia) dan bercak kemerahan (eritroplakia). Terdapatnya suatu massa dengan permukaan tidak rata dan memberikan rasa nyeri karena adanya persarafan nervus trigeminus dan cabang nervus fasialis. Dapat digunakan CT scan untuk menentukan batas serta ukuran pada tumor yang besar dan luas. Diagnosis pasti untuk tumor ini adalah biopsy pada massa tumor. Dan dari PA, 95% hasilnya menunjukan jenis karsinoma sel skuamosa. Stadium Menurut AJCC: Tx T1 T2 T3 T4 : karsinoma in situ : jika diameter < 2 cm : jika diameter 2-4 cm : jika diameter > 4 cm : tumor sudah menyerang organ lain seperti bagian korteks tulang, otot lidah yang lebih dalam, sinus maksila dan kulit Nx N0 N1 N2 : tidak terdeteksi sel tumor dalam kelenjar : tidak teraba pembesaran kelenjar : pembesaran kelenjar diameter < 3 cm, sisi yang sama : pembesaran kelenjar diameter 3-6 cm, hanya satu, sisi yang sama, atau < 6 cm tetapi terdapat pada beberapa kelenjar pada sisi yang sama, pada kedua sisi atau sisi lain N2a: pembesaran kelenjar diameter 3-6 cm hanya satu pada sisi yang sama N2b: pembesaran kelenjar diameter < 6 cm, terdiri dari beberapa kelenjar dan hanya pada satu sisi
17

N2c: pembesaran kelenjar diameter < 6 cm, bisa pada 2 sisi atau sisi kontralateral N3 Mx M0 M1 : pembesaran kelenjar diameter > 6 cm : tidak diketahui dimana adanya metastasis : tidak ada metastasis jauh : terdapat metastasis jauh

Secara PA, tumor ganas pada rongga mulut yang paling sering adalah karsinoma sel skuamosa. Walaupun tumor ini bersifat radiosensitive, terapi terbaik adalah pengangkatan massa tumor, yang dilanjutkan dengan penyinaran. Prognosis terburuk terjadi pada tumor pangkal lidah, oleh karena pada tempat ini terdapat banyak jaringan limfa yang bersifat bercampur dan bermuara ke kelenjar limfa leher. Tumor yang hanya terdapat pada permukaan dengan tebal 2-3 mm mempunyai prognosis yang baik. Bila tumor sudah masuk ke dalam jaringan, prognosis menjadi lebih jelek dan pada terapi sering dilakukan diseksi leher elektif, walaupun tidak teraba metastasis. Tumor yang lebih besar mungkin harus dilakukan glosektomi sebagian (parsial) atau glosektomi satu sisi (hemiglosektomi). Kalau tumor sudah melewati garis tengah, harus dilakukan glosektomi total. Kalau teraba pembesaran kelenjar, maka harus dilakukan diseksi leher radikal sebelumnya. Pada tumor dengan T1 yang kecil, hanya diberikan radiasi (radioterapi) saja. Tumor yang lebih besar harus dioperasi. Pada tumor pangkal lidah yang lebih besar, dilakukan diseksi leher radikal pada satu sisi, dan diseksi leher radikal pada sisi lain. Sesudah operasi umumnya dilanjutkan dengan radioterapi. Kemoterapi (sitostatika) tidak diberikan pasca operasi karena memberikan efek samping yang jelek. E. Tumor Laring Tumor jinak laring Tumor jinak laring dapat berupa papiloma laring (terbanyak frekuensinya), adenoma, kondroma, mioblastoma sel granuler, hemangioma, lipoma, neurofibroma.

18

Papiloma laring

Tumor ini dapat digolongkan dalam 2 jenis: papiloma laring juvenile (ditemukan pada anak, biasanya multiple dan mengalami regresi pada waktu dewasa); pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak mengalami resolusi dan merupakan pre kanker. Pada bentuk juvenile, tumor dapat tumbuh pada pita suara bagian anterior ataupun daerah subglotik. Dapat pula tumbuh di plika ventrikularis atau aritenoid. Secara makroskopis bentuknya seperti buah murbei berwarna putih kelabu terkadang merah. Jaringan ini sangat rapuh dan kalau dipotong tidak menyebabkan perdarahan, seringkali rekuren. Gejala utamanya ialah suara parau, terkadang ada batuk, apabila papiloma telah menutupi rima glottis maka timbul sesak napas dengan stridor. Terapinya adalah berupa ekstirpasi papiloma dengan bedah mikro atau juga dengan sinar laser. Tidak dianjurkan memberikan radioterapi karena papiloma dapat berubah menjadi ganas. Tumor ganas laring Karsinoma sel skuamosa meliputi 95-98% dari semua tumor ganas laring. Karsinoma sel skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi: berdeferensiasi baik (grade I), berdeferensiasi sedang (grade II), dan berdeferensiasi buruk (grade III). Kebanyakan tumor ganas pita suara cenderung berdeferensiasi baik sedangkan yang mengenai hipofaring, sinus piriformis dan plika ariepiglotika kurang berdeferensiasi baik. Tumor supraglotik terbatas di tepi atas epiglotis hingga batas atas glottis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring. Tumor glotik mengenai pita suara asli. Tumor subglotik tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara asli sampai batas inferior krikoid. Tumor transglotik adalah yang menyeberangi ventrikel mengenai pita suara asli dan palsu atau meluas ke subglotik lebih dari 10 mm. Gejala

Gejala utamanya adalah serak dan merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan gangguan fungsi fonasi laring. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi dengan baik disebabkan oleh ketidakteraturan pita suara, oklusi atau penyempitan
19

celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligament krikoaritenoid, dan kadangkadang menyerang saraf. Terkadang terjadi afoni karena nyeri, sumbatan jalan napas, atau paralisis komplit. Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor. Apabila tumor tumbuh pada pita suara asli serak merupakan gejala dini dan menetap. Bila tumor di ventrikel laring, di bagian bawah plika ventrikularis atau di inferior pita suara, serak akan timbul kemudian. Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak merupakan gejala akhir atau tidak timbul sama sekali. Dispnea dan stridor adalah gejala yang disebabkan sumbatan jalan napas dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Biasanya gejala ini adalah tanda prognosis yang kurang baik. Nyeri tenggorok, keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan hingga nyeri tajam. Disfagia adalah ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan sinus piriformis dan merupakan gejala paling sering pada tumor ganas post krikoid. Odinofagi menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring. Batuk dan hemoptisis. Batuk biasanya timbul karena tertekannya hipofaring disertai secret yang mengalir ke dalam laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotik dan tumor supraglotik. Gejala lain berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk, hemoptisis dan penurunan berat badan menandakan adanya metastasis jauh. Pembesaran KGB leher menunjukan tumor pada stadium lanjut. Nyeri tekan laring adalah gejala lanjut dikarenakan komplikasi supurasi tumor yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium. Pemeriksaan laring dapat dilakukan secara tidak langsung dengan kaca laring ataupun langsung dengan laringoskop. Foto torak dilakukan untuk menilai keadaan paru (metastasis di paru). CT scan laring dapat memperlihatkan keadaan tumor dan laring lebih seksama seperti penjalaran tumor ke tulang serta metastasis KGB leher. Diagnosis pasti berdasarkan pemeriksaan PA dari biopsy laring dan biopsy jarum halus pada pembesaran KGB leher.

20

Klasifikasi

Tumor primer Supraglotis Tis T1 T2 Karsinoma insitu Tumor pada satu sisi pita suara palsu (gerakan masih baik) Tumor sudah menjalar ke 1 dan 2 sisi daerah supraglotis dan glottis masih bisa bergerak T3 Tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke krikoid bagian belakang, dinding medial sinus piriformis dan ke rongga pre-epiglotis T4 Tumor meluas ke luar laring, infiltrasi orofaring jaringan lunak pada leher atau merusak tulang rawan tiroid. Glottis Tis T1 Karsinoma in situ Tumor mengenai 1 atau 2 sisi pita suara, gerakan pita suara masih baik atau tumor sudah terdapat pada komisura anterior atau posterior T2 Tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita suara masih dapat bergerak ataupun sudah terfiksasi T3 T4 Tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksasi Tumor sangat luas dengan kerusakan tulag rawan tiroid atau sudah keluar dari laring Subglotis Tis T1 T2 Karsinoma in situ Tumor terbatas pada daerah subglotis Tumor meluas ke pita suara, pita suara masih dapat bergerak ataupun sudah terfiksasi T3 T4 Tumor mengenai laring dan pita suara sudah terfiksasi Tumor luas dangan destruksi tulang rawan dan atau perluasan keluar laring

Penjalaran kelanjar limfa (N) Nx N0 Kelenjar tidak teraba Secara klinis kelenjar tidak teraba
21

N1 N2 N2a N2b N2c N3

Teraba 1 kelenjar dengan diameter 3 cm homolateral Teraba 1 kelenjar, ipsilateral diameter 3-6 cm Teraba 1 kelenjar ipsilateral, diameter 3-6 cm Teraba kelenjar multiple ipsilateral diameter < 6 cm Teraba kelenjar bilateral atau kontralateral diameter < 6 cm Metastasis kelenjar limfa > 6 cm

Metastasis jauh (M) Mx : tidak terdeteksi M0 : tidak ada metastasis jauh M1 : terdapat metastasis jauh Stadium Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV T1 T2 T3 T4 N0 N0 N0 M0 M0 M0, T1/T2/T3 N1 M0

N0/N1 M0

T1/T2/T3/T4 N2/N3 M0 T1/T2/T3/T4 N1/N2/N3 Penanggulangan M1

Ada 3 cara penanggulangan yakni pembedahan, radiasi, obat sitostatika atau kombinasi daripadanya. Untuk stadium I dilakukan radiasi, stadium II dan III dilakukan operasi, stadium IV dilakukan operasi dengan rekonstruksi bila masih memungkinkan dan dilakukan radiasi. Jenis pembedahan adalah laringektomi totalis ataupun parsial tergantung lokasi dan penjalarannya. Diseksi leher radikal dilakukan bila terdapat penjalaran ke KGB leher. Pemakaian sitostatika belum memuaskan.

22

23

DAFTAR PUSTAKA Soepardi A.E. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. Jakarta: FKUI Bull T.R. 2003. Color Atlas of ENT Diagnosis 4th edition, revised and expanded. New York: Thieme.

24

You might also like