You are on page 1of 25

BAB I PENDAHULUAN A.

LATAR BELAKANG Karsinoma Nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia, dimana KNF termasuk dalam lima besar tumor ganas, dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri, tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase rendah (Pahala,2009). KNF terjadi lebih sering pada pria dibandingkan pada wanita, dengan rasio pr ia-wanita 2-3:1. Beberapa penelitian telah menunjukka n bahwa prognosis lebih baik pada wanita dibandingkan pada pria, tetapi penelitian lain belum menunjukkan perbedaan ini. Usia rata-rata pada presentasi adalah 45-55 tahun. Pasien yang lebih muda tampaknya memiliki tingkat ketahanan hidup yang lebih baik daripada pasien yang lebih tua (Nasional Cancer Institute, 2009). Secara global, pada tahun 2000 terdapat lebih kurang 65.000 kasus baru dan 38.000 kematian yang disebabkan penyakit ini. Di beberapa negara insidens kanker ini hanya 0,6 % dari semua keganasan. Di Amerika insiden KNF 1-2 kasus per 100.000 laki-laki dan 0,4 kasus per 100.000 perempuan. Namun di negara lain dan kelompok etnik tertentu, seperti di Cina, Asia Tenggara, Afrika Utara, tumor ganas ini banyak ditemukan (Chan, et all, 2004; Titcomb, 2001). Indonesia termasuk salah satu negara dengan prevalensi penderita KNF yang termasuk tinggi.7 Data registrasi kanker di Indonesia berdasarkan histopatologi tahun 2003 menunjukan bahwa KNF menempati urutan pertama dari semua tumor ganas primer pada laki laki dan urutan ke 8 pada perempuan (Badan Registrasi Kanker Ikatan Ahli Patologi Indonesia, 2003). KNF tidak umum terjadi di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini adalah kurang dari 1 dalam 100.000. Namun, KNF cukup unik di beberapa daerah geografis, yaitu Cina Selatan, orang Eskimo, dan orang-orang di negara- negara Asia Tenggara lainnya. Kanker nasofaring merupakan penyakit yang relative umum dalam populasi asal Cina Selatan di antara migrant (Nasional Cancer Institute, 2009).

Dalam sebagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF adalah sebanyak 15-30 per 100.000. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan Guangzhou, terdapat 10-150 kasus Cina Selatan Insidens per 100.000 orang per tahun. Insiden yang hidup di negara-negara ini lain tetap tinggi untuk keturunan (Fuda dengan Cancer kebiasaan Hospital makan,

Guangzhou, 2002 dan Nasional Cancer Institute, 2009). KNF yang tinggi dihubungkan lingkungan dan virus Epstein-Barr . Selain itu faktor geografis, rasial, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi kuman atau parasit juga sangat mempengaruhi kemungkinan timbulnya tumor ini. Keadaan sosial ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup juga menjadi salah satu faktor. Dikatakan bahwa udara yang penuh asap di rumah-rumah yang kurang baik ventilasinya di Cina, Indonesia dan Kenya, meningkatkan jumlah kasus KNF. Selain itu terdapat riwayat sering kontak dengan zat yang dianggap bersifat karsinogen seperti Benzopyrene, Benzoathracene (sejenis Hidrokarbon dalam arang batubara), gas kimia, asap industri, asap kayu dan beberapa ekstrak tumbuhan- tumbuhan (Nasir, 2009). Ras juga berperan pada timbulnya KNF. Ras kulit putih jarang terkena penyakit ini. Di Asia yang terbanyak adalah bangsa Cina, baik di negara asalnya maupun yang diperantauan. Ras melayu yaitu Malaysia dan Indonesia termasuk yang agak banyak terkena. Adanya peradangan didaerah nasofaring menyebabkan, mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen lingkungan (Nasir,2009). Diagnosa dini sangat menentukan prognosis penderita. Hal ini sukar dicapai karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting di dalam tengkorak maupun leher. Diagnosis dini yaitu menemukan kasus KNF pada stadium I dan II,dimana belum terjadi metastase regional. Keadaan ini sangat sulit dicapai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Dari beberapa penelitian di Indonesia dan di luar negeri, Kasus ini hanya ditemukan antara 3,8%-13,9% dibandigkan dengan khasus lanjut stadium III dan IV seitar 88,1%-96,2% (Kris,2009). Database 2007-2008 di Malaysia pada kasus baru KNF dijumpai 47 % stadium IV, 28 % stadium III, 21 % stadium II, dan hanya 4 % stadium I. (Pua et al, 2008). Di RSUP HAM periode Desember 2006 sampai September 2007 dari 24 penderita KNF

dijumpai 41,1 % stadium III, stadium IV sebanyak 29,1 %, dan hanya 4,2 % dan 25 % dengan stadium I dan II (Zahara,2007). Radioterapi tetap merupakan modalitas terapi primer terhadap KNF. Penderita dengan stadium I dan II mempunyai angka kesembuhan tinggi dengan pemberian radioterapi saja, dimana prognosis bagi penderita dengan metastase jauh masih buruk. Bagi penderita dengan stadium III dan IV peran pembedahan terbatas dan pemberian radioterapi yang dikombinasian dengan kemoterapi telah menjadi standar terapi (Farhat,2009). Berdasarkan paparan di atas diketahui bahwa penderita KNF cukup tinggi di Indonesia. Oleh karenanya, penulis ingin mengangkat kasus KNF sebagai bahan seminar praktik profesi keperawatan medikal bedah di ruang cendrawasih 2 RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

B. Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah yang ada adalah : 1. 2. 3. Apa defenisi, patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, penatalaksanaan medis dan pemeriksaan diagnostik serta laboratorium Karsinoma Nasofaring? Apa saja diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada penderita Karsinoma Nasofaring Bagaimana rencana asuhan keperawatan dan intervensi yang tepat pada penderita Karsinoma Nasofaring? C. Tujuan 1. Tujuan Umum Mampu menerapkan asuhan keperawatan pada klien dengan karsinoma nasofaring di ruang Cendrawasih II RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui pengertian, patofisiologi, etiologi, manifestasi klinis, serta penatalaksanaan medis dan pemeriksaan diagnostik dan laboratorium Karsinoma Nasofaring.

b. c. d.

Mampu melakukan pangkajian pada klien Tn. M dengan Karsinoma Nasofaring di ruang Cendrawasih II RSUD Arifin Achmad Pekanbaru. Mampu menegakkan diagnosa keperawatan sesuai permasalahan yang ada. Mampu menyusun rencana tindakan keperawatan sesuai prioritas masalah keperawatan yang ada pada Tn. M di ruang Cendrawasih II RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

e. f.

Mampu melaksanakan rencana tindakan yang telah disusun dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan klien saat ini. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan kepada klien.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan prediksi difosa Rosenmuller dan atap nasofaring. Letaknya kadang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital sehingga diagnosa dini sulit untuk ditegakkan (Roezin, dan Adam,2007). Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring dengan predileksi di fossa Rossenmuller dan atap nasofaring. Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di Indonesia. (Efiaty & Nurbaiti, 2001). B. Etiologi Karsinoma nasofaring disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar dan asap dupa (kemenyan). Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring. Selain itu terbukti juga infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring (Nasution,2007). 1. Infeksi Virus Epstein-barr Menurut Brennan (2006) hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein- protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host Infeksi Virus Epstein Barr Metode imunologi membuktikan virus EB membawa antigen yang spesifik seperti antigen kapsid virus (VCA), antigen membran (MA), antigen dini (EA), antigen nuklir (EBNA), dll 2. Konsumsi ikan asin Beberapa peneliti epidemologi dan laboratorium menghubungkan ikan yang diasinkan yang merupakan makanan kegemaraan penduduk cina selatan

kemungkinan sebagai salah satu faktor yang menyebabkan KNF. Hal ini didasari atas insiden KNF yang tinggi pada masyarakat nelayan di hongkong yang makanannya banyak mengkonsumsi ikan yang diasinkan dan sedikit mengandung sayur dan buah. Kebiasaan memakan makan yang di asinkan juga di temukan pada penduduk keturunan cina yang bermigrasi ke Negara lain seperti ke Malaysia timur dan Negara asia tenggara. Penelitian lain sebelumnya di cina juga mendapatkan bahwa penduduk yang mulai mengkonsumsi ikan asin setelah masa diasapi mempunyai resiko terjadi KNF yang lebih tinggi. Tan tjin joe mengirim 12 jenis ikan asin yang berbeda dari Sumatra utara dan dianalisa oleh prof.HO di hongkong, ternyata ke 12 ikan tersebut dijumpai nitrosamine (Brennan,2006). Selain ikan asin, uap nitrosamin tingkat tinggi juga ditemukan pada berbagai makan yang di awetkan di china, Greenland dimana bahan makan tersebut mengandung precursor nitrosamine yang tinggi setelah di cerna di lambung. 3. Faktor genetik Berdasarkan fakta-fakta yang ada terdapat perbedaan frekuensi yang nyata diantara beberapa kelompok etnik, yaitu adanya peningkatan risiko pada keluarga penderita KNF. Dan masih tingginya imigran Cina yang terkena KNF di daerah yang insiden KNF nya sangat rendah. Penelitian pertama tentang adanya kelainan genetik ras Cina yang dihubungkan dengan kejadian KNF adalah penelitian tentang Human Leucocyte Antigen (HLA). Pada etnik Cina, KNF dihubungkan dengan ditemukannya HLA tipe A2 dan Bw46 (Cottrill dan Nutting, 2003). Penelitian di Medan menemukan gen yang potensial sebagai penyebab kerentanan timbulnya KNF pada suku Batak adalah gen HLA-DRB1*08 (Munir D, 2007). 4. Lingkungan dan kebiasaan hidup Faktor lingkungan lain yang mempunyai risiko terhadap KNF adalah merokok, terpapar bahan dari industri seperti formaldehid, asap kayu bakar, asap dupa, tetapi hubungan yang jelas antara zat-zat tersebut dengan KNF belum dapatdijelaskan. Penelitian matching case control di Semarang dilaporkan paparan formaldehid berbentuk uap dan asap yang terhirup berpeluang terbesar terhadap terjadinya KNF (Nolodewo A, Yuslam, dan Muyassaroh, 2007).

Perokok berat berisiko 2-4 kali dibanding yang tidak merokok. Konsumsi alkohol yang tinggi tidak menunjukkan risiko pada masyarakat Cina, walaupun di Amerika Serikat menunjukkan adanya hubungan (Yi, dan Jhen,2009). 5. Radang Kronis Beberapa peneliti lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara adanya infeksi kronis di hidung seperti rhinitis, sinusitis, atau polip nasi dan infeksi kronis di telinga tengah dengan timbulnya KNF. Adanya peradangan menahun di nasofaring maka mukosa nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab KNF (Zahara,2007). C. Manifestasi Klinis Dikarenakan kaya akan suplai limfatik dan area yang sulit diperiksa, maka metastasis servikal sering dijumpai pada tampilan awal. Seperti keganasan kepala dan leher lainnya, tidak ada hubungan antara ukuran tumor primer dengan kelenjar limfe servikal. Tanda dan gejala awal KNF tidak khas dan tidak spesifik, dan nasofaring merupakan area yang sulit untuk diperiksa. Sehingga KNF sering didiagnosa saat stadium lanjut dibandingkan keganasan kepala leher lainnya. Penderita KNF sering mengalami satu atau lebih dari 4 kelompok gejala yaitu gejala hidung, telinga, keterlibatan saraf kranial, dan pembesaran kelenjar limfe leher. 1. Gejala Hidung a. Epistaksis Gejala ini timbul akibat permukaan tumor rapuh sehingga iritasi ringan dapat terjadi perdarahan. b. Hidung sumbat Gejala ini akibat pertumbuhan massa tumor yang menutup koana, infiltrasi tumor dapat terjadi ke mukosa kavum nasi, dan massa tumor dapat menonjol kedalam kavum nasi (Asroel,2002). 2. Gejala Telinga Gejala ini disebabkan perluasan tumor ke latero-posterior sampai ruang para nasofaringeal sehingga terjadi gangguan pada fungsi tuba Eustachius. a. Gangguan pendengaran 1) Tinnitus Sering dijumpai pada penderita KNF, dapat sangat mengganggu dan sulit

diobati. Gejala ini juga disebabkan akibat gangguan fungsi tuba (Juli,2011). 2) Nyeri telinga / Otalgia Bila dijumpai gejala otalgia, maka tumor sudah menginfiltrasi daerah parafaring dan mendestruksi basis kranii. Nyeri yang hebat pada telinga dapat juga terjadi akibat infiltrasi tumor pada glossofaringeus (Juli,2011).. 3) Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani Disfungsi tuba Eustachius dari infiltrasi ke m.levator veli palatini menyebabkan terjadi otitis media serosa pada 40 % penderita (Juli,2011). 3. Gejala Neurologis a. Sindroma Petrosfenoidal Akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii medial sehingga mengenai saraf kranial anterior berturut- turut yaitu saraf VI, III, IV, sedangkan saraf II paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V. Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan VI menyebabkan keluhan diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya unilateral. Apabila semua saraf grup anterior (n. II n. VI) terkena, maka akan timbul gejala: neuralgia trigeminal unilateral, oftalmoplegi unilateral, serta gejala nyeri kepala hebat yang timbul akibat penekanan tumor pada duramater. b. Sindroma Parafaring Gejala ini timbul akibat gangguan saraf kranial grup posterior (n. IX, X, XI dan XII) karena penjalaran retroparotidean dimana tumor tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen jugularis dan kanalis nervus hipoglosus. Manifestasi kelumpuhan ialah : nervus IX : kesulitan menelan karena hemiparese.konstriktor faringeus superior, nervus X : gangguan motorik berupa afoni, disfoni, disfagia dan spasme esofagus. Gangguan sensorik berupa nyeri daerah laring dan faring, dyspnoe dan hipersalivasi. nervus XI: kelumpuhan atau atrofi m. trapezius, sternokleidomastoideus serta hemiparese palatum molle, nervus XII : hemiparese dan atrofi sebelah lidah, nervus VII dan

nervus VIII jarang terkena KNF karena letaknya agak tinggi (Munir,2007). c. Limfadenopati servikal Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi dengan dokter, sebagian besar penderita datang dengan pembesaran kelenjar leher baik unilateral atau bilateral. Pembesaran kelenjar leher ini merupakan penyebaran terdekat secara limfogen dari KNF. Pembesaran kelenjar yang agak khas akibat metastasis adalah lokasi pada ujung prosesus mastoideus di belakang angulus mandibula yaitu kelenjar jugulodigastrik dan kelenjar servikal posterior (atas dan tengah), kemudian diikuti kelenjar servikal tengah. Penelitian di Hongkong mendapatkan sebagian besar penderita KNF (74.5%) datang berobat dengan keluhan benjolan di leher, dan paling banyak bilateral sebesar 50% (Lee et al, 1997), sedangkan di Taiwan mendapatkan 64 dari 83 penderita KNF dengan pembesaran kelenjar leher (Liu et al,2003). Dari enam sentra di Malaysia keluhan utama adalah bengkak di leher (42%), hidung sumbat (30%), keluhan telinga (11%), sakit kepala (5%), saraf kranial (6 %), dll (6%). Tumor biasa teraba keras, tidak nyeri, dapat terfiksir atau mudah digerakkan (Siregar,2010). 4. Gejala Metastasis Jauh Metastasis jauh dari KNF dapat secara limfogen atau hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru, ginjal dan limpa. Metastasis jauh dari KNF terutama ditemukan di tulang, paru-paru, hepar dan kelenjar getah bening supraklavikular. Metastasis sejauh ini menunjukkan prognosa yang sangat buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis ditegakkan (Siregar,2010). D. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan ini bertujuan untuk memperkuat kecurigaan adanya tumor di daerah nasofaring, menentukan lokasi tumor yang dapat membantu dalam melakukan biopsi yang tepat dan menentukan luas penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya. (Chan,Teo, dan Johnson,2002). 2. Foto polos nasofaring dan dasar tengkorak

Pemeriksaan ini dapat memperlihatkan bayangan jaringan lunak(soft tissue) di daerah nasofaring terutama pada tumor yang tumbuh secara eksofitik atau adanya destruksi dasar tengkorakatau os vertebra servikal. 3. CT scan nasofaring Pada KNF yang tumbuh endofitik/submukosa dapat dideteksi dengan CT scan. Pemeriksaan ini dapat juga mengetahui penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya yang belum terlalu luas, dan juga dapat mendeteksi erosi basis krani dan penjalaran perineural melalui foramen ovale sebagai jalur utama perluasan ke intrakranial. CT scan dilakukan tanpa zat kontras atau bila diperlukan dapat digunakan zat kontras bila terdapat kesulitan dalam menentukan batas tumor atau untuk menilai kelenjar limfe dan pembuluh darah. Selain itu, dapat pula menilai kekambuhan tumor setelah pengobatam, adanya metastasis, dan juga akibat komplikasi paska radioterapi seperti nekrosis lobus temporal dan atrofi kelenjar hipofise. 4. Magnetic Resonance Imaging(MRI) Lebih nasofaring retrofaring baik superfisial dan dari atau CT dalam dalam memperlihatkan menilai jaringan lunak kelenjar dan untuk membedakan tumor dengan metastase

jaringan lunak. MRI juga lebih sensitif untuk kelenjar leher

dalam. Akan tetapi MRI kemampuannya

terbatas dalam detail tulang dan CT harus dilakukan bila status dasar tengkorak tidak dapat ditentukan dengan jelas oleh MRI. 5. Positron Emission Tomography (PET) PET merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk menilai adanya tumor residual atau rekuren pada KNF (Chan,Teo,dan Johnson,2002). 6. Pemeriksaan Patologi Anatomi a. Sitologi Sediaan sitologi eksfoliatif dari nasofaring didapat dengan beberapa cara seperti melalui kerokan (scrapping), sikatan (brushing), usapan (swab) atau dengan menggunakan alat khusus yang dihubungkan dengan penghisap. Akan tetapi pemeriksaan ini hasilnya sehingga pemeriksaan sitologi mendiagnosis KNF. b. Histopatologi sering meragukan, ini belum dapat diterima untuk

Biopsi nasofaring mutlak dilakukan, tujuannya untuk konfirmasi dalam menentukan subtipe histopatologi.

7. Biopsi Nasofaring Biopsi dilakukan melalui tuntunan nasofaringoskopi kaku. Forseps biopsi harus selalu dimasukkan seiring dengan endoskopi agar dapat melakukan biopsi tumor dengan p\andangan langsung. 8. Pemeriksaan Imunohistokimia Merupakan teknik deteksi antigen dalam jaringan yang melibatkan deteksi substansi kimia spesifik dalam jaringan dengan menggunakan derivat antibodi terhadap untuk substans. identifikasi Antibodi lokasi digunakan terhadap potongan jaringan dan digunakan dibiarkan berikatan dengan antigen yang sesuai. Sistem deteksi antibodi

menggunakan penanda molekuler yang

dapat dilihat. Deteksi antibodi ini dihubungkan dengan molekul petanda seperti zat fluororesens atau suatu enzim yang mengkatalis reaksi lebih lanjut membentuk produk berwarna yang dapat dilihat. 9. Pemeriksaan Serologi Adanya dugaan kuat virus Epstein Barr sebagai salah satu faktor yang berperan dalam timbulnya KNF menjadi dasar dari pemeriksaan serologi ini. Antibodi terhadap VEB baik Ig G dan Ig A penderita KNF meningkat sampai 810 kali lebih tinggi dibandingkan penderita tumor lain atau orang yang sehat. Titer imunoglobulin A (Ig A) terhadap virus Epstein Barr spesifik untuk kapsul virus (viral capsid antigen/VCA) dan antigen awal (early antigen/EA) tetapi tingkat spesifisitasnya kurang terutama pada titer yang rendah, sedangkan IgA VEB anti EA sangat spesifik untuk KNF tetapi kurang sensitif, dan titernya akan menurun mendekati normal pada KNF stadium lanjut. Titer yang tinggi dapat merupakan indikator KNF. Pemeriksaan ini juga berguna untuk tindak lanjut penderita paska pengobatan untuk mengetahui kemungkinan residif. 10. Polimerase Chain Reaction (PCR) Digunakan untuk menyalin rantai DNA spesifik dalam jumlah besar, sehingga dapat menunjukkan ada atau tidaknya sebuah gen, mendeteksi adanya

mutasi, amplifikasi, rekayasa genetika, dan untuk mendeteksi DNA virus atau bakteri. 11. Histopatologi KNF merupakan kanker sel skuamus yang berasal dari epitel yang melapisi nasofaring. Menurut WHO KNF diklasifikasikan dalam 3 tipe yaitu: Tipe 1.karsinoma sel skuamosa berkeratin,ditandai dengan: a. Adanya bentuk kromatin di dalam mutiara skuamosa atau sebagian sel mengalami keratinisasi (diskratosis). b. Adanya stratifikasi dari sel, terutama pada sel yng terletak di permukaan atau suatu rongga kistik. c. Adanya jembatan intersel (intercellular bridges). Jembatan intersel ini mungkin disebabkan arena sel mengalami pegerutan akibat dehidrasi pada waktu membuat sediaan. Tipe 2.karsinoma sel skuamosa tidak berkeratin, ditandai dengan : a. Masing-masing sel tumor mempunyai batas yang jelas dan terlihat tersusun tertur/berjajar. b. Sering terlihat bentuk plekiform yang mungkin terihat sebagai sel tumor yang jernih atau terang yang disebabkan adanya glikogen dalam sitoplasma sel. c. Tidak terdapat musin atau diferensiasi dari kelenjar. Tipe 3 karsinoma tidak berdifrensiasi,ditandai dengan: a. Susunan sel tumor berbentuk sinsitial. b. Batas sel atu dengan yang lain suit dibedakan. c. Sel tumor berbentuk spindle dan beberapa sel mempunyai inti yang hiperkromatik dan sel ini sering bersifat dominan. d. Sel tumor tidak memproduksi musin. (Hidayat, 2008). Tipe 2 dan 3 biasanya lebih radiosensitive dan memiliki hubungan yang kuat dengan VEB (Pahala, 2009). E. Penatalaksanaan Terapi standar KNF adalah radioterapi. Keuntungan dengan memberikan radioterapi sebagai regimen tunggal pada kanker stadium I dan II akan memberikan harapan hidup 5 tahun 90-95%, namun kendala yang dihadapi adalah sebagian besar penderita datang dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), bahkan sebagian datang dengan keadaan yang sudah jelek. Disamping itu KNF dikenal

sebagai tumor ganas yang berpotensi tinggi untuk mengadakan metastase regional maupun jauh. Keberhasilan terapi sangat dipengaruhi oleh stadium.

Keterlambatan untuk mendapatkan penanganan yang adekuat menyebabkan hasil terapi jauh dari menggembirakan. 1. Radioterapi Radioterapi sebagai terapi standar KNF sudah dimulai sejak lama (sekitar tahun 1930-an). Hasil radioterapi untuk KNF stadium dini cukup baik dengan complete response sekitar 80-100%. Respon tumor terhadap radioterapi secara keseluruhan sebesar 25-65%. Kegagalan radioterapi konvensional dalam memberantas sel kanker di nasofaring maupun anak sebarnya di kelenjar getah bening leher mencapai angka 40-80%. Selain itu, paska radioterapi cukup sering dijumpai metastase jauh dan komplikasi akibat lokasi tumor yang dekat dengan organ-organ dengan dosis radiasi terbatas seperti batang otak, medulla spinalis, aksis hipofise- hipotalamus, lobus temporalis, mata, telinga tengah dan telinga dalam, dan kelenjar parotis. Brachytherapy (Radiasi Internal) Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pada regio nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasinya adalah sebagai booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh. Seiring dengan kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi akhirakhir ini dan didukung oleh hasil penelitian dari para ahli,sekarang telah ditemukan beberapa cara meningkatkan kontrol tumor pada pasien KNF (Nasution,2008). a. Radioterapi konvensional (2 DRT) dengan teknik fraksinasi yang dipercepat. b. Peningkatan dosis,misalnya dengan stereotactic radiotherapy, intracavitary brachytherapy. c. Three-dimensional radiation therapy (3 DRT),IMRT (Intensity Modulated Radiation Therapy). d. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi. e. Pembedahan pada tumor yang rekuren. f. Radiasi interna

Radiasi interna pada karsinoma nasofaring bertujuan untuk memberikan dosis tinggi pda region nasofaring dan bukan untuk kelenjar. Indikasi adalah sebagai booster bila masih ditemukan residu dan sebagai pengobatan kasus kambuh ( Nasution, 2008). 2. Kemoterapi Alternatif lain untuk mengobati penderita karsinoma sel skuamosa kepala dan leher yang secara lokal berstadium lanjut adalah kemoterapi induksi diikuti dengan kemoradioterapi sebagai terapi radikal, terutama pada penderita dengan respon yang baik terhadap kemoterapi induksi. Kombinasi kemoterapi dan radioterapi telah diterima oleh kebanyakan ahli onkologi sebagai terapi standar terapi KNF stadium lanjut. Indikasi pemberian kemoterapi adalah untuk KNF dengan penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastase jauh, dan kasus-kasus residif. Dari banyak laporan penelitian, ternyata kemoradioterapi konkuren merupakan yang paling efektif dalam penanganan KNF. Dibandingkan dengan kemoterapi induksi yang diikuti dengan radioterapi, kemoradioterapi konkomitan lebih disukai. Menurut Agulnik dan Siu (2005), dosis obat kemoterapi yang paling optimal hanya dapat dicapai dengan kemoterapi neoadjuvan. (Munir,2007). 3. Imunoterapi Imunoterapi dilakukan dengan memberikan vaksin anti virus EpsteinBarr pada populasi yang rentan sebelum terinfeksi virus Epstein-Barr untuk mencegah terjadinya KNF. 4. Pembedahan a. Diseksi leher radikal Hal ini dilakukan jika masih ada sisa kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar, dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih. Adanya fibrosis dan reaksi jaringan paska radiasi sering menjadi sulit untuk memperkirakan perluasan penyakit pada kelenjar limfe servikal baik secara klinis maupun radiologi (Munir,2007). b. Nasofaringektomi Ketika tumor di nasofaring yang menetap atau berulang meluas ke dalam rongga paranasofaringeal, atau terlalu besar untuk radiasi interna, maka pilihan

selanjutnya adalah operasi. Nasofaringektomi efektif dalam eradikasi penyakitpenyakit terlokalisir. Berbagai pendekatan pernah digunakan untuk mencapai nasofaring. Posisi otak dan korda vertebralis membuat pendekatan secara posterior dan superior menjadi tidak dapat dilakukan. Pendekatan- pendekatan anterior seperti ini, meskipun mengikutsertakan pematahan palatum durum hanya dapat memperlihatkan dinding posterior nasofaring sedangkan dinding lateral tidak terlihat. Nasofaring dapat dicapai secara inferior dengan teknik transpalatal, transmaksila, dan transservikal. Pendekatan-pendekatan ini berguna untuk tumor-tumor yang terletak di tengah dan dinding posterior nasofaring. Secara umum selama tumor menetap atau berulang dapat direseksi dengan batas yang jelas, maka hasilnya cukup memuaskan (Munir,2007).

2.6

Stadium Dibeberapa daerah non-endemik menggunakan sistem stadium TNM

berdasarkan AJCC/UICC (American Joint Committee on Cancer/ International Union Against Cancer). Cara penentuan stadium KNF menurut AJCC/UICC edisi ke-7 tahun 2002, yaitu (Roezin,2007):

2.6.1

Tumor primer (T) Tx : tumor primer tidak dapat ditemukan To : tidak ada bukti tumor primer Tis : karsinoma in situ

2.6.2 Nasofaring T1 : tumor terbatas di

nasofaring

T2 : tumor meluas ke jaringan lunak orofaring dan/atau kavum nasi T2a : tanpa perluasan ke

parafaring T2b : dengan perluasan ke

parafaring

T3 : tumor menginvasi ke struktur tulang dan/atau sinus paranasal T4 : tumor dengan ekstensi intrakranial dan/atau keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, atau orbita, atau ruang mastikator 2.6.3 Kelenjar limfe regional (N) Nx : pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat ditemukan N0 : tidak dijumpai metastasis kelenjar limfe regional N1 : metastasis kelenjar limfe unilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular N2 : metastasis kelenjar limfe bilateral, ukuran 6 cm, terletak di atas fossa supraklavikular N3 : metastasis kelenjar limfe N3a : ukuran > 6 cm N3b : meluas ke fossa supraklavikular

2.6.4

Metastasis Jauh (M) Mx : metastasis jauh tidak dapat ditemukan

Mo : tidak dijumpai metastasis jauh M1 : dijumpai metastasis jauh

Table 2.6 insidensi kanker nasofaring berdasarkan stadium Stadium KNF Stadium M I II A II B III IV A IV B IV C T 1 T N

T 2a

T 1-2a

T 1-2b

T 3

4 semua T semua T No No N 1 N 2 Mo N 0 Mo N Mo Mo Mo Mo

0-2 N 3 Semua N

Mo

M 1

Database 2007-2008 di Malaysia pada kasus baru KNF dijumpai 47 % stadium IV, 28 % stadium III, 21 % stadium II, dan hanya 4 % stadium I. (Pua et al, 2008). Di RSUP HAM periode Desember 2006 sampai September 2007 dari 24 penderita KNF dijumpai 41,1 % stadium III, stadium IV sebanyak 29,1 %, dan hanya 4,2 % dan 25 % dengan stadium I dan II (Zahara, 2007). 2.7 Diagnosis Banding a. Angifibroma Juvenile, merupakan tumor yang terdiri dari 2 macam jaringan, yaitu jaringan vaskular dan jaringan fibrosa. Pada pemeriksaan radiologis dengan menggunakan foto polos didapatkan gambaran massa jaringan lunak di nasofaring ataupun dapat digunakan pemeriksaan yang lebih sensitif seperti CT Scan, MRI, dan angiografi. b. Limfoma, terlihat licin, eksofitik, sub mucosal, non ulseratif. Limfoma yang terjadi di nasofaring biasanya dapat terdeteksi lebih cepat daripada di daerah lain, karena akibat dari oklusi tuba Eustachius menyebabkan munculnya penyakit otitis media serosa. c. Kordoma, biasanya memiliki komponen intrakranial terutama mengisi sphenoid, mengandung kalsifikasi ireguler dan dapat melibatkan jaringan retrofaringeal. d. Rhabdomyosarkoma, yang biasanya terjadi pada anak-anak dan invasi dasar tengkorak ditemukan pada 1/3 penderita dan biasanya melibatkan sinus kavernosus.

2.9 Follow-Up Tidak seperti keganasaan kepala leher yang lainnya,knf mempunyai resiko terjadinya rekurensi dan follow-up jangka panjang diperlukan.

Kekambuhan tersering terjai kuran dari 5 tahun,5-15% kekambuhan seringkali terjadi antar 5-10 tahun. Sehingga pasien KNF perlu di follow-up setidaknya 10 tahun setelah terapi (Roezin, dan Adam,2007).

REFERENSI Asroel, H.A. (2002). Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring. Diakses tanggal 10 september 2013 dari http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary2.pdf. Badan Registrasi Kanker Ikatan Ahli Patologi Indonesia. Yayasan Kanker Indonesia. Data histopatologik kanker di Indonesia tahun 2003. Direktorat Jenderal Pelayan Medik Dep Kes RI. Brennan, B. (2006). Review: Nasopharyngeal Carcinoma. Orphanet Journal Diseases; 1:23: 1-5. Chan J.K.C, Bray F, McCarron P, Foo W. et al. Nasopharyngeal carcinoma. In: Barnes L, Eveson JW, Reichart P, Sidrasky D editors. WHO classification of tumours: Pathology and genetics head and neck tumours. Lyon: IARCPress, 2005; p. 85-97. Chan, A..TC.,Teo, P.M.L., and Johnson, P.J. (2002). Nasopharyngeal Carcinoma. Annals of Oncology. Diakses tanggal 9 september 2013 dari http://www.entjournal.com /Media/PublicationsArticle/JEYAKUMAR-03_06.pdf. Efiaty, A.S., & Nurbaiti,I. (2001). Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Farhat. (2009). Dapertemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Bedah kepala Leher di RSUP H.Adam Malik. Majalah Kedokteran Nusantara. Diakses tanggal 9 september 2013 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/ 18354/1/mkn-mar2009-42%20%284%29.pdf. of Rare

Juli, A.S. (2011). Hubungan Ekspresi Latent Membrane Protein 1 Dengan Berbagai Stadium Tumor Dan Jenis Histopatologi Pada Karsinoma Nasofaring. Diakses tanggal 9 september 2013 dari http://repository.usu.ac.id/ handle/123456789/21920 [Accessed 31 may 2012]. Kris. (2009). Kanker Nasofaring: kanker no 1 dibidang THT. Diakses tanggal 9 september 2013 dari http://thtkl.wordpress.com/2009/05/07/kanker-nasofaringkanker-no-1-di- bidang-tht/. Munir, D. (2007). Asosiasi Antara Alel Gen HLA DRB-DRB1 dan HLA-DQB1 dengan Kerentanan Timbulnya Karsinoma Nasofaring pada Suku Batak. Medan: FK-USU Nasution, II., (2008). Hubungan merokok dengan karsinoma nasofaring. Diakses tanggal 9 september 2013 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/6425/1/09E00716.pdf. National Cancer Institute. (2009). Nasopharyngeal Cancer Treatment.U.S.A:National Cancer ssional/page9. Pahala, H.M. (2009). Expresi Vascular Endothelial Growth Factor Pada Karsinoma Nasofaring. Diakses tanggal 9 september 2013 dari http://repository.usu.ac. id/handle/123456789/6425. Roezin, A., and Adam, M., (2007).Karsinoma nasofaring. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala & LeherEdisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Siregar, S.M. (2010). Hubungan EBNA-1 pada KNF di RSUP H.Adam Malik Medan. FK USU. Institute. Diakses tanggal 9 september 2013 dari http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/nasopharyngeal/HealthProfe

Yi, S.L., Jhen, C.L. (2009). Carcinoma in the Pharynx: Nasopharynx, Oropharynx and Hypopharynx. J. Chinese Oncol. Soc, (25): 102-13. Zahara, D. (2007). Ekspresi Epidermal Growth Factor Receptor pada Karsinoma Nasofaring. Diakses tanggal 9 september 2013 dari http://repository.usu.ac.id/ handle/123456789/6425.

You might also like