You are on page 1of 19

DEFINISI

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Sampai saat ini demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat serta berkaitan erat dengan sanitasi yang buruk terutama di negara-negara berkembang. Demam tifoid (Tifus abdominalis, Enterik fever, Eberth disease) adalah penyakit infeksi akut pada usus halus (terutama didaerah illeoseka!) dengan gejala demam selama 7 hari atau tebih, gangguan saluran pencernaan, clan gangguan kesadaran. Atau ada juga penulis lain yang membuat kriteria demam tifoid sebagai penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai dengan bakteriemia, perubahan pada system retikuioendotelial yang bersifat difus, pembentukan mikroabses clan ulserasi pada Nodus Peyeri di distal Ileum. Salmonella typhi dapat bertahan hidup lama dilingkungan kering clan beku, peka terhadap proses klorinasi clan pasteurisasi pada suhu 63 C. Organisme ini juga dapat bertahan hidup beberapa minggu dalam air, es, debu, sampah kering, pakaian, mampu bertahan disampah mentah selama 1 minggu, clan dapat bertahan serta berkembang biak dalam susu, daging, telur, atau produknya tanpa merubah warna clan bentuknya. Manusia merupakan satu-satunya sumber penularan alami Salmonella tiphy melalui kontak langsung maupun tidak langsung dengan seorang penderita demam tifoid atau karier kronis. EPIDEMIOLOGI'8,",'2,'3 Insiden, cara penyebaran dan konsekuensi demam enterik sangat berbeda di negara maju clan yang sedang berkembang. lnsiden sangat menurun di negara maju. Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia. 96% kasus demem tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. Sembilan puluh persen kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Sebagian besar dari penderita (80%) yang dirawat di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM berumur di atas lima tahun.

Di negara-negara berkembang perkiraan angka kejadian demam tifoid bervariasi dari 10 sampai 540 per 100.000 penduduk. Meskipun angka kejadian demam tifoid turun dengan adanya perbaikan sanitasi pembuangan di berbagai negara berkembang, diperkirakan setiap tahun masih terdapat 35 juta kasus dengan 500.000 kematian di seluruh dunia. Di negara maju perkiraan angka kejadian demam tifoid lebih rendah yakni setiap tahun terdapat 0,2 - 0,7 kasus per 100.000 penduduk di Eropa Barat; Amerika Serikat clan Jepang serta 4,3 sampai 14,5 kasus per100.000 penduduk di Eropa Selatan. Di Indonesia demam tifoid masih merupakan penyakit endemik dengan angka kejadian yang masih tinggi. Angka kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan 350-810 kasus per 100.000 penduduk per tahun; atau kurang lebih sekitar 600.000 - 1,5 juta kasus setiap tahunnya. Diantara penyakit yang tergolong penyakit infeksi usus, demam tifoid menduduki urutan kedua setelah gastroenteritis. Di bagian 1lmu Kesehatan Anak RSCM sejak tahun 1992 - 1996 tercatat 550 kasus demam tifoid yang dirawat dengan angka kematian antara 2,63 - 5,13%. ETIOLOGl''23s Samonella typhi termasuk bakteri famili Enterobacteriaceae dari genus Salmonella. Kuman S. Typhi berbentuk batang, Gram negatifi, tidak berspora, motile, berflagela, berkapsul, tumbuh dengan baik pada suhu optimal 37 C (15C-41G), bersifat fakultatif anaerob, clan hidup subur pada media yang mengandung empedu. Kuman ini mati pada pemanasan suhu 54,4 C selama satu jam clan 60C selama 15 menit, serta tahan pada pembekuan dalam jangka lama. Salmonella mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa clan manosa, namun tidak terhadap laktosa atau sukrosa. ' 2 S. typhi sekurang-kurangnya mempunyai tiga macam antigen, yaitu: - Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar) - Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat pada flagella clan bersifat termolabil. - Antigen Vi = Kapsul; merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman clan melindungi 0 antigen terhadap fagositosisDalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut. Mempunyai makromolekuler lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari

dinding sel clan dinamakan endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik. PATOFISIOLOG12,s.'2 Salmonella typhi hanya dapat menyebabkan gejala demam tifoid pada manusia. Oleh karena itu untuk mengetahui patogenesisnya tidak mudah. Hal ini disebabkan oleh karena sulitnya memilih binatang percobaan yang sesuai, yang dapat menggambarkan infeksi S. Typhi secara alamiah. Namun dengan kemajuan ilmu pengetahuan clan teknologi maka akhirnya patogenesis demam tifoid dapat diketahui melalui beberapa penelitian. Patogenesis demam tifoid secara garis besar terdiri dari 3 proses, yaitu (1) proses invasi kuman S. Typhi ke dinding sel epitel usus, (2) proses kemampuan hidup dalam makrofag clan (3) proses bekembang biaknya kuman dalam makrofag. Akan tetapi tubuh mempunyai beberapa mekanisme pertahanan untuk menahan clan membunuh kuman patogen ini, yaitu dengan adanya (1) mekanisme pertahanan non spesifik di saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebafan tubuh humoral dan selular. Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melaiui muiut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung clan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan S. Typhi sebanyak 103-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella clan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam

lambung. Pada keadaan tersebut S. Typhi febih mudah mefewati pertahanan tubuh. Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan loka! berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S. Typhi saluran pencernaan, baik secara kimiawi maupun fisik, dan (2) mekanisme pertahanan spesifik yaitu kekebafan tubuh humoral dan selular. Kuman Salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melaiui muiut bersamaan dengan makanan dan minuman yang terkontaminasi. Setelah kuman sampai lambung maka mula-mula timbul usaha pertahanan non spesifik yang bersifat kimiawi yaitu, adanya suasana asam oleh asam lambung clan enzim yang dihasilkannya. Ada beberapa faktor yang menentukan apakah kuman dapat melewati barier asam lambung, yaitu (1) jumlah kuman yang masuk dan (2) kondisi asam lambung. Untuk menimbulkan infeksi, diperlukan S. Typhi sebanyak 103-109 yang tertelan melalui makanan atau minuman. Keadaan asam lambung dapat menghambat multiplikasi Salmonella clan pada pH 2,0 sebagian besar kuman akan terbunuh dengan cepat. Pada penderita yang mengalami gastrektomi, hipoklorhidria atau aklorhidria maka akan mempengaruhi kondisi asam lambung. Pada keadaan tersebut S. Typhi febih mudah mefewati pertahanan tubuh. Sebagian kuman yang tidak mati akan mencapai usus halus yang memiliki mekanisme pertahanan loka! berupa motilitas dan flora normal usus. Tubuh berusaha menghanyutkan kuman keluar dengan usaha pertahanan

tubuh non spesifik yaitu oleh kekuatan peristaltik usus. Di samping itu adanya bakteri anaerob di usus juga akan merintangi pertumbuhan kuman dengan pembentukan asam lemak rantai pendek yang akan menimbulkan suasana asam. Bila kuman berhasil mengatasi mekanisme pertahanan tubuh di lambung, maka kuman akan melekat pada permukaan usus. Setelah menembus epitel usus, kuman akan masuk ke dalam kripti lamina propria, berkembang biak dan selanjutnya akan difagositosis oleh monosit dan makrofag. Namun demikian S. Typhi GEJALA KLINIK' "",'2 Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang timbu! setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. . Masa inkubasi rata-rata 10-14 hari, selama daiam masa inkubasi dapat ditemukan gejala prodromal, yaitu_ anorexia, letargia, malaise, dullness, continuous headache, non productive cough, bradicardia Timbulnya gejala klinis biasanya bertahap dengan manifestasi demam dan gejaia konstitusional seperti nyeri kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan gastrointestinal awai dan kemudian pada minggu kedua timbul diare. Diare hanya terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia, penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose sopts (bercak makulopapular) ukuran 16 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 4080% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada kompiikasi dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang, namun malaise dan letargi menetap sampai 1-2 bulan. Fase relaps adalah keadaan berulangnya gejala penyakit tifus, akan tetapi berlangsung iebih ringan dan lebih singkat. Terjadi pada minggu kedua setelah suhu badan normal kembali. Terjadi sukar diterangkan, seperti halnya

keadaan kekebalan alam, yaitu tidak pernah menjadi sakit walaupun mendapat infeksi yang cukup berat Menurut teori, relaps terjadi karena terdapatnya basil dalam organ-organ yang tidak dapat dimusnahkan baik oleh obat maupun oleh zat anti. Mungkin pula terjadi pada waktu penyembuhan tukak, terjadi invasi basil bersamaan dengan pembentukan jaringan-jaringan fibroblas. Rifai dkk, melaporkan dalam penelitiannya di Rumah Sakit Karantina, Jakarta, diare lebih sering ditemukan dari pada sembelit, masing-masing 39,47% clan 15,79l pada anak. Gejala sakit kepaia ditemukan pada 76,32% anak, nyeri perut 60,5%, muntah 26,32%, mual 42,11%, gangguan kesadaran 34,21%, gangguan mental berupa apatis ditemukan 31,58!o clan delirium pada 2,63% anak. Penuiis lain melaporkan ditemukannya lidah khas tifoid. Anak usia sekolah clan remaja Gejala awal demam, malaise, anoreksia, mialgia, nyeri kepala, clan nyeri perut berkembang selama 2-3 hari, walaupun diare berkonsistensi mungkin ada selama awal perjalanan penyakit, konstipasi kemudian menjadi gejala yang lebih mencolok, mual muntah adalah jarang clan memberi kesan kompiikasi terutama jika terjadi pada minggu ke-2 atau ke-3. Batuk clan epistaksis mungkin ada. Kelesuhan berat dapat terjadi pada beberapa anak. Demam yang terjadi secara bertingkat menjadi tidak turun-turun clan tinggi dalam 1 minggu, sering mencapai 40 C. Tanda-tanda fisik adalah bradikardi reiatif, yang tidak seimbang dengan tingginya demam.Hepatomegali, splenomegali, clan perut kembung dengan nyeri difus, terjadi pada minggu ke-2 penyakit. Bayi clan Anak Muda (< 5 tahun) Demam entrik relatif jarang pada kelompok umur ini. Demam ringan clan malaise, salah interpretasi sebagai sindrom virus, ditemukan pada bayi dengan demam tifoid terbukti secara biakan . Diare lebih lazim pada anak muda dengan demam tifoid daripada orang dewasa, membawa pada diagnosis gastroenteritis akut. Yna lain dapat datang dengan tanda-tanda clan gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bawah. Neonatus Dismping kemampuannya menyebabkan aborsi dan persalinan prematur, demam enterik selama kehamilan dapat ditularkan secara vertikai.

Penyakit neonatus biasanya mulai dalam 3 hari persalinan. Muntah, diare dan kembung sering ada. Suhu bervariasi, tetapi dapat setinggi 40,5 C. Dapat terjadi kejang-kejang. Hepatomegali, ikterus, anoreksia, dan kehilangan berat badan mungkin nyata. Pemeriksaan IF isik'3 Gejala-gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu : 1. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris remittent dan tidak terlalu tinggi. Pada minggu I, suhu tubuh cenderung meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat pada sore hari dan malam hari. Daiam minggu !1, penderita terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu III suhu berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu III. 2. Gangguan saluran cema Pada mulut; nafas berbau tidak sedap, bibir kering, dan pecahpecah (rhagaden), lidah ditutupi oleh selaput putih kotor (coated tongue)., ujung dan tepinya kemerahan. Pada abdomen dapat dijumpai adanya kembung (meteorismus). Hepar dan lien yang membesar disertai nyeri pada perabaan_ Biasanya terdapat juga konstipasi pada anak yang lebih tua dan remaja, akan tetapi dapat juga normal bahkan terjadi diare pada anak yang lebih muda. 3. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun waiau tidak berapa daiam berupa apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopr, coma atau gelisah. Disamping gejala-gejala diatas yang biasa ditemukan mungkin juga dapat ditemukan gejala-gejaia lain: - Roseola atau rose spot; pada punggung, upper abdomen dan, lower chest dapat ditemukan rose spot (roseola), yaitu bintik-bintik merah dengan diameter 2-4 mm yang akan hiiang dengan penekanan dan sukar didapat pada orang yang bekulit gelap. Rose spot timbul karena embolisasi bakteri dalam kapiler kulit. Biasanya ditemukan pada minggu pertama dernam.

- Bradikardia relatif; Kadang-kadang dijumpai bradikardia relative yang biasanya ditemukan pada awal minggu ke 11 dan nadi mempunyai karakteristik notch (dicrotic notch). Pemeriksaan Penunjang'9'2 Gambaran klinis pada anak tidak khas karena tanda dan gejala klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesuiitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium yang diandalkan. Pemeriksaan taboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, bakteriologis dan serologis. Da1am kepustakaan lain disebutkan bahwa pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam tioid dibagi dalam tiga kelompok, yaitu : (1) isolasi kuman penyebab demam tifid melalui biakan kuman dari spesimen penderita, seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S. Typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari Salmonella typhi, dan (3) pemeriksaan meiacak DNA kuman S. Typhi. 1. Pemeriksaan yang menyokong diagnosis. a. Pemeriksaan darah tepi Terdapat gambaran leukopenia, limfositosis relatif, neutropenia pada permulaan sakit. Mungkin juga terdapat anemia dan trombositopenia ringan. atogenesis perubahan gambaran darah tepi pada demam tifoid masih belum jelas, umumnya ditandai dengan leukopeni, limfositosis relatif dan menghilangnya eosinofii (aneosinofilia). Dahulu dikatakan bahwa leukopenia mempunyai nilai diagnostik yang penting, namun hanya sebagian kecil penderita demam tifoid mempunyai gambaran tersebut. Diduga leukopenia disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. '2 b. Pemeriksaaan Sumsum tulang

Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiperaktif RES dengan adanya sel makrofag, sedangkan system eritropoesis, granulopoesis, trombopoesis berkurang. 2. Pemeriksaan untuk membuat diagnosa Biakan empedu untuk menemukan Salmonella dan pemeriksaan Wida! ialah pemeriksaan yang digunakan untuk menbuat diagnosa tifus abdominalis yang pasti. Kedua pemeriksaan perlu dilakukan pada waktu masuk dan setiap minggu berikutnya. a. Biakan empedu 80% pada minggu pertama dapat ditemukan kuman di dalam darah penderita. Selanjutnya sering ditemukan dalam urin dan feces dan akan tetap positif untuk waktu yang lama. b.Widal test Dasar pemeriksaan iaiah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella. Untuk membuat diagnosa dibutuhkan titer zat anti thd antigen O. Titer thd antigen O yang bernilai 11200 atau lebih clan atau menunjukkan kenaikan yang progresif pada pemeriksaan 5 hari berikutnya (naik 4 x lipat) mengindikasikan infeksi akut. Titer tersebut mencapai puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer thd antigen H tidak diperlukan untuk diagnosa, karena dapat tetap tinggi setalah mendapat imunisasi atau bita penderita tetah lama sembuh. Titer thd antigen Vi juga tidak utk diagnosa karena hanya menunjukan virulensi dari kuman. Tidak selafu widal positif walaupun penderita sungguh-sngguh menderita tifus abdominafis. Dan widal juga bukan mrpkan pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penderita. Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan berikut: plasenta. Terdapatnya infeksi silang dgn rickettsia (Weil Felix). - Akibat imunisasis scr alamiah karena masuknya basisi perora; atau pada keadaan infeksi. Titer O clan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal,karena Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui infeksi basil coli patogen dlm usus.

Diagnosa''Z Diagnosis demam tifioid dengan biakan kuman sebenarnya amat diagnostik, namun identifikasi kuman S. Typhi memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah seringkali positif pada awal penyakit sedangkan biakan urin clan tinja, poisitif setelah terjadi septikemia sekunder. Biakan sumsum tulang clan kelenjar limfe atau jaringan tetikulo endotelial lainnya sering masih positif setelah darah steril. Pemeriksaan Widal, meskipun kegunaannya masih banyak diperdebatkan, jika interpretasi dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan sensitivitas, spesifitas, serta perkiraan nilai. Wida1 pada laboratorium dan populasi setempat, maka angka widal cukup bermakna. Kemajuan di bidang biomoleklar saat ini sampai pada penelitian mendeteksi DNA kuman S. Typhi dalam darah dengan tehnik hibridisasi asam nukleat dan metode penggandaan DNA dengan polymerase chain reaction (PCR)_ Cara ini dilaporkan dapat mengidentifiksi kuman dalam darah dengan akurat, bahkan dalam jumiah kuman yang amat sediit. Namun metode PGR ini cukup mahal dan belum dapat dikerjakan secara rutin di laboratorium klinik. Diagnosis pasti demam tifoid bila ditemukan kuman S. Typhi dari darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau rose spots. Berkaitan dengan patogenesis, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tufang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan tinja. Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, namun hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor tersebut adalah (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media empedu, serta (3) waktu pengambilan darah. Menurut Watson jum4ah rata-rata kuman 7,6 per ml darah, walaupun penderita dalam keadaan bakteremia, sehingga untuk biakan diperlukan 5 sampai 10 ml darah. Kepustakaan lain menyebutkan bahwa jumlah darah yang dibutuhkan antara 2 sampai 5 ml. Untuk menetralisir efek bakterisidal oleh antibodi atau komplemen yang dapat menghambat pertumbuhan kuman, maka darah harus diencerkan 5-10 kali. Waktu pengambilan darah paling baik ialah pada saat demam tinggi atau

sebelum pemakaian antibiotik, karena 1-2 hari setelah diberi antibiotik kuman sudah sukar ditemukan di dalam darah. Biarkan darah positif ditemukan pada 75-80fo penderita pada minggu pertama sakit, sedangkan pada akhir minggu ketiga, bahkan darah positif hanya pada 10l penderita. Setelah minggu keempat penyakit, sangat jarang ditemukan kuman di dalam darah. Bifa terjadi refaps, maka biakan darah akan positif kembali. Pada kepustakaan lain disebutkan biakan darah positif berturut-turut sebesar 52,3% clan 40-80%. Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Hoffman dkk, melaporkan dalam penelitiannya di RS Karantina pada tahun 1986 di Jakarta bahwa biakan sumsum tulang (92%) lebih sensitif secara bermakna dibandingkan dengan biakan darah (62%), biakan clot streptokinase (51%) dan biakan usap dubur (56%). Cara ini amat bermanfaat pada kasus yang darahnya telah menjadi steril. Namun prosedur ini bersifat invasif clan membutuhkan alat khusus, sehingga hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar dan tidak lazim dipakai secara rutin. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUi-RSCM selama kurun waktu 5 tahun (1990 sampai 1994) dari 232 kasus yang dapat dilakukan biakan hanya 36% yang memberikan hasil positif. Gilman dkk, melaporkan dalam penelitiannya terhadap 62 pasien dengan demam tifoid yang sebagian besar dari mereka telah mendapat terapi, isoiasi S. Typhi positif dari biakan sumsum tulang terdapat pada 56 pasien (90%); sedangkan biakan darah, tinja clan urin masing-masing positif pada 25 penderita (40%), 23 penderita (37%) clan 4 penderita (7%). Kuman S. Typhi berhasil diioslasi pada 24 (63%) dari 36 pasien biakan rose spots. Pengobatan antibiotik akan mematikan kuman di dalam darah beberapa jam setelah pemberian, sedangkan kuman di dalam sumsum tulang lebih sukar dmatikan. Oleh karena itu pemeriksaan biakan darah sebaiknya dilakukan sebelum pemberian antibiotik. Gilman mendapatkan biakan darah positif pada 80% penderita yang belum mendapat antibiotik, sedangkan penderita yang telah mendapatkan antibiotik, biakan darah positif hanya 40I penderita, sedangkan biakan sumsum tulang positif pada 90% penderita. Di Yogyakarta, Bachtin mendapatkan biakan darah positif

pada 8 (47%) dari 17 penderita yang belum diobati dengan kioramfenikol, sedangkan penderita yang telah diobati kloramfenikol, biakan darah positif ditemukan pada 5 (29,5%) dari 17 penderita. Walaupun metoda biakan S. Typhi sebenarnya amat diagnostik namun memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan kuman ini sulit dilakukan di tempat pelayanan kesehatan sederhana yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap. Uji serotogi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap kuman S. Typhi yaitu uji wida(. Uji ini telah digunakan sejak tahun 1896. ada uji widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S. Typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi daiam serum. Pada demam tifoid mula-mufa akan terjadi peningkatan titer antibodi O. Antibodi H timbul 4ebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan - 2 tahun. Antiboid Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang seteiah penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S. Typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S. Typhi. Hubungan antara saat masuknya kuman, timbulnya demam, kemungkinan biakan positif clan terbentuknya aglutinin pada demam tifoid dapat dilihat pada gambar. Meskipun UP serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam tioid tetah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini uji serologi Widai sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standari aglutinasi (cut off point). Beberapa penutis telah melaporkan nilai uji standar agiutinasi yang berbedabeda untuk diagnosis demam tioid dengan uji Widal, oleh karena nilai sensitivitas, spesifitas dan perkiraan uji ini sangat berbeda antar 4aboratorium klinik. tnterpretasi pemeriksaan Widai harus hati-hati karena banyak faktor

yang mempengaruhi; antara lain stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, gambaran imulogis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis), riwayat mendapat imunisasi sebelumnya, dan reaksi silang. 12 Gambar. Hubungan antara masuknya kuman, kemungkinan timbulnya demam, frekuensi biakan positif dan terbentuknya aglutinin pada demam tifoid Komplikasi'3 Komplikasi typoid dapat terjadi pada : 1. Intestinal (usus haius) : Umumnya jarang terjadi, tapi sering fatal, yaitu: a. Perdarahan (haemorrhage) usus. Bervariasi dari mikroskopik sampai terjadi melena dan kalau sangat berat dapat disertai perasaan nyeri perut dengan tanda-tanda syok: berupa penurunan suhu tubuh dan tekanan darah yang drastic, sudden tachycardia. b. Perforasi usus. Timbul pada minggu ketiga atau seteiah itu dan sering terjadi pada distal ileum. Apabila hanya terjadi perforasi tanpa peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dalam rongga peritoneum, yaitu pekak hati menghiiang dan terdapat udara bebas (free air sickle) diantara hati dan diafragma pada foto Rontgenabdomen yang dibuat dalam posisi tegak. c. Peritonitis Ditemukan gejala abdomen akut yaitu nyeri pefut yang hebat, dinding abdomen tegang (defense muscuiair) dan nyeri tekan. 2. Ekstraintestinal Terjadi umumnya karena lokalisasi peradangan akibat sepsis (bakteriemia): a. Liver, gallbladder, dan pancreas Dapat terjadi mild jaundice pada enteric fever oleh karena terjadi hepatitis typhosa, kolesistitis, kholangitis atau hemolisis. Dapat juga terjadi pankreatitis. b. Kardiorespiratory Toxic myocarditis adalah penyebab kematian yna signifikan pada daerah endemic. Hal tersebut terjadi pada pasien yang sangat parah sekali dan

ditandai ofeh takikardia, nadi dan bunyi jantung yang lemah, hypotensi, dan EKG yang abnomaf. Bronkitis ringan sering terjadi, broncopneumonia . c. Nervous system Berupa disorientasi, delirium, meningismus, meningitis (jarang), encephalomyelitis. d. Hematologi dan renal Terjadi DIC yang subclinical pada typhoid fever yang mana merupakan manifes hemolytic-uremic syndrom, dan hemolisis. Glomeruionefritis, pielonefritis, dan perinefritis. Diagnosa banding' - Paratifoid fever (A, B, C): gejala febih ringan dibanding typhoid fever. Influenza : panas tinggi - Tbc - Dengue: panas mendadak tinggi cepat - Malaria - Pneumoni lobaris Tatalaksana'57'2 Pengobatan terhadap demam tifoid merupakan gabungan antara pemberian antibiotik yang sesuai, perawatan penunjang termasuk pemantauan, manajemen cairan, serta pengenalan dini clan tata laksana terhadap adanya komplikasi (perdarahan usus, perforasi, clan gangguan hemodinamik). Pengobatan akan berhasil dengan baik bila penegakkan diagnosis dilakukan dengan tepat. Demam lebih dari 7 hari disertai gejala gastrointestinal, pada anak usia di atas 5 tahun, tanpa gejala penyerta lain, dapat dicurigai menderita demam tifoid. Pemilihan antibiotik sebelum dibuktikan adanya infeksi Salmonella dapat dilakukan secara empiris dengan memenuhi kriteria berikut : (1) spektrum sempit, (2) penetrasi ke jaringan ckup baik, (3) cara pemberian mudah untuk anak, (4) tidak mudah resisten, (5) efek samping minimal, dan (6) adanya bukti efikasi klinis. Saat redanya demam (time of fever defervescence) merupakan parameter keberhasiian pengobatan, clan saat tersebut menentukan efektifitas antibiotik. Dalam penelitian tahun 1990 - 1994 di Bagian !KA FKUI-

RSCM, penderita demam tifoid yang diberi antibiotik kloramfenikol, ampisilin, amoksisilin, seftriakson, sedfiksim, clan kotrimoksazol, memberikan saat demam turun berturut-turut 4,2, 5,2, 5,4, 57 dan o,5 hari. Dengan demikian, pemantauan suhu pada hari ke-4 sampai ke-5 setelah pemberian antibiotik dapat digunakan sebagai titik evaluasi. Bifa suhu turun, berarti membaik, sedang bila menetap mungkin ada infeksi lain, komplikasi, atau kuman penyebab adalah MDRST (multidrug resistant S. typhi). Penggunaan antibiotik yang dianjurkan seiama ini adalah sebagai berikut : 1. Lini pertama a. Kloramfeniko! Masih merupakan pilihan pertama dalam urutan antibiotik, diberikan dosis 50100 mg/kgBBlhari secara intravena dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Banyak penelitian membuktikan bahwa obat ini masih cukup sensitif untuk Salmonella typhi, namun perhatian khusus harus diberikan pada kasus dengan leukopenia (tidak dianjurkan pada ieukosit < 200/u1) dan dosis maksimal adalah 2 gram perhari atau b. Ampisilin dengan dosis 150 -200 mg/kgbb/hari diberikan per oral/iv selama 14 had atau c. Kotrimoksazol dengan dosis 10 mgJkgBB/hari trmetroprim, dibagi 2 dosis, selama 14 had 2. Lini kedua, diberikan pada kasus-kasus demam tifoid yang disebabkan S. typhi yang resisten terhadap berbagai obat (MDR = multidrug resistance), yang terdiri atas : a. Seftriakson dengan dosis 50-80 mg/kgbblhari, dosis tunggal selama 20 hari. Penyembuhan sampai 90 % juga dilaporkan pada pengobatan 3-5 hari. b. Sefiksim dengan dosis 10-12 mglkgbb/hari peroral, dibagi dalam 2 dosis selama 14 hari, adalah alternatif pengganti seftiakson yang cukup handal. c. Florkinolon dilaporkan lebih superior daripada derivat sefalosporin di atas, dengan angka penyembuhan mendekati 100% dalam kesembuhan klinis dan bakteriologis di sampig kemudahan pemberian secara oral. Namun demikian obat ini masih kontroversial dalam pemberian untuk anak mengingat adanya pengaruh buruk terhadap pertumbuhan kartilago. Beberapa peneiitian

mengenai penggunaan kinolon dalam mengobati demam tifoid pada anak sudah banyak dilakukan. Siprofloksasin, 10 mgJkgbb/hari dalam 2 dosis, atau ofloksasin 1015 mgfkgbb/hari dalam 2 dosis, sudah dipkaai untuk pengobatan. Demam biasanya turun dalam 5 hari. Lama pemberian obat dilaporkan bervariasi antara 2-5 hari, namun beberapa penulis menganjurkan 2-10 hari. Penggunaan obat-obat ini hanya dianjurkan pada kasus demam tifid dengan MDR. Penelitian di Vietnam pada 326 anak dengan demam tifoid yang diberikan siprofloksasin atau ofloksasin, clan dievaluasi selama 2 tahn tidak didapatkan adanya gangguan dalam kecepatan pertumbuhan linier. Penelitian lain melaporkan penggunaan siprofloksasin dengan pantauan seiama 6 buian tidak ditemukan tanda-tanda artritis.artralgia, maupun gangguan pertumbuhan linier. d. Asitromisin dengan pemberian 5-7 hari juga telah dicoba dalam beberapa penelitian dengan hasil baik, berupa penurunan demam sebeium had ke-4. Aztreonam juga diuji pada beberapa kasus demam tifoid pada anak dengan hasil baik, namun tidak dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama. Pengobatan suportif akan sangat menentukan keberhasilan pengobatan demam tifoid dengan antibiotik. Pemberian cairan clan kalori yang adekuat sangat penting_ Penderita dema tifoid sering menderita demam tinggi, anoreksia dan diare, sehingga keseimbangan cairan sangat penting diperhatikan. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperfukan untuk efektifitas respons imun clan pemantauan keberhasiian pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang clan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan pemberian antipiretik. Dianjurkan pemberian antipiretik bila suhu di atas 38,5 C. Terapi dietetik pada anak dengan demam tifoid tidak seketat penderita dewasa. Makanan bebas serat clan mudah dicerna dapat diberikan. Setelah demam turun, dapat diberikan makanan lebih padat dengan kalori yang adekuat. Pengobatan terhadap demam tifoid dengan antibiotik memerlukan acuan data adanya anga kejadian demam tifoid yang bersifat MDR. Pemberian kortikosteroid juga dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok.

Deksametason diberikan dengan dosis awai 3 mglkgbb, diikuti dengan 1 mg/kgbb setiap 6 jam selama 2 hari. Pencegahan terhadap demam tifoid dilakukan dengan memperbaiki sanitasi lingkungan dan perilaku sehari-hari, serta imunisasi secara aktif dengan vaksin terhadap demam tifoid. Beberapa jenis vaksin telah beredar di Indonesia saat ini. Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama Bila terdapat komplikasi harus diberikan terapi yang sesuai. Misalnya: pemberian cairan intravena untuk penderita dehidrasi clan asidosis. Pemberian antipiretik masih kontroversial, di satu pihak demam diperlukan untuk efektifitas respon imun clan pemantauan keberhasilan pengobatan, namun di pihak lain ketakutan akan terjadinya kejang clan kenyamanan anak terganggu, sering membutuhkan antipiretik. Dianjurkan pemberian bila suhu di atas 38,5'C. Pemberian kortikosteroid dianjurkan pada demam tifoid berat, misalnya bila ditemukan status kesadaran delir, stupor, koma, ataupun syok. Deksamethason diberikan dengan dosis awal 3 mg/kgBB, diikuti dengan 1 mgIkgBB setiap 6 jam selama 2 hari. Pencegahan 2,$ Secara umum, setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan clan minuman yang dikonsumsi. Kuman S.typhi akan mati apabila dipanasi dalam air setinggi 57'C untuk beberapa menit atau dangan proses iodinasil klorinasi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air, pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi, dan pendidikan kesehatan masyarakat. Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi. Vaksin yang digunakan adalah vakasin yang berasal dari kuman yang dimatikan atau diiemahkan. Vaksin yang terbuat dari S.typhi yang telah dimatikan ternyata tidak memberikan perlindungan yang baik, sedangkan yang dilemahkan dapat

memberikan perlindungan sebesar 87-95t / 36 bulan. Pemberian IM dengan dosis 0,5cc. Vaksin ini terutama diberikan pada daerah endemik tifoid. Prognosis ' Umumnya prognosis tifus abdominaiis pada anak baik asai penderita cepat datang berobat clan istirahat total. Prognosis menjadi buruk bila terdapat gejala klinis yang berat seperti: Hiperpireksia atau febris kontinua Kesadaran yang menurun sekali; sopor, koma, delirium. Keadaan gizi buruk (malnutrisi energi protein).

- Komplikasi berat; dehidrasi dan asidosis, peritonitis, bronkopneumonia.

DAFTAR PUSTAKA 1. Buku kuliah :Ilmu Kesehatan Anak : jilid 2: Balai Penerbit FKUI, Jakarta Cetakan 2002 : 593-598 2_ Behrman RE, dkk : Typhoid Fever. Nelson textbook of pediatrics, 14th edition: WB Saunders Co, 1992: 731-734 3. Juwono, Rachmat: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi Ketiga PAPDI FK UI , Jakarta :1996: 435-441 4. Harrison : Priciples of Internal Medicine, 16 th edition: McGraw-Hill : 2005897-902 5. Current : Medical Diagnosis & Treatment, forty-third edition: McGraw-Hill : 2004:1362-1363 6. Soedarmo_S , dkk : Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis : Edisi Pertama: Balai Penerbit FKUI, Jakarta: 2002 :36$-375 7. http flwww.medicastore.com 8. I?tta:flwww.who.int 9. http:iiwww.microbology-entericfever.htm 10. Soeiistyowati S, Sonarto Y. Soesilo H, Widiarto, Widatmodjo, Ismangun, 1982, Thyphoid Fever in Children. Paediatrica Indonesiana, 22 : 138146. 11 _ Soegijanto, Soegeng. Ilmu Penyakit Anak. Diagnosa dan Penatalaksanaan, Salemba Medika, 1-39. 12. Partini P. Tritanu dan Asti Proborini. Demam Tifoid. Pediatrics Update. Balai Penerbit FKUI. 2003. hal. 37-43 13. Staf dan PPDS Departemen IKA RSCM, Demam Tifoid. Panduan Peiayanan Medis Departemen Kesehatan Anak RSCM. Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM, 2005.

You might also like