You are on page 1of 13

TINJAUAN PUSTAKA

KONJUNGTIVITIS FLIKTEN
Pendahuluan

Konjungtivitis flikten atau oftalmia fliktenularis adalah peradangan konjungtiva bulbar yang terjadi akibat adanya reaksi hipersensitivitas tipe IV terhadap bakteri atau antigen tertentu. Pada umumnya, reaksi ini terjadi terhadap tuberkuloprotein, stafilokok, limfogranulma venereal, leimaniasis, infeksi parasit, dan infeksi di tempat lain dalam tubuh. Pada konjungtiva akan terlihat adanya tonjolan kemerahan yang terdiri atas kumpulan sel limfoid dibawah sel epitel yang disebut flikten1 Kelainan ini sering ditemukan pada anak-anak terutama pada anak dengan gizi kurang atau sering mendapat radang saluran nafas atas. Sebuah penelitian yang dilakukan di India menunjukkan bahwa tuberkulosis merupakan penyebab tersering terjadinya konjungtivitis flikten, kemudian diikuti oleh helmintiasis dan infeksi stafilokokus2. Hal ini juga terjadi di Indonesia, dimana tuberkulosis menjadi salah satu pencetus tersering pada anak dengan gizi kurang dan dapat juga terjadi pada orang dewasa3. Pada konjungtivitis flikten ditemukan bintik putih yang dikelilingi daerah hiperemi, hal ini dapat terjadi unilateral ataupun mengenai kedua bola mata. Sedangkan secara histopatologis akan terlihat kumpulan sel leukosit neutrofil yang dikelilingi oleh sel limfosit, makrofag, dan sel datia berinti banyak4. Gejala subyektif yang sering dikeluhkan pasien adalah keluar air mata berlebih, iritasi dengan rasa sakit, rasa silau ringan hingga berat, dan bila mengenai kornea maka akan dikeluhan adanya blefarospasme. Sedangkan gejala obyektif yang umum ditemukan adalah: mata merah dan terlihat kumpulan pembuluh darah yang mengelilingi suatu tonjolan bulat dengan warna kuning kelabu seperti seperti mikroabses di sekitar limbus1. Penyakit yang disebabkan oleh reaksi antigen ini dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan dalam 2 minggu, namun tetap ada kemungkinan terjadinya kekambuhan1.

Pengobatan konjungtivitis flikten meliputi pemberian steroid topikal, midriatika bila terjadi penyulit kornea, kacamata hitam untuk menghindari silau yang sakit, antibiotik salep mata terutama saat sebelum tidur, dan air mata buatan1. Namun, pengobatan yang paling tepat adalah mencari penyebab dari konjungtivitis, seperti: tuberkulosis, blefaritis stafilokokus kronik, dan limfogranuloma venerea1. Pengobatan tambahan untuk perbaikan gizi terutama pada anak-anak seperti vitamin dan asupan makanan tambahan juga berperan penting dalam proses penyembuhan1. Penyulit dalam kasus ini adalah menyebarnya flikten ke dalam kornea atau terjadinya reaksi sekunder sehingga timbul abses1.

Anatomi dan Fisiologi


Konjungtiva merupakan selaput lendir atau disebut juga sebagai lapisan mukosa. Konjungtiva terdiri atas epitel sel kolumnar bertingkat yang melapisi bagian sklera bola mata dan kelopak mata bagian dalam. Pada epitel kolumnar bertingkat terdapat sel goblet yang berfungsi untuk menghasilkan musin dan air mata sehingga dapat melembabkan bola mata dan mempermudah kelopak mata untuk membuka ataupun menutup. Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian, yaitu1: 1. Konjungtiva tarsal atau palpebra berada di bagian posterior kelopak mata dan sukar digerakkan dari tarsus. Konjungtiva tarsal superior dan inferior akan menutupi jaringan episklera disepanjang bola mata sampai berbatasan dengan konjungtiva bulbar. 2. Konjungtiva bulbar menempel secara longgar pada septum orbital di bagian forniks dan dapat dilipat berkali-kali, hal ini untuk mempermudah pergerakan mata dan pembesaran kelenjar air mata. Konjungtiva bulbar juga secara longgar kapsul tenon dan seluruh permukaan sklera. 3. Konjungtiva fornises atau forniks merupakan tempat peralihan antara konjungtiva tarsal dan konjungtiva bulbar.

Gambar 1: Anatomi konjungtiva


Sumber: http://www.medicalook.com/systems_images/Conjunctiva.jpg

Konjungtiva diperdarahi oleh arteri siliaris anterior yang berasal dari arteri oftalmikus serta diperdarahi oleh arteri palpebra dimana kedua arteri ini beranastomosis. Arteri siliaris anterior berjalan mengikuti otot rektus penggerak bola mata kecuali otot rektus lateralis 1,6. Konjungtiva mendapat persarafan dari saraf oftalmikus cabang trigeminus. Sedangkan kelenjar getah bening lapisan-lapisan kelopak mata berasal dari pleksus kelenjar getah bening6. Histologis lapisan konjungtiva adalah epitel konjungtiva yang terdiri atas 2 sampai 5 lapis sel kolumnar, superfisial, dan basal. Epitel konjungtiva disekitar limbus, karunkel, dan perbatasan kelopak mata terdapat sel epitel gepeng. Sel epitel superfisial terdiri atas sel bulat atau sel goblet yang menghasilkan musin dan air mata sehingga dapat melembabkan bola mata serta mempermudah kelopak mata untuk membuka atau menutup. Sel epitel basal yang berada lebih dalam dari pada sel epitel superfisial dan berada di sekitar limbus memiliki pigmen yang memberi warna6. Stroma konjungtiva terdiri atas lapisan adenoid di bagian superfisial dan lapisan fibrosa di bagian dalam. Lapisan adenoid merupakan jaringan limfoid dan dibeberapa area mata dapat memiliki bentuk follicle-like tanpa sentral germinatikum. Lapisan adenoid ini baru akan berkembang saat usia beranjak 2-3 bulan. Sedangkan lapisan fibrosa merupakan jaringan ikat yang melekat pada tarsal. Selain itu, pada stroma konjungtiva juga terdapat kelenjar aksesoris (kelenjar krause dan kelenjar wolfring) yang mirip dengan fungsi dan struktur kelenjar lakrimasi. Kelenjar krause lebih banyak berada pada forniks superior dari pada forniks inferior dan kelenjar wolfring berada pada margin superior tarsus bagian atas3.

Patofisiologi
Flikten adalah tonjolan sebesar jarum pentul yang terutama terletak di daerah limbus, berwarna kemerah-merahan. Flikten konjungtiva mulai berupa lesi kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah, menonjol dan dikelilingi zona hiperemi1. Flikten umumnya bersifat unilateral dan terjadi di limbus, namun ada juga yang terjadi di kornea, bulbus dan tarsus. Pada limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Di daerah ini terbentuk pusat putih kelabu yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari1. Secara histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit, makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak9.

Gambar 2. Flikten pada konjungtiva tarsal Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect3e.html

Timbulnya flikten adalah manifestasi hipersensitivitas tipe IV terhadap terhadap patogen yang biasanya adalah m. tuberkulosis, stafilokokus, coccidioidomikosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital1. Hipersensitivitas tipe IV adalah reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ dan reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17 berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ spesifik yang etiologinya adalah proses inflamasi8. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel Th1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan, sel Th17 akan didominasi oleh neutrofil8.

Gambar 3: Skema reaksi hipersensitivitas tipe IV

Klasifikasi
Secara klinis konjungtivitis flikten dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu3: 1. Konjungtivitis flikten : Tanda-tanda inflamasi tidak jelas, tidak menyebar, hanya terbatas pada tempat flikten, sekret hampir tidak ada

Gambar 4: Konjungtivitis flikten Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/sect3e.html

2. Konjungtivitis fliktenularis : Tanda-tanda inflamasi jelas dan sekret dapat berupa mukopurulen. Konjungtivitis fliktenularis biasanya timbul karena infeksi sekunder bakteri.

Gambar 5: Konjungtivitis fliktenularis e.c infeksi sekunder bakteri Sumber: http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/pages/phlyctenularconjunctivis.html

Faktor Predisposisi
Beberapa faktor predisposisi terjadinya konjungtivitis flikten, yaitu5: 1. Usia : Umumnya terjadi pada usia 3-15 tahun. 2. Jenis kelamin : Lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. 3. Nutrisi atau gizi : Sering terjadi pada anak dengan gizi kurang. 4. Lingkungan Faktor kebersihan yang kurang memadai dan lingkungan yang padat penduduk dapat meningkatkan resiko konjungtivitis flikten. 1. Musim atau cuaca

Dapat terjadi pada setiap musim namun insidensi meningkat pada musim panas.

Diagnosis
Penegakkan diagnosis dapat dilakukan dengan menilai dari gejala dan hasil pemeriksaan penunjang sebagai berikut: Gejala subjektif : Konjungtivitis flikten menyebabkan iritasi dengan keluhan rasa sakit, mata merah, dan lakrimasi. Jika kornea ikut terlibat maka akan ditemukan keluhan fotofobia dan gangguan penglihatan1. Gejala objektif o Konjungtivitis Flikten Simpel : Terlihat nodul putih kemerahan yang dikelilingi daerah hiperemis (pelebaran pembuluh darah konjungtiva) pada daerah sekitar limbus dan konjungtiva bulbar. Pada umumnya nodul hanya soliter namun dapat juga tumbuh lebih dari satu1.

Gambar 6: Lesi soliter pada konjungtivitis flikten simpel Sumber: http://zdrave-hubnuti.cz/bmi/conjunctivalphlyctenulosis%26page%3D4 o

Konjungtivitis Flikten Necrotizing : Terdapat flikten besar yang disertai proses nekrosis dan ulserasi sehingga memungkin terjadinya severe pustular congjunctivitis11

Gambar 7: Konjungtivitis flikten e.c Tuberkulosis Sumber: http://infections.consultantlive.com/display/article/1145625/1404317

Gambar 8: Ulserasi pada konjungtivitis flikten Sumber: http://cms.revoptom.com/handbook/March_2004/sec2_4.htm

o Konjungtivitis Flikten Milier : Terdapat multipel flikten yang berbentuk lingkaran disekitar limbus ataupun menyebar secara tidak merata10.

Gambar 9: Flikten multipel di sekeliling limbus Sumber: http://www.optometric.com/article.aspx?article=102127

Gambar 10: Flikten multipel dengan tanda inflamasi yang jelas Sumber: http://webeye.ophth.uiowa.edu/eyeforum/atlas/pages/PC-phlyctenularconjunctivis.html

Histopatologi Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan kumpulan sel leukosit netrofil yang dikelilingi oleh sel limfosit, sel makrofag, dan sel datia berinti banyak. Pembuluh darah yang memperdarahi flikten mengalami proliferasi endotel dan sel epitel dibagian atas mengalami degenerasi1,11.

Laboratorium 9

Dapat dilakukan pemeriksaan tinja jika dicurigai helmintiasis, pemeriksaan darah untuk mengetahui infeksi, dan kultur konjungtiva. Pemeriksaan sekret dengan pewarnaan .

Penyebab
Penyebab primer dari penyakit ini harus diketahui dan ditangani terlebih dahulu, misalnya melalui pencarian infeksi fokal di telinga, hidung, tenggorokan, atau gigi5. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urine, feses maupun foto toraks seringkali dilibatkan dalam usaha tersebut5. Kortikosteroid topikal seperti Dexamethasone atau Prednisolone dalam sediaan obat tetes atau salep mata perlu diberikan karena dasar dari timbulnya konjungtivitis fliktenularis adalah hipersensitivitas tipe lambat10. Kerja dari kortikosteroid adalah menginhibisi aktivasi sel T sebagai mediator inflamasi yang utama dalam proses ini, sehingga respon proliferatif dan produksi sitokin berkurang10. Kombinasi kortikosteroid dengan antibiotik seperti Kloramfenikol lebih dianjurkan mengingat banyak kemungkinan terdapat infeksi bakteri sekunder10. Jika terdapat kondisi blefaritis atau
5

masalah dermatologis

yang lain, pemberian

Doksisiklin

oral

dapat

dipertimbangkan . Pada anak-anak dengan usia di bawah 8 tahun dan wanita hamil, Eritromisin dapat menggantikan penggunaan Doksisiklin10. Sikloplegik hanya dibutuhkan jika dicurigai adanya iritis5. Dapat juga diberikan Roboransia yang mengandung vitamin A, B kompleks, dan C untuk memperbaiki keadaan secara general1. Pada pemberian kortikosteroid lokal dalam jangka waktu lama perlu diwaspadai kontraindikasi dan adanya berbagai faktor penyulit antara lain infeksi sekunder jamur atau virus, munculnya Glaukoma maupun Katarak4.

10

Prognosis
Dengan penatalaksanaan yang komprehensif, umumnya konjungtivitis flikten akan sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada limbus1.

Gambar 11: Bekas flikten pada limbus Sumber: http://www.sciencesway.com/vb/t35644.html

Prognosis menjadi relatif lebih buruk jika terjadi flikten pada kornea, abses kornea karena infeksi sekunder bakteri, dan perforasi kornea dalam luas yang terbatas4. Namun beberapa keadaan penyulit tersebut dapat diatasi dengan penatalaksanaan yang memadai.

11

Kesimpulan

Konjungtivitis flikten adalah radang pada konjungtiva dengan pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten), yang diakibatkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe IV. Kondisi ini merupakan reaksi alergi terhadap endogen tuberkulosis, stafilokokus, coccidioidomikosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital. Gejala klinis biasanya ringan, berupa lakrimasi berlebihan, mata merah setempat, dan iritasi dengan rasa sakit. Blefarospasme dapat terjadi jika terdapat pus mukopuruluen karena infeksi bakteri. Konjungtivitis fliktenularis harus dibedakan dengan kondisi serupa yang juga bersifat superfisial melalui prosedur anamnesis dan pemeriksaan oftalmologi secara seksama. Dasar dari penatalaksanaan penyakit ini adalah mengatasi penyakit yang mendasarinya dengan proses diagnostik dan terapi yang komprehensif. Korstikosteroid topikal wajib digunakan dalam kasus ini. Antibiotik topikal dan sistemik dapat digunakan sebagai terapi kombinasi jika terdapat infeksi sekunder.Dengan terapi yang memadai, prognosis kasus ini umumnya baik, tanpa komplikasi yang berarti.

12

Daftar Pustaka
1. Sidarta Ilyas. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3, Cetakan ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. Hal 2-3,25,134-135. 2. J. Rohatgi dan U. Dhaliwal. Phyctenular Eye Disease: A Reppraisal. Elsevier Science Inc. 2000; 44-146-150. 3. Anonim. Referat konjungtivitis flikten[online]. 2007. Tersedia pada http://www.alhamsyah.com/blog/artikel/referat-konjungtivitis-flikten.html [dikutip 4 april 2011] 4. Arnold Sorsby The Aetiology of Phlyctenular Opthalmia. Pub Med Central [online]. 2002. Tersedia pad http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1143405/?page=8 [dikutip 29 Maret 2011] 5. American Optometric Association. Care of the Patient with Conjunctivitis, Edisi ke-2. St. Louis; 2002 6. Reinhard Putz dan Reinhard Pabst. Sobotta, Atlas Anatomi Manusia. Edisi ke-22, Jilid ke-1. Alih bahasa oleh dr. Y. Joko Suyono. Jakarta: EGC; 2007. 7. Gerard J. Tortora dan Bryan H. Derrickson. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi ke-5. New York: Wiley; 2005. 8. Ian R. Tizard. Immunology, an Introduction. Edisi ke-4. Orlando: Saunders; 1994. Hal 298-299, 482-484. 9. Betram G. Katzung. Basic and Clinical Pharmacology. Edisi ke-10. Singapura: McGraw-Hill; 2007. Hal 870. 10. Anonim. Makalah konjungtivitis. [online]. 2009. Tersedia pada http://www.scribd.com/doc/22654876/MaKaLaH-KonJungTiVitiS [dikutip tanggal 4 april 2011]

13

You might also like