You are on page 1of 101

SKRIPSI

PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KITOSAN DENGAN PENAMBAHAN ASAM LEMAK DAN ESENSIAL OIL: UPAYA PERBAIKAN SIFAT BARRIER DAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA

Oleh : BETI CAHYANING ASTUTI F24103025

2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KITOSAN DENGAN PENAMBAHAN ASAM LEMAK DAN ESENSIAL OIL: UPAYA PERBAIKAN SIFAT BARRIER DAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : BETI CAHYANING ASTUTI F24103025

2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Beti Cahyaning Astuti. F24103025. Pengembangan Edible Film Kitosan dengan Penambahan Asam Lemak dan Esensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan Aktivitas Antimikroba. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA. RINGKASAN Edible film dapat mencegah penurunan mutu produk dengan cara bertindak sebagai barrier untuk mengendalikan transfer uap air, pengambilan oksigen, kehilangan komponen volatil dan terlarut atau transfer lipid. Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat mekanik yang kuat dan sulit dirobek. Selain itu, film dari kitosan mempunyai nilai permeabilitas gas yang cukup rendah dan bisa diaplikasikan untuk meningkatkan umur simpan produk segar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik edible film kitosan yang diinkorporasi dengan asam lemak dan ekstrak kunyit untuk memperbaiki sifat barrier terhadap uap air, serta mengetahui pengaruhnya terhadap aktivitas antimikroba. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan sebagai bahan pengemas dan pengawet pada produk pangan. Penelitian ini dibagi dalam dua tahap yaitu tahap pendahuluan dan tahap utama. Tahap pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan ekstrak kunyit sebagai bahan antimikroba alami yang akan ditambahkan dan melakukan uji coba pembuatan edible film. Penelitian utama penelitian ini adalah pembuatan edible film dari kitosan dengan menggunakan dua pelarut yaitu asam asetat 1% dan asam laktat 2% teknis, penambahan asam lemak palmitat dan laurat, dan penambahan esensial oil ekstrak kunyit. Analisis karakteristik edible film kitosan dilakukan dengan pengukuran aw, kadar air, pH, warna, ketebalan, pengukuran kuat tarik dan persen pemanjangan, pengukuran laju transmisi oksigen metode manometer, pengukuran laju transmisi uap air metode gravimetri, dan pengamatan mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscopy (SEM). Pada penelitian ini dilakukan pula pengujian aktivitas antimikroba edible film kitosan dengan metode cakram. Penambahan asam lemak dan esensial oil pada edible film kitosan berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik, mekanik, dan perbaikan aktivitas antimikroba dari kitosan. Asam lemak yang ditambahkan yaitu asam lemak palmitat dan asam lemak laurat dengan konsentrasi 0%, 5 %, dan 10% (w/w kitosan). Penambahan asam lemak bertujuan memperbaiki sifat barrier terhadap uap air. Esensial oil yang ditambahkan adalah ekstrak kunyit dengan konsentrasi 0% dan 100 l/g kitosan. Hasil analisis pH berkisar 2.60 - 4.03, kadar air 26.37 - 32.48 %, aw berkisar 0.611 0.672, ketebalan berkisar antara 0.1 - 0.3 mm, kuat tarik berkisar 1.8 - 30 MPa, persen elongasi berkisar 32.22 - 693.33 %, nilai WVP berkisar 2 2 0.7692 1.7317 g.mm/m .hari.mmHg, nilai O2TR berkisar 0.4 - 4.8 cc/m /hari, dan warna edible film kitosan cenderung ke warna merah dan kuning gelap. Perbedaan pelarut mempengaruhi aw, pH, kadar air, tebal, kuat tarik, persen elongasi, WVP, dan aktivitas antimikroba. Edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai aw, kadar air, pH, dan tebal lebih besar dibandingkan dengan edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1%. Edible film kitosan dengan pelarut

asam asetat 1% mempunyai kuat tarik lebih besar dibandingkan dengan edible film kitosan dengan pelarut laktat 2%. Tetapi persen elongasi berbanding terbalik dengan kuat tarik. Penambahan asam lemak mempengaruhi pH, tebal, kuat tarik, persen elongasi, WVP, dan O2TR. Derajat keasaman edible film kitosan menurun dengan adanya penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat. Penambahan asam lemak meningkatkan tebal dari edible film kitosan. Penambahan asam lemak menurunkan kuat tarik dan pensen elongasi. Penambahan asam lemak menurunkan nilai permeabilitas edible film kitosan. Tetapi penambahan asam lemak terhadap nilai O2TR berbanding terbalik dengan nilai WVP. Pengamatan struktur permukaan dengan SEM edible film kitosan memperlihatkan adanya pori-pori bekas dari asam lemak yang terlarut dengan heksana. Pori-pori semakin kecil diameternya maka permeabilitas uap air edible film kitosan semakin bagus. Mikrostruktur edible film kitosan dengan penambahan asam lemak laurat memperlihatkan tidak terbentuknya globula-globula lemak yang dikhawatirkan asam lemak memisah. Penambahan esensial oil ekstrak kunyit memperkuat aktivitas antimikroba dari edible film kitosan. Diameter penghambatan edible film terbesar pada Bacillus cereus sebesar 13.595 mm.

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PENGEMBANGAN EDIBLE FILM KITOSAN DENGAN PENAMBAHAN ASAM LEMAK DAN ESENSIAL OIL: UPAYA PERBAIKAN SIFAT BARRIER DAN AKTIVITAS ANTIMIKROBA

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh: BETI CAHYANING ASTUTI F24103025 Dilahirkan pada tanggal 29 Agustus 1984 di Sragen Tanggal lulus : 21 Januari 2008 Menyetujui, Bogor, Januari 2008

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS Dosen Pembimbing I

Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA Dosen Pembimbing II

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sragen pada tanggal 29 Agustus 1984. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak dari pasangan Bapak Supardi dan Ibu Sri Rejeki. Dalam perjalanan hidupnya penulis mengawali pendidikan formalnya di TK Pertiwi II Sidodadi pada tahun 1989-1990, SD Negeri Sidodadi II pada tahun 1991-1997, SLTP Negeri 1 Kebakkramat pada tahun 1997-2000, SMU Negeri 5 Surakarta pada tahun 2000-2003, dan selanjutnya diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur USMI. Selama masa kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan. Penulis tergabung dalam keanggotaan HIMITEPA (Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan). Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan kegiatan di dalam kampus, diantaranya Seminar Pangan Halal Nasional (2004), Lomba Cepat Tepat Ilmu Pangan Nasional XIII (2005), dan BAUR Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fateta, IPB (2006) dan berbagai kegiatan intra kampus lainnya. Semasa kuliah penulis juga aktif dalam bidang akademik. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Teknologi Pengolahan Hasil Hortikultura, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Penulis adalah penerima beasiswa BBM (Bantuan Belajar Mahasiswa) (2005-2007). Sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, penulis melakukan penelitian dengan judul: Pengembangan Edible Film Kitosan dengan Penambahan Asam Lemak dan Esensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan Aktivitas Antimikroba. Di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA.

KATA PENGANTAR

Alhamdulillaahirobbil alamin, puji dan syukur atas rahmat dan karunia dari Allah SWT sehingga penulis bisa menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi yang berjudul Pengembangan Edible Film Kitosan dengan Penambahan Asam Lemak dan Esensial Oil: Upaya Perbaikan Sifat Barrier dan Aktivitas Antimikroba. Selama melakukan penelitian dan penyusunan skripsi, penulis banyak mendapat bimbingan, bantuan, dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS selaku dosen pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, nasehat, dan motivasi selama masa studi dan penyusunan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Nugraha Edhi Suyatma, DEA selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, nasehat dan motivasi dengan penuh kesabaran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. 3. Siti Nurjanah, S.TP. M.Si atas kesediaannya sebagai dosen penguji dan telah memberikan saran dan kritik untuk perbaikan skripsi ini. 4. Ibu dan Bapak yang selalu memberikan doa, kasih sayang, motivasi hidup, dan canda tawa buat penulis. 5. Dedek Nevy yang selalu membuat hari-hari semakin indah dengan canda tawa dan pertengkaran. 6. Seluruh dosen dan staf pengajar ITP yang telah memberikan ilmu dan bimbingan selama penulis kuliah. 7. Bu Rubiyah, Pak Gatot, Pak Rojak, Bu Antin, Mbak Sri, Teh Ida, Mas Edi, Pak Wahid, Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Yahya, Mbak Darsi, Pak Mul, dan seluruh laboran ITP yang banyak memberikan bantuan dan pengalaman selama penelitian. 8. Bapak-bapak di perpustakaan PAU, FATETA, dan LSI. Dan tidak lupa bapakbapak dan ibu-ibu di AJMP FATETA. Terima kasih atas layanan dan bantuannya selama penulis menyelesaikan skripsi.

9. Salam hangat buat Om, Tante, dan Saudara-saudara di Jakarta dan Bogor. Terima kasih atas motivasi, tumpangan menginap, dan canda tawa selama penulis kuliah. 10. Marto, Kak Hana, dan Mbak Erni atas kebersamaan dalam satu Tim Kitosan. 11. Tya dan Natalia, kalian adalah teman-teman yang memberi motivasi dan semangat buat penulis. 12. Tias, Marlin, Anin, dan Evi atas kebersamaan di IPB yang lebih mendekatkan kita semua. 13. Lilin, Mitoel, Yoga, Nchus, Ujo, Denny, Adie, Ados, Arie, Tathan, Danang RT, Eja, Arga, Sarwo, dan Gading dengan semua canda tawa, keceriaan, dan bantuan buat penulis. 14. Ratih, Maya, Tina, Hesty, Fitria, Primi, Enol, dan sahabat-sahabat SD, SMP, dan SMU yang selalu ada dalam ingatan penulis. 15. Mbak Miksusanti, Mbak Dorkas, Mbak Fenny, Mbak Chyntia, Mbak Lenny, Mbak Dian, dan Bang Ahyar atas bantuan dan canda tawa. 16. Penghuni Wisma Windhy : Angga, Dhia, Lina, Gading, Femi, Nooy, Sari, Jeng Krut, Ekus, Lasty, Maya, Vina, Lita, Primus, Ivon, Dewi, Ikong, Otong, Eneng, Annissa, Dang-dut, Maymoet, Rubi, dan Mbak Nur yang telah memberikan warna yang indah di hidup penulis. Dan tidak lupa buat Doni dengan segala bantuan dan canda tawa. 17. Teman-teman angkatan 40 : Mbak Asih, Oneth, Dhea, Gilang, Dani, Her her, Hayuning, Wayan, Fitri, Rika, Kanin, Ade, Abdy, Martin, Nunu, Step, Oboth, Tuti, Andal, Dion, serta teman-teman angkatan 38, 39, 41, 42, dan 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 18. Pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Saran dan masukan yang membangun sangat diharapkan untuk kesempurnaan penelitian ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam bidang industri pangan. Bogor, Januari 2008 Penulis

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................... DAFTAR ISI ......................................................................................... DAFTAR TABEL ................................................................................ DAFTAR GAMBAR ............................................................................ DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................ I. PENDAHULUAN............................................................................ A. LATAR BELAKANG ............................................................... B. TUJUAN .................................................................................... C. MANFAAT PENELITIAN......................................................... II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. A. KITOSAN .................................................................................. B. KITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE FILM ........................ C. PLASTICIZER ............................................................................. D. ASAM LEMAK .......................................................................... E. KUNYIT ..................................................................................... F. AKTIVITAS ANTIMIKROBA .................................................. G. KARAKTERISTIK MIKROBA PATOGEN ............................. III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................... A. BAHAN DAN ALAT ................................................................. B. METODE PENELITIAN .......................................................... 1. Penelitian Pendahuluan Ekstraksi Kunyit ............................. a. Persiapan Ekstraksi............................................................ b. Ekstraksi ............................................................................ 2. Penelitian Utama ................................................................... a. Pembuatan Edible Film dari Kitosan................................. b. Penentuan Karakteristik Edible Film Kitosan ................... 1. Pengukuran Nilai pH ................................................. 2. Pengukuran Aktivitas Air (aw) ................................. 3. Pengukuran Kadar Air Metode Oven........................ i iii v vi vii 1 1 3 3 4 4 10 14 14 15 17 19 21 21 21 21 21 21 22 22 25 25 25 25

Halaman 4. Pengukuran Warna dengan Chromameter ................ 5. Pengukuran Ketebalan .............................................. 6. Pengukuran Kuat Tarik dan Persen Pemanjangan .... 7. Laju Transmisi Oksigen Metode Manometer ........... 8. Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri............. 9. Pengamatan Mikrostuktur dengan SEM ................... c. Pengujian Aktivitas Antimikroba Edible Film .................. 1. Persiapan Kultur Uji.................................................. 2. Pengujian Aktivitas Antimikroba Metode Cakram ... d. Rancangan Percobaan ....................................................... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................... A. PENELITIAN PENDAHULUAN .............................................. B. KARAKTERISASI EDIBLE FILM ............................................ 1. Hasil Analisis pH .................................................................... 2. Hasil Analisis Nilai Kadar Air dan Aktivitas Air (aw) ............ 3. Hasil Analisis Warna............................................................... 4. Hasil Analisis Ketebalan ......................................................... 5. Hasil Analisis Kuat Tarik ........................................................ 6. Hasil Analisis Persen Pemanjangan ........................................ 7. Hasil Analisis Transmisi Uap Air ........................................... 8. Hasil Analisis Transmisi Oksigen ........................................... 9. Hasil Analisis SEM ................................................................. C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EDIBLE FILM KITOSAN....... V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... A. KESIMPULAN .......................................................................... B. SARAN ..................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... LAMPIRAN-LAMPIRAN .................................................................. 25 26 26 26 28 28 28 29 29 30 32 32 33 34 35 39 41 43 45 47 50 51 53 61 61 61 62 70

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Sifat dan mutu kitosan ............................................................. Tabel 2. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri .......... Tabel 3. Hasil pengukuran kadar air (% b.k)............................................................... Tabel 4. Hasil pengukuran aw ................................................................ Tabel 5. Hasil pengukuran ketebalan (mm) .......................................... 8 9 36 38 42

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Struktur kimia kitin dan kitosan .......................................... Gambar 2. Rumus struktur (a) asam asetat, (b) asam laktat ................. Gambar 3. Diagram alir proses ekstraksi .............................................. Gambar 4. Larutan edible film .............................................................. Gambar 5. Diagram alir pembuatan edible ........................................... Gambar 6. Diagram alir persiapan kultur uji ........................................ Gambar 7. Diagram alir metode cakram ............................................... Gambar 8. Edible film kitosan (a) pelarut asetat, (b) pelarut laktat ...... Gambar 9. Grafik nilai pH edible film kitosan ...................................... Gambar 10. Grafik analisis warna dengan chromameter (a) warna L, (b) warna a, (c) warna b ...................................................... Gambar 11. Grafik nilai kuat tarik edible film kitosan............................ Gambar 12. Grafik nilai persen pemanjangan......................................... Gambar 13. Grafik analisis WVP ........................................................... Gambar 14. Grafik analisis O2TR ........................................................... Gambar 15. Mikrostruktur edible film kitosan ........................................ Gambar 16. Zona penghambatan (a) Edible film kitosan, (b) Edible film kontrol pati sagu ........................................................... Gambar 17. Aktivitas penghambatan edible film terhadap Escherichia coli ....................................................................................... Gambar 18. Aktivitas penghambatan edible film terhadap Bacillus cereus .................................................................................. Gambar 19. Aktivitas penghambatan edible film terhadap Salmonella typhimurium ........................................................................ Gambar 20. Aktivitas penghambatan edible film terhadap Staphylococcus aureus ................................................................................. Gambar 21. Zona penghambatan (a) Edible film kitosan pelarut asam laktat, (b) Edible film kitosan pelarut asam asetat.............. 57 56 56 55 55 54 40 44 46 49 51 52 5 6 22 23 24 29 30 33 34

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Daftar singkatan dan istilah............................................... Lampiran 2. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan aw ... Lampiran 3. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan pH .. Lampiran 4a.Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna L ............................................................................. Lampiran 4b.Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna a .............................................................................. Lampiran 4c.Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna b .............................................................................. Lampiran 5. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan tebal Lampiran 6. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan elongasi ............................................................................. Lampiran 7. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan kuat tarik ........................................................................... Lampiran 8. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan WVP .................................................................................. Lampiran 9. Data analisis zona penghambatan edible film terhadap bakteri-bakteri patogen (mm) .......................................... Lampiran 10. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan kadar air............................................................................. 88 87 85 84 83 79 81 77 75 71 72 73

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG Perkembangan teknologi pangan yang pesat menimbulkan berbagai produk pangan yang baru. Hampir seluruh produk pangan tersebut memerlukan kemasan dalam proses distribusi dan pemasarannya. Hal ini dibutuhkan untuk memperpanjang umur produk pangan tersebut. Kemasan yang sering digunakan untuk produk pangan adalah plastik. Plastik memiliki sifat barrier terhadap oksigen, karbondioksida dan uap air yang baik, dan harganya tidak terlalu mahal. Namun demikian, plastik ini bersifat non biodegradable sehingga limbah dari plastik ini dapat mencemari lingkungan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu kemasan yang memiliki sifat barrier seperti plastik tetapi yang bersifat ramah lingkungan. Kemasan tersebut adalah edible atau biodegradable film. Kelebihan edible film sebagai pengemas produk pangan antara lain : dapat melindungi produk dari pengaruh lingkungan dan kontaminan, sifatnya yang transparan sehingga penampakan produk yang dikemas masih terlihat dan dapat dimakan sehingga tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (film) atau diletakkan diantara komponen makanan (coating) yang berfungsi sebagai penghambat terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipida, zat terlarut), dan/atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif, dan/atau untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992). Pada penelitian ini dilakukan pembuatan edible film dengan menggunakan bahan baku utama kitosan. Kitosan dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa ketersediaan limbah udang cukup banyak dan mudah diperoleh. Udang merupakan salah satu komoditas hasil perikanan di Indonesia yang diperdagangkan dalam pasar lokal dan ekspor. Potensi sumber daya udang sebesar 94,8 ribu ton dari 6,4 juta ton per tahun potensi sumber daya ikan laut Indonesia (7,5% total potensi stok ikan laut dunia) (Dahuri, 2005). Dalam pemanfaatannya oleh industri pengolahan, udang akan

menghasilkan limbah. Selama ini limbah udang baru dimanfaatkan oleh industri kecil dalam pembuatan terasi, kerupuk udang, petis, dan campuran pakan ternak (Bastaman, 1989). Melalui pendekatan teknologi yang tepat, potensi limbah ini dapat diolah lebih lanjut menjadi kitin dan kitosan. Kitosan merupakan hasil proses deasetilasi dari kitin. Kitin merupakan karbohidrat polimer yang terdapat pada kulit crustacea. Harga jual kitosan di pasar internasional saat ini telah mencapai 10 US$/kg (Sandford, 2003). Pemanfaatan kitosan dalam bidang industri di Indonesia belum banyak digunakan, misalnya kitosan dapat digunakan sebagai penstabil, pengental, pengemulsi makanan, dan pembentuk lapisan pelindung jernih. Penggunaan kitosan sebagai lapisan pelindung terus dikembangkan antara lain sebagai pelapis semipermeabel yang bersifat edible atau dapat dimakan sehingga mengurangi ketergantungan produsen terhadap pemakaian bahan plastik sebagai bahan pengemas. Kitosan termasuk salah satu jenis polisakarida yang dapat digunakan sebagai edible film. Pelapis dari polisakarida merupakan penghalang (barrier) yang baik karena dapat membentuk matriks yang kuat dan kompak. Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel, dan sulit dirobek (Butler et al., 1996). Selain itu, film dari kitosan mempunyai nilai permeabilitas air yang cukup rendah dan bisa digunakan untuk meningkatkan umur simpan produk segar dan sebagai cadangan makanan dengan nilai aktivitas air yang lebih tinggi (Kittur et al., 1998). Selain itu, kitosan berpotensi sebagai antimikroba alami sehingga diharapkan aman bagi manusia. Tsai dan Su (1999) menunjukkan adanya efek bakterisidal dari kitosan udang terhadap E. coli. Berdasarkan penelitian Coma et al. (2002) kitosan dapat menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes. Menurut Pranoto et al. (2004) film dari kitosan yang diinkorporasi dengan minyak bawang putih, kalium sorbat, dan nisin (bakteriosin) mempunyai efek sebagai antibakteri. Karakteristik yang penting bagi edible film adalah tingkat permeabilitas terhadap uap air dan elastisitas. Kombinasi dari berbagai bahan

yang ditambahkan dalam pembuatan edible film kitosan masing-masing akan dikaji terhadap sifat-sifat fisik, mekanis, dan aktivitas antimikrobanya.

B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan asam lemak laurat, asam lemak palmitat, dan esensial oil ekstrak kunyit terhadap sifat barrier uap air dan sifat mekanik, serta aktivitas antimikroba edible film kitosan yang dihasilkan. Produk yang diharapkan adalah edible film yang memiliki sifat barrier uap air dan mekanik yang lebih baik sebagai pengemas makanan, serta mempunyai sifat antimikroba yang lebih kuat.

C. MANFAAT PENELITIAN 1. Memperoleh informasi asam lemak yang tepat untuk meningkatkan barrier terhadap uap air. 2. Memperoleh alternatif pengemas dan pengawet makanan yang alami dan aman. 3. Mengurangi pencemaran lingkungan dengan menyediakan alternatif plastik yang bersifat biodegradable.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. KITOSAN Kitosan adalah polisakarida alami hasil dari proses deasetilasi (penghilangan gugus-COCH3) kitin. Kitin merupakan penyusun utama eksoskeleton dari hewan air golongan crustacea seperti kepiting dan udang. Kitin tersusun dari unit-unit N-asetil-D-glukosamin (2-acetamido-2-deoxy-Dglucopyranose) yang dihubungkan secara linier melalui ikatan -(1 4). Kitin berwarna putih, keras, tidak elastis, merupakan polisakarida yang mengandung banyak nitrogen, sumber polusi utama di daerah pantai (Goosen, 1997). Proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) kitin menjadi kitosan dapat dilakukan secara kimiawi maupun enzimatis. Secara kimiawi, deasetilasi kitin dilakukan dengan penambahan NaOH (Kolodziesjska et al., 2000; Chang et al., 1997), sedangkan secara enzimatis digunakan enzim kitin deasetilase (CDA) (Hetmat et al., 2003). Proses deasetilasi secara termokimiawi, yang saat ini secara komersial banyak dilakukan, dalam banyak hal tidak menguntungkan karena tidak ramah lingkungan, prosesnya tidak mudah dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat deasetilasi yang tidak seragam (Chang et al., 1997; Tsigos et al., 2000). Proses deasetilasi menggunakan kombinasi perlakuan secara kimiawi dan enzimatis seperti yang telah dilaporkan oleh Emmawati (2004) dan Rochima (2005) merupakan alternatif proses yang lebih baik. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan bersifat polikationik. Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan C-6 pada kitosan tersebut sangat berperan dalam aplikasinya, antara lain sebagai pengawet dan penstabil warna, sebagai floculant dan membantu proses reserve osmosis dalam penjernihan air, sebagai aditif untuk produk agrokimia dan pengawet benih (Shahidi et al., 1999). Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Struktur kimia kitin dan kitosan Adapun perbedaan-perbedaan seperti pelarut, konsentrasi, waktu, suhu proses, dan ekstraksi dapat mempengaruhi sifat dan penampilan akhir produk kitosan (Sophanodora dan Benjakula, 1993). Kitosan adalah nama yang digunakan untuk bentuk deasetilasi kitin. Kitosan merupakan polimer rantai panjang yang disusun oleh monomermonomer glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-glukosa). Biopolimer ini disusun oleh dua jenis gula amino yaitu glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-glukosa, 7080 %) dan N-asetilglukosamin (2-asetamino-2-deoksi-D-glukosa, 20-30%) (Goosen, 1997). Menurut Knorr (1984), berat molekul kitosan adalah 1,036 x 106 Dalton. Berat molekul tersebut tergantung dari degradasi yang terjadi pada saat proses pembuatannya. Semakin banyak gugus asetil yang hilang dari polimer kitin, maka berat molekulnya semakin rendah dan sebaliknya interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat (Ornum, 1992). Kitosan memiliki nama kimia (1-4)-2-amino-2-deoksi-D-glukosa (Shahidi et al., 1999). Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai panjangnya. Kitosan adalah gula yang unik, karena polimer ini mempunyai gugus amin bermuatan positif, sedangkan polisakarida lain umumnya bersifat netral atau bermuatan negatif (Angka dan Suhartono, 2000). Grup amin kitosan dapat berinteraksi dengan muatan negatif suatu molekul seperti protein dan polimer. Nitrogen pada gugus amin kitosan berfungsi sebagai donor elektron dalam pengikatan selektif logam tertentu. Kitosan dapat menghambat sel tumor, anti kapang, anti bakteri, anti virus, menstimulasi sistem imun, dan mempercepat germinasi tumbuhan (Goosen, 1997).

Pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut asam asetat 1 % dan pelarut asam laktat 2 %. Pelarut terbaik yang digunakan dalam proses pembuatan membran polimer berbahan dasar kitosan adalah pelarut asam asetat (Aryanto, 2002). Pelarut yang umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1 2 % (Knorr, 1982). Asam asetat adalah cairan tidak berwarna dengan karakteristik bau yang tajam, berasa asam, serta larut dalam air, alkohol, dan gliserol. Rumus empirik asam asetat adalah C2H4O2 dan rumus strukturnya CH3COOH. Asam asetat mempunyai berat molekul 60, titik didih 118 oC, titik beku 16,7 oC, dan dapat digunakaan sebagai penambahan rasa (Dillon, 1992). Rumus struktur (a) asam asetat, (b) asam laktat dapat dilihat pada Gambar 2.

(a)

(b)

Gambar 2. Rumus struktur (a) Asam asetat, (b) Asam laktat Asam laktat atau asam 2-hidroksi propionat merupakan senyawa nonatsiri dan tidak berbau yang diklasifikasikan ke dalam GRAS (Generally Recognized As Safe) sebagai bahan aditif makanan. Asam laktat mempunyai sifat larut dalam air dan pelarut organik polar tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya. Pelarut asam laktat yang ditambahkan untuk mendapatkan hasil yang terbaik adalah 2 % (Kim, 2006). Dalam struktur kimianya, asam laktat merupakan salah satu molekul terkecil yang memiliki sifat optis aktif yang mempunyai satu atom karbon kiral sehingga memiliki dua bentuk enantiomer, yaitu L- dan D-laktat. Sekitar 85% kebutuhan asam laktat saat ini adalah untuk aplikasi di bidang pangan dan yang berhubungan dengan pangan, antara lain sebagai pengasam makanan (food acidulan, flavoring agent, pH buffering agent, dan antimicrobial agent) (Koesnandar, 2004). Molekul kitosan di dalam larutan asam encer berkekuatan ion rendah bersifat lebih kompak bila dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya.

Hal ini disebabkan densitas muatan yang tinggi. Namun, dalam larutan berkekuatan ionik tinggi, ikatan hidrogen, dan gaya elektrostatik pada molekul kitosan terganggu sehingga konformitas menjadi bentuk acak (random coil). Sifat fleksibel molekul ini yang akan menjadikan kitosan dapat membentuk baik konformitas kompak maupun memanjang (polisakarida lainnya umumnya berbentuk memanjang). Sifat fleksibel kitosan membantu daya gunanya di dalam berbagai produk (Angka dan Suhartono, 2000). Selain itu, Lab. Protan (1987) menyatakan bahwa kitosan merupakan poliglukosamin yang dapat larut dalam kebanyakan asam seperti asam asetat, asam laktat atau asam-asam organik (adipat, malat), asam mineral seperti HCl, HNO3 pada konsentrasi 1 % dan mempunyai daya larut terbatas dalam asam fosfat dan tidak larut dalam asam sulfat. Kitosan mempunyai gugus fungsional yaitu gugus amina, sehingga mempunyai derajat reaksi kimia yang tinggi (Johnson dan Peniston, 1975). Kitin dan kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi (karena mengandung gugus OH dan gugus NH2) untuk ligan yang bervariasi (sebagai bahan pewarna dan penukar ion). Disamping itu ketahanan kimia keduanya cukup baik, yaitu kitosan larut dalam larutan asam, tetapi tidak larut dalam basa dan ikatan silang kitosan memiliki sifat yang sama baiknya dengan kitin, serta tidak larut dalam media campuran asam dan basa (Muzzarelli, 1997). Banyak sekali potensi kitosan yang sudah banyak diteliti, mulai dari pangan, mikrobiologi, kesehatan, pertanian, dan sebagainya. Aplikasi kitosan dalam bidang pangan salah satunya yaitu sebagai makanan berserat sehingga dapat meningkatkan massa feses, menurunkan respon glisemik dari makanan, dan menurunkan kadar kolesterol (Manullang, 1998). Dalam bidang kesehatan dapat berperan sebagai antibakteri, anti koagulan dalam darah, pengganti tulang rawan, pengganti saluran darah, anti tumor (penggumpal) sel-sel leukimia (Manullang, 1998). Chen et al. (1996) meneliti aplikasi kitosan sebagai antimikrobial untuk pengemas dan Kittur et al. (1998) menggunakan kitosan sebagai bahan dasar pengemas berupa film. Sifat dan mutu kitosan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat dan mutu kitosan Sifat Ukuran partikel Kadar air (% berat kering) Kadar abu (% berat kering) Warna larutan Derajat deasetilasi (%) Viskositas (cps) Rendah Medium Tinggi Ekstra tinggi < 200 200-799 800-2000 > 2000 Nilai Serpihan sampai bubuk 10.0 2.0 Jernih 70

Sumber : Protan Laboratories Inc. (1987) Kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri seperti industri kertas dan tekstil sebagai zat aditif, industri pembungkus makanan berupa film khusus, industri metalurgi sebagai absorban untuk ion-ion metal, industri kulit untuk perekat, photografi, industri cat sebagai koagulan, pensuspensi dan flokulasi, serta industri makanan sebagai aditif dan penghasil protein sel tunggal (Suptijah et al., 1992). Pemanfaatan yang potensial yaitu sebagai pengental, flokulan, penyerap, dan pembentuk lapisan untuk bidang pertanian, industri kimia, obatobatan, kosmetik, pangan, dan industri tekstil sebagai pengolah limbah cair (Chandkrachang, 1991). Kitosan dapat digunakan sebagai obat antikolesterol. Kitosan mempunyai potensi sebagai hipokolesterolemik yang tinggi, dalam saluran pencernaan senyawa ini berinteraksi dengan lemak membentuk misela atau emulsifikasi lipid pada fase absorbsi (Deuchi et al., 1994). Kitosan dapat menyerap 97% absorpsi lemak tubuh yang dianggap lebih unggul dibandingkan jenis polimer lain seperti selulosa, karagenan, agar-agar, dan lainlain (Sugano et al., 1980). Knorr (1984) menyatakan bahwa kitosan merupakan senyawa yang tidak beracun sebagai unsur serat makanan dan dapat menurunkan kadar kolesterol, selain itu kitosan juga diketahui tidak

menyebabkan alergi dan dapat memacu pertumbuhan bakteri penghasil enzim laktase yang biasa hidup dalam organ pencernaan bayi (Austin, 1984). Penelitian Ikeda et al. (1993) menunjukkan bahwa kitosan DD 80 % dengan berat molekul (BM) 50.000 Da memiliki kemampuan mengikat asam empedu hingga 0,52 nmol/20mg serta mampu mengikat dan membawa kolesterol, trigliserida (lemak), fosfolipid keluar dari pencernaan melalui feses. Kemampuan tersebut nampak dari hasil percobaan yang menyatakan bahwa kolesterol darah tikus yang diberi ransum kitosan mengalami penurunan secara signifikan dari 142 mg/dL (hari ke-7) menjadi 116 mg/dL pada hari ke-14, setelah mengkonsumsi kitosan DD 80 % dengan berat molekul 50.000 Da sebanyak 0,004 g/g dari berat badan per hari (Ikeda et al., 1993). Analisis kitosan terhadap manusia telah dilakukan oleh Maezaki et al. (1993). Konsumsi 3-6 g kitosan (DD 90,5%; 500.000 Da; 280 cP) perhari dapat menurunkan kolesterol darah secara signifikan dari 189 menjadi 177 mg/dL (hari ke-14), dan meningkatkan kolesterol HDL secara signifikan dari 51 menjadi 56 mg/dL (hari ke-14). Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri makanan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Aplikasi kitin, kitosan, dan turunannya dalam industri makanan Contoh Bakterisidal, fungisidal, dan menghambat kontaminasi jamur pada komoditi pertanian Industri edible film Mengatur perpindahan uap air antara makanan dan lingkungan sekitar; flavour; mereduksi tekanan parsial oksigen; pengatur suhu; menahan browning enzimatis pada buah; dan mengembalikan tekanan osmosis membran Bahan aditif Mempertahankan flavor alami; bahan pengontrol tekstur; bahan pengemulsi; bahan pengental dan stabilizer; dan penstabil warna Sifat nutrisi Sebagai serat diet; penurun kolesterol; persediaan dan tambahan makanan ikan; mereduksi penyerapan lemak; memproduksi protein sel tunggal; bahan antigastritis (radang lambung); dan sebagai bahan makanan bayi Pengolah limbah Flokulan dan pemecah agar makanan padat Pemurnian air Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernih Sumber : Shahidi et al., 1999 Aplikasi Antimikroba

Pada tahun belakangan ini, aplikasi kitosan dan turunannya sebagai antimikroba (bahan pengawet) makanan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Roller et al., 2002; Sagoo et al., 2002; Jeong et al., 2002; Zivanovic et al., 2004). Roller et al. (2002) menunjukkan bahwa kitosan bekerja sinergis dengan pengawet seperti asam benzoat, asam asetat, dan sulfit. Penambahan kitosan 0,6 % dalam penggunaan sulfit pada konsentrasi yang rendah (170 ppm) mampu menghambat mikroorganisme perusak lebih efektif (3-4 log CFU/g) dibandingkan penggunaan sulfit secara tunggal dengan konsentrasi yang tinggi (340 ppm). Kombinasi penggunaan sulfit dan kitosan tersebut mampu memperpanjang umur simpan sosis daging babi. Perendaman sosis daging babi dalam larutan kitosan 1 % mampu menurunkan jumlah mikroba sebanyak 1-3 log CFU/g selama 18 hari pada suhu 7 oC. Kitosan juga dapat mengawetkan ikan hering dan kod, yaitu dengan berfungsi sebagai edible film sehingga mampu meningkatkan kualitas produk perikanan selama penyimpanan. Kitosan memiliki reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan kitosan mampu mengikat air dan minyak. Oleh karena itu kitosan dapat digunakan sebagai bahan makro molekul emulsifikasi. Zivanovic et al. (2004) memanfaatkan kitosan dalam produk emulsi. Penambahan 0,1 % kitosan polisakarida dapat menjamin keamanan dari produk emulsi oil-in water. Model emulsi yang digunakan terdiri dari campuran 20 % minyak jagung, 1 % Tween 20, 1,5 % Tripticase soy broth, 0,58 % asam asetat, dan kitosan polisakarida.

B. KITOSAN SEBAGAI BAHAN EDIBLE FILM Edible film adalah lapisan tipis dan kontinyu yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk di atas komponen makanan (film) atau diletakkan diantara komponen makanan (coating) yang berfungsi sebagai penghambat terhadap transfer massa (misalnya kelembaban, oksigen, lipida, zat terlarut), dan/atau sebagai carrier bahan makanan atau aditif, dan/atau untuk meningkatkan penanganan makanan (Krochta, 1992).

Film sendiri sebenarnya merupakan salah satu bentuk polimer yang mudah dibentuk. Proses pembentukan polimer sendiri biasa disebut dengan proses polimerisasi. Polimer yang berupa larutan encer memiliki rantai bebas bergerak, sehingga kemungkinan terbentuk konfigurasi rantai yang beragam. Akan tetapi polimer dalam bentuk padat memiliki rantai tidak teratur sehingga gerakan dan konfigurasinya terbatas. Menurut Park et al. (1996), penggunaan yang potensial dari edible film dan pelapisan biopolimer adalah untuk memperlambat pengangkutan gas O2 dan CO2 untuk buah dan sayur, migrasi uap air untuk pangan kering atau setengah basah dan migrasi bahan terlarut dari pangan beku. Kekurangan terbesar dari edible film kitosan adalah kurang mampu menahan uap air karena sifat hidrofilik yang dimilikinya. Menurut Dominic et al. (1994) secara teoritis bahan edible film diharapkan dapat : a). menjadi panahan kehilangan air yang efisien, b). mempunyai sifat permeabel terhadap keluar masuknya gas, c). mengendalikan perpindahan dari air ke larutan untuk mempertahankan warna pigmen alami dan nutrisi serta, d). membawa zat tambahan yang diperlukan. Bahan dasar pembuatan edible film menurut Krochta (1992) dapat digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu hidrokoloid (protein dan polisakarida), lemak (asam lemak dan wax), dan campuran (hidrokoloid dan lemak). Protein yang digunakan sebagai bahan dasar antara lain protein kedelai, jagung, kasein, kolagen, gelatin, dan protein ikan. Selulosa, pati, pektin, ekstrak ganggang laut, gum, dan kitosan merupakan contoh-contoh polisakarida yang digunakan. Selanjutnya lemak yang umum digunakan antara lain beeswax, paraffin wax, carnauba wax, dan asam lemak seperti asam laurat dan asam oleat. Bahan dasar pembentuk edible film sangat mempengaruhi sifat-sifat edible film itu sendiri. Edible film yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik, namun ketahanan terhadap uap air sangat rendah akibat sifat hidrofiliknya. Edible film dari lemak merupakan tahanan yang baik terhadap uap air, meningkatkan kilap permukaan dan mengurangi abrasi. Edible film yang

terdiri dari satu komponen bahan tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan dengan emulsi campuran beberapa bahan (Wong et al., 1994). Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel, dan sulit untuk dirobek. Kebanyakan dari sifat mekanik sebanding dengan polimer komersial dengan kekuatan sedang (Butler et al., 1996). Hoagland dan Parris (1996) mengemukakan alasan dalam membuat film dengan bahan dasar kitosan : 1. Kitosan merupakan turunan kitin, polisakarida paling banyak di bumi setelah selulosa 2. Kitosan dapat membentuk film dan membran dengan baik 3. Sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik dengan anionik. Film dari kitosan mempunyai nilai permeabilitas air yang cukup dan bisa digunakan untuk meningkatkan umur simpan produk segar, dan sebagai cadangan makanan dengan nilai aktivitas air yang lebih tinggi (Kittur et al., 1998). Butler et al. (1996) mengamati bahwa kitosan film merupakan penghalang yang baik terhadap oksigen tetapi penghalang yang kurang terhadap uap air. Kitosan sebagai polimer film dari karbohidrat lainnya, memiliki sifat selektif permeabel terhadap gas-gas (CO2 dan O2), tetapi kurang mampu menghambat perpindahan air. Secara umum, pelapis yang tersusun dari polisakarida dan turunannya hanya sedikit menahan penguapan air, tetapi selektif untuk mengontrol difusi dari berbagai gas (Nisperoscarriedo, 1995). Kemampuan dari kitosan film dibatasi oleh permeabilitas kelembaban yang relatif tinggi. Salah satu kegunaannya yaitu sebagai pengemas roti, dimana difusi kelembaban yang melalui kemasan dapat digunakan dalam menyeimbangkan kelembaban kulitnya yang rendah (Caner et al., 1998). Perbedaan antara edible film dengan edible coating yaitu, edible film merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu berupa lapisan tipis (film) sebelum digunakan untuk mengemas produk pangan. Sedangkan edible coating merupakan bahan pengemas yang dibentuk

langsung pada produk dan bahan pangan (Harris, 1999). Edible film dan coating digunakan dalam produk obat-obatan, konfeksioneri, buah-buahan, dan sayuran segar, serta beberapa produk daging (Brandenberg, 1993). Kittur et al. (1998) menyatakan bahwa edible film dan coating telah digunakan untuk mengontrol pertukaran gas (O2, CO2, dan etilen) antara produk makanan dengan lingkungan atau antar komponen makanan, juga dapat mengontrol perubahan fisiologi, mikrobiologi, dan fisikokimia produk makanan. Sifat penahan gas dan uap air dari edible film dan coating dipengaruhi oleh komposisi, gelembung udara dan lubang dalam film. Pembentukan gelembung udara dan kemungkinan adanya lubang dipengaruhi oleh teknik preparasi dan komposisi kimia, termasuk konsentrasi dari plasticizer. Keberadaan gelembung udara dan lubang mempengaruhi karakteristik permeabilitas film (Park dan Chinnan, 1995). Aplikasi yang potensial dari edible film dan coating dari biopolimer adalah untuk memperlambat transportasi gas oksigen dan karbondioksida dari buah dan sayuran, perpindahan kelembaban pangan yang dikeringkan atau pangan dengan kelembaban sedang, serta perpindahan zat terlarut pada pangan beku. Kekurangan yang paling besar dari kebanyakan edible film yaitu kemampuannya yang kurang dalam menghalangi air yang merupakan sifat hidrofilik dari edible film. Kemampuan edible film dan coating dalam menahan uap air dan oksigen dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesegaran dari buah, sayuran, dan pangan lainnya (Park et al., 1996). Edible coating mempunyai kemampuan untuk meningkatkan mutu dan memperpanjang umur simpan dari produk yang telah diproses (Li & Barth, 1998). Kitosan telah terbukti dapat digunakan sebagai bahan edible coating karena kemampuannya dalam membentuk film (Shahidi et al., 1999). Dong et al. (2004) telah menguji bahwa edible coating pada buah kelengkeng yang dikupas dapat meningkatkan mutu dan memperpanjang umur simpan. Dalam aplikasi dalam bidang pertanian, edible coating digunakan untuk melapisi mangga dalam bentuk slice dapat memperkecil kehilangan air dan memperpanjang umur simpan (Baldwin et al., 1999). Kitosan coating pada

buah mangga dalam bentuk slice bertujuan untuk meningkatkan mutu dengan mencegah pecahnya permukaan mangga dan kebocoran sari buah. C. PLASTICIZER Plasticizer adalah bahan dengan bobot molekul rendah yang ditambahkan dengan maksud meningkatkan elastisitas (Gennadios, 2002). Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non volatil yang mempunyai titik didih tinggi, yang jika ditambahkan ke senyawa lain akan mengubah sifat fisik dan mekanik senyawa tersebut (Krochta, 1992). Plasticizer secara umum meningkatkan permeabilitas film terhadap gas, uap air, dan zatzat terlarut, juga dapat menurunkan elastisitas dan daya kohesi film (Caner et al., 1998), meningkatkan daya rentang, menghaluskan film dan mempertipis hasil film yang terbentuk. Plasticizer yang digunakan dalam penelitian ini adalah polietilen glikol. Polietilen glikol (PEG) adalah polimer adisi dari etilen glikol dengan berat molekul di atas 200. PEG bersifat netral, larut dalam air dan pelarut organik, non volatil, dan non toksik. Polimer ini adalah polimer yang bersifat hidrofilik (Zhang et al., 2002). Disebutkan pula bahwa permukaan zat yang dimodifikasi oleh PEG akan bersifat hidrofilik. PEG juga bersifat misibel terhadap beberapa lilin (wax), gum, minyak, pati, dan pelarut organik. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa plasticizer polietilen glikol yang ditambahkan dalam edible film kitosan akan memberikan sifat yang elastis (Suyatma et al., 2005).

D. ASAM LEMAK Menurut Grosch dan Belitz, (1995) asam lemak merupakan monokarboksilat berantai panjang, mungkin bersifat jenuh atau tidak jenuh, panjang rantai berbeda-beda tetapi bukan siklik atau bercabang. Pada umumnya asam lemak yang ditemukan di alam merupakan monokarboksilat dengan rantai tidak bercabang dan memiliki jumlah atom genap. Asam-asam lemak ini dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu asam lemak jenuh dan

asam lemak tak jenuh. Penggolongan tersebut berdasarkan pada perbedaan bobot molekul dan derajat ketidakjenuhannya (Winarno, 1997). Menurut Hagenmaier dan Shaw (1990), asam lemak rantai panjang biasa digunakan dalam pembuatan edible film karena mempunyai titik didih (melting point) yang tinggi dan sifat hidrofobiknya. Asam laurat adalah asam lemak jenuh yang mudah diperoleh dari minyak kelapa dan minyak inti sawit. Wujudnya padat pada suhu ruang, dengan rumus kimia C12H24O2. Salah satu asam lemak yang paling mudah diperoleh adalah asam palmitat atau asam heksadekanoat. Tumbuh-tumbuhan dari famili Palmaceae, seperti kelapa (Cocos nucifera) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan sumber utama asam lemak ini. Minyak kelapa bahkan mengandung hampir semuanya palmitat (92%). Minyak sawit mengandung sekitar 50% palmitat. Produk hewani juga banyak mengandung asam lemak ini (dari mentega, keju, susu, dan juga daging). Asam palmitat adalah asam lemak jenuh yang tersusun dari 16 atom karbon (CH3(CH2)14COOH). Pada suhu ruang, asam palmitat berwujud padat berwarna putih. Titik leburnya 63,1C. Asam palmitat adalah produk awal dalam proses biosintesis asam lemak. Dari asam palmitat, pemanjangan atau penggandaan ikatan berlangsung lebih lanjut. Dalam industri, asam palmitat banyak dimanfaatkan dalam bidang kosmetika dan pewarnaan. Dari segi gizi, asam palmitat merupakan sumber kalori penting namun memiliki daya antioksidasi yang rendah. Park et al. (1996) menyatakan bahwa permeabilitas uap air dan gas dari edible film dipengaruhi oleh asam lemak dan konsentrasinya.

E. KUNYIT Tanaman kunyit termasuk ke dalam famili Zingiberaceae atau suku temu-temuan. Tumbuhan ini merupakan tanaman tahunan berupa herba yang memiliki tinggi hingga satu meter. Tanaman kunyit tidak berbulu, berbatang pendek, warna bunganya pucat dan pangkalnya berwarna kuning, daunnya

berjumbai-jumbai, mempunyai daun pelindung yang berwarna putih serta pelepah daun yang membentuk batang semu (Pursglove et al., 1981). Umbi utama tanaman kunyit terletak di dasar batang, berbentuk elipsoidal dan berukuran 5 x 2.5 cm. Umbi utama ini membentuk rimpang dengan dua hingga tiga cabang, dimana secara keseluruhan membentuk satu kesatuan yang kompak dan saling berhubungan dengan banyak akar. Bagian luar rimpang berwarna kecoklatan, sedangkan bagian dalam berwarna jingga cerah atau kuning tua. Rimpang kunyit memiliki bau dan rasa yang khas, yaitu pahit dan getir (Pursglove et al., 1981). Tanaman kunyit banyak digunakan sebagai obat, terutama rimpang kunyit yang telah dikeringkan. Selain itu kunyit juga dikenal karena warna kuning-jingga yang khas, namun juga memiliki aroma dan citarasa yang dapat digolongkan ke dalam rempah-rempah. Kunyit dapat digunakan langsung ataupun melalui tahap ekstraksi oleorisin untuk digunakan sebagai bumbu ataupun pewarna (Pursglove et al., 1981). Rimpang kunyit yang telah diawetkan mengandung minyak volatil, pigmen, campuran minyak (lemak), zat pahit, resin, protein, selulose, pati, mineral dan sebagainya. Komponen utama adalah pati dengan jumlah berkisar antara 40-50 persen berat kering. Kandungan kimia tersebut berbeda-beda tergantung dari daerah pertumbuhan serta kondisi pemanennya (Pursglove et al., 1981). Mutu dari rimpang kunyit yang telah diawetkan ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain adalah kandungan pigmen kurkumin, sifat organoleptik, penampakan secara umum, ukuran dan bentuk fisik. Dua komponen utama yang menentukan mutu kunyit adalah kandungan pigmen kurkumin dan kandungan minyak volatilnya. Bila kunyit akan dibuat zat pewarna, maka kandungan pigmennya harus tinggi, tetapi kandungan minyak volatilnya harus rendah karena dapat menimbulkan bau yang tidak diinginkan. Kurkuminoid merupakan senyawa fenolik, oleh sebab itu diduga memiliki mekanisme yang sama dengan senyawa fenolik lainnya dalam fungsinya sebagai zat antimikroba (Lukman, 1984). Menurut Lukman (1984), bubuk kunyit utuh dan residunya bersifat bakterisidial terhadap L. fermentum,

L. bulgaricus, dan B. subtilis pada konsentrasi 5 mg/ml. Selain itu juga mampu menghambat pertumbuhan B.megaterium dan B.cereus pada konsentrasi masing-masing, 3 mg/ml dan 2 mg/ml. Gan (1987) melaporkan bahwa bubuk rimpang kunyit pada konsentrasi 5 mg/ml mampu menghambat pertumbuhan sel vegetatif B.cereus, B.subtilis, dan B.stearothermophilus. Namun, sampai dengan konsentrasi 15 mg/ml bubuk rimpang kunyit tersebut belum mampu menghambat germinasi spora semua basili tersebut. Suwanto (1983) melaporkan bahwa bubuk rimpang kunyit pada konsentrasi 2 g/l bersifat bakterisidal terhadap bakteri gram positif batang, yaitu B.subtilis dan L.acidophilus. Sampai dengan inkubasi 24 jam, bubuk rimpang kunyit masih mampu menghambat pertumbuhan S.aureus pada konsentrasi 2 g/l dan juga S.faecalis dan S.galinarum pada konsentrasi 4 g/l. Pertumbuhan E.coli juga akan terhambat oleh bubuk kunyit pada konsentrasi 7 g/l pada inkubasi 24 jam. Namun, lebih lanjut ia juga menyatakan bahwa pada waktu inkubasi lebih dari 24 jam, bubuk rimpang kunyit tersebut bersifat merangsang pertumbuhan S.aureus, S.faecalis, S.galinarum, dan E.coli. F. AKTIVITAS ANTIMIKROBA Menurut Pelczar dan Reid (1979), senyawa antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba. Menurut Fardiaz (1992), senyawa antimikroba dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri), bakteri statik (menghambat pertumbuhan sebagainya. Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba menurut Branen dan Davidson (1993) dapat melalui beberapa faktor, antara lain (1) mengganggu komponen penyusun dinding sel, (2) bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas dan menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktifkan enzim esensial yang berakibatkan bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat kapang), germisidal (menghambat germinasi spora bakteri), dan

terhambatnya sintesis protein dan destruksi atau kerusakan fungsi metarial genetik. Menurut Thatte (2004), aktivitas antibakteri kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: sumber kitosan, unit monomer yang menyusun kitosan, mikroba yang diuji, derajat deasetilasi (DD) kitosan, pH media tumbuh, keberadaan ion logam bebas, dan kondisi lingkungan (kadar air, nutrisi yang tersedia bagi mikroba). Unit monomer kitosan tidak menghambat bakteri E. Coli dan S. Aureus (Tanigawa et al. 1992). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri kitosan merupakan kerja dari oligomer kitosan. DD kitosan menunjukkan keberadaan atau jumlah sisi kationik potensial yang ada di sepanjang rantai polimer, sehingga semakin besar DD semakin banyak pula jumlah sisi kationiknya. Tsai et al. (2004) menunjukkan bahwa kitosan dengan berat molekul (BM) rendah (12 kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dibanding bentuk oligomernya. Menurut Thatte (2004), kitosan dengan berat molekul yang sangat besar (lebih besar dari 500 kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang kurang efektif dibandingkan kitosan dengan BM yang lebih rendah. Hal ini terkait dengan viskositasnya yang besar pada kitosan ber-BM tinggi sehingga sulit bagi kitosan untuk berdifusi. No et al. (2002) menguji 6 kitosan dan 6 oligomer kitosan dengan berbagai BM terhadap 4 bakteri Gram negatif dan 7 bakteri Gram positif. Aktivitas antibakteri kitosan lebih tinggi jika dibandingkan oligomernya. Kitosan dan turunannya merupakan antimikroba alami yang sangat potensial karena merupakan produk pemanfaatan dari limbah. Berbagai studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba (Tsai et al., 2004). Tsai dan Su (1999) menguji aktivitas penghambatan kitosan udang (DD 98) terhadap E.coli. Kitosan menyebabkan kebocoran glukosa dan laktat dehidrogenase dari sel E. coli.

G. KARAKTERISTIK MIKROBA PATOGEN 1. Bacillus cereus Bacillus cereus merupakan bakteri Gram positif, bersifat motil, anaerobik fakultatif, dan mempunyai diameter sel lebih besar atau sama dengan 0,9 m. Bacillus cereus bervariasi pada karakteristik pertumbuhan dan daya tahannya. Suhu optimum pertumbuhannya adalah 30 - 40 oC. Bacillus cereus dapat tumbuh pada pH 4,3 9,3 dan pada aktivitas air (aw) minimum 0,95 (Blackburn dan McClure, 2002). Bakteri ini banyak terdapat di alam seperti di tanah, udara, serealia, tumbuhan, bulu binatang, air, dan sedimen. Bakteri ini dapat menyebabkan emetik sindrom apabila mengkonsumsi makanan dengan konsentrasi 105 -108 sel per gram. Bakteri ini dapat menyebakan diare apabila 105 107 sel menginfeksi usus kecil (Blackburn dan McClure, 2002). 2. Eschericia coli Bakteri Eschericia coli merupakan bakteri Gram negatif yang termasuk dalam famili Enterobacteriaceae. Eschericia coli bersifat aerobik dan fakultatif anaerobik, glukosa, katalase mereduksi positif, nitrat oksidase menjadi negatif, dan dapat tidak memfermentasi
o

nitrit

mengahasilkan spora. Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu optimum 35 40 C. Bakteri ini dapat tumbuh pada aktivitas air (aw) minimum 0,95 dan pH Eschericia coli terdapat secara normal di dalam usus besar manusia dan hewan, yang pada umumnya tidak bersifat patogen. Bakteri ini dapat mengkontaminasi makanan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti melalui air, daging dan buah segar. Ada empat jenis Eschericia coli yang sering menimbulkan panyakit yaitu enteropatogenik (EPEC), enteroinvasive (EIEC), enterotoxigenik (ETEC), dan enterohaemoragik (EHEC). Eschericia coli dapat menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan food poisoning seperti demam tipus, penghambatan saluran urin, septikimia (keracunan darah), meningitis (radang selaput otak), dan infeksi saluran pencernaan (Blackburn dan McClure, 2002). minimum 4,4 (Blackburn dan McClure, 2002).

3. Salmonella typhimurium S. typhimurium meupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang dan tidak berspora. S. typhimurium tumbuh optimum pada suhu 37 oC. Nilai pH untuk pertumbuhan S. typhimutium berkisar antara 4.0 - 9.0 dan nilai pH optimum 6.5 - 7.5, pada pH di bawah 4 dan di atas 9 bakteri ini akan mati perlahan-lahan. Viabilitas Salmonella menurun selama penyimpanan beku (Blackburn dan McClure, 2002). Bakteri dari genus Salmonella merupakan bakteri penyebab infeksi yang jika tertelan dan masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan gejala yang disebut salmonelisis. Gejala salmonelisis yang paling sering terjadi adalah gastroenteritis yang sering disebabkan oleh Salmonella sp., juga bervariasi tergantung daya virulen dan invasi dari galur bakteri tersebut, jumlah sel yang tertelan, dan daya tahan tubuh yang dipengaruhi oleh umur dan kesehatan penderita (Blackburn dan McClure, 2002). Makanan yang sering terkontaminasi oleh Salmonella adalah telur dan hasil olahannya, daging ayam, daging sapi, susu, dan hasil olahannya. Pencegahan Salmonella sp., dapat dilakukan dengan sanitasi yang baik terhadap alat-alat pengolahan, ruang pengolahan, lingkungan, dan pekerjapekerja. Makanan tidak boleh terlalu lama pada suhu kamar dan penyimpanan harus pada suhu rendah. 4. Staphylococcus aereus Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif yang termasuk dalam genus Staphylococcus. Bakteri ini bersifat fakultatif anaerobik, koagulase dan deoksiribonuklease positif, dan dapat tidak menghasilkan spora. Bakteri ini berbentuk kokus dengan suhu optimal pertumbuhan 37 40 oC, pH optimum 6,0 8,0 dan aktivitas air (aw) minimum 0,86 (Jay, 1986). Staphylococcus aureus dapat menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan food poisoning. Ada 8 jenis enterotoksin yaitu A, B1, C1, C2, C3, D, E, dan F. Toksin ini diproduksi pada masa pertumbuhan bakteri di dalam suatu makanan. Toksin ini merupakan polipeptida tunggal, yang tahan terhadap enzim proteolitik dan pemanasan (Blackburn dan McClure, 2002).

II. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kitosan (DD = 100%) dari France Chitine, asam asetat, asam laktat, aquades, NaCl, etil asetat, etanol, kultur mikroba, plasticizer polietilen glikol (PEG-400) dari Sigma Aldrich, asam palmitat dari Sigma Aldrich, asam laurat dari Sigma Aldrich, kunyit dari pasar lokal, garam K2SO4, garam CaCl2, Nutrient Broth (NB), Nutrient Agar (NA), parafilm, heksana, dan pengencer. Alat untuk ekstraksi seperti blender, erlenmeyer, kertas saring, shaker, penyedot vakum, corong gelas, dan alat gelas lainnya. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah petri dish untuk pembuatan edible film, desikator, hot plate dan magnetic stirrer, pengaduk, termometer, gelas kimia, aw-meter Shibaura WA-360, pH-meter, Chromameter CR 310 Minolta, mikrometer, Tensile Strength and Elongation Tester Comten Industries, Gas Transmission Rate Tester Speedivac 2, kaleng WVTR, JEOL Model JSM 5310 LV Scanning Microscope, cawan petri, ose, tabung reaksi, neraca analitik, gunting, penggaris, erlenmeyer, pipet, botol semprot, inkubator 37 oC, inkubator 45 oC, dan inkubator 55 oC.

B. METODE PENELITIAN 1. Penelitian Pendahuluan Ekstraksi Kunyit ( Curcuma domestica Val. ) a. Persiapan Ekstraksi Rimpang kunyit yang diperoleh dari pasar, dilakukan sortasi dan dicuci bersih menggunakan air. Setelah itu rimpang dikeringkan dan digiling hingga menjadi bubuk untuk memudahkan proses ekstraksi. b. Ekstraksi Bubuk rimpang kunyit kemudian diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi (ekstrak dingin), menggunakan pelarut etil asetat. Diagram alir proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 3.

Bubuk rimpang kunyit Ekstrak dengan etil asetat (1:4) Shaker (37oC, 24 jam)

Larutan

Ampas

Rotavapor suhu 50 oC Ekstrak etil asetat Gambar 3. Diagram alir proses ekstraksi

2. Penelitian Utama a. Pembuatan Edible Film dari kitosan Edible film kitosan dibuat dengan modifikasi metode yang dikembangkan oleh Butler et al. 1996 adalah sebagai berikut : mulamula 3 gram kitosan dilarutkan dalam 300 ml asam asetat 1 % atau 300 ml asam laktat 2 %. Pelarutan kitosan dalam pelarut dilakukan sedikit demi sedikit supaya terbentuk gel campuran kitosan dan pelarut secara sempurna. Larutan dihomogenkan dengan pengaduk stirer pada suhu 50
o

C selama 60 menit sampai larutan film tersuspensi dengan sempurna.

Pemilihan pelarut kitosan yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi 1 2 % (Knorr, 1982) dan pelarut asam laktat yang ditambahkan untuk mendapatkan hasil yang terbaik adalah 2 % (Kim, 2006). Kemudian ditambah dengan plasticizer PEG-400 10% (pelarut asam laktat) dan 15% (pelarut asam asetat). Larutan edible film kitosan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Larutan edible film kitosan Larutan diaduk terus menerus. Kemudian larutan film diberi perlakuan berupa penambahan asam palmitat 0%, 5%, dan 10% (w/w), serta asam laurat 0%, 5%, dan 10% (w/w). Pada perlakuan terakhir larutan film ditambah dengan esensial oil ekstrak kunyit dengan konsentrasi 0% dan 100 l/ g kitosan. Selama proses polimerisasi, pengadukan senantiasa dipertahankan agar interaksi antara kitosan, pelarut, asam lemak, PEG-400, dan esensial oil ekstrak kunyit dapat berjalan dengan baik. Kemudian larutan film dihomogenisasi selama 2 menit dengan homogenizer kecepatan 14.000 rpm. Homogenisasi bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel bahan-bahan yang ditambahkan. Sehingga emulsi lemak dan kitosan dapat stabil. Larutan film yang homogen mulai mengalami proses polimerisasi. Polimer dalam bentuk encer ini memiliki rantai polimer yang masih bisa bebas bergerak. Apabila larutan ini telah menjadi polimer padat maka rantai polimer memiliki gerakan dan konfigurasi rantai yang terbatas. Hal ini karena rantai-rantai polimer tersebut saling bersambung silang ke berbagai arah membentuk polimer jaringan berupa matriks film. Larutan film dituangkan pada petri dish yang sudah dibersihkan dengan etanol 96%. Setelah itu larutan film diratakan. Film dikeringkan di inkubator suhu 45 oC untuk pelarut asam asetat dan 55 oC untuk pelarut asam laktat selama 2 hari. Suhu yang digunakan untuk pengeringan akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan pembentukan film dan penguapan bahan pelarut. Suhu terlampau tinggi akan mengakibatkan film menjadi sangat tipis, kering, dan retak. Hal ini

karena proses pengeringan berjalan lebih cepat dibandingkan proses pembentukan film. Bahan-bahan pembentuk film akan cepat menguap sebelum terjadi pembentukan film. Sedangkan apabila suhu yang digunakan sangat rendah akan mengakibatkan lamanya proses pengeringan larutan sehingga terjadi kontaminasi. Film yang sudah kering kemudian dilepas dari cetakan, dibungkus dengan alumunium foil dan dimasukkan ke dalam desikator pada RH yang distabilkan (75%) dengan NaCl sebelum di analisis. Diagram alir pembuatan edible film dapat dilihat pada Gambar 5.
Kitosan 3 gram Dilarutkan dalam 300 ml asam asetat 1% atau 300 ml asam laktat 2 % Ditambahkan PEG-400 Pengaduk stirer 50 OC, 60 menit Perlakuan: Penambahan Asam palmitat dengan konsentrasi: 0%, 5%, dan 10% (w/w) Asam laurat dengan konsentrasi: 0%, 5%, dan 10% (w/w) Essensial oilekstrak kunyit: 0% dan 100 l/ g kitosan Larutan film Homogenizer 2 menit Cetakan film dibersihkan dengan etanol 96 % Penuangan larutan film pada petri dish Pengeringan pada suhu ruang 24 jam Pengeringan inkubator 45 oC atau 55 oC Pengangkatan film dari cetakan Pemasukkan film pada aluminium foil Pemasukkan film ke dalam kantung plastik berkelim Edible film Gambar 5. Diagram alir pembuatan edible film

b. Penentuan Karakteristik Edible Film Kitosan 1. Pengukuran Nilai pH Pengukuran pH edible film dilakukan dengan menggunakan pH-meter. Adapun prosedur analisisnya adalah sebagai berikut: larutan yang telah homogen didiamkan sampai dingin. Kemudian dilakukan pengukuran pH dengan menggunakan pH-meter yang telah dikalibrasi dengan dua macam buffer, yaitu buffer pH 4 dan pH 7. 2. Pengukuran Aktivitas Air (aw) Pengukuran aktivitas air dilakukan dengan menggunakan awmeter Shibaura WA-360. Sebelum dilakukan pengukuran, terlebih dahulu alat dikalibrasi dengan menggunakan larutan garam jenuh NaCl sampai menunjukkan aw sebesar 0.750 pada suhu 30 oC. Edible film kitosan yang telah dikondisikan dipotong kecil-kecil dengan berat 1-3 gram dan diletakkan dalam cawan pengukuran aw. Pencatatan dilakukan terhadap nilai aw. 3. Analisis Kadar Air Metode Oven (AOAC, 1984) Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator selama 10 menit kemudian ditimbang. Sampel sejumlah 2 3 gram ditimbang dan dimasukkan dalam cawan kering yang telah diketahui bobotnya. Cawan beserta isinya dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105 oC selama kurang lebih 12 jam atau sampai bobotnya konstan. Selanjutnya cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus : kadar air (% b.k) = c ( c-b ) x 100% (c-b) keterangan : a = bobot sampel (g) b = bobot cawan (g) c = bobot akhir (g) 4. Pengukuran Warna dengan Chromameter Pengukuran warna dilakukan menggunakan Chromameter CR 310 Minolta. Sebelumnya dilakukan kalibrasi pada alas putih dengan nilai L 97.51, a +5.35, dan b -3.37. Sampel edible film ditempatkan

pada alas putih. Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan parameter kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai +a (positif) dari nol sampai 100 (merah) dan nilai a (negatif a) dari nol sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik campuran biru kuning dengan nilai +b (positif b) dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai b (negatif b) dari nol sampai 70 (biru). 5. Pengukuran Ketebalan Film yang dihasilkan diukur ketebalannya dengan menggunakan pengukur ketebalan mikrometer dengan ketelitian 0.0001 mm pada lima tempat yang berbeda. Nilai ketebalan diukur dari rata-rata lima pengukuran ketebalaan film. 6. Pengukuran Kuat Tarik dan Persentase Pemanjangan Kuat tarik dan persentase pemanjangan diukur dengan menggunakan Tensile Strength and Elongation Tester Industries model SSB 0500. Sebelum dilakukan pengukuran, film dikondisikan dalam ruangan bersuhu 25 oC dengan kelembaban (RH) 75 % selama 24 jam. Nilai gaya maksimum untuk memotong film yang diukur dapat dilihat pada display (layar) Tensile Strength and Elongation Tester. Kuat tarik ditentukan berdasarkan beban maksimum pada saat film pecah dan persentase pemanjangan didasarkan atas pemanjangan film saat film pecah. Kuat tarik = F/ A ; F = gaya kuat tarik (N), A = luas contoh (m2) % Elongasi =
ba x100 % a

Keterangan: a: panjang awal b: panjang setelah putus 6. Laju Transmisi Oksigen Metode Manometer Laju transmisi oksigen terhadap film diukur dengan menggunakan Gas Transmission Rate Tester Speedivac 2. Sebelum diukur, film dikondisikan dalam ruangan bersuhu 25oC, RH 50%

selama 24 jam. Film yang diuji dipotong dengan diameter 105-108 mm. Film harus bebas dari kerusakan atau cacat. Contoh ditempatkan pada dasar sel, ditutup dan sekrup dikencangkan. Ujung alat pengukur dimiringkan ke kiri agar tetesan merkuri pada dasar tabung pengukur menuju pipa kapiler. Kran-kran ditutup, kran A dan 4 dibuka, serta pompa vakum dihidupkan. Tabung tekanan compesation dan tabung pengukur dikosongkan serta divakumkan sesempurna mungkin kira-kira lima menit untuk mengurangi gas yang teradsorpsi. Pemompaan vakum dilanjutkan dalam ruang 2 kurang dari 0.2 mmHg (27 Pa). Kran 4 ditutup dan pompa vakum tetap dijalankan. Alat pengukur dikembalikan pada posisi tegak lurus. Udara dimasukkan perlahan-lahan pada distributor dengan cara membuka kran 3 sampai benang merkuri akan turun dimana lajunya akan tergantung kepada permeabilitas film yang diuji. Selanjutnya dibuat grafik antara tinggi merkuri (h) dalam cm terhadap waktu (t) dalam jam. Laju transmisi gas (G) pada tekanan 1 atm dihitung dengan rumus :
G = 24 x To 1 10 4 V + 2aH dh xC x x x T Po A H CH dt

Keterangan : To = 273oC G = laju transmisi gas (cm3/m2/24 jam) T = suhu pengujian (oK) Po = tekanan atmosfir normal (1 atm) A = luas permukaan film (cm2) V = volume awal ruang (cm3) a = penampang melintang tabung kapiler (cm2) h = tinggi merkuri dalam tabung dibaca pada waktu mulai (cm) H = tinggi merkuri dihubungkan dengan tekanan atmosfir (cm) C = faktor koreksi (1) dh/dt = slope dari kurva pada titik t (cm/jam)

7. Laju Transmisi Uap Air Metode Gravimetri (ASTM E-96-99) Laju transmisi uap air terhadap film diukur dengan menggunakan metode gravimetri. Bahan penyerap uap air (CaCl2) diletakkan dalam kaleng. Kemudian sampel diletakkkan di atas kaleng tersebut sedemikian rupa sehingga menutupi kaleng tersebut. Tutup dengan parafilm untuk menutupi bagian antara wadah dengan sampel sehingga tidak ada udara masuk. Cawan ditimbang dengan ketelitian 0.0001 g kemudian diletakkan dalam desikator yang berisi garam K2SO4. Cawan ditimbang tiap hari pada jam yang sama dan ditentukan panambahan berat dari cawan. Selanjutnya dibuat grafik hubungan antara pertambahan berat dan waktu. Nilai WVTR dihitung dengan rumus : WVTR = slope / luas sampel (m2) = g/m2/24 jam (97% RH, 30oC) WVP = WVTR x L / [(P2-P1)] L : tebal film (mm) P2 : tekanan uap air jenuh di luar kaleng (mm Hg) P1 : tekanan uap air jenuh di dalam kaleng (mm Hg) 8. Pengamatan Mikrostruktur dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) Scanning electron microscope (SEM) digunakan untuk melihat mikrostrukur edible film. Sebelum dilakukan pengukuran, edible film kitosan dilarutkan di dalam heksana selama 60 menit dengan pengocokan menggunakan Shaker. Edible film kitosan dilapiskan pada plat alumunium dengan menggunakan pelekat. Kemudian divakum selama 5 menit. Selanjutnya proses coating dengan emas selama 15 menit. Edible film kitosan siap di foto dengan JEOL Model JSM 5310 LV Scanning Microscope.

c. Pengujian Aktivitas Antimikroba Edible Film Terhadap Bakteribakteri Patogen (Garriga et al., 1993)
Pengujian aktivitas antimikroba edible film terhadap bakteri patogen dilakukan dengan metode cakram (Garriga et al., 1993).

1. Persiapan Kultur Uji Disiapkan terlebih dahulu kultur uji dengan menginokulasikan satu ose kultur murni dari agar miring Nutrient Agar (NA) ke dalam 10 ml medium cair Nutrient Broth (NB) secara aseptik. Kultur uji kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37 oC. Kultur uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bacillus cereus, Eschericia coli, Salmonella typhimurium, dan Staphylococcus aureus. Diagram alir persiapan kultur uji dapat dilihat pada Gambar 6. Kultur murni bakteri

Diinokulasikan ke dalam 10 ml Nutrient Broth Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam

Kultur uji

Gambar 6. Diagram alir persiapan kultur uji


2. Pengujian Aktivitas Antimikroba dengan Metode Cakram Kultur uji diinokulasikan sebanyak 0.2 ml ke dalam media NA 100 ml sehingga diperoleh konsentrasi 0.2% yang telah siap dituang ke cawan petri steril. Selanjutnya 20 ml media NA yang telah berisi kultur uji dituangkan ke cawan petri dan dibiarkan menjadi padat. Setelah memadat, ditempelkan edible film yang telah dipotong-potong, dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 1 hari. Zona penghambatan adalah lebar areal bening yang terbentuk di sekitar sumur yang diukur dengan jangka sorong dengan satuan mm. Selain itu, dilakukan pengujian aktivitas antimikroba terhadap kontrol yaitu edible film dari pati sagu dengan pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2%. Diagram alir metode cakram dapat dilihat pada Gambar 7.

Kultur uji

Diinokulasikan 0,2 % ke dalam 20 ml NA Dituangkan ke dalam cawan petri dan dibiarkan membeku Dibuat potongan edible film dengan diameter 1 cm

Diinkubasi pada suhu 37 OC selama 24 jam

Ditempelkan potongan edible film ke dalam cawan yang membeku

Diukur diameter penghambatan (mm) Gambar 7. Diagram alir metode cakram

d. Rancangan Percobaan
Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan 3 faktor yang diulang 2 kali. Perlakuan yang diterapkan berturut-turut adalah perbedaan pelarut (asam asetat 1% dan asam laktat 2%), penambahan asam lemak (asam palmitat 0%, 5% dan 10% (w/w) dan asam laurat 0%, 5% dan 10% (w/w)), dan penambahan esensial oil ekstrak kunyit (0 % dan 100 l/g kitosan). Rancangan ini digunakan untuk uji statistik terhadap analisis nilai pH, kadar air, aw, warna, ketebalan, kuat tarik, persen pemanjangan, dan nilai WVP. Model rancangan percobaan yang digunakan sebagai berikut : Yijkl = + i + j + k + ()ijk + ijkl Dimana: Yijkl = Pengamatan pada faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j, faktor C taraf ke-k, dan ulangan ke-l = Nilai tengah umum = Pengaruh utama faktor A (pelarut) = Pengaruh utama faktor B (asam lemak)


i j k l

= Pengaruh utama faktor C (esensial oil ekstrak kunyit) = Galat = Banyaknya perlakuan faktor A (pelarut) = Banyaknya perlakuan faktor B (asam lemak) = Banyaknya perlakuan faktor C (esensial oil ekstrak kunyit) = Ulangan

() = Komponen interaksi dari faktor A, faktor B, dan Faktor C

Apabila perlakuan berpengaruh nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5 % untuk mengetahui apakah ada perbedaan nyata antar perlakuan. Analsis ini dilakukan menggunakan software SPSS 12.0.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN
Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan esensial oil

ekstrak kunyit yang akan ditambahkan pada pembuatan edible film. Ekstraksi adalah suatu tahapan yang bertujuan sebagai tahap pemisahan komponen terlarut untuk tujuan identifikasi komponen. Reineccius (1994) melaporkan bahwa terdapat tiga metode utama untuk memisahkan atau mengisolasi komponen flavor tanaman yaitu dengan cara destilasi, pengepresan, dan ekstraksi pelarut. Metode ekstraksi yang dilakukan tergantung pada beberapa faktor, antara lain : (1) tujuan dilakukan ekstraksi, (2) skala ekstraksi, (3) sifat-sifat komponen yang akan diekstraksi, dan (4) sifat-sifat pelarut yang akan digunakan (Hougton dan Raman, 1998). Metode paling sederhana untuk mengekstraksi padatan adalah mencampurkan seluruh bahan dengan pelarut, lalu memisahkan larutan dengan padatan tidak terlarut. Ekstraksi pada rempah-rempah dengan menggunakan pelarut menghasilkan oleoresin dan soluble spices (Farrel, 1990). Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode maserasi (basah) dengan pelarut etil asetat perbandingan 1 : 4. Sebelum dilakukan ekstraksi, pertama-tama bahan perlu dilakukan persiapan. Menurut Purseglove et al. (1981), persiapan bahan baku yang mencakup pengeringan bahan sampai kadar air tertentu dan penggilingan yang bertujuan untuk mempermudah proses ekstraksi yang akan dilakukan. Ekstraksi maserasi dilakukan dengan cara perendaman sampel dalam pelarut kemudian di shaker selama 24 jam. Kemudian larutan disaring dengan menggunakan pompa vakum. Selanjutnya dilakukan pemisahan komponen kunyit dengan pelarut etil asetat menggunakan rotavapor dengan suhu 50oC sampai membentuk cincin. Persyaratan yang harus dipenuhi oleh pelarut untuk mengekstrak rempah-rempah antara lain adalah: tidak berbau dan tidak berasa, sehingga tidak mempengaruhi mutu produk akhir; mudah berpenetrasi karena viskositasnya rendah, sehingga efisiensi ekstraksi tinggi; mudah dipisahkan

tanpa menimbulkan residu sehingga produk dapat bebas dari pelarut dan dapat digunakan secara selektif dengan berbagai suhu dan tekanan ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak bermutu baik (Moyler, 1994). Brenan dan Davidson (1993), menyatakan bahwa aktivitas antimikroba yang optimum sangat ditentukan oleh keseimbangan hidrofilik-lipofilik. Sifat hidrofilik dibutuhkan agar zat antimikroba dapat larut di dalam air yang merupakan tempat tumbuh mikroba, sedangkan karakteristik lipofilik diperlukan agar zat tersebut dapat bereaksi dengan membran dari mikroba. Pelarut etil asetat mempunyai dua sifat kelarutan yang dikehendaki dalam menunjang aktivitas antimikroba tersebut. Hasil rendemen ekstrak kunyit adalah 7,63 % (w/w). Ekstrak kunyit di kemas pada botol warna dan di simpan di lemari es sebelum digunakan. Ekstrak kunyit ini selanjutnya digunakan untuk penambahan antimikroba alami pada penelitian utama. Kunyit dapat digunakan sebagai antimikroba karena kunyit mengandung 5% esensial oil yang terdiri dari turmeron, borneol, sineol, phellandrene, kurkumin, dan zingeron (Farrel, 1990). Minyak esensial dari rempah-rempah dapat digunakan sebagai antimikroba alami.

B. KARAKTERISASI EDIBLE FILM KITOSAN


Hasil sensori penampakan edible film kitosan yang menggunakan pelarut asam laktat menghasilkan edible film yang lebih elastis dibandingkan dengan pelarut asetat. Hal ini karena asam laktat mempunyai sifat plasticizer. Plasticizer biasanya adalah bahan dengan bobot molekul rendah yang ditambahkan dengan maksud meningkatkan elastisitas (Wan et al., 2005).

(a)

(b)

Gambar 8. Edible film kitosan (a) pelarut asetat, (b) pelarut laktat

1. Hasil Analisis pH
Derajat keasaman bahan pangan yang dinyatakan dengan pH merupakan salah satu faktor penting yang menentukan ketahanan bahan pangan tersebut terhadap kontaminasi mikroorganisme. pH merupakan tingkat konsentrasi ion H+ yang ada pada sampel terukur. Ion H+ tersebut dapat berasal dari disosiasi komponen asam dalam sampel tersebut, semakin banyak ion H+ yang terdisosiasi maka nilai pH akan semakin rendah. Pengukuran pH pada larutan film menggunakan pH meter. Pada penelitian ini larutan film dengan pelarut asam asetat 1% mempunyai nilai pH antara 3.78 sampai 4.03, sedangkan larutan film dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai pH antara 2.60 sampai 2.66. Hasil pengukuran nilai pH dari larutan film kitosan dapat dilihat pada Gambar 9.
4.05

3.95

pH

3.9

3.85

3.8 3.75 2.68

Palm itat (asetat) Laurat (asetat) Palm itat + Kunyit (asetat) Laurat + Kunyit (asetat)

2.66

Palm itat (laktat) Laurat (la kta t) Palm itat + Kunyit (laktat) Laurat + Kunyit (laktat)

2.64 pH

2.62

2.6

2.58

2.56 0 5 Asam lem ak (% , w /w ) 10

Gambar 9. Grafik nilai pH edible film kitosan

Pembentukan film kitosan mudah terjadi apabila dalam keadaan asam, karena kitosan dapat larut secara sempurna dalam keadaan asam dan bersifat polielektrolit netral pada pH asam. Kitosan larut dalam beberapa larutan asam organik tetapi tidak larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam larutan yang mengandung konsentrasi ion hidrogen di atas pH 6,5, tetapi kitosan dapat larut dalam asam hidroklorit dan asam sitrat pada konsentrasi 0,15-1,1 % dan tidak larut pada konsentrasi 10 %. Kitosan juga tidak larut dalam larutan asam sulfur tetapi sebagian larut pada asam ortofosfat dengan konsentrai 0,5 %. Kitosan berbentuk spesifik dan mengandung gugus amino dalam rantai karbonnya. Hal ini disebabkan kitosan bermuatan positif yang berlawanan dengan polisakarida lainnya (Ornum, 1992). Hasil uji lanjut Duncan edible film kitosan yang dihasilkan terhadap nilai pH dinyatakan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran

3). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan derajat keasaman dari berbagai
perlakuan. Perbedaan pelarut asam laktat 2% dan pelarut asam asetat 1% menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%, penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%. Larutan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat mempunyai pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut asetat. Karena konsentrasi pelarut asam laktat yang digunakan lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan nilai pKa asam laktat yang lebih rendah (3,08) dibandingkan dengan nilai pKa asam asetat (4,75) (Doores, 2005). Penambahan asam lemak semakin banyak menunjukkan adanya peningkatan derajat keasaman dari larutan edible film. Sedangkan perbedaan asam lemak yang ditambahkan tidak berpengaruh terhadap peningkatan derajat keasaman. Penambahan esensial oil ekstrak kunyit menurunkan derajat keasaman edible film kitosan yang dihasilkan.

2. Hasil Analisis Nilai Kadar Air dan Aktivitas Air (aw)


Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa komponen selain ikut serta sebagai bahan pereaksi, sedangkan bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas dan air terikat. Air bebas dapat dengan

mudah hilang apabila terjadi penguapan atau pengeringan, sedangkan air terikat sulit dibebaskan dengan cara tersebut. Air dapat terikat secara fisik, yaitu ikatan menurut sistem kapiler dan air terikat secara kimia, antara lain kristal dan air yang terikat dalam sistem disperse (Purnomo, 1995). Secara umum dapat dikatakan bahwa kadar air dan aktivitas air (aw) sangat berpengaruh dalam menentukan masa simpan dari produk pangan, karena faktor-faktor ini akan mempengaruhi sifat-sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat fisiko kimia, perubahan-perubahan kimia (pencoklatan non enzimatis), kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis terutama pangan yang tidak diolah (Winarno, 1997). Pada penelitian ini edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1% mempunyai nilai kadar air antara 26.37 sampai 29.69 %, sedangkan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai kadar air antara 27.34 sampai 32.48 %. Hasil pengukuran nilai kadar air dari edible film kitosan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil pengukuran kadar air (% b.k)


Edible film Palmitat 0% Konsentrasi asam lemak ( w/w ) 5% 10% 26.57 ab 0.47 29.69 fg 0.37 27.82 c 0.39 28.36 cde 0.76 27.34 ab 0.31 31.95 h 0.66 28.54 cdef 0.63 28.20 cd 0.81 27.37 abc 0.66 28.47 cdef 0.65 29.57 efg 0.32 32.48 h 0.43

26.34 a 0.60 26.34 a 0.60 30.50 g 0.33 30.50 g 0.33

Asetat Laktat

Laurat Palmitat + Kunyit Laurat + Kunyit Palmitat Laurat

Palmitat + 29.36 defgh 0.69 27.60 bc 0.31 Kunyit Laurat + 30.17 g 0.44 27.81 c 0.11 Kunyit Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Hasil uji lanjut Duncan edible film kitosan yang dihasilkan terhadap nilai kadar air dengan perbedaan pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2% dinyatakan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 10). Hal

ini menunjukkan adanya perbedaan kadar air dari berbagai perlakuan. Edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai kadar air lebih tinggi dibandingkan dengan pelarut asam asetat 1%. Hal ini dapat dijelaskan dengan adanya gugus hidrofilik yang lebih banyak pada pelarut asam laktat 2% yaitu gugus OH dan gugus -COOH. Sehingga ikatan hidrogen antara pelarut laktat dengan air semakin kuat. Penambahan asam lemak palmitat, asam lemak laurat, dan esensial oil ekstrak kunyit tidak berpengaruh terhadap nilai kadar air edible film kitosan. Kadar air berpengaruh terhadap sifat mekanik dan aktivitas antimikroba dari edible film kitosan. Semakin besar kadar air ketebalan semakin besar, persen elongasi semakin besar, dan nilai kuat tarik semakin rendah. Gontard et al. (1993) melaporkan bahwa air merupakan plasticizer yang paling efektif untuk hydrokoloid, akan tetapi tidak stabil karena sangat tergantung pada kondisi RH ruangan. Selain itu dilakukan pengukuran aktivitas air pada edible film kitosan. Tingkat mobilitas dan peranan air bagi proses kehidupan biasanya dinyatakan dengan besaran aktivitas air (aw), yaitu perbandingan tekanan uap parsial dalam bahan pangan dengan tekanan uap air jenuh. Semakin tinggi aw suatu bahan pangan maka semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya jasad renik dalam bahan pangan tersebut. Aktivitas air ini adalah jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi biologi dan kimiawi. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh baik, misalnya bakteri aw 0,90, khamir aw 0,80-0,90, dan kapang aw 0.60-0,70. Nilai aktivitas air (aw) diukur untuk mengetahui kemungkinan produk tercemar oleh pertumbuhan mikroba. Menurut Labuza (1982), hubungan antara aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas yaitu pada selang aktivitas air sekitar 0.70.75 atau lebih, mikroorganisme berbahaya dapat mulai tumbuh dan produk menjadi beracun. Nilai aktivitas air (aw) dapat diukur dengan menggunakan alat aw-meter yang telah dikalibrasi dengan

menggunakan garam jenuh yang memiliki kelembaban 75%. Prinsip pengukuran nilai aktivitas air yaitu sampel diletakkan pada suatu wadah yang memiliki sensor dan dibiarkan mencapai keadaan setimbang. Dari hasil pengukuran aktivitas air edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1% berkisar antara 0.611 0.624 dan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% berkisar antara 0.664 0.672 dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan nilai yang diperoleh, maka dapat disimpulkan edible film kitosan tersebut aman dari pertumbuhan mikroba khususnya bakteri dan khamir. Sedangkan kapang masih bisa tumbuh. Pada umumnya kapang dapat tumbuh pada pangan yang memiliki nilai aktivitas air (aw) diatas 0,6-0,7 (Winarno, 1997).

Tabel 4. Hasil pengukuran aw


Edible film Palmitat 0% Konsentrasi asam lemak ( w/w ) 5% 10% 0.613 b 0.0021 0.613 ab 0.0007 0.618 ab 0.0028 0.614 ab 0.0007 0.664 d 0.0071 0.669 de 0.0007 0.611 a 0.0014 0.611 a 0.0007 0.613 ab 0.0014 0.613 ab 0.0007 0.664 d 0.0049 0.668 de 0.0014

0.624 c 0.0014 0.624 c 0.0014 0.669 de 0.0021 0.669 de 0.0021

Asetat Laktat

Laurat Palmitat + Kunyit Laurat + Kunyit Palmitat Laurat

Palmitat + 0.669 de 0.0007 0.669 de 0.0007 Kunyit Laurat + 0.672 e 0.0014 0.670 de 0.0021 Kunyit Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Hasil uji lanjut Duncan edible film kitosan yang dihasilkan terhadap nilai aw dengan perbedaan pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2% dinyatakan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 2). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan aktivitas air dari berbagai perlakuan. Penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat menurunkan nilai aw edible film kitosan. Semakin banyak kosentrasi asam lemak yang ditambahkan, aktivitas air dari edible film kitosan semakin menurun. Hal ini

dapat dijelaskan dengan prinsip interaksi hidrofobik dan hidrofilik. Penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat pada edible film kitosan menurunkan interaksi gugus hidrofilik kitosan dan air, karena sifat asam-asam lemak tersebut yang mengandung gugus hidrofobik. Sehingga, air yang dapat diikat oleh kitosan melalui ikatan hidrogen menjadi berkurang. Akibatnya, nilai aw edible film kitosan yang dihasilkan menjadi turun. Mekanisme lain yang mungkin terjadi adalah adanya asam lemak rantai panjang memberikan pengaruh interaksi hidrofobik. Menurut Paramawati (2001), interaksi hidrofobik merupakan ikatan kimia yang paling kuat dalam membentuk matriks tiga dimensi dari film. Kondisi ini dapat memberikan peluang yang besar bagi matriks yang terbentuk untuk dapat mengikat air bebas. Sehingga, nilai aw edible film kitosan yang dihasilkan semakin tinggi. Semakin besar konsentrasi asam lemak rantai panjang yang ditambahkan, maka interaksi hidrofobik akan bertambah besar. Sehingga, aw akan semakin meningkat dengan kenaikkan konsentrasi asam lemak rantai panjang tersebut. Tetapi perbedaan asam lemak tidak berpengaruh terhadap penurunan nilai aktivitas air edible film kitosan. Sedangkan penambahan ekstrak kunyit tidak berpengaruh terhadap aktivitas air dari edible film kitosan yang dihasilkan. Nilai aw untuk edible film kitosan yang dihasilkan sekitar 6 cukup baik untuk aplikasinya dalam bahan pangan.

3. Hasil Analisis Warna


Pengukuran intensitas warna pigmen dilakukan dengan alat

Chromameter Minolta CR-310. Alat ini menggunkan sistem L, a, dan b. L menunjukkan kecerahan dengan nilai 0 (gelap/ hitam) hingga 100 (terang/ putih), sedangkan a dan b adalah koordinat-koordinat chroma. Parameter a adalah cahaya pantul yang menghasilkan warna kromatik campuran merah hijau dengan nilai +a (positif) dari nol sampai 100 (merah) dan nilai a (negatif a) dari nol sampai 80 (hijau). Parameter b adalah warna kromatik campuran biru kuning dengan nilai +b (positif b) dari nol sampai 70 (kuning) dan nilai b (negatif b) dari nol sampai 70 (biru).

80

70 Warna L Palmitat (asetat) Laurat (asetat) Palmitat + Kunyit (asetat) Laurat + Kunyit (asetat)

60

50

Palmitat (laktat) Laurat (laktat) Palmitat + Kunyit (laktat) Laurat + Kunyit (laktat)

40 0 5 Asam lemak (%, w/w) 10 0 5 Asam lemak (%, w/w) 10

(a)
20 Palmitat (laktat) Laurat (laktat) Palmitat + Kunyit (laktat) Laurat + Kunyit (laktat) 15

10

Palmitat (asetat) Laurat (asetat) Palmitat + Kunyit (asetat) Laurat + Kunyit (asetat)

Waran a

0 0 5 Asam lemak (%, w/w) 10 0 5 Asam lemak (%, w/w) 10

(b)
55 Palmitat (asetat) Laurat (asetat) Palmitat + Kunyit (asetat) Laurat + Kunyit (asetat)

50

45

Warna b

40

35

30 Palmitat (laktat) Laurat (laktat) Palmitat + Kunyit (laktat) Laurat + Kunyit (laktat) 0 5 Asam lemak (%, w/w) 10 0 5 Asam lemak (%, w/w) 10

25

20

(c) Gambar 10 . Grafik analisis warna dengan chromameter (a) warna L, (b)
warna a, (c) warna b

Hasil uji lanjut Duncan edible film kitosan yang dihasilkan terhadap nilai L, a. dan b dinyatakan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%. Perbedaan pelarut asam laktat 2% dan pelarut asam asetat 1% menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%, penambahan asam lemak palmitat, asam lemak laurat, dan ekstrak kunyit menunjukkan berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 4a, 4b, dan 4c). Warna edible film kitosan yang diukur nilai L, a, dan b dapat dilihat pada Gambar 14. Tingkat kecerahan edible film kitosan ditunjukkan oleh nilai L. Semakin tinggi nilai L yang terukur, semakin cerah warna aktual yang terlihat. Nilai L edible film kitosan yang diukur adalah 51.14 sampai 80.54. Penambahan asam lemak palmitat, asam lemak laurat, dan ekstrak kunyit menurunkan nilai L. Ini berarti bahwa edible film kitosan semakin gelap. Penambahan asam lemak palmitat, asam lemak laurat, dan ekstrak kunyit menaikkan nilai a. Hal ini berarti warna edible film kitosan cenderung ke warna merah. Penambahan asam lemak palmitat, asam lemak laurat, dan ekstrak kunyit meningkatkan nilai positif b. Hal ini berarti warna edible film kitosan cenderung ke warna kuning. Warna kuning pada edible film kitosan disebabkan oleh adanya pigmen kurkuminoid yang terdapat pada kunyit. Kurkuminoid yang terkandung pada kunyit terdiri dari kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bisdesmetoksikurkumin. Kurkuminoid merupakan komponen zat pigmen yang memberikan warna kuning tua (orange) pada kunyit. Warna ini sangat dipengaruhi oleh pH asam (Rukmana, 1994).

4. Hasil Analisis Ketebalan


Ketebalan film dipengaruhi oleh banyaknya total padatan dalam larutan dan ketebalan cetakan. Dengan cetakan yang sama, film yang terbentuk akan lebih tebal apabila volume larutan yang dituangkan ke dalam cetakan lebih banyak. Demikian juga dengan total padatan yang akan membentuk film menjadi lebih tebal dengan jumlah yang lebih banyak. Perbedaan jenis pelarut mempengaruhi ketebalan edible film yang dihasilkan. Edible film yang dihasilkan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai ketebalan lebih besar dibandingkan dengan edible film dengan

pelarut asam asetat 1%. Penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat mempengaruhi ketebalan film semakin bertambah. Ketebalan edible film kitosan tergantung pada total padatan yang terkandung dalam larutan film dan jumlah larutan yang dituangkan pada kaca casting. Banyaknya larutan pembentuk film adalah 300 ml setiap lembaran film.

Tabel 5. Hasil pengukuran ketebalan (mm)


Edible film Palmitat 0% Konsentrasi asam lemak ( w/w ) 5% 0.143 b 0.0031 0.150 c 0.0008 0.150 c 0.0038 0.153 cd 0.0013 0.258 g 0.0010 0.254 g 0.0029 10%

0.127 a 0.0027 0.127 a 0.0027 0.234 f 0.0053 0.234 f 0.0053

0.155 cd 0.0008 0.159 de 0.0025 0.153 cd 0.0028 0.163 e 0.0010 0.256 g 0.0031 0.258 g 0.0016

Asetat Laktat

Laurat Palmitat + Kunyit Laurat + Kunyit Palmitat Laurat

Palmitat + 0.265 h 0.0035 0.279 i 0.0055 Kunyit Laurat + 0.271 h 0.0010 0.283 i 0.0033 Kunyit Angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% Ketebalan edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1% yang diperoleh berkisar antara 0.127 sampai 0.163 mm, sedangkan ketebalan edible film kitosan dengan pelarut laktat 2% berkisar 0.234 sampai 0.283 mm. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa berbagai perlakuan memberikan hasil ketebalan film yang berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%. Uji lanjut berganda Duncan menunjukkan bahwa ketebalan film dengan pelarut asam laktat 2% dan pelarut asam asetat 1% berbeda nyata pada taraf 5% dan penambahan asam laurat dan asam palmitat menghasilkan ketebalan yang berbeda nyata pada taraf 5% (Lampiran 5). Ketebalan film dengan pelarut asam laktat lebih besar tebalnya dibandingkan dengan film dengan pelarut asam asetat. Edible film kitosan dengan pelarut asam laktat memiliki ketebalan lebih tinggi dibandingkan dengan film dengan pelarut asam asetat. Hal ini dapat terjadi karena asam laktat memiliki potensi untuk berikatan dengan air

lebih banyak dari pada asam asetat. Berdasarkan strukturnya, setiap molekul asam laktat mempunyai gugus satu hidroksi (-OH) dan satu gugus karboksilat (-COOH), sedangkan asam asetat hanya memiliki satu gugus karboksilat. Perbedaan struktur ini mengakibatkan asam laktat mempunyai potensi berikatan hidrogen dengan air lebih besar. Sehingga, film yang terbentuk mampu menyerap air dengan lebih banyak. Akibatya, film dengan pelarut asam laktat mempunyai ketebalan yang lebih tinggi. Penambahan asam lemak meningkatkan tebal edible film kitosan. Ketebalan edible film kitosan dengan pelarut asam asetat dengan perbedaan asam lemak berpengaruh nyata pada taraf 5%. Penambahan asam laurat lebih meningkatkan ketebalan dibandingkan dengan penambahan asam lemak palmitat. Sedangkan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat, perbedaan asam lemak tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% terhadap ketebalan. Hal ini dapat terjadi akibat semakin bertambahnya total padatan pada edible film kitosan tersebut. Interaksi antara penambahan ekstrak kunyit menyebabkan perbedaan secara nyata terhadap ketebalan film pada taraf 5%. Ketebalan edible film dipengaruhi oleh luas cetakan, volume larutan, dan banyaknya total padatan dalam larutan (Park et al. 1993).

5. Hasil Analisis Kuat Tarik


Kuat tarik merupakan gaya tarik maksimum yang dapat di tahan oleh sebuah film hingga terputus. Kuat tarik yang terlalu kecil mengindikasikan bahwa film yang bersangkutan tidak dapat dijadikan kemasan, karena karakter fisiknya kurang kuat dan mudah patah. Pada penelitian ini edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1% mempunyai nilai kuat tarik antara 17.69 sampai 29.29 MPa, sedangkan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai kuat tarik antara 1.83 sampai 2.90 MPa. Grafik nilai kuat tarik edible film kitosan dapat dilihat pada Gambar 11.

30 28 26 24 22 20 18 16 3 .2 P a lm it a t ( a s e t a t ) L a u r a t (a se t at) P a lm it a t + K u n y it ( a s e t a t ) L a u r a t + K u n y it ( a s e t a t )

Kuat tarik (MPa) Kuat tarik (MPa)

2 .8

2 .4

P a lm it a t ( la k t a t ) L a u r a t ( la k t a t ) P a lm it a t + K u n y it ( la k t a t ) L a u r a t + K u n y it ( la k t a t )

1 .6 0 5 A s a m le m a k ( % , w / w ) 10

Gambar 11. Grafik nilai kuat tarik edible film kitosan Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan pelarut
memberikan hasil kuat tarik yang berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 7). Edible film kitosan dengan pelarut asetat mempunyai kuat tarik yang lebih besar dibandingkan dengan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat. Menurut Kim et al. (2006), keberadaan counter ion yang lebih besar seperti asam laktat dapat mengurangi sifat kekuatan film yang dihasilkan. Uji lanjut Duncan pelarut asam laktat 2% menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam palmitat, asam laurat, dan ekstrak kunyit memberikan hasil kuat tarik yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Sedangkan uji lanjut Duncan pelarut asetat 1% memberikan hasil kuat tarik yang berbeda nyata pada taraf 5%. Penambahan asam lemak menurunkan kuat tarik edible film kitosan. Hal ini dapat dijelaskan, asam lemak bersifat non polar. Ikatan antara non polar dari asam lemak dan polar dari air lebih tidak stabil dibandingkan dengan ikatan polar dan polar. Oleh karena itu, ikatan non polar dan polar lebih mudah patah.

Menurut Yang dan Paulson (2000) penambahan asam lemak mengakibatkan penurunan kuat tarik dari edible film. Srinivasa et al. (2006) melaporkan bahwa edible film kitosan yang ditambah dengan polyols (gliserol, sorbitol, dan polietilen glikol (PEG)) dan asam lemak dapat menurunkan kuat tarik edible film kitosan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti ( Caner et al. 1998; Srinivasa et al. 2006). Krochta dan Johnston (1997) melaporkan bahwa kisaran nilai kuat tarik yang dapat diaplikasikan untuk edible film standar antara 10 sampai 100 MPa. Dengan demikian edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1% baik untuk diaplikasikan sebab nilai kuat tariknya >10 Mpa, sedangkan edible film kitosan dengan pelarut laktat 2% baik untuk diaplikasikan pada edible coating.

6. Hasil Analisis Persen Pemanjangan


Pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum sebelum edible film terputus. Persen pemanjangan mempresentasikan kemampuan film untuk meregang secara maksimum. Pada penelitian ini edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1% mempunyai nilai persen pemanjangan antara 32.22 sampai 76.67 %, sedangkan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai persen pemanjangan antara 438.89 sampai 693.33 %. Grafik nilai persen pemanjangan edible film kitosan dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan pelarut memberikan hasil persen elongasi yang berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 6). Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa persen elongasi pada pelarut asam laktat 2% dan pelarut asam asetat 1% berbeda nyata pada taraf 5%. Uji lanjut Duncan pelarut asam asetat 1% menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam palmitat, asam laktat, dan kunyit memberikan hasil persen elongasi yang tidak berbeda nyata pada taraf 5%. Sedangkan uji lanjut Duncan pelarut asam laktat 2% memberikan hasil persen elongasi yang berbeda nyata pada taraf 5%.

700

Persen elongasi (%)

600

500
Palm itat (laktat) Laurat (laktat) Palm itat + Kunyit (laktat) Laurat + Kunyit (laktat)

400

300 80 72 64 Persen elongasi (%) 56 48 40 32 24 0 5 As am lemak (%, w /w ) 10


Palm itat (asetat) Laurat (asetat) Palm itat + Kunyit (asetat) Laurat + Kunyit (asetat)

Gambar 12. Grafik nilai persen pemanjangan


Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa pelarut asam laktat 2% mempunyai persen elongasi yang sangat besar dibandingkan dengan pelarut asetat. Karena asam laktat mempunyai sifat sebagai plasticizer. Menurut Begin dan Calsteren (1999) pembentukkan edible film kitosan dapat dipengaruhi oleh keberadaan senyawa lain. Keberadaan senyawa ionik seperti asam asetat dan asam laktat dapat mempengaruhi pembentukan kristal kitosan. Semakin tinggi volume (bobot molekul) suatu pelarut yang ditambahkan akan semakin mempengaruhi pembentukan kristal kitosan. Asam laktat mempunyai bobot molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan asam asetat. Sehingga, sifat kristal edible film kitosan lebih dipengaruhi oleh keberadaan asam laktat dibandingkan keberadaan asam asetat. Akibatnya, kuat tarik dan persen pemanjangan film dengan pelarut asam laktat lebih lembut dan elastis. Selain

itu juga dipengaruhi oleh ikatan hidrogen air dan asam laktat yang lebih kuat, sehingga air yang terikat pada edibel film kitosan semakin banyak. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan asam palmitat dan asam laurat menurunkan persen elongasi. Penambahan asam lemak membuat matrik film akan tidak kompak sehingga mudah robek. Kuat tarik dan pensen elongasi dipengaruhi oleh plasticizer. Plasticizer yang digunakan dalam penelitian ini adalah PEG-400 dengan konsentrasi 15% (w/w) untuk pelarut asetat 1% dan 10% (w/w) untuk pelarut asam laktat 2%. Plasticizer merupakan bahan dasar yang ditambahkan sebagai pembentuk polimer film. Plasticizer berfungsi untuk mengurangi gaya antar molekul sehingga meningkatkan mobilitas rantai biopolimer dan memperbaiki sifat mekanik (Krochta dan McHugh, 1994). Krochta dan Johnston (1997) melaporkan karakteristik edible film standar mempunyai persen pemanjangan 10 50 %. Nilai persen pemanjangan yang mendekati dengan edible film standar yaitu edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1%, sedangkan pada pelarut asam laktat 2% dihasilkan edible film kitosan yang sangat fleksibel menyebabkan kesulitan pada aplikasinya. Kemungkinan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% cocok diaplikasikan sebagai edible coating. Edible film dengan nilai pemanjangan yang rendah mengindikasikan bahwa film tersebut kaku dan mudah patah. Umumnya struktur film lebih lembut, kuat tarik menurun dan persen pemanjangan meningkat. Persen pemanjangan yang lebih tinggi menunjukkan bahwa film lebih fleksibel. Hal ini membuktikan bahwa film tahan terhadap kerusakan secara mekanik pada penanganan dengan mesin secara proses di industri pangan.

7. Hasil Analisis Transmisi Uap Air


Permeabilitas merupakan salah satu faktor penting dalam pengemasan pangan, sebab berhubungan erat dengan masa simpan produk pangan. Nilai permeabilitas berfungsi untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas dan untuk menentukan bahan yang sesuai dikemas didalamnya.

Transmisi uap air sangat dipengaruhi oleh aw, RH, temperatur, ketebalan, jenis dan konsentrasi plasticizer dan sifat bahan pembentuk edible film. Umumnya film yang terbuat dari bahan protein dan polisakarida mempunyai nilai transmisi uap air yang tinggi. Hal ini disebabkan karena bahan tersebut merupakan polimer polar dan mempunyai jumlah ikatan hidrogen yang besar, sehingga menghasilkan penyerapan air pada RH tinggi. Akibatnya, penyerapan air tersebut akan mengganggu interaksi rantai intermolekuler, yang kemudian diikuti dengan peningkatan difusifitas dan mampu menyerap uap air dari udara (Krochta et al., 1994). Pembuatan edible film dengan penambahan asam lemak laurat dan palmitat berfungsi menurunkan transmisi uap air karena sifat hidrofobiknya. Permeabilitas merupakan salah satu faktor penting dalam pengemasan pangan, sebab berhubungan erat dengan masa simpan produk pangan. Nilai permeabilitas berfungsi untuk memperkirakan daya simpan produk yang dikemas dan untuk menentukan bahan pangan yang sesuai dikemas didalamnya. Pada penelitian ini edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1% mempunyai nilai WVP antara 0.7692 sampai 0.927 g.mm/m2.hari.mmHg, sedangkan edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai WVP antara 1.3914 sampai 1.7317 g.mm/m2.hari.mmHg. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan pelarut memberikan hasil WVP yang berbeda nyata secara statistik pada taraf 5% (Lampiran 8). Perbedaan pelarut mempengaruhi nilai WVP. Edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai WVP lebih besar dibandingkan dengan pelarut asam asetat 1%. Hal ini dapat dijelaskan dengan mekanisme interaksi hidrofilik-hidrofilik asam laktat dengan air dari lingkungan. Gugus hidroksi (-OH) pada asam laktat yang lebih banyak dari pada asam asetat, menjadikan asam laktat mampu mengikat air lebih banyak pula. Akibatnya penyerapan air dari lingkungan ke dalam kaleng WVP semakin meningkat, sehingga nilai WVP-nya pun semakin bertambah. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Caner et al. (1998) yang menyatakan bahwa nilai WVPC edible film kitosan semakin menurun dengan pelarut berturut-turut dari laktat, format, propionat, dan asetat.

1.75 1.7 1.65 1.6 1.55 1.5 1.45 1.4 1.35 1 0 5 10


Palm itat (asetat) Laurat (aseta t) Palm itat + K unyit (asetat) Laurat + K unyit (asetat) Palm itat + K unyit (laktat) Laurat (laktat) Palm itat (laktat) Laurat + K unyit (laktat)

WVP (g.mm/m2.24 jam.mmHg) WVP (g.mm/m2.24 jam.mmHg)

0.95

0.9

0.85

0.8

0.75 0 5 A sam lemak (% , w/w) 10

Gambar 13. Grafik analisis WVP


Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan penambahan asam lemak memberikan hasil WVP yang berbeda nyata secara statistik pada taraf 5%. Berdasarkan hasil analisis WVP, penambahan asam lemak laurat dan asam lemak palmitat menurunkan nilai transmisi uap air. Penambahan asam lemak palmitat lebih efektif menurunkan nilai transmisi uap air dibandingkan dengan penambahan asam lemak laurat. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Dominic et al. (1992), penambahan asam lemak yang paling efektif menurunkan permeabilitas uap air adalah asam laurat dibandingkan dengan asam lemak palmitat. Hal ini dapat dijelaskan pada penambahan asam laurat tidak optimum karena asam laurat memisah dari edible film kering. Penambahan asam lemak dan ekstrak kunyit tidak memberikan hasil WVP yang optimum. Hal ini dapat dijelaskan karena asam lemak dan ekstrak kunyit memberikan efek tidak sinergis. Yang dan Paulson (2000) melaporkan bahwa

penambahan asam lemak pada edible gellan film dapat menurunkan nilai WVP. Hal ini berbeda dengan penelitian Srinivasa et al. (2006), bahwa penambahan asam lemak tidak mempengaruhi WVP. Menurut Kim et al. (2006), edible film kitosan dengan pelarut asam asetat dan propionat mempunyai nilai WVP dan persen pemanjangan yang rendah, tetapi nilai kuat tariknya tinggi. Sedangkan edible film kitosan yang dihasilkan dari pelarut asam laktat mempunyai nilai persen pemanjangan dan WVP yang tinggi, tetapi nilai kuat tariknya rendah. Ketebalan edible film juga berpengaruh terhadap transmisi uap air. McHugh et al. (1994) menyatakan bahwa film hidrofilik menunjukkan hubungan positif antara ketebalan dan tranmisi uap air, jika ketebalan film meningkat maka film memberikan peningkatan ketahanan terhadap perpindahan massa sehingga tercapai kesetimbangan tekanan parsial uap air pada permukaan film bagian dalam meningkat.

8. Hasil Analisis Transmisi Oksigen


Laju transmisi oksigen adalah banyaknya gas oksigen yang melalui suatu lapisan dari material yang permukaannya datar dan rata, sebagai akibat perbedaan tekanan udara pada kedua sisi permukaannya (Harris, 1999). Transmisi oksigen merupakan parameter penting dalam kemasan pangan, karena berhubungan dengan sifat kecepatan oksidasi produk pangan di dalam kemasan. Sifat transmisi gas oksigen suatu kemasan akan menentukan jenis produk pangan yang sesuai dengan kemasan tersebut. Berdasarkan hasil analisis O2TR menunjukkan bahwa dengan penambahan asam lemak ada yang menurunkan dan meningkatkan nilai O2TR. Hasil yang didapatkan menunjukkan nilai yang hampir seragam sekitar 0.3950 sampai 4.7628 cc/m2/24 jam. Transmisi gas oksigen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sifat fisik dan berat molekul pemlastis, modifikasi film dan struktur permukaan, interaksi kimia antara pemlastis dan gas O2 dan CO2 serta kemampuan molekul-molekul kecil untuk mengisi kekosongan di dalam matrik polimer (Donhowe dan Fennema, 1993).

5 Palmitat (asetat) Laurat (asetat) Palmitat + Kunyit (asetat) Laurat + Kunyit (asetat) Palmitat (laktat) Laurat (laktat) Palmitat + Kunyit (laktat) Laurat + Kunyit (laktat)

O2TR (cc/m2/24 jam)

0 0 5 Asam lemak (%, w/w) 10 0 5 Asam lemak (%, w/w) 10

Gambar 14. Grafik analisis O2TR


Bobot molekul O2 yang lebih besar dari H2O, sifat O2 yang hidrofobik dan struktur permukaan polisakarida bersifat hidrofilik menyebabkan O2 agak susah menembus jaringan rantai polimer polisakarida dibandingkan dengan transmisi uap air. Nilai transmisi uap air lebih besar dibandingkan nilai transmisi O2. Film polisakarida mempunyai sekat lintas yang sangat baik terhadap gas O2 dan CO2 karena mempunyai susunan molekul-molekul yang sangat rapat sekali, struktur jaringan ikatan hidrogen yang sangat kuat sekali dan mempunyai kelarutan yang rendah (Krochta dan McHugh, 1994). Laju transmisi oksigen edible film kitosan yang rendah dapat diaplikasikan untuk kemasan, karena produk yang dikemas akan aman dari proses oksidasi. Oleh karena itu perlu dipilih edible film yang memiliki laju transmisi oksigen yang rendah atau bernilai nol.

9. Hasil Analisis SEM


Scanning Electron Microscopy (SEM) permukaan edible film yang mengandung asam lemak digunakan untuk mengetahui mikrostruktur permukaan film. Film yang dianalisis dengan Scanning Electron Microscopy dapat dilihat pada Gambar 15.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

(f)

Gambar 15 . Mikrostruktur edible film kitosan (a) Asetat + Palmitat 5%; (b)
Laktat + Palmitat 5%; (c) Asetat + Palmitat 10%; (d) Laktat + Palmitat 10%; (e) Asetat + Laurat 10%; (f) Laktat + Laurat 10% dengan pembesaran x3.500 Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat pori-pori bekas asam lemak yang terlarut dengan heksana pada permukaan edible film kitosan. Semakin kecil diameter pori-pori edible film berarti mikrostruktur edible film yang terbentuk semakin bagus. Perbedaan asam lemak mempengaruhi diameter pori-pori edible film kitosan yang terbentuk. Berdasarkan Gambar 15 terlihat edible film kitosan dengan penambahan asam lemak palmitat diameter poriporinya lebih kecil dan jumlahnya banyak, dibandingkan dengan penambahan asam laurat. Pada penambahan asam lemak laurat tidak terbentuk globula-

globula lemak dan dikhawatirkan ada pemisahan fase. Semakin kecil diameter pori-pori yang terbentuk pada permukaan edible film kitosan dapat menurunkan difusi uap air pada permukaan edible film.

C. AKTIVITAS ANTIMIKROBA EDIBLE FILM KITOSAN


Kitosan mempunyai aktivitas antimikroba karena sifat-sifat yang dimilikinya yaitu dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak dan sekaligus melapisi produk yang diawetkan sehingga terjadi interaksi yang minimal antara produk dan lingkungannya. Berbagai hipotesa yang sampai saat ini masih berkembang mengenai mekanisme kerja kitosan sebagai antibakteri. Mekanisme kitosan dan turunannya sebagai antibakteri belum diketahui dengan pasti. Ada beberapa kemungkinan mekanisme, yaitu (1) kitosan merupakan polikationik yang dapat berikatan dengan muatan negatif dari membran sel bakteri melalui interaksi elektrostatik, sehingga mempengaruhi permeabilitas membran sel dan mengakibatkan terjadinya kebocoran bahan-bahan intraseluler seperti protein, enzim, materi generik, dan lain-lain (Chen et al., 1998); (2) kitosan sebagai pengkelat logam mampu mengikat ion-ion logam pada larutan intrasel yang berperan penting bagi kelangsungan hidup sel bakteri; (3) kitosan berikatan dengan DNA dan manghambat mRNA dan sintesis protein (Sudharshan et al., 1992). Mekanisme antibakteri kitosan pertama kali didokumentasikan oleh Muzarelli et al. (1990) yang menunjukkan perubahan pada dinding sel bakteri dan organel melalui mikrograf elektron. Hasil tersebut kemudian diperkuat oleh Helander et al. (2001) yang menunjukkan bahwa kitosan merusak perlindungan membran luar dari bakteri Gram negatif. Mikroskop elektron memperlihatkan bahwa kitosan menyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan sel dan menutupi membran luar bakteri dengan struktur vesikular. Kitosan berikatan dengan membran luar dan menyebabkan kehilangan fungsi barrier dari membran sel bakteri. Sifat ini memungkinkan kitosan diaplikasikan sebagai pelindung/pengawet makanan (Helander et al., 2001).

Muatan positif dari C-2 glukosamin pada pH dibawah 6 membuat kitosan lebih baik aktivitas antibakterinya dibandingkan kitin. Aktivitas antimikroba kitosan bergantung pada jenis grup fungsional dan berat molekulnya (Shahidi et al., 1999). Aktivitas antimikroba kitosan berasal dari polikation alaminya yang dapat berikatan dengan protein. Panjang ikatan grup alkil kitosan berpengaruh terhadap aktivitas antimikrobanya (Jung et al., 1999). Untuk menguji aktivitas antimikroba dari edible film kitosan, maka dilakukan serangkaian uji daya hambat edible film kitosan dengan metode kontak terhadap bakteri patogen yaitu Bacillus cereus, Eschericia coli, Salmonella typhimurium, dan Staphylococcus aureus. Zona penghambatan adalah lebar areal bening yang terbentuk di sekitar sumur yang diukur dengan jangka sorong dengan satuan mm. Selain itu, dilakukan uji kontrol terhadap edible film pati sagu dengan pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2%.

D2 D1

(a)
kontrol pati sagu Zona penghambatan: D2 D1

(b)

Gambar 16. Zona penghambatan (a) Edible film kitosan, (b) Edible film

Ket : D1 : Diameter edible film dan penghambatan (mm) D2 : Diameter edible film (mm)

Hasil pengujian aktivitas antimikroba edible film dapat dilihat pada Gambar

17, 18, 19, dan 20. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9.

13.000 12.000 10.67510.715 11.07 11.115 10.605

A A+P5% A+P10% A+L5% 8.84 7.945 8.05 5.7 5.82 6.3856.415 7.645 7.12 7.12 A+L10% A+P5%+K A+P10%+K A+L5%+K A+L10%+K 3.285 3.18 L L+P5% L+P10% L+L5%
A+ A P A+ 5 % P1 A+ 0 % L A+ 5% L 1 A+ 0 P % A+ 5 % P 1 +K A+ 0 % + L K A+ 5% L 1 +K 0% +K L+ L P L+ 5% P1 L+ 0% L L+ 5% L L+ 10% P L+ 5% P 1 +K L+ 0% + L K L+ 5% L 1 +K 0% +K

D ia m e te r p e n g h a m b a ta n (m m )

11.000 10.000 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 2.865

L+L10% L+P5%+K L+P10%+K

Perlakuan

L+L5%+K L+L10%+K

Gambar 17. Aktivitas penghambatan Edible Film terhadap Escherichia coli

15.000 13.595 14.000 13.000 12.000 10.705 10.305 10.330 12.480 11.165 11.140

A A+P5% A+P10% A+L5% A+L10% A+P5%+K A+P10%+K A+L5%+K A+L10%+K

Diameter penghambatan (mm)

11.000 10.000 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.015 2.000 1.000 0.000 6.390 6.295 5.150 5.295 4.560 4.595 5.715 5.765

10.10510.180

L L+P5% L+P10% L+L5% L+L10% L+P5%+K L+P10%+K L+L5%+K

A+ A P5 A+ % P1 0 A+ % L5 A+ % L A+ 10% P5 A+ % P1 +K 0 A+ %+ L5 K A+ %+ L1 K 0% +K

P5 % P1 0% L+ L5 L+ % L1 L+ 0% P5 L+ % + P1 K 0% L+ + L5 K L+ % + L1 K 0% +K

L+L10%+K

L+

Perlakuan

Gambar 18. Aktivitas penghambatan Edible Film terhadap Bacillus cereus

L+

14.000 13.000 12.000 11.005 10.895 10.33 9.7 12.31 12.28 11.09 11.14 9.895

A A+P5% A+P10% A+L5% A+L10% A+P5%+K A+P10%+K

D iam eter p en g h am b atan (m m )

11.000 10.000 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000
P1 0 A+ % L5 A+ % L A+ 1 0% P A+ 5% P 1 +K 0 A+ % + L5 K A+ % L 1 +K 0% +K

7.15 7.185 6.03

6.81

A+L5%+K A+L10%+K

3.85 3.885 L 1.945 2.2 2.355 L+P5% L+P10% L+L5% L+L10%


L+ L P L+ 5% P1 0 L+ % L5 L+ % L L + 1 0% P5 L+ % + P1 K 0 L+ % + L5 K L+ % + L1 K 0% +K A P5 %

L+P5%+K L+P10%+K L+L5%+K L+L10%+K

A+

A+

Perlakuan

Gambar 19. Aktivitas penghambatan Edible Film terhadap Salmonella typhimurium

14.000 13.000 12.000

A 12.060 11.285 11.320 11.310 A+P5% A+P10% A+L5% A+L10% A+P5%+K A+P10%+K 6.735 6.820 5.325 5.315 4.625 3.915 3.960 2.845 2.950 1.895 L L+P5% L+P10% L+L5% L+L10% L+P5%+K
A L P A+ 5 % P1 0 A+ % L A+ 5% L A+ 1 0 % P A+ 5 % P1 +K 0 A+ % + L K A+ 5 % L 1 +K 0% +K % P1 0 L+ % L5 L+ % L L + 1 0% P L+ 5% P 1 +K 0 L+ % + L5 K L+ % + L1 K 0% +K P5 A+ L+

D iam eter p en g h am b atan (m m )

11.000 10.000 9.000 8.000 7.000 6.000 5.000 4.000 3.000 2.000 1.000 0.000 5.930 5.685 5.775 5.200

A+L5%+K A+L10%+K

L+P10%+K L+L5%+K L+L10%+K

Perlakuan

Gambar 20. Aktivitas penghambatan Edible Film terhadap Staphylococcus aureus

L+

Pelarut asam asetat 1% dan asam laktat 2% mempunyai sifat antimikroba. Sehingga perlu dilakukan pengujian aktivitas antimikroba kontrol dengan bahan baku pati sagu. Berdasarkan uji kontrol aktivitas antimikroba terhadap edible film pati sagu, pelarut asam asetat 1% tidak memberikan aktivitas penghambatan dan pelarut asam laktat 2% memberikan aktivitas penghambatan. Hal ini membuktikan bahwa kitosan mempunyai aktivitas antimikroba Diameter penghambatan edible film kitosan adalah zona penghambatan edible film kitosan dikurangi dengan diameter penghambatan kontrol pati sagu. Interaksi muatan positif molekul kitosan dengan muatan negatif membran sel mikroba menyebabkan terjadinya lisis sehingga terjadi kebocoran protein dan komponen penyusun intraseluler dari dalam sel mikroba. Kitosan dapat berfungsi sebagai chelating agent yang secara spesifik mengikat ion metal sehingga dapat menghambat produksi toksin dan pertumbuhan mikroba. Kitosan juga dapat mengikat air dan dapat menghambat berbagai enzim. Kitosan dapat mengikat DNA dan menghambat sintesis mRNA (Shahidi et al., 1999).

(a)

(b)

Gambar 21. Zona penghambatan (a) Edible film kitosan pelarut asam laktat, (b) Edible film kitosan pelarut asam asetat
Pada Gambar 17 terlihat bahwa sampel Laktat+Palmitat10%+Kunyit memiliki aktivitas penghambatan terhadap Eschericia coli terbesar, yaitu 11.115 mm. Selain itu sampel Laktat+Palmitat5%, Laktat+Laurat10%, Laktat+Palmitat5%+Kunyit, dan Laktat+Laurat10%+Kunyit memiliki aktivitas penghambatan yang hampir sama. Sedangkan sampel-sampel yang lain memiliki aktivitas penghambatan tidak jauh beda. Pada Gambar 18 terlihat bahwa sampel Laktat+Palmitat5%+Kunyit memiliki aktivitas penghambatan terhadap Bacillus cereus terbesar, yaitu 15.595 mm. Sedangkan sampel-sampel yang lain memiliki aktivitas penghambatan sekitar 2.015 sampai 12.48 mm. Pada Gambar 19 aktivitas penghambatan yang terbesar terhadap Salmonella typhimurium ditunjukkan oleh sampel Laktat+Laurat10%+Kunyit, yaitu dengan rerata penghambatan 12.31 mm. Sampel-sampel pelarut laktat yang lain memiliki aktivitas penghambatan 9.7 sampai 12.28 mm. Sedangkan sampel-sampel dengan pelarut asetat memiliki aktivitas penghambatan 1.945 sampai 7.185 mm. Hasil pengujian aktivitas penghambatan terhadap Staphylococcus aureus pada Gambar 20, menunjukkan bahwa aktivitas terbesar adalah sampel Laktat+Laurat5%+Kunyit, yaitu dengan rerata penghambatan 12.06 mm. Sampel-sampel pelarut laktat yang lain memiliki aktivitas penghambatan 4.625 sampai 11.35 mm. Sedangkan sampel-sampel dengan pelarut asetat memiliki aktivitas penghambatan 1.895 sampai 6.82 mm. Berdasarkan pengujian aktivitas antimikroba memperlihatkan perbedaan yang sangat nyata dengan perbedaan pelarut. Edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2 % memperlihatkan aktivitas penghambatan yang lebih besar dibandingkan dengan edible film kitosan dengan pelarut asam asetat 1 %. Hal ini kemungkinan dipengaruhi edible film kitosan dengan pelarut asam laktat 2% mempunyai kadar air yang lebih tinggi sehingga proses difusi ke dalam media Nutrient Agar lebih mudah, sehingga proses penghambatan kitosan lebih optimum. Selain itu, edible film kitosan dengan

pelarut asam laktat 2% mempunyai nilai pH yang lebih asam dibandingkan dengan pelarut asam asetat 1%. Penurunan pH di bawah kisaran pH pertumbuhan mikroba sehingga menghambat pertumbuhan mikroba dengan baik. Hal ini dapat disimpulkan bahwa pelarut asam laktat 2% lebih efektif aplikasinya sebagai penghambat mikroba. Riaudo et al. (1999) melaporkan bahwa interaksi antara kation dari asam organik sebagai pelarut dan nitrogen dari gugus amino kitosan. Interaksi ini sangat mempengaruhi efek antimikroba dari edible film kitosan yang dihasilkan. Berdasarkan hasil pengujian aktivitas antimikroba memperlihatkan tidak adanya pola pada penghambatan dengan penambahan asam lemak terhadap aktivitas antimikroba edible film kitosan. Hal ini dapat terjadi diakibatkan perubahan senyawa asam-asam lemak tersebut menjadi bentuk esternya yang bereaksi dengan polietilen glikoll (polialkohol). Menurut Kabara dan Marshall (2005) asam lemak yang telah teresterifikasi menjadi tidak aktif dalam menghambat pertumbuhan mikroba. Berdasarkan pengujian aktivitas antimikroba memperlihatkan bahwa penambahan esensial oil ekstrak kunyit sinergis memperbaiki aktivitas penghambatan terhadap mikroba. Hal ini disebabkan karena kunyit mempunyai senyawa antimikroba alami. Senyawa antimikroba dapat menyebabkan kerusakan sel bakteri dengan beberapa cara. Secara umum mekanisme kerja antimikroba dalam menghambat mikroba adalah: (1) bereaksi dengan membran sel, (2) inaktivasi enzim esensial, dan (3) mendekstruksi atau menginaktivasi fungsi dari materi genetik (Davidson, 2001). Menurut Pelczar dan Chan (1986), senyawa antimikroba dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan mikroba atau membunuh mikroba dengan mekanisme berupa perusakan dinding sel dengan cara menghambat proses pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang sudah terbentuk, dan perubahan permeabilitas membran sitoplasma sehingga terjadi kebocoran nutrisi dari dalam sel. Dengan rusaknya membran sitoplasma akan menyebabakan terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel.

Zivanovic et al. (2005) melaporkan bahwa edible film kitosan dengan inkorporasi esensial oil aregano dapat menghambat aktivitas antimikroba, edible film kitosan murni dapat menurunkan L. monocytogenes 2 log, inkorporasi 1% dan 2% esensial oil aregano dapat menurunkan L. monocytogenes 3.6 sampai 4 log dan E. coli 3 log. Selain itu, Kanatt et al. (2008) juga telah menghasilkan penelitian bahwa kitosan yang ditambah dengan mint lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif (S. aureus dan B. cereus) dari pada Gram negatif (E. coli). Pada Gambar 20 terlihat bahwa zona penghambatan terbesar adalah terhadap Bacillus cereus, yaitu 13.595 mm. Dari semua perlakuan terhadap sampel edible film kitosan, penghambatan yang kuat terhadap Bacillus cereus sebagai bakteri Gram positif. Hal ini diduga oleh adanya perbedaan pada senyawa penyusun struktur dinding sel, di mana pada bakteri Gram positif dinding selnya mengandung lipid yang rendah, yaitu 1-4 %. Sedangkan pada bakteri Gram negatif terdapat kandungan lipid yang lebih tinggi, yaitu 1122%. Semakin besar lipid yang terkandung pada dinding sel bakteri, maka efek hidrolisisnya akan semakin kuat. Sehingga, efek polikationik kitosan sebagai antimikroba menjadi lebih dominan dalam menghambat pertumbuhan bakteri tersebut. Selain itu, dinding sel bakteri Gram positif hanya berlapis tunggal, sedangkan pada bakteri Gram negatif memiliki lapis tiga (Pelczar dan Chan, 1986). Kedua faktor inilah yang menyebabkan bakteri Gram positif lebih rentan terhadap masuknya antimikroba melalui dinding selnya dibandingkan dengan bakteri Gram negatif.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
Penambahan asam lemak dan esensial oil pada edible film kitosan berfungsi memperbaiki sifat fisik, mekanik, dan perbaikan aktivitas antimikroba dari kitosan. Asam lemak yang ditambahkan yaitu asam lemak palmitat dan asam lemak laurat dengan konsentrasi 0%, 5%, dan 10% (w/w kitosan). Penambahan asam lemak bertujuan memperbaiki sifat barrier terhadap uap air. Esensial oil yang ditambahkan adalah esensial oil ekstrak kunyit dengan konsentrasi 0% dan 100 l/g kitosan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan adanya penambahan asam lemak palmitat dan asam lemak laurat dapat memperbaiki sifat barrier terhadap uap air dan sifat mekanik dari edible film kitosan. Ini terbukti dengan penambahan asam lemak menurunkan nilai WVP dari edible film kitosan yang dihasilkan. Penambahan esensial oil kunyit tidak berpengaruh terhadap sifat barrier uap air dan sifat mekanik edible film kitosan yang dihasilkan. Selain itu, penambahan esensial oil ekstrak kunyit dapat memperbaiki aktivitas antimikroba dari edible film kitosan. Edible film kitosan yang paling optimum sifat barrier uap air dan sifat mekaniknya pada penelitian ini adalah edible film kitosan dengan formulasi pelarut asam asetat 1% dan penambahan asam palmitat 10%.

B. SARAN
1. Setelah mengetahui karakteristik edible film kitosan maka perlu dipelajari aplikasi pada produk pangan yang sesuai dengan karakteristik edible film yang dihasilkan. 2. Perlu dilakukan analisis FTIR untuk mengetahui interaksi kitosan lipid pada edible film komposit yang dihasilkan.

DAFTAR PUSTAKA
Angka, S.L. dan M.T. Suhartono. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Pangkajian Sumberdaya dan Pesisir Lautan. IPB. Bogor. AOAC (Association of Official Agricultural Chemist). 1984. Official Methods of Analysis. AOAC, Washington D. C. Aryanto, A. Y. 2002. Pemanfaatan Khitosan dari Limbah Kulit Udang (Crustacea) Sebagai Bahan untuk Pembuatan Membran. Skripsi. Fakultas Teknologi Perikanan, IPB. Bogor. [ASTM] American Society for Testing and Material. 1993. Annual Book of ASTM Standars, Philadelpia. Austin, P. A. 1984. Chitin Solvent and Solibility Parameters. Departement of Commerse. The University of Dewalare. US. Bastaman, S. 1989. studies on degradation extraction of chitin and chitosan from prawn shrimp [thesis]. belfast: The Department of Mechanical Manufacturing Aeronautical and Chemical Engineering, The Queen University. Begin, A. dan Van Calsteren, M.R. 1999. Antimicrobial films produced from chitosan. Int J. Biol Macromol 26:637. Belitz, H. D. Dan Grosch, W. 1999. Food Chemistry. Germany: Springer Publishing. Blackburn , C. W. Dan McClure, P. J. 2002. Foodborne pathogens hazard, risk analysis and control. CRC Press. New York. USA. Brandenberg, A. H., C. L. Weller, dan R. S. Testin. 1993. Edible film and coating from soy protein. J. Food Sci. 5: 5. Brenan, A. L dan P. M. Davidson. 1993. Antimicrobial in Foods. Marcel Dekker, inc. New York. Brezki, M. M. 1987. Chitin and chitosan putting waste to good use. Infofish 5/87 : 31-33. Butler, B. L., P. J. Vergano, R. F. Testin, J. M. Bunn dan J. L. Wiles. 1996. Mechanical and Barrier Properties of Edible Chitosan Films as affected by Composition and Storage. J. Food Sci. Vol 61(5) 953-955p.

Caner, C., Vergano, P. J., & Wiles, J. L. 1998. Chitosan film mechanical and permeation properties as affected by acid, plasticizers, and storage. Journal of Food Science, 63, 10491052. Chang, K. L. B., Tsai, G., Lee, J., Fu, W. 1997. Heterogenous N-deacetylation of chitin in alkaline solution. Carb Res 303: 327-332. Chen, M. C., G. H. C. Yeh, B. H. Chiang. 1996. Antimicrobial and physicochemical properties of methylcellulosa and chitosan films containing aqueus preserpative. J. Food Processing and Preservation 20: 379-390. Chen, C. S. Liau, W. Y. dan Tsai, G. J. 1998. Antibacterial effects of N-sulfonated and N-sulfobenzoyl chitosan and application to oyster preservation. J. Food Prot 61: 1124-1128. Coma, V., A. Martial-Cros., S. Garreau., A. Copinet., F. Salin. dan A. Deschamps. 2002. Edible antimicrobial films based on chitosan matrix. J. Food Science. Vol. 67/ nr.3. Davidson PM. 2001. On the nature trail in search of the wild antimicrobial. J. Food Sci Technol 15:55. Dahuri, R. 2005. Road Map Pembangunan Nasional Menuju Indonesia yang maju, Adil-Makmur dan Bermartabat. Di dalam: BEM KM IPB. Membangun Indonesia. IPB Press, Bogor. Deuchi, K., Kanauchi, O., Imasoto, Y., Kobayashi, E. 1994. Decreasing Effect of Chitosan on the Apparent Fat Digestibility by Fats of a High Fat Diet. Biosci. Biotech. Biochem. 58:1613-1616. Dillon, C. P. 1992. Materials Selection for The Chemical Process Industries. McGrow-Hill, USA. Dominic, W.S.W., W.M. Camirand dan A.E. Paulath. 1994. Development of Edible Coating for Minimally Processed Fruit and Vegetables. Di dalam : Krochta et al. (ed). Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publ Co. Inc. Lancaster-Basel. Pennsylvania, USA. Donhowe, I. G. dan Fennema, O. R. 1993. The effects of plastisizer on crystallinity, permeability and mechanical properties of methylcellulose films. J. Food Process and Preserv 17: 247-257. Doores, S. 2005. Organic Acid. Di dalam: Davidson, P.M, J.N. Sofos, dan A.L. Branen (eds.). Antimicrobials in Food 3nd. CRC Press, Boca Raton. Emmawati, A. 2004. Produksi khitosan dengan perlakuan kimiawi dan enzimatis menggunakan NaOH dan khitin deasetilase [Tesis]. Bogor. Sekolah Pascasarjana, Institur Pertanian Bogor.

Fardiaz, S. 1992. mikrobiologi Pangan I. PT. Gramedia Pustaka Utamaa, Jakarta. Farrel, K. T. 1990. Spice, Condiments, and Seasoning. The AVI Publishing Co. Inc., Van Nonstrand Reinhold New York. Gan, Y. 1987. Pengaruh Bubuk Rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val.) terhadap Pertumbuhan Sel Vegetatif, Germinasi, dan Pertumbuhan Spora Bacillus sp. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Gennadios, A. 2002. Protein Based Films and Coating. CRC Press, Florida. Gontard, N., Guilbert, S. dan Cuq, J. L. 1993. Water and glyserol as plasticizer affect mechanical and water vapor barrier properties of an wheat gluten film. J. Food Sci. Vol. 57: 190-195p. Goosen, M.F.A. 1997. Applications of Chitin and Chitosan. USA : Technomic. Greener, I. K. dan Fennema, O. R. 1989. Barrier properties and surface characteristic of edible bilayer film. Recerived and Expanded Marcel dekker, Inc. New York. Hagenmaier, R. D., dan Shaw, P. E. 1990. Moisture permeability of edible lms made with fatty acids and hydroxypropyl methylcellu-lose. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol 38: 1799-1803. Harris, H. 1999. Kajian Teknik Formulasi terhadap Karakteristik Edible Film dari Pati Ubi Kayu, Aren dan Sagu untuk Pengemas Produk Pangan Semibasah. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Hekmat, O., tokuyasu, K., dan Withers, S. G. 2003. Subsite strukture of the endotype chitin deasetylase from a Deuteromycetes, Colleotrishum lindemuthianum: an investigation using stesdy state kinetic analysis and MS. Biochem 374: 369-380. Helander, I. M. Nurmiaho, E. L. Ahvenainen, R. Rhoades, J. dan Roller, S. 2001. Chitosan disrupts the barrier properties of the outer membrane of Gramnegative bacteria. Int J Food Microbial 71: 235-244. Houghton, P. J. Dan A. Raman. 1998. Laboratory Handbook for The Fractination of Natural Extracts. Di dalam: Muhtadi. 2002. Isolasi Komponen Antibakteri dari Biji Atung (Parinarium glaberrium Hassk) [disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hal 30-31, 34. Igoe, R.S. dan Y. H. Hui. 1994. Dictionary of Food Ingredients. Chapman and Hall. New York.

Ikeda, I., Sugano., Yoshida, K., Sasaki, E., Iwamoto, Y., Hatano, K. 1993. Effect of Chitosan Hidrolysates on Lipid Absorption and on Serum and Liver Lipid Consentration in Rats. J. Agric. Food Chem. 41(3):431-435. Jay, J. M. 1986. Modern Food Microbiology 2(nd) edition. Wayne State University. New York. Jeong, Y. J., dan Kim, S. K. 2002. Chitosan as an edible invisible film for quality preservation of herring and Atlatic cod. J. Agric Food Chem 50: 5167-5178. Johnson, E. L. dan Q. P. Peniston. 1982. Utilization of Shelfish Wastes for Produstion Chitin and Chitosan Production Chemistry of Marine Food Product. AVI Publ., Westport. P. 415-422. Jung, B.O. Kim, C.H. Choi, K.S, Lee,Y.M. dan Kim, J.J. 1999. Preparation of Amphiphilic Chitosan and Their Antimicrobial Activities. J. Appl. Pol. Sci.72: 1713-1719. Kabara, J.J. dan D.L. Marshall. Medium-Chain Fatty Acid and Esters. Di dalam: Davidson, P.M, J.N. Sofos, dan A.L. Branen (eds.). Antimicrobials in Food 3nd. CRC Press, Boca Raton. Kanatt, S.R., R. Chander, dan A. Sharma. 2008. Chitosan and Mint Mixture: A New Preservative for Meat and Meat Product. J. Food Chemistry. 107: 845852 Ketaren, S. 1986. Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UI Press. Jakarta. Kim, S. H., No, H. K., Kim, S. D. dan Prinyawiwatkul, A. 2006. Effect of Plasticizer Concentration and Solvent Types on Shelf-life of Eggs Coated with Chitosan. J. of Food Scince. Vol 7/ nr. 4. Kittur, F.S., K.R. Kumar dan R.N. Tharanathan. 1998. Functional packaging properties of chitosan film. Z. Lebesm Unters Forsch A. 206: 44-47. Koesnandar. 2004. Penelitian dan Pengembangan Asam Laktat di Indonesia. Simposium Asam Laktat: Peluang dan Aplikasi di Industri, 20 April 2004. Jakarta. BPPT. Kolodziejska, I., Wojtasz- Pajak, A., Ogonowska, G., dan Sikorski, Z. E. 2000. Deacetylation of Chitin in two-stage Chemical and Enzymatic Process. Bulletin of Sea Fisheries Institute 2: 15-24. Knorr, D. 1982. Functional properties of chitin and chitosan. J. Food Sci. 8: 593. ,1984. Dye Binding Properties of Chitin and Chitosan. food Sci. New York.

Krochta, J.M. 1992. Control of Mass Transfer in Food with Edible Coatings and Films. Di dalam : Singh, R.P. dan M.A. Wirakartakusumah (eds). Advances in Food Engineering. CRC Press : Boca Raton, F.L. : pp 517-538. Krochta, J. M. Baldwin, E. A. dan Nisperos-Carriedo, M. A. 1994. Edible coating and film to Improve Food Quality. USA: Technomic. Krochta, J. M. dan Johnston, C. deMulder. 1997. Edible and biodegradable polymer films: Challenges and opportunities. Food Technol 51(2):61-74. Krochta, J. M. dan McHugh, T. H. 1994. Sorbitol vs glyserol plastisized whey protein edible film: Integrated oxygen permeability and tensile property evaluation. J. Agric Food Chem 42(4): 841-845. Kumins, C. A. 1965. Transport througgh polymer film. J. Polymer Sci. part C.10:1. Labuza, T. P. 1982. Shelf Life Dating of Foods. Food and Nutrition Press Inc., Westport, Conneticut. Lap. Protan. 1987. Cational Polymer for Recovering Valuable by Product from Processing Waste Burggess. USA. Lukman, A. A. S. 1984. Pengaruh Bubuk rimpang Kunyit (Curcuma domestica Val) dan Bubuk Residu Ekstraknya Terhadap Pertumbuhan Beberapa Bakteri Basili Gram positif. Skripsi. IPB. Bogor. Manullang, M. 1998. Pemanfaatan khitosan dalam minuman kaya serat makanan. Bul. Teknologi dan Industri Pangan. vol IX no. 1: 34-43. McHugh, T. H. Aujard, J. F. dan Krochta, J. M. 1994. Plasticized whey protein edible films: water vapour permeability properties. J. Food Sci 59(2): 416419. Moyler, D. A. 1994. Spices Recent Advances. Di dalam charalambous (Ed.). Spices, Herb and Edible Fungi. Elsevier. Amsterdam. Muchtadi, T. R. dan Sugiono. 1992. Petunjuk Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Muzarelli, R. A. A. Farsi, R. Filippini, O. Giovanetti, E. Biagini, G. Varaldo, P. E. 1990. Antimicrobial properties of N-Carboxybutyl chitosan. Antimicrobial Agents Chemonth 34: 2019-2023. No, H. K. Park, N. Y. kim, H. R. dan Meyers, S. P. 2002. Antibacterial activity of chitosan and chitosan oligomers with different molecular weight. J. Food Microbial 74: 65-72.

Ornum, J. U. 1992. Shrimp Waste Must It Be Wasted?. Infofish 6: 48-51. Paramawati, R. 2001. Kajian fisik dan mekanik terhadap karakteristik film kemasan organik dari -zein jagung [Tesis]. Program Pascasarjana, IPB. Bogor. Park, H. J. dan M. S. Chinnan. 1995. Gas and water vapour barrier properties of edible films from protein and cellulose materials. J. Food Eng. 25: 766. Park, H.J., C.L. Weller, P.J. Vergano dan R.F. Testin. 1996. Factor affecting barrier and mechanical properties of protein-edible, degradable films. New Orlean. L.A. Pelczar, M. J. dan Reid, R. D. 1972. Food Microbiology. Mc Graw Hill Book Co. Inc., New York. Pranoto, Y., S.K. Rakshit., V.M. Salokhe. 2004. Enhancing antimicrobial activity of chitosan film by incorporating garlic oil, potassium sorbate and nisin. LWT. 38: 859-865. Purnomo, H. 1995. Aktivitas Air dan Peranannya dalam Pengawetan Pangan. UIPress, Jakarta. Pursglove et. al.1981. Spices vol. II. Reineccius. 1994. Source Book of Flavors. Chapman and Hall, New York. Rinaudo, M., Milas, M., dan Dung, P. L. 1993. Characterization of chitosan influence of ionic strength and degree of acetylation on chain expansion. International Journal of Biological Macromolecules, 15, 281285. Rochima, E. 2005. Aplikasi Kitin Deasetilase Termostabil dari Bacillus papandayan K29-14 Asal Kawah Kamojang Jawa Barat Pada Pembuatan Kitosan [Tesis]. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Roller, S., Sagoo,S., Board, R., OMahony,T., Fitzgerald, G., Fogden, M., Owen, M., dan Flecher, H. 2002. Novel combination of chitosan, carnocin, and sulphite for preservation of chilled pork sausages. Meat Sci 19: 165-177. Rukmana, H. R. 1994. Kunyit: Budi Daya dan Pasca Panen. Kanisius. Yogyakarta. Sagoo, S., Board, R. dan Roller, S. 2002. Chitosan inhibits growth of spoilage microorganisms in chilled pork products. Food Microbial 19: 175-182. Sanford, P. A. 1989. Chitosan use and potensial application. Dalam Chitin and Chitosan Chemistry, Biochemistry, Physhical Properties and Application.

Sanford, P. Thorllef, A. Gudmund Skjak-Brak(eds). Elselvier Sci. Publ. Co. Inc. New York. ,2003. World market of chitin and its derivatives. Di dalam: Varum, K. M, Domand, A. dan Smidsrod, O. Editors. Advances in Chitin Science. Vol VI. Trondheim, Norway. Shahidi, F., Arachi, J. K. V. dan Jeon, Y. J. 1999. Food application of chitin and chitosan. Review. Trends in Food Science and Technology. 10: 37-51. Shahidi. F., Arachchi. J. K. V., Jeon, Y. J. 1999. Food Applications of Chitin and Chitosan. Trends Food Sci Technol 10: 37-51. Sophanodora, P. dan S. Benjakula. 1993. Convertion and utilition of from prawn shell. Dalam Development of Food Science and Technology in Southest Asia. Proceeding at the 4 th Asia Good Conference 1992. B. L. Oei, A. Buchanan, dan D. Fardiaz (eds). Jakarta, Indonesia. february 17, 21, 1992. Srinivasa, P.C. Ramesh, M.N. dan Tharanathan, R.N. 2006. Effect of plasticizers and fatty acids on mechanical and permeability characteristics of chitosan films. J. Food Hydrocolloids. Vol 2: 1113-1122. Sugano, M., Fujikawa, T., Hiratsuji, Y., Nakashirna, K., Fukuda, N., Santoso.J. 1980. A Novel Use of Chitosan as a Hipocholesterolernic Agent in Rats. Am. J. Clin. Nutr. 33(4):787. Suptijah, P. Salamah, E. Sumaryanto, H. Purwaningsih, S. dan Santoso, J. 1992. Pengaruh berbagai metode isolasi kitin dari kulit udang terhadap kadar dan mutunya. Laporan akhir penelitian Faperikan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suyatma, N. E., Tighzert, L., dan Copinet, A. 2005. Effects of Hydrophilic Plasticizers on Mechanical, Thermal, and Surface Properties of Chitosan Films. J. Agric. Food Chem. 53: 39503957. Suwanto, A. 1983. Mempelajari Aktivitas Antibakteri Bubuk Rimpang Kunyit. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Tanigawa, T. Tanaka, Y. Shasiwa, H. Saimoto, H. Dan Shigemasa, Y. 1992. Advances in Chitin and chitosan. Brione CJ, Sandford, PA, Zikakis JP. (eds). London, New York: Elsevier Science Pub Ltd. Thatte, M. R. 2004. Synthesis and antibacterial assesment of water-soluble hydrophobic chitosan derivatives bearing quarternary ammonium functionality [dissertation]. Los Angeles: Lousiana State University and Agricultural and Mechanical College.

Tsai, G. J. dan Su, W. H. 1999. Antibacterial activity of shrimp chitosan against Escherichia coli. J. Food Prot. 62: 239-243. Tsai, G. J. Zhang, S. L. Shieh, P. L. 2004. Antimicrobial activity of low molecular weight chitosan obtained from cellulase digestion of chitosan. Journal Food Prot 67: 396-398. Tsigos, I., A. Martinou., Kafetzopoulos. dan V. Bouriotis. 2000. Chitin deacetylases: New Versatile Tools in Biotechnology. Titbech Rev 18: 305312. Wade, A. dan Paul J. Weller. 1994. Hanbook of Pharmaceutical Exipients. The Pharmaceutical Press, London. Wan, V. C. H, Kim, M. S, Lee, S. Y. 2005. Water vapor permeability and mechanical properties of soy protein isolate edible films composed of different plasticizer combinations. J Food Science. 70:E38791. Winarno, F. G. 1997. Kimia pangan dan gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wong. D.W.S., W.M. Camirand dan A.E. Paulath. 1994. Development of Edible Coating for Minimally Processed Fruit and Vegetables. di dalam : Krochta et al. (ed). Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publ Co. Inc. Lancaster-Basel. Pennsylvania, USA. Yang, L.dan Paulson, A.T. 2000. Effects of lipids on mechanical and moisture barrier properties of edible gellan film. J. Food Research International. Vol 33: 571-578. Zivanovic, S., basurto, C. C., Chi, S., Davidson, P. M., dan Weiss, J. 2004. Molecular weight of chitosan influences antimicrobial activity in oil-inwater emulsions. J. Food Prot 67: 952-959.

LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar singkatan dan istilah


Perlakuan
A A+P5% A+P10% A+L5% A+L10% = Asetat = Asetat + Palmitat 5% = Asetat +Palmitat 10% = Asetat + Laurat 5% = Asetat + Laurat 10%

A+P5%+K = Asetat + Palmitat 5% + Kunyit A+P10%+K = Asetat + Palmitat 10% + Kunyit A+L5%+K = Asetat + Laurat 5% + Kunyit A+L10%+K = Asetat + Laurat 10% + Kunyit L L+P5% L+P10% L+L5% L+L10% L+P5%+K = Laktat = Laktat + Palmitat 5% = Laktat + Palmitat 10% = Laktat + Laurat 5% = Laktat + Laurat 10% = Laktat + Palmitat 5% + Kunyit

L+P10%+K = Laktat + Palmitat 10% + Kunyit L+L5%+K = Laktat + Laurat 5% + Kunyit L+L10%+K = Laktat + Laurat 10% + Kunyit

Lampiran 2. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan aw Tests of Between-Subjects Effects
Type III Sum of Mean Source Squares df Square F Model 14.821(a) 19 .780 121657.229 Ulangan .000 1 .000 .312 Perlakuan .026 16 .002 251.636 Error .000 17 .000 Total 14.821 36 Dependent Variable: Aw a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Sig. .000 .584 .000

Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets Aw


Duncan a,b Perlakuan N 1 .61050 .61100 .61250 .61250 .61250 .61300 .61350 2 Subset 3

A+L10% 2 A+P10% 2 A+L10%+K 2 .61250 A+L5% 2 .61250 A+P5% 2 .61250 A+P10%+K 2 .61300 A+L5%+K 2 .61350 A+P5%+K 2 .61800 A 2 .62400 L+P10% 2 .66350 L+P5% 2 .66400 L+L10% 2 .66800 .66800 L 2 .66850 .66850 L+L5% 2 .66850 .66850 L+P10%+K 2 .66850 .66850 L+P5%+K 2 .66900 .66900 L+L10%+K 2 .66950 .66950 L+L5%+K 2 .67200 Sig. .308 .069 1.000 .053 .180 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

Lampiran 3. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan pH Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: pH Type III Sum of Mean Source Squares df Square F Model 597.421(a) 20 29.871 220786.133 Ulangan .000 2 .000 .246 Perlakuan 21.310 16 1.332 9844.138 Error .005 34 .000 Total 597.426 54 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Sig. .000 .783 .000

Lanjutan Lampiran 3. pH
Duncan a,b Perlakuan N Subset 6 7

1 2 3 4 5 8 9 10 11 12 L+P10%+K 3 2.5767 L+P10% 3 2.5867 2.5867 L+P5%+K 3 2.6000 2.6000 L+L10% 3 2.6033 2.6033 L+L10%+K 3 2.6067 2.6067 L+P5% 3 2.6067 2.6067 L+L5% 3 2.6167 L+L5%+K 3 2.6167 L 3 2.6600 A+P10% 3 3.7833 A+P10%+K 3 3.8233 A+L10%+K 3 3.8533 A+L10% 3 3.8733 A+P5%+K 3 3.9067 A+L5%+K 3 3.9700 A+P5% 3 3.9700 A+L5% 3 4.0100 A 3 4.0333 Sig. .300 .067 .132 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

Lampiran 4a. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna L

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Warna L Type III Sum Mean Source of Squares df Square Model 241246.124(a) 20 12062.306 Ulangan 2.538 2 1.269 Perlakuan 4651.739 16 290.734 Error 51.036 34 1.501 Total 241297.160 54 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

F 8035.834 .845 193.685

Sig. .000 .438 .000

Lanjutan Lampiran 4a. Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets Warna L
Duncan
Perlakuan A+L10%+K A+P10%+K A+L5%+K A+P5%+K L+P10%+K L+L10%+K L+P5%+K L+P10% L+L5%+K L+P5% A+L10% L+L10% L+L5% A+L5% A+P10% A+P5% A L Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 51.13667 51.17000 52.49333 2 3 4 Subset 5 6 7 8 9

55.36333 59.45667 60.55333 61.10000 63.97333 64.38333 65.41333 67.83000 71.53333 72.63333 72.99000 76.28000 79.30333 80.54000 83.62667 1.000

.209 1.000 .129 .183 1.000 .178 1.000 .225 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 1.501. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

Lampiran 4b. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna a Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Warna Source Type III Sum of Squares df Mean Square Model 6095.144(a) 20 304.757 Ulangan .016 2 .008 Perlakuan 1143.626 16 71.477 Error 13.672 34 .402 Total 6108.816 54 a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .996) F 757.870 .020 177.748 Sig. .000 .980 .000

Lanjutan Lampiran 4b.


Warna a Duncan Subset Perlakuan A A+P5% L A+P10% A+L5% L+L10% L+L5% L+P5% L+P5%+K A+L10% L+P10%+K L+P10% L+L10%+K A+P5%+K L+L5%+K A+P10%+K A+L5%+K A+L10%+K Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1.1467 2 2.4300 3.2300 3.4267 4.9567 5.3700 5.5467 9.1700 10.1900 10.1900 10.2933 10.8500 12.3333 12.8800 12.8800 13.5633 13.8167 15.8367 16.4700 16.4700 17.0767 .249 3 4 5 6 7 8 9

1.000 .077 .291 .057 .238 .298 .095 .230 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .402. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

Lampiran 4c. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan warna b Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Warna Type III Sum Mean Source of Squares df Square Model 87856.716(a) 20 4392.836 Ulangan 7.789 2 3.894 Perlakuan 3590.597 16 224.412 Error 113.213 34 3.330 Total 87969.929 54 a R Squared = .999 (Adjusted R Squared = .998)

F 1319.251 1.170 67.395

Sig. .000 .323 .000

Lanjutan Lampiran 4c.


Warna b Duncan Subset Perlakuan A A+P5% L A+P10%+K L+L5% A+P10% A+L10%+K A+L5%+K A+P5%+K L+P5% A+L5% L+L10% L+P5%+K L+L10%+K L+P10%+K L+L5%+K L+P10% A+L10% Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 22.6400 24.6333 2 24.6333 26.6333 31.7800 33.5733 33.5733 35.3433 35.4767 3 4 5 6 7 8 9

35.3433 35.4767 37.6533 38.3667

37.6533 38.3667 39.3600 39.5733

39.3600 39.5733 41.7933 48.4900 48.7733 49.1000 50.9733 51.0333 48.7733 49.1000 50.9733 51.0333 52.0967 .052

.190 .188 .237 .237 .071 .249 .132 .136 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 3.330. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

Lampiran 5. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan tebal Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Tebal Type III Sum of Mean Source Squares df Square F Model 11691.1 1.646(a) 19 .087 93 Ulangan .000 1 .000 .607 Perlakuan .104 16 .006 873.089 Error .000 17 .000 Total 1.647 36 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

Sig. .000 .447 .000

Lanjutan Lampiran 5. Tebal


Duncan a,b Perlakuan N Subset 5

1 2 3 4 6 7 8 9 A 2 .12750 A+P5% 2 .14300 A+P5%+K 2 .15000 A+L5% 2 .15050 A+P10%+K 2 .15300 .15300 A+L5%+K 2 .15350 .15350 A+P10% 2 .15500 .15500 A+L10% 2 .15850 .15850 A+L10%+K 2 .16350 L 2 .23350 L+L5% 2 .25400 L+P10% 2 .25550 L+L10% 2 .25800 L+P5% 2 .25800 L+P5%+K 2 .26500 L+L5%+K 2 .27050 L+P10%+K 2 .27900 L+L10%+K 2 .28250 Sig. 1.000 1.000 .115 .079 .084 1.000 .194 .059 .216 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

Lampiran 6. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan persen elongasi Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Elongasi Type III Sum of Source Squares df Mean Square Model 8229222.096(a) 20 411461.105 Ulangan 22.244 2 11.122 Perlakuan 3351529.546 16 209470.597 Error 23755.058 34 698.678 Total 8252977.154 54 a R Squared = .997 (Adjusted R Squared = .995)

F 588.914 .016 299.810

Sig. .000 .984 .000

Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets Persen Elongasi


Duncan a,b Perlakuan N Subset

1 2 3 4 5 6 A+P10% 3 32.2233 A+P5% 3 35.5567 A+L10% 3 38.8867 A+L5% 3 44.4433 A+P10%+K 3 50.0000 A+L10%+K 3 58.8867 A+L5%+K 3 61.1133 A+P5%+K 3 63.3333 A 3 76.6667 L+L10% 3 350.0000 L+P10% 3 438.8867 L+L5% 3 487.7767 L+P5% 3 494.4433 L+L10%+K 3 583.3333 L+L5%+K 3 591.1100 L+P10%+K 3 611.1100 L+P5%+K 3 613.4433 L 3 693.3300 Sig. .087 1.000 1.000 .759 .212 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 698.678. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

Lampiran 7. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan kuat tarik Tests of Between-Subjects Effects
Dependent Variable: Kuat tarik Type III Sum Source of Squares df Mean Square Model 13976.099(a) 20 698.805 Ulangan 2.760 2 1.380 Perlakuan 4922.866 16 307.679 Error 25.127 34 .739 Total 14001.227 54 a R Squared = .998 (Adjusted R Squared = .997)

F 945.562 1.867 416.325

Sig. .000 .170 .000

Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets


Kuat tarik (MPa) Duncan Perlakuan L+L10% L+P10% L+P10%+K L+L10%+K L+P5% L+L5%+K L+P5%+K L+L5% L A+P10% A+P5% A+L10%+K A+L5%+K A+L10% A+L5% A+P10%+K A+P5%+K A Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1.828400 2.055400 2.209400 2.222900 2.252567 2.291733 2.662600 2.803267 2.952733 2 3 Subset 4 5 6

17.207133 18.881500 19.832300 21.277700 23.574600 24.083933 24.224467 24.561667

27.961433 .181 1.000 .184 1.000 .209 1.000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .739. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. b Alpha = .05.

Lampiran 8. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan WVP

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: WVP Type III Sum of Mean Source Squares df Square Model 57.329(a) 19 3.017 Ulangan .000 1 .000 Perlakuan 4.440 16 .278 Error .008 17 .000 Total 57.337 36 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

F 6644.934 .175 611.161

Sig. .000 .681 .000

Lanjutan Lampiran 8.
WVP Duncan Subset Perlakuan A+P10% A+P10%+K A+P5% A+L10% A+L10%+K A+L5% A+P5%+K A+L5%+K A L+P10% L+P5% L+L10% L+L5% L+P10%+K L+P5%+K L+L10%+K L+L5%+K L Sig. N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 .769200 2 .828050 .830950 .834350 .881650 .884500 .887200 .898950 .982700 1.391400 1.440250 1.465850 1.485500 1.571100 1.573450 1.650300 1.687500 1.687500 1.731750 .053 3 4 5 6 7 8 9

1.000 .783 .466 1.000 1.000 .059 .913 .099 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .000. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05.

Lampiran 9. Data analisis zona penghambatan edible film terhadap bakteri-bakteri patogen (mm)
Perlakuan A A+P5% A+P10% A+L5% A+L10% A+P5%+K A+P10%+K A+L5%+K A+L10%+K L L+P5% L+P10% L+L5% L+L10% L+P5%+K L+P10%+K L+L5%+K L+L10%+K

Eschericia coli
1 2.87 5.69 5.85 3.14 3.26 6.32 6.38 7.93 8.02 7.73 10.71 10.70 7.18 7.16 11.08 11.11 8.90 10.56 2 2.86 5.71 5.79 3.22 3.31 6.45 6.45 7.96 8.08 7.56 10.64 10.73 7.06 7.08 11.06 11.12 8.78 10.65 Rataan 2.865 5.700 5.820 3.180 3.285 6.385 6.415 7.945 8.050 7.645 10.675 10.715 7.120 7.120 11.070 11.115 8.840 10.605 STDEV 0.0071 0.0141 0.0424 0.0566 0.0354 0.0919 0.0495 0.0212 0.0424 0.1202 0.0495 0.0212 0.0849 0.0566 0.0141 0.0071 0.0849 0.0636 1 1.99 4.52 4.59 5.04 5.29 6.26 6.40 5.71 5.77 10.71 10.07 10.15 10.32 10.29 13.58 12.46 11.20 11.17

Bacillus cereus
2 2.04 4.60 4.60 5.26 5.30 6.33 6.38 5.72 5.76 10.70 10.14 10.21 10.29 10.37 13.61 12.50 11.08 11.16 Rataan 2.015 4.560 4.595 5.150 5.295 6.295 6.390 5.715 5.765 10.705 10.105 10.180 10.305 10.330 13.595 12.480 11.140 11.165 STDEV 0.0354 0.0566 0.0071 0.1556 0.0071 0.0495 0.0141 0.0071 0.0071 0.0071 0.0495 0.0424 0.0212 0.0566 0.0212 0.0283 0.0849 0.0071

Salmonella typhimurium
1 1.99 2.26 2.36 3.82 3.84 7.16 7.20 5.97 6.82 10.32 10.90 11.04 9.69 9.83 11.07 11.15 12.30 12.32 2 1.90 2.14 2.35 3.88 3.93 7.14 7.17 6.09 6.80 10.34 10.89 10.97 9.71 9.96 11.11 11.13 12.26 12.30 Rataan 1.945 2.200 2.355 3.850 3.885 7.150 7.185 6.030 6.810 10.330 10.895 11.005 9.700 9.895 11.090 11.140 12.280 12.310 STDEV 0.0636 0.0849 0.0071 0.0424 0.0636 0.0141 0.0212 0.0849 0.0141 0.0141 0.0071 0.0495 0.0141 0.0919 0.0283 0.0141 0.0283 0.0141

Staphylococcus aureus
1 1.87 2.85 2.88 3.88 3.95 6.74 6.80 5.35 5.33 4.64 5.21 5.67 5.72 6.01 11.27 11.31 12.80 11.32 2 1.92 2.84 3.02 3.95 3.97 6.73 6.84 5.28 5.32 4.61 5.19 5.70 5.83 5.85 11.30 11.33 11.32 11.30 Rataan 1.895 2.845 2.950 3.915 3.960 6.735 6.820 5.315 5.325 4.625 5.200 5.685 5.775 5.930 11.285 11.320 12.060 11.310 STDEV 0.0354 0.0071 0.0990 0.0495 0.0141 0.0071 0.0283 0.0495 0.0071 0.0212 0.0141 0.0212 0.0778 0.1131 0.0212 0.0141 1.0465 0.0141

Lampiran 10. Rekapitulasi analisis Anova dan Uji Lanjut Duncan kadar air

Tests of Between-Subjects Effects


Dependent Variable: Kadar air Type III Sum of Source Squares Model 29926.800(a) Mean Square 19 1575.095 .354 5.361 .277

df

Ulangan .354 1 Perlakuan 85.780 16 Error 4.706 17 Total 29931.506 36 a R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)

F 5689.83 0 1.279 19.367

Sig. .000 .274 .000

Post Hoc Tests Perlakuan Homogeneous Subsets


Kadar Air (% b.k) Duncan Perlakuan A A+P5% L+P5% A+P10%+K L+P10%+K L+L10%+K A+P5%+K A+L10% A+L5%+K A+L10%+K A+P10% L+P5%+K L+P10% A+L5% L+L5%+K L L+L5% L+L10% Sig. N 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 1 26.3360 26.5699 27.3414 27.3715 2 26.5699 27.3414 27.3715 27.5979 3 4 Subset 5 6 7 8

27.3414 27.3715 27.5979 27.8054 27.8182 28.1984 28.3619 28.4719 28.5442

28.1984 28.3619 28.4719 28.5442 29.3556

28.3619 28.4719 28.5442 29.3556 29.5652

28.4719 28.5442 29.3556 29.5652 29.6881

29.3556 29.5652 29.6881 30.1695 30.4984 31.9511 32.4787 .330

.087 .089 .062 .062 .053 .051 .065 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .277. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. b Alpha = .05

You might also like